Anda di halaman 1dari 8

4

Hari ini aku dan seluruh teman teman sekelasku akan berwisata ke Monas. Alangkah senangnya hati saat kutiba disana. Ketika berada di puncak tertinggi di Monas perasaan gembiraku semakin menggelora. Hamparan pemandangan dan gedung gedung pencakar langit membuat mata seakan tak ingin berkedip memandangnya. Akupun sungguh bahagia sepulangnya dari sana.
Kedua paragraf di atas punya makna yang sama. Tapi dalam pemilihan kata pada contoh paragraf kedua menjadi lebih enak dibaca, tidak membosankan bagi pembacanya. Dengan demikian kata yang tepat akan membantu seseorang mengungkapkan dengan jelas apa yang ingin disampaikannya, baik lisan maupun tulisan. Di samping itu, pemilihan kata itu harus pula sesuai dengan situasi dan tempat penggunaan kata-kata itu.

2.2

Makna Denotatif dan Konotatif


Makna denotatif adalah makna lugas, bersifat umum, dan tidak tercampur oleh nilai

rasa dan tidak berupa kiasan (Supriyadi, 2007:19). Atau secara singkat makna denotatif diartikan sebagai makna sebenarnya. Makna sebenarnya yang dimaksud adalah makna dasar kata yang terdapat dalam KBBI. Sebagai contoh yakni : a) Anton membeli kambing hitam kemarin sore. b) Rita menulis di atas meja hijau. Sedangkan makna konotatif adalah makna yang disertai rasa tertentu atau berupa kiasan (Supriyadi, 2007:19). Oleh karena itu, makna konotatif sering disebut juga dengan istilah makna kias. Lebih lanjut, makna konotatif dapat dijabarkan sebagai makna yang diberikan pada kata atau kelompok kata sebagai perbandingan agar apa yang dimaksudkan menjadi jelas dan menarik. Sebagai contoh, a) Anton menjadi kambing hitam dalam kasus tersebut. b) Sang terdakawa diadili di meja hijau.

2.3

Sinonim, Homonim, dan Polisemi


1. Sinonim

Sinonim adalah suatu kata yang memiliki bentuk yang berbeda namun memiliki arti atau pengertian yang sama atau mirip (Chaer, 1998:388). Sinomin bisa disebut juga dengan persamaan kata atau padanan kata.

Contoh katanya : binatang = fauna, bohong = dusta, haus = dahaga, pakaian = busana, bertemu = berjumpa, mati=meninggal. Adapun contoh sinonim dalam bentuk kalimat yakni Aku masih beruntung karena perusahaan pakaian milik perancang busana wanita terkenal, tempat ibuku bekerja, berbaik hati mau melunasi semua tunggakkan kuliahku. 2. Homonim Homonim adalah suatu kata yang sama bentuknya(bunyi dan ejaan) namun artinya berbeda (Chaer, 1998:385). Jika lafalnya sama disebut homograf, namun jika yang sama adalah ejaannya maka disebut homofon. Contohnya : Bisa (homonim) a. Ayah bisa bermain catur. (bisa = mampu) b. Bisa ular itu ditampung ke dalam bejana untuk diteliti. (bisa = racun) 3. Polisemi Polisemi adalah kata-kata yang memiliki makna atau arti lebih dari satu karena adanya banyak komponen konsep dalam pemaknaan suatu kata (Chaer, 1998:386). Satu kata seperti kata "kepala" dapat diartikan bermacam-macam walaupun arti utama kepala adalah bagian tubuh manusia yang ada di atas leher. Contohnya : Guru mata pelajaran matematikaku saat di bangku SD, sekarang telah menjadi kepala sekolah di SD itu. (Kepala bermakna pemimpin). Kepala anak kecil itu terlihat begitu besar, hal itu karena ia menderita penyakit hidrosepalus. (kepala berarti bagian tubuh manusia yang ada di atas). Setiap kepala di kampung rambutan harus membayar uang ronda ke Pak RT. (Kepala berarti individu). Pak Sukatro membuat kepala surat untuk pengumuman yang penting di laptopnya. (kepala berarti bagian dari surat)

2.4

Pembentukan kata
Sebagian besar kata dibentuk dengan cara menggabungkan beberapa komponen

yang berbeda. Proses pembentukan kata sangat berguna untuk membentuk istilah baru bahasa Indonesia sebagai terjemahan dari bahasa asing, atau paling tidak untuk memahami bagaimana suatu padanan kata bahasa Indonesia dibentuk dari bahasa asalnya. A. Proses Pembentukan Kata Proses pembuatan kata bentukan yang memiliki makna baru dari kata dasar dapat dilakukan dengan tiga cara. Ketiga cara tersebut yakni : 1. Afiksasi Afiks atau imbuhan adalah morfem atau bentuk terikat yang digunakan untuk membentuk neologisme. Biasa dikelompokkan menurut posisi penempatannya terhadap kata dasar, jenis imbuhan yang paling sering digunakan dalam bahasa Indonesia adalah: 1. Prefiks (awalan, misalnya me-, ber-, nara-), 2. Sufiks (akhiran, misalnya -an, -wan), 3. Infiks (sisipan di tengah, misalnya -em-, -el-), dan 4. Konfiks (gabungan dua afiks tunggal, misalnya ke- -an, pe- -an). Contohnya istilah nirkabel sebagai padanan wireless dari bahasa Inggris yang terdiri dari kata dasar wire (kabel) dan sufiks -less. Sufiks -less dalam bahasa Inggris bisa berarti tidak, tanpa, atau kurang. Afiks yang memiliki makna serupa dalam bahasa Indonesia sebenarnya ada beberapa, seperti awa-, dur-, nir-, dan tuna-. Kenapa akhirnya dipilih nir, mungkin karena lebih enak terdengarnya dan bukan berarti bahwa semua sufiks -less pasti dialihbahasakan menjadi nir-. 2. Reduplikasi Reduplikasi adalah fenomena linguistik berupa pengulangan suatu kata atau unsur kata (fonem, morfem) membentuk lema baru yang dapat mengubah makna dasar. Dalam bahasa Indonesia, reduplikasi sering dilakukan dengan menambahkan tanda hubung (-). Contohnya yakni abu-abu.

3.

Komposisi Banyak sekali kata atau lema yang dibentuk melalui proses pemajemukan dalam

bahasa Indonesia, contohnya rumah sakit, terima kasih, dan lain-lain. Hal yang menarik ialah meskipun EYD telah mengatur dengan cukup jelas tata cara penulisan gabungan kata, masih banyak ditemukan kesalahan yang dilakukan pengguna bahasa Indonesia dalam menuliskan kata majemuk. Prinsip ringkas penulisan kata gabungan adalah: 1. Ditulis terpisah antar unsurnya. Contoh darah daging. 2. Boleh diberi tanda hubung untuk menegaskan pertalian dan menghindari salah pengertian. Contoh orang-tua muda. 3. Ditulis terpisah jika hanya diberi awalan atau akhiran. Contoh: berterima kasih. 4. Ditulis serangkai jika sekaligus diberi awalan dan akhiran. Contoh: menyebarluaskan. 5. Ditulis serangkai untuk beberapa lema yang telah ditentukan. Contohnya manakala, kilometer. Daftar lengkap bisa dilihat di pedoman EYD. Namun pembentukan kata dapat juga dilakukan dengan kombinasi ketiga cara tersebut. B. Pembentukan Kata dari dalam dan luar Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia memiliki dua upaya pembentukan kata, yaitu: 1. Dari dalam bahasa Indonesia terbentuk kosakata baru dengan dasar kata yang sudah ada. Dari dalam bahasa Indonesia terbentuk kata baru, misalnya tata bahasa, daya tahan, serba mewah, tutup buku, dan lepas landas. 2. Dari luar bahasa Indonesia terbentuk kata baru melalui unsur serapan atau pungutan kata, misalnya abad (Arab), banderol (Belanda), cek (Inggris), gincu (Cina), jiwa (Sansekerta/Jawa Kuno), dan tembang (Sunda). Kosakata bahasa Indonesia banyak dipengaruhi oleh bahasa asing. Hal ini terjadi saat kita melakukan kontak bahasa dimana hal tersebut tidak dapat dielakkan karena kita pasti memiliki hubungan dengan bangsa lain. Oleh sebab itu, kosakata tersebut diatur dalam Pedoman Umum

Pembentukan Istilah. Kata-kata pungut adalah kata yang diambil dari kata-kata asing. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan kita terhadap nama dan penamaan benda atau situasi

tertentu yang belum dimiliki oleh bahasa Indonesia. Pemungutan kata-kata asing yang bersifat internasional sangat diperlukan karena masyarakat Indonesia memerlukan suatu komunikasi dalam dunia dan teknologi modern. Kata-kata pungut tersebut ada yang dipungut tanpa diubah, tetapi ada juga yang diubah. Kata-kata pungut yang sudah disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia disebut bentuk serapan. Bentuk-bentuk serapan itu ada empat macam, yakni : a) Kata yang ejaannya disesuaikan dengan bahasa Indonesia, misalnya aborsi (abortion), objek (object), dan universitas (university). b) Kata atau istilah asing yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, misalnya mutakhir (up to date), canggih (sophisticated), dan dengar pendapat (hearing). c) Kata atau istilah yang dipungut namun tetap seperti aslinya untuk mempertahankan keuniversalan, misalnya de facto, status quo, dan cum laude.

C. Kesalahan Pembentukan dan Pemilihan Kata Pada bagian berikut akan diperlihatkan kesalahan pembentukan kata, yang sering kita temukan, baik dalam bahasa lisan maupun bahasa tulis, yaitu: 1. Penanggalan awalan mengPenanggalan awalan meng- pada judul berita dalam surat kabar diperbolehkan. Namun, dalam berita teks beritanya awalan meng- harus eksplisit. 2. Penanggalan awalan berKata-kata yang berawalan ber- sering menanggalkan awalan ber-. Padahal, awalan berharus dieksplisitkan secara jelas. 3. Peluluhan bunyi /c/ Kata dasar yang diawal bunyi /c/ sering menjadi luluh apabila mendapat awalan meng-. Padahal, sesungguhnya bunyi /c/ tidak luluh apabila mendapat awalan meng-. 4. Penyengauan kata dasar Penyengauan kata dasar ini sebenarnya adalah ragam lisan yang di pakai dalam ragam tulis. Akhirnya, pencampuradukan antara ragam lisan dan ragam tulis menimbulkan suatu bentuk kata yang salah dalam pemakaian. 5. Bunyi /s/, /k/, /p/, dan /t/ yang tidak luluh

Kata dasar yang bunyi awalnya /s/, /k/, /p/, atau /t/ sering tidak luluh jika mendapat awalan meng- atau peng-. Padahal, menurut kaidah baku bunyi-bunyi itu harus lebur menjadi bunyi sengau. 6. Awalan ke- yang keliru Pada kenyataanya sehari-hari, kata-kata yang seharusnya berawalan ter- sering diberi berawalan ke-. Hal itu disebabkan oleh kekurang cermatan dalam memilih awalan yang tepat. Umumnya kesalahan itu dipengaruhi oleh bahasa daerah (Jawa/Sunda). 7. Pemakaian akhiran ir Pemakaian akhiran ir- sangat produktif dalam penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari. Padahal, dalam bahasa Indonesia baku untuk padanan akhiran ir- adalah asi atau isasi. 8. Padanan yang tidak serasi Karena pemakai bahasa kurang cermat memilih padanan kata yang serasi, yang muncul dalam pembicaraan sehari-hari adalah padanan yang tidak sepadan atau tidak serasi. Hal itu terjadi karena dua kaidah bahasa bersilang atau bergabung dalam sebuah kalimat. 9. Pemakaian kata depan di, ke, dari, bagi, pada, daripada dan terhadap Di bawah ini dipaparkan bentuk benar dan bentuk salah dalam pemakaian kata depan. Putusan daripada pemerintah itu melegakan hati rakyat. (salah) Putusan pemerintah itu melegakan hati rakyat. (benar) 10. Penggunaan kesimpulan, keputusan, penalaran, dan pemukiman 11. Penggunaan kata yang hemat 12. Analogi 13. Bentuk jamak dalam bahasa indonesia

2.5

Idiomatik
Menurut Abdul Chaer (2003:296) manyatakan idiom adalah suatu ujaran yang

makna tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya baik secara leksikan maupun gramatikal. Dalam linguistik, idiom umumnya dianggap sebagai gaya bahasa yang bertentangan dengan prinsip penyusunan, walaupun masih terjadi perdebatan mengenai hal tersebut.

10

Idiom dapat membingungkan orang yang belum terbiasa dengannya. Orang-orang yang belajar suatu bahasa baru harus mempelajari ungkapan idiom bahasa tersebut sebagaimana mereka mempelajari kosa kata lain dalam bahasa itu. Pada kenyataannya, banyak kata dalam bahasa alami yang berasal dari idiom tapi telah terasimilasi sehingga justru kehilangan makna langsungnya. Adapun contoh Idiom diantaranya : Cuci mata = cari hiburan dengan melihat sesuatu yang indah. Kambing hitam = orang yang menjadi pelimpahan suatu kesalahan yang tidak dilakukannya. Jago merah = api dalam kebakaran. Kupu-kupu malam = wanita penghibur atau pelacur komersial. Ringan tangan = kasar atau suka melakukan tindak kekerasan. Hidung belang = pria yang merupakan pelanggan psk atau pekerja seks komersil.

11

Anda mungkin juga menyukai