Anda di halaman 1dari 34

BAB I STATUS PASIEN

1.1
Nama Usia

Identitas Pasien
: Tn. L :51 tahun : Pria : Jakarta Timur : Islam :

Jenis Kelamin Alamat Agama Pendidikan

Status pernikahan : Menikah Tanggal masuk : 31 Oktober 2012

1.2

Keluhan Utama
Nyeri di perut kanan bawah menjalar ke punggung.

1.3

Keluhan Tambahan
-

1.4

Riwayat Penyakit Sekarang


3 minggu SMRS pasien merasakan nyeri pada perut bagian kanan bawah dan menjalar ke pinggang. Pasien berobat ke RS Ridwan dan di diagnosa batu empedu. Kemudian dari RS Ridwan pasien dirujuk ke RSPAD untuk dilakukan penatalaksanaan . Di RSPAD pasien datang ke poliklinik bedah digestive dan 1

didiagnosis usus buntu. Pasien disarakan untuk melakukan beberapa pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis dan merencanakan operatif.

1.5

Riwayat Penyakit Dahulu


1 tahun yang lalu pasien mengakui pernah mengalami keluhan yang serupa. Pada saat keluhan tersebut timbul pasien berobat ke dokter (klinik) dan hanya diberikan terapi obat. Namun setelah obatnya habis keluhannya kadang datang kembali dan keadaan tersebut berulang beberapa kali. Mual (+), muntah (+), Bab (+) normal, pusing dan lemas disangkal pasien.

1.6

Pemeriksaan Fisik
Status Generalis Tekanan darah Hitung nadi Hitungan respiratori Suhu tubuh Kepala dan wajah Mata : 120/80 : 82x/menit : 20x/menit : 36C : Normocephali, deformitas (-), pupil isokor 3mm/3mm : Dapat bergerak dengan normal, refleks pupil dan kornea baik, konjungtiva tidak anemis dan sklera tidak ikterik Jantung Paru : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-) gallop (-) : Suara nafas vesikuler pada kedua lapang paru, rhonki (-) wheezing (-). Abdomen : BU (+) normal, supel, sedikit cembung. Lihat status Lokalis Ekstrimitas : Akral hangat, CRT < 2 detik.

Status Lokalis Kuadran Kanan Bawah Abdomen Inspeksi : Tidak didapatkan jejas pada permukaan abdomen. Dinding abdomen tampak cembung. Auskultasi Perkusi Palpasi : Bunyi bising usus normal positif. : Tidak didapatkan nyeri ketok. : Ditemukan nyeri tekan positif, nyeri lepas negatif, tanda rovsing positif, tanda psoas negatif, dan tanda obturator positif.

1.7

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Darah lengkap : Hb Ht Leukosit Eritrosit Thrombosit : 13,5 g/dL : 40 % : 7120 /ul : 5,6 juta/ul : 164.000/ul

Pemeriksaan Colok dubur (rectal toucher) Tonus spinchter ani cukup, ampulla tidak kolaps, mukosa rektal licin, dan ada nyeri pada posisi jam 10. Pada sarung tangan tidak ditermukan adanya perdarahan, lendir, maupun feses.

Pemeriksaan USG

Kesan: hepar, kelenjar empedu, pancreas, lien: normal ginjal kanan/kiri, vesika urinaria, prostat: tak tampak kelainan. tidak tampak appendiksitis akut.

Pemeriksaan Appendicogram

hasil pemeriksaan appendikogram: tampak kontras barium mengisi caecum, colon ascendens, sebagian colon transversum. Bentuk dan caliber colon tranversus yang tervisualisasi bai Tak tampak filling defect maupun additional shadow. Tampak sebagian lusen appendiks vermiformis terisi kontras posisi appendiks retrocaecal. Tampak multiple filling defect intralumen appendiks. Kesan: partial filling appendiks.

1.8

Diagnosis
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang telah diambil kesimpulan diagnosis bahwa pasien menderita apendisitis kronis eksaserbasi akut. Terapi definitif yang diajukan ialah apendektomi. Pasien dan keluarganya menyetujui tindakan tersebut sehingga segera setelah ditandatanganinya informed consent pasien dipersiapkan untuk tindakan apendektomi.

1.9

Penatalaksanaan
Pasien terlentang dalam kondisi GA Asepsis dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya Dilakukan insisi cutan, subcutan sampai dengan fascia Dilakukan muscle splitting kemudian diperbesar Peritoneum dibuka secara tajam. Ditemukan appendix letak retrocecal dgn panjang 12 cm diameter 0,7 cm

Dilakukan appendiktomy Perdarahan dirawat dengan ligasi menggunakan silk Peritoneum dijahit dengan chromic secara continens Otot diaproximasi Fascia dijahit dengan prolene #3.0 dan cutis dijahit dengan prolene #3.0 Operasi selesai

1.10 Follow Up
Setelah Operasi ( tanggal 2 November 2012 ) pasien sudah tidak merasakan nyeri seperti sebelumnya lagi. Sekitar 6 jam setelah operasi pasien sudah bisa buang angin. Dalam observasi selama 12 jam tidak ada keluhan pada pasien sehingga pasien mulai diijinkan minum. Pada tanggal 5 November 2012 pasien diijinkan beristirahat di rumah dan diingatkan untuk kontrol setelah 1 minggu pasca operasi untuk buka jahitan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendahuluan Apendicitis merupakan kasus gawat bedah abdomen yang tersering dan memerlukan tindakan bedah segera untuk menghindari komplikasi yang serius. Apendicitis akut yang terlambat ditangani akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas penderita. Untuk itu ketepatan diagnosa sangat dibutuhkan dalam pengambilan keputusan tindakan. Ketepatan diagnosis tergantung dari kemampuan dokter melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium. Insiden apendicitis akut di Indonesia dilaporkan menempati urutan tertinggi diantara kasus-kasus kegawatan darurat, seperti juga halnya dinegara barat. Walaupun begitu diagnosis serta keputusan bedah masih cukup sulit ditegakkan. Pada beberapa keadaan apendicitis akut agak sulit didiagnosis, misalnya pada fase awal dari apendisits akut gejala dan tandanya masih sangat samar apalagi bila sudah diberi antibiotika. Dengan pemeriksaan yang cermat dan teliti resiko kesalahan diagnosis pada apendicitis akut sekitar 15-20%. Bahkan pada wanita kesalahan diagnosis ini mencapai 45-50%. Hal ini dapat disadari mengingat wanita terutama yang masih sangat muda sering timbul gangguan yang mirip apendicitis akut. Upaya mempertajam diagnosis sudah banyak dilakukan, antara lain dengan menggunakan sarana diagnosis penunjang seperti: Foto Polos Abdomen, Pemeriksaan Barium Enema, Laparoskopi dan Ultrasonografi. Mengingat masalah diatas maka perlu diketahui tanda, gejala, pemeriksaan laboratorium sederhana mana yang berperan secara bermakna dalam mendiagnosis apendicitis akut, serta berapa akurasi, sensitifitas dan spesifitas dari tanda, gejala dan

pemeriksaan laboratorium sederhana tersebut dan untuk memudahkan dokter dalam mengambil keputusan.

B. Definisi dan epidemiologi Appendicitis adalah suatu peradangan pada appendix. Peradangan ini pada umumnya disebabkan oleh infeksi yang akan menyumbat appendix.(3,4) Appendicitis adalah peradangan dari appendiks vermiformis dan merupakan kegawatdaruratan bedah abdomen yang paling sering ditemukan. Appendicitis menyerang 79% dari keseluruhan populasi di Amerika Serikat dan paling sering ditemukan pada umur 10-19 tahun walaupun secara jelas dapat juga terlihat baik pada pasien yang lebih muda maupun yang lebih tua. Insiden appendicitis di Amerika Serikat sekitar 1,1 kasus setiap 1000 orang per tahun. Terdapat faktor predisposisi dari keluarga. Insiden dari appendicitis adalah lebih rendah pada negara dengan budaya konsumsi makanan tinggi serat. Serat makanan dianggap mengurangi kekentalan feses, mengurangi bowel transit time dan mengurangi pembentukan fekalit, yang dapat menyebabkan obstruksi lumen apendiks.(11) Secara umum insiden dari appendicitis sekitar 1,4 kali lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan. Insiden dari appendektomi primer diperkirakan sama besar pada kedua jenis kelamin ini. Insiden dari appendicitis meningkat bertahap sesuai pertambahan umur, puncaknya pada akhir usia belasan tahun, dan secara bertahap menurun pada usia tua. Nilai median pada usia saat appendektomi adalah 22 tahun. Walaupun jarang, appendicitis pada neonatus dan bahkan pada prenatal tetap ditemukan.(11) Keseluruhan angka kematian dari appendicitis yang berkisar antara 0,2-0,8% lebih banyak diakibatkan oleh komplikasi dari penyakit itu sendiri daripada intervensi bedah. Angka kematian meningkat diatas 20% pada pasien yang usianya lebih dari 70 tahun, biasanya disebabkan keterlambatan diagnosis dan terapi. Angka perforasi lebih tinggi pada pasien kurang dari 18 tahun dan lebih dari 50 tahun, kemungkinan akibat dari keterlambatan diagnosis. Perforasi dari apendiks berhubungan dengan peningkatan yang mencolok pada angka kematian dan kesakitan akibat appendicitis.(11)

C. Anatomi Appendix adalah suatu pipa tertutup yang sempit yang melekat pada secum (bagian awal dari colon). Bentuknya seperti cacing putih.Secara anatomi appendix sering disebut juga dengan appendix vermiformis atau umbai cacing.(3) Apendiks (appendiks vermiformis) merupakan organ yang berbentuk tabung panjang dan sempit. Panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15cm) dan berpangkal di caecum. Pada posisi yang lazim, apendiks terletak pada regio abdomen kanan bawah di titik McBurney. Titik McBurney dicari dengan menarik garis dari spina iliaca anterior superior (SIAS) kanan ke umbilicus. Titik sepertiga lateral garis ini merupakan tempat pangkal apendiks. Dasar apendiks muncul dari sisi posteromedial caecum dimana tiga taenia coli bertemu.(8) Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya apendiks terletak retroperitoneal, yaitu dibelakang sekum, dibelakang colon ascenden atau ditepi lateral colon ascenden. Gejala apendiks tergantung dari letak apendiksnya.(8)

Gambar 1. Anatomi Appendiks 2,3

Appendix terletak di bagian kanan bawah dari abdomen. Tepatnya di ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli. Muara appendix berada di sebelah postero-medial secum.Dari topografi anatomi, letak pangkal appendix berada pada titik Mc.Burney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.(4,5) Seperti halnya pada bagian usus yang lain, appendix juga mempunyai mesenterium. Mesenterium ini berupa selapis membran yang melekatkan appendix pada struktur lain pada abdomen. Kedudukan ini memungkinkan appendix dapat bergerak. Selanjutnya ukuran appendix dapat lebih panjang daripada normal. Gabungan dari luasnya mesenterium dengan appendix yang panjang menyebabkan appendix bergerak masuk ke pelvis (antara organorgan pelvis pada wanita). Hal ini juga dapat menyebabkan appendix bergerak belakang colon yang disebut appendix retrocolic.(3) ke

Menurut Helmut (1988) Posisi apendiks

sangat

bervariasi,

sehingga

kemungkinan sulit untuk menentukan posisi normal apendiks. Macam macam posisi apendiks : 1.Posisi retrocecal (65%). 2.Posisi 3.Posisi 4.Posisi pelvic (31%). paracolica (2 %). preileal (1%).

5.Posisi post ileal (1 %). (Helmut Leonhardt 1988)

Gambar 2.1 : posisi appendiks (Helmut Leonhardt 1988)

Appendix dipersarafi oleh saraf parasimpatis dan simpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti a. mesenterica superior dan a. appendicularis. 11

Sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. thoracalis X. Karena itu nyeri viseral pada appendicitis bermula disekitar umbilicus.Vaskularisasinya berasal dari a.appendicularis cabang dari a.ileocolica, cabang dari a. mesenterica superior.(2) D. Fisiologi Fungsi appendix pada manusia belum diketahui secara pasti. Diduga berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh. Lapisan dalam appendix menghasilkan lendir. Lendir ini secara normal dialirkan ke appendix dan secum. Hambatan aliran lendir di muara appendix berperan pada patogenesis appendicitis.(1,3,5) Dinding appendix terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari sistem imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yaitu Ig A. Immunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.(2,3)

E. Etiologi Kebanyakan kasus dari apendisitis akut merupakan akibat dari obstruksi. Secara umum, penyebab obstruksi apendiks dapat dibedakan menjadi golongan infeksi atau non infeksi. Pada golongan non infeksi terdapat batu fekalit, makanan, mukus terutama pada kistik fibrosis, angulasi apendiks, endometriosis, tumor, atau benda asing. Golongan infeksi dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, parasit, maupun jamur. Golongan ini menimbulkan hiperplasia limfoid atau pada kasus yang jarang dapat juga memicu timbulnya tumor pada apendiks atau sekum. Pengerasan mukus ataupun feses yang menyerupai batu dapat menutup lubang penghubung antara apendiks dan sekum. Jaringan limfa dapat membengkak pada infeksi apendiks sehingga menutup lumen apendiks yang sempit. Hiperplasia limfoid primer ataupun sekunder karena infeksi saluran pernafasan atas, mononukleosis, gastroenteritis, penyakit Chron, ataupun infeksi parasit seperti cacing Oxyuris vermikularis, Schistosoma, dan Strongyloides dapat mengakibatkan obstruksi pada apendiks. Terjadinya obstruksi ini juga dapat dikarenakan oleh benda asing seperti permen karet, kayu, dental amalgam, batu, sisa makanan, barium, maupun metastasis tumor. Tumor primer pada sekum maupun

apendiks juga dapat mengobstruksi apendiks seperti karsinoid tumor, adenokarsinoma, Kaposi sarkoma, dan limfoma Burkitt.

Peranan Lingkungan diet dan higiene Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya appendicitis. Diet memainkan peran utama pada pembentukan sifat feses, yang mana penting pada pembentukan fekalit. Kejadian appendicitis jarang di negara yang sedang berkembang, dimana diet dengan tinggi serat dan konsistensi feses lebih lembek. Kolitis, divertikulitis dan karsinoma kolon adalah penyakit yang sering terjadi di daerah dengan diet rendah serat dan menghasilkan feses dengan konsistensi keras.6 Peranan Obstruksi Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan dalam appendicitis akut. Fekalit merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen apendiks pada 20% anak-anak dengan appendicitis, terjadinya fekalit berhubungan dengan diet rendah serat. Frekuensi obstruksi meningkat sesuai dengan derajat proses inflamasi. Fekalit ditemukan 40% pada kasus appendicitis sederhana (simpel), sedangkan pada appendicitis akut dengan gangren tanpa ruptur terdapat 65% dan appendicitis akut dengan gangren disertai ruptur terdapat 90% .6 Jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks akan mengalami edema dan hipertrofi sebagai respon terhadap infeksi virus di sistem gastrointestinal atau sistem respiratorius, yang akan menyebabkan obstruksi lumen apendiks. Megakolon kongenital terjadi obstruksi pada kolon bagian distal yang diteruskan ke dalam lumen apendiks dan hal ini merupakan salah satu alasan terjadinya appendicitis pada neonatus.6 Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan appendicitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti Entamoeba hystolityca dan benda asing mungkin 13

tersangkut di apendiks untuk jangka waktu yang lama tanpa menimbulkan gejala, namun cukup untuk menimbulkan risiko terjadinya perforasi.6 Secara patogenesis faktor terpenting terjadinya appendicitis adalah adanya obstruksi lumen apendiks yang biasanya disebabkan oleh fekalit. Sekresi mukosa yang terkumpul selama adanya obstruksi lumen apendiks menyebabkan distensi lumen akut sehingga akan terjadi kenaikkan tekanan intraluminer dan sebagai akibatnya terjadi obstruksi arterial serta iskemia. Akibat dari keadaan tersebut akan terjadi ulserasi mukosa sampai kerusakan seluruh lapisan dinding apendiks, lebih lanjut akan terjadi perpindahan kuman dari lumen masuk kedalam submukosa. Dengan adanya kuman dalam submukosa maka tubuh akan bereaksi berupa peradangan supurativa yang menghasilkan pus, keluarnya pus dari dinding yang masuk ke dalam lumen apendiks akan mengakibatkan tekanan intraluminer akan semakin meningkat, sehingga desakan pada dinding apendiks akan bertambah besar menyebabkan gangguan pada sistem vasa dinding apendiks. Mula-mula akan terjadi penekanan pada vasa limfatika, kemudian vena dan terakhir adalah arteri, akibatnya akan terjadi edema dan iskemia dari apendiks, infark seterusnya melanjut menjadi gangren. Keadaan ini akan terus berlanjut dimana dinding apendiks akan mengalami perforasi, sehingga pus akan tercurah kedalam rongga peritoneum dengan akibat terjadinya peradangan pada peritoneum parietale. Hasil akhir dari proses peradangan tersebut sangat tergantung dari kemampuan organ dan omentum untuk mengatasi infeksi tersebut, jika infeksi tersebut tidak bisa diatasi akan terjadi peritonitis umum. Pada anak-anak omentum belum berkembang dengan sempurna, sehingga kurang efektif untuk mengatasi infeksi, hal ini akan mengakibatkan apendiks cepat mengalami komplikasi.6 Peranan Flora Bakterial Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam appendicitis sama dengan penyakit kolon lainnya. Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap appendicitis sederhana. Pada tahap appendicitis supurativa, bakteri aerobik terutama Escherichia coli banyak ditemukan, ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk Proteus, Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Bakteri

aerobik yang paling banyak dijumpai adalah E. coli. Sebagian besar penderita apendicitis gangrenosa atau appendicitis perforasi banyak ditemukan bakteri anaerobik terutama Bacteroides fragilis.6

F.

Klasifikasi Apendisitis (Utara 2008) Apendisitis Akut Sederhana (Cataral Apendisitis) Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen apendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa apendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada apendisitis

15

kataral terjadi leukositosis dan apendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.

Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Apendisitis) Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada apendiks dan mesoapendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tandatanda peritonitis umum.

Apendisitis Akut Gangrenosa Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding apendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.

Apendisitis Infiltrat

Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.

Apendisitis Abses Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekall, dan pelvis.

Apendisitis Perforasi Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah ganggren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.

Apendisitis Kronis Apendisitis kronis merupakan lanjutan apendisitis akut supuratif sebagai proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding apendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.

G. Patogenesis Dan Kriteria Makroskopik Appendicitis Dalam patogenesisnya, terdapat dua faktor yang memegang peranan penting yaitu obstruksi dan infeksi. Setelah terjadi obstruksi lumen apendiks vermiformis akan 17

terbendung. Sekret yang terus menerus dikeluarkan ini akan menyebabkan apendiks vermiformis teregang. Akibat regangan tersebut terjadi tekanan terhadap pembuluh darah sehingga dinding apendiks vermiformis menjadi edema. Karena edema ini resistensi selaput lendir berkurang, terjadi ulserasi juga terjadi invasi dan multiplikasi bakteri pada dinding apendiks vermiformis. Bakteri ini akan menembus mukosa, submukosa dan muskularis yang akan menimbulkan edema, gangguan vaskular dan hiperplasia dari folikel limfoid. Pada akhirnya dapat terjadi trombosis pada aliran vena dengan nekrosis dan perforasi.

Pada fase-fase awal dari apendicitis akut, apendiks vermiformis tampak edema yang terjadi selain karena tekanan terhadap pembuluh-pembuluh juga karena banyak terdapatnya cairan yang meninggalkan kapiler dan masuk kedalam jaringan. Hal ini terjadi karena permeabilitas kapiler yang meningkat. Cairan dari kapiler ini mengandung molekul-molekul protein seperti albumin, globulin, dan fibrinogen. Selain edema, apendiks vermiformis tampak tegang dan terdapat eksudasi netrofil pada mukosa, submukosa. Biasanya keterlibatan mukosa yang paling menonjol. Pada tahap ini pembuluh darah subserosa menjadi kongesti dan mengandung netrofil matang. Kongesti ini terjadi karena vaskular-mikro jaringan melebar yang berisi darah terbendung. Netrofil tersebut kemudian akan migrasi ke perivaskular. Reaksi ini akan mengubah serosa yang mengkilat menjadi suram dan tampak hiperemi. Penampakan makroskopik ini dikenal sebagai apendicitis akut tahap awal (apendicitis akut mukosa) Pada fase awal dari apendicitis dapat terjadi penyembuhan, apendiks vermiformis jarang sekali kembali pada keadaan semula. Biasanya timbul jaringan fibrotik terutama pada daerah mukosa. Resiko terjadinya serangan ulangan kurang lebih 10% dalam waktu 6 bulan dan kurang lebih 50% dalam 5 tahun. Beberapa kasus sembuh secara inkomplit, sel polimorfonuklear diganti dengan mononuklear dan juga terdapat fibrosis pada dinding apendiks vermiformis, terjadilah apendicitis kronis.

Pada tahap selanjutnya eksudasi netrofil pada dinding apendiks vermiformis semakin banyak terutama lekosit polimorfonuklear sampai pada lapisan muskularis. Keadaan ini disebut apendicitis akut flegmonosa. Pada apendicitis akut flegmonosa bisa terdapat fokus-fokus purulen dan nekrosis pada mukosa yang disebut sebagai apendicitis akut nekrotikans. Dengan bertambah buruknya reaksi inflamasi akan terbentuk abses pada dinding, pus dalam lumen serta terjadi ulserasi. Pada tahap ini lapisan serosa biasanya dilapisi oleh eksudat fibrin purulen dan tahap ini disebut apendicitis akut purulenta. Kelanjutan dari reaksi ini adalah apendiks vermiformis tampak lebih merah akibat hiperemi yang berlebihan dan edema dengan tanda-tanda perdarahan dibawah lapisan serosa. Dari luar juga tampak eksudat bercampur fibrin dan mesoapendiks yang membengkak. Rongga apendiks vermiformis juga mengandung pus berwarna merah karena perdarahan. Bersamaan dengan itu terjadi gangren yang berwarna kehitaman karena nekrosis sepanjang dinding sampai lapisan serosa. Tahap ini disebut apendicitis akut gangrenosa dan merupakan keadaan yang dapat berlanjut menjadi ruptur pada apendiks vermiformis. Pada tahap selanjutnya terjadi apendicitis perforata bila apendiks vermiformis telah ruptur dan pus yang terdapat didalam lumen apendiks vermiformis dapat keluar menyebar ke organ-organ lain maupun di dalam fossa apendiks vermiformis yang dapat mengakibatkan peritonitis.

H. Gejala Klinis Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain (4,5,6,7): 1. Nyeri abdominal. Nyeri ini merupakan gejala klasik appendicitis. Mula-mula nyeri dirasakan samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc. Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritoneum biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk. 19

2. 3. 4. 5.

Mual-muntah biasanya pada fase awal. Nafsu makan menurun. Obstipasi dan diare pada anak-anak. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,7-38,3 C. Gejala appendicitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel

dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Karena gejala yang tidak spesifik ini sering diagnosis appendicitis diketahui setelah terjadi perforasi (1,2).

I.

Pemeriksaan Fisik 1. Inspeksi Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendiculer (2,6). 2. Palpasi pada regio iliaka kanan (pada titik Mc Burney) apabila ditekan akan terasa nyeri (nyeri tekan Mc Burney) dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (nyeri lepas Mc Burney). Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah (Nyeri tekan merupakan kunci diagnosis dari appendicitis). Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign). Khusus untuk appendicitis kronis tipe Reccurent/Interval Appendicitis

terdapat nyeri di titik Mc Burney tetapi tidak ada defans muscular sedangkan untuk yang tipe Reccurent Appendicular Colic ditemukan nyeri tekan di apendiks. 1,7 Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal yaitu: Nyeri tekan di Mc. Burney. Nyeri lepas. Defans muscular lokal. Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal (2,5,6). Pada appendix letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri pinggang (2,5,6). 3. Auskultasi Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendicitis perforata (2). Pemeriksaan Colok Dubur Jika daerah infeksi dapat dicapai saat dilakukan pemeriksaan ini, akan memberikan rasa nyeri pada arah jam 9 sampai jam 12. Maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pada appendicitis pelvika kunci diagnosis adalah nyeri terbatas pada saat dilakukan colok dubur. (8,9) Tanda-Tanda Khusus 1. Psoas Sign Dilakukan dengan rangsangan m.psoas dengan cara penderita dalam posisi terlentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, penderita disuruh hiperekstensi atau fleksi aktif. Psoas sign (+) bila terasa nyeri di abdomen kanan bawah (5,6). Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
(8,9)

21

2.

Rovsing Sign Perut kiri bawah ditekan, akan terasa sakit pada perut kanan bawah (5,6).

3.

Obturator Sign Dilakukan dengan menyuruh penderita tidur terlentang, lalu dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul. Obturator sign (+) bila terasa nyeri di perut kanan bawah (5,6). Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang, kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri apendicitis pelvika. 1,7 pada

Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis appendicitis masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan diagnosis lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki. Hal ini dapat disadari mengingat pada perempuan terutama yang masih muda sering mengalami gangguan yang mirip appendicitis. Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit ginekologik lain.Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis appendicitis meragukan, sebaiknya dilakukan observasi penderita di rumah sakit dengan pengamatan setiap 1-2 jam. Foto barium kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi dan laparoskopi bisa meningkatkan akurasi diagnosis pada kasus yang meragukan.6,7

J.

Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi. Pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat (4,7). Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendicitis (4). Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting untuk menilai awal keluhan nyeri kuadran kanan bawah dalam menegakkan diagnosis apenddicitis akut. Pada pasien dengan apendicitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan neutrofil akan meningkat, walaupun hal ini bukan hasil yang karakteristik. Penyakit infeksi pada pelvis terutama pada wanita akan memberikan gambaran laborotorium yang terkadang sulit dibedakan dengan appendicitis akut Pemeriksaan laboratorium merupakan alat bantu diagnosis. Pada dasarnya inflamasi merupakan reaksi lokal dari jaringan hidup terhadap suatu jejas. Reaksi tersebut meliputi reaksi vaskuler, neurologik, humoral dan seluler. Pada anak dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang 23

karakteristik apenddicitis akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung jenis menunjukkan pergeseran kekiri hampir 75%. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis. Pada metode lain dikatakan penderita appendicitis akut bila ditemukan jumlah lekosit antara 12.000-20.000/mm3 dan bila terjadi perforasi atau peritonitis jumlah lekosit antara 20.000-30.000/mm3. Ada juga metode yang menyatakan bahwa kombinasi antara kenaikan angka lekosit dan granulosit adalah yang dipakai untuk pedoman menentukan diagnosa appendicitis akut.
(9,10)

Tes laboratorium untuk appendicitis bersifat kurang spesifik, sehingga hasilnya juga kurang dapat dipakai sebagai konfirmasi penegakkan diagnosa. Jumlah lekosit untuk appendisitis akut adalah >10.000/mm3 dengan pergeseran kekiri pada hemogramnya (>70% netrofil). Sehingga gambaran lekositosis dengan peningkatan granulosit dipakai sebagai pedoman untuk appendicitis akut. Kontroversinya adalah beberapa penderita dengan appendicitis acut, memiliki jumlah lekosit dan granulosit tetap normal.(8,9,10) Marker inflamasi lain yang dapat digunakan dalam diagnosis apenddicitis akut adalah C-reactive protein (CRP). Petanda respon inflamasi akut (acute phase response) dengan menggunakan CPR telah secara luas digunakan di negara maju. Pada appendicitis ditemukan kadar CRP yang meningkat yaitu > 1 mg/dl. Nilai senstifitas dan spesifisits CRP cukup tinggi, yaitu 80-90% dan lebih dari 90%. Pemeriksaan CRP mudah untuk setiap Rumah Sakit didaerah, tidak memerlukan waktu yang lama (5 -10 menit), dan murah. (9,10) Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen. Urinalisa sangat penting pada anak dengan keluhan nyeri abdomen untuk menentukan atau menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kencing. Apendiks yang mengalami inflamasi akut dan menempel pada

ureter atau vesika urinaria, pada pemeriksaan urinalisis ditemukan jumlah sel lekosit 10-15 sel/lapangan pandang. (10) 2. Foto Polos abdomen Pada apendicitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak membantu. Mungkin terlihat adanya fekalit pada abdomen sebelah kanan bawah yang sesuai dengan lokasi apendiks, gambaran ini ditemukan pada 20% kasus. Kalau peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian kanan bawah akan kolaps. Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada daerah kanan bawah abdomen kosong dari udara. Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihak lain. Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke kanan. Gambaran ini tampak pada penderita appendicitis akut. Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan tampak udara bebas di bawah diafragma. Kadang-kadang udara begitu sedikit sehingga perlu foto khusus untuk melihatnya. Untuk appendicitis kronis dapat dilakukan apendikogram, dimana hasil positif bisa berupa Filling defect, Non Filling defect, Parsial, Irreguler, mouse tail. (10) Kalau sudah terjadi peritonitis yang biasanya disertai dengan kantong-kantong pus, maka akan tampak udara yang tersebar tidak merata dan usus-usus yang sebagian distensi dan mungkin tampak cairan bebas, gambaran lemak preperitoneal menghilang, pengkaburan psoas shadow. Walaupun terjadi ileus paralitik tetapi mungkin terlihat pada beberapa tempat adanya permukaan cairan udara (air-fluid level) yang menunjukkan adanya obstruksi. Foto x-ray abdomen dapat mendeteksi adanya fecalith (kotoran yang mengeras dan terkalsifikasi, berukuran sebesar kacang polong yang menyumbat pembukaan apendiks) yang dapat menyebabkan appendicitis. Ini biasanya terjadi pada anak-anak. Foto polos abdomen supine pada abses appendik kadang-kadang memberi pola bercak udara dan air fluid level pada posisi berdiri/LLD (decubitus), kalsifikasi bercak rim-like (melingkar) sekitar perifer mukokel yang asalnya dari apendiks. Pada appendicitis akut, kuadran kanan bawah perlu diperiksa untuk mencari appendikolit: kalsifikasi bulat lonjong, sering berlapis. (10) Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium enema hanya digunakan pada kasus-kasus menahun. Pemeriksaan radiologi dengan barium enema dapat menentukan 25

penyakit lain yang menyertai appendicitis. Barium enema adalah suatu pemeriksaan x-ray dimana barium cair dimasukkan ke kolon dari anus untuk memenuhi kolon. Tes ini dapat seketika menggambarkan keadaan kolon di sekitar apendiks dimana peradangan yang terjadi juga didapatkan pada kolon. Impresi ireguler pada basis sekum karena edema (infiltrasi sehubungan dengan gagalnya barium memasuki apendiks (20% tak terisi). Terisinya sebagian dengan distorsi bentuk kalibernya tanda appendicitis akut, terutama bila ada impresi sekum. Sebaliknya lumen apendiks yang paten menyingkirkan diagnosa appendicitis akut. Bila barium mengisi ujung apendiks yang bundar dan ada kompresi dari luar yang besar di basis sekum yang berhubungan dengan tak terisinya apendiks tanda abses apendiks. Barium enema juga dapat menyingkirkan masalah-masalah intestinal lainnya yang menyerupai apendiks, misalnya penyakit Chron, inverted appendicel stump, intususepsi, neoplasma benigna/maligna. (10) 3. Abdominal X-Ray Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendicitis. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak (4). 4. USG Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya (4). Ultrasonografi telah banyak digunakan untuk diagnosis appendicitis akut maupun appendicitis dengan abses. Untuk dapat mendiagnosis appendicitis akut diperlukan keahlian, ketelitian, dan sedikit penekanan transduser pada abdomen. Apendiks yang normal jarang tampak dengan pemeriksaan ini. Apendiks yang meradang tampak sebagai lumen tubuler, diameter lebih dari 6 mm, tidak ada peristaltik pada penampakan longitudinal, dan gambaran target pada penampakan transversal. Keadaan awal appendicitis akut ditandai dengan perbedaan densitas pada lapisan apendiks, lumen yang utuh, dan diameter 9 11 mm. Keadaan apendiks supurasi atau gangren ditandai dengan distensi lumen oleh cairan, penebalan dinding apendiks dengan

atau tanpa apendikolit. Keadaan apendiks perforasi ditandai dengan tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan bebas intraperitonial, dan abses tunggal atau multipel.
(10)

Akurasi ultrasonografi sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan kemampuan pemeriksa. Pada beberapa penelitian, akurasi antara 90 94%, dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85 dan 92%. Pemeriksaan dengan Ultrasonografi (USG) pada appendicitis akut, ditemukan adanya fekalit, udara intralumen, diameter apendiks lebih dari 6 mm, penebalan dinding apendiks lebih dari 2 mm dan pengumpulan cairan perisekal. Apabila apendiks mengalami ruptur atau perforasi maka akan sulit untuk dinilai, hanya apabila cukup udara maka abses apendiks dapat diidentifikasi. (10)

USG dapat mengidentifikasi appendik yang membesar atau abses. Walaupun begitu, appendik hanya dapat dilihat pada 50% pasien selama terjadinya appendicitis. Oleh karena itu, dengan tidak terlihatnya apendiks selama USG tidak menyingkirkan adanya appendicitis. USG juga berguna pada wanita sebab dapat menyingkirkan adanya kondisi yang melibatkan organ ovarium, tuba falopi dan uterus yang gejalanya menyerupai appendicitis. Hasil USG dapat dikatagorikan menjadi normal, non spesifik, kemungkinan penyakit kelainan lain, atau kemungkinan appendik. Hasil USG yang tidak spesifik meliputi adanya dilatasi usus, udara bebas, atau ileus. Hasil USG dikatakan kemungkinan appaendik jika ada pernyataan curiga atau jika ditemukan dilatasi appendik di daerah fossa iliaka kanan, atau dimana USG di konfirmasikan dengan gejala klinik dimana kecurigaan appendicitis. (9,10) 5. Barium enema Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.(4) 5. CT-Scan

27

Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi abses.(4,5) Pada keadaan normal apendiks, jarang tervisualisasi dengan pemeriksaan ini. Gambaran penebalan dinding apendiks dengan jaringan lunak sekitar yang melekat, mendukung keadaan apendiks yang meradang. CT-Scan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90100% dan 9697%, serta akurasi 94100%. CT-Scan sangat baik untuk mendeteksi apendiks dengan abses atau flegmon. Pada pasien yang tidak hamil, CT-scan pada daerah appendik sangat berguna untuk mendiagnosis appendicitis dan abses periappendikular sekaligus menyingkirkan adanya penyakit lain dalam rongga perut dan pelvis yang menyerupai appendicitis.(9,10)

6.

Laparoscopi Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara langsung.Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix.(4) 7. Histopatologi Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk diagnosis appendicitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai gambaran histopatologi appendicitis akut. Perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa belum adanya kriteria gambaran histopatologi appendicitis akut secara universal dan tidak ada gambaran histopatologi apendicitis akut pada orang yang tidak dilakukan operasi. Dari hasil penelitian variasi diagnosis histopatologi appendisitis akut diperoleh kesimpulan bahwa diperlukan adanya komunikasi antara ahli patologi dan antara ahli patologi dengan ahli bedahnya. (10) Definisi histopatologi appendicitis akut:

1. Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di lapisan epitel.

2. Abses pada kripte dengan sel granulosit di lapisan epitel. 3. Sel granulosit dalam lumen apendiks dengan infiltrasi ke dalam lapisan epitel. 4. Sel granulosit di atas lapisan serosa apendiks dengan abses apendikuler, dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa. 5. Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses mukosa dan keterlibatan lapisan mukosa, bukan appendicitis akut tetapi periappendicitis. Sistem skor Alvarado Diagnosis apendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya berdasarkan gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya komunikasi antara anak, orang tua dan dokter. Anak belum mampu untuk mendiskripsikan keluhan yang dialami, suatu hal yang relatif lebih mudah pada umur dewasa. Keadaan ini menghasilkan angka apendektomi negatif sebesar 20% dan angka perforasi sebesar 20-30% (Ramachandran, 1996). Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk menurunkan insidensi apendektomi negatif, salah satunya adalah dengan instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif (Seleem; Amri dan Bermansyah, 1997). Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala , tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan untuk menilai derajat keparahan apendisitis. Dalam sistem skor Alvarado ini menggunakan faktor risiko meliputi migrasi nyeri, anoreksia, nausea dan atau vomitus, nyeri tekan di abdomen kuadran kanan bawah, nyeri lepas tekan, temperatur lebih dari 37,20C, lekositosis dan netrofil lebih dari 75%. Nyeri tekan kuadran kanan bawah dan lekositosis mempunyai nilai 2 dan keenam sisanya masing-masing mempunyai nilai 1, sehingga kedelapan faktor ini memberikan jumlah skor 10 (Alvarado, 1986; Rice, 1999). Skor Alvarado Faktor Risiko ~ migrasi nyeri ~ nausea dan vomitus ~ anoreksia Skoring 1 1 1 29

Tanda ~ nyeri bawah kuadran kanan 2 1 1

~ nyeri lepas tekan ~ temperatur > 37,20C Laboratorium ~ angka lekosit > 10.000 ~ persentase netrofil > 75% Total Skor Nilai : < 4 kronis 4 7 ragu-observasi > 7 akut

2 1 10

Penelitian yang dilakukan oleh Amri dan Bermansyah (1997) mengenai skor Alvarado pada diagnosis apendisitis akut dengan skor pembatas (cut off point) 6, didapatkan sensitivitas: 90,90% dan spesifisitas: 75,75% dengan akurasi diagnostik: 83,33%, Tranggono (2000) melaporkan dengan memakai skor pembatas (cut off point) 7 didapatkan sensitivitas: 71,43% dan spesifisitas: 69,09% dengan akurasi diagnostik 69,74%. Sedangkan Fenyo melaporkan sensitivitas: 90,20% dan spesifisitas: 91,40%. Berdasarkan skoring terhadap faktor risiko yang digunakan dalam sistem skor Alvarado seperti tertulis di atas maka dapat diasumsikan bahwa semakin lengkap gejala, tanda dan pemeriksaan laboratorium yang muncul atau keberadaannya positif maka skor Alvarado akan semakin tinggi, mendekati 10, ini mengarahkan kepada apendisitis akut atau apendisitis perforasi. Demikian pula sebaliknya jika semakin tidak lengkap maka skor Alvarado semakin rendah, mendekati 1, ini mengarahkan kepada apendisitis kronis atau bukan apendisitis. Skor Alvarado adalah sistem skoring yang didasarkan pada gejala dan tanda klinis apendisitis akut, telah banyak dipergunakan. Pada tulisan aslinya, Alvarado

merekomendasikan untuk melakukan operasi pada semua pasien dengan skor 7 atau lebih dan melakukan observasi untuk pasien dengan skor 5 atau 6. Andersson, dalam studi meta-analisis gejala klinis dan laboratorium mendapatkan hasil bahwa riwayat nyeri berpindah (migration pain) dari umbilikus dan reaksi peritoneal (nyeri tekan kanan bawah, nyeri lepas/Rebounds sign, Rovsings sign) adalah informasi diagnostik apendisitis akut yang penting (Andersson, 2004)

K.

Diagnosis Banding 1. Gastroenteritis Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendicitis.(2) 2. Limfadenitis mesenterica Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan disertai dengan perasaan mual dan muntah.
(2)

3. Peradangan pelvis Tuba Fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendix. Radang kedua oergan ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau adnecitis.Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak sexsual. Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendicitis dannyeri perut bagian bawah lebih difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus diayunkan maka akan terasa nyeri. (2,3) 4. Kehamilan Ektopik Ada riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak menentu. Jika terjadi ruptur tuba atau abortus diluar rahim dengan perdarahan akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan kavum Douglas, dan pada kuldosentesis akan didapatkan darah. (2) 31

5.

Diverticulitis Meskipun diverticulitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadang-kadang dapat juga terjadi disebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan ruptur pada diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-gejala appendicitis. (3)

6.

Batu Ureter atau Batu Ginjal Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalarr ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi intravena dapat memestikan penyakit tersebut. (2)

L.

Penatalaksanaan Bila diagnosis appendicitis akut telah ditegakkan, maka harus segera dilakukan appendektomi. Hal ini disebabkan perforasi dapat terjadi dalam waktu < 24 jam setelah onset appendicitis. Penundaan tindakan pembedahan ini sambil diberikan antibiotik dapat mengakibatkan terjadinya abses atau perforasi (1,5,7) Appendectomi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara terbuka dan laparoscopi. Dengan cara terbuka dilakukan insisi di abdomen kanan bawah kemudian ahli bedah mengeksplorasi dan mencari appendix yang meradang.Setelah itu dilakukan pengangkatan appendix, dan abdomen ditutup kembali. Tindakan laparoscopi merupakan suatu tehnik baru untuk mengangkat appendix dengan menggunakan lapariscop.Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus yang meragukan dalam menegakkan diagnosis appendicitis. Pada appendicitis tanpa komplikasi biasanya tidak diperlukan pemberian antibiotik, kecuali pada appendicitis perforata.(1,2,3,4)

BAB III RINGKASAN Appendicitis adalah peradangan pada appendix yang disebabkan oleh obstruksi dan infeksi.Diagnosis appendicitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.Keterlambatan dalam mendiagnosis dan melakukan tindakan dapat menyebabkan terjadinya abses atau perforasi.Penatalaksanaan appendicitis dilakukan dengan tindakan appendectomi, yaitu suatu tindakan bedah dengan mengangkat appendix.Appendectomi dapat dilakukan dengan cara terbuka atau dengan laparoscopi

33

DAFTAR PUSTAKA

1. Helwick, CA, Appendicitis, Gale Encytopedia of medicine. htm. 2. Hamami, AH, dkk, Usus Halus Appendiks, Kolon, dan Anorektum, dalam Sjamsuhidajat, R, De jong. W, Buku Ajar Ilmu bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1997, hal 865-75. 3. Anonim, Appendectomy, Medicine Net. Com. 4. Anonim, Appendicitis, Medicine Net. Com. 5. Anonim, Appendicitis, The Merck Manual Sec 3, htm. 6. Orourke. R, Acute Appendicitis, The Iowaclinic. Com. 7. Anonim, Appendicitis, The Merck Manual, Sec 9, htm. 8. Sjamsuhidajat, R dan de Jong, Wim. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

9. Hardin, Mike. 1999. Acute Appendicitis Review and Update. Retrieved May 22, 2009, from American Academy of Family Physicians.: http://www.aafp.org/afp/991101ap/2027.htm

10. Bedah Digestif. 2008. Apendicitis akut. Retrieved May 22, 2010, from Ilmu Bedah UGM: http://bedahugm.net/Bedah-Digesti/Apendicitis-akut.html

11. Craig, Sandy. 2008. Appendicitis, Acute. Retrieved May 22, 2010, from eMedicine : http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview

Anda mungkin juga menyukai