Anda di halaman 1dari 27

PRESENTASI KASUS

HIPERPLASIA PROSTAT JINAK (BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA, BPH)

Disusun Oleh: Dewi Andini Putri 0806451340

Narasumber dr. Chaidir, SpU

MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU BEDAH DAN ATLS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA 2012

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa makalah presentasi kasus ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya.

Jakarta, Desember 2012

Dewi Andini Putri

BAB I PENDAHULUAN Hiperplasia prostat jinak (benign prostatic hyperplasia, BPH) merupakan kondisi yang sangat berkaitan dengan usia.1 Walaupun sifatnya tidak mengancam jiwa, manifestasi klinis yang timbul sebagai gejala salurah kemih bawah (lower urinary tract symptoms, LUTS) dapat mengurangi kualitas hidup pasien.2 LUTS yang bermasalah dapat terjadi hingga 30% dari pria berumur di atas 65 tahun.
3

Di

Amerika, hasil survey Olmstead County, dengan sampel acak pria Kaukasia berumur 40 hingga 79 tahun, menunjukkan bahwa gejala sedang-berat dapat terjadi pada 13% pria berumur 40-49 tahun dan pada 28% pria berumur di atas 70 tahun.1 Studi multisenter di beberapa negara di Asia menunjukkan presentase terkait umur dari pria dengan gejala sedanghingga berat lebih tinggi daripada di Amerika.5,6 Prevalensi meningkat dari 18% untuk pria umur 40an hingga 50% pada pria berumur 70an. 5 Makalah presentasi kasus ini akan membahas tentang seorang pasien dengan BPH. Dengan besarnya angka prevalensi BPH di Asia, presentasi kasus ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai gejala klinis, cara diagnosis, serta penatalaksanaan yang tepat pada penderita BPH.

BAB II ILUSTRASI KASUS 1.1. Nama Umur Tanggal lahir Jenis kelamin Agama Alamat Identitas Pasien : Tn. Washington Tampubolon : 71 tahun : 1 Desember 1941 : Laki-laki : Kristen Protestan : Jalan Akcaya II Blok A Nomor 7, Tanjung Puri, Sintang, Kalimantan Barat Status perkawinan Pendidikan Pekerjaan Suku Pembiayaan Telepon/HP No. rekam medik Tanggal masuk Ruang/Bed : Menikah : Tamat SMU : Pensiunan : Kalimantan : Askes Sosial : 08125794783 : 372-86-56 : 23 November 2012 : Gedung A 413 B

1.2.

Anamnesis Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 26 November 2012

1.2.1. Keluhan Utama Kencing mengedan sejak 20 tahun SMRS

1.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang Sejak 20 tahun sebelum masuk rumah sakit, pasien merasakan kencing yang terasa tidak lampias walaupun pasien sudah mengedan. Selain itu, pancuran kencing melemah, jumlah kencing sedikit-sedikit namun sering. Frekuensi kencing meningkat siang hari dari 3 4 kali sehari menjadi 7 8 kali sehari, disertai dengan peningkatan kencing malah hari dari 1 kali tiap malam menjadi mencapai 10 kali tiap malam
4

harinya. Pasien kesulitan menahan kencing sehingga bila ditahan terlalu lama kencing menetes. Kencing darah tidak ada, nyeri saat kencing tidak ada, nyeri pinggang atau perut bawah tidak ada, demam tidak ada. Tidak ada riwayat trauma, terdapat riwayat instrumentasi saluran kemih yaitu saat operasi tumor kandung kemih (TURB) 25 tahun lalu di RSCM. Selama ini pasien hanya minum obat herbal dalam bentuk kapsul (nutrisi untuk penyakit prostat), dengan obat tersebut keluhan membaik namun bila lebih dari 3 hari berhenti minum obat tersebut, keluhan kembali datang. Pasien memeriksakan diri ke dokter, dinyatakan pembesaran prostat, lalu dilakukan biopsi prostat dinyatakan pembesaran prostat jinak, lalu diberi pilihan untuk minum obat seumur hidup atau dilakukan operasi, lalu pasien memilih untuk menjalani operasi. Sejak 6 bulan yang lalu dinyatakan hipertensi, terkontrol dengan kaptopril. Tidak ada riwayat nyeri dada, tidak ada riwayat stroke.

1.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu Diabetes melitus tidak ada, penyakit jantung tidak ada, alergi tidak ada. Riwayat tumor kandung kemih yang sudah dioperasi pada tahun 1987.

1.2.4. Riwayat Penyakit Keluarga Hipertensi tidak ada, diabetes melitus tidak ada, alergi tidak ada, penyakit seupa seperti dalam keluarga tidak ada.

1.2.5. Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan Pasien saat ini sudah tidak bekerja, pasien sudah menikah, pembiayaan pasien dengan Askes Sosial. Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok, minum alhokol, maupun menggunakan narkoba.

1.3.

Pemeriksaan Fisis (24 November 2012)

1.3.1. Status Generalis Kesadaran Keadaan umum Keadaan gizi BB/TB IMT Tanda Vital TD Nadi Suhu Nafas Kulit Kepala Rambut Mata Telinga Hidung Tenggorokan Gigi dan Mulut Leher Paru Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : iktus kordis tidak terlihat : iktus kordis teraba di 1 jari medial sela iga 5 LMCS : batas-batas jantung dalam batas normal : S1-S2 reguler, murmur tidak ada, gallop tidak ada : simetris statis dan dinamis : vocal fremitus lapang paru kiri dan kanan simetris : sonor pada lapang paru kiri dan kanan : lapang paru kiri dan kanan vesikuler, rhonki dan wheezing tidak ada : 120/70 mmHg : 80 kali/menit, regular, isi cukup : 36,5oC : 16 kali/menit : sawo matang, turgor baik : normosefal, deformitas tidak ada : hitam, persebaran merata, tidak mudah dicabut : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik : normotia, sekret tidak ada : deviasi tidak ada, sekret deformi : arkus faring simetris, tidak hiperemis, tonsil T1/T1, Mallampati II : ada beberapa gigi tanggal, oral hygiene baik : JVP 5-2 cm H2O, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening : Compos mentis : Tampak sakit ringan : Berlebih : 76 kg/163 cm : 28,6

Abdomen Inspeksi Palpasi : datar : lemas, nyeri tekan tidak ada, defans muskular tidak ada, hepar dan limpa tidak teraba Perkusi Auskultasi Punggung Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Ekstremitas Status Urologi : Tidak ada nyeri ketok pada sudut kostofrenikus kanan dan kiri, suprasimfisis, dan genitalia. Suprasimfisis buli kesan kosong Testis kiri dan kana tidak ada kelainan. Colok dubur : fistula tidak ada, fisura tidak ada, tonus sfingter ani baik, ampula rekti paten, permukaan mukosa licin, nyeri tidak ada, prostat teraba membesar, pole atas prostat tidak teraba, permukaan prostat rata kiri dan kanan, konsistensi kenyal prostat kiri dan kanan, tidak ada nodul, tidak ada nyeri tekan, refleks bulbokavernosus baik, : simetris statis dan dinamis : vocal fremitus kedua lapang paru sama kuat : sonor pada lapang paru kiri dan kanan : lapang paru kiri dan kanan vesikuler, rhonki dan wheezing tidak ada : akral hangat, edema tidak ada, capillary refill time < 2 detik : shifting dullness tidak ada : bising usus 3 kali/menit

International Prostate Symptom Score (IPSS)


Tidak pernah Kurang dari sekali dalam lima kali Kurang dari setengah Kadang (50%) Lebih dari setengah Hampir selalu

Skor

1.

2.

3.

4.

5. 6. 7.

Selama sebulan terakhir, seberapa sering anda merasa tidak lampias saat selesai berkemih? Selama sebulan terakhir, seberapa sering anda harus kembali kencing dalam waktu kurang dari 2 jam setelah selesai berkemih? Selama sebulan terakhir, seberapa sering anda mendapatkan bahwa kencing anda terputus-putus? Selama sebulan terakhir, seberapa sering anda mendapatkan bahwa anda sulit menahan kencing? Selama sebulan terakhir, seberapa sering pancaran kencing anda lemah? Selama sebulan terakhir, seberapa sering anda harus mengedan untuk mulai berkemih? Selama sebulan terakhir, seberapa sering anda harus bangun untuk berkemih sejak mulai tidur pada malam hari hingga bangun di pagi hari?

0 0 Tidak ada 0

1 1 1 kali 1

2 2

4 4 4 kali 4

5 5 5 kali 5

3 2

3 3 kali 3

2 kali 2

Skor IPSS Total = 20

Senang sekali

Senang

Pada umumnya puas

Campuran antara puas dan tidak

Pada umumnya tidak puas

Tidak bahagia

Buruk sekali

Seandainya anda harus menghabiskan sisa hidup dengan fungsi berkemih seperti saat ini, bagaimana perasaan anda?

Skor QOL (Quality of Life) = 3

MADSEN Score Uroflowmetri Stream 0 1 3 4 Voiding 0 2 Hesitancy 0 2 Intermitency 0 3 Bladder Emptying 0 1 2 3 4 Incontinence 0 2 2 Urge 0 1 2 2 Nocturia 0 1 2 3 Diuria 0 1 2 3 1. Bagaimana pancaran air kencing bapak? lancar dan besar tidak tentu lemah, kecil menetes 2. Apakah disertai mengejan waktu kencing? tidak ya, mengejan 3. Jika terasa akan kencing, apakah segera ataukan harus menunggu lama dulu baru air kencing keluar? sesudah di WC. langsung dapat keluar harus menunggu dulu baru air kencing keluar 4. Apakah aliran kencing keluar sekaligus atau terputus-putus? sekaligus terputus-putus 5. Sesudah selesai kencing apakah merasa lampias/tuntas? lampias kadang-kadang kurang lampias selalu tidak lampias pernah sekali dipasang catheter baru dapat kencing kembali sudah lebih dari satu kali dipasang catheter baru dapat kencing biasa lagi 6. Pernah mengalami kecing tidak terasa, seperti ngompol? tidak pernah sama sekali ya, pernah seperti ngompol sesudah selesai kencing, tak terasa air kencing keluar lagi 7. Untuk pergi ke tempat kecing, saat sudah ingin kencing, apakah? tidak pernah sangat terburu-buru, yakin dapat ditahan harus buru-buru, rasanya sukar ditahan lagi kadang air kencing keburu keluar sebelum sampai di WC selalu air kencing keluar dulu sebelum siap di WC 8. Berapa kali bapak terbangun malam hari untuk pergi kencing? tak pernah atau kadang-kadang saja sekali semalam sampi dua kali semalam terbangun tiga atau bahkan empat kali semalam lebih dari empat kali terbangun malam untuk kencing di WC 9. Pada siang hari seberapa sering Bapak buang air kecil? > 3 jam sekali baru kencing, atau 3-4 kali selama siang hari setelah antara 2-3 jam sekali baru kencing, atau 5-6 kali sehari tiap 1-2 jam sekali sudah kencing, 7-8 kali selama siang hari sebentar-sebentar, tak ada satu jam sudah harus kencing lagi

Obstruktif : (1+2+3+4+5+6) = 9 Iritatif : (7+8+9) = 4 Madsen score = 13


9

1.4.

Pemeriksaan Penunjang

1.4.1. Laboratorium (30 Oktober 2012) Pemeriksaan Hematologi Hemoglobin Hematokrit Eritrosit MCV MCH MCHC Leukosit Trombosit Basofil Eosinofil Neutrofil Limfosit Monosit Laju endap darah Hemostasis PT Pasien Kontrol APTT Pasien Kontrol Urinalisa Warna Kejernihan Leukosit Eritrosit Silinder Sel epitel Kristal Bakteria Berat jenis pH Protein Glukosa Keton Darah/Hb Bilirubin Urobilinogen Nitrit Leukosit Esterase Kimia klinik Ur Cr Hasil 14.1 44.2 4.83 91.5 29.8 32.6 15.020 574.000 0.5 4.7 69.0 19.0 6.7 50 0.94 kali 11.1 11.7 1 kali 32.9 32.3 kuning jernih 34 01 negatif 1+ negatif negatif 1.025 5.5 negatif negatif negatif negatif negatif 3.2 negatif negatif 37 1.2 Batas Normal 13.0 16.0 40 48 4.5 5.5 82 92 27 31 32 36 5.000 10.000 150.000 400.000 01 13 52 76 20 40 28 0 10 9.8 12.6 31.0 47.0 Satuan g/dL % 106/L fl pg g/dL /L /L % % % % % mm

detik detik detik detik

kuning jernih /LPB /LPB

negatif 1.005 1.030 4.5 8.0 negatif negatif negatif negatif negatif 3.2 16.0 negatif negatif 10 50 0.5 1.5

mol/L

mg/dL mg/dL
10

Warna Pemeriksaan Elektrolit Na K Cl Tumor Marker PSA

Hasil 141 4.4 102.5 19.7

Batas Normal 135 147 3,3 5,5 100 106 04

Satuan mEq/L mEq/L mEq/L ng/ml

1.4.2. Rontgen Thorax Proyeksi AP Infiltrat tidak ada, cardio thoracic ratio (CTR) kurang dari 50%

1.4.3. Elektrokardiografi (EKG) Ritme sinus, gelombang P normal, PR interval 0.12 detik, QRS rate 64 kali/menit, tidak ada perubahan ST T, QRS interval 0.08 detik, T inversi di sadapan III, tidak ada bundle branch block, tidak ada hipertrofi

1.4.4. Ultrasonografi Prostat (31 Oktober 2012) Uroflowmetri :

Voiding time Flow time Time to Max Flow`

: 23 detik : 21 detik : 6 detik

Max flow rate (Q-max) : 7.5 ml/detik Average flow rate (Q-ave) : 3.9 ml/detik Voided volme` : 86 ml

11

TAUS : Rest urine 147 ml Tidak ada batu, divertikula, dan penebalan dinding pada dinding kndung kemih TRUS : Struktur ekogram homogon, tidak ada struktur hiperekoik atau hipoekoik pada prostat dextra maupun sinistra Panjang = 66.2 Lebar = 60.3 x 0.52 Volume prostat 86.1 cc

Tinggi = 41.3 PSA = 19,07 ng/ml

1.4.5. Histopatologi Prostat (30 Oktober 2012) Makroskopik : Terima cairan kuning jernih 1 botol 25 cc (jumlah 3 slide) Mikroskopik : Sediaan sitologi urin menganung sel epitel skuamosa, sel urotel, dan leukosit. Ditemukan beberapa sel astipik. Kesimpulan 1.5. Ringkasan Pria, 71 tahun, datang dengan keluhan kencing mengedan sejak 20 tahun lalu. Kencing terasa tidak lampias, kencing menjadi sering yaitu pada siang hari mencapai 5 hingaa 6 kali, pada malam hari terbangun lebih sering untuk kencing yaitu dapat : Inkonklusif sel atipik

12

mencapai 10 hingga 11 kali dalam semalam. Pasien merasa aliran kencing mejadi lebih lambat, kadang terputus-putus, sehingga pasien harus mengedan saat kencing. Bila keinginan untuk kencing datang, pasien merasa kesulitan untuk menahannya, hingga pernah saat ditahan terlalu lama akhirnya kencing menetes keluar dengan sendirinya. Dari pemeriksaan colok dubur prostat teraba membesar simetris, pole atas prostat tidak teraba, tidak ada nodul. Skor IPSS pasien 20, skor QOL (Quality of Life)pasien 3. Dari pemeriksaan uroflowmetri didapat hasil voiding time 23 detik, flow time 21 detik, time to max flow 6 detik, max flow rate (Q-max) 7.5 ml/detik, average flow rate (Q-ave) 3.9 ml/detik, dan voided volme 86 ml. Dari pemeriksaan laboratorium didapat hasil PSA 19,07 ng/ml. Dari pemeriksaan TAUS terukur hasil rest urine 147 ml, dari pemeriksaan TRUS didapat hasil struktur ekogram prostat homogon, volume prostat 86.1 cc, dari pemeriksaan histopatologi prostat didapat kesimpulan inkonklusif sel atipik.

1.6.

Daftar Masalah 1. Benign Prostaste Hyperplasia (BPH) 2. Riwayat tumor buli tahun 1987 post operasi 3. Hipertensi grade II terkontrol

1.7.

Tatalaksana 1. Trans Urethral Resection Prostate (TURP) 2. Sistoskopi k/p TURBT 3. Captopril 2 x 25 mg

1.8.

Prognosis Quo ad vitam Quo ad functionam Quo ad sanationam : bonam : bonam : bonam

13

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Pembesaran Prostat Jinak (Benign Prostate Hyperplasia, BPH) 3.1.1. Anatomi Kelenjar prostat dan vesika seminalis merupakan bagian dari sistem reproduksi pria. Prostat berfungsi untuk membentuk komposisi semen. Pada orgasme, otot prostat berkontraksi dan membenatu dorongan ejakulasi keluar dari penis. Struktur prostat mengelilingi uretra proksimal, yang disebut juga uretra pars prostatika. McNeal membagi kelenjar prostat menjadi tiga bagian oleh McNeal, yaitu zona sentral, perifer, dan transisional. Zona transisional (5-10% volume prostat normal) ini merupakan bagian dari prostat yang membesar pada hiperplasia prostat jinak, sedangkan berkembang dari zona perifer (75% volume prostat normal). sebagian besar kanker prostat
7,8,9

GAMBAR 1. Penampang Prostat Normal10 Prostat adalah berbentuk seperti buahkemiri dengan ukuran kira-kira 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram pada keadaan normal. Secara histopatologik kelenjar prostat terdiri atas komponen kelenjar dan stroma. Komponen stroma ini terdiriatas otot
14

polos, fibroblast, pembuluh darah, saraf, dan jaringan penyanggah yanglain.Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponendari cairan ejakulat. Cairan ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuaradi uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat merupakan 25% dari seluruhvolume ejakulat.Prostat mendapatkan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus prostatikus. Pleksus prostatikus (pleksus pelvikus) menerima masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis S 2-4 dan simpatik dari nervushipogastrikus ( T 10 L 2). Stimulasi parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluarancairan prostat ke dalam uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. Sistemsimpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat, dan leher buli buli. Di tempat tempat itu banyak terdapat reseptor adrenergik .Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot polos tersebut. Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon testosteron,yang di dalam sel sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi 2 metabolit aktif dihidrotestoteron (DHT) dengan bantuan enzim 5-reduktase. Dihidrotestoteron inilah yang secara langsung memacu m RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat.

3.1.2. Etiologi Pada BPH, istilah hipertrofi sebenarnya kurang tepat karena yang terjadi sebenarnya adalah hiperplasia kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat yang sebenarnya ke perifer dan menjadi simpai bedah. Disebut hiperplasia karena secara histopatologi pada BPH terjadi peningkatan jumlah sel epitelial dan stromal pada area periuretral dari prostat, hal ini terjadi mungk karena proliferasisel epitelial dan stromal atau terganggunya proses kematian sel terprogram (apoptosis) yang mengakibatkan akumulasi seluler. Androgen, estrogen, interaksi stromal-epitelia, faktor pertumbuha, dan neurotransmiter dapat berperan, baik tunggal maupun kombinasi, dalam etiologi proses hiperplasia. Beberapa teori yang menjelaskan pembesaran kelenjar periuretral, yaitu: 1. Teori Stem Cell, dikemukakan oleh Isaacs, menyatakan bahwa dalam kondisi normal kelenjar periuretral berada dalam keadaan seimbang antara sel yang tumbuh dengan
15

yang mati. Kemudian oleh sebab tertentu seperti usia, gangguan keseimbangan hormon, atau faktor pencetus lainnya, stem cell berproliferasi lebih cepat sehingga sel yang tumbuh lebih banyak daripada sel yang mati, akibatnya terjadilah hiperplasi kelenjar periuretral. 2. Teori Reawakening, dikemukakan oleh McNeal, menyatakan bahwa jaringan periuretral kembali berkembang seperti pada tingkat embriologik sehingga tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya. 3. Teori yang dikemukakan McConnel menyatakan bahwa hiperplasi kelenjar periuretral disebabkan oleh ketidakseimbangan testosteron dengan estrogen. Testosteron bebas, yaitu testosteron yang tidak terikat protein dalam bentuk Serum Binding Hormone, akan dihidrolisis oleh enzim 5-alfa reduktase menjadi dihidrotestosteron (DHT). Kemudian DHT akan berikatan dengan reseptor di sel-sel prostat dan mengakibatkan proliferasi sel. Seiring bertambahnya usia produksi testosteron akan berkurang dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa oleh enzim aromatase, estrogen lalu akan mengakibatkan hiperplasi stroma prostat.

GAMBAR 2. Skema Pembesaran Prostat Jinak 3.1.3. Patofisiologi Pada penderita BPH, akan terjadi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum, leher vesika, dan kekuatan kontraksi otot detrusor. Trigonum, leher vesika, dan otot detrusor dipersarafi oleh sistem simpatis, sedangkan trigonum oleh parasimpatis. Saat terjadi BPH
16

akan terjadi peningkatan resistensi di daerah prostat dan leher vesika. Kemudian otot detrusor akan berkontraksi lebih kuat sebagai kompensasinya. Kontraksi detrusor yang terus-menerus akan mengakibatkan penebalan dan penonjolan serat detrusor ke dalam buli-buli yang disebut pula trabekulasi, bentuknya serupa balok-balok. Mukosa vesika dapat menerobos antara serat detrusor sehingga membentuk sakula dan bila semakin membesar disebut divertikel. Detrusor yang terus-menerus mengkompensasi pada suatu saat akan jatuh pada fase dekompensasi dimana otot detrusor tidak mampu berkontraksi lagi dan terjadi retesi urin total. Retensi urin total yang terjadi menginkatkan tekanan intravesika. Ketika tekanan intravesika lebih tinggi daripada tekanan sfingter uretra, akan terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi urin yang berjalan kronik mengakibatkan refluks vesikouretral, yang semakin diteruskan ke atas mengakibatkan dilatasi ureter (hidroureter) dan sistem pelviokalises ginjal (hidronefrosis). Jika keadaan ini berlangsung terus-menerus dapat terjadi penurunan fungsi ginjal dan pada akhirnya akan terjadi gagal ginjal. Obstruksi traktus urinarius kronik dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdomen karena penderita harus mengejan pada waktu kencing. Peningkatan tekanan intraabdomen dapat mengakibatkan hernia atau hemoroid. Sisa urin dalam vesika dapat meningkatkan risiko terjadinya batu endapan dan infeksi. Adanya batu di dalam vesika dapat memperberat gejala iritatif dan mengakibatkan hematuria.

GAMBAR 3. Aliran Urin dengan BPH 3.1.4. Manifestasi Klinis Gejala pada penderita BPH dibagi menjadi gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi secara adekuat
17

misalnya karena volume prostat pada BPH yang besar, sedangkan gejala iritatif disebabkan oleh pengosongan yang tidak sempurna saat miksi atau rangsangan pada vesika oleh BPH sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum terisi penuh. Tabel 1. Gejala obstruktif dan iritatif pada BPH1 Obstruktif Menunggu pada permulaan miksi (hesitancy) Miksi terputus (intermittency) Urin menetes pada akhir miksi (terminal dribbling) Pancaran miksi lemah Rasa tidak puas setelah miksi (tidak lampias) Iritatif Peningkatan frekuensi miksi (frequency) Peningkatan frekuensi miksi malam hari (nocturia) Miksi sulit ditahan (urgency) Nyeri pada waktu miksi (dysuria)

Beratnya gangguan miksi diidentifikasi dan diklasifikasikan oleh berbagai jenis skoring, di antaranya International Prostate Symptom Score (IPSS) yang disusun oleh World Health Organization dan Madsen Lawson Score. IPSS terdiri dari delapan buah pertanyaan mengenai LUTS. Skor akhir akan menentukan tatalaksana yang akan dilakukan terhadap penderita. 2,4 Tabel 2. Klasifikasi hasil IPSS2,4 Skor 0-7 8-18 19-35 Kategori Ringan Sedang Berat Tatalaksana Watchfull waiting Medikamentosa Operasi

3.1.5. Diagnosis Pada pria berusia di atas 60 tahun kira-kira ditemukan 50% dengan pembesaran prostat dan separuhnya akan memberikan keluhan.Jika dasar kelainan berada di traktur urinarius bagian atas, maka diperiksa kelianan ginjal yang tergambar lewat pemeriksaan fisik yaitu ginjal dapat teraba pada hidronefrosis, nyeri pinggang dan nyeri ketok regio Flank pada pielonefritis, vesika urinaria dapat teraba bila terjadi retensi urin, dan teraba benjolan di lipat paha bila ada hernia. Pemeriksaan colok dubur (rectal touch, RT) dilakukan untuk memeriksa tonus sfingter ani, mukosa rektum, dan prostat. Jika batas atas prostat masih teraba, dapat diperkirakan massa prostat kurang dari 60 gram. Jika prostat teraba membesar maka diberi deskripsi lebih lanjut mengenai konsistensi, simetri, dan nodul untuk menentukan dugaan pembesaran jinak atau ganas. Pembesaran prostat jinak biasanya memiliki konsistensi kenyal,
18

bentuknya simetris, dan tidak terdapat nodul. Sedangkan pada adenokarsinoma prostat konsistensinya keras, bentuk asimetris, dan terdapat nodul. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendeteksi adanya komplikasi atau faktor komorbid pada penderita seperti infeksi, penurunan fungsi ginjal, batu saluran kemih, dan diabetes mellitus. Pemeriksaan darah terdiri dari darah perifer lengkap, elektrollit, PSA, ureum, kreatinin, dan kadar glukosa. Pemeriksaan urin terdiri dari urinalisis, biakan, dan tes sensitivitas antibiotik. Pemeriksaan pencitraan yang dilakukan pada BPH terutama ultrasonografi (USG) secara Trans Abdominal Ultrasound (TAUS) atau Trans Rectal Ultrasound (TRUS). TAUS digunakan untuk menilai volume buli, volume sisa urin, divertikel, tumor, atau batu buli. TRUS digunakan untuk mengukur volume prostat, prostat digolongkan besar jika volumenya lebih dari 60 gram. TRUS juga dapat mendeteksi kemungkinan keganasan dengan memperlihatkan adanya daerah hypoehoic, dan bisa dapat dilakukan biopsi prostat dengan jarum yang dituntun TRUS diarahkan ke daerah yang hypoechoic Pencitraan lainnya yang dapat dilakukan yaitu Blaas Nier Overzicht-Intravenous Pyelogram (BNO-IVP) untuk melihat adanya batu saluran kemih, hidronefrosis, divertikulae, volume sisa urin, dan indentasi prostat. CT Scan dan MRI jarang digunakan karena dianggap tidak efisien.9

Tabel 3. Indikasi biopsi prostat 1. Bila pada RT dicurigai adanya keganasan 2. Nilai PSA > 10 ng/ml atau PSA 4 10 ng/ml dengan PSAD > 0,15 (Standar internasional) 3. Nilai PSA > 30 ng/ml atau PSA 8 30 ng/ml dengan PSAD > 0,22 (Standar Jakarta)

3.1.6. Pengukuran Derajat Obstruksi Derajat berat obstruksi dapat diukur melalui beberapa cara. Cara pertama yaitu dengan mengukur volume sisa urin setelah penderita miksi spontan karena pada orang normal biasanya tidak terdapat sisa. Sisa urin lebih dari 100cc merupakan indikasi terapi intervensi pada penderita BPH. Volume sisa urin dapat diukur dengan melakukan kateterisasi ke dalam vesika setelah penderita miksi, dengan ultrasonografi vesika, atau foto post voiding pada BNO-IVP. Cara kedua yaitu dengan uroflowmetri. Pada pemeriksaan ini diukur pancaran urin, dimana nilai normal average flow rate (Qave) 10-12 ml/detik, maximum flow rate (Qmax) 20 ml/detik, dan voided volume. 9
19

3.1.7. Diagnosis Banding Proses miksi bergantung pada kekuatan otot detrusor, elastisitas leher vesika, dan resistensi uretra. Oleh karena itu kesulitan miksi dapat disebabkan oleh kelemahan detrusor, kekakuan leher vesika, dan resistensi uretra. Selain pada BPH, keluhan LUTS dijumpai pula pada striktur uretra, kontraktur leher vesika, batu buli-buli kecil, karsinoma prostat, atau kelemahan detrusor, misalnya pada penderita asma kronik yang menggunakan obat-obat parasimpatolitik. Sedang bila hanya gejala-gejala iritatif yang menyolok, lebih sering ditemukan apda penderita instabilitas detrusor, karsinoma in situ vesika, infeksi saluran kemih, prostatitis, batu ureter distal, atau batu vesika kecil.9

3.1.8. Tatalaksana 3.1.8.1. Watchfull Waiting Tatalaksana pada penderita BPH saat ini tergantung pada LUTS yang diukur dengan sistem skor IPSS. Pada pasien dengan skor ringan (IPSS 7 atau Madsen Iversen 9), dilakukan watchful waiting atau observasi yang mencakup edukasi, reasuransi, kontrol periodik, dan pengaturan gaya hidup. Bahkan bagi pasien dengan LUTS sedang yang tidak terlalu terganggu dengan gejala LUTS yang dirasakan juga dapat memulai terapi dengan malakukan watchful waiting. Saran yan gdiberikan antara lain :9,11 mengurangi minum setelah makan malam (mengurangi nokturia) menghindari obat dekongestan (parasimpatolitik) mengurangi minum kopi dan larang minum alkohol (mengurangi frekuensi miksi) setiap 3 bulan mengontrol keluhan: sistem skor, Qmax, sisa kencing, TRUS

3.1.8.2. Medical Treatment Ada beberapa jenis pengobatan medikamentosa pada BPH yaitu : Penghambat adrenergik alfa Obat ii menghambat reseptor alfa pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat, sehingga terjadi relaksasi, penurunan tekanan di uretra pars prostatika, sehingga meringankan obstruksi. Perbaikan gejala timbul dengan cepat, contohnya Prazosin, Doxazosin, Terazosin, Afluzosin, atau Tamsulosin. Efek

20

samping yang dapat timbul adalah karena penurunan tekanan darah sehingga pasien bisa mengeluh pusing, capek, hidung tersumbat, dan lemah. Penghambat enzim 5 reduktase Obat ini menghambat kerja enzim 5 reduktase sehingga testosteron tidak diubah menjadi DHT, konsentrasi DHT dalam prostat menurun, sehingga sintesis protein terhambat. Perbaikan gejala baru muncul setelah 6 bulan, dan efek sampingnya antara lain melemahkan libido, dan menurunkan nilai PSA. Phytoterapi Obat dari tumbuhan herbal ini mengandung Hypoxis Rooperis, Pygeum Africanum, Urtica Sp, Sabal Serulla, Curcubita pepo, populus temula, Echinacea pupurea, dan Secale cereale. Banyak mekanisme kerja yang belum jelas diketahui, namun PPygeum Africanum diduga mempengaruhi kerja Growth Factor terutama b-FGF dan EGF. Efek dari obat lain yaitu anti-estrogen, anti-androgen, menurunkan sex binding hormon globulin, hambat proliferasi sel prostat, pengaruhi
9,11

metabolisme

prostaglandin, anti-inflamasi, dan menurunkan tonus leher vesika.

3.1.8.3. Tatalaksana Invasif Tatalaksana invasif pada BPH bertujuan untuk mengurangi jaringan adenoma. Indikasi absolut untuk melakukan tatalaksana invasif : sisa kencing yang banyak infeksi saluran kemih berulang batu vesika hematuria makroskopil retensi urin berulang penurunan fungsi ginjal Standar emas untuk tatalaksana invasif BPH adalah Trans Urethral Resection of the Prostate (TURP) yang dilakukan untuk gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gram, dan kondisi pasien memenuhi toleransi operasi. Komplikasi jangka pendek pada TURP antara lain perdarahan, infeksi, hiponatremi, retensi karena bekuan darah. Komplikasi jangka panjang TURP adalah striktur uretra, ejakulasi retrograd, dan impotensi. Trans Urethral Incision of the Prostate (TUIP) dapat dilakukan apabila volume prostat tidak begitu besar/ada kontraktur leher vesik / prostat fibrotik. Indikasi TUIP yaitu keluhan sedang atau berat dan volume prostat tidak begitu besar.

21

Bila alat yang tersedia tidak memadai, maka dapat dilakukan operasi terbuka dengan teknik transvesikal atau retropubik. Karena morbiditas dan mortalitas yang tinggi yang ditimbulkannya, operasi sejenis ini hanya dilakukan apabila ditemukan pula batu vesika yang tidak bisa dipecah dengan litotriptor / divertikel yang besar (sekaligus diverkulektomi) / volume prostat lebih dari 100cc.9.11

3.1.9. Komplikasi Pada BPH yang dibiarkan tanpa tatalaksana dapat menyebabkan komplikasi seperti trabekulasi, yaitu penebalan serat-serat detrusor menyerupai balok akibat tekanan intravesikal yang terus menerus tinggi akibat obstruksi. Kemudian dapat terjadi sakulasi, yaitu mukosa vesika menerobos serat-serat detrusor, dan bila ukurannya membesar bisa menjadi divertikel. Batu vesika juga dapat terbentuk sebagai komplikasi akibat sisa urin yang menetap di vesika urinaria. Tekanan vesika yang tinggi tadi apabila diteruskan ke struktur di atasnya dapat menyebabkan hidroureter, hidronefrosis, dan penurunan fungsi ginjal. Tahap yang terakhir terjadi adalah keadaan dimana otot detrusor mengalami dekompensasi sehingga vesika tidak dapat lagi berkontraksi untuk mengosongkan isinya sehingga terjadi retensi urin total. Dan ketika besarnya tekanan vesika melebihi tekanan obstruksi makadapat terjadi overflow incontinence.9

22

BAB IV PEMBAHASAN Pasien pria, 71 tahun, datang dengan keluhan kencing mengedan sejak 20 tahun lalu. Kencing terasa tidak lampias, kencing menjadi sering yaitu pada siang hari mencapai 5 hingaa 6 kali, pada malam hari terbangun lebih sering untuk kencing yaitu dapat mencapai 10 hingga 11 kali dalam semalam. Pasien merasa aliran kencing menjadi lebih lambat, kadang terputus-putus, sehingga pasien harus mengedan saat kencing. Bila keinginan untuk kencing datang, pasien merasa kesulitan untuk menahannya, hingga pernah saat ditahan terlalu lama akhirnya kencing menetes keluar dengan sendirinya. Gejala-gejala tersebut termasuk ke dalam Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS). LUTS terdiri dari BPE (Benign prostate enlargement), BOO (benign outflow obstruction), dan BPO (benign prostatis obstruction). Ketiganya merupakan istilah anatomik dan istilah fungsi. Gejala pada pasien yang termasuk gejala iritatif adalah bertambahnya frekuensi kencing (pada siang maupun malam hari), rasa tergesa-gesa ingin kencing, dan kencing sulit ditahan. Sedangkan yang termasuk gejala obstruktif pada pasien ini adalah pancaran kencing yang melemah, rasa tidak lampias setelah kencing, mengedan, dan kencing terputus-putus. Kemungkinan obstruksi mekanik yang diakibatkan oleh batu saluran kemih dan infeksi dapat disingkirkan. Kemungkinan striktur dapat diakibatkan oleh trauma, infeksi, maupun instrumentasi masih dapat dipikirkan karena pasien pernah menjalani operasi tumor buli sebelumnya. Riwayat infeksi dan trauma tidak ada. Penyakit metabolik seperti diabetes melitus tidak ada. Penilaian secara kuantitatif gejala obstruktif dan iritatif pada pasien disusun dalam bentuk skor simptom, yang pada pasien diperiksa dengan sistem IPSS (International Prostate Scoring System) dan Madsen Iversen. Sistem IPSS dikembangkan lebih terbaru dan dapat dipakai di seluruh dunia namun sulit diterapkan pada penderita di Indonesia yang pada umumnya berumur tua dan sulit untuk mengisi pertanyaan yang sifatnya self assesment. Pada pasien ini didapat skor IPSS pasien 20, skor QOL (Quality of Life) pasien 3, skor Madsen 14. Berdasarkan klasifikasi IPSS, pasien mengalami LUTS kategori berat. Dari pemeriksaan colok dubur prostat teraba membesar simetris, pole atas prostat tidak teraba, tidak ada nodul. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembesaran prostat tidak mengarah ke arah keganasan. Namun angka PSA yang tinggi di atas 4 ng/ml yaitu 19,07 ng/ml membuat pasien harus menjalani pemeriksaan biopsi. Prostate Spesifik Antigen Density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat dihitung, bila PSAD 0,15
23

maka sebaiknya dilakukan biopsi. Pada pasien ini PSAD sebesar 0.22. Hasil pemeriksaan histopatologi prostat didapat kesimpulan inkonklusif sel atipik. Dari pemeriksaan uroflowmetri didapat hasil voiding time 23 detik, flow time 21 detik, time to max flow 6 detik, max flow rate (Q-max) 7.5 ml/detik, average flow rate (Qave) 3.9 ml/detik, dan voided volume 86 ml. Nilai ini belum melewati batas normal. Dari pemeriksaan TAUS terukur hasil rest urine 147 ml, dari pemeriksaan TRUS didapat hasil struktur ekogram prostat homogon, volume prostat 86.1 cc. Rest urine sudah mencapai lebih dari 100 cc, menunjukkan obstruksi, juga volume prostat yang sudah melebihi 20 cc seperti pada keadaan normal. Struktur homogen pada prostat menunjukkan tidak ada kecurigaan ke arah keganasan. Karena sudah mencapai nilai skor keluhan berat dengan IPSS, maka pada pasien ini sebaiknya dilakukan tindakan tatalaksana invasif berupa Trans Urethral Resection of the Prostate (TURP). Karena adanya riwayat operasi tumor buli pada pasien, maka dianjurkan untuk melakukan sistoskopi untuk melihat bila ad apenyempitan saluran dan bila diperlukan dilakukan Trans Urethral Resection of the Bladder (TURB).

24

BAB V KESIMPULAN Pasien laki-laki berusia 75 tahun datang dengan keluhan LUTS (skor IPSS 20) dengan diagnosis Pembesaran Prostat Jinak. Pada pasien direncanakan tindakan Trans Urethral Resection Prostate (TURP), sistoskopi, dan bila perlu Trans Urethral Resection of the Bladder (TURB). Prognosis pasien bonam pada quo ad vitam, sanationam, dan functionam.

25

DAFTAR PUSTAKA

1. Chute CG, Panser LA, Girman CJ, Oesterling JE, Guess HA, Jacobsen SJ, Lieber MM. The prevalence of prostatism: a population based survey of urinary symptoms. J Urol 1993;150:85-89. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve &db=PubMed&list_uids=7685427&dopt=Abstract 2. Donovan JL, Kay HE, Peters TJ, Abrama P, Coast J, Matos-Ferreira A, Rentzhog L, Bosch JL,Nordling J, Gajewski JB, Barbalias G, Schick E, Silva MM, Nissenkorn I, de la Rosette JJ. Using the ICSQoL to measure the impact of lower urinary tract symptoms on quality of life: evidence from the ICS-BPH study. International Continence Society - Benign Prostatic Hyperplasia. Br J Urol 1997;80:712-721. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve&db=PubMed&list_uid s=9393291&dopt=Abstract 3. Chapple CR. BPH disease management. Eur Urol 1999; 36(Suppl 3):1-6. http://www. ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve&db=PubMed&list_uids=10559624 &dopt=Abstract 4. Arrighi HM, Metter EJ, Guess HA, Fozzard JL. Natural history of benign prostatic hyperplasia and risk of prostatectomy, the Baltimore Longitudinal Study of Aging. Urology 1991;35(Suppl):4-8. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd= Retrieve&db=PubMed&list_uids=1714657&dopt=Abstract 5. Homma Y, Kawabe K, Tsukamoto T, Yamanaka H, Okada K, Okajima E, Yoshida O, Kumazawa J, Gu FL, Lee C, Hsu TC, dela Cruz RC, Tantiwang A, Lim PH, Sheikh MA, Bapat SD, Marshall VR, Tajima K, Aso Y. Epidemiologic survey of lower urinary tract symptoms in Asia and Australia using the International Prostate Symptom Score. Int Urol 1997;4:40-46. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query. fcgi?cmd=Retrieve&db=PubMed&list_uids=9179665&dopt=Abstract 6. Tsukamoto T, Kumamoto Y, Masumori N, Miyakr H, Rhodes T, Girman GJ, Guess HA, Jacobsen HJ,Lieber MM. Prevalence of prostatism in Japanese men in a population based study with comparison to a similar American study. J Urol 1995;154:391-395. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve &db=PubMed&list_uids=7541852&dopt=Abstract 7. Kim HL, Belldegrun A. Urology. In: Brunicardi FC. Schwartzs manual of surgery. 8th edition. United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc.; 2006. p. 103642. 8. Umbas R. Saluran kemih dan alat kelamin lelaki. Dalam: Sjamsuhidajat S, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R, editor. Buku ajar ilmu bedah Sjamsuhidajat-De Jong. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004. h. 782-6. 9. Rahardjo D. Prostat: Kelainan-kelainan jinak, diagnosis, dan penanganan. Jakarta: Asian Medical; 1999. 10. Presti JC, Kane CJ, Shinohara K, Carroll PR. Chapter 22: Neoplasms of the Prostate Gland. In: Tanagho EA, McAninch JW. Smith's General Urology. 17th ed. New York: McGraw-Hill; 2006. p. 347-55
26

11. Rosette J, Alivizatos G, Madersbacher S, Sanz CR, Nordling J, Emberton M, Gravas S, Michel MC, Oelke M. Guidelines on Benign Prostatic Hyperplasia. European Association of Urology; 2006.

27

Anda mungkin juga menyukai