Anda di halaman 1dari 8

Pandangan Hidup Islam dan Kapitalisme Barat

By Admin 1 - Sat Mar 09, 1:15 am 0 Comments 0 views Edited byAdmin 1 Also Wrote Pandangan Hidup Islam dan Kapitalisme Barat Menyoal Murabahah dalam Bank Syariah Telah Hadir Media Online MISIEC Zakat Produktif, Solusi Entaskan Kemiskinan Video:Video Test

Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi (Direktur INSISTS dan Ketua MIUMI Pusat) Kajian tentang Islam dalam konteks ideologi dan peradaban modern, khususnya Barat memerlukan suatu pendekatan baru yang seimbang sehingga memungkinkan adanya suatu kajian perbandingan. Sebab Islam tidak dapat dibandingkan dengan ideologi ataupun peradaban lain kecuali ia diletakkan sebagai ideologi dan peradaban pula. Dalam era globalisasi dan perang pemikiran dewasa ini kajian tentang identitas suatu ideologi atau peradaban sangat diperlukan. Dan identitas itu dapat ditemukan secara fundamental melalui teori pandangan hidup (worldview), yang sejatinya merupakan asas dari setiap peradaban. Kajian dengan menggunakan teori worldview ini sangat penting sebab pertama, dengan menggunakan worldview identitas agama-agama dalam proses globalisasi dapat ditegaskan secara komprehensif. Kedua, dengan teori worldview upaya-upaya teoritis untuk menyamakan Islam dengan atau membedakannya dari ideology dan peradaban lain secara ekstrim dapat dihindarkan. Ketiga dengan menyadari perbedaan antar peradaban berdasarkan worldview maka benturan peradaban (clash of civillization) dapat direduksi menjadi kesadaran akan adanya pluralitas peradaban yang saling menghormati. Ideologi modern yang dominan saat ini adalah kapitalisme. Kapitalisme kini tidak hanya diartikan sebagai sistim ekonomi yang menjunjung kepemilikan pribadi yang tak terbatas, pasar bebas, pemisahan negara dan kegiatan bisnis dan sebagainya, tapi merupakan suatu pandangan hidup yang disebut the capitalist worldview dan menghasilkan apa yang disebut Joseph A Schumpeter sebagai The Civilization of Capitalism. Ketika kebudayaan Kapitalisme ini dipasarkan keseluruh dunia secera imperialistis ia tidak hanya sebagai sebuah sistim ekonomi tapi telah merupakan tata nilai, tata social, kultur masyarakat dan bahkan gaya hidup masyarakat modern. Ketika Samuel Huntington menyatakan bahwa konflik paska perang dingin bukan lagi ideologis, politik atau ekonomi tapi kultural temasuk bahasa, sejarah, nilai, adat istiadat, dan yang paling penting adalah agama, sebenarnya ia berbicara tentang ancaman terhadap kapitalisme Barat. Sebab identitas kultural Barat bukanlah agama, tapi The Civilization of Capitalism, sedangkan identias Islam dilihat hanya sebagai agama, padahal sejatinya ia adalah agama dan peradaban. Oleh sebab itu asumsi ini

perlu dirubah yaitu bahwa konflik antara Barat dan Islam adalah konflik worldview atau dalam istilah Peter Berger adalah benturan persepsi (collision of consciousness). Sebab matrik worldview lebih umum dan menyangkut setiap agama, bangsa, dan peradaban. Oleh sebab itu makalah ini tidak hendak membedakan antara Islam dan sistim ekonomi kapitalis karena keduanya merupakan entitas yang berbeda. Tidak juga akan membedakan sistim ekonomi Islam dan sistim ekonomi kapitalis, karena keterbatasan otoritas penulis. Makalah ini akan mencoba menjelaskan perbedaan pandangan hidup (worldview) yang dibawa oleh Islam dan yang dilahirkan oleh Kapitalisme Barat. Untuk memahami konsep pandangan hidup (worldview) perlu dijelaskan terlebih dulu pengertian pandangan hidup umum dan Islam, elemen-elemennya, dan karakteristiknya, kemudian melacak esensi pandangan hidup Barat dan juga kapitalisme. Artilek lebih lanjut dapat di download KLIK DISINI Pasword mizan2012 Red : Elvan Syaputra

Kapitalisme dalam Islam

Sebagai salah satu mahzab ekonomi, kapitalisme seringkali diidentikkan sebagai hasil pemikiran dunia barat. Kapitalisme pada prinsipnya merupakan sistem ekonomi yang menyerahkan mekanisme kegiatan perekonomian kepada individuindividu (seringkali disebut swasta) untuk mengontrol dan memperbanyak kekayaan dan harta miliknya. Adam Smith dengan laizze faire-nya (biarkan saja bahasa Prancis) merupakan ekonom yang berpendapat agar setiap orang diberi kebebasan dalam menyelenggarakan kegiatan ekonomi. Menurut Smith, kebebasan merupakan cara paling ideal bagi penyelenggaraan kegiatan ekonomi yang muaranya berada pada kemakmuran individu. Sampai disini jelaslah bahwa harta dan kekayaan pribadi dapat dianggap sebagai ruhnya kapitalisme, karena harta dan kekayaan pribadi merupakan hulu sekaligus hilir yang menyertai kapitalisme. 1) Sebagai hulu karena harta dan kekayaan pribadi merupakan kepentingan satu-satunya yang melahirkan kapitalisme. 2) Sekaligus hilir, karena bertambahnya harta dan kekayaan pribadi merupakan tujuan kapitalisme. Ruh kapitalisme tersebut, dalam pandangan barat, disebut sebagai property right. Jika ditilik dalam islam, agama profetik-monoteistik tersebut tidak secara spesifik memperkenalkan konsep ekonomi tertentu. Akan tetapi, ada banyak ayat dalam Al Quran yang mengindikasikan mengenai kegiatan ekonomi, seperti jual beli, hutang dan pinjaman (QS. 2 : 282), riba (QS. 2 : 275), dan zakat (QS. 9 : 103). Property right sebagai ruhnya kapitalisme yang lahir pada abad ke 15, justru sudah dikenal dalam agama islam sejak abad ke 7. Secara tersirat dalam QS. 62 : 10 dan 73 : 20, umat islam didorong untuk berusaha mencari

dan mengumpulkan harta kekayaan. Bahkan jihad fi sabillah disandangkan kepada orang yang bekerja mencari serta mengumpulkan harta kekayaan untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Dalam konteks dorongan manusia untuk mencari nafkah, Al Quran berpandangan bahwa kerja adalah ukuran yang menentukan posisi dan status seseorang dalam kehidupan. Dengan bekerja dan bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya maka seseorang akan bertambah martabat serta kemuliannya. Sebaliknya, orang yang tidak bekerja alias menganggur, selain kehilangan martabat dan harga diri di hadapan dirinya sendiri, juga di hadapan orang lain. Terlebih untuk tindakan mengemis, dianggap sebagai kehinaan baik dalam pandangan manusia maupun dihadapan Allah SWT. Oleh karena pentingnya untuk bekerja bagi umat islam, maka tak heran jika Umar bin Khaththab pernah menghalau orang yang berada di masjid agar keluar untuk mencari nafkah. Umar tak suka melihat orang yang pada siang hari tetap asyik duduk di masjid, sementara sang mentari sudah terpancar bersinar. Disamping dorongan manusia untuk mencari nafkah, islam juga menaruh perhatian dalam memerangi kemiskinan. Dalam Al Qur'an kata miskin dan masakin disebut sampai 25 kali, sementara faqir dan fuqoro sampai 14 kali. Allah SWT berfirman "berikanlah makan kepada orang yang lagi faqir" (QS. 22 : 8). Selain ayat tersebut, dalam Al Quran masih banyak ayatayat lain yang mengatakan untuk memberikan bantuan kepada fakir miskin. Untuk memberikan bantuan kepada fakir miskin, islam mengenalkan dua metode, yaitu zakat dan sedekah. Perbedaan keduanya didasarkan pada waktu, untuk zakat ada ketentuan waktu pelaksanaannya, sedangkan sedekah adalah sebaliknya. Menurut pandangan islam, kemiskinan memiliki dampak yang berbahaya. Panutan umat islam, Nabi Muhammad SAW pernah memperingatkan kaum muslimin dengan bersabda kefakiran dapat mengakibatkan kekufuran. Peringatan tersebut bertujuan agar umat islam menjaga diri serta saudaranya dari kemiskinan karena kemiskinan yang menimpa seseorang atau suatu bangsa akan berakibat rusaknya aqidah, moral serta retaknya keluarga dan masyarakat bahkan negara. Dengan banyaknya dorongan bagi umat islam untuk bekerja serta memerangi kemiskinan, maka dapat dikatakan bahwa spirit kapitalisme pada dasarnya terkandung dalam ajaran Nabi Muhammad SAW. Spirit kapitalisme tersebut dimanifestasikan dalam bentuk usaha perdagangan. Sebagaimana diketahui, mata pencaharian (mencari nafkah) yang memiliki kedudukan istimewa dalam islam adalah usaha perdagangan. Bahkan, Nabi Muhammad SAW panutan sempurna umat islam, dikenal sebagai pedagang yang brilian dan memiliki reputasi

yang bagus. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Al-Ashbahani, Nabi Muhammad SAW bersabda Sesungguhnya sebaikbaik usaha adalah usaha perdagangan yang apabila mereka berbicara tidak berdusta, jika berjanji tidak menyalahi, jika dipercaya tidak khianat, jika membeli tidak mencela produk, jika menjual tidak memuji-muji barang dagangan, jika berhutang tidak melambatkan pembayaran, jika memiliki piutang tidak mempersulit (H.R.Baihaqi dan dikeluarkan oleh As-Ashbahani). Dalam hadist lain, Nabi Muhammad SAW bersabda Hendaklah kamu berdagang, karena di dalamnya terdapat 90 % pintu rezeki (H.R.Ahmad). Selama lebih dari 20 tahun menjalankan usaha perdagangannya, Nabi Muhammad SAW berpegang teguh pada dua prinsip dasar, yakni jujur dan benar. Kedua prinsip itulah yang kemudian melekat pada diri Muhammad sebagai Al Amin dan As Shidiq. Pada masa sekarang, dalam dunia business dikenal adanya prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik yang dikenal sebagai Good Corporate Governance (GCG), yang meliputi accountability (akuntabilitas), fairness (adil), transparency (transparan), dan responsibility (bertanggungjawab). Good Corporate Governance (GCG) merupakan pedoman dasar bagi setiap pelaku ekonomi dalam menjalankan kegiatannya guna mencari keuntungan yang bermuara pada kemakmuran individu sebagai golden goal-nya. Apabila disandingkan, maka dapat segera diketahui bahwasanya kedua prinsip perdagangan Nabi Muhammad SAW sudah mengakomodir pedoman Good Corporate Governance (GCG). Pertama, prinsip jujur apabila di breakdown dapat meliputi transparency dan accountability sebagaimana dimuat dalam pedoman Good Corporate Governance (GCG). Kejujuran Nabi Muhammad SAW dalam menjalankan usaha perdagangan dapat diketahui dengan tidak dilakukannya praktek-praktek perdagangan yang mengandung unsur penipuan, judi, dan ketidakpastian. Kedua, prinsip benar jika diturunkan meliputi fairness dan responsibility. Dalam prinsip benar, Nabi Muhammad SAW menjalankan perdangangan yang tidak terdapat unsur riba, tidak melakukan eksploitasi dan pengambilan untung yang berlebihan. Justru Nabi Muhammad SAW mempelopori standardisasi timbangan dan ukuran. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW pada hakekatnya telah meletakkan prinsip-prinsip sistem manajemen bisnis (kapitalis) modern. Maka tidak mengherankan jika usaha perdagangan Nabi Muhammad SAW mampu melakukan ekspansi hingga Yaman, Syria, Busrah, Iraq, Yordania dan kota-kota perdagangan di jazirah Arab.

Oleh karena itu, pada dasarnya islam sejak awal kelahirannya sudah mengenal kapitalisme. Fakta bahwa etika mengenai kerja, kekayaan dan kepemilikan, perdagangan, keuangan, industri, dan berbagai inovasi tehnologi yang berkembang pesat pada masa-masa kejayaan Islam membuktikan bahwa norma kapitalisme tumbuh subur dalam budaya ekonomi Islam. Salah satu bukti kemajuan ekonomi kapitalis pada masa kejayaan islam adalah pada masa pemerintahan Abdurrahman III diperoleh pendapatan sebesar 12,045,000 dinar emas. Diduga kuat bahwa jumlah tersebut melebihi pendapatan pemerintahan negeri-negeri Masehi Latin jika digabungkan. Sumber pendapatan yang besar tersebut bukan berasal dari pajak yang tinggi, melainkan salah satu pengaruh dari pemerintahan yang baik serta kemajuan pertanian, industri, dan pesatnya aktivitas perdagangan. Tidak mengherankan jika ilmuwan barat menyebut kota-kota semacam Granada, Cordoba, Baghdad, Damaskus dan kota-kota besar Islam lainnya adalah sama dengan Paris, London, atau Washington pada masanya. Mereka adalah kota-kota metropolitan dan pusat-pusat kapitalisme dunia. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa prinsip property right sebagai ruhnya kapitalisme yang diklaim sebagai hasil pemikiran dunia barat pada abad ke 15 sesungguhnya sudah dikumandangkan islam sejak abad ke 7 melalui ajaran Nabi Muhammad SAW. Dorongan bekerja mencari nafkah dan memberantas kemiskinan merupakan fakta adanya spirit kapitalisme dalam islam. Masa kejayaan islam dengan corak ekonomi kapitalisme membuktikan prinsip Al Amin dan As shidiq dari zaman Nabi Muhammad SAW merupakan pondasi utama kapitalisme dalam islam dan didalamnya sudah mengandung nilai-nilai Good Corporate Governance (GCG) yang baru diperkenalkan oleh dunia barat pada akhir tahun 90-an. Berpijak pada kesempurnaan kapitalisme dalam islam, maka sudah seharusnya umat islam terdorong mencari harta kekayaan sebanyak-banyak dengan tetap memegang teguh prinsip Al Amin dan As Shidiq. Jika itu tidak dilakukan, nampaknya diperlukan Umar bin Khaththab modern guna memberikan ketegasan bahwa hukumnya wajib bagi tiap-tiap individu islam untuk mencari sebanyak mungkin karunia Allah SWT di dunia !. Islam dan Kapitalisme oleh Ulil Abshar-Abdalla

Cerita tentang Islam yang mempunyai banyak ekspresi bukanlah hal yang baru. Sejak dulu, agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia ini memiliki pelbagai ragam manifestasi pada banyak level. Pada level doktrin dan keyakinan (teologis), sejak dulu ada banyak sekte dalam Islam: Sunni, Syiah, Mutazilah, dsb. Pada mazhab hukum, ada banyak kelompok Islam: Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Pada level kecenderungan intelektual, ada banyak trend dalam Islam: ada Islam model kaum fuqaha, ada Islam model kaum sufi, ada Islam model kaum filsuf yang banyak memakai pendekatan rasional. Cerita tentang Islam yang mempunyai banyak ekspresi bukanlah hal yang baru. Sejak dulu, agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia ini memiliki pelbagai ragam manifestasi pada banyak level. Pada level doktrin dan keyakinan (teologis), sejak dulu ada banyak sekte dalam Islam: Sunni, Syiah, Mutazilah, dsb. Pada mazhab hukum, ada banyak kelompok Islam: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Pada level kecenderungan intelektual, ada banyak trend dalam Islam: ada Islam model kaum fuqaha, ada Islam model kaum sufi, ada Islam model kaum filsuf yang banyak memakai pendekatan rasional. Pada level kehidupan sehari-hari, ada banyak ragam model Islam juga. Ada Islam tekstual sebagaimana digeluti oleh para sarjana yang biasa bekerja dengan teks, ada juga Islam populer yang kerap bercampur dengan tradisi-tradisi setempat yang begitu beragam. Bagi kalangan Islam yang biasa bergelut dengan teks-teks standar, Islam populer itu biasanya dianggap menyimpang, karena bercampur dengan tradisi pra-Islam. Jika kalangan Islam tekstual cenderung memurnikan Islam dari pengaruh budaya-budaya populer, Islam populer justru mengembangkan corak keberagamaan yang menyerap budaya-budaya itu -apa yang sering disebut sebagai inkulturasi. Perubahan watak ruang sosial juga punya pengaruh yang besar dalam pluralisasi atau proses peragaman Islam itu. Dalam ruang sosial yang otoriter di mana kebebasan dibatasi, sebagaimana kita lihat pada era Orde Baru dulu, corak keragaman Islam lebih terkontrol. Pada era itu, corak Islam yang politis selalu diawasi dan dibatasi geraknya, karena bisa mengganggu keamanan nasional. Dalam ruang demokratis yang terbuka seperti kita alami saat ini, corak Islam mengalami pluralisasi yang kian akut dan intensif. Buku yang disunting Greg Fealy dan Sally White, Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia (2008), merekam dengan baik proses pluralisasi Islam pasca-reformasi itu. Baru-baru ini, buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Komunitas Bambu dengan judul yang lumayan seksi, Ustadz Seleb, Bisnis Moral, dan Fatwa Online. Salah satu gejala menarik yang dipotret buku itu ialah komersialisasi agama. Istilah ini tak harus berkonotasi negatif. Gejala komersialisasi bukanlah khas Islam saja. Hampir dalam semua agama besar dunia, kita melihat gejala komersialisasi agama. Tetapi ada juga kalangan lain yang melihat gejala ini secara negatif, karena ia bisa menimbulkan pendangkalan agama. Apa yang disebut dengan komersialisasi, mengutip definisi Greg Fealy dalam buku itu, adalah usaha menjadikan ajaran agama atau simbol-simbolnya yang kasat mata sebagai komoditi yang bisa diperjual-belikan untuk meraih keuntungan (the turning of faith and its symbols into commodity capable of being bought and sold for profit). Gejala ini tentu saja bukan saja khas era saat ini. Sejak dulu, komersialisasi agama dalam pengertian mengkonsumsi simbol-simbol agama seperti pakaian dan asesori lain sudah ada. Tetapi ada yang khas pada gejala komersialiasi agama di zaman kapitalisme

global sekarang ini. Salah satu yang khas pada komersialisasi saat ini adalah kemampuan simbol-simbol Islam untuk melakukan penetrasi terhadap ekonomi kapitalis dan menjadikan modus ekonomi tersebut sebagai wahana untuk memperjual-belikan simbol-simbol agama secara massif. Salah satu kasus yang menarik adalah jilbab. Semula, jilbab adalah simbol kesalehan agama. Tetapi saat ini, jilbab bukanlah sekedar simbol kesalehan, tetapi juga bagian dari fashion atau mode. Apakah salah menjadikan pakaian agama sebagai mode? Tentu saja tidak. Jika ada yang menjadikan batik sebagai mode, kenapa jilbab tak boleh menjadi mode? Sektor lain di mana Islam yang telah mengalami komoditisasi (komodifikasi?) itu melakukan penetrasi terhadap ekonomi kapitalis adalah perbankan. Saat ini, apa yang disebut sebagai bank Islam atau bank syariah bukan hal yang aneh lagi. Jasa pelayanan Islamic finance bukan saja disediakan oleh bank yang jelas-jelas menyebut dirinya sebagai bank syariah, tetapi juga oleh bank-bank konvensional. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter tertinggi di negeri kita juga sudah menyediakan payung hukum bagi praktek bank Islami ini. Tak ada perbedaan mendasar antara praktek bank biasa dan bank syariah kecuali dalam satu hal, yaitu soal bunga. Jika bank konvensional memungut bunga, maka bank syariah menolak praktek bunga, meskipun ada sejumlah kiat yang dilakukan untuk meraih fee (=bunga?) dengan cara yang tak bertentangan dengan ajaran Islam. Praktek bank syariah ini dengan cukup baik memperlihatkan bahwa tak ada kontradiksi antara Islam dan kapitalisme. Praktek-praktek ekonomi dan bisnis kapitalistik bisa dimodifikasi begitu rupa oleh aktivis dan sarjana Muslim untuk menampung sejumlah ajaran Islam. Ini berkebalikan dengan praktek yang ada pada dekade 50an dan 60an di mana ada upaya dari banyak kalangan saat itu untuk memodifikasi Islam agar cocok dengan corak ekonomi sosialistis yang etatistik (melibatkan peran yang besar dari negara). Bahkan model pemasaran khas yang disebut dengan MLM (multi-level marketing) juga diadopsi oleh para praktisi bisnis Muslim. Kita selama ini mengenal jaringan MLM raksasa seperti Amway atau CNI. Tetapi, kita juga menjumpai praktek MLM yang memakai merek Islam, seperti Ahad-Net (dengan tokoh utamanya Ateng Kusnadi) dan MQ-Net yang didirikan oleh dai kondang Abdullah Gymnastiar alias Aa Gym. Yang menarik, di samping praktek ekonomi kapitalistik yang memakai merek Islam ini, kita, pada saat yang sama, juga menjumpai sekelompok aktivis Islam yang mengutuk kapitalisme (juga demokrasi) sebagai praktek yang mereka anggap berlawanan secara kategoris dengan Islam, seperti kelompok Hizbut Tahrir, misalnya. Kritik pada kapitalisme tentu bukan dimonopoli kelompok ini. Kita kerap menjumpai retorika yang anti-kapitalisme dari sejumlah penulis, dai, atau penceramah Muslim. Lepas dari kritik-kritik ini, mulai dari yang keras sampai yang moderat, fakta memperlihatkan bahwa praktek ekonomi kapitalisme banyak diadopsi secara nyaris harafiah oleh praktisi bisnis Muslim, tentu dengan melakukan modifikasi seperlunya, plus simbol atau merek Islam (biasanya memakai istilah Arab). Apakah pelajaran yang patut diambil dari fenomena komersialisasi atau komditisasi Islam ini? Ialah berikut ini: bahwa baik modus ekonomi kapitalisme maupun Islam memperlihatkan kelenturan tertentu untuk saling menampung. Hubungan antara keduanya tidak sekontradiktoris seperti yang dikesankan oleh banyak retorika anti-kapitalisme sebagian kalangan Muslim selama ini.

Anda mungkin juga menyukai