Agussalim
Pertama, pertumbuhan ekonomi (economic growth) yang dicapai oleh sejumlah negara
selama 2-3 dekade, ternyata tidak serta-merta diiringi dengan pemerataan dan perbaikan
distribusi pendapatan. Angka (koefisien) ketimpangan distribusi pendapatan di banyak
negara cenderung tidak bergeser secara signifikan selama beberapa dekade.
Kedua, kenaikan Gross Domestic Product (GDP) dan income percapita secara konsisten
selama periode yang sama di banyak negara, ternyata gagal pula mereduksi jumlah
penduduk miskin. Bahkan angka penduduk miskin nampak lebih menunjukkan trend
yang kian meningkat daripada menurun. Bank Dunia mencatat bahwa sedikitnya 3 (tiga)
milyar penduduk bumi masih berada dalam kemiskinan (memperoleh pendapatan kurang
dari US$ 2 per hari) (WDR, 2003).
Ketiga, perhatian yang berlebihan terhadap modal, investasi, dan berbagai aspek finansial
lainnya, ternyata justru melahirkan praktek konglomerasi dan menciptakan enclave
ekonomi. Muncul gejala dalam perekonomian, dimana sumberdaya dan asset hanya
memusat pada segelintir kecil orang, kepemilikan usaha menumpuk pada jumlah orang
dengan hitungan jari, persaingan usaha tumbuh secara tidak sehat karena adanya
privilege kepada pelaku ekonomi tertentu, dan munculnya kantong-kantong ekonomi
dengan wajah dualistik: makmur vs kumuh, metropolis vs terisolir.
Keempat, keinginan untuk mengejar laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, justru telah
mengorbankan aspek lingkungan dan merusak kehidupan ekosistem. Kita mencatat
terjadinya berbagai kerusakan lingkungan secara luas di sejumlah negara, katakanlah
kebakaran hutan tropis dan lahan gambut, banjir dan tanah longsor akibat hutan gundul,
kerusakan hutan akibat illegal logging, laut dan sungai yang tercemar oleh limbah
industri, kerusakan hutan bakau dan terumbu karang akibat illegal fishing, dan
seterusnya. Kualitas lingkungan secara global terus menunjukkan penurunan.
Jika ditelusuri kebelakang, selama belasan tahun, nampak jelas bahwa semua konsep,
gagasan, dan pendekatan pembangunan yang diterapkan di sejumlah negara sedang
berkembang — termasuk di Indonesia — mengacu pada ajaran neo-klasik (neoclassical
economics theory): bahwa capital stock dan investasi merupakan determinan utama
pembangunan (Solow, 1956; Ramsey, 1928; Cass, 1965; Koopmans, 1965; dan Diamond,
1965; dalam Romer, 2001). Bahwa mobilisasi kapital diyakini akan serta-merta
mendorong percepatan pembangunan. Bahwa modal merupakan titik sentral dari seluruh
aktifitas pembangunan. Singkatnya, investment is the all doctrine. Ajaran ini menjadi
salah satu mainstream dalam ilmu ekonomi dan karenanya amat dipercaya, setidaknya
oleh para developmentalism selama empat dekade terakhir.
Upaya tersebut selama belasan tahun menunjukkan keberhasilan, paling tidak jika
didasarkan pada besaran angka-angka makro-ekonomi. Dalam kasus Indonesia misalnya,
laju pertumbuhan ekonomi meningkat secara konsisten rata-rata di atas 6% per tahun dan
berlangsung dalam rentang waktu yang relatif lama (baca: Orde Baru). Perubahan
struktur ekonomi juga turut menyertai proses tersebut, yang ditandai oleh kian
meningkatnya share (kontribusi) sektor industri terhadap GDP. Pendapatan per kapita
juga meningkat beberapa kali lipat. Semua keberhasilan tersebut tentu saja mengundang
pujian dari berbagai kalangan, termasuk sejumlah international agencies. Tak terkecuali
Bank Dunia dalam beberapa laporan tahunannya sebelum krisis ekonomi menerjang
Indonesia pertengahan 1997, turut memuji prestasi tersebut. Bahkan — ketika itu —
mereka menilai bahwa jika Indonesia sanggup mempertahankan momentum
pembangunannya, maka dalam beberapa tahun kemudian Indonesia dipastikan akan
masuk kedalam jajaran negara-negara industri baru (new industrial countries) menyusul
Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan. Bahkan Indonesia di prediksi akan menjadi salah
satu kekuatan ekonomi baru dan penting di kawasan Asia Pasifik.
Tetapi apa lacur, semua prestasi makro-ekonomi tersebut ternyata tidak mencerminkan
gambaran ekonomi yang sesungguhnya. Struktur ekonomi kita terbukti sangat rentan dan
rapuh. Hanya karena sedikit goncangan eksternal (external disturbances) berupa
perubahan kurs (populer dengan istilah krisis moneter), ekonomi kita collapse dan
amburadul. Pertumbuhan ekonomi mencatat angka negatif -13,13%, inflasi bergerak naik
dengan cepat hingga mencapai 76%, pendapatan per kapita menurun drastis dari level
US$ 1.050 menjadi sekitar US$ 400.
Pada sisi yang lain, gambaran sosial-ekonomi riil masyarakat juga tidak seindah prestasi
makro-ekonomi tersebut. Kemiskinan, ketimpangan, ketidak-adilan, pengangguran, tetap
menjadi pemandangan yang lumrah. Pada tahun 1999, ILO memperkirakan angka
penduduk miskin mencapai sekitar 66% dari total penduduk. Saat ini, setelah terjadi
berbagai upaya pemulihan ekonomi (economic recovery) dan kian stabilnya sejumlah
variabel makro-ekonomi, jumlah penduduk miskin diperkirakan masih tersisa sekitar
25% dari total penduduk. Demikian pula, angka (koefisien) ketimpangan distribusi
pendapatan juga cenderung tidak bergeser secara signifikan selama beberapa dekade, atau
masih bergerak naik-turun disekitar angka 0,35. Tingkat pengangguran juga diperkirakan
masih berada di atas 15%, dan angka tersebut diperkirakan akan bergerak naik akibat
pertambahan angkatan kerja baru.
Fakta tersebut di atas nampaknya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga
berlangsung di sejumlah negara berkembang lainnya. Dalam World Development Report:
Sustainable Development In A Dinamic World: Transforming Institutions, Growth, and
Quality of Life yang dipublikasikan oleh Bank Dunia pada tahun 2003, terungkap bahwa
di beberapa belahan dunia, sejumlah negara telah mencatat laju pertumbuhan ekonomi
yang cukup mengesankan dan bahkan berlangsung secara konsisten dalam satu-dua
dekade. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi tersebut ternyata tidak serta merta mereduksi
angka kemiskinan. Kesenjangan distribusi pendapatan bahkan tetap tak terkoreksi.
Disebutkan bahwa sedikitnya 3 (tiga) milyar penduduk bumi masih berada dalam
kemiskinan (hanya memperoleh pendapatan kurang dari US$ 2 per hari). Fakta ini
menunjukkan terjadinya divergensi antara pertumbuhan ekonomi di satu sisi, dengan
perbaikan taraf hidup dan distribusi pendapatan di sisi lain. Diduga kuat, penyebabnya
adalah rendahnya tingkat aksessibilitas sebagian besar penduduk terhadap sumberdaya
(resources), asset, dan pasar (market). Bank Dunia memperkirakan bahwa jika tidak
dilakukan koreksi secara konstruktif atas fenomena ini, maka masalah kemiskinan akan
tetap menjadi persoalan pelik 30 – 50 tahun yang akan datang.
Fakta ini membuktikan bahwa apa yang diyakini oleh para developmentalism sejak awal
tahun 1950-an bahwa pertumbuhan akan serta-merta melahirkan pemerataan — dikenal
dengan paham trickle down effect — ternyata tidak sepenuhnya benar. Bahkan konsep
redistribution with growth — masih berporos pada paradigma modernisasi
(modernization paradigm) — yang diperkenalkan oleh Bank Dunia pada tahun 1970-an,
ternyata juga tidak bisa sepenuhnya dianggap berhasil. Begitu pula konsep pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) — kelestarian lingkungan sebagai prasyarat
pembangunan — yang diperkenalkan kemudian dan populer di tahun 1990-an, mungkin
pula masih mencatat sejumlah kelemahan.
Oleh karena itu, amat beralasan jika fakta empiris di atas, telah memicu timbulnya sebuah
kesadaran baru — setidaknya di tahun-tahun awal abad 21 — untuk menggagas kembali
konsepsi pembangunan. Nampaknya muncul kesadaran kolektif bahwa telah terjadi
kekeliruan dalam “praktek” pembangunan selama ini, bukan hanya pada tataran
implementasi, tetapi juga pada tataran “bangunan” paradigma dan konsepsi-teoritis.
Karenanya, sebuah perspektif, pendekatan, konsepsi, dan paradigma baru perlu segera
diintroduksi, bukan hanya untuk sekedar memperbaiki kekeliruan, tetapi juga untuk
mewujudkan pembangunan dengan wajah yang lebih humanis, lebih ramah lingkungan,
dan lebih mensejahterakan.
Berkaitan dengan uraian di atas, sedikitnya terdapat 3 (tiga) gagasan penting yang
nampaknya akan menjadi kecenderungan paradigma pembangunan di masa depan.
Pertama, bahwa konsepsi pembangunan yang selalu menempatkan modal fisik dan
finansial (physical and financial capital), khususnya akumulasi modal fisik, sebagai
tumpuan pertumbuhan, terbukti mempunyai dampak buruk, baik secara sosial maupun
ekologis. Bahkan konsepsi pembangunan tersebut ternyata tidak sepenuhnya dapat
menjamin sustainabilitas pembangunan dan tidak memberi dampak yang luas bagi
terciptanya kualitas pertumbuhan dan pembangunan. Atas dasar itu, modal sosial dan
manusia (human and social capital), dan modal alam dan lingkungan (natural and
enviromental capital) perlu segera diinternalisasi kedalam konsepsi pembangunan karena
diyakini bahwa hanya konsepsi pembangunan yang mempertimbangkan modal manusia
dan sosial serta modal alam dan lingkungan yang mampu menjamin pertumbuhan yang
berkualitas (the quality of growth) dan berlangsungnya pembangunan yang berkelanjutan
dan berkeadilan (sustainable and equitable development). Modal sosial dan manusia
dimaksud mencakup bagaimana meningkatkan kualitas sumberdaya manusia,
membangun kepercayaan (trust), menumbuh-kembangkan nilai dan norma (values and
norms), dan membentuk jaringan kerjasama (networks) pada berbagai tipe dan level
aktor: pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Sedangkan modal alam dan lingkungan
mencakup bagaimana menjaga dan mempertahankan barang publik murni (pure public
goods) serta menjaga fungsi-fungsi ekologis dan kekayaan lingkungan (amenities and
ecological function). Dengan diinternalisasinya modal manusia dan sosial serta modal
alam dan lingkungan dalam konsepsi pembangunan, diharapkan: (i) dampak buruk
pembangunan dapat lebih dieliminir; (ii) kualitas pertumbuhan dan pembangunan dapat
lebih ditingkatkan; dan (iii) pembangunan dapat berlangsung secara berkelanjutan dan
berkeadilan dalam rentang waktu yang lebih panjang.
Gagasan mengenai konsepsi the quality of growth maupun sustainable and equitable
development mempersyaratkan sedikitnya 4 (empat) agenda penting, yaitu: (i) mengatasi
misgovernance dan korupsi (addresing misgovernance and corruption); (ii) megurangi
distorsi kebijakan (reducing distortions); (iii) mengoreksi kegagalan pasar (correcting
market failures); dan (iv) memperkuat regulasi (strengthening regulation). Keempat
agenda tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, fakta internasional dan historis menunjukkan bahwa sebuah negara dengan
institusi pemerintahan yang kapabel, baik, dan transparan cenderung memiliki
pertumbuhan pendapatan, kesehatan nasional, dan pencapaian prestasi sosial yang lebih
tinggi. Pendapatan, investasi, dan pertumbuhan yang lebih tinggi maupun angka harapan
hidup yang lebih panjang, dapat ditemukan di negara-negara dengan institusi pemerintah
yang efektif, jujur, meritokratis dengan regulasi yang jelas, aturan hukum yang
ditegakkan dengan adil, dan masyarakat madani (civil society) yang kuat.
Kedua, analisis lintas-negara juga mengungkapkan adanya suatu hubungan yang lemah
antara besarnya pengeluaran publik (public expenditure) dengan hasil yang dicapai
(outcomes). Ini terjadi bukan hanya semata-mata karena alokasi pengeluaran publik yang
tidak tepat, tetapi juga karena korupsi. Sejumlah studi telah menggarisbawahi efek
korupsi terhadap alokasi keuangan publik (Klitgaard, 1988; Rose-Ackerman, 1989;
dalam Thomas, 2000). Dikatakan bahwa korupsi akan meningkatkan investasi publik
karena korupsi menciptakan peluang-peluang untuk melakukan manipulasi bagi para
pejabat negara. Korupsi juga akan mengurangi pendapatan pajak karena
mengkompromikan kemampuan pemerintah untuk memungut pajak. Efek berikutnya dari
situasi ini adalah terbatasnya penyediaan barang-barang publik, rendahnya kualitas
barang-barang publik, rusaknya keuangan publik, dll.
Ketiga, the quality of growth juga menekankan perlunya kebijakan, regulasi, dan
sumberdaya publik untuk mempromosikan pembangunan yang berorientasi pasar dan
mengurangi dampak negatif dari eksternalitas dan kegagalan pasar. Untuk maksud
tersebut, pemerintah perlu membangun struktur pengambilan kebijakan yang efektif,
kebijakan yang ramah pasar, kerangka kerja regulatif yang ringkas dan efisien, dan
mengeliminasi regulasi yang menghambat iklim usaha.
3. The Quality of Growth: Implikasinya Terhadap Perencanaan Pembangunan
Jika dikaitkan dengan konteks perencanaan pembangunan, maka pandangan the quality
of growth tersebut memberi sejumlah implikasi penting, yaitu:
Daftar Bacaan
Adams, Richard H. Jr, 2003. Economic Growth, Inequality, and Poverty: Finding from a
New Data Set, Policy Research Working Paper No. 2972, World Bank, February.
Bigsten, Arne and Jorgen Levin, 2000. Growth, Income Distribution, and Poverty: A
Review, Working Paper in Economics No. 32. Departement of Economics,
Goteborg University.
Bruno, Michael, Martin Ravallion, and Lyn Squire, 1998. Equity and Growth in
Developing Countries: Old and New Perspective on the Policy Issues, Vito Tani
and Ke-Young Chu, editors, Income Distribution and High Growth, Cambridge,
MA: MIT Press.
Chenery, Hollis, et. al. , 1974. Redistribution with Growth, Published for the World Bank
and the Institute of Development Studies, Sussex, Oxford U.P.
Cornia, Giovanni A and Sampsa Kiiski, 2001. Trends in Income Dsitribution in the Post-
World War II Period: Evidence and Intrepretation, WIDER Discussion Paper No.
89, UNU/WIDER: Helsinki.
Dasgupta, Partha, 1993. An Inquiry into Well-Being and Destitution, New York: Oxford
University Press.
Deininger, Klaus and Lyn Squire, 1996. A New Data Set Measuring Income Inequality,
World Bank Economic Review 10(3): 565-91.
Dollar, David and Aart Kraay, 2002. Growth is Good for the Poor, Journal of Economic
Growth 7(3): 195-225.
Gore, Charles, 1984. Region In Question: Space, Development Theory and Regional
Policy, Methuen, London.
Palafox, Felino Jr, 2002. Global Trends and Revolutionary Indeas in Urban Development,
Part 3, MAPs Weekly Column in the INQUIRIR, http://www.map.com.ph,
download 13 Maret 2003.
Pardo-Beltran, 2002. Effects of Income Distribution and Growth, Center for Economics
Policy Analysis Working Paper No.16.
Ravallion, Martin, 2001. Growth, Inequality and Poverty: Looking Beyond the Averages,
World Bank Policy Research Working Paper #2558, World Bank, Januari.
Sallatu, A. Madjid, 2002. Investasi, Modal Asing, dan Perekonomian Indonesia, Makalah
yang disampaikan pada Seminar Berkala PSKMP UNHAS, di Hotel Sedona
Makassar pada tanggal 25 Mei 2002.
Sen, Amartya, 1988. The Concept of Development, dalam Chenery and Srinivasan, eds.,
Handbook of Development Economics, Vol. 1, New York: Elsevier Scince
Publishers.
Sudjana, Brasukra G, 2003. The Miracle That Never Was: Revisiting Inequality and
Growth in Indonesia, UNSFIR.
Thomas, Vinod et. al., 2000. The Quality of Growth, The World Bank, Washington D.C.