Anda di halaman 1dari 12

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Pityriasis alba merupakan sebuah pola dermatitis dengan ciri yang paling mencolok berupa hipopigmentasi.1 Pityriasis alba dianggap sebagai dermatitis subklinis atau bentuk yang ringan dari dermatitis atopik, karena seringkali disertai riwayat atopi. Gambaran klinisnya berupa makula atau bercak hipopigmentasi berskuama tipis, berbatas tegas maupun tidak tegas, terlokalisir, umumnya terdapat pada pipi, lengan atas, dan trunkus. 2,3 Meskipun dapat terjadi pada semua ras dan jenis kelamin, hipopigmentasi pityriasis alba lebih jelas terlihat pada individu berkulit gelap, terutama saat musim panas. Sedangkan pada musim dingin skuama jelas terlihat karena kulit kering. Penyakit ini umumnya mengenai penderita usia anak dan remaja.1,4 Etiologi dan patogenesis pityriasis alba masih belum jelas. Pada umumnya digolongkan sebagai manifestasi dari dermatitis atopik ringan, tetapi tidak pasti mengenai seluruh individu yang atopik.1 Selain itu, penyakit ini juga digolongkan sebagai penyakit yang timbul setelah terjadi inflamasi. Pajanan matahari yang berlebihan dan tanpa proteksi juga kebiasaan hidup bersih berkorelasi kuat terhadap perkembangan PA. 2 Hal lain yang dapat mencetuskan pityriasis alba adalah gigitan serangga, iritasi mekanis dari scrubbing, atau bentuk lain dari eczematous dermatitis.5 Sebagian besar kasus PA terdiagnosis secara klinis. Hipopigmentasi yang tampak diakibatkan oleh berkurangnya jumlah melanosit dan melanosom. Pemeriksaan histologi tidak spesifik, berupa akantosis yang tidak mencolok dan spongiosis ringan, dengan hiperkeratosis sedang dan parakeratosis yang tidak sempurna.1,2
1

1.2 Tujuan Penulisan

Penyusunan referat ini bertujuan untuk memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Islam Jakarta Sukapura, Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta Periode 22 Juli 25 Agustus 2013, dan sebagai bahan informasi bagi para pembaca umumnya.

1.3 Teknik Pengumpulan Referensi Dalam penyusunan referat ini, metode pengumpulan referensi yang digunakan adalah secara tidak langsung melalui kepustakaan yaitu buku-buku referensi dan pustaka elektronik yang berhubungan dengan judul dari referat ini yaitu dermatitis perioral.

BAB 2 PEMBAHASAN
2

Pityriasis alba merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa latin, yang berarti sisik atau skuama (pityriasis) dan putih (alba). 6,7 Pityriasis alba merupakan suatu penyakit yang tidak menular dengan ciri yang paling mencolok berupa hipopigmentasi.1

2.1 Epidemiologi

Terdapat laporan kejadian sebesar lebih dari 5% pada anak-anak di Amerika Serikat, namun epidemiologinya belum pernah dijelaskan secara pasti. Pityriasis alba tidak memiliki kecenderungan timbul pada ras tertentu, walaupun penyakit ini memang terlihat lebih jelas pada penderita berkulit gelap karena nampak kontras.1,4,5,6 Penyakit ini tidak memiliki predileksi jenis kelamin tertentu, walaupun pernah tercatat penderita laki-laki sedikit lebih banyak daripada perempuan. Pityriasis alba lebih sering dijumpai pada penderita berusia kurang dari 20 tahun, terutama pada anak dan remaja yang usianya berkisar antara 3-16 tahun.1,6,7 Penelitian yang dilakukan di daerah Karachi, Pakistan, menunjukkan persentase kecil (6,1%) dari pityriasis alba dibandingkan penyakit kulit lainnya pada pasien di Rumah Sakit Pendidikan Hamdard.8 Pada penelitian terhadap imigran Amerika Latin di Spanyol, pityriasis alba merupakan penyakit kulit dengan gejala klinis terbesar (3,3%) dari kelompok eczema (18,2%) yang lebih banyak mengenai pasien kulit hitam (24%) dibandingkan kulit putih (13,5%) dan kulit coklat Indian Amerika (19,7%). 2.2 Etiologi dan Patogenesis Etiologi dan patogenesis pityriasis alba masih belum jelas.2 Tidak ada agen definitif yang dapat dijelaskan untuk penyakit ini. 3,6 Tidak terdapat data mengenai peran faktor genetik dan riwayat keluarga yang berhubungan dengan penyakit ini.4
3

Hipopigmentasi yang terjadi diakibatkan oleh berkurangnya aktivitas melanosit dan berkurangnya jumlah serta ukuran melanosom.1,7 Penyakit ini pada umumnya digolongkan sebagai manifestasi dari dermatitis atopik ringan, namun individu yang atopik belum tentu menderita pityriasis alba.1 Pada penelitian terhadap penderita pityriasis alba di India, latar belakang atopi terdeteksi dalam 85,5% kasus.4 Penyakit ini juga dapat digolongkan sebagai kelainan kulit yang timbul setelah inflamasi, diduga karena inflamasi dapat menyebabkan gangguan sel pigmen. Bakteri Propionibacterium acnes yang hidup dalam folikel rambut, dianggap mampu memproduksi faktor depigmentasi secara teoritis. Pada anak-anak dengan jerawat komedo atau popular, Propionibacterium acnes memproduksi sejumlah faktor virulen bioaktif yang merupakan agen inflamasi dan imunomodulatornya. Sejumlah enzim ekstraseluler dan metabolit secara langsung dapat merusak jaringan host, termasuk melanosit.2,7 Beberapa sumber menggolongkannya sebagai kelainan pigmentasi kulit.2 Hipopigmentasi diduga secara sekunder dapat disebabkan oleh pityriacitrin, suatu substansi yang diproduksi oleh ragi Malassezia, yang berperan sebagai tabir surya alami. 6 Hipopigmentasi juga dapat dijelaskan sebagai kerusakan terhadap melanosit dan inhibisi dari tyrosinase by decarboxylic acid, azelic acid (inhibitor kompetitif dari tyrosinase), dan atau metabolit yang diturunkan tryptophan yang diproduksi oleh ragi normal Malassezia furfur, yang merupakan bagian dari permukaan kulit normal. Jadi, beberapa pasien dengan pityriasis alba mengalami sensitivitas terhadap jamur ini. Berbeda dengan tinea versicolor, organisme ini tidak berkembang dalam jumlah banyak pada pityriasis alba. Jamur patogen juga tidak terlibat dalam kondisi ini.7 Pajanan matahari yang berlebihan dan tanpa proteksi diduga menyebabkan penyakit ini jelas terlihat, meskipun penelitian fotobiologik untuk membuktikannya belum dilakukan. Fakta bahwa radiasi ultraviolet dapat memicu kekeringan kulit mungkin dapat menjelaskan hubungan dengan penyakit ini.3 Melanosit diduga menjadi lebih
4

sensitif pada pasien dengan penyakit ini.7 Berdasarkan musim, hipopigmentasi pityriasis alba lebih jelas terlihat saat musim panas karena proses tanning pada kulit sekitarnya yang normal membuatnya menjadi kontras. Sedangkan pada musim dingin, kulit menjadi kering dan skuama jelas terlihat. 1,2,4 Pada penelitian anak-anak di Turki yang menderita pityriasis alba, sebagian besar (45,9%) mengalami eksaserbasi saat musim dingin.3 Kebiasaan hidup bersih berkorelasi kuat terhadap perkembangan pityriasis alba. Peningkatan frekuensi mandi dan penggunaan air panas untuk mandi dihubungkan dengan xeroderma atau kekeringan kulit yang diduga memicu timbulnya penyakit ini.2,3 Selain itu, seringnya mandi dapat mempengaruhi hilangnya daya tahan epidermis dan substansi pelindung lainnya dari permukaan kulit.7 Hal lain yang dapat mencetuskan pityriasis alba adalah gigitan serangga, iritasi mekanis dari scrubbing, atau bentuk lain dari eczematous dermatitis.5 2.3 Gambaran klinis

Pitryasis alba sering dijumpai pada anak berumur 3-16 tahun ( 30-40%). Wanita dan pria sama banyak. 9

Lesi individual berbentuk makula atau bercak yang bulat, oval, ataupun irregular, yang berwarna merah, pink, atau warna kulit, dan ditutupi lapisan sisik tipis. Batasnya dapat tegas, tidak tegas, maupun meninggi.1,2,3 Pada awalnya, eritema dapat mencolok dan mungkin terdapat krusta serous minimal. Selanjutnya, eritema reda sempurna, dan pada stadium dimana lesi umumnya terlihat oleh dokter, lesi hanya menunjukkan hipopigmentasi dan adanya sisik tipis. Hal ini yang pada umumnya mendorong pasien untuk berobat. Hipopigmentasi lebih jelas terlihat pada kulit berwarna gelap, terutama setelah berjemur.1

Gambar 1. Pityriasis alba pada wajah.5 Biasanya terdapat beberapa bercak dengan diameter berkisar antara 0.5-2 cm, tapi dapat juga berukuran lebih besar, khususnya pada trunkus. Pada anak-anak, lesi khususnya terdapat pada wajah (50-60%), dan paling banyak berada di sekitar mulut, dagu,dahi, dan pipi.9 Pada 20% anak yang terkena, lokasi yang terlibat juga pada leher, lengan, dan bahu.1 dapat simetris pada bokong, paha atas, punggung, dan esktensor lengan, tanpa keluhan. Lesi umumnya menetap, terlihat sebagai leukoderma setelah skuama menghilang.9 Penyakit ini dapat asimtomatik ataupun menimbulkan keluhan kosmetik. 6 Perjalanan penyakit sangat beragam. Sebagian besar kasus muncul untuk beberapa bulan, dan beberapa masih menunjukkan hipopigmentasi selama setahun atau lebih setelah sisik menghilang. Lesi dapat timbul kembali dalam selang waktu tertentu. Durasi rata-rata untuk lokasi umum di muka pada anak-anak adalah setahun atau lebih.1 Pityriasis Alba yang luas (extensive PA), lebih sering terlihat pada orang dewasa, dengan ciri-ciri klasik yang sama, terdistribusi lebih luas yang seringkali melibatkan ekstremitas bawah dalam pola yang simetris. Ketiadaan fase inflamasi yang mendahului
6

dan ketiadaan spongiosis membedakan dari bentuk yang klasik. Terdapat hipotesis tumpang tindih dari bentuk khusus ini dengan hipomelanosia makular yang progresif, yang terutama terjadi pada wanita dewasa muda, dengan bercak tanpa sisik, hipopigmentasi, terjadi berulang, melibatkan punggung, khususnya setelah musim panas.2 Pityriasis Alba yang terpigmentasi dianggap sebagai varian dari pityriasis alba yang klasik dengan infeksi dermatofit superfisial yang hampir selalu mengenai wajah. Secara klinis dicirikan oleh hiperpigmentasi kebiru-biruan yang dikelilingi oleh daerah hipopigmentasi bersisik. Area yang terpigmentasi menunjukkan deposit melanin dalam dermis. Sepertiga dari pasien secara bersamaan mengalami pityriasis alba klasik.2

2.4 Pemeriksaan penunjang Bila ditemukan gambaran klinis yang sesuai, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang menggunakan lampu Wood, yang menunjukkan gambaran hipopigmentasi. 2 Pemeriksaan histologi dari penelitian biopsi menunjukkan ciri-ciri hiperkeratosis (33.33%), parakeratosis (40%), akantosis (53.33%), spongiosis (80%), dan infiltrat perivaskuler (100%). Bagaimanapun, penemuan ini tidak cukup spesifik untuk menegakkan diagnosis. Ditemukan pula atropi glandula sebasea pada hampir separuh kasus dalam satu penelitian.1,6 Hasil pemeriksaan struktur ultra menemukan bahwa selain pengurangan pigmen pada lesi kulit, tidak terdapat terdapat perbedaan pada melanosit antara kulit yang memiliki lesi dan normal pada pasien yang sama, walaupun penemuan ini masih diperdebatkan. Perubahan degeneratif berupa menurunnya jumlah melanosit dan berkurangnya jumlah dan ukuran melanosom keratinosit juga ditemukan melalui mikroskop cahaya dan elektron pada lesi. Secara keseluruhan kelainan ini dianggap diakibatkan oleh penurunan melanin.1,6

2. 5 Diagnosis dan Diagnosis Banding

Berdasarkan anamnesis, harus ditanyakan usia timbulnya penyakit, untuk menyingkirkan penyakit kongenital. Setelah itu ditanyakan faktor resiko yang dapat menimbulkan pityriasis alba, seperti riwayat atopi, riwayat pajanan sinar matahari, riwayat inflamasi sebelumnya, hingga kebiasaan mandi untuk menunjang diagnosis. Dari gambaran klinis, sisik yang tipis dan distribusi lesi biasanya mengarahkan diagnosis. Diagnosis banding meliputi bentuk hipopigmentasi terlokalisir, khususnya kondisi kulit yang setelah mengalami inflamasi.2 Pityriasis versicolor juga berbatas tegas dan biasanya bersisik. Pemeriksaan potassium hydroxide (KOH) dari kerokan skuama harus didapatkan jika timbul keraguan. Pada vitiligo, bercaknya lebih putih, dengan batas yang lebih jelas dan selalu tidak disertai sisik.5 Bila pada pemeriksaan lampu Wood ditemukan hipopigmentasi, diagnosis menjadi semakin sempit. Untuk mempermudah penegakan diagnosis, algoritma di bawah ini dapat digunakan sebagai pedoman:

Gambar 2. Algoritma Penegakan Diagnosis2

Hipopigmentasi yang jelas terkadang salah didiagnosis dengan vitiligo. Pada vitiligo, bercaknya lebih putih, dengan batas yang lebih jelas dan selalu tidak disertai sisik.7 Pada anak yang lebih besar dan dewasa, lesi pada trunkus, sepanjang fase
9

eritematosa, mungkin salah didiagnosis dengan psoriasis tetapi distribusi dan sisik yang relatif ringan dapat menyingkirkan diagnosis ini. Mycosis fungoides, walaupun relatif jarang, dapat menirukan lesi pityriasis alba. Kondisi ini sulit dibedakan secara histologis, sehingga tindak lanjut dan biopsi ulangan kadang diperlukan.1

2.6 Tatalaksana

Hindari hal-hal yang menjadi faktor resiko seperti pajanan matahari dan mandi berlebihan dan menggunakan air panas, serta cukupi kebutuhan nutrisi. Jika faktor pencetusnya adalah eczema ringan, terapi dengan kortikosteroid lemah seperti hidrokortison 0.5% atau 1%, atau krim yang mengandung calcineurin inhibitor seperti tacrolimus dan pimecrolimus, juga sering diresepkan. Sisik dapat dikurangi dengan krim emollient lunak, dan untuk lesi kronik pada trunkus pasta tar ringan mungkin berguna. Bagaimanapun, abnormalitas pigmentasi membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mengalami perbaikan. Syndets (synthetic balanced detergents) dapat digunakan untuk mencuci muka karena kurang bersifat iritatif dibandingkan sabun alkali. Pelembab dapat digunakan dua kali sehari, dan setelah mencuci wajah. Tanning tidak membantu, malah semakin menonjolkan perbedaan bila terlalu sering dilakukan.1,5

2.7 Prognosis

Pityriasis alba merupakan penyakit yang sembuh sendiri dan tidak menimbulkan mortalitas. Pada umumnya penyakit ini menghilang menjelang usia pubertas.6

10

BAB 3 KESIMPULAN

Pityriasis alba merupakan penyakit kulit yang tidak menular, ditandai dengan makula atau bercak dengan hipopigmentasi dan sisik tipis. Penyakit ini lebih banyak mengenai anak dan remaja, tanpa kecenderungan terhadap ras dan jenis kelamin tertentu. Etiologi dan patogenesisnya belum jelas, diduga berkaitan dengan riwayat atopi, paska inflamasi kulit, pajanan sinar matahari, kebiasaan mandi, maupun nutrisi. Proses hipopigmentasi diduga terkait dengan gangguan pada sel pigmen kulit. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis faktor resiko, pemeriksaan fisik dan penunjang untuk menyingkirkan diagnosis banding. Distribusi lesi, pemeriksaan lampu Wood, dan riwayat inflamasi sebelumnya merupakan hal yang penting dalam mempersempit diagnosis banding. Pityriasis alba merupakan penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya, bahkan tanpa intervensi. Pemberian emollient dinilai efektif untuk tatalaksana bila tidak disertai inflamasi. Tidak pernah dilaporkan adanya mortalitas akibat penyakit ini.

11

DAFTAR PUSTAKA

1.

Holden CA and Jones BJ. Eczema, Lichenification, Prurigo and Erythroderma. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rooks Textbook of Dermatology. 7th ed. Massachusetts: Blackwell; 2004. p. 737-738.

2.

Lapeere H, et.al. Hypomelanoses and Hypermelanoses. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Companies, Inc; 2008, vol: 1. p. 623-624

3.

Balci DD, Sangun O, Duran N, Peker E. Etiopathogenic Factors and Clinical Findings of Pityriasis Alba.Turkiye Klinikleri J Dermatol [serial online] 2009); 19 (1): 5-8. Diunduh dari http://tipbilimleri.turkiyeklinikleri.com/abstract_53406.html

4.

Vinod S, Singh G, Dash K, Grover S. Clinico epidemiological study of pityriasis alba. Indian J Dermatol Venereol Leprol [serial online] 2002; 68: 338-340. Diunduh dari http://www.ijdvl.com/text.asp?2002/68/6/338/11182

5. 6. 7.

Wellew R, Hunter J, Savin J, Dahl M, editors. Racially Pigmented Skin. In: Clinical Dermatology. 4th ed. Massachusetts: Blackwell; 2003. p.207. Rashid RM, Miller AC, Silverberg MA. Pityriasis Alba. [serial online] Diunduh dari emedicine.medscape.com/article/762656.htm J Burkhart CG dan Burkhart CN. Pityriasis Alba: A condition with Possibly Multiple Etiologies. The open dermatology Journal [serial online] 2009; 3: 7-8. Diunduhdarihttp://www.benthamopen.org/pages/content.php? TODJ/2009/0000000/00000001/TODJ. PDF

8.

Javed M, Jairamani C. Pediatric Dermatology: An Audit at Hamdard University Hospital Karachi. Journal of Pakistan Association of Dermatologists [serial online] 2006 (13 Agustus 2010); 16: 93-96. diunduh dari http://www.jpad.org.pk/april%20%20june%20%202006/6%20pediatric%20dermatoogy.pdf.

9.

Djuanda A, Hamzah M, dkk. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Edisi Kelima. 2007. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
12

Anda mungkin juga menyukai