Anda di halaman 1dari 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Morbus Hansen Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang kronis, disebabkan oleh Mikrobakterium

m leprae yang obligat intra seluler yang menyerang syaraf perifer, kulit, mukosa traktus respiratorik bagian atas kemudian menyerang organ-organ kecuali susunan syaraf pusat.3 2. Etiologi Penyebab kusta adalah warganegara Norwegia, Mycobacterium leprae, yang ditemukan oleh G.A Armauer Hansen pada tahun 1873 dan sampai

1. Defenisi

sekarang belum dapat dibiakkan dalam media buatan. Kuman Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um X 0,5 Um, tahan asam dan alkohol serta bersifat Gram positif. Mycobacterium leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan cell) dan sistem retikulo endotelial. Masa inkubasi kusta bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, dengan rata-rata 3-5 tahun.2 Masa inkubasi berkaitan dengan pembelahan sel yang lama, yaitu antara 23 minggu dan di luar tubuh manusia (kondisi tropis) kuman kusta dapat bertahan sampai 9 hari. Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta pada tikus pada suhu 27300C.2,4 3. Patogenesis Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui

mukosa nasal. Pengaruh, M leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada, suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulens dan nontoksis. M. leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terutama terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwann di jaringan saraf. Bila kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya. Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem-imunitas, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan. Pada kusta tipe TT kemarnpuan fungsi sistem imunitas selulartinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman.. Sayangnya setelah sernua kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebinan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya. Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae, di samping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.2 4. Epidemiologi Penyakit Kusta Secara deskriptif epidemiologi penyakit kusta digambarkan menurut tempat, waktu dan orang. Gambaran epidemiologis penyakit kusta adalah sebagai berikut :4

a. Distribusi menurut tempat Penyakit kusta tersebar di dunia dengan endemisitas berbeda. Dari 122 negara endemis tahun 1985, 98 negara telah mencapai eliminasi kusta dengan angka prevalensi < 1 / 10.000 penduduk. Lebih dari 10 juta penderita telah disembuhkan dengan MDT pada akhir 1999. Beberapa faktor yang dapat berperan dalam kejadian dan penyebaran kusta yaitu : iklim (panas dan lembab), diet, status gizi, status sosial ekonomi dan genetik. Perkiraan jumlah penderita kusta di dunia tahun pada 2005 dan 2006 dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 1. Situasi penderita kusta menurut regional WHO tahun 2005 2006 (diluar regional Eropa)4 Regional WHO Afrika Amerika Asia Tenggara Mediterania Timur Pasifik Barat Total 219.826 296.499 Prevalensi (awal 2006) 40.830 (0,56) 32.904 (0,39) 133.422 (0,81) 4.024 (0,09) 8.646 (0,05) Kasus baru (selama 2005) 42.814 (5,92) 41.780 (4,98) 201.635 (12,17) 3.133 (0,67) 7.137 (0,41)

Sedangkan situasi penderita kusta di Indonesia tahun 2000 2005 selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 2. Situasi penderita kusta di Indonesia tahun 2000-20054 Tahun Jumlah penderita 2000 2001 2002 2003 2004 2005 pendaftar 24.152 17.712 19.855 18.337 19.666 21.537 Jumlah penderita baru 21.964 14.722 16.253 15.913 16.572 19.695 Proporsi cacat Proporsi kusta tingkat II (%) 8,4 8,8 7,7 8,0 8,6 8,7 anak (%) 10,2 10,0 8,9 10,5 10,6 9,1

b. Distribusi menurut waktu Pada tahun 2005 sebanyak 17 negara melaporkan 1000 atau lebih kasus baru, yang semuanya menyumbang 94 % kasus kusta baru di dunia. Secara global terjadi penurunan kasus baru, tetapi sejak tahun 2002 terjadi peningkatan kasus baru dibeberapa negara seperti Republik Demokrasi Kongo, Philipina dan Indonesia. Pada tahun 2005 Indonesia menempati urutan ketiga dalam jumlah kasus baru setelah Brazil dan India. c. Distribusi menurut karakteristik penderita 1. Distribusi menurut umur Kusta diketahui dapat terjadi pada semua umur (antara 3 minggu sampai 70 tahun), terbanyak pada umur muda dan produktif. Angka kejadian kusta meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 20-30 kemudian menurun. Di Indonesia penderita kusta anak-anak dibawah 14 tahun sebanyak 13 % tetapi anak dibawah 1 tahun jarang ditemukan. 2. Distribusi menurut jenis kelamin

Penyakit kusta dapat mengenai laki-laki maupun perempuan. Insiden maupun prevalensi pada laki-laki lebih banyak dari wanita. Menurut laporan WHO tahun 2001 di Brazil, insiden pada wanita meningkat lebih banyak sejak wanita mulai bekerja di luar rumah. Di Burkina Faso, Uganda, Kenya dan Malawi insiden pada wanita lebih banyak dari laki-laki. Di Indonesia insidensi laki laki lebih tinggi pada usia 15 19 tahun, sebaliknya pada wanita menurun pada rentang usia tersebut. 5. Klasifikasi Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada penyakit morbus hansen (lepra,kusta) yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu:2 TT : tuberkuloid polar, bentuk yang stabil Ti : tuberkuloid indefinite BT : borderline tuberculoid BB : mid borderline BL : borderline lepromatous Li : lepromatosa indefinite LL : lepromatosa polar, bentuk yang stabil Tipe 1 (indeterminate) tidak termasuk dalam spectrum. TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipetipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun LL. bentuk yang labil

Menurut WHO (1981), Morbus hansen dibagi menjadi multibasilar (MB) dan pausibasilar (PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks bakteri (IB), ditemukan bakteri lebih dari +2, yaitu tipe LL, BL, dan BB padaklasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar mengandung sedikit basil dengan IB kurang dari +2, yaitu tipe TT, BT, dan I klasifikasi RidleyJoping. 6. Gejala klinis Pada Morbus Hansen, didapatkan 3 tanda kardinal, dimana jika salah satunya ada,sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta, yakni : Lesi kulit yang anestesi , penebalan saraf perifer, dan ditemukannya M. leprae sebagai bakteriologis positif. Masa inkubasinya 2 40 tahun (rata-rata 5 7 tahun). Onset terjadinya perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistemsaraf perifer dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat adanya gejala klinis. Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa macula dan bula yang bersifat sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik yang berat, dan kontraktur tangan dan kaki. Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi terjadi. 90% pasien biasanya mengalami keluhan pada pertama kalinya adalah rasa baal, hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan panas dengan dingin. Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada tangan dan kaki, sehingga dapat terjadi kompliksi ulkus atau terbakar pada ekstremitas yang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat terkena morbus hansen adalah daerah yang dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, daun telinga, dan lutut.5 Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa:5 1. pembesaran saraf tepi yang asimetris pada daun telinga, ulnar, tibia posterior, radial kutaneus,. 2. Kerusakan sensorik pada lesi kulit

3. Kelumpuhan nervus trunkus tanpa tanda inflamasiberupa neuropati, kerusakan sensorik dan motorik, serta kontraktur 4. kerusakansensorik dengan pola Stocking-glove 5. Acral distal symmethric anesthesia (hilangnya sensasi panas dan dingin, serta nyeri dan raba) Pemeriksaan fisik 1. Tuberculoid Leprosy (TT, BT) Pada TT, imunitas masih baik,dapat sembuh spontan dan masih mampu melokalisir sehingga didapatkan gambaran batas yang tegas. Mengenai kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plak,dan pada bagian tengah dapat ditemukam lesi yang regresi atau central clearing.Permukaan lesi dapat bersisik, dengan tepi yang meninggi. Dapat disertai penebalan saraf tepi yang biasanya teraba. Kuman BTA negatif merupakan tanda terdapatnya respon imun yang adekuat terhadap kuman kusta. Pada BT, tidak dapat sembuh spontan, Lesi menyerupai tipe TT namun dapat disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas TT. Gangguan saraf tidak berat dan asimetris

10

Gambar 1. Lesi Tuberculoid leprosy, soliter, anesthetic, annular

Gambar 2. Lesi Kulit pada Tuberculoid Leprosy

Gambar 3. Borderline Tuberculoid Leprosy, gambaran anular inkomplit dengan papul satelit 2. Borderline Leprosy Pada tipe BB borderline ,meruapakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara

11

tuberculoid dan lepromatous. Terdiri dari macula infiltratif, mengkilap, batas lesi kurang tegas, jumlah banyak melebih tipe BT dan cenderung simetris. Lesi bervariasi, dapat perbentuk punch out yang khas.. Pada tipe ini terjadi anestesia dan berkurangnya keringat.

Gambar 4. Lesi Kulit pada Borderline BB Leprosy 3. Lepromatous Leprosy Tipe BL, secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih bervariasi bentuknya.Distribusi lesi hampir seimetris. Lesi infiltrat, dan plak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi,hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul. Penebalan saraf tepi teraba pada tempat predileksi. Tipe LL,jumlah lesi sangat banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm, simetris,permukaan halus, lebih eritematous, berkilap,

12

berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Ditemukan juga lesi Dematofibroma-like multipel, batas tegas, nodul eritem.Distribusi lesi khas pada wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif membentuk facies leonine. Kerusakan saraf menyebabkan gejalan stocking and glove anesthesia.

Gambar 5. Lesi Kulit pada Lepromatous Leprosy Pada reaksi morbus hansen tipe 1, terjadi inflamasi akut pada lesi kulit, terdapat edema dan nyeri, bisa ulserasi. Edema paling berat terjadi di wajah, tangan, dan kaki.Pada reaksi morbus hansen tipe 2, terdapat nodul yang nyeri dan berwarna merah, bisa abses atau ulserasi. Paling sering timbul di wajah dan ekstremitas bagian ekstensor Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan: 1. ekstremitas: neuropati sensoris,ulserasi telapak kaki, infeksi sekunder, ulnar and peroneal palsies. 2. hidung: kongesti kronik, epistaksis, destruksi kartilago dengan deformitas hidung.

13

3. mata: kelumpuhan nervus kranialis, lagoftalmus. Pada LL, dapat terjadi uveitis, glaucoma, pembentukan katara, infeksi sekunder, dan paralisis otot, 4. testis: terjadi hipogonadisme pada pasien LL Tabel 3. Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta multibasilar (MB)2 Sifat Lesi -Bentuk Lepromatosa (LL) Makula Infilitrat difus Papul -Jumlah Nodus Tidak Borderline Lepromatosa (BL) Makula Plakat Papul terhitung, Sukar Mid (BB) Plakat Dome-shaped (kubah) Punched-out dihitung,masih Dapat dihitung, kulit sehat jelas ada Asimetris Agak kasar,agak berkilat Agak jelas Lebih jelas Borderline

praktis tidak ada ada kulit sehat -distribusi -Permukaan -Batas -Anestesia BTA -Lesi kulit -Sekret hidung kulit sehat Simetris Halus berkilat Tidak jelas Biasanya jelas Banyak globus) Banyak (ada Banyak (ada Biasanya negative Hampir simetris Halus berkilat Agak jelas tidak Tidak jelas

Agak banyak Negatif

globus) Tes lepromin Negatif Negatif Negatif Tabel 4. Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta pausibasilar (PB)2 Sifat Lesi -Bentuk Tuberkuloid (TT) Makula Borderline Tuberkuloid (BT) saja Makula dibatasi Hanya infiltrate Indetermine (I)

14

(macula -Jumlah -distribusi -Permukaan -Batas -Anestesia BTA -Lesi kulit Tes lepromin infiltrate) Satu,

dibatasi infiltrate (infiltrate saja) dapat Beberapa atau satu Satu atau beberapa Variasi Halus agak berkilat Dapat jelas atau dapat tidak jelas Tidak ada sampai tidak jelas

beberapa Asimetris Kering bersisik Jelas Jelas

dengan satelit Masih Asimetris Kering bersisik Jelas Jelas

Hampir

selalu Negatif atau hanya 1+ Positif lemah

Biasanya negative Dapat positif lemah atau negative

negative Positif kuat (3+)

7. Reaksi Kusta2 Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Patofisiologinya masih belum jelas, terminologi dan klasifikasinya masih bermcam-macam. Reaksi imun dapat menguntungkan, tapi dapat pula merugikan yang disebut reaksi imun patologik, dan reaksi kusta ini masuk kedalamnya. Berdasarkan klasifikasi reaksi kusta, E.N.L. (Eritema Nodusum Leprosum) dan reaksi reversal atau reaksi upgrading paling banyak dianut.

15

1. E.N.L. (Eritema Nodusum Leprosum) E.N.L. terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL, semakin tinggi tingkat multibasilarnya maka makin besar kemungkinan timbulnya E.N.L. Secara imunopatologis, E.N.L. termasuk respon imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antigen M.leprae, antibodi (IgG, IgM) dan komplemen sehingga membentuk kompleks imun. Salah satu protein M.leprae bersifat antigenik, maka antibodi dapat terbentuk. Kadar imunoglobulin penderita kusta lepromatosa lebih tinggi daripada tipe tuberkuloid. Hal ini terjadi karena jumlah basil pada tipe lepromatosa leebih banyak daripada jumlah teburkuloid. E.N.L. lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Hal ini dapat terjadi karena pada pengobatan, banyak basil yang mati dan hancur, sehingga banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi serta mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah dan akhirnya dapat melibatkan berbagai organ. Pada kulit akan timbul gejala klinis yag berupa nodus eritema, dan nyeri pada tangan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis dan nefrits yang akut dengan disertai proteinuria. 2. Reaksi Reversal Reaksi reversal hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti) sehingga dapat reaksi borderline. Yang memegang peranan utama dalam hal ini adalah SIS, yaitu terjadi peningktan mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui secara pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersenitivitas tipe lambat. Gejala klinis reaksi reversal ialah sebagaian atau seuruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang

16

relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas. 3. Fenomena Lucio Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe lepromatosa non-nodular difus. Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus, bewarna merah muda, bentuk tak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seuruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematosa, disertai purpura, dan bula, kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut. Gambaran histopatologi menunjukan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema dan proliferasi endotelial pembuluh darah lebih dalam. 8. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan anestesi dengan jarum atau air panas.6 b. Tes gunawan atau tes keringat dengan pensil tinta, pada lesi tinta akan hilang sedangkan pada kulit normal akan ada bekas tinta.6

c. Pemeriksaan bakterioskopik2 Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. Pertama tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 46 tempat yaitu kedua cuping

17

telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP). 1+ Bila 1 10 BTA dalam 100 LP 2+ Bila 1 10 BTA dalam 10 LP 3+ Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP 4+ Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP 5+ Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP 6+ Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid. a. Rumus: d. IM= Jumlah solid x 100% a. Jumlah solid+nonsolid Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan. e. Pemeriksaan histopatologi2 Pemeriksaan histopatologi digunakan untuk menentukan klasifikasi penyakit. Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe

18

borderline terdapat campuran unsur unsur tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M. leprae sebagai tempat berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. f. Pemeriksaan serologis6,7,8 Pemeriksaan serologis kusta didasarkan atasa terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM) yang juga dihasilkan oleh kuman M.Tuberculosis. Kegunaan pemeriksaan serologik ini dapat membantu diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Disamping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah. Macam-macam pemeriksaan serologik adalah: MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA, Mycobacterium Leprae dipstick, dan PCR. g. Tes lepromin6,7,8 Tes lepromin dapat membantu dalam klasifikasi penyakit kusta. Meskipun tidak digunakan untuk menegakan diagnosis kusta, tes ini dapat menilai respon granulomatosa pasien terhadap M.lepra mati yang disuntikan melalui kulit. Pada pasien dengan Tuberculoid leprosy atau Boderline lepromatous leprosy akan menunjukkan hasil yang positif, timbul indurasi > 5mm. Sedangkan pada pasien dengan Lepromatous leprosy tidak akan menunjukan respon terhadap tes ini. 9. Diagnosis Banding6 1. Tipe I (makula hipopigmentasi): tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea, dermatitis seboroika atau dengan liken simpleks kronis.

19

2. Tipe TT (makula eritematosa dengan tepi meninggi): tinea korporis, psoriasis, lupus erimatosus tipe diskoid, atau pitiriasis rosea. 3. Tipe BT, BB, BL (infiltrat merah tak berbatas tegas): selulitis, erisipelas, atau psoriasis. 4. Tipe LL (bentuk nodula): lupus eritematous sistemik, dermatomiositis atau erupsi obat. 10. Penatalaksanaan Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.9 Sejak dilaporkan adanya resistensi terhadap dapson baik primer maupun sekunder, pada tahun 1977 WHO memperkenalkan pengobatan kombinasi yang terdiri paling tidak dua obat antikusta yang efektif, namun anjuran ini tidak diikuti. Oleh karena itu, pada tahun 1981 WHO merekomendasikan MDT (Multi Drug Therapy). Sejak Januari 1982, pengobatan kusta di Indonesia mengikuti keputusan WHO Expert Committe Meeting di Geneva yaitu pengobatan kombinasi dapson, klofazimin dan rifampisin.7,9 Tipe pausibasiler (PB) pengobatan diberikan secara teratur selama 6 bulan dan diselesaikan dalam waktu maksimal 12 bulan. Setelah selesai minum 6 dosis, penderita dinyatakan RFT (Release From Treatment). Tipe multibasiler (MB) pengobatan dilakukan secara teratur selama 12 bulan dan dapat diselesaikan dalam waktu maksimal 24 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis, penderita dinyatakan RFT (Realease From Treatment) meskipun lesinya masih aktif dan BTA positif. Masa pengamatan setelah RFT (Realease From Treatment) dilakukan secara pasif untuk tipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.2

20

Tabel 5. Rekomendasi MDT7

Pengobatan reaksi kusta2 1. Pengobatan E.N.L. Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, antara lain prednison. Dosisnya bergantung pada berta ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunka secara bertahap samapai berhenti sama sekali. 2. Pengobatan reaksi reversal Reaksi reversal yang tidak disertai dengan neuritis didak perlu pengobatan tambahan. Jika ada neuritis akut, obatpilihan pertama adalah kortikosteroid dengan dosis yang disesuaikan dengan berat ringannya neuritis. Biasanya diberikan prednison 40-60 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativa kalau dierlukan dapat diberikan.

21

11. Pencegahan Cacat2 Penderita kusta yag terlambat didiagnosis dan tidak mendapatkan MDT mempunyi risiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal mempunyai risiko tersebut. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu, diajarkan pula cara perawatan kulit seharihari. Hal ini dimulai dengan memeriksa dengan ada tidaknya memar, luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.

Tabel 6. Klasifikasi Cacat bagi Penderita Kusta2 Klasifikasi Tingkat 0 Tingkat 1 Tingkat 2 Keterangan Cacat pada tangan dan kaki Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat Terdapat kerusakan atau deformitas Cacat pada mata

22

Tingkat 0 Tingkat 1 Tingkat 2

Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan penglihatan Ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan yang berat pada penglihatan (visus 6/60 atau lebih baik) Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60, tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 meter)

12. Rehabilitasi2 Usaha rehbilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain dengan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki. Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan kerja yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat pula dilakukan terapi psikologik (kejiwaan). 12. Prognosis7 Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang asien dapat mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun.

Anda mungkin juga menyukai