Anda di halaman 1dari 11

Berkurangnya Antibodi Spesifik terhadap Rhinovirus Berhubungan dengan Eksaserbasi Akut Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yang

Membutuhkan Rawat Inap BMC Pulmonary Medicine 2012, 12:37 Stephanie T Yerkovich1, Belinda J Hales, Melanie L Carroll1, Julie G Burel, Michelle A Towers, Daniel J Smith, Wayne R Thomas and John W Upham Abstrak Latar belakang: Eksaserbasi akut dari penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) sering dihubungkan dengan infeksi sistem respirasi. Namun, belum diketahui apakah pasien PPOK yang sering mengalami eksaserbasi memiliki imunitas humoral yang rusak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan apakah antibodi yang spesifik terhadap patogen penyakit respirasi berhubungan dengan eksaserbasi akut dari PPOK Metode: Plasma didapatkan dari pasien PPOK saat kondisi klinis stabil. Eksaserbasi akut PPOK yang membutuhkan rawat inap dicatat. Antibodi IgG1 terhadap protein membran luar H.Influenza (P6), Protein permukaan

pneumococcus/ pneumococcal surface protein (PspC) dan protein kapsid vrus (VP1) dari rhinovirus diukur. Hasil: Pasien PPOK yang mengalami eksaserbasi akut (n=32) memiliki kadar antibodi IgG1 anti-VP1 yang lebih rendah, dalam kondisi stabil, jika dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami eksaserbasi akut PPOK (n=28, p-0,024). Lebih lanjut lagi, jumlah pasien rawat inap berbanding terbalik dengan kadar antibodi ati VP1 (r = 0.331, p = 0.011). Sebaliknya, antibodi spesifik untuk P6 dan PspC berada dalam konsentrasi yang sama antar kelompok. Plasma IL-21, sebuah sitokin yang penting untuk perkembangan sel B dan sintesis antibodi juga memiliki kadar yang rendah pada pasien PPOK yang mengalami eksaserbasi akut dibandingkan pada pasien PPOK yang stabil (p=0,046).

Kesimpulan: Kurangnya imunitas humoral yang spesifik untuk rhinovirus berhubungan dengan eksaserbasi akut PPOK yang membutuhkan rawat inap, dan dapat menjelaskan fenomena pada beberapa pasien PPOK yang mengalami peningkatan resiko eksaserbasi setelah infeksi virus pada sistem respirasi. Latar Belakang Eksaserbasi akut penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)

bertanggungjawab terhadap tingginya morbiditas, mortalitas dan biaya kesehatan pada PPOK. Eksaserbasi berhubungan dengan buruknya hasil klinis termasuk akselerasi penurunan fungsi paru1, penurunan kualitas hidup2 , dan peningkatan resiko kematian3. Disamping kepentingan klinis dari eksaserbasi, belum sepenuhnya jelas kenapa beberapa pasien PPOK mengalami eksaserbasi yang sering, sedangkan beberapa pasien lain relatif stabil. Karena eksaserbasi cenderung menjadi lebih sering pada pasien dengan fungsi paru yang buruk, akhir-akhir ini telah ditunjukkan bahwa prediktor tunggal terbaik dari eksaserbasi yaitu adanya riwayat eksaserbasi sebelumnya4. Suseptibilitas seorang pasien PPOK terhadap eksaserbasi juga berhubungan dengan kolonisasi bakteri pada saluran nafas selama periode klinis yang stabil5, dengan adanya refluks gastroesofageal disertai peningkatan hitung sel darah putih4. Banyak eksaserbasi PPOK dipicu oleh infeksi sistem respirasi oleh bakteri seperti Haemophilus influenzae dan Streptococcus pneumoniae yang biasanya dikultur dari sputum5. Perkembangan metode deteksi bimolekuler yang sensitif telah menuntun pada peningkatan penghargaan pada pentingnya virus pada sistem respirasi sebagai pemicu eksaserbasi; rhinovirus dari manusia merupakan virus paling sering ditemukan pada kondisi tersebut6,7. Beberapa pasien dengan PPOK, tampak secara tidak biasa menjadi rentan terhadap patogen mikrobial karena mekanisme yang memperantarainya masih belum dimengerti. Oleh karena itu, penting untuk mengadakan analisis lebih teliti mengenai imunitas anti-mikroba pada PPOK, dan hubungannya dengan kejadian eksaserbasi. Peneliti memiliki hipotesis bahwa pasien PPOK dengan defisiensi

relatif pada antibodi sirkulasi yang spesifik untuk virus dan bakteri akan memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami eksaserbasi PPOK. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur konsentrasi antibodi IgG1 spesifik terhadap antigen dalam rhinovirus manusia, H. Influenza dan S.pneumoniae dalam sebuah kelompok pasien PPOK yang diteliti saat kondisi klinis stabil, dan menghubungkannya dengan ada atau tidaknya eksaserbasi yang membutuhkan tindakan rawat inap lebih dari 1 bulan. Hal tersebut sangat penting, mengingat pasien dengan PPOK yang dirawat inap dengan sebuah eksaserbasi memiliki laju mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien PPOK yang tidak dirawat inap8. Penelitian fokus pada antibodi spesifik untuk protein imunogenik sebagai berikut: (1) protein membran luar (P6) dari H. Influenza, karena berkurangnya konsentrasi antibodi IgG1anti-P6 merupakan faktor resiko untuk eksaserbasi asma pada anak-anak9, (2) Protein permukaan pneumococcus/ pneumococcal surface protein (PspC), karena antibodi anti-PspC dapat memperantarai proteksi induk terhadap S. Pneumonia10, (3) Protein kapsin luar rhinovirus, tipe A (VP1), karena rhinovirus tipe A merupakan virus yang paling umum, dan antibodi anti-VP1 menunjukkan aktivitas netralisasi silang melewati berbagai strain rhinovirus berbeda, secara in vitro11. Lebih lanjut lagi, karena IL-21 merupakan sitokin yang penting untuk perkembangan sel B dan sintesis antibodi12, sehingga IL-21 dalam sirkulasi juga diukur. Metode Perekrutan Pasien Peneliti mengambil sampel 60 pasien PPOK sebagaimana yang telah dijelaskan tersebut13, semua pasien memenuhi kriteria ERS/ATS untuk definisi klinis dari PPOK. Pasien dengan penyakit paru lainnya atau keganasan tidak dimasukkan. Keparahan dari PPOK dikelompokkan sesuai dengan kriteria dalam the global initiative for chronic obstructive lung disease (GOLD) yaitu: semua pasien dengan derajat GOLD 2,3 atau 414. Eksaserbasi didefinisikan berdasarkan

kriteria standar yaitu peningkatan 2 dari 3 produksi sputum, peningkatan dispneu atau perubahan pada warna sputum14. Detail selengkapnya tentang penelitian kohort telah dijelaskan sebelumnya13. Penelitian ini disetujui oleh Human Research Ethics Committee, Princess Alexandra Hospital, Australia dan pasien diberi informed consent sebelum diikutkan dalam penelitian. Pengambilan Sampel Darah Sampel darah dikumpulkan dari pasien saat kondisi klinis stabil selama minimal 6 minggu. Hal yang penting yaitu pengambilan sampel darah tidak dilakukan dalam 6 minggu setelah pemberian steroid oral. Plasma kemudian disimpan pada suhu 200C untuk analisis selanjutnya. Persiapan Antigen Protein membran luar dari H. Influenza (P6) dari isolat Eagen dan VP1 dari rhinovirus manusia 1B (rhinovirus spesies A) diprodukasi sebagai polipeptida fusi dengan N-terminal hexa-histidine tags dalam pQE-80 L (Novagen, Madison, USA). PspC diambil dari strain pneumococcus D39 (aa 1-445) dan diklon dengan sebuah C-terminal six-histidine tag dalam pET20b (Novagen). pQE-80 L dan pET20b-based constructs diekspresikan dalam BL21 Star (DE3) pLysS (Novagen) menggunakan 1 mM isopropyl-b-D-thiogalactopyranoside (IPTG), dalam 100 g/ml ampicillin dan 34 g/ml chloramphenicol (Invitrogen Corp., Carlsbad, USA). Protein rekombinan terekspresi dimurnikan di bawah kondisi non denaturasi menggunakan Ni2+-nitrilotriacetic acid (Ni-NTA) agarose chromatography (Qiagen GmbH, Germany), sesuai dengan protokol perusahaan. Fraksi yang mengandung protein yang sesuai dikumpulkan kemudian dimurnikan menggunakan anion/kation dan ukuran eksklusi untuk kromatografi. Pemurnian dari semua protein dicek pada sebuah gel sodium dodecyl sulfatepolyacrylamide 12,5% dan konsentrasinya ditentukan dengan memakai densitas optik pada pengukuran 280 nm (OD280).

Pengukuran Antibodi Spesifik Antibodi IgG1 anti-P6, antibodi IgG1 anti PspC dan antibodi IgG1 anti VP1 diukur menggunakan dissociated-enhanced immunofluoresence assay (DELFIA) sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya15. Batas deteksinya yaitu 100 ng/ml. Pasien yang memiliki nilai di bawah batas deteksi diberikan nilai separuh batas bawah deteksi16. Pengukuran Kadar CRP dan IL-21 CRP diukur sebagai indeks adanya inflamasi sistemik oleh pelayanan patologi rumah sakit memakai auto-analisis komersial. IL-21 diukur dalam plasma memakai kit ELISA komersial (eBiosciences, San Diego, CA) sesuai instruksi perusahaan. Batas deteksi lebih rendah dari percobaan yaitu 15,5 pg/ml. Analisis Statistik Data diolah dengan memakai Stata v11 (StataCorp, USA) dengan nilai p<0.05, dipertimbangkan signifikan secara statistik. Karena data tidak didistribusikan secara normal, perbedaan kelompok dinilai menggunakan KruskalWallis tes, MannWhitney U tes untuk respon tak berpasangan atau Fishers Exact Tes, sebagaimana mestinya. Hubungan antar variabel dinilai memakai Spearmans rank test. Regresi sederhana dan multivariat linier dihitung dengan berdasar riwayat eksaserbasi sebagai variabel dependen. Variabel dimana residu tidak didistribusikan dengan normal ditransformasi ke dalam log. Analisis regresi linier sederhana dipakai di awal untuk mengevaluasi hubungan antara variabel dengan riwayat eksaserbasi dan variabel dimana nilai p < 0,1 dimasukkan ke dalam analisis regresi linier multipel. Model akhir didapatkan dengan seleksi ke belakang, mendapatkan kembali prediktor yang secara statistik signifikan pada nilai = 0,05.

Hasil Demografi Subjek Karakteristik demografi pasien ditunjukkan pada Tabel 1. Pasien berumur pertengahan hingga tua (usia rata-rata 69 tahun). Semua pasien pernah merokok, dan < 30% yang masih merokok. 32 pasien PPOK mengalami sedikitnya sebuah eksaserbasi yang memerlukan rawat inap selama 12 bulan periode penelitian (median = 2; interquartile range 1 4.5) dan dinamakan sebagai PPOK rentan eksaserbasi. Sebagian besar eksaserbasi terjadi pada musim salju dan semi, waktu ketika patogen sistem respirasi multipel bersirkulasi dalam komunitas. 89 pasien PPOK bebas dari eksaserbasi yang membutuhkan rawat inap selama periode tersebut, dan dinamakan sebagai PPOK yang stabil. Hal yan g penting yaitu pasien PPOK yang rentan eksaserbasi dan yang stabil tidak berbeda secara signifikan dalam hal umur, seks, lama merokok dan pengunaan steroid inhalasi, karena pasien PPOK yang rentan eksaserbasi memiliki keterbatasan aliran udara dibandingkan dengan pasien PPOK yang stabil (p = 0,001). Konsentrasi Antibodi Spesifik Rhinovirus Antibodi spesifik IgG1 terhadap antigen kapsin rhinovirus VP1 dapat dideteksi dalam plasma dari hampir semua sampel penelitian (Gambar 1A). Pasien PPOK yang rentan eksaserbasi memiliki konsentrasi antibodi IgG1 anti VP1 yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan pasien PPOK yang stabil (p = 0.024). Ketika konsnetrasi antibodi IgG1 anti VP1 dibagi ke dalam 3 kuantil/tertil, populasi yang berada di tertil terbawah memiliki resiko paling tinggi untuk rawat inap selama 12 bulan periode penelitian (median = 2 admission), sedangkan populasi yang berada pada tertil lebih tinggi (median = 0 admission) memiliki angka rawat inap yang lebih sedikit (tertil lebih rendah vs tertil pertengahan, p = 0.02; tertil lebih rendah vs tertil lebih tinggi, p = 0.02; tertil pertengahan vs tertil lebih tinggi, p = 0.8). Hal yang sama juga berlaku, yaitu angka rawat inap berbanding terbalik dengan konsentrasi antibodi IgG1 anti VP1 (r = 0.331, p = 0.011; Gambar 1b). Hal tersebut pantas dicatat bahwa satu-

satunya pasien yang memiliki antibodi IgG1 anti VP1 yang dapat terdeteksi memiliki nilai rawat inap tertinggi (n=7). Konsentrasi Antibodi Spesifik Haemophilus dan Pneumococcus Antibodi IgG1 yang spesifik untuk antigen H. Influenza P6 dapat terdeteksi pada plasma dari 53% (15/28) pasien PPOK stabil dan 43% (15/32) pasien PPOK yang rentan eksaserbasi (Gambar 2). Antibodi IgG1 spesifik PspC dapat dideteksi pada 68% (19/28) pasien PPOK stabil dan 56% (18/32) pasien PPOK yang rentan eksaserbasi. Konsentrasi plasma dari antibodi P6 dan PspC cenderung menjadi sedikit lebih rendah pada pasien PPOK yang rentan eksaserbasi dibandingkan pada pasien PPOK yang stabil, namun perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistik (Gambar 2). Hubungan antara IgG1 anti VP1 dengan Variabel Klinis Terdapat hubungan berbanding terbalik sederhana antara IgG1 anti VP1 dengan usia (r = 0.281, p = 0.030), individu dengan usia lebih tua memiliki IgG1 anti VP1 lebih rendah dibandingkan individu yang lebih muda (Tabel 2). Namun, harus ditekankan bahwa tidak terdapat perbedaan umur antara pasien PPOK yang stabil dengan pasien PPOK yang rentan eksaserbasi. Konsentrasi antibodi IgG1 anti VP1 tidak bervariasi secara signifikan dalam hubungannya dengan FEV1, seks, riwayat merokok sekarang atau terdahulu, musim untuk pengambilan sampel darah atau kadar CRP (Tabel 2). Dengan tujuan untuk memahami faktor yang memprediksi riwayat eksaserbasi, model linear univariat dan multivariat dikerjakan dan dirangkum dalam Tabel 3. Baik fungsi paru yang rendah maupun kadar IgG1 anti VP1 yang rendah merupakan prediktor independen akan adanya eksaserbasi yang lebih sering.

IL-21 dalam Sirkulasi Memiliki Kadar yang Rendah pada Pasien PPOK dengan Eksaserbasi Dengan tujuan memahami mekanisme potensial yang bertanggungjawab terhadap berkurangnya kadar antibodi spesifik rhinovirus yang diamati pada pasien PPOK rentan eksaserbasi, peneliti mengukur plasma IL-21. pasien PPOK rentan eksaserbasi memiliki kadar IL-21 lebih rendah dibanding pasien PPOK yang stabil (p = 0.046, Gambar 3A). Kadar IL-21 dalam plasma berbanding terbalik dengan jumlah pasien PPOK eksaserbasi akut yang dirawat inap (r = 0.279, p = 0.032, Gambar 3B). Sedangkan IL-21 tidak berhubungan dengan riwayat lamanya merokok (r = 0.286, p = 0.030), kadar IL-21 tidak bervariasi dalam hubungan dengan umur, seks, FEV1, kadar CRP atau status merokok saat ini (data tidak ditampilkan). Pembahasan Penemuan kunci pada penelitian ini yaitu pasien PPOK yang rentan eksaserbasi memiliki IgG1 anti VP1 dalam sirkulasi, dengan kadar yang secara signifikan lebih rendah dan kadar plasma IL-21 yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan pasien PPOK yang stabil. Hal yang menarik yaitu pasien PPOK yang rentan eksaserbasi dan pasien PPOK yang stabil memiliki konsentrasi antibodi IgG1 spesifik yang sama untuk 2 antigen bakteri yang diperiksa dalam penelitian ini, sehingga tidak terdapat bukti adanya defisiensi imunitas humoral umum terhadap patogen sistem respirasi umum yang lain. Penelitian sebelumnya pada individu yang sehat telah menunjukkan bahwa antibodi spesifik rhinovirus dalam sirkulasi sebelum pajanan virus, berhubungan dengan keparahan gejala selanjutnya dan durasi infeksi17, menggarisbawahi pentingnya imunitas humoral terhadap rhinovirus. Bahkan, akhir-akhir ini telah ditunjukkan pada model hewan coba, bahwa antibodi anti VP1 menunjukkan aktivitas netralisasi silang melewati berbagai strain rhinovirus berbeda11. Oleh karena itu, peneliti mengusulkan bahwa konsentrasi IgG1 anti VP1 yang lebih rendah yang diamati pada pasien PPOK yang rentan eksaserbasi menempatkan

mereka pada resiko infeksi yang lebih tinggi akibat berbagai variasi strain rhinovirus dan hal tersebut dapat mendukung terhadap peningkatan eksaserbasi PPOK. Terdapat bukti kuat bahwa eksaserbasi PPOK dimana sebuah virus ditemukan tampaknya akan lebih cenderung membutuhkan rawat inap
6

dan

bahwa rhinovirus merupakan virus yang paling sering terdeteksi pada kondisi tersebut7. Infeksi rhinovirus juga dapat menginduksi lebih banyak gejala dan sebuah respon inflamasi yang lebih hebat pada pasien PPOK dibandingka pada pasien yang sehat18. Peneliti mempertimbangkan apakah variabel yang lain mungkin

membiaskan hasil penelitian tersebut, namun tidak terdapat bukti bahwa seks, riwayat merokok atau musim berhubungan dengan konsentrasi antibodi IgG1 anti VP1. Sedangkan peningkatan umur berhubungan dengan kadar IgG1 anti VP1 yang lebih rendah, sehingga harus ditekankan bahwa pasien PPOK yang rentan eksaserbasi dan pasien PPOK yang stabil memiliki umur yang sama dan perbedaan yang signifikan dalam kadar antibodi anti VP1 anatara dua kelompok tetap meskipun umur dikoreksi. Karena pasien PPOk yang rentan eksaserbasi memiliki obstruksi aliran udara yang lebih parah dibanding pasien PPOK yang stabil, hubungan antara kadar antibodi IgG1 anti VP1yang lebih rendah dengan eksaserbasi PPOK tampaknya bersifat independen terhadap nilai FEV1 ( Tabel 2 dan 3). Untuk mengetahui mekanisme yang mungkin menuntun pada lebih rendahnya konsentrasi antibodi IgG1 anti VP1, peneliti juga mengukur IL-21 dalam sirkulasi. Sitokin tersebut diduga penting untuk perkembangan sel B dan sintesis antibodi12. Pasien PPOK yang rentan eksaserbasi secara pasti memiliki kadar IL-21 dalam plasma yng lebih rendah dibanding pasien PPOK yang stabil, namun tidak terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara IL-21 dengan antibodi IgG1 anti VP1 pada pasien dalam penelitian. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan kurangnya kekuatan statistik, atau penjelasan lain, yaitu defisiensi sintesis IL-21 mungkin terkait dengan eksaserbasi PPOK melalui mekanisme lain. Terdapat bukti bahwa kadar IL-21 juga sangat penting untuk

memori sel T CD819, sehingga penelitian mendatang akan membutuhkan evaluasi terhadap hubungan antara IL-21, fungsi sel T CD8 dan eksaserbasi PPOK. Peneliti dapat menduga bahwa sitokin inflamasi dan stres oksidatif dapat mempengaruhi sintesis antibodi dan hal tersebut merupakan isu yang membutuhkan penelitian lanjut. Inflamasi sistemik (yang diukur oleh CRP) tidak berhubungan dengan konsentrasi antibodi IgG1 anti VP1. Laporan terkini menunjukkan bahwa sel epitel pernafasan dari pasien dengan PPOK lebih rentan terhadap infeksi rhinovirus secara in vitro20, dan bahwa percobaan infeksi rhinovirus memicu sintesis lebih rendah dari interferon-// pada sel paru pasein dengan PPOK dibanding pada subjek yang sehat18. Namun, sedikit perhatian terhadap waktu diberikan pada sistem imun adaptif terhadap rhinovirus dan mekanisme hal tersebut berpengaruh terhadap eksaserbasi PPOK. Satu keterbatasan dalam penelitian ini yaitu peneliti tidak memiliki informasi tentang apakah pasien PPOK yang rentan eksaserbasi telah mengisolasi diri mereka sendiri dari kontak dengan anak-anak, dan oleh karena itu terpajan dengan lebih sedikit rhinovirus. Sementara penjelasan tentang isolasi sosial mungkin secara teoritis dapat menjelaskan kadar IgG1 anti VP1 yang lebih rendah, peneliti dapat mengharapkan bahwa isolasi juga dapat berakibat pada rendahnya pajanan terhadap H. Influenza dan S.pneumoniae sehingga deteksi yang lebih rendah dari anti PspC dan antibodi IgG1 anti P6, namun hal tersebut tidak diamati. Kedua, keadaan alami dari penelitian cross-sectional ini tidak dapat menyediakan stabilitas antibodi untuk ditentukan dan penelitian longitudinal lebih lanjut akan dibutuhkan untuk memecahkan masalah tersebut. Pada akhirnya, eksaserbasi yang membutuhkan rawat inap digunakan untuk menentukan eksaserbator yang sering. Pada penelitian ini dipilih eksaserbasi yang parah, namun peneliti tidak mengetahui apakah kadar antibodi anti VP1 yang rendah berhubungan dengan bentuk eksaserbasi yang lebih ringan, yang sembuh tanpa membutuhkan rawat inap.

Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari peneitian ini yaitu: karena rhinovirus bersifat sangat umum, sangat mudah melihat bagaimana sebuah kapasitas yang rusak dalam menghasilkan antibodi yang diarahkan pada protein yang mengalami netralisasi silang melewati strain rhinovirus multipel, dapat meiliki efek buruk pada resiko eksaserbasi PPOK. Mekanisme yang menuntun pada suatu kondisi defisiensi imunitas humoral spesifik terhadap rhinovirus, membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai