Anda di halaman 1dari 175

B

BUUK
KUU A
AJJA
ARR

Biodiversitas
Ekosistem Mangrove di Jawa;
T
Tiin
njjaau
uaan
nPPeessiissiirr U
Uttaarraa d
daan
nS n JJaaw
Seellaattaan waa T
Teen
nggaah
h

A
Ahhm
maadd D
Dwwii S
Seettyyaaw
waann
BIODIVERSITAS EKOSISTEM MANGROVE DI JAWA;
TINJAUAN PESISIR UTARA DAN SELATAN JAWA TENGAH

Ahmad Dwi Setyawan


Buku Ajar:

Biodiversitas Ekosistem Mangrove di Jawa;


Tinjauan Pesisir Utara dan Selatan Jawa Tengah

Penulis (Editor):

Ahmad Dwi Setyawan, S.Si., M.Si.

Co-author:

Ari Susilowati, S.Si., M.Si., Prof. Drs. Indrowuryatno, M.Si., Drs. Kusumo Winarno, M.Si. (alm.), Purin Candra
Purnama, S.Si., Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D., Prof. Drs. Sutarno, M.Sc., Ph.D., Drs. Wiryanto, M.Si.

© 2008 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penulis dan
penerbit, kecuali untuk tujuan pengajaran di ruang kuliah dan laboratorium.

Penerbit:

Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Biodiversitas


Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Universitas Sebelas Maret
Surakarta

Cetakan Pertama 2008


Prakata

Pemanasan global kini telah menjadi isu penting Di Indonesia, sebagai pemangku ekosistem
yang menarik perhatian banyak peneliti, pemerintah mangrove terluas di dunia, konversi lahan mangrove
maupun masyarakt awam. Kenaikan suhu global sekitar menjadi tambak udang, ikan, dan penggunaan lainnya
0,5oC selama tiga decade terakhir diyakini telah telah mengakibatkan hilangnya lebih dari 50% ekosistem
meningkatkan tidak saja panas di permukaan bumi tetapi mangrove dari luasan awal sekitar 4 juta ha. Kerusakan
juga mempengaruhi iklim secara keseluruhan, seperti ini menyebabkan terganggunya keseimbangan
terjadinya kekeringan panjang atau sebaliknya hujan ekosistem, khususnya pada perairan dangkal di sekitar
sepanjang tahun. Pemanasan global terjadi akibat pantai, serta menyebabkan menurunnya produktivitas
meningkatnya produksi gas-gas rumah kaca, khususnya perairan dan menurunnya kesejahteraan nelayan kecil
CO2, terutama karena meningkatnya konsumsi bahan (subsisten) yang menggantungkan pendapatannya dari
bakar fosil. Meningkatnya industrialisasi sepanjang 30 perairan dangkal tersebut. Sebagai ekoton kawasan
tahun terakhir merupakan penyebab utama pemanasan daratan dan lautan, ekosistem mangrove dipengaruhi
global. Apabila hal ini tidak dikendalikan, dengan laju dan mempengaruhi perubahan-perubahan yang terjadi di
konsumsi bahan bakar fosil pada saat ini maka pada kedua kawasan tersebut.
tahun 2050 suhu permukaan bumi diperkirakan akan Pada masa lalu, Propinsi Jawa Tengah merupakan
meningkat hingga 2oC dan permukaan air laut akan naik pemiliki lahan mangrove tunggal terluas di pulau Jawa,
sekitar 25 m karena mencairnya es di kutub, sehingga yakni di Segara Anakan, Cilacap. Namun tingginya laju
menjadi ancaman serius bagi negara kepulauan seperti sedimentasi dari sungai Citanduy dan sungai-sungai
Indonesia beserta kota-kota pantainya. lainnya yang bermuara di dalamnya menyebabkan
Ekosistem mangrove retan terhadap pemanasan kawasan tersebut cenderung berubah menjadi ekosistem
global, perubahan permukaan laut akan menyebabkan daratan, sehingga keberadaan mangrove menjadi
perubahan garis pantai, sehingga ekosistem mangrove terdesak. Hal ini diperparah dengan tingginya laju
harus beradaptasi terhadap kondisi ini, namun penebangan pepohonan untuk pembuatan arang.
perubahan yang cepat dapat menyebabkan kegagalan Ekosistem mangrove di Jawa Tengah juga menarik dikaji
proses adaptasi sehingga menyebabkan terancamnya karena adanya perbedaan menyolok antara fisiografi
keberadaan ekosistem mangrove. Di sisi lain, mangrove pantai utara yang bertanah lempung dan berombak
memiliki beberapa manfaat ekologi yang dapat relatif tenang dengan pantai selatan yang bertanah pasir
mengurangi dampak negatif pemanasan global. Secara dan berombak sangat kuat. Oleh karena itu, ekosistem
kasat mata, mangrove dapat meredam badai yang terus mangrove di kawasan ini perlu dikaji lebih mendalam
meningkat kualitas dan kuantitasnya sejalan dengan untuk mendapatkan gambaran kondisi terkini,
meningkatnya perubaan iklim bumi akibat pemanasan memahami kondisi-kondisi yang dapat mengancam
global. Mangrove juga dapat menyerap gas-gas rumah kelestariannya, serta upaya-upaya yang perlu dilakukan
kaca yang bertanggungjawab terhadap pemanasan untuk menjaga kelestariannya. Pemahaman yang
global ini, seperti CO2 dan CH4 melalui proses spesifik terhadap kondisi mangrove di Jawa Tengah
sekuestrasi karbon. perlu pula dipahami dari sudut pandang yang lebih luas
Di samping itu, mangrove juga masih memiliki kondisi keseluruhan di pulau Jawa, sehingga diperoleh
banyak manfaat lain, baik manfaat ekonomi secara pemahaman yang lebih mendalam dan lengkap.
langsung seperti kayu dan ikan, manfaat sosial-budaya Buku berjudul “Biodiversitas Ekosistem Mangrove di
seperti pariwisata dan pendidikan, maupun manfaat Jawa; Tinjauan Pesisir Utara dan Selatan Jawa Tengah”
ekologi seperti perlindungan pantai dari abrasi. Namun ini disusun terutama dari kumpulan artikel-artikel
perkembangan terakhir menunjukkan adanya tekanan publikasi yang penulis persiapkan selama menjalani
kuat terhadap eksistensi ekosistem mangrove. pendidikan S-2 di Ps. Biologi UGM Yogayakarta dan Ps.
Ditemukannya sistem pertambakan udang secara Ilmu Lingkungan UNS Solo. Dalam penulisan artikel-
intensif pada tahun 1970-an, menyebakan sejumlah artikel tersebut penulis banyak dibantu oleh kolega yang
besar ekosistem mangrove dunia diubah menjadi tambak namanya tercantum sebagai tim penyusun buku ini
udang intensif yang tidak berkelanjutan. Sebelumnya maupun tidak. Beberapa di antaranya adalah Dr. Tjut
sejak sekitar 500 tahun yang lalu di Jawa telah dikenal Sugandawaty Djohan, M.Sc dari UGM Yogyakarta yang
tambak ikan bandeng yang relatif lebih berkelanjutan, memberi banyak masukan awal hingga menumbuhkan
meskipun nilai ekonominya lebih rendah dari pada ketertarikan penulis akan ekosistem mangrove, dan Drs.
tambak udang intensif.
ii

Kusumo Winarno, M.Si (Alm) dari UNS Solo yang mangrove. Dalam buku ini penulis juga belum melakukan
banyak memberi bantuan fasilitas laboratorium. kajian kondisi ekosistem mangrove dengan metode GIS
Dalam koleksi data lapangan, data laboratorium, dan (geographycal information system), suatu perangkat
penyusunan manuskrip artikel-artikel tersebut penulis standar yang biasa digunakan untuk menggambarkan
banyak mendapatkan bantuan antara lain dari dari Prof. kondisi ekosisten mangrove di suatu kawasan, meskipun
Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D., Prof. Drs. Sutarno, M.Sc., citra satelit dan peta topografinya telah penulis tampilkan
Ph.D., Dr. Sugiyarto, M.Si., Ari Susilowati, S.Si., M.Si., di buku ini
Cahyanto Mukti, S.Si., Ainur Rohimah, S.Si., Asriyati Akhirnya, selain memberikan informasi kondisi
Asih Lestari, S.Si., dan Sugito. Penulis juga mendapat mangrove di JawaTengah, penulis juga berharap
kawan seperjalanan antara lain Suhar Irianto, S.Si., Udhi kiranya buku ini dapat menjadi sumber kajian bagi para
Eko Hernawan, S.Si., Prandaya Umaro, S.Si., Guntur peneliti mangrove serta menjadi masukan bagi pengelola
Trimulyono, S.Si., Dwi Yulianti, S.Si., dan Vina lingkungan untuk manjaga kelestarian mangrove di Jawa
Rahmawati, S.Si. Untuk itu penulis mengucapkan Tengah pada khususnya.
banyak terima kasih.
Tiada gading yang tak retak. Buku ini juga masih
menyisakan sejumlah permasalahan yang belum sempat Bogor, 10 Nopember 2008
tergarap. Buku ini disusun berdasarkan asumsi
bahwasanya ekosistem mangrove tersusun atas tumbuh- Penulis (Editor)
tumbuhan mangrove. Adapun keberadaan hewan yang
sangat melimpah dan beragam sepenuhnya tergantung
pada keberadaan tumbuh-tumbuhan tersebut, oleh
karena itu dalam buku ini hanya dibahas tentang
ekosistem mangrove dalam perspektif tumbuhan Ahmad Dwi Setyawan
ii

Daftar Isi

Prakata
Daftar isi
BAGIAN I: Pendahuluan
1. Ekosistem Mangrove di Jawa 3
2. Mangrove: Ekoton Perairan Tawar dan Laut 15
BAGIAN II: Kajian Terkini Mangrove di Jawa Tengah
3. Keanekaragaman Tumbuhan Mangrove 33
4. Komposisi dan Struktur Vegetasi 45
5. Diagram Profil Vegetasi 51
6. Keanekaragaman Isozim Sonneratia alba 61
7. Kandungan Nutrien Sedimen Tanah 73
8. Pencemaran Logam Berat Fe, Cd, Cr, dan Pb 80
9. Pemanfaatan Langsung, Penggunaan Lahan, dan Restorasi 86
BAGIAN III: Beberapa Permasalahan dan Penanganannya
10. Habitat Reliks Mangrove di Pantai Selatan Jawa 103
11. Konservasi Mangrove di Kabupaten Rembang 115
12. Konservasi Mangrove di Segara Anakan melalui Penyudetan Sungai Citanduy 121
13. Tumpahan Minyak Bumi, Mitigasi dan Restorasinya 130
BAGIAN IV: Penutup
14. Restorasi Ekosistem Mangrove di Jawa 143
157
Bibliografi
158
Key words index
159
Lampiran
1

BAGIAN I

Pendahuluan
2
3

Ekosistem Mangrove di Jawa

ABSTRACT kesalahan literasi dianjurkan penggunaan istilah


mangrove karena bakau adalah nama generik anggota
Mangrove ecosystem is a specific ecosystem that only take genus Rhizophora (Widodo, 1987).
about 2% of total land in the earth. Indonesian mangrove Komunitas mangrove tersusun atas tumbuhan,
ecosystem is the widest in the world and as a center of hewan dan mikroba, namun tanpa hadirnya tumbuhan
distributioan and ecosystem biodiversity, however it undergoes mangrove komunitas ini tidak dapat disebut ekosistem
rapid and dramatic destruction. In just 11 years, between 1982- mangrove (Jayatissa et al., 2002). Vegetasi mangrove
1993, more than 50% of Indonesian mangrove disappeared.
The most factor threatening the mangrove ecosystem is human
berperan besar dalam ekologi ekosistem ini, dimana
activities, including convertion to aquaculture, deforestation, and tumbuhan mangrove mayor merupakan penyusun
environmental pollution. Other factors such as reclamation, utamanya (Lugo dan Snedaker, 1974; Hamilton dan
sedimentation, and natural disturbance are also contributed to Snedaker, 1984; Tomlinson, 1986). Identifikasi komposisi
the disappearance of the mangrove. Mangrove ecosystem is vegetasi mangrove merupakan prasyarat untuk
very important in term of socio-economic and ecology functions. memahami semua aspek struktur dan fungsi mangrove,
Because of its functions, wide range of people alaways paid sebagaimana kondisi biogeografi, konservasi dan
attention whenever mangrove restoration taken place. manajemennya (Jayatissa et al., 2002).
Mangrove restoration potentially increases mangrove resource
value, protect the coastal area from destruction, conserve
Ekosistem mangrove merupakan kawasan ekoton
biodiversity, fish production and both of directly and indirectly antara komunitas laut dengan pantai dan daratan,
support the life of surrounding people. sehingga memiliki ciri-ciri tersendiri (Dahuri et al., 1996).
Komunitas ini sangat berbeda dengan komunitas laut,
Key words: mangrove, restoration, management, Java. namun tidak berbeda tajam dengan komunitas daratan
dengan terbentuknya rawa-rawa air tawar sebagai zona
antara. Tomlinson (1986) mengklasifikasikan vegetasi
mangrove menjadi: mangrove mayor, mangrove minor
PENDAHULUAN
dan tumbuhan asosiasi. Tumbuhan mangrove mayor (true
mangrove) sepenuhnya berhabitat di kawasan pasang
Kata mangrove merupakan perpaduan bahasa Melayu surut, dapat membentuk tegakan murni, beradaptasi
manggi-manggi dan bahasa Arab el-gurm menjadi mang- terhadap salinitas melalui peneumatofora, embryo vivi-
gurm, keduanya sama-sama berarti Avicennia (api-api), par, mekanisme filtrasi dan ekskresi garam, serta secara
pelatinan nama Ibnu Sina, seorang dokter Arab yang taksonomi berbeda dengan tumbuhan darat. Mangrove
banyak mengidentifikasi manfaat obat tumbuhan minor dibedakan oleh ketidakmampuannya membentuk
mangrove (Jayatissa et al., 2002; Ng dan Sivasothi, tegakan murni, sedangkan tumbuhan asosiasi adalah
2001). Sedang menurut MacNae (1968) kata mangrove tumbuhan yang toleran terhadap salinitas dan dapat
merupakan perpaduan bahasa Portugis mangue berinteraksi dengan mangrove mayor.
(tumbuhan laut) dan bahasa Inggris grove (belukar), Hutan mangrove terbentuk karena adanya perlin-
yakni belukar yang tumbuh di tepi laut. Kata ini dapat dungan dari ombak, masukan air tawar, sedimentasi,
ditujukan untuk menyebut spesies, tumbuhan, hutan atau aliran air pasang surut, dan suhu yang hangat (Walsh,
komunitas (FAO, 1982; Ng dan Sivasothi, 2001). 1974; Goldman dan Horne, 1983). Proses internal pada
Hutan mangrove atau mangal adalah sejumlah komunitas ini seperti fiksasi energi, produksi bahan
komunitas tumbuhan pantai tropis dan sub-tropis yang organik dan daur hara sangat dipengaruhi proses
didominasi tumbuhan bunga terestrial berhabitus pohon eksternal seperti suplai air tawar dan pasang surut,
dan semak yang dapat menginvasi dan tumbuh di suplai hara dan stabilitas sedimen (Blasco, 1992). Faktor
kawasan pasang surut dengan salinitas tinggi (MacNae, utama yang mempengaruhi komunitas ini adalah
1968; Chapman, 1976; Tomlinson, 1986; Nybakken, salinitas, tipe tanah, dan resistensi terhadap arus air dan
1993; Kitamura et al., 1997). Dalam bahasa Indonesia gelombang laut (Chapman, 1992; Steenis, 1958). Faktor-
hutan mangrove disebut juga hutan pasang surut, hutan faktor ini bervariasi sepanjang transek dari tepi laut ke
payau, rawa-rawa payau atau hutan bakau. Istilah yang daratan, sehingga dalam kondisi alami, dimana campur
sering digunakan adalah hutan mangrove atau hutan tangan manusia terbatas, dapat terbentuk zonasi
bakau (Kartawinata, 1979). Namun untuk menghindari vegatasi (Giesen, 1991).

Publikasi asli: Setyawan, A.D., K. Winarno, dan P.C. Purnama. 2003. REVIEW: Ekosistem Mangrove di Jawa: 1. Kondisi
Terkini. Biodiversitas 4 (2): 130-142.
4

Indonesia (42.550 km2)


Amerika 23.36%
Brazil (13.400 km2)
27%
Australia (11.500 km2)
Asia Tenggara & 36.63%
Nigeria (10.515 km2)
Selatan
41% Kuba (7.848 km2)
India (6.700 km2)
7.36%
M alaysia (6.424 km2)
Banglades (5.767 km2)
6.31% Papua Nugini (5.399 km2)
Af rika Barat
2.92% M eksiko (5.315 km2
16% 5.77%
2.96% Lain-lain (66.727 km2)
Afrika Timur & Aust ralia & 4.31%
Timur Tengah Oseania 3.17%
3.68%
6% 10% 3.53%

Gambar 1. Distribusi mangrove dunia dari total luas 18.107.700 ha (FAO 1985; Spalding et al., 1997).

DISTRIBUSI MANGROVE hingga Selandia Baru. Sehingga sebagai perkecualian,


o
mangrove ditemukan di Selandia Baru (38 LS) dan
o
Tumbuhan mangrove diperkirakan berasal dari Indo- Jepang (32 LU). Cara dispersal propagul di atas
Malaysia, kawasan pusat biodiversitas mangrove dunia. menyebabkan mangrove di Amerika dan Afrika Barat
Spesies ini terbawa arus laut ke seluruh pantai daerah (Atlantik) memiliki luas dan keragaman lebih rendah,
tropis dan subtropis dunia, pada garis lintang 25oLU dan karena harus melewati Samudera Pasifik, sedangkan
25o LS, karena propagulnya dapat mengapung. Dari mangrove di Asia, India, dan Afrika Timur memiliki
kawasan Indo-Malaysia, mangrove tersebar ke barat keragaman lebih tinggi (Walsh, 1974; Tomlison, 1986).
hingga India dan Afrika Timur, serta ke timur hingga Hal ini menginspirasi Walsh (1974) untuk membagi dunia
Amerika dan Afrika Barat. Penyebaran mangrove dari mangrove menjadi dua kawasan utama, yaitu Indo-
pantai barat Amerika ke laut Karibia, terjadi pada jaman Pasifik Barat yang meliputi Asia, India dan Afrika Timur,
Cretaceous atas dan Miocene bawah, antara 66-23 juta serta Amerika - Afrika Barat (Gambar 1.). Mangrove dari
tahun yang lalu, melewati selat yang kini menjadi tanah kawasan Indo-Pasifik Barat sangat terkenal dan
genting negara Panama. Penyebaran ke timur diikuti beragam, terdiri lebih dari 40 spesies, sedangkan di
penyebaran ke utara hingga Jepang dan ke selatan Atlantik hanya sekitar 12 spesies.
5

10.89%
6.43% Indonesia (42.550 km2)
5 29
Malaysia (6.420 km2) 29
4.48%
4.29% Myanmar (3.790 km2)
1.44% Thailan (2.640 km2) 31
35
0.29% Vietnam (2.530 km2)
0.01%
Kamboja (850 km2)
Brunei (170 km2)
24 45
72.17% Singapura (6 km2)
36

A B
2
Gambar 2. Distribusi luasan hutan mangrove di Asia Tenggara dengan luas keseluruhan sekitar 61.250 km (A) dan jumlah spesies
pada setiap negara (B) (Spalding et al., 1997).

Tumbuhan mangrove dari kedua kawasan ini substrat seperti lumpur, pasir, terumbu karang dan
memiliki perbedaan keanekaragaman spesies cukup kadang-kadang pada batuan, namun paling baik tumbuh
menyolok. Rhizophora dan Avicennia, dua genus utama di pantai berlumpur yang terlindung dari gelombang dan
mangrove, diwakili spesies yang berbeda di kedua mendapat masukan air sungai. Tumbuhan mangrove di
kawasan tersebut, mengindikasikan adanya spesiasi Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi dapat mencapai
yang mandiri. Di Indo-Pasifik Barat ditemukan Avicennia tinggi 50 m dengan diameter 50 cm, meski umumnya
oficinalis, A. marina, Rhizophora mucronata, R. hanya setinggi 25 m dengan diameter 18 cm
apiculata, Bruguiera gymnorhiza, dan Sonneratia alba, (Soemodihardjo dan Ishemat, 1989). Keragaman spesies
sedangkan di Atlantik ditemukan A. nitida, R. racemosa, pada setiap lokasi berbeda-beda, di seluruh Indonesia
R. mangle, R. harrissonii, dan Laguncularia racemosa jumlah tumbuhan mangrove sekitar 47 spesies (Anonim,
(Marius, 1977; Aksornkoae, 1997). 1997). Informasi lain menyatakan jumlahnya lebih dari 37
Indonesia merupakan negara besar, terdiri lebih dari spesies (Soemodihardjo dan Ishemat, 1989) atau 45
17.000 pulau, terletak di garis katulistiwa antara 6oLU- spesies (Spalding et al., 1997). Spesies utama berasal
11oLS, dan 95-110oBT, jarak dari barat ke timur 5.000 dari genera Avicennia, Rhizophora, Sonneratia,
km, dan dari utara ke selatan 2.000 km. Luas daratan Bruguiera, Ceriops, Excoecaria, Heritiera, Lumnitzera,
sekitar 1.900.000 km2, dengan panjang garis pantai Nypa, Xylocarpus, dan Aegiceras (Soemodihardjo dan
sekitar 81.000 km (Hadianto, 1998). Pantai yang panjang Sumardjani, 1994).
dengan kondisi geomorfologi dan hidrologi yang
beragam memungkinkan terbentuknya berbagai tipe
ekosistem mangrove. Sekitar 61.250 km2 atau sepertiga PERAN EKOSISTEM MANGROVE
mangrove dunia terdapat di Asia Tenggara, dimana
2
42.550 km terdapat di Indonesia (Spalding et al., 1997)
Hutan mangrove memiliki nilai sosial-ekonomi dan
(Gambar 2.). Ekosistem mangrove hanya mencakup 2%
ekologi sangat penting (Bennett dan Reynolds, 1993).
daratan bumi, sehingga secara global sangat langka dan
bernilai dalam konservasi (Ong,
2002). Ekosistem ini merupakan 2.35%
bagian dari wilayah pesisir, 1.22%
pertemuan darat dan laut, yang 2.35%
0.13%
mencakup 8% permukaan bumi Irian (2.943.000 ha)
9.02%
(Birkeland, 1983; Ray dan
McCormick, 1994; Clark, 1996). Sumatera (667.340 ha)
Ekosistem mangrove di Kalimantan (383.450 ha)
Indonesia umumnya terpencar- 15.70%
Maluku (100.000 ha)
pencar dalam kelompok-
kelompok kecil, sebagian besar Sulaw esi (99.830 ha)
terletak di Irian (Papua) (Gambar 69.23% Jaw a dan Bali (51.890 ha)
3.). Mangrove di Jawa, Sumatra,
Nusa Tenggara (5.510 ha)
Sulawesi, Kalimantan dan Irian
sudah terpengaruh kegiatan
pembangunan, sedangkan di
Maluku dan Nusa Tenggara
relatif masih alami. Di Indonesia
Gambar 3. Distribusi luasan hutan mangrove di Indonesia (FAO 1985).
mangrove tumbuh pada berbagai
6

Selama berabad-abad ekosistem mangrove memiliki nilai (Spalding et al. 1997). Sedangkan sumber lama
sosial-ekonomi berupa: kayu bangunan, kayu bakar, menyebutkan bahwa luas hutan mangrove dunia sekitar
kayu lapis, bubur kertas, tiang telepon, tiang pancang, 15,9 juta ha (FAO, 1982), data yang diperbaharui
bagan penangkap ikan, dermaga, bantalan kereta api, luasnya sekitar 16,9 juta ha (Saenger et al, 1983).
kayu untuk mebel dan kerajinan tangan, atap, tannin kulit Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Dari
kayu, bahan obat, gula, alkohol, asam asetat, protein 15,9 juta ha mangrove dunia tersebut, sekitar 4,25 juta
hewani, madu, karbohidrat hipokotil dan bahan pewarna ha (27%) berada di indonesia (FAO, 1982).
(Hamilton dan Snedaker, 1984; IPIECA, 1993a; Penurunan luasan mangrove paling cepat dan
Spaninks dan Beukering, 1997; Bandaranayake, 1998; dramatis terjadi di Asia Tenggara (Gómez 1988;
Dahdouh-Guebas et al., 2000; Manassrisuksi et al., Aksornkoae, 1993). Di Indonesia luas hutan ini terus
2001; Ng dan Sivasothi, 2001; Ong, 2002). menurun dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi
Mangrove memiliki fungsi ekologi yang tidak kalah 3.237.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185
penting, antara lain untuk sekuestrasi karbon, menyaring ha (1993). Dalam kurun waktu 11 tahun (1982-1993),
dan menangkap bahan pencemar, menjaga stabilitas terjadi penurunan hutan mangrove lebih dari 50% dari
pantai dari erosi, intrusi air laut, dan tekanan badai, total luasan semula (Dephut, 1994; Soenarko, 2002).
membentuk daratan baru, menjaga kealamian habitat, Penurunan luasan hutan mangrove disebabkan oleh
menjadi tempat bersarang, memijah dan membesarkan reklamasi untuk membangun tambak udang, ikan, dan
anak berbagai jenis ikan, udang, kerang, burung, dan garam (Terchunian et al., 1986; Primavera, 1993),
fauna lain, serta memiliki fungsi sosial sebagai area penebangan hutan secara berlebih (Walsh, 1974;
konservasi, pendidikan, ekoturisme, dan identitas Hussein, 1995; Semesi, 1998), pertambangan,
budaya (Thom, 1967; Tomlison, 1986; Sukardjo, 1989; pencemaran, pembendungan sungai (Lewis, 1990),
Howe et al., 1992; IPIECA, 1993a; Tanaka, 1994; pertanian, bencana alam (Nybakken, 1993; Jimenez,
Spaninks dan Beukering, 1997; Anonim, 2001b; 1985; Knox dan Miyabara, 1984), serta tumpahan
Manassrisuksi et al., 2001; Ng dan Sivasothi, 2001; Ong, minyak (Ellison dan Farnsworth, 1996), namun yang
2002), namun nilai penting ekologi masih sering terakhir ini belum banyak didokumentasikan (Burns et
diabaikan (Coulter et al., 2001). al., 1994; 1999).
Hasil kajian analisis biaya dan manfaat hutan Degradasi ekosistem mangrove di atas didorong
mangrove di beberapa daerah menunjukkan total nilai faktor-faktor berikut: pertambahan penduduk, hingga
ekonominya dapat mencapai triliunan rupiah. Total dibutuhkan lebih banyak jalan, permukiman, kawasan
economic value (TEV) ekosistem mangrove per tahun di industri, pelabuhan dan lain-lain; keuntungan jangka
Pulau Madura Rp 49 trilyun, Irian Rp 329 trilyun, pendek, seperti tambak ikan dan udang, tambak garam
Kalimantan Timur Rp 178 trilyun, Jawa Barat Rp 1,357 dan sawah; kurangnya perhatian pemerintah; peraturan
trilyun, dan untuk seluruh Indonesia Rp 820 trilyun yang tidak jelas; teknik penebangan hutan yang tidak
(Republika, 23/7/2002). Di teluk Bintuni, Irian, ekosistem lestari; serta lemahnya sumberdaya manusia dan alokasi
mangrove seluas 300.000 ha setiap tahun mendukung dana (Choudhury, 1996). Kerusakan hutan mangrove
pemanfaatan secara tradisional Rp. 100 milyar, dapat pula terjadi karena konversi ke jenis hutan lainnya,
perikanan Rp. 350 milyar, dan kayu Rp. 200 milyar misalnya sejak tahun 1997 Perhutani mengubah 6000 ha
(Ruitenbeek, 1992). dari 11.263 ha hutan mangrove Segara Anakan menjadi
Hutan mangrove merupakan komunitas paling perkebunan kayu putih (Suara Merdeka, 16/6/2001). Hal
produktif di dunia (Clough, 1992). Sebagian besar yang sama telah lebih dahulu dilakukan di hutan
biomassa mangrove dihasilkan dari guguran daun ( ± mangrove Indramayu (Machfud, 1990).
90%), yang selanjutnya disimpan dalam sedimen ( ± Penurunan luasan mangrove mendorong terjadinya
10%), terdekomposisi (± 40%), atau terbawa ke intrusi air laut dan erosi pantai, sehingga menurunkan
ekosisten lain (± 30%) (Duarte dan Cebrián, 1996). produktivitas perairan pantai (Aksornkoae, 1993). Untuk
Biomassa ini merupakan makanan bagi organisme mengatasi hal ini banyak negara mengkampanyekan
detritus yang hidup pada ekosistem mangrove dan upaya konservasi, manajemen, dan restorasi hutan
pantai di sekitarnya (Manassrisuksi et al., 2001). mangrove (Manassrisuksi et al., 2001; Hong dan San,
1993). Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri
menilai, kondisi kerusakan hutan mangrove dan terumbu
karang di wilayah pesisir Indonesia sudah pada tingkat
KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE yang sangat mengkhawatirkan. Untuk itu dibutuhkan
kebijakan nasional yang mengatur pengelolaan sumber
Di seluruh dunia aktivitas manusia telah mengurangi daya pesisir dan pulau-pulau kecil (Suara Pembaruan,
luasan ekosistem alami dan menurunkan 29/7/2002). Kehidupan yang lestari tergantung pada
keanekaragaman hayati hingga tingkat yang berlanjutnya ekosistem alami yang menyediakan
mengkhawatirkan. Keanekaragaman hayati kawasan sumberdaya bagi manusia. Kawasan alami dan
tropis merupakan yang tertinggi di dunia (Ligtvoet et al., dilindungi harus beragam dan menyertakan berbagai
1996). Hutan mangrove diperkirakan menempati 75% kelompok habitat yang khas, sehingga nilai sosial-
luas kawasan pantai tropis (Chapman, 1976), tetapi ekonomi dan ekologinya juga beragam. Kawasan lindung
tekanan antropogenik telah menurunkan luas hutan ini dapat menjadi sumber bahan baku kehidupan sehari-hari
secara global hingga di bawah 50% dari luas awal masyarakat setempat, sarana wisata, menjadi identitas
(Saenger et al., 1983; Spalding et al.1997). budaya dan spiritual, serta memberikan jasa ekologi bagi
Luasan hutan mangrove dunia sangat beragam lingkungan di sekitarnya (Miller, 1999).
tergantung metode dan referensi yang dijadikan acuan Ekosistem mangrove bersifat dinamis, setiap tempat
oleh penulisnya. Dengan teknologi remote sensing luas memiliki komposisi spesies tersendiri. Ekosistem ini
hutan mangrove dunia diperkirakan sekitar 18,1 juta ha memiliki kemampuan tinggi untuk kembali terbentuk
7

setelah kerusakan hebat selama pola hidrologi kembali tawar di sekitarnya (Silvius et al., 1987). Hampir semua
stabil dan tersedia sumber propagul (Manassrisuksi et ekosistem mangrove di Jawa mengalami gangguan
al., 2001). Perubahan fisik seperti pengeringan, sangat serius, hanya di beberapa taman nasional
pembangunan kanal, dan pemakaian pupuk dapat ekosistem ini masih dijumpai asli.
mempengaruhi habitat mangrove, sehingga struktur dan Hutan mangrove di Jawa Timur umumnya
komposisinya dapat berubah-ubah (Tanaka, 1992; menempati daerah muara sungai dan dataran lumpur
Odum, 1971). (tidal flat) di pantai utara. Kawasan terluas adalah daerah
delta Brantas yang meliputi Gresik, Surabaya, Sidoarjo,
Pasuruan dan sebagian Probolinggo. Sedimentasi yang
ANCAMAN KELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE cukup besar ditunjang kondisi pantai yang landai
DI JAWA berombak tenang menyebabkan terbentuknya dataran
lumpur secara terus menerus, suatu bentang
geomorfologi yang sangat sesuai bagi pertumbuhan
Pertambahan penduduk, penebangan hutan dan
mangrove. Pada tahun 1970-an kawasan delta Brantas
pertambakan merupakan tiga ancaman utama
merupakan belantara mangrove dengan
kelestarian hutan mangrove di Jawa (Hasmonel et al.,
keanekaragaman hayati tinggi, dan menjadi daerah
2000), namun mangrove dapat pula rusak akibat
persinggahan burung-burung migran dari Asia ke
reklamasi dan sedimentasi berlebih, pencemaran
Australia. Jenis burung air yang saat itu mudah dijumpai
lingkungan, dan pertambangan. Jawa merupakan
antara lain kuntul (Egretta alba), bangau tongtong
kawasan dengan penduduk paling padat di dunia
(Leptoptilos javanicus), belibis kembang (Dendrocygna
(Ligtvoet et al., 1996), dimana 60% peduduk Indonesia
arquata), dan pecuk ular (Anhinga melanogaster). Pada
yang jumlahnya lebih dari 200 juta tinggal di pulau yang
saat ini delta Brantas telah banyak diubah untuk tambak,
luasnya hanya seperlima luas negeri (Hadianto, 1998),
pemukiman, kawasan industri, rekreasi, pelabuhan, dan
sehingga tingkat perubahan habitat alami sangat tinggi,
sawah. Pengembangan industri sejak tahun 1970-an
termasuk untuk permukiman (Silvius et al., 1987).
merupakan salah satu pemicu parahnya kerusakan
Kebanyakan kota-kota besar dunia terletak di pantai.
wilayah ini (Arisandi, 2001; Kompas, 31/7/2002). Di
Di Indonesia 75% kota yang ditinggali 100.000 penduduk
sepanjang pantai utara Jawa Timur terdapat lebih dari 25
terletak di tepian pantai, dimana hutan mangrove juga
jenis tumbuhan mangrove, dimana jenis-jenis
berada (Choudhury 1996). Di ibukota negara Jakarta,
Rhizophora dan Avicennia relatif dominan (Arisandi,
upaya perluasan kawasan permukiman ke arah selatan
2001). Penelitian yang lebih mendetail di TN Baluran
terbentur kendala alam berupa kawasan puncak yang
menunjukkan adanya 36 spesies mangrove (Saraswati,
menjadi daerah penyangga sumberdaya air. Upaya
2001).
perluasan kota ke arah utara dengan mereklamasi
Pantai utara Jawa Barat merupakan lokasi yang
kawasan pantai, tampaknya menjadi pilihan yang paling
sangat potensial untuk pertumbuhan mangrove.
memungkinkan, namun hal ini perlu didukung
Kawasan ini menjadi muara sekurang-kurangnya 15
pembentukan ekosistem mangrove baru untuk menjaga
sungai besar dan panjang, seperti Citarum, Cimanuk,
keberlanjutan fungsi ekologi mangrove bagi ekosistem di
Ciujung, dan Cisadane, sehingga menjamin terbentuk
sekitarnya (Ligtvoet et al., 1996). Terlebih sebagian
dataran lumpur yang cukup luas dan kontinyu. Kawasan
pantai utara telah mengalami pencemaran, eksploitasi
ini telah lama dikenal sebagai tempat persinggahan
sumber daya yang berlebih, dan degradasi habitat akibat
terbesar burung-burung air yang bermigrasi dari daratan
pembangunan di wilayah pantai dan laut lepas (Butar-
Asia. Jenis burung migran di pantai utara Jawa Barat
Butar, 1996).
antara lain trinil (Tringa glareola), ayam-ayaman
Hutan mangrove di pulau Jawa, pada tahun 1985
(Gallicrex cinerea), blekek (Gallinago sp.), curek
seluas 170.500 ha, namun pada tahun 1997 tinggal
(Callidris ruficolis), betonan (Charadrius dubius) dan
19.077 ha (11,19%). Penyusutan terbesar terjadi di Jawa
seriwut (Tringa hypoleucos). Perburuan burung air
Timur, dari luasan 57.500 ha tinggal 500 ha (8%), di
merupakan ancaman serius konservasi biologi di
Jawa Barat dari 66.500 ha tinggal kurang dari 5.000 ha
kawasan ini (Iskandar, 1987; The Jakarta Post,
(7,5%), dan di Jawa Tengah dari 46.500 ha tinggal
29/1/2002).
13.577 ha (29%). Sementara luas tambak di pulau Jawa
Pantai utara Jakarta masih menyisakan ekosistem
adalah 128.740 ha yang tersebar di Jawa Barat (50.330
mangrove, antara lain di cagar alam Muara Angke dekat
ha), Jawa Tengah (30.497 ha), dan Jawa Timur (47.913
pantai Kapuk seluas 25 ha, namun tekanan untuk
ha). Apabila ekstensifikasi tambak dengan mengubah
mengubahnya menjadi lahan permukiman, tambak atau
hutan mangrove terus dilakukan, maka kemungkinan
sawah sangat tinggi (Anonim, 1998). Di samping itu
besar akan sangat sulit menemukan hutan mangrove di
sedang diusulkan untuk merestorasi ekosistem
Jawa (Giesen, 1993; Republika, 23/7/2002).
mangrove di muara sungai Cisadane sebagai
Pada masa lalu hutan Segara Anakan merupakan
penyeimbang hilangnya mangrove dari pantai Kapuk
hutan mangrove terluas di Jawa, dimana luasnya
akibat reklamasi. Keberadaan ekosistem mangrove
mencapai 15.145 ha (Wirjodarmodjo et al., 1979) atau
sangat penting sebagai sarana parkir luapan air hujan
bahkan 21.500 ha (Sasaki dan Sunarto, 1994). Pada
dari sungai-sungai sebelum masuk ke laut sehingga
masa kini luasnya sulit diprediksi akibat tingginya
dapat mencegah dan mengurangi volume banjir (Ligtvoet
sedimentasi hingga terbentuk dataran-dataran baru yang
et al., 1996). Kenyataan empiris membuktikan banjir di
diinvasi mangrove, serta banyaknya perubahan
jalan menuju Bandara Sukarno-Hatta, baru timbul
peruntukan area vegetasi mangrove lama yang telah
setelah kawasan mangrove pantai Kapuk direklamasi
mapan (Setyawan et al., 2002). Tingkat perubahan
untuk permukiman dan sarana kelengkapannya.
habitat yang sangat tinggi menyulitkan upaya untuk
Ekosistem mangrove di pantai utara Jawa Tengah
mengukur luasan hutan mangrove dan rawa-rawa air
juga terbentuk pada dataran lumpur di muara-muara
8

sungai. Namun nilai penting kawasan ini lebih rendah di Cilacap (Setyawan et al., 2002). Di Jawa Barat antara
banding pantai utara kedua propinsi tetangganya lain ditemukan di teluk Pelabuhan Ratu, sedangkan di
mengingat luasannya yang jauh lebih sempit, akibat Banten utamanya di TN Ujung Kulon (Blower dan Zon,
pendeknya sungai-sungai yang bermuara ke pantai ini. 1977; Hommel, 1987).
Sebaliknya Jawa Tengah memiliki ekosistem mangrove
yang sangat penting di pantai selatan,. Segara Anakan
merupakan hutan mangrove yang sangat menarik EKOSISTEM ALAMI MANGROVE DI JAWA
karena keadaan geomorfologinya mendukung
terbentuknya ekosistem yang dinamis (Sukardjo, 1985).
Jawa masih menyisakan hutan mangrove yang
Sedimentasi yang tinggi dari sungai Citanduy,
alami, sehingga dapat menjadi sumber propagul untuk
Cikoneng/Cimeneng, dan sungai-sungai lain
merestorasi ekosistem yang rusak. Ekosistem alami ini
menyebabkan terbentuk daratan baru yang didominasi
terdapat di beberapa kawasan taman nasional, antara
tumbuhan pioner Avicennia dan Sonneratia, sedangkan
lain TN Baluran dan TN Alas Purwo di Jawa Timur, serta
Rhizophora menempati bagian kecil yang airnya tetap
TN Ujung Kulon di Banten. Adapun beberapa cagar alam
mengalir (Sasaki dan Sunarto, 1994). Pengecekan oleh
yang diharapkan dapat mengkonservasi mangrove
Setyawan et al., (2002) terhadap seluruh muara sungai
tampaknya tidak lagi mampu melaksanakan fungsinya,
di pantai selatan Jawa mulai dari teluk Pacitan hingga
seperti Muara Angke serta Nusakambangan barat dan
muara sungai Donan dan Segara Anakan menemukan
timur. Di lepas pantai utara Jawa, terdapat dua taman
29 spesies mangrove, terdiri dari 9 spesies mayor, 2
nasional laut yang juga menyimpan ekosistem
spesies minor dan 18 spesies tumbuhan asosiasi,
mangrove, yaitu TNL Karimunjawa dan TNL kepulauan
dimana Sonneratia alba, Rhizophora mucronata,
Seribu, di samping itu di pulau Bawean terdapat
Avicennia alba dan Nypa fruticans merupakan spesies
sekelompok masyarakat yang secara sengaja menjaga
yang paling sering ditemukan. Menurut Nurwanto (2001),
dan memperluas kawasan mangrove.
kawasan Segara Anakan juga menjadi tempat
Taman Nasional Ujung Kulon terletak di ujung barat
perlindungan burung migran dari Asia, antara lain trinil
pulau Jawa. Sejak tahun 1991 kawasan ini dimasukkan
(Tringa stagnita), grajahan (Numentus spp), dan cerek
dalam daftar warisan dunia pada kriteria (iii) yakni
(Charadrius javanicum). Berdasarkan kondisi
memiliki fenomena alam yang luar biasa dan (iv) yakni
lingkungannya hutan mangrove Segara Anakan dapat
merupakan habitat konservasi in situ spesies langka
dikelompokkan dalam zona akresi, zona alami, dan zona
(Anonim, 2002). TN Ujung Kulon memiliki hutan
terpolusi minyak (Soewarno, 1982).
mangrove di sepanjang pantai utara tanah genting,
Permasalahan serius di kawasan Segara Anakan
sungai Cikalong, Pulau Handeuleum, dan Pulau
selain kemungkinan hilangnya laguna karena sedimen-
Panaitan. Spesies yang dominan antara lain S. alba,
tasi adalah kerusakan habitat dan berkembangnya desa-
Lumnitzera racemosa, N. fruticans, Avicennia,
desa di sekitar yang membutuhkan perumahan, jalan,
Rhizophora, dan Bruguiera (Blower dan Zon, 1977;
tambak dan lain-lain (Dudley, 2000). Sedimen yang
Hommel, 1987). TN Baluran di ujung timur laut pulau
utamanya dibawa Sungai Citanduy dan
Jawa, memiliki 36 spesies mangrove yang letaknya
Cikoneng/Cimeneng secara signifikan mengubah
terpencar-pencar, delapan diantaranya baru diidentifikasi
ekosistem payau menjadi ekosistem daratan. Usulan
yaitu Acrostichum aureum, Osbornea octodonta,
pembendungan dan penyudetan Sungai Citanduy agar
Bruguiera sexangula, B. gymnorrhiza, Rhizophora
langsung bermuara di laut selatan diharapkan dapat
lamarckii, R. mucronata, R. stylosa, dan Heritiera
mengurangi laju sedimentasi. Namun bagaikan buah
littoralis (Saraswati, 2001). TNL Karimunjawa memiliki 25
simalakama upaya ini dapat menyebabkan terbentuknya
spesies mangrove mayor dan minor, antara lain:
ekosistem baru yang dapat mempengaruhi kegiatan
Bruguiera, Rhizophora, Ceriops, Sonneratia, Avicennia,
pariwisata di Pantai Pangandaran, Ciamis yang menjadi
dan Xylocarpus (Martoyo, 2000).
tumpuan hidup banyak penduduk (Winarno dan
Terdapat banyak faktor yang menyebabkan rusaknya
Setyawan, 2003).
ekosistem mangrove di Jawa. Dalam tulisan ini akan
Pantai selatan Jawa memiliki geomorfologi khas
diketengahkan beberapa faktor yang menjadi
pada muara sungai dengan terbentuknya gumuk pasir
penyumbang terbesar kerusakan tersebut, antara lain:
(sand dunes). Gumuk pasir menyebabkan terbentuknya
pertambakan, penebangan hutan, reklamasi dan
laguna yang terlindung dari hempasan gelombang laut
sedimentasi, serta pencemaran lingkungan, khususnya
sehingga memungkinkan kehidupan komunitas
oleh minyak bumi.
mangrove. Pada musim hujan, gumuk pasir terbuka oleh
besarnya debit air sungai sehingga laguna memiliki
ekosistem pasang surut, sedangkan pada musim
kemarau dengan sedikitnya debit air sungai, maka PERTAMBAKAN
gumuk pasir sepenuhnya menutupi muara sungai
sehingga air sungai menggenang dan salinitas laguna Hilangnya hutan mangrove terutama disebabkan
menurun. Spesies mangrove yang tumbuh di muara pembuatan tambak ikan dan udang, khususnya dalam
sungai diperkirakan melakukan adaptasi terhadap dua dekade terakhir (Kairo et al., 2001; Ong, 2002; The
salinitas dan air yang menggenang tersebut (Djohan, Jakarta Post, 29/1/2002). Nilai ekonomi udang yang
2000, komunikasi pribadi). Di pantai selatan Jawa Timur tinggi menjadikannya mata dagangan penting di dunia
ekosistem mangrove dijumpai di Teluk Grajakan - (Martinez-Alier, 2001; Ong, 2002). Keberhasilan teknik
Segara Anak, TN Alas Purwo (Anonim, 2000), Pulau budidaya udang di Taiwan pada tahun 1970-an
Sempu (Kompas, 31/5/2002) dan Teluk Pacitan. Di mendorong upaya pertambakan udang secara modern
pantai Selatan Jawa Tengah ditemukan terutama di dalam skala luas di Asia Tenggara, Karibia dan Amerika
muara sungai Bogowonto, di samping Segara Anakan, Selatan (Phillips et al., 1993; Primavera, 1993, 1995;
9

Ellison dan Farnsworth, 1996; Naylor et al. 1998). penebangan secara tidak lestari merupakan penyebab
Hingga tahun 1991, hutan mangrove seluas 1,2 juta utama kerusakan mangrove di dalam hutan (Suara
hektar di kawasan Indo-Pasifik Barat telah diubah Pembaruan, 11/8/2002). Penebangan hutan hingga
menjadi tambak (Primavera, 1995). Sejak tahun 1990 tingkat yang tidak memungkinkan penyembuhan secara
sekitar 269.000 ha hutan mangrove Indonesia dikonversi alami merupakan ancaman serius ekosistem mangrove
menjadi tambak (Choudhury, 1996). Konversi mangrove (Hasmonel et al., 2000).
menjadi tambak secara besar-besaran terjadi di pantai Keterkaitan mangrove dengan produktivitas
utara Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur perikanan telah banyak dilaporkan (e.g. Lewis et al.
(Anonim, 2001a). 1985; Twilley, 1993; Primavera, 1995; Ellison dan
Di Indonesia pembuatan tambak udang pada Farnsworth, 1996). Pembabatan ekosistem mangrove
awalnya di mulai di pantai utara Jawa, dimana selalu diikuti penurunan hasil tangkapan ikan dan udang
mendorong perusakan hutan mangrove secara besar- pada perairan pantai di sekitarnya (Martosubroto dan
besaran antara pertengahan tahun 1970-1990-an. Kini Naamin, 1977), termasuk pembabatan mangrove untuk
kebanyakan tambak tersebut tidak lagi produktif, pertambakan. Oleh karena itu perlu adanya manajemen
sehingga dicari lahan baru seperti di Irian, Sulawesi, yang terintegrasi antara pengelola hutan mangrove dan
Kalimantan, dan Maluku. Beberapa tambak besar di perikanan, sehingga terbuka kesempatan untuk
Indonesia merupakan milik pengusaha Thailand. Mereka melakukan akuakultur dan marikultur secara
memindahkan lokasi usahanya ke Indonesia karena berkelanjutan (Kairo et al., 2001).
areal pertambakan di negerinya tidak lagi produktif akibat Kerusakan hutan mangrove dan daerah aliran sungai
kerusakan ekosistem mangrove (Martinez-Alier, 2001). di Indramayu menyebabkan muara-muara sungai
Pembuatan tambak di sekitar muara sungai dan dataran mengalami pendangkalan hebat, sehingga menghambat
pantai utara Jawa menyebabkan perubahan vegetasi lalu lintas perahu nelayan. Ketiadaan mangrove
muara secara nyata. Ekosistem mangrove hanya tersisa menyebabkan sedimen yang dibawa aliran sungai tidak
pada tempat-tempat tertentu yang sangat terisolasi atau tertangkap dan terendapkan, sehingga menyebar di alur
ditanam di tepi tambak yang berbatasan dengan pantai pelayaran. Upaya pengerukan sedimen sangat mahal
atau sungai untuk mencegah abrasi (Anonim, 1995). dan diperkirakan akan sia-sia apabila perusakan daerah
Pengamatan penulis pada tahun 2002 di sepanjang aliran sungai, pembabatan pepohonan, dan konversi
pantai utara Jawa menunjukkan adanya tambak-tambak menjadi lahan terbuka masih berlanjut. Pembabatan
ikan yang dikelola secara intensif hingga jauh ke arah hutan mangrove menyebabkan abrasi di Indramayu dan
daratan. Hampir semua pantai yang mengalami Jepara, hingga menghapus beberapa kawasan
sedimentasi membentuk dataran lumpur dan memiliki permukiman dari peta. Sebaliknya pengelolaan hutan
ekosistem mangrove diubah menjadi areal tambak. mangrove yang baik di sekitar teluk Grajakan,
Secara intensif hal ini berlangsung antara lain di pantai Banyuwangi menyebabkan kawasan yang menghadap
Indramayu, Brebes, Pekalongan, Demak, Pati, ke pantai selatan Jawa tersebut aman dari abrasi dan
Rembang, Lamongan, Gresik dan Situbondo, meskipun badai. Badai tsunami merupakan salah satu bencana
beberapa areal tambak tampaknya tidak lagi produktif alam paling merusak di kawasan pantai. Tsunami di
akibat perubahan kondisi hidrologi, edafit (tanah sulfat Flores 12 Desember 1992 menelan korban 2100 jiwa, di
asam), penyakit dan pencemaran lingkungan. Hal ini Banyuwangi 2 Juni 1994 menelan 223 jiwa, dan di Biak
dapat dijumpai di Brebes, Situbondo dan Probolinggo 17 Februari 1996 menelan 104 jiwa (Suara Pembaruan,
dimana ratusan hektar tambak beserta sarana 11/8/2002).
produksinya dibiarkan rusak tidak terurus. Pengamatan
yang sama di pantai selatan Jawa menunjukkan pula
adanya upaya mengubah lahan basah mangrove REKLAMASI DAN SEDIMENTASI
menjadi tambak udang. Dalam jumlah terbatas hal ini
dijumpai di muara Sungai Lokulo, Cakrayasan,
Bogowonto, dan Ijo, sedang dalam skala besar dilakukan
di Segara Anakan, namun upaya terakhir ini gagal Reklamasi
karena adanya akumulasi pirit yang beracun (tanah Reklamasi pantai untuk kepentingan industri dan
sulfat asam), di samping penjarangan oleh masyarakat pelabuhan telah banyak dilakukan di pantai utara Jawa,
karena tidak adanya kepastian hukum atas tanah timbul namun reklamasi besar-besaran tampaknya baru akan
yang digunakan (Kompas, 7/3/1998; Republika, dilakukan dalam megaproyek Jakarta Waterfront City di
24/3/2001). pantai utara Jakarta dan Jawa Barat. Di pantai ini
kawasan pasang surut seluas 8000 ha dan sepanjang 30
km direklamasi untuk area perumahan, perdagangan,
marina, perkantoran, area rekreasi dan padang golf.
PENEBANGAN HUTAN Kawasan yang direklamasi meliputi 4000 ha laut Jawa
dengan kedalaman 5 m dan 4000 ha bekas tambak dan
Kerusakan ekosistem mangrove tidak hanya terjadi di hutan mangrove (150 ha). Reklamasi akan
luar kawasan hutan namun juga di dalam hutan yang mempengaruhi ekosistem terumbu karang (Hasmonel et
dikelola Perhutani. Berdasarkan identifikasi Direktorat al., 2000), dan merombak zona jeluk dangkal pantai
Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutaan Sosial utara Jakarta secara kompleks, dimana terjadi
Departemen Kehutanan, kerusakan mangrove di dalam perubahan secara tiba-tiba antara ekosistem daratan
hutan mencapai 1,7 juta hektar (44,73%), sedangkan di dan laut (Ligtvoet et al., 1996). Tanggul-tanggul
luar hutan mencapai 4,2 juta hektar (87,5%). Pembukaan pemecah gelombang dan waduk-waduk lapangan golf
lahan untuk tambak udang memiliki andil besar bagi akan menggantikan hutan mangrove dan rawa-rawa
kerusakan mangrove di luar hutan, sedangkan yang saat ini masih diperlukan untuk menahan abrasi
10

pantai dan menampung kelebihan air hujan (Hasmonel Cintanduy diharapkan dapat mengurangi pelumpuran di
et al., 2000). laguna (Winarno dan Setyawan, 2003). Kawasan Segara
Pada tahun 1940-an, kawasan pantai utara Jakarta Anakan merupakan tempat pemijahan dan pengasuhan
memiliki area mangrove setebal 2-7 km. Kini kawasan berbagai biota laut, serta menyuplai beraneka bibit jenis
mangrove hanya berupa garis tipis, terpisah-pisah di ikan dan udang di sepanjang pantai selatan Jawa, mulai
sepanjang tepian pantai akibat konversi ke tambak dan dari Pelabuhan Ratu hingga Gunung Kidul. Pelumpuran
sawah. Di sisi timur pantai Jakarta tersisa hutan lindung Segara Anakan yang menyebabkan menyempitnya luas
Anke-Kapuk dan cagar alam Muara Angke, yang sangat laguna dan dangkalnya sungai menyebabkan banjir di
miskin spesies dan rusak akibat pencemaran limbah Kecamatan Kawunganten, Sidareja, dan Patimuan di
kimia, sampah kota, perubahan hidrologi dan Kabupaten Cilacap, serta Kalipucang, Padaherang dan
sedimentasi, sehingga secara ekologi tidak banyak Banjarsari di Kabupaten Ciamis (Pikiran Rakyat,
berperan terhadap ekosistem perairan pantai Jakarta 7/9/2002). Sebaliknya pada musim kemarau
dan laut Jawa. Restorasi hutan Anke-Kapuk tidak praktis berkurangnya hutan bakau menyebabkan intrusi air asin
karena tekanan pembangunan yang cenderung di kawasan permukiman, seperti Panikel, Motean, Bugel,
mematikan habitat ini (Ligtvoet et al., 1996; Hasmonel et Ciawitali, Cibeureum, Karanganyar, dan Majingklak,
al., 2000). Oleh karena itu perlu adanya hutan mangrove serta menyebabkan air sungai Cikonde/Cimeneng dan
baru yang bernilai ekologi, edukasi dan pariwisata. Salah Citanduy menjadi payau sehingga tidak dapat digunakan
satu lokasi yang sangat menjajikan adalah muara sungai untuk minum dan memasak (Suara Pembaruan,
Cisadane, dimana daratan lumpur terbentuk sejauh 30- 21/10/2002).
50 meter per tahun dengan potensi luas mencapai 400
ha dan kolonisasi tumbuhan mangrove relatif cepat.
Kawasan ini kurang terpolusi dibanding lokasi lain, PENCEMARAN LINGKUNGAN
memiliki berbagai bentuk lanskap seperti tepian sungai,
laguna, dataran lumpur, dan pulau-pulau baru, sehingga
Kawasan mangrove merupakan habitat antara laut
sangat sesuai bagi pembentukan ekosistem mangrove
dan daratan, sehingga pencemaran yang terjadi di laut
yang lengkap (Ligtvoet et al., 1996).
maupun di daratan dapat berdampak pada kawasan ini.
Sebelumnya reklamasi pantai sudah dilakukan di
Sekitar 80% pencemaran di laut berasal dari daratan,
kawasan pantai Ancol tahun 1960-an. Tanah hasil
seperti dari industri, pertanian, dan rumah tangga.
reklamasi digunakan untuk area industri, perumahan,
Sumber pencemar terbesar di laut berasal dari aliran
dan rekreasi. Konversi mangrove untuk pemukiman juga
permukaan dari daratan (44%), emisi pesawat terbang
pernah dilakukan pada tahun 1990-an di Pantai Kapuk.
(33%), pelayaran dan tumpahan minyak (12%),
Reklamasi, seharusnya tidak hanya memperluas daratan
pembuangan limbah ke laut (10%), dan kegiatan
tetapi juga dapat memperbaiki lingkungan sekitarnya
penambangan lepas pantai (1%) (Anonim, 2001a).
(Hasmonel et al., 2000). Tujuan akhir pengelolaan
Bahan pencemar seperti minyak, sampah, dan limbah
wilayah pesisir adalah memberi kesempatan masyarakat
industri dapat menutupi akar mangrove sehingga
memanfaatkan sumber daya alam dan jasa-jasa
mengurangi kemampuan respirasi, osmoregulasi, dan
lingkungan untuk meningkatkan kualitas hidup (Butar-
mati. Tumpahan minyak mendapat perhatian besar
Butar, 1996).
karena menyebabkan banyak kerusakan jangka panjang
pada ekosistem mangrove (Wardrup, 1987; Burns et al.,
Sedimentasi 1993; Duke et al., 1997), sedangkan logam berat
Sedimentasi merupakan masalah serius pada semua memiliki toksisitas, persistensi dan prevalensi yang
sungai-sungai besar di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. sangat tinggi (Shriadah, 1999).
Hal ini terkait dengan intensitas kegiatan manusia di Tumpahan minyak di laut akan terbawa ke kawasan
daerah aliran sungai, sehingga menjadi suatu hal yang mangrove pada saat air pasang, lalu terdeposit di
tampaknya sulit dihindari, khususnya di Jawa mengingat permukaan sedimen dan akar pohon ketika air surut.
tingginya populasi penduduk. Sedimentasi yang Pola pasang harian yang berubah-ubah menyebabkan
berdampak serius terhadap kelangsungan ekosistem setiap tempat mendapatkan pengaruh yang berbeda-
mangrove terjadi di Segara Anakan. Hal ini terkait beda. Pada pencemaran berat, tumbuhan mangrove
dengan sifat lagunanya yang tertutup hingga terjadi dapat mati akibat lentisel pneumatofora tertutup minyak.
akumulasi sedimen luar biasa. Setiap tahun sungai Mangrove juga dapat mati akibat terserapnya minyak
3
Citanduy mengangkut 5 juta m sedimen dan sungai oleh sedimen. Senyawa aromatis minyak bumi dengan
3
Cikonde/Cimeneng 770.000 m , dimana sebagian besar berat molekul rendah dapat merusak membran sel akar
diendapkan di Segara Anakan. Sedimentasi di pantai yang terletak di dalam sedimen, sehingga garam dapat
pantai utara Jawa, tampaknya tidak banyak masuk ke jaringan dan terjadi keracunan (IPIECA,
mempengaruhi ekosistem mangrove walaupun sangat 1993a).
merugikan perekonomian (Anonim, 2001a). Selama paruh akhir abad ke-20 kebutuhan industri di
Sedimentasi merupakan faktor dinamis yang negara-negara maju akan minyak bumi berkembang
mendorong terbentuknya ekosistem mangrove, namun pesat, sehingga operasi pelayaran kapal tangker - satu-
sedimentasi yang berlebih di Segara Anakan akan satunya moda transportasi pengangkut minyak bumi
mengubur laguna dan merubahnya menjadi ekosistem antara benua - berlangsung sangat intensif. Salah satu
daratan. Pada saat ini luasan Segara Anakan akibatnya adalah kecelakaan kapal tangker dimana
diperkirakan hanya tinggal 600ha, dengan kedalaman jutaan liter minyak bumi tumpah ke laut dan tersebar
pada saat surut tidak lebih dari 50 cm. Pada tahun 1903 hingga kawasan pesisir di sekitarnya. Kejadian terbaru
perairan laguna itu masih sekitar 6.450 ha dengan adalah tenggelamnya kapal tangker Prestige yang
kedalaman antara 30-40 m (ECI, 1994). Pengerukan membawa 76 juta liter minyak di pantai utara Spanyol
Segara Anakan dan penyudetan muara Sungai
11

pada bulan Nopember 2002. Kecelakaan kapal tangker kehidupan bakteri pendegradasi hidrokarbon (Swannell
paling terkenal adalah tenggelamnya Exxon Valdez pada et al., 1994; Scherrer dan Mille, 1989; Oudot dan
tahun 1989 di Alaska yang menyebabkan tumpahnya 40 Dutrieux, 1989; Burns et al., 1999). Pendekatan
juta liter minyak bumi (Bragg et al., 1994; Pickrell, 2002). bioremediasi dapat digunakan untuk biodegradasi
Di perairan laut sekitar Jawa, kecelakaan kapal tangker minyak, dimana mikroba diberi tambahan akseptor
minyka bumi telah beberapa kali terjadi (Tabel 1.). elektron dan nutrien, sehingga pertumbuhan dan
perkembangnya lebih cepat. Teknik ini telah berhasil
diterapkan pada lingkungan pantai berpasir, berkerikil
Tabel 1. Kejadian tumpahan minyak bumi di perairan laut dan berkerakal (Prince, 1993; Bragg et al., 1994;
sekitar Jawa sejak tahun 1990-an (Anonim, 2003; 2001a). Swannell et al.,1994, 1996, 1999). Meskipun masih
jarang dilakukan pada lingkungan mangrove (Burns et
Tahun Lokasi Kejadian al., 1999), penambahan aerasi dan nutrien terbukti dapat
1994 Cilacap Tabrakan antara kapal tanker MV. mempercepat pertumbuhan organisme pendegradasi
Bandar Ayu dengan kapal ikan. hidrokarbon minyak bumi di kawasan mangrove
1997 Selat Madura Tenggelamnya kapal tanker (Ramsay et al., 2000).
SETDCO. Pengaruh tumpahan minyak pada sedimen
1998 Tanjung Priok Kandasnya kapal Permina Supply
mangrove dapat berlangsung selama puluhan tahun,
No. 27 dengan muatan solar.
1999 Cilacap Robeknya kapal tanker MT. King namun di kawasan tropis setahun setelah terjadinya
Fisher yang menumpahkan tumpahan, restorasi mangrove sudah dapat dilakukan.
640.000 liter minyak dan Semakin lama masa jeda, maka semakin tinggi tingkat
mencemari teluk Cilacap keberhasilan pertumbuhan propagule. Hal ini tergantung
sepanjang 38 km. pada jenis minyak yang tumpah, tipe tanah, pola pasang-
2000 Cilacap Tenggelamnya kapal tangker HHC surut dan intensitas hujan (IPIECA, 1993a). Di Refineria
yang memuat 9000 ton aspal. Panama, dua tahun setelah tumpahnya minyak,
2001 Tegal-Cirebon Tenggelamnya kapal tangker
sebanyak 86.000 sedling mangrove dengan tinggi rata-
Steadfast yang megangkut 800-
1200 ton minyak. rata 1 m ditanam pada area seluas 75 ha, dari hasilnya
2002 Yogyakarta Tenggelamnya M.V. Kalla Lines di 90% sedling tersebut dapat tumbuh dan bertahan hidup
pantai Congot yang membawa (Teas, 1989).
aspal.

PENUTUP
Dampak tumpahan minyak akibat kecelakaan kapal
tangker masih akan terasa hingga puluhan tahun
Ekosistem mangrove di Jawa mengalami penurunan
kemudian. Kecelakaan kapal tangkel di teluk Buzzards,
sangat drastis, akibat tingginya tekanan populasi
Massachusetts, pada bulan September 1969 yang
penduduk yang berimplikasi pada besarnya kegiatan
menumpahkan 700.000 liter minyak disel hingga kini
pertambakan, penebangan hutan mangrove, reklamasi
masih menyisakan residu pada sedimen rawa, sehingga
dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan. Hal ini
tingkat kerugian pada ekosistem sulit dipastikan.
menimbulkan kesadaran akan pentingnya upaya
Meskipun lapisan minyak telah hilang dari permukaan
konservasi, manajemen, dan restorasi hutan mangrove,
air, hidrokarbon minyak masih tetap bertahan dalam
untuk menjaga kelestarian fungsi sosial-ekonomi, sosial-
sedimen pada kedalaman 6-28 cm. Degradasi minyak
budaya, dan peran ekologinya. Hambatan utama
bumi sangat lambat bahkan setelah 30 tahun. Hal ini
pemanfaatan mangrove secara lestari adalah
disebabkan ketiadaan oksigen dan sulfat dari sedimen
pengelolaan yang bersifat sektoral, lemahnya
yang dibutuhkan bakteri pendegradasi untuk bertahan
keikutsertaan masyarakat, kemiskinan, dan kurangnya
hidup (Pickrell, 2002). Di kawasan tropis laju degradasi
kepedulian terhadap nilai ekologi mangrove.
minyak biasanya lebih cepat, hambatan degradasi selain
Permasalahan manajemen ini bergabung dengan
akibat sifat sedimen mangrove yang anaerob, juga
lemahnya pengetahuan mengenai teknik silvikultur,
karena tingginya konsentrasi tannin pada lumpur
potensi penggunaan, dan teknik regenerasi. Restorasi
mangrove sehingga menghambat kehidupan bakteri
mangrove berpotensi besar menaikkan nilai sumber
pendegradasi (IPIECA, 1993a).
daya ini, memberi mata pencaharian penduduk,
Berbagai teknik untuk membersihkan lingkungan dari
mencegah kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, dan
pencemaran minyak telah ditemukan dan dapat
produksi perikanan. Hal ini akan dibahas dalam bagian
diterapkan secara baik, namun beberapa teknik dapat
kedua tulisan ini.
menghambat penyembuhan habitat tertentu (Sell, 1995).
Hingga kini cara terbaik adalah mengambil tumpahan
minyak langsung secara mekanis, baik dengan
menyendok, menyedot, menyerap atau cara lain. DAFTAR PUSTAKA
Penggunaan dispersan agar minyak mengendap hanya
memindahkan pencemaran dari permukaan air ke Aksornkoae S. 1993. Ecology and Management of Mangroves. Bangkok:
International Union for Conservation of Nature and Natural
permukaan sedimen (IPIECA, 1993b). Resources.
Sedimen mangrove didominasi lumpur anaerob dan Alongi, D.M. and A. Sasekumar. 1992. Benthic communities. In
mengandung sulfur (Alongi dan Saeskumar, 1992). Robertson, A.I. and D.M. Alongi (ed.). Coastal and Estuarine
Permukaan sedimen yang mengandung oksigen kurang Studies: Tropical Mangrove Ecosystems. Washington DC.: American
Geophysical Union.
dari 1 cm, bahkan pada hutan Rhizophora hanya Anonim. 1995. Summary Environmental Impact Assesment of the North
sedalam 1-2 mm (Duke et al., 1999). Ketersediaan Java Flood Control Sector Project in the Republic of Indonesia. July
oksigen dan nutrien merupakan faktor pembatas
12

1995. Jakarta: Directorate General of Water Resources Departemen Kehutanan. 1994. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik
Development (DGWRD). Rehabilitasi (RTR) Daerah Pantai. Jakarta: Direktorat Jenderal
Anonim. 1997. National Strategy for Mangrove Management in Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan.
Indonesia. Volume 1: Strategy and Action Plan. Volume 2: Mangrove Duarte, C.M. and J. Cebrián. 1996. The fate of marine autotrophic
in Indonesia Current Status. Jakarta: Office of the Minister of production. Limnology and Oceanography 41:1758-1766
Environment, Departement of Forestry, Indonesian Institute of Dudley, R.G. 2000. Segara Anakan Fisheries Management Plant.
Science, Department of Home Affairs, and The Mangrove Cilacap: Segara Anakan Conservation and Development Project.
Foundation. Duke, N.C., K.A. Burns, and R.P.J. Swannell. 1999. Research into the
Anonim. 1998. Muara Angke Nature Reserve. http://users.bart.nl/ Bioremediation of Oil Spills in Tropical Australia: with Particular
~edcolijn/angke.html Emphasis on Oiled Mangrove and Salt Marsh Habitat. Final report to
Anonim. 2000. Pesona Alas Purwo. http://siklusits.tripod.com/ the Australian Safety Maritime Authority. Townsville: Australian
alas_purwo.htm Institute of Marine Science.
Anonim. 2001a. Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir. Jakarta: Duke, N.C., Z.S. Pinzon, and M.C.Prada, M.C. 1997. Large-scale
Departemen Kelautan dan Perikanan. damage to mangrove forests following two large oil spills in Panama.
Anonim. 2001b. Shoreline stabilization and storm protection. Wetland Biotropica 29: 2-14.
Values and Function. Gland: The Ramsar Bureau ECI, 1994. Segara Anakan Conservation and Development Project.
Anonim. 2002. Brief Descriptions of Sites Inscribed on the World Heritage Jakarta: Asian Development Bank.
List. Paris: UNESCO World Heritage Centre. Ellison, A.M. and E.J. Farnsworth. 1996. Anthropogenic disturbance of
Anonim. 2003. The Mariner Group - Oil Spill History. Caribbean mangrove ecosystems: past impacts, present trends, and
http://www.marinergroup.com/oil-spill-history.htm future predictions. Biotropica 24: 549-565.
Arisandi, P. 2001. Mangrove Jawa Timur, Hutan Pantai yang Terlupakan. FAO. 1982. Managenet and Utilization of Mangrove in Asia and the
Gresik: Ecological Observation and Wetlands Conservation Pacific. Rome: FAO Environment Paper 3.
(ECOTON). Giesen, W. 1991. Checklist of Indonesian Fresh Water Aquatic Herbs.
Bandaranayake, W.M. 1998. Traditional and medicinal uses of PHPA/AWB Sumatra Wetland Project Report No. 27. Jakarta: Asian
mangroves. Mangrove and Salt Marshes 2: 133-148. Wetland Bureau-Indonesia.
Bennett, E.L. and C.J. Reynolds. 1993. The value of mangrove area in Giesen, W. 1993. Indonesian mangroves: an update on remaining area
Sarawak. Biodiversity Conservation 2: 359-375. and main management issues. International Seminar on Coastal
Birkeland, C. 1983. Influences of Topography of Nearby Land Masses in Zone Mangement of Small Island Ecosystem, Ambon, 7-10 April
Combination with Local Water Movement Patterns on the nature of 1993.
Nearshore Marine Communities, Productivity and Processes in Goldman, R.C. and Horne, 1983. Lymnology. New York: McGraw Hill
Island Marine Ecosystem. Dunedine: UNESCO Report in Marine International Book Company.
Science No. 27. Gómez, E.G. 1988. Overview of environmental problems in the East
Blasco, F. 1992. Outlines of ecology, botany and forestry of the mangals Asian seas region. Ambio 17:166-169.
of the Indian subcontinent. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of Hadianto. 1998. Geological data processing activities in the directorate of
the World 1: Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier. environmental geologi for anticipated develop-ment in large urban
Blower, J.H. and A.P.M. van der Zon. 1977. Ujung Kulon National Park areas. The DCGM Phase III Coordinator's Meeting, Bangkok,
Management Plan 1977-1981. Field report. Bogor: UNDP/FAO Thailand, January 12-14, 1998.
Nature Conservation and Wildlife Management Project INS/73/013.. Hamilton, L.S. and S.C. Snedaker. 1984. Handbook for Mangrove Area
Bragg, J. R., R.C. Prince, E.J. Harner, and R.M. Atlas. 1994. Management. Honolulu: Environment and Policy Institute, East-West
Effectiveness of bioremediation for the Exxon Valdez oil spill. Nature Center.
368: 413-418. Hasmonel, M.W. Purwaningdyah, dan R. Nurhayati. 2000. Reklamasi
Burns, K.A. 1993. Evidence for the importance for including hydrocarbon Pantai dalam Hubungannya dengan Pendaftaran Tanah (Studi
oxidation products in environmental assessment studies. Marine Kasus di Pantai Utara Jakarta). Jakarta: Universitas Terbuka.
Pollution Bulletin 26: 77-85. Hommel, P.W.F.M. 1987. Landscape-ecology of Ujung Kulon (West Java,
Burns, K.A., S. Codi, R.J.P. Swannell, and N.C. Duke. 1999. Assessing Indonesia). Wageningen: Soil Survey Institute.
the petroleum hydrocarbon degradation potential of endogenous Hong, P.N. and H.T. San. 1993. Mangroves of Vietnam. Bangkok:
tropical marine wetland microorganisms: Flask experiments. International Union for Conservation of Nature and Natural
Mangroves and Salt Marshes 3: 67-83. Resources.
Burns, K.A., S.D. Garrity, D. Jorissen, J. MacPherson, and M. Stoelting. Howe, C.P., G.F. Claride, R. Hughes, and Zuwendra. 1992. Manual of
1994 The Galeta oil spill. II: Unexpected persistence of oil trapped in Guideline for Scoping EIA in Indonesia Wetland. Second edition.
mangrove sediments. Estuarine Coastal and Shelf Science 38: 349- PHPA/AWB Sumatra Wetland Project No. 6B. Jakarta: Directorat
364. General of Forest Protection and Nature Conservation-Asian
Butar-Butar. M. 1996. Laporan Akhir Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Wetland Bureau Indonesia
tentang Penggunaan Pantai untuk Kepentingan Pribadi/Perorangan. Hussain, Z. and G. Acharya, 1994. (ed.). Mangroves of the Sundarbans.
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Vol, 2: Bangladesh. Bangkok: International Union for the
Kehakiman Republik Indonesia. Conservation of Nature.
Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation. Liechtenstein J.Cramer Hussein, M.Z. 1995. Silviculture of mangroves. Unasylva 46: 36-42.
Verlag. IPIECA. 1993a. Biological Impact of Oil Pollution: Mangroves. IPIECA
Chapman, V.J. 1992. Wet coastal formations of Indo Malesia and Papua- Report No. 4. London: International Petroleum Industry
New Guinea. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1: Environmental Conservation Association.
Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier. IPIECA. 1993b. Dispersants and their Role in Oil Spill Response. IPIECA
Choudhury, J.K. 1996. Mangrove forest management. Mangrove Report No. 5. London: International Petroleum Industry
Rehabilitation and Management Project in Sulawesi. Jakarta: Asia Environmental Conservation Association.
Development Bank. Iskandar, J. 1987. Stop perburuan burung air. Suara Alam 49: 47-50.
Chowdhury, R.A., and I. Ahmed. 1994. History of forest management. In Jayatissa, L.P., F. Dahdouh-Guebas, and N. Koedam. 2002. A revi-ew of
Hussain Z, and G. Acharya (ed.). Mangroves of the Sundarbans, Vol. the floral composition and distribution of mangroves in Sri Lanka.
2: Bangladesh. Gland, Switzerland: IUCN Wetlands Program. Botanical Journal of the Linnean Society 138: 29-43.
Clark, R. J. 1996. Coastal Zone Management Hand Book. Boca Raton: Jimenez, J.A., R. Martinez, and L. Encarnocion. 1985. Massive tree
CRC Lewis Publishers. mortality in Puerto Rican mangroves forests. Caribbian Journal of
Clough, B.F. 1992. Primary productivity and growth of mangrove forests. Science 21: 75-78.
In Robertson, A.I. and D.M. Alongi (ed.). Coastal and Estuarine Kairo, J.G., F Dahdouh-Guebas, J. Bosire, and N. Koedam. 2001.
Studies: Tropical Mangrove Ecosystems. Washington DC.: American Restoration and management of mangrove systems — a lesson for
Geophysical Union. and from the East African region. South African Journal of Botany
Coulter, S.C., C.M. Duarte, S.T. Mai, H.T. Nguyen, T.H. Hoang, H.G. Le, 67: 383-389.
and N.G. Phan. 2001. Retrospective estimates of net leaf production Kartawinata, K. 1979. Status pengetahuan hutan bakau di Indonesia.
in Kandelia candel mangrove forests. Marine Ecology Progress Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta: MAP LON
Series 221: 117-124. LIPI.
Dahdouh-Guebas, F., C. Mathenge, J.G. Kairo, and N. Koedam. 2000. Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of
Utilization of mangrove wood products around Mida Creek (Kenya) Mangroves in Indonesia; Bal & Lombok. Denpasar: The
among subsistence and commercial users. Economic Botany 54: Development of Sustainable Mangrove Management Project,
513-527. Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation
Dahuri R, J. Rais, S.P.Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Agency.
Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Knox, G.A. and T. Miyabara. 1984. Coastal Zone Resource Development
P.T. Saptodadi. and Conservation in South East Asia, with special Refference to
Indonesia. Jakarta: UNESCO.
13

Kompas, 31/5/2002. Panorama Cagar Alam Pulau Sempu. Prince William Sound, Alaska. In Proceedings of the 1993 Oil Spill
Kompas, 31/7/2002. 90 Persen Pantura Jatim Rusak. Conference. Washington DC: American Petroleum Institute.
Kompas, 7/3/1998. Massa Rusak Sarana Tambak Udang. Rahman, L.M. 2000. The Sundarbans: A Unique Wilderness of the World.
Lewis, R.R. 1990. Creation and restoration of coastal wetlands in Puerto In McCool, S.F., D.N. Cole, W.T. Borrie, and J. O’Loughlin (ed.).
Rico and the US Virgin Islands. In Kusler J.A. and M.E. Kentula (ed.) Wilderness science in a time of change conference—Volume 2:
Wetland Creation and Restoration: The Status of Science, Vol. I: Wilderness within the context of larger systems; 1999 May 23-27;
Regional Reviews. Washington: Island Press. Missoula, MT. Proceedings RMRS-P-15-VOL-2. Ogden: U.S.
Lewis, R.R., R.G. Gilmore, D.W. Crewz, and W.E. Odum. 1985. Department of Agriculture, Forest Service, and Rocky Mountain
Mangrove habitat and fishery resources of Florida. In Seaman, W. Research Station.
(ed.) Florida Aquatic Habitat and Fishery Resources. Kissimee: Ramsay, M.A., R.P.J. Suwannell, W.A. Shipton, N.C. Duke, and R.T. Hill.
Florida Chapter American Fisheries Society. 2000. Bioremediation on the microbial community in oiled mangrove
Ligtvoet, W., R.H. Hughes, and S. Wulffraat. 1996. Recreating mangrove sediments. Marine Pollution Bulletin 41 (7-12): 413-419.
forest near Jakarta, Conserving biodiversity in an urban environment. Ray, C.C. and R.G. McCormick. 1994. Coastal marine protected areas, a
Land and Water International 84: 8-11. moving target. Proceeding from the International Workshop on
Lugo A.E. and S.C. Snedaker. 1974. The ecology of mangroves. Annual Coastal Marine Protected Areas and Biosphere Reserves. Canberra:
Review of Ecology and Systematics 5: 39-63. ANCA/UNESCO.
Machfud, D.S. 1990. Social Forestry Network: Social Forestry in Disputed Republika, 23/7/2002. Kajian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove
upland Areas in Java. Jakarta: Perum Perhutani, State Forest Mengejutkan.
Corporation, Java, Indonesia. Republika, 24/03/2001. Hutan Mangrove di Cilacap Menyusut .
MacNae, W. 1968. A general account of the fauna and flora of mangrove Ruitenbeek, J.H. 1998. Mangrove Management: An Economic Ana-lysis
swamps and forests in the Indo-West-Pacific region. Advances in of Management Options with a Focus on Bintuni Bay, Irian Jaya.
Marine Biology 6: 73-270. EMDI Environmental Reports 8. Jakarta: Environmental
Manassrisuksi, K., M. Weir, and Y.A. Hussin. 2001. Assesment of Management Development in Indonesia Project (EMDI).
mangrove rehabilitation programme using remote sensing and GIS: Saenger, P., E.J. Hegerl, and J.D.S Davie. 1983. Global status of
a case study of Amphur Khlung, Chantaburi Province, Eastern mangrove ecosystems. The Environmentalist 3: 1-88. Also cited as:
Thailand. 22nd Asian Conference on Remote Sensisng, Singapore 5- IUCN. 1983. Global Status of Mangrove Ecosystems. Gland:
9 November 2001. International Union for the Conservation of Nature and Natural
Marius, C. 1977. Propositions pour une classification française des sols Resources.
de mangroves tropicales. Cah. ORSTOM 15 (1): 89-102. Saraswati, A. 2001. 8 Spesies As New Mangrove In Baluran National
Martinez-Alier, J. 2001. Ecological Conflicts and Valuation - Mangroves Park. Banyuwangi: Baluran Breaking News.
vs. Shrimp in the Late 1990s. Barcelona: Universitat Autònoma de Sasaki, Y. and H. Sunarto. 1994. Mangrove forest of Segara Anakan
Barcelona. lagoon. In Takashima, F. and K. Soewardi (ed.). Ecological
Martosubroto, P. and M. Naamin. 1977. Relationship between tidal Assessment for Management Planning of Segara Anakan Lagoon,
forests (mangroves) and commercial shrimp production in Indonesia. Cilacap, Central Java. Tokyo: NODAI Center for International
Marine Research Indonesia 18: 81-86. Program, Tokyo University of Agriculture and JSPS-DGHE Program.
Martoyo, I.D. 2000. Taman Nasional Karimunjawa, potensi dan hambatan Scherrer, P. and G. Mille. 1989. Biodegradation of crude oil in an
pembentukan kawasan konservasi biodiversitas di Propinsi Jawa experimentially polluted peaty mangrove soil. Marine Pollution
Tengah. Dalam Setyawan, A.D. dan Sutarno (ed.). Menuju Taman Bulletin 20: 430-432.
Nasional Gunung Lawu. Prosiding Semi-loka Nasional Konservasi Sell, D. 1995. The effect of oil spill clean-up on shore recovery times.
Biodiversitas untuk Perlindungan dan Penyelamatan Plasma Nutfah Proceedings of the Second International Oil Spill Research and
di Pulau Jawa, Surakarta 17-20 Juli 2000. Surakarta: Jurusan Biologi Development Forum, London, 23-26 May 1995. London: The
FMIPA UNS. International Maritime Organization.
Miller, K.R. 1999. International wilderness provides ecological services Semesi, A.K. 1998. Mangrove management and utilization in eastern
for sustainable living. International Journal of Wilderness 5 (3): 35- Africa. Ambio 27: 620-626.
39. Setyawan, A.D., A. Susilowati dan Wiryanto. 2002. Habitat reliks vegetasi
Naylor, R.L., R.J. Goldburg, H. Mooney, M. Beveridge, J. Clay, C. Folke, mangrove di pantai selatan Jawa. Biodiversitas 3 (2): 242-256.
N. Kautsky, J. Lubchenco, J.H. Primavera, and M. Williams. 1998. Shriadah, M.M.A. 1999. Heavy metals in mangrove sediments of the
Nature's subsidies to shrimp and salmon farming. Science 282: 883- United Arab Emirates shoreline (Arabian Gulf). Water, Air, and Soil
884. Pollution 116: 523-534, 1999.
Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (ed.). 2001. A Guide to Mangroves of Silvius, M.J., A.P.J.M. Steeman, E.T. Berczy, E. Djuharsa and A.W.
Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and Taufik. 1987. The Indonesian Wetland Inventory. A Preliminary
Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science Compilation of Existing Information on Wetlands of Indonesia, Vol. I
Centre. and II. Bogor: PHPA, AWB/INTERWADER, EDWIN.
Nurwanto, Y.A. 2001. Keanekaragaman Vegetasi Hutan Mangrove di Soemodihardjo, S and S. Ishemat. 1989. Country Report: Indonesia, The
Segara Anakan Cilacap. [Tesis]. Surakarta: Program Studi Ilmu Status of Mangrove Forests in Indonesia, Symposium on Mangrove
Lingkungan, Program Pasca Sarjana UNS. Management. Biotrop Special Publication No 37.
Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. Third Soemodihardjo, S. and L. Sumardjani. 1994. Re-afforestation of
edition. New York: Harper Collins College Publishers. mangrove forests in Indonesia. Proceeding of the Workshop on ITTO
Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. Third edition. Philadelphia: Project. Bangkok, 18-20 April 1994.
W.B. Sounders Company. Soenarko. 2002. Kebijakan KIMPRASWIL dalam Rangka Percepatan
Ong, J.E. 2002. The hidden costs of mangrove services: use of Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Rapat Koordinasi Nasional
mangroves for shrimp aquaculture. International Science Round Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun 2002, Jakarta, 30 Mei
Table for the Media, Bali Indonesia, 4 June 2002. Joint event of 2002.
ICSU, IGBP, IHDP, WCRP, DIVERSITAS and START. Soewarno, H. 1982. The Cilacap Mangrove Ecosystem. Jakarta: Lapan.
Oudot, J. and E. Dutrieux. 1989. Hydrocarbon weathering and Spalding, M., F. Blasco, and C. Field. 1997. World Mangrove Atlas.
biodegradation in a tropical estuarine ecosystem. Marine Okinawa: International Society for Mangrove Ecosystems.
Environmental Research 27: 195-212. Spaninks, F. and P. van Beukering. 1997. Economic Valuation of
Phillips, M.J., C.K. Kwei-Lin, and M.C.M. Beveridge. 1993. Shrimp culture Mangrove Ecosystems: Potential and Limitations. CREED Working
and the environment: lessons from the world’s most rapidly Paper No 14, July 1997. London and Amsterdam: International
expanding warmwater aquaculture sector. In Pullin, R.S.V., H. Institute for Environment and Development, and Institute for
Rosenthal and J.L. MacLean (ed.) Environment and Aquaculture in Environmental Studies.
Developing Countries. ICLARM Conference Proceedings 31. Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In Flora Malesiana.
Pickrell, J. 2002. Oil spills pollute indefinitely and invisibly, study says. Djakarta: Noordhoff-Kollf.
National Geographic News, November 22, 2002. Suara Merdeka, 16/6/2001. Hutan Mangrove Dimodifikasi dengan Kayu
Pikiran Rakyat, 7/9/2002. Melihat Segara Anakan yang Nyaris Rusak Putih.
Total: Pangandaran Menolak, Karanganyar Ancam Bendung Suara Pembaruan 29/7/2002. Kerusakan Hutan Bakau
Citanduy. Mengkhawatirkan.
Primavera, J.H. 1993. A critical review of shrimp pond culture in the Suara Pembaruan, 11/8/2002. Pendangkalan dan Abrasi di Jawa
Philippines. Reviews in Fisheries. Science 1 (2): 151-201 Mengkhawatirkan.
Primavera, J.H. 1995. Mangroves and brackish water pond culture in the Suara Pembaruan, 21/10/2002. Warga Segara Anakan Kesulitan Air
Philippines. Hydrobiologia 295: 303-309. Bersih
Prince, R.C., R.E. Bare, G.N. George, C.E. Haith, M.J. Grossman, J.R. Suara Pembaruan, 29/7/2002a. 10 Ha Hutan Bakau di Cilacap
Lute, D.L. Elmendorf, V. Minak-Bernero, J.D. Senius, L.G. Keim, Kekeringan.
R.R. Chianelli, S.M. Hinton, and A.R. Teal. 1993. The effect of Sukardjo, S. 1985. Laguna dan vegetasi mangrove. Oseana 10 (4): 128-
bioremediation on the microbial populations of oiled beaches in 137
14

Sukardjo, S. 1989. The mangrove forests of Java and Bali (Indonesia). Tomlinson, C.B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge: Cambridge
Symposium on Mangrove Management. Biotrop Special Publication University Press.
No 37. Twilley, R.R. 1993. Mangrove ecosystem biodiversity and conservation in
Swannell, R.P.J., A. Basseres, K. Lee, and F.X. Merlin. 1994. A direct Ecuador. In Potter, C.S., J.I. Cohen, and D. Janczewski (ed.).
respirometric method for the in situ determination of bioremediation Perspectives on Biodiversity: Case Studies of Genetic Resource
efficacy. In 17th Arctic and Marine Oil Spill Program Technical Conservation and Development. Washington DC: American
Seminar. Ottawa: Environment Canada. Association for the Advancement of Science.
Swannell, R.P.J., D. Mitchell, D.M. Jones, S. Petch, I.M. Head, A. Willis, UNDP. 1998. Integrated resource development of the Sundarbans
K. Lee, and J. Lepo. 1999. Bioremediation of oil contaminated fine Reserved Forests, Bangladesh. Volume I Project BGD/84/056.
sediments. In Proceedings of 1999 International Oil Spill Dhaka: United Nations Development Programme, Food and
Conference. Washington: The American Petroleum Institute. Agriculture Organization of the United Nations.
Swannell, R.P.J., K. Lee, and M. McDonagh. 1996. Field evaluations of Walsh, G.E. 1974. Mangroves: a review. In Reimold, R.J., and W.H.
marine oil spill bioremediation. Microbiological Reviews 60: 342-365. Queen (ed.). Ecology of Halophytes. New York: Academic Press.
Tanaka, S., 1992. Bali Environment the Sustainable Mangrove Forest. Wardrup, J.A., 1987. The effects of oils and dispersants on mangroves: a
Jakarta: Development of Sustainable Mangrove Management review and bibliography. Occasional paper no. 2: Environmental
Project. Studies. Adelaide: University of Adelaide.
Teas, H.J. 1989. Mangrove restoration after the 1986 Refineria Panama Watson, J.G. 1928. Mangrove forests of the Malay Peninsula. Kulala
oil spill. Proceedings 1989 Oil Spill Conference. Washington, D.C.: Lumpur: Malaysian Forest Records No. 6
American Petroleum Institute. Widodo, H. 1987. Mangrove hilang ekosistem terancam. Suara Alam 49:
Terchunian, A., V. Klemas, A. Alvarez, B. Vasconez, and L. Guerrero. 11-15.
1986. Mangrove mapping in Ecuador: The impact of shrimp pond Winarno, K. dan A.D. Setyawan. 2003. Penyudetan Sungai Citanduy,
construction. Environmental Management 10: 345-350 buah simalakama konservasi ekosistem mangrove Segara Anakan.
The Jakarta Post, 29/1/2002. Development Sends Waterfowl to Brink. Biodiversitas 4 (1): 63-72.
Thom, B.G. 1967. Mangrove ecology and deltaic geomorphology: Wirjodarmodjo, H., S.D. Soeroso dan S. Bambang. 1979. Pengelo-laan
Tabasco, Mexico. Journal of Ecology 55: 301-343 Hutan Payau Cilacap. Prosiding Seminar Ekosistem Hutan
Mangrove. Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional LIPI.
15

Mangrove: Ekoton Perairan Tawar dan Laut

ABSTRACT mangrove atau hutan bakau (Kartawinata, 1979). Namun


untuk menghindari kesalahan literasi dianjurkan
Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka dan khas di penggunaan istilah mangrove karena bakau adalah
dunia, karena luasnya hanya 2% permukaan bumi. Indonesia nama lokal anggota genus Rhizophora (Widodo, 1987).
merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia. Kata mangrove merupakan perpaduan bahasa
Ekosistem ini memiliki peranan sosial-ekonomi dan ekologi yang Melayu manggi-manggi dan bahasa Arab el-gurm
sangat penting. Fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove meliputi menjadi manggurm. Keduanya sama-sama berarti
sumber kayu bangunan, kayu bakar, kayu lapis, bubur kertas,
tiang telepon, tiang pancang, bagan penangkap ikan, dermaga,
Avicennia (api-api), pelatinan nama Ibnu Sina, seorang
bantalan kereta api, kayu untuk mebel dan kerajinan tangan, dokter Arab yang banyak mengidentifikasi manfaat obat
atap huma, tannin, bahan obat, gula, alkohol, asam asetat, tumbuhan mangrove (Jayatissa dkk., 2002; Ng dan
protein hewani, madu, karbohidrat dan bahan pewarna. Fungsi Sivasothi, 2001). Pakar lain berpendapat kata mangrove
ekologi hutan mangrove meliputi tempat sekuestrasi karbon, merupakan perpaduan bahasa Portugis mangue
remediasi bahan pencemar, menjaga stabilitas pantai dari erosi, (tumbuhan laut) dan bahasa Inggris grove (belukar),
intrusi air laut, dan tekanan badai, menjaga kealamian habitat, yakni belukar di tepi laut (MacNae, 1968). Kata
menjadi tempat bersarang, pemijahan dan pembesaran mangrove dapat ditujukan untuk menyebut spesies,
berbagai jenis ikan, udang, kerang, burung dan fauna lain,
pembentuk daratan, serta memiliki fungsi sosial sebagai areal
tumbuhan, hutan atau komunitas (FAO, 1982; Ng dan
konservasi, pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya. Akan Sivasothi, 2001).
tetapi tingkat kerusakannya ekosistem mangrove dunia,
termasuk Indonesia, sangat cepat dan dramatis. Ancaman
utama kelestarian ekosistem mangrove adalah kegiatan ASAL DAN DISTRIBUSI
manusia, seperti pembuatan tambak (ikan dan garam),
penebangan hutan, dan pencemaran lingkungan. Di samping itu
terdapat pula ancama lain seperti reklamasi dan sedimentasi,
pertambangan dan sebab-sebab alam seperi badai. Restorasi Asal usul spesies mangrove
hutan mangrove mendapat perhatian secara luas mengingat Para peneliti berteori bahwa mangrove berasal dari
tingginya nilai sosial-ekonomi dan ekologi ekosistem ini. kawasan Indo-Malaysia, karena kawasan ini merupakan
Restorasi ini berpotensi besar menaikkan nilai sumber daya
hayati mangrove, memberi mata pencaharian penduduk,
pusat biodiversitas mangrove dunia. Spesies mangrove
mencegah kerusakan pantai, menjaga biodiversitas dan tersebar ke seluruh dunia karena propagul dan bijinya
produksi perikanan. dapat mengapung dan terbawa arus laut. Dari Indo-
Malaysia, spesies mangrove tersebar ke barat hingga
Kata kunci: mangrove, ekosistem, ekoton. India dan Afrika Timur, serta ke arah timur hingga
Amerika dan Afrika Barat. Penyebaran mangrove dari
pantai barat Amerika ke laut Karibia melewati selat yang
kini menjadi negara Panama, antara 66 s.d. 23 juta
PENDAHULUAN
tahun yang lalu, tanah genting ini masih berupa laut.
Selanjutnya propagul mangrove terbawa arus hingga
Hutan mangrove atau mangal adalah sejumlah pantai barat Afrika. Mangrove di Afrika Barat dan
komunitas tumbuhan pantai tropis dan sub-tropis yang Amerika dikolonisasi oleh spesies yang sama dan
didominasi oleh pohon dan semak tumbuhan bunga keragamannya lebih rendah, karena harus melewati
(angiospermae) terestrial yang dapat menginvasi dan samudera Pasifik yang luas, sedangkan mangrove di
tumbuh di lingkungan air laut (MacNae, 1968; Chap- Asia, India, dan Afrika Timur memiliki lebih banyak
man, 1976; Tomlinson, 1986; Nybakken, 1993; Kitamura spesies, karena jaraknya yang lebih dekat dengan
dkk., 1997). Hutan mangrove disebut juga vloedbosh, kepulauan Nusantara (Walsh, 1974; Tomlison, 1986).
hutan pasang surut, hutan payau, rawa-rawa payau atau
hutan bakau. Istilah yang sering digunakan adalah hutan

Publikasi asli: (i) Setyawan, A.D. 2002. Ekosistem Mangrove sebagai Kawasan Peralihan Ekosistem Perairan Tawar dan
Perairan Laut. Enviro 2 (1): 25-40. (ii) Setyawan, A.D., Sutarno, dan A. Susilowati. 2002. Biodiversitas pada Tingkat Genetik,
Spesies, dan Ekosistem Mangrove di Jawa. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA UNS.
16

Distribusi mangrove Jumlah tumbuhan mangrove di Indonesia masih


Mangrove biasa ditemukan di sepanjang pantai diperdebatkan. Jumlah yang sering diacu adalah 37
daerah tropis dan subtropis, pada garis lintang di antara spesies (Soemodihardjo dan Ishemat, 1989) atau 45
25oLU dan 25oLS, meliputi Asia, Afrika, Australia dan spesies (Spalding et al., 1997) atau 47 spesies (Anonim,
Amerika. Sebagai perkecualian, mangrove ditemukan di 1997). Spesies utama berasal dari genera Rhizophora,
selatan hingga Selandia Baru (38oLS) dan di utara Bruguiera, Xylocarpus, Avicennia, Ceriops, Excoecaria,
o
hingga Jepang (32 LU). Faktor lingkungan setempat Nypa, Lumnitzera, Sonneratia, Heritiera, dan Aegiceras
seperti aliran laut yang hangat, embun beku, salinitas, (Soemodihardjo dan Sumardjani, 1994).
gelombang laut, dan lain-lain mempengaruhi distribusi
mangrove (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). Ciri-ciri tumbuhan mangrove
Berdasarkan keanekaragaman spesiesnya, Walsh Tumbuhan mangrove merupakan tumbuhan
(1974) membagi dunia mangrove menjadi dua kawasan berpembuluh, dapat menggunakan air garam sebagai
utama, yaitu kawasan Indo-Pasifik Barat yang meliputi sumber air, dengan adaptasi daun keras, tebal,
Asia, India dan Afrika Timur, serta kawasan Amerika - mengkilat, sukulen, serta memiliki jaringan penyimpan air
Afrika Barat. Mangrove dari kawasan Indo-Pasifik Barat dan garam. Tumbuhan mangrove memiliki mekanisme
sangat terkenal dan beragam, terdiri lebih dari 40 untuk mencegah masuknya sebagian besar garam ke
spesies, sedangkan di Afrika Barat dan Amerika hanya dalam jaringan dan dapat mengekskresi atau
sekitar 12 spesies (Gambar 1.). menyimpan kelebihan garam. Biji dapat mengapung
Tumbuhan mangrove dari kedua kawasan tersebut terbawa arus ke area yang luas dan dapat berkecambah
memiliki perbedaan cukup menyolok. Rhizophora dan saat masih di pohon induk (vivipar), serta tumbuh
Avicennia, dua genus utama mangrove, diwakili spesies dengan cepat setelah jatuh dari pohon. Akar memiliki
yang berbeda mengindikasikan adanya spesiasi yang struktur tertentu (pneumatofora) yang menyerap oksigen
mandiri. Di Indo-Pasifik Barat ditemukan Avicennia pada saat surut dan mencegah kelebihan air pada saat
oficinalis, A. marina, Rhizophora mucronata, R. pasang, sehingga dapat tumbuh pada tanah anaerob
apiculata, Bruguiera gymnorhiza, dan Sonneratia alba, (Tomlinson, 1986)..
sedang di Atlantik ditemukan A. nitida, R. racemosa, R. Tumbuhan mangrove berbentuk pohon dan semak
mangle, R. harrissonii, dan Laguncularia racemosa dengan bentuk dan ukuran beragam. Semuanya
(Marius, 1977; Aksornkoae, 1997). termasuk dikotil kecuali Nypa fruticans. Mangrove mudah
dikenali karena tumbuh pada area di antara rata-rata
Mangrove di Indonesia pasang dan pasang tertinggi, serta pembentukan akar
Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia. yang sangat menyolok untuk menyokong dan mengait.
2
Sekitar 61.250 km atau sepertiga mangrove dunia Sebagian sistem akar terletak di atas tanah dan
terdapat di Asia Tenggara, dimana 42.550 km2 terdapat berfungsi untuk menyerap oksigen selama surut.
di Indonesia (Spalding et al., 1997). Ekosistem mangrove Acrostichum merupakan satu-satunya Pterydophyta
hanya mencakup 2% daratan bumi, sehingga secara terestrial mangrove (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock,
global sangat langka dan bernilai dalam konservasi 1993).
(Ong, 2002). Ekosistem ini merupakan bagian dari
wilayah pesisir yang mencakup 8% bumi (Birkeland,
1983; Ray dan McCormick, 1994; Clark, 1996).
Mangrove di Indonesia umumnya terpencar-pencar
dalam kelompok-kelompok kecil, sebagian besar terletak
di Irian Jaya (Papua). Mangrove tumbuh pada berbagai
substrat seperti lumpur, pasir, terumbu karang dan
kadang-kadang pada batuan, namun paling baik tumbuh
di pantai berlumpur yang terlindung dari gelombang dan
mendapat masukan air sungai. Tumbuhan mangrove di
Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi dapat mencapai
tinggi 50 m dengan diameter 50 cm, meski umumnya
hanya setinggi 25 m dengan diameter 18 cm (FAO,
1985).

KLASIFIKASI MANGROVE

Klasifikasi taksonomi
Terdapat berbagai macam klasifikasi tumbuhan
mangrove. Menurut Tomlinson (1986), mangrove
meliputi 16-24 familia terdiri dari 54-75 spesies.
Sedangkan menurut Field (1996), spesies mangrove
sejati sekurang-kurangnya terdiri dari 17 familia, meliputi
sekitar 80 spesies, dimana 50-60 diantaranya memberi
kontribusi nyata dalam pembentukan hutan mangrove.
Menurut Lovelock (1993) di dunia terdapat 69 spesies
mangrove tergolong dalam 20 familia.
Gambar. Morfologi khas tumbuhan mangrove.
17

mangrove mayor
merupakan penyusun
utamanya (Lugo dan
Snedaker, 1974; Hamilton
dan Snedaker, 1984;
Tomlinson, 1986).
Identifikasi komposisi
vegetasi mangrove
merupakan prasyarat untuk
memahami semua aspek
struktur dan fungsi
mangrove, sebagaimana
kondisi biogeografi,
konservasi dan
manajemennya (Jayatissa
et al., 2002).

Ekosistem peralihan
Ekosistem mangrove
merupakan ekosistem
peralihan atau ekoton
antara komunitas laut
dengan komunitas perairan
tawar di pantai dan
Gambar xxx. Tipe ekosistem mangrove. daratan, sehingga memiliki
kekhasan tersendiri (Dahuri
dkk., 1996). Komunitas ini
sangat berbeda dengan komunitas laut, namun memiliki
Klasifikasi vegetasi mangrove beberapa persamaan dengan komunitas daratan dengan
Komposisi dan struktur vegetasi hutan mangrove terbentuknya rawa-rawa air tawar sebagai zona antara.
beragam, tergantung kondisi geofisik, geografi, geologi, Hutan mangrove terbentuk karena adanya
hidrografi, biogeografi, iklim, tanah, dan kondisi perlindungan dari ombak, masukan air tawar,
lingkungan lainnya. Tomlinson (1986) mengklasifikasikan sedimentasi, aliran air pasang surut, dan suhu yang
vegetasi mangrove menjadi: mangrove mayor, mangrove hangat (Walsh, 1974; Goldman dan Horne, 1983).
minor dan tumbuhan asosiasi. Tumbuhan mangrove Proses internal pada komunitas ini seperti fiksasi energi,
mayor (true mangrove) sepenuhnya berhabitat di produksi bahan organik dan daur hara sangat
kawasan pasang surut, dapat membentuk tegakan dipengaruhi proses eksternal seperti suplai air tawar dan
murni, beradaptasi terhadap salinitas melalui pasang surut, serta suplai hara dan stabilitas sedimen
pneumatofora, embryo vivipar, serta mekanisme filtrasi (Blasco, 1992). Faktor utama yang mempengaruhi
dan ekskresi garam, secara taksonomi berbeda dengan komunitas ini adalah salinitas, tipe tanah, dan resistensi
tumbuhan darat setidaknya hingga tingkat genus, antara terhadap arus air dan gelombang laut (Chapman, 1992;
lain: Avicennia, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Nypa Steenis, 1958). Faktor-faktor ini bervariasi dari laut ke
fruticans, Rhizophora, dan Sonneratia. Mangrove minor daratan hingga terbentuk zonasi (Giesen, 1991).
dibedakan oleh ketidakmampuannya membentuk Ekosistem mangrove merupakan bentuk pertemuan
komponen utama yang menyolok, jarang membentuk lingkungan darat dan laut, sehingga hewan dari kedua
tegakan murni, dan hanya menempati tepian habitat, lingkungan ini dapat ditemukan di dalamnya. Sebagian
misalnya: Acrostichum, Aegiceras, Excoecaria, Heritiera, kecil hewan menggunakan mangrove sebagai satu-
Osbornia, Pemphis, Scyphiphora, dan Xylocarpus. satunya habitat, sebagian dapat berpindah-pindah
Tumbuhan asosiasi mangrove adalah tumbuhan yang meskipun lebih sering ditemukan di hutan mangrove,
toleran terhadap salinitas, tidak hanya ditemukan di sedang lainnya berpindah-pindah berdasarkan musim,
hutan mangrove, merupakan vegetasi transisi ke daratan tahapan siklus hidup, atau pasang surut laut (Ng dan
atau lautan, dan dapat berinteraksi dengan mangrove Sivasothi, 2001; Tomlinson, 1986).
mayor, seperti Terminalia, Hibiscus, Thespesia,
Calophyllum, Ficus, Casuarina, Ipomoea pescaprae, Komponen abiotik ekosistem mangrove
Sesuvium portucalastrum, Salicornia arthrocnemum, Faktor lingkungan yang mempengaruhi mangrove
Cocos nucifera, Metroxylon sagu, Dalbergia, Pandanus, dalam jangka panjang adalah ketinggian dan fluktuasi
Hibiscus tiliaceus, dan lain-lain. permukaan laut. Adapun faktor-faktor jangka pendek
yang berpengaruh adalah suhu, salinitas, arus laut,
angin badai, kemiringan pantai, dan substrat sedimen
EKOSISTEM MANGROVE tanah. Kebanyakan mangrove tumbuh di tanah lumpur,
namun dapat pula tumbuh di tanah gambut, pasir, dan
Komunitas mangrove tersusun atas tumbuhan, batu karang. Apabila kondisi pasang surut optimal,
hewan dan mikrobia, namun tanpa hadirnya tumbuhan mangrove dapat tumbuh jauh ke pedalaman sepanjang
mangrove, komunitas ini tidak dapat disebut ekosistem muara sungai dan teluk (Ng dan Sivasothi, 2001;
mangrove (Jayatissa et al., 2002), karena tumbuhan Lovelock, 1993). Di Kalimantan, hutan ini dapat menjorok
18

hingga 150 km ke hulu sungai, bahkan di Sungai Kapuas membawa bahan organik atau mikroorganisme
hingga 240 km (Steenis, 1958). tersuspensi ke ekosistem mangrove. Bersama dengan
Tanah. Tanah mangrove merupakan tanah sedimen surutnya air laut, mikroorganisme ini tersaring oleh
alluvial yang dibawa dan diendapkan oleh sungai dan tanah. Sebaliknya pada saat surut nutrien dari daratan
laut. Tanah ini dapat diklasifikasikan sebagai pasir pantai juga terbawa ke laut (Ng dan Sivasothi, 2001;
(sand), lumpur/ debu halus (silt) dan lempung/tanah liat Lovelock, 1993).
(clay). Tanah disusun oleh ketiganya dengan komposisi Sinar, suhu dan kelembaban. Kondisi di atas
berbeda-beda. Topsoil tanah mangrove biasanya bertipe dataran terbuka dan di bawah kanopi hutan sangat
pasir atau lempung. Topsoil pasir berwarna lebih terang, berbeda. Dataran lumpur yang tersinari matahari
porous, dapat dilewati air pada saat pasang dan langsung pada saat laut surut di siang hari menjadi
mengalami aerasi pada saat surut, sedangkan topsoil sangat panas dan memantulkan cahaya, sedangkan
lempung berwarna lebih gelap, kurang porous dan tidak permukaan tanah di bawah kanopi hutan mangrove
teraerasi dengan baik. Tanah subsoil selalu jenuh air terlindung dari sinar matahari dan tetap sejuk. Tingkat
atau tergenang, sehingga hanya teraerasi sedikit, sangat kelembaban hutan mangrove lebih kering dari pada
kaya bahan organik, namun terurai sangat lambat. hutan tropis pada umumnya karena adanya angin. Suhu
Tanah ini berwarna abu-abu gelap atau hitam dan kelembaban udara sangat berpengaruh terhadap
(gleying), dan menghasilkan bau menyengat menunjuk- keanekaragaman spesies di suatu habitat (Ng dan
kan adanya hidrogen sulfida (H2S), hasil kegiatan bakteri Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).
anaerob pereduksi belerang (e.g. Desulfovibrio). Variasi Angin dan arus laut. Secara garis besar iklim di
setempat dapat terjadi karena adanya hewan-hewan Indonesia dibagi menjadi musim hujan (Oktober-April)
liang seperti udang dan kepiting, yang menyebabkan dan kemarau (April-Oktober), namun secara lebih detail
udara masuk melalui lubang-lubang di tanah. Kondisi dapat dibagi menjagi empat musim (monsoon), yaitu:
tanah merupakan penyebab terbentuknya zonasi hewan musim timur laut (Desember-Maret) dengan angin kuat
dan tumbuhan, misalnya kepiting yang berbeda dan hujan lebat, khususnya dua bulan pertama; antar
menempati kondisi tanah yang berbeda pula, di sisi lain musim (pancaroba) yang pertama (April) dengan angin
tumbuhan Avicennia dan Sonneratia hidup dengan baik tidak terlalu kuat; musim barat daya (Mei-September)
pada tanah berpasir, sedangkan Rhizophora lebih dengan angin kuat dan hujan sangat sedikit; serta antar
menyukai lumpur lembut, adapun Bruguiera menyukai musim yang kedua (Oktober-Nopember) seperti antar
tanah lempung yang mengandung sedikit bahan organik musim yang pertama, namun curah hujannya kadang-
(Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). kadang lebih tinggi. Arus laut terbentuk oleh musim
Derajat keasaman (pH). Adanya kalsium dari angin, sehingga ketinggian gelombang laut mengikuti
cangkan moluska dan karang lepas pantai menyebabkan musim ini (Ng dan Sivasothi, 2001).
air di ekosistem mangrove bersifat alkali. Namun tanah Aliran pasang-surut. Laut mengalami aliran air
mangrove bersifat netral hingga sedikit asam, karena pasang (HW; high water, rising, flood tide) dua kali
aktivitas bakteri pereduksi belerang dan adanya sehari, bergantian dengan aliran air surut (LW; low,
sedimentasi tanah lempung yang asam. Aktivitas bakteri receding, ebb tide). Hal ini disebabkan tarikan gravitasi
pereduksi belerang ditunjukkan oleh tanah gelap, asam dan gaya sentrifugal rotasi bumi, bulan dan matahari,
dan berbau telur busuk (Ng dan Sivasothi, 2001; serta kondisi geografi setempat. Aliran pasang surut
Lovelock, 1993). biasanya campuran semi-diurnal, yakni dua pasang
Oksigen. Berbeda dengan tanah kering, lumpur tinggi dan dua pasang rendah yang dalam satu hari
hampir tidak memiliki rongga udara untuk menyerap tingginya tidak sama. Waktu pasang bergeser 50 menit
oksigen. Jumlah oksigen terlarut dalam perairan sehari, karena tergantung peredaran bulan, yaitu 24 jam
mangrove umumnya lebih rendah daripada di laut 50 menit. Ketika bulan dan matahari sejajar pada bulan
terbuka. Kandungan ini semakin rendah pada tempat purnama terjadi aliran pasang tertinggi (high water spring
yang kelebihan bahan organik, mengingat oksigen tide; HWST). Kondisi yang sama pada bulan baru
diserap untuk peruraian bahan organik tersebut, menyebabkan terjadi surut terendah (low water spring
sehingga terbentuk zona anoksik. Oksigen pada tide; LWST). Keduanya terjadi secara bergantian setiap
permukaan sedimen (sediment water interface) dua minggu sekali. Rata-rata jangkauan antara pasang
digunakan bakteri untuk mengurai bahan organik dan dan surut pada bulan baru dapat mencapai 3,5 m,
respirasi. Oksigen ini diperoleh dari sirkulasi pasang- sedangkan pada bulan purnama dapat mencapai 10 m.
surut dan pengaruh atmosfer. Di bawahnya lumpur yang Daerah pantai yang terletak di antara pasang tertinggi
mengandung bahan organik dan partikel-partikel halus (highest high water spring tide; HHWST) dan surut
menghasilkan kondisi anoksik, yang hanya ditumbuhi terendah (lowest low water spring tide; LLWST) dikenal
bakteri anaerob yang dapat mengurai bahan organik sebagai zona pasang surut (intertidal). Hutan mangrove
tanpa oksigen dan menghasilkan H2S (Ng dan Sivasothi, tumbuh di antara rata-rata pasang (mid-tide level; MTL)
2001; Lovelock, 1993). dan pasang tertinggi (HHWST). Pola pasang surut
Nutrien. Nutrien yang dihasilkan produser primer bervariasi tergantung lokasi dan waktu. Tingginya
hutan mangrove dilepaskan ke komunitas dalam bentuk jangkauan pasang-surut dan faktor-faktor lain
detritus melalui peruraian serasah daun dan kayu. Dapat menyebabkan terbentuknya zonasi horizontal dan
pula melalui perumputan yang dilakukan herbivora vertikal spesies mangrove (Ng dan Sivasothi, 2001).
sehingga terjadi pemindahan energi. Nutrien ekosistem Salinitas. Salinitas kawasan mangrove sangat
mangrove tidak hanya dihasilkan oleh ekosistem itu bervariasi, berkisar 0,5-35 ppt, karena adanya masukan
sendiri (autochthonous), tetapi juga dari sungai atau laut air laut pada saat pasang dan air tawar dari sungai,
di luar ekosistem (allochthonous). Hujan secara teratur khususnya pada musim hujan. Air tawar memiliki
menyapu detritus dari tepian pantai dan daerah aliran salinitas 0-0,4 ppt. Air payau merupakan air pada derajat
sungai ke dalam mangrove. Pada saat pasang naik, laut oligohalin (0,5-5 ppt) hingga mesohalin (5-18 ppt),
19

sedangkan air laut umumnya berderajat polihalin (18-30


ppt). Salinitas juga bervariasi tergantung kedalaman
badan air di muara sungai. Garam yang terkandung
dalam air laut cenderung tenggelam karena berat jenis
(BJ)-nya lebih tinggi. Pada saat laut surut, kolam-kolam
yang terbentuk pada saat laut pasang dapat menjadi
hipersalin (>30 ppt), karena naiknya konsentrasi garam
akibat evaporasi. Sungai-sungai kecil dalam hutan
mangrove bersifat oligohalin dan semakin ke dalam
semakin tawar (Ng dan Sivasothi, 2001).
Gambar xxx. Kristal garam pada permukaan daun Acantus
illicifolius.
ADAPTASI TUMBUHAN MANGROVE TERHADAP
LINGKUNGAN Ultrafiltrasi. Tumbuhan mangrove seperti Bruguiera,
Lumnitzera, Rhizophora, dan Sonneratia tidak memiliki
Proses evolusi menyebabkan spesies mangrove alat ekskresi garam. Untuk itu membran sel di
memiliki beberapa sifat biologi yang khas sebagai bentuk permukaan akar mampu mencegah masuknya sebagian
adaptasi, yang terutama ditujukan untuk mengatasi besar garam dan secara selektif menyerap ion-ion
salinitas yang fluktuatif, kondisi lumpur yang anaerob tertentu melalui proses ultrafiltrasi. Namun hal ini tidak
dan dan tidak stabil, serta untuk reproduksi. selalu berlangsung sempurna, kelebihan garam yang
terserap dibuang melalui transpirasi lewat stomata atau
Salinitas disimpan dalam daun, batang dan akar, sehingga
Kebanyakan tumbuhan memiliki toleransi sangat seringkali daun tumbuhan mangrove memiliki kadar
rendah terhadap salinitas, sehingga tidak mampu garam sangat tinggi (Ng dan Sivasothi, 2001).
tumbuh di dalam atau di dekat air laut. Hal ini terjadi
karena kebanyakan jaringan makhluk hidup lebih encer Akar napas
daripada air laut, akibatnya air dari dalam jaringan Tumbuhan mangrove memiliki adaptasi khusus untuk
tumbuhan dapat keluar akibat proses osmosis, sehingga tumbuh di tanah yang lembut, asin dan kekurangan
tumbuhan kekeringan, menjadi layu, dan mati. oksigen, dimana kebanyakan tumbuhan tidak mampu.
Lingkungan yang keras ini menyebabkan diversitas Suplai oksigen ke akar sangat penting bagi pertumbuhan
hutan mangrove cenderung lebih rendah daripada dan penyerapan nutrien. Karena tanah mangrove
umumnya hutan hujan tropis (Ng dan Sivasothi, 2001; seringkali anaerob, maka beberapa tumbuhan mangrove
Lovelock, 1993). membentuk struktur khusus pneumatofora (akar napas).
Tumbuhan mangrove tumbuh paling baik pada Akar yang menjulang di atas tanah ini dipenuhi dengan
lingkungan air tawar dan air laut dengan perbandingan jaringan parenkim spons (aerenkim) dan memiliki banyak
seimbang (1:1). Salinitas yang tinggi pada dasarnya pori-pori pecil di kulit kayu sehingga oksigen dapat
bukan prasyarat untuk tumbuhnya mangrove, terbukti masuk dan diangkut ke sistem akar di bawah tanah. Akar
beberapa spesies mangrove dapat tumbuh dengan baik ini juga berfungsi sebagai struktur penyokong pohon di
pada lingkungan air tawar. Di Pulau Christmas, tanah lumpur yang lembut. Tumbuhan mangrove
Bruguiera cylindrica tumbuh selama ribuan tahun pada memiliki bentuk akar napas yang berbeda-beda (Ng dan
danau air tawar, sedangkan di Kebun Raya Bogor B. Sivasothi, 2001).
sexangula tumbuh selama ratusan tahun pada Akar horizontal yang menyebar luas, dimana
lingkungan air tawar. Terhentinya penyebaran mangrove pneumatofora tumbuh vertikal ke atas merupakan
ke lingkungan perairan tawar tampaknya disebabkan jangkar untuk mengait pada lumpur. Terdapat empat tipe
ketidakmampuan untuk berkompetisi dengan spesies pneumatofora, yaitu akar penyangga (stilt, prop), akar
lain, sehingga mengembangkan adaptasi untuk tumbuh pasak (snorkel, peg, pencil), akar lutut (knee, knop), dan
di air asin, dimana tumbuhan lain tidak mampu bertahan. akar papan (ribbon, plank). Tipe akar pasak, akar lutut
Adaptasi terhadap salinitas umumnya berupa kelenjar dan akar papan dapat berkombinasi dengan akar tunjang
ekskresi untuk membuang kelebih garam dari dalam pada pangkal pohon. Sedangkan akar penyangga akan
jaringan dan ultrafiltrasi untuk mencegah masuknya mengangkat pangkal batang ke atas tanah (Ng dan
garam ke dalam jaringan. Tumbuhan mangrove dapat Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).
mencegah lebih dari 90% masukan garam dengan filtrasi Akar penyangga (sangga). Pada Rhizophora akar
pada akar. Garam yang tetap terserap dengan cepat panjang dan bercabang-cabang muncul dari pangkal
diekskresikan oleh kelenjar garam di daun atau disimpan batang. Akar ini dikenal sebagai prop root dan pada
dalam kulit kayu dan daun tua yang hampir gugur (Ng akhirnya akan menjadi stilt root apabila batang yang
dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). disangganya terangkat hingga tidak lagi menyentuh
Ekskresi garam. Beberapa tumbuhan mangrove tanah. Akar penyangga membantu tegaknya pohon
seperti Avicennia, Acanthus dan Aegiceras memiliki alat karena memiliki pangkal yang luas untuk mendukung di
sekresi garam. Konsentrasi garam dalam getah biasanya lumpur yang lembut dan tidak stabil. Juga membantu
tinggi, sekitar 10% dari air laut. Sebagian garam aerasi ketika terekspos pada saat laut surut (Ng dan
dikeluarkan melalui kelenjar garam dan selanjutnya Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).
diterbangkan angin atau hujan. Hal ini bisa dirasakan Akar pasak. Pada Avicennia dan Sonneratia,
dengan menjilat daun tumbuhan mangrove atau bagian pneumatofora merupakan cabang tegak dari akar
lainnya (Ng dan Sivasothi, 2001). horizontal yang tumbuh di bawah tanah. Pada Avicennia
bentuknya seperti pensil atau pasak dan umumnya
20

hanya tumbuh setinggi 30 cm, sedangkan pada tenggelam. Lamanya periode mengapung bervariasi
Sonneratia tumbuh lebih lambat namun dapat tergantung jenisnya. Biji beberapa jenis mangrove dapat
membentuk massa kayu setinggi 3 m, kebanyakan mengapung lebih dari setahun dan tetap viabel. Pada
setinggi 50 cm. Di teluk Botany, Sidney dapat dijumpai saat mengapung biji terbawa arus ke berbagai tempat
Avicennia marina dengan pneumatofora setinggi lebih dan akan tumbuh apabila terdampar di areal yang
dari 28 m, meskipun kebanyakan tingginya hanya sekitar sesuai. Kecepatan pertumbuhan biji tergantung iklim dan
4 m (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). nutrien tanah. Biji yang terdampar di tempat terbuka
Akar lutut. Pada Bruguiera dan Ceriops akar karena pohon mangrove tua telah mati dapat tumbuh
horizontal tumbuh sedikit di bawah permukaan tanah, sangat cepat, sedangkan biji yang tumbuh pada tegakan
dan secara teratur dan berulang-ulang tumbuh vertikal mangrove mapan umumnya akan mati dalam beberapa
ke atas kemudian kembali ke bawah, sehingga tahun kemudian. Pada familia Rhizophoraceae biji
berbentuk seperti lutut yang ditekuk. Bagian di atas berbentuk propagul yang memanjang; apabila masak
tanah (lutut) membantu aerasi dan menjadi tempat akan jatuh ke air dan tetap dormansi hingga tersangkut
bertahan di lumpur yang tidak stabil. Lumnitzera di tanah yang aman, menebarkan akar dan mulai
membentuk akar lutut kecil yang bentuknya merupakan tumbuh, misalnya Rhizophora, Ceriops dan Bruguiera.
kombinasi akar lutut dan akar pasak (Ng dan Sivasothi, Beberapa mangrove menggunakan cara konvensional
2001; Lovelock, 1993). (biji normal) untuk reproduksi seperti Heritiera littoralis,
Akar papan. Pada Xylocarpus granatum akar Lumnitzera, dan Xylocarpus (Ng dan Sivasothi, 2001;
horizontal tumbuh melebar secara vertikal ke atas, Lovelock, 1993).
sehingga akar berbentuk pipih menyerupai papan. Embryo vivipari. Vivipari adalah kondisi dimana
Struktur ini terbentuk mulai dari pangkal batang. Akar ini embryo pertama kali tumbuh, memecah kulit biji dan
juga melekuk-lekuk seperti ular yang sedang bergerak keluar dari buah pada saat masih melekat pada
dan bergelombang. Terpaparnya bagian vertikal me- tumbuhan induk, misalnya Bruguiera, Ceriops, Kandelia
mudahkan aerasi dan tersebarnya akar secara luas dan Rhizophora. Kriptovivipari (Yunani: kryptos,
membantu berpijak di lumpur yang tidak stabil (Ng dan tersembunyi) adalah kondisi dimana embryo tumbuh dan
Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). memecah kulit biji, namun tidak keluar dari kulit buah
hingga lepas dari tumbuhan induk, misalnya Aegiceras,
Sistem reproduksi Avicennia dan Nypa. Para pakar banyak berspekulasi
Mangrove merupakan tumbuhan penghasil biji mengenai fungsi vivipari atau kriptovivipari dalam
(spermatophyta), dan bunganya sering kali menyolok. kaitannya dengan morfologi, ekologi, dan fisiologi
Biji mangrove relatif lebih besar dibandingkan biji tumbuhan. Vivipari atau kriptovivipari tidak ditemukan
kebanyakan tumbuhan lain dan seringkali mengalami pada tumbuhan halofita atau tumbuhan rawa-rawa air
perkecambahan ketika masih melekat di pohon induk tawar, sehingga kondisi ini tidak disebabkan salinitas
(vivipar). Pada saat jatuh, biji mangrove biasanya akan atau tanah yang jenuh air (Ng dan Sivasothi, 2001;
mengapung dalam jangka waktu tertentu kemudian Lovelock, 1993).

A B

C D

Gambar xxx. Bentuk morfologi akar napas (pneumatofora) tumbuhan mangrove. A. Akar penyangga Rhizophora, B. Akar pensil
Sonneratia, C. Akar lutut Bruguiera, D. Akar papan/banir Xylocarpus.
21

↑ Gambar xxx. Vivipari pada


Aegiceras corniculata

← Gambar xxx. Vivipari pada


Bruguiera cylindrica

Vivipari merupakan mekanisme adaptasi untuk


mempersiapkan seedling tersebar luas, dapat bertahan
dan tumbuh dalam lingkungan asin. Selama
pembentukan vivipari, propagul diberi makan pohon
induk, sehingga dapat menyimpan dan mengakumulasi
karbohidrat atau senyawa lain yang nantinya diperlukan
untuk pertumbuhan. Struktur kompleks seedling pada
awal pertumbuhan ini akan membantu aklimatisasi
terhadap kondisi fisik lingkungan yang ekstrim.
Kebanyakan seedling tidak tumbuh di sekitar induk,
namun mengapung selama berminggu-minggu hingga
jauh dari induknya. Pada kondisi tanah yang sesuai
seedling ini dapat berakar dan tumbuh dengan cepat.
Vivipari dan propagul yang berumur panjang,
Gambar: Pembentukan propagul Rhizophora
menyebabkan mangrove dapat tersebar pada area yang
luas (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).

Gambar xxx. Biji dan propagul berbagai jenis tumbuhan mangrove.


22

Ikan. Hutan mangrove merupakan tempat aman bagi


HEWAN MANGROVE
berbagai jenis burung dan ikan untuk mencari makan,
bersarang dan tinggal. Kebanyakan ikan yang hidup di
Ekosistem mangrove merupakan bentuk pertemuan mangrove juga ditemukan di laut sekitar pantai. Ikan ini
lingkungan darat dan laut, sehingga hewan dari kedua tinggal di hutan mangrove pada waktu atau tahap
lingkungan ini dapat ditemukan di ekosistem mangrove. tertentu, misalnya pada saat muda dan musim kawin.
Sebagian kecil hewan menggunakan mangrove sebagai Terdapat pula jenis ikan tawar yang dapat hidup di area
satu-satunya habitat, sebagian dapat berpindah-pindah mangrove. Ketersediaan makanan dan perlindungan
meskipun lebih sering ditemukan di hutan mangrove, merupakan faktor penting yang menyebabkan ikan
sedang lainnya berpindah-pindah berdasarkan musim, bermigrasi keluar masuk lingkungan ini. Ikan gelodok
tahapan siklus hidup, atau pasang surut laut. (Periophthalmodonidae; Gobiidae) merupakan salah satu
Kebanyakan orang menganggap mangrove sebagai dari sedikit hewan yang habitatnya terbatas di area
tempat berlumpur dan rawa-rawa becek, yang penuh mangrove. Mereka membentuk lubang dalam tanah dan
dengan nyamuk, ular, laba-laba, dan memberi rasa tidak dapat berenang seperti ikan dengan menggunakan sirip
nyaman. Namun apabila diperhatikan lebih teliti berjalan- pektoral, akan tetapi juga dapat memanjat pohon atau
jalan di kawasan mangrove merupakan perburuan besar. melewati tanah dengan sirip tersebut. Terdapat
Di bawah kerimbunan hutan terdapat berbagai jenis beberapa jenis ikan gelodok.
arthropoda, moluska, burung, ikan, reptilia, mamalia dan
lain-lain, sehingga menarik untuk ditelusuri. Mangrove Burung. Beberapa spesies burung pada musim
merupakan salah satu habitat paling penting di dunia. tertentu membutuhkan mangrove untuk mencari
Mangrove memiliki fungsi ekologi sangat penting. makanan dan perlindungan. Burung pemakan madu dan
Sesendok teh lumpur mangrove mengandung lebih dari loriket mengunjungi mangrove pada musim berbunga.
10 juta bakteri, lebih kaya dari lumpur manapun. Bakteri Burung lain seperti merpati imperial juga tinggal di
ini membantu peruraian serasah daun dan bahan mangrove selama musim kawin. Mangrove merupakan
organik lain, sehingga hutan mangrove menjadi sumber habitat penting bagi migrasi tahunan dan dapat menjadi
nutrisi penting bagi tumbuhan dan hewan, serta ikut pula tempat berlindung pada musim kemarau atau apabila
menjaga daur nutrisi pada habitat perairan pantai. hutan di dekatnya ditebangi. Burung air yang sering
Beberapa bakteri lignolitik, sellulolitik, proteolitik dan mengunjungi mangrove antara lain: jabiru, bangau,
mikroorganisme lain dapat menguraikan molekul organik heron, sedangkan robin, kutilang, burung madu, dan raja
yang besar seperti tanin dan selulosa menjadi fragmen- udang merupakan burung daratan yang secara tetap
gragmen lebih kecil yang bermanfaat. Alga tingkat tinggi menggunakan ekosistem mangrove.
biasa ditemukan menempel pada tumbuhan mangrove, Amfibia. Katak jarang dijumpai di kawasan
khususnya di akar penyangga dan akar napas mengrove. Airnya yang asin barangkali kurang cocok
(pneumatofora) lainnya. Mikrobia, bakteri, fungi, dan alga dengan kondisi kulit katak yang relatif tipis. Jenis katak
hijau-biru (Cyanobacteria) merupakan elemen tanah yang kadang-kadang dapat ditemukan di kawasan
mangrove yang penting. mangrove adalah Rana cancrivora.
Invertebrata yang ditemukan di hutan mangrove Reptilia. Buaya muara (Crocodilus porosus)
umumnya adalah artropoda yang meliputi serangga, merupakan hewan mangrove paling buas. Mereka tidak
Chelicera dan Crustacea, serta moluska baik gastropoda selalu bersarang di mangrove, tertapi dapat bersarang
maupun bivalvia. Sedangkan vertebrata yang banyak pada vegetasi di sekitar mangrove atau pada sungai-
ditemukan adalah ikan dan burung. Dalam jumlah sungai kecil yang terhubung ke pantai. Pada saat
terbatas ditemukan pula reptilia dan mamalia. Amfibia pasang reptil ini menuju mangrove untuk mencari
sangat jarang ditemukan di kawasan mangrove. makan. Buaya muda memakan kepiting, udang, ikan
Serangga. Insekta merupakan taksa yang sangat gelodok dan ikan kecil lainnya, ketika dewasa mereka
banyak ditemukan di hutan mangrove, berupa berbagai juga memakan burung dan mamalia. Ular laut dan ular
jenis ngengat, kutu (bug), kumbang, lalat, semut dan darat kadang-kadang ditemukan sebagai pengunjung
jengkerik. Bersama dengan Crustacea dan Chelicera, mangrove. Ular piton merupakan pengunjung paling
serangga merupakan Arthropoda yang banyak sering dijumpai di mangrove. Di kawasan mangrove
ditemukan di mangrove. sendiri terdapat beberapa jenis ular yang menggunakan
Custacea. Crustasea seperti remis, udang dan mangrove sebagai habitat primernya. Kadal dan biawak
kepiting sangat melimpah di hutan mangrove. Salah satu yang memakan insekta, ikan, kepiting dan kadang-
yang terkenal adalah kepiting lumpur (Thalassina kadang burung juga menggunakan mangrove sebagai
anomala) yang dapat membentuk gundukan tanah besar habitat utama.
di mulut liangnya, serta kepiting biola (Uca spp.) yang Mamalia. Kelelawar buah (kalong) sering
salah satu capitnya sangat besar. Terdapat sekitar 60 membentuk koloni besar di hutan mangrove dan
spesies kepiting di hutan mangrove. Kebanyakan bergelantungan di siang hari. Mamalia lain yang dapat
memakan dedaunan, lainnya memakan alga atau dijumpai di tempat ini antara lain barang-barang, bajing,
detritus di sedimen tanah dan membuang sisanya dalam anjing, tikus, kera, demikian pula babi dan kerbau air.
gumpalan-gumpalan pelet.
Moluska. Moluska, beserta Arthropoda, merupakan
inverterbrata paling banyak dijumpai di hutan mangrove, ZONASI MANGROVE
baik Gastropoda maupun Bivalvia.
Chelicera. Chelicera yang dapat dijumpai di hutan Hutan mangrove di daerah tropis relatif heterogen.
mangrove antara lain laba-laba, kutu (mite), dan kepiting Spesies yang tumbuh di bibir pantai cenderung
ladam. Laba-laba paling banyak dijumpai. berhabitus rendah, sedang yang jauh berhabitus tinggi.
Pada ekosistem alami tumbuhan mangrove membentuk
23

Odites (ngengat) Crypticerya jacobsoni (kutu) Dysdercus decussatus (kutu Monolepta (kumbang)
kapuk)

Elleipsa quadrifasciata (lalat) Tetraponera (semut)


Apteronemobius asahinai
(jengkerik)

Chicoreus capucinus Onchidium griseum


Marcia marmorata Nerita lineata

Penaeus (udang laut)


Macrobrachium equidens Caridina propinqua Uca rosea (kepiting biola merah)
(udang muara)

Uca vocans (kepiting biola


Varuna (kepiting pendayung)
kuning)
Scylla (kepiting lumpur kuning) Myomenippe harwicki (kepiting
batu)

Thalassina anomala (kepiting Coenobita cavipes (pong- Euraphia withersi (teritip) Hyllus diardii (laba-laba)
lumpur) pongan/kelomang)

Carcinoscorpius rotundicauda
(ladam; mimi-mituno).
Argiope mangal (laba-laba) Ligurra latidens (laba-laba) Trombiculus (mite)
24

Chanos chanos (bandeng) Stigmatogobius sadanundio


Periophthalmodon schlosseri

Mystus gulio Scatophagus argus Oryzias javanicus (wader pari)


Periophthalmus novemradiatus

Boleophthalmus boddarti

Trynga totanus (wader)


Nycticorax nycticorax Todirhamphus chloris (raja Egretta garzetta (bangau)
udang)

Rhiphidura javanica (kutilang)

Amaurornis phoenicurus (punik)

Haliastur indus (elang) Acridotheres javanicus (gagak)

Cosymbotes platyurus (tokek)

Trimeresurus Emoia atrocostata


purpureomaculatus (ular pohon)
Rana cancrivora

Varanus salvator

Crocodilus (buaya)

Cynopterus brachyotis (kalong) Amblonyx cinereus (berang-


berang)

Gambar xxx. Keanekaragaman hewan pada ekosistem mangrove (Ng dan Sivasothi, 2001).

zonasi. Zona luar yang terbuka didominasi Avicennia perbatasan hutan mangrove dengan rawa air tawar
dan Sonneratia, diikuti Rhizophora pada bagian sedikit tumbuh tegakan Nypa fruticans, diikuti Cyperus
agak dalam. Zona tengah didominasi Bruguiera portulacastrum, Fimbristylis ferruginea, Scirpus litoralis
gymnorrhiza. Zona tiga didominasi Xylocarpus dan dan S. Malaccensis (Sasaki dan Sunarto, 1994).
Heritiera. Zona dalam didominasi Bruguiera cylindrica, Pada hutan mangrove alami dapat terbentuk zonasi
Scyphiphora hydrophyllacea, dan Lumnitzera. Adapun spesies tunggal sejajar dengan garis pantai dan tepian
zona transisi didominasi Cerbera manghas. Pada sungai, mulai dari tepi pantai ke arah daratan. Beting
25

lumpur yang luas atau beting pasir yang dangkal di tepi dengan plankton dan alga. Plankton dan alga merupakan
laut ditumbuhi oleh Avicennia dan Sonneratia. sumber utama karbon pada ekosistem mangrove di
Rhizophora ditemukan lebih ke dalam pada tepian samping detritus. Nutrien di bawa pula dari kawasan hulu
sungai, adapun Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus dan sebagai allochthonous (Ng dan Sivasothi, 2001;
Heritiera membentuk bagian belakang mangrove. Pada Lovelock, 1993; Clough, 1992).
lingkungan yang cocok, dimana terdapat pasir dan
lempung, Nypa fruticans dapat menjadi tumbuhan utama Hubungan mangrove, rumput laut dan karang
pada tepi sungai atau laguna (Chapman, 1992). Ekosistem mangrove, rumput laut dan karang
Penyebab zonasi ini masih diperdebatkan dan disatukan oleh massa air yang mengalir keluar masuk
kemungkinan disebabkan kombinasi berbagai faktor pada saat pasang dan surut, serta oleh hewan-hewan
seperti salinitas, kondisi tanah, tingkat genangan, ukuran yang hidup di kesua habitat tersebut. Berbagai ikan dan
dan ketersediaan propagul, serta kompetisi antar udang yang biasa ditemukan di lepas pantai
spesies. Tumbuhan mangrove memiliki tanggapan yang menggunakan mangrove selama sebagian siklus
berbeda-beda terhadap faktor-faktor lingkungan tersebut, hidupnya. Sebaliknya kepiting lumpur (Thalassina
sehingga tumbuh tersebar dalam zonasi yang anomala), menghabiskan besar hidupnya di mangrove
karakteristik. Beberapa spesies mangrove tumbuh di dan bergerak ke laut hanya untuk bertelur. Aliran pasang
garis pantai, tepian pulau, teluk yang terlindung, atau surut dan arus membawa nutrien dari mangrove ke
jauh ke pedalaman hulu sungai yang masih dipengaruhi rumput laut dan karang, dan sebaliknya. Saling pengaruh
pasang surut (Ng dan Sivasothi, 2001). ini tergantung jauh-dekatnya habitat satu dengan habitat
Pada sebagian besar hutan mangrove yang sudah lain. Ekosistem mangrove juga dapat mencegah
dipengaruhi kegiatan manusia (antropogenik), zonasi sedimentasi berlebih pada ekosistem rumput laut dan
sulit ditentukan akibat tingginya sedimentasi dan terumbu karang, sehingga mencegah kematian (Ng dan
perubahan habitat. Dalam hal ini ketersediaan propagul Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).
diduga lebih berpengaruh dari pada faktor lain, dimana
beting lumpur baru akan didominasi tumbuhan yang
propagulnya paling banyak sampai di tempat tersebut,
MANFAAT MANGROVE
misalnya di Segara Anakan (Djohan, 2001, komunikasi
pribadi).
Ekosistem mangrove menghasilkan sejumlah barang
dan jasa yang tidak seluruhnya laku di pasaran.
Beberapa diantaranya diteruskan sebagai pelayanan
HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM DI untuk ekosistem pantai dan lepas pantai. Nilai ini sulit
SEKITARNYA ditentukan dan sering tidak disadari, sehingga hutan
mangrove seringkali diubah untuk menghasilkan produk
Aliran energi yang langsung laku di pasaran, misalnya pertambakan.
Hutan mangrove merupakan ekosistem produktif Kegunaan mangrove banyak dan beragam. Referensi
yang mendukung sejumlah besar kehidupan melalui tertua mengenai pemanfaatan spesies mangrove berasal
rantai makanan yang dimulai dari tumbuh-tumbuhan. dari tahun 1230 di Arab, yakni penggunaan seedling
Daun tumbuhan mangrove, sebagaimana semua Rhizophora sebagai sumber pangan, getah untuk
tumbuhan hijau, menggunakan sinar matahari untuk mengobati sakit mulut, batang tua untuk kayu bakar,
mengubah karbon dioksida menjadi senyawa organik tanin dan pewarna, serta menghasilkan minuman yang
melalui proses fotosintesis. Karbon yang diserap memiliki efek aprodisiak bagi lelaki dan efek pengasihan
tumbuhan selama fotosintesis, bersama-sama dengan bagi wanita (Bandaranayake, 1998).
nutrien yang diambil dari tanah, menghasilkan bahan
baku untuk pertumbuhan. Pertumbuhan pohon Manfaat ekonomi
mangrove sangat penting bagi keberlanjutan hidup Hutan mangrove memiliki nilai sosial-ekonomi dan
semua organisme. Terurainya daun, ba-tang, dan akar ekologi sangat penting (Bennett dan Reynolds, 1993).
mangrove yang mati mengha-silkan karbon dan nutrien Selama berabad-abad ekosistem mangrove memiliki nilai
yang digunakan oleh organisme lain (Ng dan Sivasothi, sosial-ekonomi berupa: kayu bangunan, kayu bakar,
2001; Lovelock, 1993; Clough, 1992). kayu lapis, bubur kertas, tiang telepon, tiang pancang,
Tidak ada yang menjadi sampah dalam ekosistem bagan penangkap ikan, dermaga, bantalan kereta api,
mangrove. Tumbuhan mangrove merupakan lumbung kayu untuk mebel dan kerajinan tangan, atap, tannin kulit
sejumlah besar daun yang kaya nutrien yang akan kayu, bahan obat, gula, alkohol, asam asetat, protein
diuraikan oleh fungi dan bakteri atau langsung dimakan hewani, madu, karbohidrat hipokotil dan bahan pewarna
kepiting. Material organik yang mati diuraikan menjadi (Hamilton dan Snedaker, 1984; IPIECA, 1993a;
partikel-partikel kecil (detritus) oleh bakteri yang kaya Spaninks dan Beukering, 1997; Bandaranayake, 1998;
protein. Detritus merupakan sumber makanan bagi Dahdouh-Guebas et al., 2000; Manassrisuksi et al.,
beberapa spesies moluska, kepiting, udang dan ikan, 2001; Ng dan Sivasothi, 2001; Ong, 2002).
yang selanjutnya dimakan hewan yang lebih besar. Kayu bangunan. Secara tradisional masyarakat
Nutrien yang dilepaskan ke dalam air selama periuraian lokal menggunakan mangrove untuk memasak,
daun, kayu dan akar juga dimakan plankton dan alga (Ng membangun rumah dan perahu secara lestari, namun
dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993; Clough, 1992). bertambahnya penduduk menyebabkan penggunaan
Detritus mangrove merupakan nutrien autochthonous secara lestari sulit dipertahankan. Kayu Nypa digunakan
bagi ekosistem mangrove dan ekosistem perairan laut. untuk dermaga atau bangunan bawah air karena tahan
Hal ini mendukung berbagai jenis hidupan laut dalam terhadap kebusukan, serangan fungi dan hewan
jaring-jaring makanan yang kompleks yang terhubung pelubang, sedangkan daunnya untuk atap. Heritiera dan
26

Xylocarpus menghasilkan kayu gergajian berkualitas Manfaat ekologi dan sosial-budaya


tinggi. Tiang utuh Rhizophora merupakan hasil hutan Mangrove memiliki fungsi ekologi yang tidak kalah
mangrove paling utama, mudah ditebang, dan masa penting, antara lain sekuestrasi karbon, menyaring dan
panennya pendek (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, menangkap bahan pencemar yang terbawa air sungai
1993). atau limpasan hujan, menjaga stabilitas pantai dari erosi,
Kayu bakar dan arang. Kayu mangrove sering intrusi air laut, dan tekanan badai, menjaga kealamiahan
digunakan secara langsung sebagai kayu bakar atau habitat, menjadi tempat bersarang, pemijahan dan
diolah lebih dahulu menjadi arang. Kayu Rhizophora dan pembesaran anak berbagai jenis ikan, udang, kerang,
Avicennia memiliki nilai kalor tinggi dan menghasilkan burung dan fauna lain, pembentukan daratan baru, serta
panas sangat tinggi, sehingga sangat sesuai untuk kayu memiliki fungsi sosial sebagai area konservasi,
bakar dan arang. Di Indonesia hal ini telah dilakukan pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya (Thom,
secara komersial sejak tahun 1887 (Ng dan Sivasothi, 1967; Tomlison, 1986; Sukardjo, 1989; Howe et al.,
2001). 1992; IPIECA, 1993a; Tanaka, 1994; Spaninks and
Tanin. Kulit kayu mangrove mengandung metabolit Beukering, 1997; Anonim, 2001b; Manassrisuksi et al.,
sekunder tanin, terutama pada Rhizophoraceae. Tanin 2001; Ng dan Sivasothi, 2001; Ong, 2002), namun nilai
digunakan dalam industri penyamakan kulit, merawat penting ekologi masih sering diabaikan (Coulter et al.,
jaring ikan, sumber warna, dan bahan obat tradisional. 2001).
Tanin mengandung dua kelompok fenol, dapat Perikanan dan daur hara. Mangrove merupakan
dihidrolisis dan tidak, yang diperlukan untuk sintesis pelayan ekosistem laut dan kawasan di sekitarnya.
obat-obatan tertentu. Tumbuhan mangrove memiliki sifat Mangrove menyuplai makanan ke komunitas laut melalui
sitotoksis, antineoplastis, dan antimikrobia. Tumbuhan rantai makanan detritus serasah mangrove. Mangrove
mangrove merupakan sumber saponin, alkaloid dan merupakan tempat persembunyian dan
flavonoid. Saponin memiliki aktivitas biologi penting perkembangbiakan ikan, kepiting, udang, dan moluska.
sebagai spermisida dan moluskisida. Ekstrak akar Mangrove juga merupakan tempat bersarang dan tempat
penyangga Rhizophora apiculata dapat menghambat singgah ratusan jenis burung. Di samping itu duyung,
aktivitas larva nyamuk. Ekstrak Aegiceras mengandung kera, kucing hutan, kadal monitor, penyu laut, ikan
saponin beracun untuk menangkap ikan (Ng dan gelodog, dan buaya muara berhabitat di hutan mang-
Sivasothi, 2001). rove. Konservasi mangrove akan menjaga keberlanjutan
Bahan baku industri. Mangrove dieksploitasi untuk rantai makanan dan industri perikanan (Ng dan
menghasilkan lignosellulosa, bubur kertas, dan rayon. Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).
Rhizophora apiculata menghasilkan lignosellulosa yang Proteksi pantai. Akar mangrove yang jalin-menjalin,
dibutuhkan industri tekstil. Serat dan kertas dapat beserta pneumatofora dan batang mangrove dapat
dihasilkan dari Hibiscus, Thespesia, dan Pandanus (Ng mengurangi kecepatan arus air, menangkap sedimen
dan Sivasothi, 2001). untuk menjaga ketinggian daratan pantai dan mencegah
Bahan pangan. Produk kawasan mangrove yang siltasi pada lingkungan laut di sekitarnya. Keberadaan
langsung dapat dimakan antara lain madu, lilin, daging mangrove dapat mengurangi kerusakan akibat angin-
hewan, ikan, buah-buahan, minuman dan gula. Daun badai dan gelombang laut. Mangrove dapat menjaga
Osbornia octodonata digunakan sebagai bumbu stabilitas dan mencegah perubahan garis pantai dan
penyedap masakan. Buah Avicennia marina biasa rawa-rawa di sekitarnya. Mangrove dapat menjadi
digunakan sebagai sayuran. Buah Kandelia candel dan daerah penyangga untuk mengurangi kerusakan akibat
Bruguiera gymnorrhiza mengandung pati. Daun muda badai dan tsunami. Di tempat-tempat dimana hutan
Acrostichum dan hipokotil Bruguiera merupakan pantai telah ditebangi, terjadi erosi dan pendangkalan
makanan beberapa suku di Irian. Sagu dari batang pantai. Mangrove dapat mempengaruhi daur hidrologi,
Metroxylon sagu digunakan sebagai makanan pokok. menghambat intrusi air laut ke daratan, dan
Nypa dapat menghasilkan gula, alkohol, dan cuka. mempengaruhi mikroklimat (Ng dan Sivasothi, 2001;
Ekstrak kayu Avicennia alba dan A. officinalis Lovelock, 1993).
menghasilkan tonikum. Seedling Avicennia dan Instalasi pengolah limbah. Dalam kondisi yang baik
Bruguiera dapat dimasak dan dimakan (Ng dan dan jumlah sesuai, komunitas mangrove dapat berfungsi
Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). sebagai instalasi pengolah limbah. Bahan pencemar dan
Kegunaan lain. Daun Nypa fruticans dapat sampah secara alamiah dapat terbenam dan terurai
digunakan atap, kertas sigaret, serta kerajinan tangan dalam ekosistem mangrove. Demikian pula kelebihan
seperti keranjang dan topi. Gabus dapat diperoleh dari nutrisi kimia dari areal pertanian dapat ditangkap dan di
pneumatofora berbagai tumbuhan mangrove, khususnya daur ulang di hutan mangrove. Ekosistem ini, mampu
Avicennia dan Sonneratia. Propagul Rhizophora dan menyerap kelebihan nitrat dan fosfat dari lahan pertanian
Bruguiera dapat ditanam dalam pot dan menjadi di hulu sungai, sehingga tidak mencemari perairan
tanaman hias. Garam dapat diperoleh dengan memasak pantai. Namun sebaliknya volume limbah yang
daun Avicennia. Batang dan cabang Rhizophora berlebihan dapat meracuni dan merusak ekosistem
mucronata, R. apiculata dan Lumnitzera racemosa, mangrove (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).
dapat digunakan untuk membuat joran pancing. Daun Budaya tradisional. Bagi jutaan masyarakat asli
beberapa tumbuhan mangrove dapat digunakan sebagai yang tinggal di tepi pantai, hutan mangrove menjadi
makanan ternak seperti sapi, kambing, onta, dan kerbau. tempat mencari nafkah dan memenuhi berbagai
Beberapa tumbuhan mangrove menghasilkan obat kebutuhan dasar selama ratusan tahun, sehingga
penguat rambut, rempah-rempah, obat kuat, kemenyan terbentuk budaya tradisional yang terkait dengan
dan parfum (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). ekosistem ini. Misalnya Cerbera manghas digunakan
untuk membuat topeng dalam perayaan tradisional di Sri
Langka (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).
27

Ekowisata dan pendidikan. Salah satu nilai Primavera, 1993), penebangan hutan secara berlebih
komersial hutan mangrove adalah ekowisata. Kehidupan (Walsh, 1974; Hussein, 1995; Semesi, 1998),
liar mangrove merupakan atraksi wisata yang menarik, pertambangan, pencemaran, pembendungan sungai
misalnya migrasi burung-burung air. Sekolah juga (Lewis, 1990), pertanian, bencana alam (Nybakken,
menggunakan kawasan ini untuk praktikum (Ng dan 1993; Knox dan Miyabara, 1984), serta tumpahan
Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). minyak (Ellison dan Farnsworth, 1996), meski yang
terakhir ini belum banyak didokumentasikan (Burns et
Bioprospeksi mangrove al., 1994; 1999). Kerusakan hutan mangrove dapat pula
Hutan mangrove alami yang masih memiliki terjadi karena konversi ke jenis hutan lainnya, misalnya
keanekaragaman spesies tinggi, berpotensi untuk sejak tahun 1997 Perhutani mengubah 6000 ha dari
menghasilkan produk yang dapat dieksploitasi di masa 11.263 ha hutan mangrove Segara Anakan menjadi
depan (bioprospeksi). Berbagai spesies yang digunakan perkebunan kayu putih (Suara Merdeka, 16/6/2001). Hal
dalam pengobatan tradisional merupakan titik awal yang sama telah lebih dahulu dilakukan di hutan
kajian ilmiah dalam pengobatan modern. Tumbuhan mangrove Indramayu (Machfud, 1990).
mangrove sangat potensial sebagai sumber baru Penurunan luasan mangrove mendorong terjadinya
pestisida, agrokimia, bahan obat, serta senyawa- intrusi air laut dan erosi pantai, sehingga menurunkan
senyawa bioaktif lain. Kerusakan pada ekosistem darat produktivitas perairan pantai (Aksornkoae, 1993). Untuk
dan laut yang berdampak pada mangrove menyebabkan mengatasi hal ini banyak negara mengkampanyekan
penelitian untuk menemukan obat baru dari bioaktif upaya konservasi, restorasi, (Hong dan San, 1993) dan
mangrove mendesak dilakukan (Lovelock, 1993). manajemen hutan mangrove (Manassrisuksi et al.,
Senyawa-senyawa kimia dengan struktur kimia baru 2001). Menteri Kelautan dan Perikanan menilai, kondisi
dan kelas tersendiri telah dikarakterisasi dari tumbuhan kerusakan hutan mangrove dan terumbu karang di
mangrove. Penelitian kandungan kimia tumbuhan wilayah pesisir Indonesia sudah pada tingkat yang
mangrove memiliki dua alasan utama: Pertama, sangat mengkhawatirkan. Untuk itu dibutuhkan kebijakan
mangrove tumbuh di lokasi penuh stres seperti nasional yang mengatur pengelolaan sumber daya
lingkungan yang fluktuatif, kelembaban tinggi, pesisir dan pulau-pulau kecil (Suara Pembaruan,
mikroorganisme dan insekta melimpah. Mangrove 29/7/2002b).
tumbuh dengan subur pada lingkungan yang sangat
khusus dan berperan sebagai jembatan antara Konservasi ekosistem mangrove
ekosistem tawar dan laut, karena modifikasi untuk Mangrove telah lama menjadi sumber kekaguman
mengatur air dan garam, serta modifikasi fisiologis dalam banyak orang. Bagi masyarakat yang hidup di kawasan
metabolisme karbohidrat, sintesis polifenol dan lain-lain. Indo-Pasifik Barat dan Amerika-Afrika Barat, istilah
Oleh karena itu mangrove diduga memiliki senyawa mangrove sangat familiar. Hutan mangrove sering
kimia khas yang melindunginya dari berbagai tekanan diangankan sebagai area yang selalu tergenang, dengan
ini. Kedua, berbagai tumbuhan mangrove telah tumbuhan yang memiliki sistem perakaran aerial yang
digunakan dalam pengobatan tradisional, dan ekstraknya khas. Namun banyak pula orang yang menganggap
diketahui memiliki aktivitas melawan penyakit pada mangrove sebagai rawa-rawa yang menjadi sarang
manusia, hewan dan tumbuhan, namun masih sedikit nyamuk, lalat, ular, tidak sehat dan berbahaya. Sehingga
penelitian untuk mengidentifikasi metabolit yang konsep pengelolaan hutan mangrove tidak dimiliki
bertanggungjawab terhadap bioaktivitas ini (Lovelock, kebanyakan orang, termasuk para pengambil keputusan
1993). (Lovelock, 1993).
Restorasi mangrove. Restorasi ekosistem
mangrove ditujukan untuk mengembalikan ekosistem
ANCAMAN DAN KONSERVASI EKOSISTEM mangrove yang telah diubah ke kondisi normal seperti
MANGROVE semula, atau sekurang-kurangnya pada kondisi yang
efektif (Kairo et al., 2001; Morrison, 1990; Field, 1998b).
Tujuan utama restorasi mangrove adalah memantapkan
Ancaman kelestarian
kembali habitat dan fungsi mangove yang telah atau
Di seluruh dunia aktivitas manusia telah mengurangi
akan hilang (Morrison, 1990). Tujuan lainnya adalah
luasan ekosistem alami dan menurunkan
memperkaya landskap dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman hayati hingga tingkat yang
lingkungan, menjaga keberlanjutan sumber daya alam,
mengkhawatirkan. Keanekaragaman hayati kawasan
dan melindungi kawasan pantai (Field, 1996; Morrison,
tropis merupakan yang tertinggi di dunia (Ligtvoet et al.,
1990).
1996). Hutan mangrove diperkirakan menempati 75%
Hutan mangrove yang rusak dapat melakukan
luas kawasan pantai tropis (Chapman, 1976), tetapi
penyembuhan sendiri melalui suksesi sekunder dalam
tekanan antropogenik telah menurunkan luas hutan ini
periode 15-30 tahun, dengan syarat sistem hidrologi
secara global hingga di bawah 50% dari luas awal
pasang-surut tidak berubah, dan tersedia biji (propagul)
(Saenger et al., 1983; Spalding et al.1997; Ong, 2002).
atau seedling. Oleh kerena itu sebelum dilakukan
Penurunan luasan mangrove paling cepat dan paling
restorasi hambatan yang dapat mencegah suksesi
dramatis terjadi di Asia Tenggara (Gómez 1988;
sekunder harus dihilangkan. Mangrove juga dapat dibuat
Aksornkoae, 1993). Di Indonesia luas hutan ini terus
dengan menghutankan dataran pasang surut yang
menurun. Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993),
gundul dan tempat-tempat yang dalam kondisi normal
terjadi penurunan hutan mangrove lebih dari 50% dari
tidak ditumbuhi mangrove. Restorasi tanpa
total luasan semula (Dephut, 1994; Soenarko, 2002). Hal
memperhatikan kemampuan alam untuk melakukan
ini disebabkan reklamasi untuk membangun tambak
penyembuhan akan menyia-nyiakan investasi yang
perikanan dan garam (Terchunian et al., 1986;
besar (Kairo dkk., 2001).
28

Penanaman dan pengelolaan mangrove di Asia distribusi mangrove dunia. Permasalahan yang menarik
Tenggara telah lama dilakukan (e.g. Watson, 1928), untuk diteliti antara lain: (i) floristik, morfologi, fenologi,
meskipun catatan sejarah pengelolaan mangrove paling distribusi, biogeografi, dan genetika tumbuhan
tua dilakukan di Sundarbans. Hutan mangrove mangrove, (ii) ekologi ekosistem mangrove, (iii)
2
Sundarbans di Bangladesh dan India seluas 6000 km pengaruh stres lingkungan terhadap pertumbuhan dan
(577.000 ha) telah dikelola sejak tahun 1764 dan perkembangan, rekruitmen, dan regenerasi mangrove,
rencana kerja secara detail telah dibuat pada tahun (iv) pengaruh tumpahan minyak bumi, serta (v) restorasi
1893-1894 (Chowdhury dan Ahmed, 1994; Hussain dan dan rehabilitasi habitat mangrove (Lovelock, 1993).
Acharya 1994; UNDP, 1998; Rahman, 2000). Hutan
mangrove di Matang, Malaysia seluas 40.000 ha telah
dikelola sejak tahun 1902 untuk menghasilkan arang DAFTAR PUSTAKA
(Watson, 1928). Manajemen penebangan hutan
dilakukan melalui rotasi selama 30 tahun (Ong, 2002). Aksornkoae S. 1993. Ecology and Management of Mangroves. Bangkok:
Hutan Matang memberi lapangan kerja dan sumbangan International Union for Conservation of Nature and Natural
ekonomi cukup berarti bagi Malaysia (Chan, 1996). Resources.
Anonim. 1997. National Strategy for Mangrove Management in
Hutan ini juga menjadi sumber kayu bakar, bahan Indonesia. Volume 1: Strategy and Action Plan. Volume 2: Mangrove
bangunan, mencegah erosi, dan menjadi tempat in Indonesia Current Status. Jakarta: Office of the Minister of
pemijahan ikan. Pada saat ini telah dilakukan Environment, Departement of Forestry, Indonesian Institute of
pengelolaan secara terintegrasi untuk perikanan Science, Department of Home Affairs, and The Mangrove
Foundation.
(Primavera, 1995) dan ekowisata (Bacon, 1987). Anonim. 2001b. Shoreline stabilization and storm protection. Wetland
Strategi manajemen. Ekosistem mangrove sangat Values and Function. Gland: The Ramsar Bureau
kompleks sehingga pengelolaannya harus terintegrasi Bacon, P.R. 1987. Use of wetlands for tourism in the insular Caribbean.
Annals of Tourism Research 14: 104-117.
dengan lingkungan alam di sekitarnya, bahkan hingga Bandaranayake, W.M. 1998. Traditional and medicinal uses of
daerah aliran sungai di hulu. Rencana manajemen mangroves. Mangrove and Salt Marshes 2: 133-148.
mangrove harus diikuti sebanyak mungkin elemen Bennett, E.L. and C.J. Reynolds. 1993. The value of mangrove area in
stakeholders, seperti pemerintah, lembaga swadaya Sarawak. Biodiversity Conservation 2: 359-375.
Birkeland, C. 1983. Influences of Topography of Nearby Land Masses in
masyarakat, pengusaha hutan, masyarakat setempat Combination with Local Water Movement Patterns on the nature of
dan ilmuwan. Peningkatan kepedulian masyarakat Nearshore Marine Communities, Productivity and Processes in
dilakukan dengan meningkatkan nilai mangrove yang Island Marine Ecosystem. Dunedine: UNESCO Report in Marine
Science No. 27.
terkait langsung dengan kepentingannya. Untuk itu Blasco, F. 1992. Outlines of ecology, botany and forestry of the mangals
diperlukan penelitian yang sistematis, komitmen politik of the Indian subcontinent. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of
yang kuat, serta integrasi konsep dan pengalaman the World 1: Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier.
lapangan (Choudhury, 1996). Burns, K.A. 1993. Evidence for the importance for including hydrocarbon
oxidation products in environmental assessment studies. Marine
Suaka mangrove. Ekosistem mangrove Pollution Bulletin 26: 77-85.
mempengaruhi hutan mangrove sendiri dan perairan di Burns, K.A., S. Codi, R.J.P. Swannell, and N.C. Duke. 1999. Assessing
sekitar pantai. Pembuatan suaka mangrove merupakan the petroleum hydrocarbon degradation potential of endogenous
tropical marine wetland microorganisms: Flask experiments.
strategi penting untuk melindungi mangrove dan Mangroves and Salt Marshes 3: 67-83.
ekosistem di sekitarnya, termasuk flora, fauna, Burns, K.A., S.D. Garrity, D. Jorissen, J. MacPherson, and M. Stoelting.
komponen biotik dan abiotik. Suaka mangrove 1994 The Galeta oil spill. II: Unexpected persistence of oil trapped in
diharapkan dapat berpengaruh positif terhadap mangrove sediments. Estuarine Coastal and Shelf Science 38: 349-
364.
konservasi biodiversitas. Penerapan pendekatan Chan, H.T. 1996. Mangrove reforestation in peninsular Malaysia: a case
konservasi harus dilakukan secara tegas. Pemanenan study of Matang. In Field, C. (ed.) Restoration of Mangro-ve
produk dan jasa pada bagian tertentu kawasan suaka ini Ecosystems. Okinawa: International Timber Trade Organi-zation and
International Society for Mangrove Ecosystems.
tidak dapat dilakukan (Choudhury, 1996). Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation. Liechtenstein J.Cramer
Kepemilikan hutan mangrove. Hak kepemilikan Verlag.
hutan mangrove umumnya tidak jelas, sehingga Chapman, V.J. 1992. Wet coastal formations of Indo Malesia and Papua-
penanggung jawab kawasan ini tidak pasti. Hal ini New Guinea. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1:
Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier.
menyebabkan tingginya degradasi hutan mangrove, Choudhury, J.K. 1996. Mangrove forest management. Mangrove
dimana pemberian kompesasi kepada pemilik lahan Rehabilitation and Management Project in Sulawesi. Jakarta: Asia
untuk mencegah perusakan sulit dilakukan. Konsesi hak Development Bank.
Chowdhury, R.A., and I. Ahmed. 1994. History of forest management. In
pengusahaan hutan mangrove telah mengurangi luas Hussain Z, and G. Acharya (ed.). Mangroves of the Sundarbans, Vol.
dan kerapatan mangrove, serta menekan ekosistem 2: Bangladesh. Gland, Switzerland: IUCN Wetlands Program.
yang tersisa secara nyata. Untuk itu kepemilikan hutan Clark, R. J. 1996. Coastal Zone Management Hand Book. Boca Raton:
mangrove perlu dipertegas, termasuk kawasan terbuka CRC Lewis Publishers.
Clough, B.F. 1992. Primary productivity and growth of mangrove forests.
yang potensial untuk ditanami mangrove. Selanjutnya In Robertson, A.I. and D.M. Alongi (ed.). Coastal and Estuarine
dibuat peraturan yang jelas dan penegakan hukum Studies: Tropical Mangrove Ecosystems. Washington DC.: American
secara konsisten, sehingga ekosistem mangrove dapat Geophysical Union.
Coulter, S.C., C.M. Duarte, S.T. Mai, H.T. Nguyen, T.H. Hoang, H.G. Le,
terjaga kelestariannya (Choudhury, 1996). and N.G. Phan. 2001. Retrospective estimates of net leaf production
in Kandelia candel mangrove forests. Marine Ecology Progress
Series 221: 117-124.
Dahdouh-Guebas, F., C. Mathenge, J.G. Kairo, and N. Koedam. 2000.
PENUTUP Utilization of mangrove wood products around Mida Creek (Kenya)
among subsistence and commercial users. Economic Botany 54:
513-527.
Ekosistem mangrove menyimpan sejumlah besar Dahuri R, J. Rais, S.P.Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan
permasalahan yang menunggu untuk segera Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta:
dipecahkan, mengingat Indonesia merupakan pusat P.T. Saptodadi.
29

Departemen Kehutanan. 1994. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science
Rehabilitasi (RTR) Daerah Pantai. Jakarta: Direktorat Jenderal Centre.
Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan. Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. Third
Ellison, A.M. and E.J. Farnsworth. 1996. Anthropogenic disturbance of edition. New York: Harper Collins College Publishers.
Caribbean mangrove ecosystems: past impacts, present trends, and Ong, J.E. 2002. The hidden costs of mangrove services: use of
future predictions. Biotropica 24: 549-565. mangroves for shrimp aquaculture. International Science Round
FAO. 1982. Managenet and Utilization of Mangrove in Asia and the Table for the Media, Bali Indonesia, 4 June 2002. Joint event of
Pacific. Rome: FAO Environment Paper 3. ICSU, IGBP, IHDP, WCRP, DIVERSITAS and START.
FAO. 1985. Mangrove Management in Thailand, Malaysia and Indonesia. Primavera, J.H. 1993. A critical review of shrimp pond culture in the
Rome: FAO Environment Paper 3. Philippines. Reviews in Fisheries. Science 1 (2): 151-201
Field, C. 1996. Restoration of Mangrove Ecosystems. Okinawa: Primavera, J.H. 1995. Mangroves and brackish water pond culture in the
International Tropical Timber Organization and International Society Philippines. Hydrobiologia 295: 303-309.
for Mangrove Ecosystems. Rahman, L.M. 2000. The Sundarbans: A Unique Wilderness of the World.
Giesen, W. 1991. Checklist of Indonesian Fresh Water Aquatic Herbs. In McCool, S.F., D.N. Cole, W.T. Borrie, and J. O’Loughlin (ed.).
PHPA/AWB Sumatra Wetland Project Report No. 27. Jakarta: Asian Wilderness science in a time of change conference—Volume 2:
Wetland Bureau-Indonesia. Wilderness within the context of larger systems; 1999 May 23-27;
Goldman, R.C. and Horne, 1983. Lymnology. New York: McGraw Hill Missoula, MT. Proceedings RMRS-P-15-VOL-2. Ogden: U.S.
International Book Company. Department of Agriculture, Forest Service, and Rocky Mountain
Gómez, E.G. 1988. Overview of environmental problems in the East Research Station.
Asian seas region. Ambio 17:166-169. Ray, C.C. and R.G. McCormick. 1994. Coastal marine protected areas, a
Hamilton, L.S. and S.C. Snedaker. 1984. Handbook for Mangrove Area moving target. Proceeding from the International Workshop on
Management. Honolulu: Environment and Policy Institute, East-West Coastal Marine Protected Areas and Biosphere Reserves. Canberra:
Center. ANCA/UNESCO.
Hong, P.N. and H.T. San. 1993. Mangroves of Vietnam. Bangkok: Saenger, P. and N.A. Siddique. 1993. Land from the sea: the
International Union for Conservation of Nature and Natural afforestation program of Bangladesh. Ocean and Coastal
Resources. Management 20: 23-39
Howe, C.P., G.F. Claride, R. Hughes, and Zuwendra. 1992. Manual of Sasaki, Y. and H. Sunarto. 1994. Mangrove forest of Segara Anakan
Guideline for Scoping EIA in Indonesia Wetland. Second edition. lagoon. In Takashima, F. and K. Soewardi (ed.). Ecological
PHPA/AWB Sumatra Wetland Project No. 6B. Jakarta: Directorat Assessment for Management Planning of Segara Anakan Lagoon,
General of Forest Protection and Nature Conservation-Asian Cilacap, Central Java. Tokyo: NODAI Center for International
Wetland Bureau Indonesia Program, Tokyo University of Agriculture and JSPS-DGHE Program.
Hussain, Z. and G. Acharya, 1994. (ed.). Mangroves of the Sundarbans. Semesi, A.K. 1998. Mangrove management and utilization in eastern
Vol, 2: Bangladesh. Bangkok: International Union for the Africa. Ambio 27: 620-626.
Conservation of Nature. Soemodihardjo, S and S. Ishemat. 1989. Country Report: Indonesia, The
IPIECA. 1993a. Biological Impact of Oil Pollution: Mangroves. IPIECA Status of Mangrove Forests in Indonesia, Symposium on Mangrove
Report No. 4. London: International Petroleum Industry Management. Biotrop Special Publication No 37.
Environmental Conservation Association. Soemodihardjo, S. and L. Sumardjani. 1994. Re-afforestation of
Jayatissa, L.P., F. Dahdouh-Guebas, and N. Koedam. 2002. A revi-ew of mangrove forests in Indonesia. Proceeding of the Workshop on ITTO
the floral composition and distribution of mangroves in Sri Lanka. Project. Bangkok, 18-20 April 1994.
Botanical Journal of the Linnean Society 138: 29-43. Soenarko. 2002. Kebijakan KIMPRASWIL dalam Rangka Percepatan
Kairo, J.G., F Dahdouh-Guebas, J. Bosire, and N. Koedam. 2001. Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Rapat Koordinasi Nasional
Restoration and management of mangrove systems — a lesson for Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun 2002, Jakarta, 30 Mei
and from the East African region. South African Journal of Botany 2002.
67: 383-389. Spalding, M., F. Blasco, and C. Field. 1997. World Mangrove Atlas.
Kartawinata, K. 1979. Status pengetahuan hutan bakau di Indonesia. Okinawa: International Society for Mangrove Ecosystems.
Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta: MAP LON Spaninks, F. and P. van Beukering. 1997. Economic Valuation of
LIPI. Mangrove Ecosystems: Potential and Limitations. CREED Working
Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of Paper No 14, July 1997. London and Amsterdam: International
Mangroves in Indonesia; Bal & Lombok. Denpasar: The Institute for Environment and Development, and Institute for
Development of Sustainable Mangrove Management Project, Environmental Studies.
Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In Flora Malesiana.
Agency. Djakarta: Noordhoff-Kollf.
Knox, G.A. and T. Miyabara. 1984. Coastal Zone Resource Development Suara Merdeka, 16/6/2001. Hutan Mangrove Dimodifikasi dengan Kayu
and Conservation in South East Asia, with special Refference to Putih.
Indonesia. Jakarta: UNESCO. Suara Pembaruan 29/7/2002b. Kerusakan Hutan Bakau
Lewis, R.R. 1990. Creation and restoration of coastal wetlands in Puerto Mengkhawatirkan.
Rico and the US Virgin Islands. In Kusler J.A. and M.E. Kentula (ed.) Suara Pembaruan, 29/7/2002a. 10 Ha Hutan Bakau di Cilacap
Wetland Creation and Restoration: The Status of Science, Vol. I: Kekeringan.
Regional Reviews. Washington: Island Press. Sukardjo, S. 1985. Laguna dan vegetasi mangrove. Oseana 10 (4): 128-
Ligtvoet, W., R.H. Hughes, and S. Wulffraat. 1996. Recreating mangrove 137
forest near Jakarta, Conserving biodiversity in an urban environment. Sukardjo, S. 1989. The mangrove forests of Java and Bali (Indonesia).
Land and Water International 84: 8-11. Symposium on Mangrove Management. Biotrop Special Publication
Lovelock, C. 1993. Field Guide to the Mangroves of Queensland. No 37.
Queensland: Australian Institute of Marine Science. Tanaka, S., 1992. Bali Environment the Sustainable Mangrove Forest.
www.aims.gov.au Jakarta: Development of Sustainable Mangrove Management
Lugo A.E. and S.C. Snedaker. 1974. The ecology of mangroves. Annual Project.
Review of Ecology and Systematics 5: 39-63. Terchunian, A., V. Klemas, A. Alvarez, B. Vasconez, and L. Guerrero.
Machfud, D.S. 1990. Social Forestry Network: Social Forestry in Disputed 1986. Mangrove mapping in Ecuador: The impact of shrimp pond
upland Areas in Java. Jakarta: Perum Perhutani, State Forest construction. Environmental Management 10: 345-350
Corporation, Java, Indonesia. Thom, B.G. 1967. Mangrove ecology and deltaic geomorphology:
MacNae, W. 1968. A general account of the fauna and flora of mangrove Tabasco, Mexico. Journal of Ecology 55: 301-343
swamps and forests in the Indo-West-Pacific region. Advances in Tomlinson, C.B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge: Cambridge
Marine Biology 6: 73-270. University Press.
Manassrisuksi, K., M. Weir, and Y.A. Hussin. 2001. Assesment of UNDP. 1998. Integrated resource development of the Sundarbans
mangrove rehabilitation programme using remote sensing and GIS: Reserved Forests, Bangladesh. Volume I Project BGD/84/056.
a case study of Amphur Khlung, Chantaburi Province, Eastern Dhaka: United Nations Development Programme, Food and
Thailand. 22nd Asian Conference on Remote Sensisng, Singapore 5- Agriculture Organization of the United Nations.
9 November 2001. Walsh, G.E. 1974. Mangroves: a review. In Reimold, R.J., and W.H.
Marius, C. 1977. Propositions pour une classification française des sols Queen (ed.). Ecology of Halophytes. New York: Academic Press.
de mangroves tropicales. Cah. ORSTOM 15 (1): 89-102. Watson, J.G. 1928. Mangrove forests of the Malay Peninsula. Kulala
Morrison, D. 1990. Landscape restoration in response to previous Lumpur: Malaysian Forest Records No. 6
disturbance. In Turner, M.G. (ed.) Landscape Heterogeneity and Widodo, H. 1987. Mangrove hilang ekosistem terancam. Suara Alam 49:
Disturbance. New York: Springer-Verlag. 11-15.
Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (ed.). 2001. A Guide to Mangroves of
Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and
30
31

BAGIAN II

Kajian Terkini Mangrove di Jawa Tengah


32
33

Keanekaragaman Tumbuhan Mangrove

ABSTRACT Komunitas mangrove terdiri dari tumbuhan, hewan, dan


mikrobia, namun tanpa kehadiran tumbuhan mangrove,
The study was intended to observe the diversity and the kawasan tersebut tidak dapat disebut ekosistem
distribution of mangrove plants species on southern and mangrove (Jayatissa et al., 2002). Ekosistem mangrove
northern coast of Central Java Province. This research was adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai
conducted in July till December 2003, at 20 sites. Laboratory tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi
assay was conducted in Laboratory of Biology Department, dengan lingkungan di habitat mangrove (SNM, 2003).
Faculty of Mathematics and Natural Sciences, and Central
Laboratory of Mathematics and Natural Sciences, Sebelas
Tumbuhan mangrove di Indonesia terdiri dari 47
Maret University (UNS) Surakarta. Plant specimens were spesies pohon, 5 spesies semak, 9 spesies herba dan
collected by using survey method, than it was identified and rumput, 29 spesies epifit, 2 spesies parasit, serta
preserved as herbaria. The result indicated that there was 55 beberapa spesies algae dan bryophyta (MoE, 1997).
species (27 families) of mangrove plants in Central Java, Formasi hutan mangrove terdiri dari empat genus utama,
composed by major (17), minor (12), and association (26) yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, dan Bruguiera
plants, with habits i.e. trees (32), bushes (13), and herbs (10). (Nybakken, 1993; Chapman, 1992), terdapat pula
The species of major mangrove plant with the broadest range of Aegiceras, Lumnitzera, Acanthus illicifolius, Acrosticum
site distribution were R. mucronata (16), followed by S. alba
(15), N. fruticans (12), A. alba and A. marina (each was 11). The
aureum, dan Pluchea indica (Backer dan Bakhuizen van
species of minor mangrove plant with the broadest range of site den Brink, 1965). Pada perbatasan hutan mangrove
distribution was A. aureum (11). The associative plant of dengan rawa air tawar tumbuh Nypa fruticans dan
mangrove with the broadest range of site distribution was A. beberapa jenis Cyperaceae (Sukardjo, 1985; Odum,
ilicifolius (16), D. trifoliata (15), C. gigantea (13), H. tiliaceus 1971). Hutan mangrove alami membentuk zonasi
(11), T. catappa (11), and I. pes-caprae (10). The other species tertentu. Bagian paling luar didominasi Avicennia,
were distributed in less than 10 sites. The location with the most Sonneratia, dan Rhizophora, bagian tengah didominasi
varied species diversity was Wulan (35), the next was Motean Bruguiera gymnorrhiza, bagian ketiga didominasi
and Muara Dua (each was 29), Bogowonto (19), Pasar Banggi
(18), Tritih (17), Sigrogol (15), Juwana and Ijo (each was 14),
Xylocarpus dan Heritieria, bagian dalam didominasi
Cakrayasan (12), Lasem and Serang (each was 11), Bulak, Bruguiera cylindrica, Scyphiphora hydrophyllacea, dan
Telukawur, Cingcingguling and Bengawan (each was 9), Lumnitzera, sedangkan bagian transisi didominasi
Pecangakan (8), Serang (6), and the last was Tayu (5). Cerbera manghas (de Haan dalam Steenis, 1958). Pada
masa kini pola zonasi tersebut jarang ditemukan karena
Key words: mangrove plants, species diversity, Central Java tingginya laju perubahan habitat akibat pembangunan
Province. tambak, penebangan hutan, sedimentasi/ reklamasi, dan
pencemaran lingkungan (e.g. Walsh, 1974; Lewis, 1990;
Primavera, 1993; Nybakken, 1993), meskipun masih
PENDAHULUAN dapat dirujuk pada pola zonasi tersebut (Sasaki dan
Sunarto, 1994).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keaneka-
Tumbuhan mangrove memiliki ciri-ciri (i) tumbuhan
ragaman dan lokasi sebaran vegetasi mangrove di
berpembuluh (vaskuler), (ii) beradaptasi pada kondisi
pantai utara dan pantai selatan Jawa Tengah.
salin, dengan mencegah masuknya sebagian besar
garam dan mengeluarkan atau menyimpan kelebihan
garam, (iii) beradaptasi secara reproduktif dengan
menghasilkan biji vivipar yang tumbuh dengan cepat dan BAHAN DAN METODE
dapat mengapung, serta (iv) beradaptasi terhadap
kondisi tanah anaerob dan lembek dengan membentuk
struktur pneumatofor (akar napas) untuk menyokong dan Waktu dan lokasi penelitian
mengait, serta menyerap oksigen selama air surut Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli s.d.
(Nybakken, 1993; Whitten dkk., 2000; Odum, 1971). Desember 2003. Penelitian lapangan dilakukan pada 20

Publikasi asli: Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, & A. Susilowati. 2005. Tumbuhan Mangrove di Pesisir
Jawa Tengah: 1. Keanekaragaman Jenis. Biodiversitas 6 (2): 90-94.
34

Gambar xxx. Sebaran lokasi penelitian berdasarkan letak dan batas peta administratif kabupaten di Propinsi Jawa Tengah.

habitat mangrove di pantai utara dan selatan Jawa sasak, kertas koran, kertas kardus, tali, gunting, pisau,
Tengah. Keduapuluh lokasi tersebut meliputi: (1) Wulan, oven, kertas herbarium, label herbarium, amplop
Demak (2) Sigrogol, Demak (3) Serang, Demak (4) herbarium, etiket herbarium dan lem/selotip bening.
Bulak, Jepara, (5) Telukawur, Jepara, (6) Tayu, Pati, (7) Sedangkan pada pembuatan herbarium basah adalah:
Juwana, Pati, (8) Pecangakan, Rembang, (9) Pasar botol kaca bening, gelas ukur, alkohol 70%, dan air.
Bangi, Rembang, (10) Lasem, Rembang, (11)
Bogowonto, perbatasan Kulonprogo dan Purworejo, (12) Cara kerja
Cakrayasan, Purworejo, (13) Lukulo, Purworejo, (14) Koleksi. Koleksi dilakukan dengan metode survei
Cincingguling, Kebumen, (15) Ijo, Kebumen, (16) (penjelajahan), baik bersamaan dengan pelaksanaan
Bengawan, Cilacap, (17) Serayu, Cilacap, (18) Tritih, sampling vegetasi atau sendiri. Spesimen segar hasil
Cilacap (19) Motean, Cilacap, dan (20) Muara Dua, koleksi segera diidentifikasi dan dicatat sifat-sifat
Cilacap. Lokasi ke-4, 5, 9, dan 10 terletak langsung di morfologinya. Sebagian diawetkan, difoto penampakan
tepi pantai dan jauh dari muara sungai besar, lokasi ke- umum, bunga, dan buah, serta dibuat deskripsinya.
18, 19, 20 terletak di laguna Segara Anakan, sedangkan Identifikasi. Identifikasi spesies mangrove mayor,
lokasi sisanya terletak di muara sungai. Penelitian minor, dan tumbuhan asosiasi merujuk pada pustaka-
laboratorium dilakukan di Laboratorium Jurusan Biologi pustaka: Backer dan Bakhuizen van den Brink (1963;
FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) dan 1965; 1968), Kitamura dkk. (1997), Ng dan Sivasothi
Laboratorium Pusat MIPA UNS Surakarta. (2001), serta Tomlison (1986). Identitas tumbuhan yang
meragukan dicocokkan dengan koleksi Herbarium
Alat dan bahan Bogoriense, Bogor.
Koleksi. Alat yang digunakan adalah: ransel, gunting Pembuatan herbarium. Herbarium dibuat dari spesi-
tanaman, pisau, beliung, pensil, buku lapangan, etiket men yang telah dewasa, tidak terserang hama, penyakit
gantung, peta topografi, kompas dan teropong. Dalam atau kerusakan fisik lain. Tumbuhan berhabitus pohon
hal ini diperlukan pula perahu motor sebagai sarana dan semak disertakan ujung batang, daun, bunga dan
transportasi di kawasan mangrove, khususnya di Wulan buah, sedang tumbuhan berbentuk herba disertakan
dan Segara Anakan yang luas. seluruh habitus. Herbarium kering digunakan untuk
Identifikasi. Alat yang digunakan adalah: mikroskop, spesimen yang mudah dikeringkan, misalnya daun,
mikroskop stereo, lampu penyorot, lensa pembesar, batang, bunga dan akar. Sedang herbarium basah
cawan petri, jarum pemisah, pisau, pinset, dan buku digunakan untuk spesimen yang berair, lembek, dan sulit
identifikasi. dikeringkan, misalnya buah (Lawrence, 1951).
Pembuatan herbarium. Alat dan bahan yang
diperlukan dalam pembuatan herbarium kering adalah:
35

HASIL DAN PEMBAHASAN menyebabkan naiknya dasar laguna dan menyempitnya


luasan laguna, serta cenderung berubahnya menjadi
Hasil ekosistem daratan (ECI, 1994; Suara Pembaruan,
Dari 20 lokasi yang diamati dalam penelitian ini, 09/04/2002). Sebaliknya pada masa lalu Wulan hanyalah
ditemukan 55 spesies tumbuhan mangrove yang terdiri sebuah kanal yang dibuat pada awal abad ke-19 untuk
mangrove mayor (17), mangrove minor (12), dan mengeringkan banjir pada musim hujan yang selalu
tumbuhan asosiasi (26). Sebagian besar tumbuhan menggenangi kawasan di selatan Gunung Muria (Pati,
tersebut berhabitus pohon (32), diikuti berhabitus semak Demak, dan Kudus). Oleh karena itu, berkebalikan
(13), dan herba (10). Secara taksonomi tumbuhan dengan kawasan mangrove di Segara Anakan yang
tersebut tergolong dalam 27 familia, familia dengan menyusut akibat sedimentasi, di Wulan sedimentasi
jumlah spesies terbanyak adalah Rhizophoraceae (9), menyebabkan akresi pantai yang memungkinkan terus
diikuti Avicenniaceae, Sonneratiaceae, Meliaceae, meluasnya kawasan mangrove ke arah laut.
Verbenaceae, Cyperaceae, dan Gramineae, masing- Besarnya jumlah spesies di Wulan dibandingkan di
masing dengan tiga spesies. Lokasi penelitian dengan Segara Anakan (Motean dan Muara Dua), lebih
keanekaragaman spesies tumbuhan mangrove disumbangkan oleh tumbuhan asosiasi, bukan oleh
terbanyak adalah Wulan (35), diikuti Motean dan Muara tumbuhan mangrove mayor dan minor. Hal ini
Dua (laguna Segara Anakan), masing-masing dengan 29 kemungkinan disebabkan Wulan terletak di pesisir pantai
spesies. Adapun lokasi dengan keanekaragaman jenis sedangkan Segara Anakan terletak di dalam laguna.
tumbuhan terendah adalah Tayu (5). Hasil selengkapnya Tumbuhan asosiasi umumnya merupakan tumbuhan
disajikan pada Tabel 1. pantai. Tumbuhan ini merupakan bentuk peralihan
(ekoton) antara formasi hutan pantai dan hutan
Keanekaragaman tumbuhan mangrove, sehingga tumbuh pada tepian hutan
Dalam penelitian ini, jumlah spesies tumbuhan mangrove yang berbatasan dengan daratan pantai.
mangrove mayor, minor, dan asosiasi paling banyak Keterbatasan jumlah jenis mangrove di Segara Anakan
ditemukan di Wulan (35) yang terletak di pantai utara juga disebabkan posisi geografinya yang khas. Secara
Jawa Tengah, diikuti Motean dan Muara Dua (masing- geografi kawasan ini telah terisolasi dalam jangka
masing 29) yang terletak di Segara Anakan, pantai panjang, mengingat besarnya ombak laut selatan yang
selatan Jawa Tengah. Urutan selanjutnya adalah menghambat datangnya propagul dari lokasi mangrove
Bogowonto (19), Pasar Banggi (18), Tritih (17), Sigrogol lain, serta tidak adanya kawasan mangrove yang cukup
(15), Juwana dan Ijo (masing-masing 14), Cakrayasan luas di sekitarnya. Kawasan mangrove cukup luas yang
(12), Lasem dan Serayu (masing-masing 11), Bulak, paling dekat denga Segara Anakan terletak di TN Alas
Telukawur, Cingcingguling dan Bengawan (masing- Purwo (Teluk Grajakan), di ujung timur Pulau Jawa, dan
masing 9), Pecangakan (8), Serang (6), serta Tayu (5) di TN Ujung Kulon, di ujung barat Pulau Jawa. Adapun
(Tabel 1.). kawasan mangrove Wulan, merupakan bagian dari
Luas kawasan mangrove sangat menentukan kawasan mangrove yang sangat luas di pantai utara
keanekaragaman spesies tumbuhan di dalamnya. Area Jawa. Kawasan ini terletak pada area antara Jepara
yang luas memungkinkan adanya ruang yang cukup hingga Teluk Banten, pada masa lalu merupakan
untuk tumbuh dan mengurangi kompetisi antar spesies ekosistem mangrove yang bersambung terus menerus
dalam memperebutkan ruang, unsur hara, dan cahaya tanpa putus, sehingga suplai tumbuhan baru dari
matahari. Area yang luas juga memungkinkan ekosistem mangrove di sekitarnya lebih terjamin (Whitten
menyebarnya aktivitas manusia dalam memanfaatkan dkk., 2000).
kawasan mangrove, sehingga disturbansi terhadap Sedikitnya jumlah spesies mangrove di luar kawasan
ekosistem ini dapat teredam. Apabila di suatu lokasi Wulan dan Segara Anakan, disebabkan besarnya
terjadi kerusakan vegetasi, misalnya akibat pembabatan pengaruh antropogenik yang mengubah habitat
hutan, maka pada saat yang sama di tempat lain sedang mangrove untuk kepentingan lain, sehingga luasan
terjadi penyembuhan (restorasi), sehingga pertumbuhan ekosistem ini terbatas. Di pantai utara Jawa Tengah,
dan keanekaragaman mangrove dapat dipertahankan. habitat mangrove banyak dikonversi menjadi lahan
Kawasan mangrove yang luas juga memungkinkan tambak dan sawah, sedangkan di pantai selatan
terjadinya pertukaran genetik di dalam populasi secara biasanya dikonversi menjadi sawah. Di pantai selatan
luas. Banyaknya individu anggota populasi memungkin- keterbatasan luasan mangrove dapat pula merupakan
kan terbentuknya kombinasi gen-gen baru, yang diperlu- akibat alamiah, mengingat hanya kawasan laguna yang
kan sebagai tanggapan adaptasi terhadap perubahan sangat sempit di muara sungai yang dapat ditumbuhi
lingkungan. Pada kawasan mangrove yang luas, mangrove.
kemungkinan untuk menerima sumber biji (propagul) dari Keanekaragaman tumbuhan mangrove yang tinggi
kawasan mangrove lain juga besar, sebagai penyuplai juga dapat disebabkan pemeliharaan oleh manusia.
sumber genetik baru. Adanya mutasi di dalam populasi Secara nyata hal ini dapat diamati di Pasar Banggi, salah
dan masukan gen baru dari luar populasi memungkinkan satu kawasan yang tingkat keperdulian masyarakat
tingginya daya adaptasi tumbuhan mangrove, sehingga (kelompok tani-nelayan) terhadap mangrove paling tinggi
pada kawasan mangrove yang luas keberadaan dan dibandingkan kawasan lain yang diteliti. Di kawasan ini,
kelestarian suatu spesies lebih terjaga. pemerintah membentuk kelompok-kelompok tani yang
Pada masa lalu Segara Anakan dikenal sebagai masing-masing “menguasai” luasan mangrove tertentu.
lokasi mangrove paling kaya dan paling luas di pulau Para petani-nelayan diperbolehkan memanfaatkan kayu
Jawa, namun seiring dengan berjalannya waktu dan hasil lain dari kawasan mangrove dengan tetap
luasannya mulai menyusut, terutama akibat penebangan menjaga kelestariannya. Pengikutsertaan masyarakat ini
hutan dan sedimentasi berlebih dari sungai Citanduy, tampaknya berhasil dalam memelihara kelestarian
Cimeneng/ Cikonde, dan lain-lain. Sedimentasi ekosistem mangrove setempat.
36

Tabel 1. Keragaman spesies tumbuhan mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Tengah.

Pantai Utara Pantai Selatan

Cingcingguling
Pecangakan
Pasar Bangi

Cakrayasan
Bogowonto
Nama Spesies Familia

Muara Dua
Bengawan
Telukawur
Sigrogol

Juwana
Habitus

Motean
Serang

Serayu
Lukulo
Lasem
Wulan

Bulak

Jumlah
Tritih
Tayu

Ijo
Mangrove mayor
Avicennia alba Avicenniaceae p + + + - + - + + + + - - - - + - - + + + 12
Avicennia marina Avicenniaceae p + + + + - + + + + - - - - - + - - - + + 11
Avicennia officinalis Avicenniaceae p + - - - - - - - + + - - - - - - - - + + 5
Bruguiera cylindrica Rhizophoraceae p + - - - - - - - + - - - - - - - - + + + 5
Bruguiera gymnorrhiza Rhizophoraceae p + - - - - - - - + - - - - - - - - + + + 5
Bruguiera parviflora Rhizophoraceae p - - - - - - - - - - - - - - - - - + - - 1
Bruguiera sexangula Rhizophoraceae p - - - - - - - - - - - - - - - - - - + + 2
Ceriops decandra Rhizophoraceae p - - - - - - - - - - - - - - - - - - + + 2
Ceriops tagal Rhizophoraceae p + - - - - - - - + - - - - - - - - - + + 4
Lumnitzera littorea Combretaceae p + + - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2
Nypa fruticans Araceae p + + - - + - - - + - + - - + + + + + + + 12
Rhizophora apiculata Rhizophoraceae p + - - - - - - - + - - - - - - - - + + + 5
Rhizophora mucronata Rhizophoraceae p + + + + + + + + + + + - - - + + - + + + 16
Rhizophora stylosa Rhizophoraceae p + - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1
Sonneratia alba Sonneratiaceae p + + - + + - + - + - + + + - + + + + + + 15
Sonneratia caseolaris Sonneratiaceae p + - - - - - - - + - - - - - - - - - + + 4
Sonneratia ovata Sonneratiaceae p - - - - - - - - - + - - - - - - - - - - 1
Mangrove minor
Acrostichum aureum Pteridaceae s + + - - - - - - + - + + - + + - + + + + 11
Acrosticum speciosum Pteridaceae s - - - - - - - - - - - - - - + - - + + + 4
Aegiceras corniculatum Lythraceae p + + - + + - - - - - + - - - - - - - + + 7
Aegiceras floridum Lythraceae p - - - - - - - - + - - - - - - - - - - - 1
Excoecaria agallocha Euphorbiaceae p + - - + - - + - - - - - - - - - - + + + 6
Heritiera littoralis Sterculiaceae p - - - - - - - - - - - - - - - - - - + + 2
Osbornia octodonta Myrtaceae s + - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1
Pemphis acidula Lythraceae s - - - - - - - - - - - + - - - - - - - - 1
Scyphiphora hydrophyllacea Rubiaceae s + - - - - - - - - - - - - - - - - - + + 3
Xylocarpus granatum Meliaceae p - - - - - - - - - - - - - - - - - - + + 2
Xylocarpus moluccensis Meliaceae p - - - - - - - - - - - - - - - - - - + + 2
Xylocarpus rumphii Meliaceae p - - - - - - - - - - - - - - - - - - + + 2
Tumbuhan asosiasi
Acanthus ilicifolius Acanthaceae s + + - - - + + + + + + + + - + + + + + + 16
Barringtonia asiatica Lecythideceae p - - - - - - - - - - - - + - - - - - - - 1
Calophyllum inophyllum Guttiferae p + - - - - - - - - - + + + + + - - + - - 7
Calotropis gigantea Asclepiadaceae s + + + + + - + - + - + + - + - - + - + + 13
Cerbera manghas Apocynaceae p - - - - - - - - - - - - - - - - - - + + 2
Cynodon dactylon Gramineae h - - - - - - + + - - + - - - - - - - - - 3
Clerodendrum inerme Verbenaceae s - - - - - - - - - - - - - - - - - + + + 3
Cyperus sp. Cyperaceae h - - - - - - + + + - - - - - - - - - - - 3
Derris trifoliata Leguminosae s + + - - - + + - + + + + - + + + + + + + 15
Ficus microcarpa Moraceae p - - - - - - + - - - - - - - - - - - - - 1
Fimbristylis ferruginea Cyperaceae h - - - - - - - - - - - - - - - + - - + + 3
Finlaysonia maritima Asclepiadaceae s + + - - - - - - - - - - - - + - - - - - 3
Hibiscus tiliaceus Malvaceae p + - + + - - - - - + + - + + + + + + - - 11
Ipomoea pescaprae Convolvulaceae h + + - + - - - - - - + + + + + + + - - - 10
Pandanus tectorius Pandanaceae s + - - - - - - - - + + + + + - - + - - - 7
Paspalum spp Gramineae h - - + - - - - - - - + - + - - - - - - - 3
Pongamia pinnata Leguminosae p + - - - - - - - - - + - - - + - - - - - 3
Phragmites karka Gramineae h - - - - - - + + - - + - + - - - - - - - 4
Scaevolia taccada Goodeniaceae s + - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1
Scirpus sp Cyperaceae h + - - - + - - - - - - + - - - - - - + + 5
Sesuvium portulacastrum Aizoaceae h + + - - + + + + + + - - + - - - - - - - 9
Spinifex littoreus Gramineae h + - - + - - - - - + + + + - - - + - - - 7
Stachytarpheta jamaicensis Verbenaceae h + + - - - - + - - - + - + - - - - - - - 5
Terminalia catappa Combretaceae p + - - - + - - - - + + + + + + + + + - - 11
Thespresia populnea Malvaceae p + - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1
Vitex ovata Verbenaceae s + - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1
Jumlah 27 35 15 6 9 9 5 14 8 18 11 19 12 13 9 14 9 11 17 29 29
Keterangan: “+”hadir; “-“ tidak hadir. p = pohon, s = semak, h = herba/rumput.
37

Sebaran lokasi pertumbuhan dimiliki tumbuhan darat pada umumnya, sehingga


Dalam penelitian ini spesies tumbuhan mangrove kebanyakan tumbuhan darat tidak dapat tumbuh di
mayor dengan sebaran lokasi tumbuh yang paling luas lingkungan mangrove. Sejumlah kecil tumbuhan darat
adalah R. mucronata (16 lokasi), diikuti S. alba (15 yang mampu tumbuh di daerah ekoton antara lingkungan
lokasi), N. fruticans (12 lokasi), A. alba (11 lokasi) dan A. mangrove dan darat dikenal sebagai tumbuhan asosiasi
marina (11 lokasi). Spesies mangrove minor paling luas mangrove, yang umumnya merupakan tumbuhan pantai.
sebarannya adalah Acrostichum spp. (11 lokasi). Secara kultural, kehidupan masyarakat dapat
Tumbuhan asosiasi mangrove yang paling luas mempengaruhi keberadaan tumbuhan mangrove di
sebarannya adalah A. ilicifolius (16 lokasi), diikuti D. suatu lokasi. Masyarakat pantai utara yang
trifoliata (15 lokasi), C. gigantea (13 lokasi), H. tiliaceus mengembangkan pertambakan dan pertanian, serta
(11 lokasi), T. catappa (11 lokasi), dan I. pes-caprae (10 masyarakat pantai selatan yang mengembangkan
lokasi). Sedangkan spesies-spesies lainnya ditemukan pertanian, tentunya memiliki persepsi berbeda terhadap
kurang dari 10 lokasi (Tabel 1.). Luasnya sebaran ekosistem mangrove dibandingkan dengan masyarakat
tumbuhan tergantung pada faktor lingkungan abiotik, Kampung Laut di Segara Anakan, yang secara subsisten
biotik, dan budaya masyarakat. menggantungkan mata pencahariannya pada ekosistem
Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan yang mangrove. Masyarakat petani dan petambak umumnya
berbeda-beda dalam beradaptasi terhadap faktor biotik cenderung mengkonversi ekosistem mangrove,
(kompetisi dan herbivori) dan faktor lingkungan abiotik, sedangkan masyarakat Kampung Laut cenderung
sehingga sebaran setiap spesies tidak selalu sama. mempertahankan eksistensi eksositem ini. Sehingga
Tumbuhan mangrove memilih habitat di kawasan pantai jumlah spesies mangrove di Segara Anakan (29) lebih
sebagai strategi untuk memenangkan kompetisi dengan tinggi dari tempat-tempat lain, kecuali Wulan (35), suatu
tumbuhan darat pada umumnya, di samping untuk kawasan akresi mangrove yang sedang bertumbuh.
menghindari herbivori dari hama dan penyakit yang Kebutuhan masyarakat terhadap spesies tertentu juga
biasa menyerang tumbuhan darat. Pada dasarnya dapat mempengaruhi keberadaannya, seperti kebutuhan
tumbuhan mangrove dapat hidup pada perairan tawar terhadap N. fruticans.
yang jauh dari pantai. Dalam penelitian ini penanaman S. Dalam penelitian ini R. mucronata memiliki daerah
alba di Solo yang ditujukan bagi penyediaan ekstrak penyebaran paling luas (16 lokasi). Sebaran ini jauh
daun pada pengujian isozim (data tidak disajikan) lebih luas dari dua kerabat dekatnya, yaitu R. apiculata
menunjukkan bahwa tumbuhan ini mampu tumbuh (5 lokasi) dan R. stylosa (1 lokasi). Hal ini boleh jadi
dengan baik selama dilakukan perawatan, terutama disebabkan bentuk propagul R. mucronata jauh lebih
untuk menjaga ketersediaan air serta memberantas besar dengan cadangan makanan lebih banyak,
hama dan penyakit yang menyerang. Di Kebun Raya sehingga memiliki kesempatan hidup lebih tinggi dan
Bogor terdapat beberapa koleksi tumbuhan mangrove dapat disebarkan arus laut secara lebih luas. S. alba
yang telah ditanam selama lebih dari 100 tahun (Ng dan tersebar di 15 lokasi, jauh lebih luas dari pada kedua
Sivasothi, 2001). kerabat dekatnya, yaitu S. caseolaris (4 lokasi) dan S.
Sebaran spesies tumbuhan mangrove juga terkait ovata (1 lokasi). Hal ini kemungkinan juga disebabkan
dengan kemampuan beradaptasi terhadap kondisi sistem penyebaran propagulnya, dimana ukuran biji
lingkungan (faktor abiotik). Tumbuhan mangrove buah S. alba lebih besar dari pada ukuran biji buah S.
umumnya memiliki bentuk morfologi dan mekanisme caseolaris dan S. ovata, sehingga memiliki kemungkinan
fisiologi tertentu untuk beradaptasi terhadap lingkungan tumbuh lebih tinggi. S. alba memiliki sebaran merata baik
mangrove. Bentuk adaptasi ini umumnya terkait dengan di pantai utara maupun selatan, sedangkan R.
adaptasi terhadap garam, adaptasi sistem reproduksi mucronata sebarannya lebih merata di pantai utara dari
(propagul), dan adaptasi terhadap tanah yang gembur pada pantai selatan. Hal ini disebabkan S. alba mampu
dan bersifat anoksik (anaerob). Spesies mangrove tumbuh pada lingkungan bertanah pasir maupun lumpur,
mampu tumbuh pada lingkungan dengan salinitas sedangkan R. mucronata cenderung hanya tumbuh pada
rendah hingga tinggi. Kemampuan ini disebabkan lingkungan bertanah lumpur yang terus tergenang
adanya mekanisme ultrafiltrasi pada akar untuk (becek). Pantai utara umumnya didominasi lumpur
mencegah masuknya garam, adanya sistem sedangkan pantai selatan banyak dijumpai pasir.
penyimpanan garam dan adanya sistem ekskresi pada A. alba (12 lokasi) dan A. marina (11 lokasi) tersebar
daun untuk membuang garam yang terlanjur masuk ke lebih luas dari pada A. officinalis (5 lokasi). Mengingat
jaringan tubuh. Mekanisme terakhir ini menyebabkan ketiganya merupakan satu genus yang pada dasarnya
kebanyakan daun tumbuhan mangrove berasa asin, sama-sama dapat tumbuh pada lokasi yang sama, maka
misalnya daun A. illicifolius. Propagul beberapa spesies perbedaan ini kemungkinan juga disebabkan perbedaan
tertentu seperti Rhizophora spp. umumnya telah tumbuh kemampuan biji dalam menyebar. A. alba memiliki
sejak masih menempel pada batang induknya (vivipari), ukuran buah lebih besar dengan cadangan makanan
sedang pada beberapa spesies lainnya belum tumbuh lebih banyak dari dua kerabatnya tersebut, sehingga
(kriptovivipari), seperti N. fruticans. Propagul umumnya memiliki kemungkinan tumbuh lebih besar. Adapun
dapat mengapung dan tersebar pada kawasan yang keberhasilan N. fruticans (12 lokasi) untuk tumbuh pada
luas.Tumbuhan mangrove juga memiliki sistem lokasi yang luas, selain disebabkan kemampuannya
perakaran yang khas untuk beradaptasi terhadap tanah untuk berkembangbiak secara vegetatif dan membentuk
lumpur yang lembut dan anaerob, berupa akar napas massa yang rapat, juga disebabkan pemeliharaan oleh
(pneumatofora) yang bentuknya beragam tergantung manusia, seperti di Cingcingguling, Ijo, Serayu, Segara
spesiesnya. Pneumatofora dapat berbentuk penyangga Anakan, dan Wulan. Pemeliharaan ini ditujukan untuk
(Rhizophora spp.), pensil (Avicennia spp., Sonneratia memperkuat tanggul sungai, sumber pangan dari buah,
spp.), lutut (Xylocarpus spp.), dan banir/papan dan atap bangunan dari daunnya.
(Bruguiera spp.). Bentuk-bentuk adaptasi di atas tidak
38

Aktivitas antropogenik dapat menyebabkan rusaknya Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java.
Vol. II. Groningen: P.Noordhoff
ekosistem mangrove secara permanen. Di pantai selatan Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1968. Flora of Java.
Jawa Tengah, antara muara Sungai Bogowonto dan Vol. III. Groningen: P.Noordhoff
laguna Segara Anakan, habitat reliks tumbuhan Chapman, V.J. 1992. Wet coastal formations of Indo Malesia and Papua-
mangrove hanya tidak dijumpai di muara Sungai Wawar, New Guinea. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1:
Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier.
Purworejo. Kawasan muara tersebut mengandung pasir ECI. 1994. Segara Anakan Conservation and Development Project.
bijih besi cukup tinggi dan dikeruk untuk keperluan Jakarta: Asian Development Bank.
bahan baku industri, sehingga ekosistem muara di Jayatissa, L.P., F. Dahdouh-Guebas, and N. Koedam. 2002. A review of
the floral composition and distribution of mangroves in Sri Lanka.
kawasan tersebut rusak, termasuk musnahnya sisa-sisa Botanical Journal of the Linnean Society 138: 29-43.
vegetasi mangrove. Tanpa campur tangan manusia Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of
tampaknya akan sulit mengembalikan mangrove di Mangroves in Indonesia; Bali & Lombok. Denpasar: The
kawasan ini. Di muara Sungai Serayu, aktivitas pertanian Development of Sustainable Mangrove Management Project,
Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation
dan penambangan pasir besi menyebabkan jumlah jenis Agency.
tumbuhan mangrove sangat sedikit (11), dibandingan Lawrence, G.H.M. 1951. Taxonomi of Vascular Plants. New York: Joh
luas kawasan muara tersebut. Wiley and Sons.
Lewis, R.R. 1990. Creation and restoration of coastal wetlands in Puerto
Rico and the US Virgin Islands. In Kusler J.A. and M.E. Kentula (ed.)
Wetland Creation and Resto-ration: The Status of Science, Vol. I:
Regional Reviews. Washington: Island Press.
KESIMPULAN MoE (Minister of Environment). 1997. National Strategy for Mangrove
Management in Indonesia. Volume 2 (mangrove in Indonesia current
Di pantai utara dan selatan Jawa Tengah ditemukan status). Jakarta: Office of the Minister of Environment, Departement
of Forestry, Indonesian Institute of Science, Department of Home
tumbuhan mangrove sebanyak 55 spesies (27 familia), Affairs and The Mangrove Foundation.
terdiri dari mangrove mayor (17), minor (12), dan Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (ed.). 2001. A Guide to Mangroves of
tumbuhan asosiasi (26), dengan bentuk habitus pohon Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and
(32), semak (13), dan herba (10). Tumbuhan mangrove Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science
Centre.
mayor dengan lokasi sebaran paling luas adalah R. Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. 3rd
mucronata (16), diikuti S. alba (15), N. fruticans (12), A. edition. New York: Harper Collins College Publishers.
alba (11) dan A. marina (11). Tumbuhan mangrove minor Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. 3rd edition. Philadelphia:
W.B. Sounders Co.
paling luas lokasi sebarannya adalah Acrostichum spp. Primavera, J.H. 1993. A critical review of shrimp pond culture in the
(11). Tumbuhan asosiasi mangrove yang lokasi Philippines. reviews in fisheries. Science 1 (2): 151-201
sebarannya paling luas adalah A. ilicifolius (16), D. Sasaki, Y. and H. Sunarto. 1994. Mangrove forest of Segara Anakan
trifoliata (15), C. gigantea (13), H. tiliaceus (11), T. lagoon. In Takashima, F. and K. Soewardi (eds.) Ecological
Assessment for Management Planning of Segara Anakan Lagoon,
catappa (11), dan I. pes-caprae (10). Sedangkan Cilacap, Central Java. Tokyo: NODAI Center for International
spesies-spesies lainnya ditemukan kurang dari 10 lokasi. Program, Tokyo University of Agriculture and JSPS-DGHE Program.
Lokasi dengan keanekaragaman spesies paling banyak SNM (Strategi Nasional Mangrove). 2003. Strategi Nasional Pengelolaan
Mangrove di Indonesia (Draft Revisi); Buku II: Mangrove di
adalah Wulan (35), diikuti Motean dan Muara Dua Indonesia. Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
(masing-masing 29), Bogowonto (19), Pasar Banggi (18), Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In: Flora Malesiana.
Tritih (17), Sigrogol (15), Juwana dan Ijo (masing-masing Djakarta: Noordhoff-Kollf.
14), Cakrayasan (12), Lasem dan Serang (masing- Suara Pembaruan, 09/04/2002. Segara Anakan Kian Dangkal.
Sukardjo, S., 1985. Laguna dan vegetasi mangrove. Oseana 10 (4): 128-
masing 11), Bulak, Telukawur, Cingcingguling dan 137
Bengawan (masing-masing 9), Pecangakan (8), Serang Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge
(6), dan Tayu (5). University Press.
Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S. Afiff. 2000. Ecology of Java and
Bali. Singapore: Periplus.
Walsh, G.E. 1974. Mangroves: A review. In Reinhold, R. J. and W.H.
Queen (ed.). Ecology of Halophytes. New York: Academic Press.
DAFTAR PUSTAKA

Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1963. Flora of Java.
Vol. I. Groningen: P.Noordhoff
39

Lampiran xxx. Keanekaragaman spesies tumbuhan mangrove mayor, minor, dan sebagian tumbuhan asosiasi yang ditemukan di
lokasi penelitian (sebagian gambar bersumber dari Kitamura dkk., 1997)

Mangrove mayor

Gambar 82. Avicennia alba Gambar 83. Avicennia marina Gambar 84. Avicennia officinalis

Gambar 85. Sonneratia alba Gambar 86. Sonneratia caseolaris Gambar 87. Sonneratia ovata

Gambar 88. Bruguiera cylindrica Gambar 89. Bruguiera gymnorrhiza Gambar 90. Bruguiera parviflora
40

Gambar 91. Bruguiera sexangula Gambar 92. Ceriops decandra Gambar 93. Ceriops tagal

Gambar 94. Lumnitzera littorea Gambar 95. Nypa fruticans

Gambar 96. Rhizophora apiculata Gambar 97. Rhizophora mucronata Gambar 98. Rhizophora stylosa
41

Mangrove minor

Gambar 99. Acrostichum aureum Gambar 100. Acrostichum speciosum

Gambar 101. Aegiceras corniculatum Gambar 102. Aegiceras floridum

Gambar 103. Excoecaria agallocha Gambar 104. Heritiera littoralis

Gambar 105. Osbornia octodonta Gambar 106. Pemphis acidula


42

Gambar 107. Scyphiphora hydrophyllacea Gambar 108. Xylocarpus granatum

Gambar 109. Xylocarpus moluccensis Gambar 110. Xylocarpus rumphii

Tumbuhan asosiasi

Gambar 111. Acanthus ilicifolius Gambar 112. Barringtonia asiatica

Gambar 113. Calophyllum inophyllum Gambar 114. Calotropis gigantea


43

Gambar 115. Cerbera manghas Gambar 116. Clerodendrum inerme

Gambar 117. Derris trifoliata Gambar 118. Finlaysonia maritima

Gambar 119. Hibiscus tiliaceus Gambar 120. Ipomoea pes-caprae

Gambar 121. Pandanus tectorius Gambar 122. Pongamia pinnata


44

Gambar 123. Scaevolia taccada Gambar 124. Sesuvium portulacastrum

Gambar 125. Spinifex littoreus Gambar 126. Stachytarpheta jamaicensis

Gambar 127. Terminalia catappa Gambar 128. Thespresia populnea

Gambar 129. Vitex ovata Gambar 130. Cyperaceae


45

Komposisi dan Struktur Vegetasi

ABSTRACT Kawasan pantai utara dan selatan Jawa Tengah,


merupakan bagian pulau Jawa yang secara dinamis
The study was intended to observe the vegetation composition mengalami perubahan. Ekosistem mangrove di kawasan
and structure of mangrove plants on southern and northern ini memiliki bentuk yang beragam. Pantai utara Jawa
coast of Central Java Province. This research was conducted in Tengah berbatasan dengan laut pedalaman, Laut Jawa,
July till December 2003, at 20 sites. Laboratory assay was done dengan hempasan gelombangnya relatif kecil.
in Laboratory of Biology Department, Faculty of Mathematics Sebaliknya pantai selatan berbatasan langsung dengan
and Natural Sciences, and Central Laboratory of Mathematics
and Natural Sciences, Sebelas Maret University (UNS)
laut lepas, Laut Selatan (Samudera Hindia), dengan
Surakarta. Data was collected by using belt transect method, kondisi gelombangnya sangat besar. Hal ini
from coast line into landward. The result indicated that in menyebabkan fisiognomi dan fisiografi vegetasi
common, the trees strata which also have shoots strata and mangrove di kedua kawasan tersebut berbeda (Steenis,
strata of germs (seedlings); and bushes strata which also have 1958).
strata of germs (seedlings), if they were compared to the same Di pantai utara Jawa Tengah, sedimen dari sungai
species then their important value tend to be stable. So it was dan laut terendapkan pada lokasi-lokasi tertentu yang
predictable that in the disturbance condition, the preservation of terlindung dan membentuk tidal flat (tanah lumpur
mangrove was guaranteed, as long as there was no great
change on a broad scale.
pasang surut). Di pantai selatan, sedimen yang terbawa
sungai dan laut mengendap di muara sungai membentuk
tanggul dan gumuk pasir (sand dune), sehingga
terbentuk laguna (Steenis, 1958; 1965; Whitten dkk.,
Key words: mangrove plants, Central Java Province,
composition and vegetation structure. 2000). Di pantai utara mangrove tidak hanya tumbuh di
muara sungai, namun terutama pada kawasan tidal flat,
sedangkan di pantai selatan hanya tumbuh di muara
sungai. Di pantai selatan terdapat kawasan mangrove
PENDAHULUAN terluas di Jawa, yaitu laguna Segara Anakan, Cilacap,
yang terbentuk karena adanya perlindungan dari
Tumbuhan mangrove umumnya mudah dikenali gelombang laut oleh Pulau Nusakambangan dan
karena memiliki sistem perakaran yang sangat masukan air tawar dari Sungai Citanduy dan lain-lain
menyolok, serta tumbuh pada kawasan pantai di antara (Winarno dan Setyawan, 2003).
rata-rata pasang dan pasang tertinggi (Ng dan Sivasothi, Struktur dan komposisi vegetasi tumbuhan
2001). Hutan mangrove atau mangal adalah vegetasi merupakan faktor penting yang mempengaruhi
yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis dan sub- perpindahan aliran materi, energi dan keanekaragaman
tropis, didominasi tumbuhan bunga terestrial umumnya hayati (Dubayah dkk., 1997). Kanopi hutan merupakan
berhabitus pohon dan semak, dapat menginvasi dan faktor pembatas bagi kehidupan tumbuhan, karena dapat
tumbuh di kawasan pasang surut, dengan tanah menghalangi penetrasi cahaya ke lantai hutan (Walters
bersalinitas tinggi dan anaerob (Mac-Nae, 1968; dan Reich, 1997; Fahey dkk., 1998). Pengetahuan
Chapman, 1976; Tomlinson, 1986; Aksornkoae, 1993; tentang struktur dan komposisi vegetasi hutan dapat
Nybakken, 1993; Kitamura dkk., 1997). Ekosistem menjadi dasar untuk memprediksi kemungkinan
mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai perubahan lingkungan yang akan terjadi di masa depan
tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi (Aumeeruddy, 1994). Kesempatan sebuah pohon untuk
dengan lingkungan di habitat mangrove (SNM, 2003), mencapai kanopi hutan tergantung penampakan anak
namun tanpa hadirnya tumbuhan mangrove, kawasan ini pohonnya (Clark dan Clark, 1991; Kobe dkk., 1995).
tidak dapat disebut ekosistem mangrove (Jayatissa dkk., Variasi ketersediaan sumberdaya ini beserta perbedaan
2002). Komposisi dan struktur vegetasi mangrove kemampuan antar spesies anak pohon dalam
berbeda-beda, secara spasial maupun temporal akibat menggunakannya dapat mempengaruhi komposisi dan
pengaruh geofisik, geografi, geologi, hidrografi, struktur vegetasi hutan (Latham, 1992; Pacala dkk.,
biogeografi, iklim, faktor edafik dan kondisi lingkungan 1996). Perbedaan kemampuan antara spesies anakan
lainnya (Bandaranayake, 1998).

Publikasi asli: Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, dan A. Susilowati. 2005. Tumbuhan Mangrove di Pesisir
Jawa Tengah: 2. Komposisi dan Struktur Vegetasi. Biodiversitas 6 (3): 194-198.
46

pohon dalam menoleransi naungan mempengaruhi khususnya di Wulan dan Segara Anakan yang luas.
dinamika hutan (Finzi dan Canham, 2000). Pada kondisi Koleksi. Alat yang digunakan adalah: ransel, gunting
cahaya rendah, perbedaan kecil dalam pertumbuhan tanaman, pisau, beliung, pensil, buku lapangan, etiket
pohon muda dapat menyebabkan perbedaan mortalitas gantung, peta topografi, kompas dan teropong.
yang besar (Kobe dkk., 1995), sehingga mempengaruhi Identifikasi. Alat yang digunakan adalah: mikroskop,
kemelimpahan relatifnya (Pacala dkk., 1996). Tumbuhan mikroskop stereo, lampu penyorot, lensa pembesar,
sering dibedakan berdasarkan habitusnya menjadi cawan petri, jarum pemisah, pisau, pinset, dan buku
pohon, semak, dan herba. Pohon memiliki diameter identifikasi.
batang > 10 cm, semak memiliki diameter < 10 cm, tetapi Pembuatan herbarium. Alat dan bahan yang
tingginnya > 1,5 m, sedangkan herba memiliki tinggi < digunakan dalam pembuatan herbarium kering adalah:
1,5 m. Dalam hal ini anak pohon dapat dikategorikan sasak, kertas koran, kertas kardus, tali, gunting, pisau,
sebagai semak, sedangkan bibit pohon dan bibit semak oven, kertas herbarium, label herbarium, amplop
dapat dikategorikan sebagai herba (Kusmana dan herbarium, etiket herbarium dan lem/selotip bening.
Istomo, 1995). Sedangkan pada pembuatan herbarium basah adalah:
Suksesi di hutan mangrove sangat aktif, arus pasang botol kaca bening, gelas ukur, alkohol 70%, dan air.
surut memungkinkan masuknya sedimen dan invasi Analisis vegetasi. Alat yang digunakan pada
berbagai spesies dari berbagai lokasi, dengan tingkat dasarnya sama dengan alat untuk koleksi ditambah
adaptasi yang berbeda-beda. Perubahan fisik di dalam peralatan untuk membuat plot kuadrat meliputi: meteran,
hutan mangrove seperti pengeringan, pembangunan tali plastik, dan patok.
kanal-kanal air dan pemakaian pupuk dalam pengelolaan
tambak, menyebabkan perubahan habitat mangrove Cara kerja
(Tanaka, 1992), sehingga komposisi dan struktur Koleksi, identifikasi, dan pembuatan herbarium.
vegetasi hutan ini dapat berubah-ubah (Odum, 1971). Koleksi dilakukan di dalam plot kuadrat untuk sampling
Deposisi sedimen dalam jumlah banyak juga dapat vegetasi. Spesimen segar hasil koleksi segera
mempengaruhi ketinggian tanah, sehingga diidentifikasi. Identifikasi spesies mangrove mayor,
mempengaruhi distribusi dan komposisi tumbuhan minor, dan tumbuhan asosiasi merujuk pada pustaka-
mangrove (Callaway dan Zedler 1998). pustaka: Backer dan Bakhuizen van den Brink (1963;
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi 1965; 1968), Kitamura dkk. (1997), Ng dan Sivasothi
dan struktur vegetasi mangrove di pantai utara dan (2001), serta Tomlison (1986). Identitas tumbuhan, yang
pantai selatan Jawa Tengah, mencakup strata meragukan dicocokkan dengan spesimen kering koleksi
berhabitus: (i) pohon, (ii) semak dan anak pohon, serta Herbarium Bogoriense, Bogor. Herbarium dibuat dari
(iii) herba, bibit (seedling) semak dan bibit pohon. spesimen yang telah dewasa, tidak terserang hama,
penyakit atau kerusakan fisik lain. Tumbuhan berhabitus
pohon dan semak disertakan ujung batang, daun, bunga
BAHAN DAN METODE dan buah, sedang tumbuhan berbentuk herba disertakan
seluruh habitus. Herbarium kering digunakan untuk
spesimen yang mudah dikeringkan, misalnya daun,
batang, bunga dan akar, sedangkan herbarium basah
Waktu dan lokasi penelitian
digunakan untuk spesimen yang berair dan lembek,
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli s.d.
misalnya buah (Lawrence, 1951).
Desember 2003. Penelitian lapangan dilakukan pada 20
Analisis vegetasi. Pengambilan data vegetasi
habitat mangrove di pantai utara dan selatan Jawa
dilakukan dengan metode belt transect, yakni dengan
Tengah. Keduapuluh lokasi tersebut meliputi: (1) Wulan, 2
meletakkan belt transect ukuran 10X60 m , dari bibir
Demak (2) Sigrogol, Demak (3) Serang, Demak (4)
pantai atau muara sungai ke arah daratan, yang di
Bulak, Jepara, (5) Telukawur, Jepara, (6) Tayu, Pati, (7)
dalamnya terdapat 6 plot kuadrat untuk setiap strata,
Juwana, Pati, (8) Pecangakan, Rembang, (9) Pasar
dengan ukuran 10X10 m2 (habitus pohon), 5X5 m2
Bangi, Rembang, (10) Lasem, Rembang, (11) 2
(habitus semak dan anak pohon), serta 1X1 m (habitus
Bogowonto, perbatasan Kulonprogo dan Purworejo, (12)
herba, bibit semak, dan bibit pohon). Pada setiap lokasi
Cakrayasan, Purworejo, (13) Lukulo, Purworejo, (14)
dari ke-20 lokasi penelitian dibuat 18 plot kuadrat,
Cincingguling, Kebumen, (15) Ijo, Kebumen, (16)
sehingga terdapat 360 plot untuk setiap strata habitus.
Bengawan, Cilacap, (17) Serayu, Cilacap, (18) Tritih,
Semua spesies tumbuhan di dalam plot diidentifikasi dan
Cilacap (19) Motean, Cilacap, dan (20) Muara Dua,
diambil sampelnya untuk herbarium. Diukur nilai
Cilacap. Lokasi ke-4, 5, 9, dan 10 terletak langsung di
penutupan dan frekuensi setiap spesies pada setiap
bibir/tepi pantai dan jauh dari muara sungai besar, lokasi
strata habitus. Data komposisi dan struktur vegetasi
ke-18, 19, 20 terletak di laguna Segara Anakan,
ditampilkan dalam bentuk nilai penting. Nilai penting
sedangkan lokasi sisanya terletak di muara sungai.
merupakan penjumlahan nilai penutupan dan frekuensi
Penelitian laboratorium dilakukan di Laboratorium
relatif yang dibagi dua (Odum, 1971; Barbour dkk.,
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS)
1987).
dan Laboratorium Pusat MIPA UNS Surakarta.

Alat dan bahan


Untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi HASIL DAN PEMBAHASAN
tumbuhan mangrove dilakukan tahap-tahap sebagai
berikut: koleksi, identifikasi, pembuatan herbarium, dan Hasil
analisis vegetasi. Dalam hal ini diperlukan perahu motor Dalam penelitian ini, tidak semua spesies yang
sebagai sarana transportasi di kawasan mangrove, dijumpai di area penelitian tercakup dalam analisis
47

vegetasi, mengingat metode yang digunakan adalah belt (penjelajahan) ditemukan 55 spesies (Setyawan dkk.,
transect, sehingga kawasan yang dicakup relatif 2005, dalam jurnal ini). Nilai penting setiap spesies untuk
terbatas. Dalam penelitian yang dilakukan pada lokasi setiap strata habitus disajikan pada Tabel 1.
dan waktu yang sama dengan metode survai

Tabel 1. Nilai penting spesies tumbuhan mangrove strata habitus pohon, strata habitus semak dan anak pohon, serta strata habitus
herba, bibit semak, dan bibit pohon di pantai utara dan selatan Jawa Tengah.

Pantai Utara Pantai Selatan

Cingcingguling
Nama Spesies

Pecangakan

Pasar Bangi

Cakrayasan
Bogowonto

Muara Dua
Bengawan
Telukawur

Rata-rata
Kategori

Sigrogol

Juwana

Motean
Serang

Jumlah
Serayu
Lasem

Lukulo
Wulan

Bulak

Tayu

Tritih
Ijo
Strata habitus pohon
Avicennia spp. MAY 0,45 0,69 0,41 0,15 0,22 0,15 0,07 0,51 0,09 0,42 0 0 0 0 0,1 0 0 0,18 0,16 0,11 3,71 0,186
Sonneratia spp. MAY 0,19 0,04 0,1 0 0,09 0 0,08 0 0,06 0,06 0,6 0,18 0,13 0 0,04 0,27 0,1 0,12 0,13 0,07 2,26 0,113
Rhizophora spp. MAY 0,51 0,1 0,18 0,36 0,42 0,33 0,06 0,22 0,83 0,33 0 0 0 0 0,25 0,1 0 0,63 0,17 0,21 4,70 0,235
Excoecaria agallocha MIN 0 0 0 0 0 0 0,06 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,06 0,003
Aegiceras corniculatum MIN 0 0 0 0 0,08 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,48 0,35 0,91 0,046
Nypa fruticans MAY 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,17 0 0 0,46 0,25 0,2 0,42 0 0,12 0,07 1,69 0,085
Xylocarpus spp. MIN 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,04 0,04 0,08 0,004
Bruguiera spp. MAY 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,07 0,04 0,03 0,14 0,007
Strata habitus anak pohon dan semak
Anak pohon
Avicennia spp. MAY 0,40 0,39 0,37 0,19 0,18 0,16 0,10 0,34 0,10 0,32 0 0 0 0 0,10 0 0 0,23 0,19 0,19 3,26 0,163
Sonneratia spp. MAY 0,19 0 0,13 0 0,10 0 0,21 0 0,09 0,06 0,50 0,20 0,16 0 0 0,28 0,03 0,19 0,19 0,19 2,52 0,126
Rhizophora spp. MAY 0,52 0,20 0,19 0,19 0,26 0,29 0,11 0,23 0,45 0,46 0,12 0 0 0 0,28 0,13 0 0,48 0,17 0,17 4,25 0,213
Excoecaria agallocha MIN 0 0 0 0 0 0 0,10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,10 0,005
Aegiceras corniculatum MIN 0 0 0 0 0,17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,52 0,47 1,16 0,058
Nypa fruticans MAY 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,19 0 0 0,34 0,20 0,19 0,34 0 0,10 0,07 0,08 0,004
Xylocarpus spp. MIN 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,04 0,04 0,08 0,004
Bruguiera spp. MAY 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,14 0,04 0,07 0,25 0,013
Semak
Acanthus ilicifolius ASO 0,33 0,18 0 0 0 0,14 0,18 0,17 0,10 0,17 0,20 0,17 0,06 0 0,18 0,22 0,25 0,23 0,39 0,52 3,49 0,175
Acrostichum spp. MIN 0 0 0 0 0 0 0 0 0,03 0 0,10 0,08 0 0 0 0 0 0,07 0,13 0,10 0,51 0,026
Derris trifoliata ASO 0,29 0,12 0 0 0 0,15 0,18 0 0 0,07 0,23 0,11 0 0,07 0,14 0,18 0,11 0,14 0,18 0,21 2,18 0,109
Pandanus tectorius ASO 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,07 0 0,20 0,17 0 0 0 0 0 0 0 0,44 0,022
Calotropis gigantea ASO 0,14 0,13 0,13 0,17 0,2 0 0,13 0 0,04 0 0,09 0,13 0 0,17 0 0 0,17 0 0 0 1,50 0,075
Strata habitus bibit pohon, bibit semak, dan herba
Bibit pohon
Avicennia spp. MAY 0,49 0,43 0,33 0,26 0,24 0,18 0,10 0,43 0,13 0,32 0 0 0 0 0,1 0 0 0,32 0,25 0,21 3,79 0,190
Sonneratia spp. MAY 0,23 0 0,17 0 0,11 0 0,22 0 0 0 0,58 0,20 0,20 0 0 0,30 0,04 0,21 0,21 0,25 2,72 0,136
Rhizophora spp. MAY 0,54 0,27 0,23 0,33 0,30 0,34 0,17 0,26 0,68 0,46 0,1 0 0 0 0,32 0,20 0,62 0,25 0,28 1,15 0,058
Excoecaria agallocha MIN 0 0 0 0 0 0 0,11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,11 0,006
Aegiceras corniculatum MIN 0 0 0 0 0,18 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,50 0,37 1,05 0,053
Nypa fruticans MAY 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,23 0 0 0,35 0,21 0,21 0,35 0 0,11 0,07 1,53 0,077
Xylocarpus spp. MIN 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,04 0,04 0,08 0,004
Bruguiera spp. MAY 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,14 0,04 0,07 0,25 0,013
Bibit semak
Acanthus ilicifolius *) ASO 0,31 0,18 0 0 0 0,14 0,13 0,17 0,1 0,17 0,20 0,17 0,06 0 0,18 0,22 0,25 0,23 0,39 0,51 3,41 0,171
Acrostichum spp.*) MIN 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,20 0,08 0 0 0 0 0 0,07 0,13 0,1 0,58 0,029
Derris trifoliata *) ASO 0,29 0,12 0 0 0 0,15 0,18 0 0 0,07 0,23 0,05 0 0,07 0,14 0,18 0,11 0,14 0,18 0,21 2,12 0,106
Pandanus tectorius *) ASO 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,07 0 0,17 0,17 0 0 0 0 0 0 0 0,41 0,021
Calotropis gigantea ASO 0,17 0,10 0,13 0,17 0,20 0,12 0 0 0 0,06 0,13 0 0,16 0 0 0,10 0 0 0 0,57 0,029
Herba
Ipomoea pescaprae ASO 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,21 0,04 0,14 0,14 0,07 0 0 0 0,60 0,030
Sesuvium portulacastrum ASO 0,10 0,07 0 0 0,11 0,11 0,07 0,11 0,10 0,14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,81 0,041
Rumput (Gramineae) **) ASO 0,23 0 0,15 0,11 0 0 0,13 0,20 0 0,23 0,61 0,55 0,83 0 0 0 0,20 0 0 0 3,24 0,162
Rumput liar lainnya ***) ASO 0 0,13 0 0 0,16 0,15 0 0 0,11 0 0 0 0 0,14 0,17 0,20 0 0,20 0 0 1,26 0,063
Teki (Cyperaceae) ****) ASO 0,13 0 0 0 0,07 0 0,07 0,10 0,07 0 0 0,08 0 0 0 0,08 0 0 0,14 0,14 0,88 0,044

Keterangan: MAY = mayor, MIN = minor, ASO = asosiasi


*) Umumnya berkembangbiak secara vegetatif, sedangkan perkembangbiakan secara generatif cenderung kurang berarti.
**) Rumput (Gramineae) meliputi: Cynodon dactylon, Paspalum spp., Phragmites karka; Spinifex littoreus
***) Rumput liar lain: belum teridentifikasi.
****) Teki (Cyperaceae) meliputi: Cyperus spp., Fimbristylis ferruginea; Scirpus spp.
48

Dalam analisis vegetasi tumbuhan berhabitus pohon Strata semak dan anak pohon
yang tercakup sebanyak 8 spesies, semak 5 spesies, Semak dan anak pohon memiliki habitus dan strata
adapun herba 5 spesies/kelompok spesies. Kedelapan yang cenderung serupa, sehingga memiliki peran ekologi
tumbuhan berhabitus pohon tersebut adalah Avicennia yang diperkirakan sama. Dalam penelitian ini anak
spp., Sonneratia spp., Rhizophora spp., Excoecaria pohon yang memiliki nilai penting tinggi merupakan
agallocha, Aegiceras corniculatum, Nypa fruticans, genus yang sama dengan pohon, yaitu Rhizophora spp.
Xylocarpus spp., dan Bruguiera spp. Kelima tumbuhan (0,213), Avicennia spp. (0,163) dan Sonneratia spp.
berhabitus semak tersebut adalah Acanthus ilicifolius, (0,126). Hal ini sangat wajar mengingat hanya pohon-
Acrostichum spp., Derris trifoliata, Pandanus tectorius, pohon yang telah mapan yang mampu beregenerasi
dan Calotropis gigantea. Adapun kelima tumbuhan melahirkan keturunan dengan jumlah melimpah,
berhabitus herba tersebut adalah Ipomoea pes-caprae, meskipun tidak tertutup kemungkinan adanya suplai baru
Sesuvium portulacastrum, kelompok rumput, rumput liar dari luar kawasan. Dalam penelitian ini rata-rata nilai
lain (belum teridentifikasi), serta kelompok teki. penting anak pohon tidak berbeda jauh dengan rata-rata
Kelompok rumput (Gramineae) meliputi: Cynodon nilai penting pohon, sehingga diperkirakan kelestarian
dactylon, Paspalum spp., Phragmites karka; Spinifex jenis-jenis pohon akan bertahan dalam jangka waktu
littoreus, sedangkan kelompok teki (Cyperaceae) lama, selama kondisi lingkungan tidak mengalami
meliputi: Cyperus spp., Fimbristylis ferruginea; Scirpus perubahan yang drastis. Hal ini sekaligus
spp. Tidak semua spesies yang tercakup dalam analisis mengindikasikan bahwa di dalam ekosistem tersebut
vegetasi memiliki nilai penting cukup besar, beberapa di terjadi disturbansi, tegakan tidak atau belum mencapai
antaranya memiliki nilai penting sangat rendah karena klimaks, sehingga memberi kesempatan tumbuhnya
penyebarannya yang terbatas dan/atau nilai tumbuhan muda. Pada kondisi klimaks biasanya bibit
penutupannya yang kecil, sehingga pengaruhnya pohon akan mulai mati pada saat mencapai umur anak
terhadap ekosistem relatif dapat diabaikan. pohon, mengingat pada kondisi ini terjadi kompetisi
Pada habitat yang terfragmentasi, kebanyakan dengan tumbuhan dewasa, khususnya untuk
spesies berada pada populasi yang memiliki ciri-ciri memperebutkan ruang dan cahaya matahari. Adapun
tersendiri, mereka dihubungkan oleh migrasi. dalam kondisi masih berupa bibit, tumbuhan biasanya
Lingkungan memperlihatkan dinamika tertentu akibat masih dapat bertahan karena adanya sisa-sisa
disturbansi dan suksesi komunitas tumbuhan (Stacey cadangan makanan dari biji dan ruang yang cukup,
dan Taper, 1992; Crawley, 1997). Selama perubahan meskipun dengan cahaya matahari yang terbatas karena
kondisi ekologi ini, lokasi boleh jadi kurang sesuai untuk berada di bawah naungan pepohonan.
jenis tertentu, sebaliknya sangat cocok bagi spesies Semak dengan rata-rata nilai penting paling tinggi
pendatang. Dalam kondisi ini banyak komunitas berada dimiliki oleh A. ilicifolius (0,175), diikuti oleh D. trifoliata
dalam suatu kesetimbangan antara pemunahan populasi (0,109). Kedua tumbuhan ini dapat berkembangbiak
lokal dan pemantapan populasi baru, yakni mereka secara vegetatif serta membentuk massa lebat/tebal
tinggal di metapopulasi (Hanski dan Gilpin, 1997). yang menghambat pertumbuhan spesies lain. Pada
kawasan terbuka akibat penebangan hutan,
Strata pohon sebagaimana banyak terjadi di Segara Anakan,
Dalam penelitian ini nilai penting paling besar keduanya dapat tumbuh lebat dan mendominasi
ditemukan pada Rhizophora spp. (0,235), disusul kawasan tersebut. Hal ini merupakan langkah awal
Avicennia spp. (0,186) dan Sonneratia spp. (0,113). proses suksesi sekunder. Keduanya juga tumbuh pada
Ketiga spesies ini merupakan tumbuhan mangrove tanah akresi yang baru terbentuk, sebagai langkah awal
mayor yang biasa mendominasi kawasan mangrove. proses suksesi primer, misalnya di Segara Anakan dan
Dalam penelitian ini penyebaran ketiganya cukup Wulan.
merata, baik di pantai utara maupun selatan Jawa Semak lain memiliki nilai penting sebagai berikut: C.
Tengah. Nilai penting terbesar berikutnya adalah N. gigantea (0,075), Acrostichum spp. (0,026), dan P.
fruticans (0,085), diikuti A. corniculatum (0,046) dan tectorius (0,022). P. tectorius merupakan bagian dari
Bruguiera spp. (0,007). N. fruticans memiliki nilai penting formasi hutan pantai yang umumnya ditemukan pada
cukup tinggi karena mampu membentuk tegakan murni kawasan berpasir dan kering. Adapun C. gigantea
melalui perkembangbiakan vegetatif yang mendominasi merupakan tumbuhan dataran kering dengan
tempat-tempat tertentu pada batas antara ekosistem laut penyebaran sangat luas, termasuk di kawasan
dan tawar. Vegetasi ini membentuk massa yang pedalaman pulau Jawa. Kemampuannya beradaptasi
dominan di Cingcingguling, Ijo, Bengawan, dan Serayu. terhadap salinitas dan kekeringan menyebabkannya
Ketiadaan atau sedikitnya jenis tumbuhan mangrove lain mampu tumbuh sebagai tumbuhan asosiasi mangrove.
akibat penebangan oleh penduduk, serta pemeliharaan Dalam penelitian ini keduanya sering ditemukan pada
N. fruticans oleh masyarakat untuk tujuan-tujuan pematang tambak yang keras dan kering. Sebaliknya
tertentu, seperti sebagai penahan tanah dari abrasi serta Acrostichum spp., sebagai tumbuhan mangrove minor,
untuk dipanen buah dan daunnya, boleh jadi hanya mampu tumbuh pada tanah mangrove yang becek
menyebabkan kesuksesan tumbuhan ini dibandingkan (water logged).
tumbuhan mangrove lain di kawasan tersebut. Dua
spesies yang memiliki nilai penting paling kecil adalah E. Strata herba, bibit pohon dan bibit semak
agallocha (0,003) dan Xylocarpus spp. (0,004). Herba memiliki habitus serupa dengan bibit pohon
Keduanya memiliki distribusi sangat terbatas. E. dan bibit semak, sehingga secara ekologi diperkirakan
agallocha hanya ditemukan di Juwana, sedangkan memiliki peranan yang sama pula. Besarnya nilai penting
Xylocarpus spp. hanya ditemukan di Motean dan Muara bibit pohon, tidak berbeda jauh dengan nilai penting anak
Dua (Segara Anakan). pohon dan pohon. Avicennia spp. (0,190), Sonneratia
spp. (0,136), dan Rhizophora spp. (0,058) memiliki nilai
49

penting yang cukup tinggi, sehingga dalam jangka perubahan lingkungan secara besar-besaran dalam
panjang diperkirankan kelestariannya akan terjaga. Nilai skala luas. Data ini sekaligus menunjukkan tingginya
penting bibit Rhizophora spp. yang lebih kecil dari kedua pengaruh antropogenik, yang menyebabkan disturbansi
genus lainnya disebabkan bentuk kanopi bibit pohon ini ekosistem, sehingga tegakan tidak mencapai klimaks,
relatif lurus ke atas, dengan proyeksi ke permukaan dengan nilai penting tumbuhan muda relatif tinggi.
tanah lebih sempit sehingga nilai penutupan lebih kecil
untuk jumlah individu bibit yang sama. Strata bibit pohon
lainnya yang memiliki nilai penting cukup tinggi adalah N. DAFTAR PUSTAKA
fruticans (0,077). Hal ini terjadi karena tumbuhan
tersebut mampu berkembangbiak secara vegetatif Aksornkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangroves. Bangkok:
membentuk tegakan murni, di samping mampu pula International Union for Conservation of Nature and Natural
berkembang biak secara generatif. Resources.
Aumeeruddy, Y. 1994. Local Representations and Management of
Besarnya nilai penting bibit semak hampir sama Agroforests on the Periphery of Kerinci Seblat National Park,
dengan nilai penting semak. Hal ini boleh jadi Sumatra, Indonesia, People and Plants Working Paper 3. Paris:
disebabkan hampir semua tumbuhan semak yang ada UNESCO.
dapat berkembangbiak secara vegetatif. Dari lima Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1963. Flora of Java.
Vol. I. Groningen: P.Noordhoff
spesies semak tersebut, hanya C. gigantea yang tidak Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java.
dapat berkembangbiak secara vegetatif. Sebaliknya Vol. II. Groningen: P.Noordhoff
Acrostichum spp. dan D. trifoliata perkembangbiakan Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1968. Flora of Java.
Vol. III. Groningen: P.Noordhoff
secara vegetatif jauh lebih maju dari pada Bandaranayake, W.M. 1998. Traditional and medicinal uses of
perkembangbiakan secara generatif. mangroves. Mangrove and Salt Marshes 2: 133-148.
Dalam penelitian ini kelompok herba yang memiliki Barbour, M.G., J.H. Burk, and W.D. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology.
nilai penting terbesar adalah rumput (rata-rata Second edition. Menlo Park CA.: The Benjamin Cummings Pub. Co.
Inc.
keseluruhan 0,162), diikuti rumput liar lain (rata-rata Callaway J.C, and J.B. Zedler. 1998. Tidal wetland sedimentation
keseluruhan 0,063), dan teki (rata-rata keseluruhan impacts: flood-caused bare zones sustained by trampling and high
0,044). Adapun dua spesies sisanya adalan I. pes- salinities. ASLO/ESA Joint Conference on the Land-Water Interface.
St. Louis, June 1998.
caprae (0,030) dan Sessuvium portulacastrum (0,041). Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation. Liechtenstein: J.Cramer
Kelima spesies/kelompok spesies tersebut memiliki Verlag.
penyebaran yang relatif merata, baik di pantai utara Clark, D.A. dan D.B. Clark. 1991. The impact of physical damage on
maupun selatan, kecuali I. pes-caprae yang dalam canopy tree regeneration in tropical rain forests. Journal of Ecology
79: 447-457.
penelitian ini hanya dijumpai di pantai selatan. Spesies Crawley, M.J. 1997. Plant Ecology. Oxford: Blackwell Science.
ini merupakan bagian dari formasi hutan pantai yang Dubayah, R., J.B. Blair, J.L. Bufton, D.B. Clark, J. Jaja, R. Knox, S.
umumnya hanya tumbuh di kawasan pantai berpasir Luthcke, S. Prince and J. Weishampel. 1997. The vegetation canopy
lidar mission, Land Satellite Information in the Next Decade II:
yang kering, sehingga tidak dijumpai di lokasi penelitian Sources and Applications. ASPRS Proceedings: 100-112.
di pantai utara yang umumnya berupa kawasan pantai Fahey, T.J., J.J. Battles, and G.F. Wilson. 1998. Responses of early
didominasi lumpur. Penelitian Suranto dkk. (2000) successional hardwood forests to changes in nutrient availability.
menunjukkan bahwa di pantai utara Tuban yang berpasir Ecology Monograph 68 (2): 183-212.
Finzi, A.C and C.D. Canham. 2000. Sapling growth in response to light
dan kering terdapat komunitas tumbuhan I. pes-caprae. and nitrogen availability in a southern New England forest. Forest
Secara umum strata pohon yang sekaligus memiliki Ecology and Management 131: 153-165.
strata anak pohon dan bibit pohon, serta strata semak Hanski I, and M.E. Gilpin. 1997. Metapopulation Biology: Ecology,
Genetics, and Evolution. San Diego, CA: Academic Press.
yang sekaligus memiliki strata bibit semak, apabila Jayatissa, L.P., F. Dahdouh-Guebas, and N. Koedam. 2002. A review of
diperbandingkan dalam satu spesies yang sama maka the floral composition and distribution of mangroves in Sri Lanka.
nilai pentingnya cenderung tetap. Kondisi ini merupakan Botanical Journal of the Linnean Society 138: 29-43.
sinergi dari banyak faktor mulai dari faktor biotik, abiotik, Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of
Mangroves in Indonesia; Bali & Lombok. Denpasar: The
dan sosial budaya masyarakat yang telah mapan, Development of Sustainable Mangrove Management Project,
sehingga diperkirakan kelestarian tumbuhan mangrove Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation
di pantai utara dan selatan Jawa dalam jangka panjang Agency.
Kobe, R.K., S.W. Pacala, J.A. Silander Jr., and C.D. Canham. 1995.
akan lestari. Juvenile tree survivorship as a component of shade tolerance.
Ecology Applied 5 (2): 517-532.
Kusmana, C. dan Istomo. 1995. Ekologi Hutan. Bogor: Fakultas
Kehutanan IPB.
KESIMPULAN Latham, R.E. 1992. Co-occurring tree species change rank in seedling
performance with resources varied experimentally. Ecology 73:
2129-2144.
Secara umum strata pohon yang sekaligus memiliki Lawrence, G.H.M. 1951. Taxonomi of Vascular Plants. New York: Joh
strata anak pohon dan bibit pohon, serta strata semak Wiley and Sons.
yang sekaligus memiliki strata bibit semak, apabila MacNae, W. 1968. A general account of the fauna and flora of mangrove
diperbandingkan dalam satu spesies yang sama maka swamps and forests in the Indo-West-Pacific region. Advances in
Marine Biology 6: 73-270.
nilai pentingnya cenderung tetap. Pada tiga besar Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (ed.). 2001. A Guide to Mangroves of
tumbuhan mangrove mayor, yaitu Avicennia spp., Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and
Sonneratia spp., dan Rhizophora spp. nilai penting pada Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science
Centre.
strata pohon secara berturut-turut adalah 0.190, 0.136, Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. 3rd
dan 0.058; strata anak pohon 0.163, 0.126, dan 0.213, edition. New York: Harper Collins College Publishers.
strata bibit pohon 0.186, 0.113, dan 0.235. Oleh Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. 3rd edition. Philadelphia:
karenanya kelestarian tumbuhan mangrove di Jawa W.B. Sounders Company.
Pacala, S.W., C.D. Canham, J. Saponara, J.A. Silander, R.K. Kobe, and
Tengah diperkirakan akan terjamin, meskipun dalam E. Ribbens, 1996. Forest models defined by field measurements II.
kondisi disturbansi, selama tidak terjadi perubahan- Estimation, error analysis, and dynamics. Ecology Monograph 66 (1):
1-44.
50

Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, Kusumo Winarno, dan A. Tanaka, S., 1992. Bali Environment the Sustainable Mangrove Forest.
Susilowati. 2005. Tumbuhan mangrove di Propinsi Jawa Tengah: 1. Jakarta: Development of Sustainable Mangrove Management
Keanekaragaman jenis. Biodiversitas 6 (1): 00-00 (submitted). Project.
SNM (Strategi Nasional Mangrove). 2003. Strategi Nasional Pengelolaan Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge
Mangrove di Indonesia (Draft Revisi); Buku II: Mangrove di University Press.
Indonesia. Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Walters, M.B., and P.B. Reich, 1997. Growth of Acer Saccharum
Stacey P.B. and M. Taper. 1992. Environmental variation and the seedlings in deeply shaded understories of northern Wisconsin:
persistence of small populations. Ecological Applications 2: 18-29. effects of nitrogen and water. Canadian Journal of Forest Research
Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In: Flora Malesiana. 27: 237-247.
Djakarta: Noordhoff-Kollf. Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S. Afiff. 2000. Ecology of Java and
Steenis, C.G.G..J. van. 1965. Concise plant-geography of Java. In: Bali. Singapore: Periplus.
Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Winarno, K. dan A.D. Setyawan. 2003. REVIEW: Penyudetan Sungai
Java. Vol. II. Groningen: P.Noordhoff Citanduy, Buah Simalakama Konservasi Ekosistem Mangrove
Suranto, Sajidan, Harliyono, K. Winarno, dan S.E. Hariningsih. 2000. Segara Anakan. Biodiversitas 4 (1): 63-72.
Studi variasi populasi Ipomoea pes-caprae (L.) Sweet di Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. BioSMART 2 (1): 28-33.

Lampiran xxx. Struktur vegetasi mangrove pada beberapa lokasi penelitian.

Gambar xxx. Strata bibit Rhizophora di Pasar Banggi Gambar xxx. Strata bibit Avicennia di Wulan

Gambar xxx. Strata pohon Rhizophora di Pasar Banggi Gambar xxx. Strata pohon Rhizophora di Bulak

Gambar xxx. Strata anak pohon Sonneratia di Wulan Gambar xxx. Dominasi semak-semak A. ilicifolius pada lahan
terbuka
51

Diagram Profil Vegetasi

ABSTRACT mengetahui kualitas lingkungan, mengidentifikasi


permasalahan kawasan, dan memberikan peringatan
The study was intended to observe the horizontal and vertical awal berbagai perubahan yang kemungkinan terjadi
diagram of mangrove vegetation profile on southern and pada masa depan. Pengetahuan tentang pola
northern coast of Central Java Province. This research was pertumbuhan berbagai vegetasi hutan dapat menjadi
conducted in July until December 2003, at 20 sites. Analysis of dasar untuk memprediksi kemungkinan perubahan
profile diagram was done in Laboratory of Biology Department, lingkungan yang akan terjadi di masa depan
Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Sebelas Maret
University (UNS) Surakarta. Data was collected by using belt
(Aumeeruddy, 1994).
transect method, from coast line into landward. The result Formasi hutan mangrove terdiri dari empat genus
indicated that the diagram profile of vegetation showed the utama, yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, dan
height of anthropogenic influence, where the vegetation was Bruguiera (Chapman, 1992; Nybakken, 1993). Hutan
dominated by young plants; there were only (1)-2-(3-4) strata of mangrove alami membentuk zonasi tertentu. Bagian
canopy (storey). Human disturbance caused most of the paling luar didominasi Avicennia, Sonneratia, dan
vegetation was in the secondary succession; almost it has not in Rhizophora, bagian tengah Bruguiera gymnorrhiza,
the climax condition. The area in the belt transect that used to bagian ketiga Xylocarpus, dan Heritieria, bagian dalam
build diagram usually have canopy gap or bare land caused by
logging, or to be converse into another land use, especially
Bruguiera cylindrica, Scyphiphora hydrophyllacea, dan
sawah (rice field) and tambak (fish pond and salt extraction). Lumnitzera, sedangkan bagian transisi didominasi
The resistance of young plant gives hope to the sustainability of Cerbera manghas (de Haan dalam Steenis, 1958). Pada
the mangrove plant in Central Java, but width scale of perbatasan hutan mangrove dengan rawa air tawar
environmental changes can degraded this habitat completely. tumbuh Nypa fruticans (Odum, 1971; Sukardjo, 1985;
Tomlison, 1986). Pada masa kini pola zonasi tersebut
Key words: mangrove plants, Central Java Province, jarang ditemukan karena tingginya laju konversi habitat
vegetation profile diagram. mangrove menjadi tambak, penebangan hutan,
sedimentasi/reklamasi, dan pencemaran lingkungan
(Walsh, 1974; Lewis, 1990; Nybakken, 1993; Primavera,
PENDAHULUAN 1993).
Struktur vegetasi tumbuhan, seperti tinggi, biomassa,
Kawasan pesisir pantai utara dan selatan Jawa serta heterogenitas vertikal dan horizontal, merupakan
Tengah, merupakan bagian pulau Jawa yang secara faktor penting yang mempengaruhi perpindahan aliran
dinamis mengalami perubahan. Kegiatan antropogenik materi dan energi, serta keanekaragaman ekosistem
telah merambah hampir seluruh jengkal permukaan (Dubayah dkk., 1997). Kanopi/tajuk hutan merupakan
tanah Jawa, termasuk kawasan mangrove yang sering faktor pembatas bagi kehidupan tumbuhan, karena dapat
dianggap terpencil, kotor, dan dijauhi. Ekosistem menghalangi penetrasi cahaya ke lantai hutan (Walters
mangrove di Jawa Tengah memiliki bentuk yang dan Reich, 1997; Fahey dkk., 1998). Keberhasilan
beragam, karena perbedaan fisiografi pantainya. Pantai sebuah pohon untuk mencapai kanopi hutan tergantung
utara cenderung berlumpur dengan hempasan karakter/ penampakan anak pohon (Clark dan Clark,
gelombang yang relatif kecil, sedangkan pantai selatan 1991; Kobe dkk., 1995). Variasi ketersediaan cahaya
cenderung bertanah pasir dan berbatu-batu dengan dan perbedaan kemampuan antar spesies anak pohon
kondisi gelombang yang sangat kuat. Tumbuhan dalam memanfaatkannya dapat mempengaruhi
mangrove memiliki preferensi yang berbeda-beda komposisi dan struktur vegetasi hutan (Latham, 1992;
terhadap kondisi ini (Steenis, 1958; 1965). Pacala dkk., 1996). Perbedaan kemampuan antara
Kondisi lingkungan di masa depan dapat diprediksi spesies anakan pohon dalam menoleransi naungan
dari komposisi dan struktur biota pada saat ini. Spesies mempengaruhi dinamika hutan (Finzi dan Canham,
atau komunitas tertentu yang interaksinya unik dalam 2000). Pada kondisi cahaya rendah, perbedaan kecil
ekosistem dapat digunakan sebagai bioindikator untuk dalam pertumbuhan pohon muda dapat menyebabkan

Publikasi asli: Setyawan, A.D., K. Winarno (alm.), Indrowuryatno, Wiryanto, dan A. Susilowati. 2008. Tumbuhan Mangrove di
Pesisir Jawa Tengah 3. Diagram Profil Vegetasi. Biodiversitas 9 (4): 315-321.
52

perbedaan mortalitas yang besar (Kobe dkk., 1995), BAHAN DAN METODE
sehingga mempengaruhi kemelimpahan relatifnya
(Pacala dkk., 1996). Waktu dan lokasi penelitian
Stratifikasi kanopi merupakan salah satu konsep Penelitian ini dilaksanakan bulan Juli s.d. Desember
tertua dalam ekologi hutan tropis. Konsep ini telah 2003, pada 20 habitat mangrove di pantai utara dan
dikembangkan sejak permulaan abad ke-19, namun selatan Jawa Tengah. Keduapuluh lokasi tersebut
masih menjadi perdebatan (Richards, 1996; Smith, 1973; meliputi: (1) Wulan, Demak (2) Sigrogol, Demak (3)
Whitmore, 1985). Beberapa peneliti menyatakan adanya Serang, Demak (4) Bulak, Jepara, (5) Telukawur,
strata pada kanopi hutan (Davis dan Richards, 1933; Jepara, (6) Tayu, Pati, (7) Juwana, Pati, (8) Pecangakan,
Ashton dan Hall, 1992), namun peneliti lain tidak Rembang, (9) Pasar Bangi, Rembang, (10) Lasem,
menemukannya (Paijmans, 1970). Penyebab utama Rembang, (11) Bogowonto, perbatasan Kulonprogo dan
kerancuan ini adalah subyektivitas definisi dan metode Purworejo, (12) Cakrayasan, Purworejo, (13) Lukulo,
yang digunakan. Istilah stratifikasi digunakan untuk tiga Purworejo, (14) Cincingguling, Kebumen, (15) Ijo,
perbedaan yang saling terkait, yaitu: stratifikasi vertikal Kebumen, (16) Bengawan, Cilacap, (17) Serayu,
biomassa (Ashton dan Hall, 1992), stratifikasi vertikal Cilacap, (18) Tritih, Cilacap (19) Motean, Cilacap, dan
kanopi (Grubb dkk., 1963), dan stratifikasi vertikal (20) Muara Dua, Cilacap. Lokasi ke-4, 5, 9, dan 10
spesies (Oliver, 1978). Stratifikasi boleh jadi ada terletak langsung di bibir/tepi pantai dan jauh dari muara
berdasarkan salah satu definisi, tetapi tidak ada sungai besar, lokasi ke-18, 19, 20 terletak di laguna
berdasarkan definisi lainnya. Misalnya, biomassa dapat Segara Anakan, sedangkan lokasi sisanya terletak di
saja terstratifikasi, tetapi kanopi tidak dapat ditentukan muara sungai.
stratifikasinya, atau kanopi spesies yang sama terletak
pada strata yang berbeda (Baker dan Wilson, 2000). Cara kerja
Namun ada atau tidaknya strata kanopi, konsep Pada setiap lokasi di atas dibuat profil hutan secara
stratifikasi tetap merupakan alat yang sangat berguna vertikal dan horizontal, memanjang dari arah bibir pantai
untuk mengkaji distribusi vertikal tumbuhan dan hewan atau muara sungai ke arah daratan dengan
(Halle dkk., 1978). Metode tertua dan paling banyak menggunakan belt transect, dengan tiga kali ulangan.
digunakan untuk mengkaji stratifikasi/arsitektur kanopi Pemilihan titik untuk meletakkan belt transect didasarkan
adalah diagram profil hutan secara vertikal dan atas kekayaan dan keanekaragaman jenis tumbuhan di
horizontal (Baker dan Wilson, 2000). Teknik ini pertama tempat tersebut, serta dengan mempertimbangkan
kali diterapkan oleh Watt (1924 dalam Baker dan Wilson, penampakan umum tegakan, sehingga profil diagram
2000) pada hutan temperate, sedangkan Davis dan yang dibuat dapat mewakili vegetasi mangrove di lokasi
Richards (1933) adalah orang pertama yang tersebut. Ukuran belt transect 60x10 m2, untuk
menerapkannya pada hutan tropis. memudahkan penghitungan di dalamnya dibuat 6 plot
Diagram profil hutan dibuat dengan meletakkan plot, kuadrat, masing-masing berukuran 10x10 m2. Arah
biasanya dengan panjang 40-70 m dan lebar 10 m, memanjang transek dari laut/muara menuju ke daratan
tergantung densitas pohon. Kemudian ditentukan posisi dinyatakan sebagai sumbu x, arah melebar transek
setiap pohon, digambar arsitekturnya berdasarkan skala sebagai sumbu y, dan arah ke atas sebagai sumbu z,
tertentu, diukur tinggi, diameter setinggi dada, tinggi sehingga diperoleh sumbu panjang: x = 60 m, sumbu
cabang pertama, serta dilakukan pemetaan proyeksi pendek: y = 10 m, sumbu tegak: z = 20 m. Penentuan
kanopi ke tanah. Profil hutan menunjukkan situasi nyata sumbu tegak yang hanya 20 m, didasarkan kenyataan
posisi pepohonan dalam hutan, sehingga dapat langsung bahwa pepohonan mangrove di lokasi penelitian
dilihat ada tidaknya strata hutan secara visual dan bertinggi < 20 m. Belt transect ini juga digunakan dalam
kualitatif (Aumeeruddy, 1994; Baker dan Wilson, 2000). analisis komposisi dan struktur vegetasi (Setyawan dkk.,
Dalam kasus tertentu, histogram kelas ketinggian atau 2005).
biomassa dibuat sebagai pelengkap diagram profil hutan Semua spesies pohon, anak pohon, dan semak di
(Grubb dkk., 1963; Ashton dan Hall, 1992). dalam plot diambil sampelnya untuk herbarium dan
Stratifikasi di hutan tropis memiliki beberapa variasi, diidentifikasi. Pembuatan herbarium merujuk pada
tetapi umumnya terdiri dari lima lapisan, yaitu lapisan Lawrence (1951), sedang identifikasi merujuk pada
pertama terdiri dari pepohonan dengan ketinggian 30-45 Backer dan Bakhuizen van den Brink (1963), Kitamura
m, lapisan kedua terdiri dari pepohonan dengan dkk. (1997), Ng dan Sivasothi (2001), serta Tomlison
ketinggian 18-27 m, lapisan ketiga terdiri dari pepohonan (1986). Selanjutnya semua pohon, anak pohon, dan
dengan ketinggian 8-24 m, lapisan semak terdiri dari semak (θ ≥ 5 cm) diberi nomor dan ditentukan posisinya
anak pohon dan semak dengan ketinggian < 10 m, serta terhadap sumbu x dan y, lalu diukur tinggi total, tinggi
lapisan herba (Euwise, 1980). Hingga kini diagram profil cabang pertama, lebar dan panjang kanopi, serta
hutan masih merupakan standard untuk mengidentifikasi diameter setinggi dada (diameter at breast high; DBH;
stratifikasi kanopi hutan, meskipun memiliki beberapa 130 cm), serta digambar posisi vertikalnya pada kertas
kekurangan, yaitu interpretasinya dapat subyektif, grafik. Pohon yang tumbang dicatat panjang, diameter,
membutuhkan banyak tenaga untuk mengerjakannya, dan posisinya terhadap sumbu x dan y, serta digambar.
dan dipengaruhi kondisi lokasi (Baker dan Wilson, 2000). Kemudian data ditabulasi, gambar masing-masing
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui diagram individu pohon dan semak disatukan berdasarkan
profil vertikal dan horizontal vegetasi mangrove di pantai posisinya dan dibuat gambar diagram profil vegetasi
utara dan pantai selatan Jawa Tengah; sehingga dapat secara vertikal, dilanjutkan diagram profil vegetasi
menggambarkan preferensi habitat, strata kanopi, dan secara horizontal dengan memproyeksikan kanopi ke
pengaruh antropogenik terhadap kelestarian ekosistem permukaan lantai hutan. Berdasarkan profil hutan ini
ini. ditentukan jumlah strata pohon yang terbentuk (Baker
53

dan Wilson, 2000; Aumeeruddy, 1994). Penentuan sebagai tumbuhan rawa burit (back swamp), yang biasa
jumlah strata sangat tergantung keputusan pribadi tumbuh pada garis paling belakang ekosistem mangrove,
peneliti (Grubb dkk., 1963). Dalam penelitian ini, berbatasan dengan perairan tawar dan daratan (Steenis,
stratifikasi ditentukan berdasarkan modus tinggi kanopi, 1958; 1965; Tomlison, 1986). Pada lingkungan yang
kemudian dibuat jangkauan tertentu yang tidak tumpang cocok, dimana terdapat pasir dan lempung, N. fruticans
tindih dengan strata di bawah atau di atasnya. Salah dapat menjadi tumbuhan utama pada tepi sungai atau
satu di antara ketiga diagram pada setiap lokasi laguna (Ng dan Sivasothi, 2001).
ditunjukkan dalam tulisan ini. Pada beberapa lokasi, N. fruticans tumbuh pada
perbatasan dengan area persawahan, yang pada masa
lalu diperkirakan merupakan area rawa burit. Di
HASIL DAN PEMBAHASAN Cingcingguling dan Serayu, spesies ini ditemukan baik
pada bibir muara sungai yang terpengaruh langsung oleh
arus pasang surut, maupun pada areal persawahan
yang jauh dari pantai dan relatif tidak terpengarung arus
Hasil pasang-surut karena adanya tanggul-tanggul buatan.
Dalam penelitian ini, tidak semua spesies yang Tumbuhan ini membentuk kantung-kantung yang rimbun
dijumpai di area penelitian tercakup dalam diagram profil di antara persawahan yang ditanami padi. Tidak
vegetasi, mengingat metode yang digunakan adalah belt terbentuknya zonasi, diperkirakan merupakan akibat dari
transect, sehingga kawasan yang dicakup relatif besarnya pengaruh antropogenik, sehingga tumbuhan
terbatas, serta hanya dilakukan (0-60 m) di sekitar bibir mangrove tidak lagi tumbuh secara alami, tetapi menjadi
pantai atau bibir muara sungai. Dalam penelitian ini bagian dari kultur yang dikembangkan masyarakat
ditemukan delapan spesies pohon dan semak yang khususnya pada kawasan dengan intensitas kegiatan
memberi bentuk pada profil vegetasi, tediri dari tujuh manusia yang tinggi, seperti pantai utara Jawa; atau
spesies berhabitus pohon, termasuk satu palem, dan sekurang-kurangnya telah melakukan adaptasi terhadap
satu spesies berhabitus semak. Sebanyak lima spesies aktivitas manusia, khususnya pada lokasi dengan
tergolong dalam kategori tumbuhan mangrove mayor, aktivitas manusia lebih rendah seperti Segara Anakan.
dan tiga tumbuhan mangrove minor (Tabel 1.). Hasil ini Avicennia spp., Sonneratia spp., dan Rhizophora
sama dengan jenis-jenis pohon yang ditemukan dalam spp., baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama,
analisis komposisi dan struktur vegetasi, mengingat hampir selalu dijumpai dalam plot penelitian. Hal ini
keduanya menggunakan belt transect yang sama wajar mengingat ketiganya merupakan tumbuhan
(Setyawan dkk., 2005). Adapun gambar profil vegetasi mangrove mayor yang selalu berada di garis terdepan
dari keduapuluh lokasi penelitian disajikan pada Gambar berhadapan dengan garis pantai atau muara sungai.
1A s.d. 1T. Dalam hal ini hanya ditunjukkan satu gambar Tumbuh-tumbuhan ini telah beradaptasi terhadap
untuk setiap lokasi mengingat keterbatasan halaman. pengaruh fluktuasi arus pasang surut yang
menyebabkan variasi genangan dan salinitas.
Tabel 1. Kenekaragaman jenis tumbuhan yang memberi bentuk
diagram profil vegetasi.
Sebaliknya Bruguiera spp., yang juga termasuk
tumbuhan mangrove mayor, umumnya hanya dijumpai
pada arah daratan yang cenderung lebih kering, bahkan
Nama jenis Habitus Kategori
di belakang tanggul-tanggul buatan maupun alami.
Avicennia spp. Pohon Mayor Spesies ini telah beradaptasi terhadap fluktuasi pasang
Sonneratia spp. Pohon Mayor surut yang lebih rendah, sehingga tanahnya memiliki
Rhizophora spp. Pohon Mayor kadar garam yang cenderung tinggi karena besarnya
Excoecaria agallocha Pohon Minor penguapan. Dalam penelitian ini Bruguiera spp. hanya
Aegiceras corniculatum Semak Minor ditemukan di Muara Dua dan Tritih, yang terletak di
Nypa fruticans Pohon/palem Mayor
Xylocarpus spp. Pohon Minor
laguna Segara Anakan. Suatu kawasan mangrove yang
Bruguiera spp. Pohon Mayor sedang mengalami suksesi menuju ekosistem daratan
akibat tingginya sedimentasi. Di Tritih, yang merupakan
ekosistem mangrove buatan, spesies ini ditanam pada
Diagram horizontal (preferensi habitat; zonasi) pematang jalan yang juga menjadi sarang kepiting
Kedelapan jenis tumbuhan mangrove yang lumpur (Thalassina anomala), akibat kurangnya
ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan adanya perawatan, berupa gundukan-gundukan tanah dengan
variasi yang luas pada habitat mangrove di Jawa tinggi 1-1,8 m.
Tengah. Tumbuh-tumbuhan mangrove tersebut tidak Sonneratia spp. dan Rhizophora spp. dapat
sepenuhnya membentuk zonasi berdasarkan ditemukan di pantai utara maupun selatan, namun
toleransinya terhadap periode penggenangan dan preferensi Sonneratia spp. terhadap tanah berpasir
salinitas, sebagaimana pendapat umum yang dipegang menyebabkannya lebih mudah ditemukan di pantai
banyak peneliti (misalnya: de Haan dalam Steenis, selatan, sedangkan preferensi Rhizophora spp. terhadap
1958). Dalam penelitian ini, mangrove tumbuh baik pada tanah berlumpur menyebabkannya lebih mudah
tepian garis pantai (marine environment) maupun tepian ditemukan di pantai utara. Hal ini sejalan dengan
muara sungai (riverine environment). Bagian terdepan kenyataan bahwasanya pantai selatan Jawa didominasi
dari vegetasi mangrove (0-60 m dari tepi pantai atau pasir, sedangkan pantai utara didominasi lumpur
muara sungai) tidak selalu didominasi tiga besar (Steenis, 1958; 1965; Whitten dkk., 2000). Secara
tumbuhan mangrove mayor, yakni Avicennia spp., umum, Avicennia dan Sonneratia dapat tumbuh dengan
Sonneratia spp., dan Rhizophora spp., namun dapat pula baik pada tanah berpasir, sedangkan Rhizophora lebih
berisi Nypa fruticans yang secara tradisional dinyatakan menyukai lumpur lembut yang kaya humus, adapun
54

Bruguiera menyukai tanah lempung yang mengandung Sigrogol (Gambar 1B) memiliki sejumlah kecil
sedikit bahan organik (Ng dan Sivasothi, 2001). mangrove yang hampir mencapai kondisi klimaks.
Excoecaria agallocha, Aegiceras corniculatum, dan Panjang vegetasi ini mencapai sekitar 60 m dari bibir
Xylocarpus spp. merupakan tumbuhan mangrove minor, muara sungai. Tumbuhan mangrove di area ini hanya
umumnya tumbuh pada arah daratan, jauh dari fluktuasi terdiri dari Avicennia spp. dan berhasil tumbuh hingga
genangan pasang-surut, namun dalam penelitian ini usia tua karena menjadi penyangga tanggul-tanggul di
tumbuh-tumbuhan tersebut dapat dijumpai pada barisan bibir muara sungai dan pantai. Pepohonan yang ada
terdepan, berbatasan langsung dengan tepi pantai atau hampir semuanya berada pada strata ketiga. Hal ini
muara sungai. Hal ini merupakan akibat terjadinya menimbulkan dugaan adanya kesengajaan pada saat
pengeringan area mangrove, baik secara sengaja penanamannya dahulu, namun berdasarkan letak
maupun secara alami. Pengeringan area mangrove pancang batang pohon di tanah yang cenderung tidak
secara buatan umumnya terkait dengan pembuatan membentuk pola tertentu, maka pepohonan ini
tambak atau sawah. Tumbuhan mangrove dapat kemungkinan tumbuh secara alamiah namun dijaga
menginvasi pematang/tanggul atau bahkan sengaja kelestariannya dan terpelihara. Kondisi pepohonan yang
ditanam di tempat tersebut untuk memperkuatnya, mendekati klimaks, menyebabkan lantai hutan relatif
misalnya E. agallocha di Juwana. Spesies-spesies ini bersih dari herba, semak, maupun anak pohon, karena
juga dapat tumbuh pada tanah yang mengering karena adanya kompetisi yang kuat dari tumbuhan dewasa
naiknya permukaan tanah akibat sedimentasi atau pada dalam hal cahaya matahari, ruang, dan unsur hara.
gundukan-gundukan tanah yang dibuat kepiting lumpur, Serang (Gambar 1C) memiliki vegetasi mangrove
misalnya Xylocarpus spp. dan A. corniculatum di Segara dalam kondisi muda. Vegetasi ini secara monokultur
Anakan. tersusun atas Avicennia spp., dengan dua strata, yakni
strata pertama dan kedua. Panjang vegetasi ini hanya
Diagram vertikal (stratifikasi kanopi) sekitar 30 m dari bibir pantai, lahan selanjutnya
Dalam penelitian ini secara keseluruhan dapat merupakan areal pertambakan ikan bandeng. Area
ditemukan empat strata kanopi, dengan pohon tertinggi kosong di antara kanopi ditumbuhi bibit Avicennia,
sekitar 18 m, namun pada masing-masing lokasi sedangkan area kosong ke arah darat merupakan
umumnya hanya ditemukan dua strata kanopi. Dalam tambak ikan.
penelitian ini, stratifikasi ditentukan berdasarkan modus Bulak (Gambar 1E) memiliki vegetasi mangrove
tinggi kanopi. Di lapangan tinggi strata kanopi sangat monokultur Rhizophora spp. yang tersusun atas satu
terkait dengan spesies dan umur pohon. Setiap spesies strata, yakni strata kedua. Vegetasi ini tumbuh rapat
memiliki tinggi maksimum yang berbeda-beda, namun dengan jarak yang relatif teratur. Hal ini merupakan hasil
mengingat jumlah spesies pohon yang hadir sangat restorasi sejak beberapa tahun sebelumnya untuk
terbatas, seringkali perbedaan ketinggian strata lebih menahan laju abrasi. Rapatnya penanaman tumbuhan
disebabkan umur pohon dari pada jenis pohon. Dalam ini menyebabkan hampir tidak ada celah kanopi di antara
hal ini kanopi spesies yang sama terletak pada strata pepohonan, namun panjang vegetasi ini hanya sekitar 20
yang berbeda (Baker dan Wilson, 2000). Dalam m dari bibir pantai, lahan selanjutnya ke arah darat
penelitian ini, strata pertama terdiri dari pohon dan merupakan tambak udang. Terdapat beberapa individu
semak dengan tinggi 2-6 m, strata berikutnya hanya Avicennia spp., yang tumbuh kerdil di pematang-
berupa pohon, yakni strata kedua 7-10 m, strata ketiga pematang tambak.
11-14 m, dan strata keempat 15-18 m. Tingkat Telukawur (Gambar 1E) memiliki vegetasi dengan
kerusakan vegetasi atau sebaliknya tingkat kelestarian dua strata, yaitu strata pertama dan kedua. Tumbuhan
dan pemeliharaan vegetasi mangrove mempengaruhi yang hadir adalah Avicennia spp., Rhizophora spp., dan
jumlah strata kanopi, di samping faktor-faktor lingkungan A. corniculata. Mengingat penampakannya yang teratur,
fisik, seperti jenis tanah dan iklim. Rhizophora spp. kemungkinan merupakan hasil
penanaman, sedangkan Avicennia spp. dan A.
Pantai utara corniculata tumbuh secara liar. Pada arah laut terdapat
Wulan (Gambar 1A) merupakan lokasi dengan area tanpa kanopi yang merupakan bekas tambak dan
jumlah strata kanopi paling banyak, keempat strata di selalu becek, sedangnya pada arah daratan terdapat
atas semuanya hadir, dengan jenis tumbuhan Avicennia area kosong di sela-sela A. corniculata yang didominasi
spp. dan sebagian kecil Rhizophora spp. Panjang rerumputan. Area ini merupakan tanah daratan yang
vegetasi ini mencapai lebih dari 60 m dari bibir muara kering.
sungai. Kawasan yang diteliti merupakan bekas tambak Muara sungai Tayu (Gambar 1F) yang langsung
yang ditinggalkan dan mengalami regenerasi mangrove berhadapan dengan laut Jawa memiliki vegetasi
kembali, sehingga terdapat pohon dari yang berusia mangrove dalam jumlah sangat terbatas. Di sepanjang
paling muda hingga pohon tua yang pada masa lalu pantai Tayu vegetasi mangrove hampir sepenuhnya
disisakan sebagai naungan dan penahan tanggul. Pada dibersihkan dari tepian pantai. Masyarakan tidak terlalu
lokasi yang dulunya merupakan kolam tambak, peduli dengan kelestariannya, mengingat secara fisik
pepohonan telah mencapai strata pertama dan kedua. abrasi pantai tidak mengancam kawasan ini, bahkan
Pepohonan ini diperkirakan tumbuh secara bersamaan kawasan pantai timur Tayu merupakan area
pada saat tambak tersebut ditinggalkan sehingga pengendapan lumpur dari banyak sungai kecil. Vegetasi
memiliki ketinggian yang relatif sama. Tambak yang mangrove di tempat ini tebalnya hanya sekitar 10-20 m,
ditinggalkan merupakan fenomena umum di pantai utara didominasi oleh Avicennia spp. dan Rhizophora spp.
Jawa akibat perubahan kondisi hidrologi, edafit (tanah Pertumbuhannya juga masih sangat muda, bahkan
sulfat asam), penyakit, dan pencemaran lingkungan. hanya terdiri dari strata pertama saja. Area ke arah
daratan telah diubah menjadi tambak ikan.
55

Sama halnya dengan Tayu, vegetasi mangrove di Cakrayasan (Gambar 1L) menyisakan sedikit sekali
Juwana (Gambar 1G), sangat terbatas, umumnya hanya vegetasi mangrove, dengan panjang hanya sekitar 10 m.
terletak di tepi sungai Juwana dengan tebal hanya Sama halnya dengan Bogowonto, vegetasi ini secara
sekitar 10 m, didominasi oleh Avicennia spp. dan alamiah didominasi oleh Sonneratia spp., mengingat tipe
Sonneratia spp. Pertumbuhannya juga masih sangat tanahnya yang berpasir-lempung. Diagram profil
muda, hanya terdiri dari strata pertama saja. Area ke vegetasi menunjukkan adanya strata pertama saja. Area
arah daratan telah diubah menjadi tambak ikan. Kondisi tanpa pohon pada arah ke daratan merupakan padang
dan penggunaan lahan di Juwana dan Tayu relatif sama gembalaan ternak penduduk, yang pada musim hujan
mengingat kedua kawasan pesisir pantai ini letaknya kadang-kadang ditanami padi.
bersambungan, serta menjadi area sedimentasi sungai Lukulo (Gambar 1M) hampir tidak menyisakan lagi
Juwana. vegetasi mangrove. Kawasan mangrove yang ada hanya
Pecangakan (Gambar 1H) memiliki area mangrove menyisakan beberapa batang pohon Sonneratia spp.,
yang agak luas di bibir muara sungai yang sekaligus dikelilingi dataran rumput yang menjadi area
berhadapan langsung dengan laut Jawa. Diagram profil penggembalaan sapi penduduk. Upaya restorasi
vegetasinya didominasi oleh Avicennia spp. secara ekosistem mangrove beberapa tahun sebelumnya di
monokultur. Hal ini terjadi karena adanya upaya kawasan ini dengan menanam beberapa jenis mangrove
penanaman mangrove untuk menjebak lumpur dan tidak berhasil, kemungkinan karena perumputan oleh
memperluas area mangrove ke arah laut yang ternak, di samping kesalahan pemilihan spesies yang
selanjutnya dapat diubah menjadi tambak ikan. Tebal ditanam.
vegetasi ini sekitar 30 m, dengan dua strata, yaitu Cingcingguling (Gambar 1N) hanya menyisakan N.
pertama dan kedua. fruticans sebagai penyusun vegetasi mangrove. Palem
Pasar Banggi (Gambar 1-I) merupakan kawasan ini tumbuh secara monokultur membentuk tegakan murni
pantai yang relatif jauh dari aliran sungai besar. Ke arah karena mampu berkembangbiak secara vegetatif dengan
laut kawasan ini bertanah pasir putih, sedangkan ke arah membentuk rhizhoma. Vegetasi ini hanya mencakup
daratan bertanah lumpur. Kawasan ini memiliki area strata pertama saja. Panjang vegetasi sekitar 30-40 m.
mangrove yang dikelola oleh masyarakat dan Tumbuhan ini dapat beradaptasi dengan baik terhadap
pemerintah setempat, sehingga relatif terjaga. kondisi perairan tawar, sehingga ditemukan sebagai
Tumbuhan yang hadir meliputi Avicennia spp., kantung-kantung mangrove di antara lahan persawahan.
Sonneratia spp. dan Rhizophora spp. Tumbuhan terakhir Lahan tanpa penutupan kanopi pada diagram profil
relatif dominan karena merupakan hasil restorasi merupakan sawah.
beberapa tahun sebelumnya, sehingga cenderung rapat Ijo (Gambar 1-O) memiliki lingkungan mangrove
dan teratur, baik jarak tanam maupun ketinggiannya. Di dengan jenis tumbuhan lebih bervariasi, pada diagram
arah laut yang bertanah pasir tumbuh Sonneratia spp., profil tercakup Avicennia spp., Rhizophora spp., dan N.
sedangkan Avicennia spp. terdapat di arah daratan. fruticans. Pada arah bibir sungai terdapat dominasi
Diagram profil vegetasi memiliki dua strata yaitu strata Rhizophora spp., sedangkan pada arah daratan terdapat
pertama dan kedua, dengan tebal vegetasi sekitar 40-50 dominasi N. fruticans. Vegetasi didominasi tumbuhan
m. lahan tanpa vegetasi di arah daratan merupakan area muda dengan strata pertama saja. Panjang vegetasi
tambak garam. Rapatnya penanaman Rhizophora spp. sekitar 30 m. Area tanpa penutupan kanopi pohon
menyebabkan hampir tidak ada celah kanopi di antara merupakan lahan kosong/ terbuka atau lahan tegalan
pepohonan. yang dibiarkan tidak terawat, pada beberapa tempat
Lasem (Gambar 1J) menyisakan vegetasi mangrove ditumbuhi Acanthus ilicifolius.
yang agak baik di sepanjang tepian sungai-sungai kecil. Bengawan (Gambar 1-P) memiliki habitat mangrove
Vegetasi ini didominasi oleh Rhizophora spp. yang dengan dominasi Sonneratia spp. dan N. fruticans. Pada
merupakan hasil penanaman untuk memperkuat tepian arah bibir sungai didominasi Sonneratia spp. sedangkan
sungai kecil tersebut, sehingga cenderung memiliki pada arah daratan didominasi N. fruticans. Vegetasi ini
penampilan seragam. Diagram profil vegetasi hanya terdiri dari strata pertama saja, dengan panjang
menunjukkan hanya terdapat strata pertama saja. Area vegetasi sekitar 30 m. Sama halnya dengan Ijo, area
mangrove ini memanjang mengikuti garis tanggul sungai. tanpa penutupan kanopi pohon merupakan lahan
Area kosong di antara kanopi merupakan bagian tepian kosong/terbuka atau lahan tegalan yang tidak dikelola
sungai yang tidak bervegetasi. secara intensif.
Serayu (Gambar 1Q) memiliki habitat mangrove yang
Pantai selatan hanya ditumbuhi Sonneratia spp. dan N. fruticans. Palem
Bogowonto (Gambar 1K) memiliki vegetasi mangrove ini cenderung tumbuh secara monokultur dan
yang secara alamiah didominasi oleh Sonneratia spp. mendominasi area, namun pada tempat-tempat tertentu
Hal ini merupakan akibat dari tanahnya yang berpasir- terdapat Sonneratia spp. yang tumbuh menjulang ke
lempung. Di samping itu terdapat pula Nypa fruticans atas. Panjang vegetasi hanya sekitar 20-30 m, dengan
yang tumbuh alami dan sejumlah kecil Rhizophora spp. dua strata, yaitu strata pertama dan kedua. Lahan tanpa
yang merupakan hasil introduksi. Diagram profil hutan penutupan kanopi pada diagram profil merupakan
menunjukkan adanya dua strata, yaitu strata pertama sawah.
dan kedua. Vegetasi ini cukup panjang karena mengikuti Tritih (Gambar 1R) merupakan area wisata mangrove
sungai kecil di dalamnya. Kuatnya angin dari laut buatan, yang pada akhirnya cenderung dibiarkan tumbuh
selatan, tampaknya menyebabkan pepohonan dewasa di alami. Jajaran pepohonanya yang rapat dan teratur
lingkungan ini relatif pendek. Lahan tanpa kanopi di menunjukkan bahwa tegakan ini merupakan hasil
dalam diagram profil didominasi rerumputan. Kawasan campur tangan manusia. Kawasan yang berbatasan
mangrove ini merupakan area merumput ternak kerbau dengan bibir laguna didominasi Avicennia spp. yang
penduduk setempat. sebagian tumbuh secara alami, sedang area pada arah
56
z z z z z

0 x 0 x 0 x 0 x 0 x
y y y y y

0 x 0 x 0 x 0 x 0 x

A B C D E
z z z z z

0 x 0 x 0 x 0 x 0 x
y y y y y

0 x 0 x 0 x 0 x 0 x

F G H I J
z z z z z

0 x 0 x 0 x 0 x 0 x
y y y y y

0 x 0 x 0 x 0 x 0 x

K L M N O
z z z z z

0 x 0 x 0 x 0 x 0 x
y y y y y

0 x 0 x 0 x 0 x 0 x

P Q R S T

Gambar 1. Diagram vertikal dan horizontal profil vegetasi di 20 lokasi pantai utara dan selatan Jawa Tengah. Keterangan: A. Wulan, B. Sigrogol, C. Serang, D. Bulak, E. Telukawur, F. Tayu, G.
Juwana, H. Pecangakan, I. Pasar Bangi, J. Lasem, K. Bogowonto, L. Cakrayasan, M. Lukulo, N. Cincingguling, O. Ijo, P. Bengawan, Q. Serayu, R. Tritih, S. Motean, T. Muara Dua; 1. Avicennia
spp., 2. Sonneratia spp., 3. Rhizophora spp., 4. Excoecaria agallocha, 5. Aegiceras, 6. Nypa fruticans, 7 (-), 8. Xylocarpus spp., 9. Bruguiera spp.; Sumbu panjang: x = 60 m, sumbu pendek: y =
10 m, sumbu tegak: z = 20 m.
57

daratan didominasi oleh Rhizophora spp. yang yang menyebabkan terbentuknya tanah timbul. Di Wulan
merupakan hasil penanaman. Pada tanggul-tanggul dan Bogowonto, D. trifoliata dapat merambat hingga di
yang semula dibuat untuk mengatur drainase dan jalan atas kanopi, bersaing untuk mendapat sinar matahari.
pengunjung ditanam Bruguiera spp. Sebagian tanggul ini Kehadiran semak dalam suksesi sekunder maupun
sering dibongkar kepiting lumput untuk bersarang. primer merupakan keniscayaan, karena tersedianya
Diagram profil menunjukkan adanya dua strata, yaitu sinar matahari yang cukup dan terbukanya lantai hutan.
strata pertama dan kedua, dengan panjang 60 m, Semak umumnya dapat memenangi kompetisi terhadap
memenuhi seluruh plot. Area kosong tanpa penutupan herba karena memiliki habitus yang lebih kuat dan lebih
vegetasi umumnya merupakan tanggul buatan. tinggi. Semak juga dapat mengalahkan bibit pohon yang
Motean (Gambar 1S) dan Muara Dua (Gambar 1T) masih berada dalam strata herba dalam memperebutkan
sama-sama merupakan vegetasi mangrove yang pernah ruang, namun dengan adanya sisa-sisa pohon tua atau
mengalami kerusakan berat akibat penebangan hutan. adanya bibit dan anakan pohon yang selamat hingga
Spesies mangrove yang hadir adalah Avicennia spp., mencapai usia dewasa, maka akan terbentuk naungan
Sonneratia spp., Rhizophora spp. dan A. corniculata. Di dan – pada kasus tertentu – allelopati, yang mendesak
Motehan yang berdekatan dengan pulau keberadaan semak. Ketersediaan bibit yang cukup dan
Nusakambangan terdapat pula Bruguiera spp. kemenangan pohon dewasa dalam berkompetisi dengan
Keberadaan A. corniculata cukup menyolok mengingat semak, akan memungkinkan terbentuknya ekosistem
kawasan ini sedang dalam tahapan suksesi sekunder. klimaks. Namun, di lokasi penelitian kondisi klimaks ini
Area kosong tanpa penutupan vegetasi pohon atau sulit terjadi mengingat tingginya intensitas penebangan
semak, pada kenyataannya didominasi A. ilicifolius. pohon, sehingga pepohonan hampir selalu dalam kondisi
muda.
Pengaruh antropogenik dan suksesi
Diagram profil vegetasi secara vertikal dan horizontal
menunjukkan tingginya pengaruh antropogenik terhadap KESIMPULAN
kawasan mangrove di pesisir Jawa Tengah. Dari 20
lokasi penelitian, hampir tidak ditemukan lagi lokasi Diagram profil vegetasi secara vertikal dan horizontal
dengan pepohonan dalam kondisi klimaks, yakni menunjukkan tingginya pengaruh antropogenik, dimana
ekosistem yang didominasi tumbuh-tumbuhan tua, vegetasi didominasi tumbuhan muda, yang hanya
kebanyakan berada dalam tahapan suksesi sekunder, memiliki (1)-2-(3-4) strata kanopi. Disturbansi oleh
dengan dominasi pohon-pohon muda, setelah kerusakan aktivitas manusia menyebabkan sebagian besar vegetasi
hutan yang umumnya disebabkan penebangan hutan. dalam kondisi suksesi sekunder, dan hampir tidak ada
Gambar-gambar diagram profil vegetasi menunjukkan yang berada dalam kondisi klimaks. Area yang tercakup
tingginya dominasi tumbuhan muda (tinggi < 10 m), serta di dalam belt transect yang digunakan untuk menyusun
cukup banyak ditemukan anak pohon (θ < 10 cm). diagram tersebut seringkali terdapat celah kanopi, tanah
Diagram profil dengan kondisi mendekati klimaks, hanya kosong akibat penebangan, atau bahkan tanah yang
ditemukan di Sigrogol. Kawasan ini merupakan tepian telah diubah menjadi kegunaan lain, terutama sawah dan
sungai yang dijaga kelestariannya oleh penduduk untuk tambak. Adanya resisitensi tumbuhan muda untuk terus
melindungi tebing sungai dari erosi akibat gelombang bertahan, pada lingkungan yang mengalami disturbansi
laut. ini memberikan harapan akan tetap lestarinya tumbuhan
Diagram profil vegetasi menunjukkan adanya ruang- mangrove di Jawa Tengah, namun apabila terjadi
ruang kosong di antara kanopi. Area kosong ini dapat perubahan lingkungan secara besar-besaran dalam
berisikan herba, bibit (seedling) pohon dan bibit semak, skala luas, boleh jadi ekosistem ini akan sepenuhnya
namun dapat pula berupa lahan yang betul-betul kosong rusak.
tanpa vegetasi (Jawa: bera). Sedangkan area kosong
pada arah menuju daratan umumnya merupakan lahan
yang telah dikonversi menjadi sawah dan tambak.
Secara ekologi, celah di antara kanopi tumbuhan DAFTAR PUSTAKA
(canopy gap), sangat penting untuk mengelola
Ashton, P.S., and P. Hall. 1992. Comparisons of structure among mixed
keanekaragaman hayati. Celah tersebut memungkinkan dipterocarp forests of north-western Borneo. Journal of Ecology 80:
sinar matahari mencapai lantai hutan, sehingga memicu 459-481.
pertumbuhan bibit dan anakan pohon. Bibit pohon Aumeeruddy, Y. 1994. Local Representations and Management of
umumnya masih dapat bertahan hidup pada kondisi Agroforests on the Periphery of Kerinci Seblat National Park,
Sumatra, Indonesia, People and Plants Working Paper 3. Paris:
ternaungi oleh pohon dewasa, karena masih adanya UNESCO.
persediaan makanan dari hipokotil, namun anakan Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1963. Flora of Java.
pohon akan mati tanpa adanya celah kanopi, karena Vol. I. Groningen: P.Noordhoff
Baker, P.J. and J.S. Wilson. 2000. A quantitative technique for the
kalah dalam berkompetisi dengan pohon dewasa untuk identification of canopy stratifikasi in tropical and temperate forests.
mendapatkan sinar matahari. Dalam kasus tertentu area Forest Ecology and Management 127: 77-86
kosong tersebut didominasi semak yang membentuk Chapman, V.J. 1992. Wet coastal formations of Indo Malesia and Papua-
massa sangat rapat, sehingga dapat menghambat New Guinea. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1:
Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier.
regenerasi bibit dan anakan pohon, semak ini tidak Clark, D.A. dan D.B. Clark. 1991. The impact of physical damage on
terekam dalam diagram profil karena ukuran batangnya canopy tree regeneration in tropical rain forests. Journal of Ecology
yang kecil (θ < 5 cm). Semak A. ilicifolius di Segara 79: 447-457.
Davis, T.A.W. and P.W. Richards. 1933. Vegetation of Moraballi Creek,
Anakan dan Derris trifoliata di Wulan, hampir British Guiana: an ecological study of a limited area of tropical rain
sepenuhnya menutupi area kosong di antara kanopi forest. Part I. Journal of Ecology 21: 350-384.
pepohonan, baik ruang-ruang kosong ini akibat Dubayah, R., J.B. Blair, J.L. Bufton, D.B. Clark, J. Jaja, R. Knox, S.
pembabatan pepohonan maupun sedimentasi dan akresi Luthcke, S. Prince and J. Weishampel. 1997. The vegetation canopy
58

lidar mission, Land Satellite Information in the Next Decade II: Oliver, C.D. 1978. The development of northern red oak in mixed stands
Sources and Applications. ASPRS Proceedings: 100-112. in central New England. Yale University School of Forestry and
Euwise, W. 1980. Pengantar Ekologi Tropis. Jakarta: Djambatan. Environmental Studies Bulletin 91: 63.
Fahey, T.J., J.J. Battles, and G.F. Wilson. 1998. Responses of early Pacala, S.W., C.D. Canham, J. Saponara, J.A. Silander, R.K. Kobe, and
successional hardwood forests to changes in nutrient availability. E. Ribbens, 1996. Forest models defined by field measurements II.
Ecology Monograph 68 (2): 183-212. Estimation, error analysis, and dynamics. Ecology Monograph 66 (1):
Finzi, A.C and C.D. Canham. 2000. Sapling growth in response to light 1-44.
and nitrogen availability in a southern New England forest. Forest Paijmans, K. 1970. An analysis of four tropical rain forest sites in New
Ecology and Management 131: 153-165. Guinea. Journal of Ecology 58: 77-101.
Grubb, P.J., J.R. Lloyd, T.D. Pennington, and T.C. Whitmore. 1963. A Primavera, J.H. 1993. A critical review of shrimp pond culture in the
comparison of montane and lower rain forest in Ecuador. I. The Philippines. reviews in fisheries. Science 1 (2): 151-201
forest structure, physiognomy and floristics. Journal of Ecology 51: Richards, P.W. 1996. The Tropical Rain Forest. Cambridge: Cambridge
567-601. Univ.
Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, dan A. Susilowati.
Mangroves in Indonesia; Bali & Lombok. Denpasar: The 2005. Tumbuhan mangrove di pesisir Jawa Tengah: 2. komposisi
Development of Sustainable Mangrove Management Project, dan struktur vegetasi. Biodiversitas 6 (3): 194-198.
Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation Smith, A.P. 1973. Stratification of temperate and tropical forests.
Agency. American Naturalist 107: 671-683.
Kobe, R.K., S.W. Pacala, J.A. Silander Jr., and C.D. Canham. 1995. Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In: Flora Malesiana.
Juvenile tree survivorship as a component of shade tolerance. Djakarta: Noordhoff-Kollf.
Ecology Applied 5 (2): 517-532. Steenis, C.G.G..J. van. 1965. Concise plant-geography of Java. In:
Latham, R.E. 1992. Co-occurring tree species change rank in seedling Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of
per-formance with resources varied experimentally. Ecology 73: Java. Vol. II. Groningen: P.Noordhoff
2129-2144. Sukardjo, S., 1985. Laguna dan vegetasi mangrove. Oseana 10 (4): 128-
Lawrence, G.H.M. 1951. Taxonomi of Vascular Plants. New York: John 137.
Wiley and Sons. Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge Univ.
Lewis, R.R. 1990. Creation and restoration of coastal wetlands in Puerto Walsh, G.E. 1974. Mangroves: A review. In Reinhold, R. J. and W.H.
Rico and the US Virgin Islands. In: Kusler J.A. and M.E. Kentula Queen (ed.). Ecology of Halophytes. New York: Academic Press.
(eds.) Wetland Creation and Restoration: The Status of Science, Vol. Walters, M.B., and P.B. Reich, 1997. Growth of Acer saccharum
I: Regional Reviews. Washington: Island Press. seedlings in deeply shaded understories of northern Wisconsin:
Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (ed.). 2001. A Guide to Mangroves of effects of nitrogen and water. Canadian Journal of Forest Research
Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and 27: 237-247.
Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science Whitmore, T.C. 1985. Tropical Rain Forests of the Far East. Oxford:
Centre. Clarendon.
Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. 3rd Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S. Afiff. 2000. Ecology of Java and
edition. New York: Harper Collins College Publishers. Bali. Singapore: Periplus.
Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. 3rd ed. Philadelphia: W.B.
Saunders.

Lampiran xxx. Penampakan fisiografi dan fisiognomi setiap lokasi penelitian.

Gambar xxx. Wulan Gambar xxx. Sigrogol

Gambar xxx. Serang Gambar xxx. Bulak


59

Gambar xxx. Telukawur Gambar xxx. Tayu

Gambar xxx. Juwana Gambar xxx. Pecangakan

Gambar xxx. Pasar Banggi Gambar xxx. Lasem

Gambar xxx. Bogowonto Gambar xxx. Cakrayasan


60

Gambar xxx. Lukulo Gambar xxx. Cingcinggguling

Gambar xxx. Ijo Gambar xxx. Bengawan

Gambar xxx. Serayu Gambar xxx. Tritih

Gambar xxx. Motean Gambar xxx. Muara Dua


61

Keanekaragaman Isozim Sonneratia alba

ABSTRACT keanekaragaman tumbuhan mangrove yang berbeda-


beda, baik pada tingkat genetik, spesies, maupun
The study was intended to observe the diversity and the ekosistem.
relationship of Sonneratia alba in southern and northern coast of Pada saat ini ekosistem mangrove di Jawa Tengah
Central Java Province based on isozymic patterns of esterase umumnya terpisah-pisah dalam kelompok-kelompok
and peroxidase. This research was conducted in July until kecil dan terisolasi. Populasi demikian peka terhadap
December 2003, at 6 sites, i.e. Wulan (WUL), Juwana (JUW), gangguan lingkungan (Shields, 1993; Caro, dan
Pasar Bangi (PAS), in the northern coast, and Bogowonto
(BOG), Motean (MOT), and Muara Dua (MUA) in the southern
Laurenson, 1994; Caughley, 1994). Degradasi dan
coast. The laboratory assay was conducted in Central fragmentasi habitat merupakan penyebab utama
Laboratory of Mathematics and Natural Sciences, Sebelas kepunahan spesies (Falk, 1992), karena dapat
Maret University (UNS) Surakarta. The seedling plant samples mengurangi ukuran populasi dan menarik kedatangan
that were collected from 6 mangrove habitats had been spesies asing (Opdam dkk., 1994). Fragmentasi juga
transplanted in green house in the laboratory. There were 20 dapat mengubah interaksi antar populasi di dalam satu
individual samples each sites. The result indicated that the spesies, interaksi antar spesies, dan interaksi antara
individual of S. alba of the same or near location has the same spesies dengan lingkungan abiotik (Cooperrider, 1991;
genetic diversity in common, because the genetic change on a
same population was higher than on a different population.
Thompson, 1996), serta menaikkan inbreeding dan
Therefore, the populations of S. alba from northern coast had hanyutan genetik (Barrett dan Kohn, 1991; Ellstrand dan
higher similarity each others than southern coast one, on the Elam, 1993; Young dkk., 1996). Keanekaragaman
other way the populations from southern coast had higher genetik terkait dengan tingkat isolasi dan fragmentasi
similarity each others than northern coast one. habitat (Treuren dkk., 1991; Godt dan Hamrick, 1993).
Seleksi alam dapat menyebabkan terjadinya diferensiasi
Key words: Sonneratia alba, isozyme, esterase, peroxidase, isozim di antara populasi (Aitken dan Libby, 1994), yang
Central Java. juga mempengaruhi sifat morfologi (Antonovics, 1971).
Perbedaan genetik mencerminkan hubungan
kekerabatan antara tumbuhan yang merupakan sinergi
PENDAHULUAN keseimbangan aliran gen, hanyutan genetik, dan seleksi
alam (Max dkk., 1999). Keanekaragaman dan distribusi
Habitat mangrove di pantai utara dan pantai selatan tumbuhan dipengaruhi oleh asal-usul, sejarah populasi,
Jawa Tengah telah mengalami isolasi geografi dalam evolusi, dan faktor-faktor lingkungan seperti distribusi
jangka panjang. Perpindahan propagul maupun materi geografi (biogeografi), ekologi reproduksi dan cara
genetik lain (serbuk sari) secara alamiah dari pantai dispersal (Armbruster dan Schwaegerle, 1996; Purps
selatan ke utara atau sebaliknya hampir tidak mungkin dan Kadereit, 1998).
terjadi karena adanya barier alam, yakni tanah Jawa. Di Salah satu tumbuhan mangrove yang
pantai selatan sendiri perpindahan propagul dari satu penyebarannya sangat luas adalah Sonneratia alba. Di
muara sungai ke muara sungai lainnya juga sulit terjadi Jawa terdapat pula S. ovata, dan S. caseolaris sebagai
mengingat besarnya ombak Laut Selatan, sedangkan di kerabat dekatnya (Backer dan Bakhuizen van den Brink,
pantai utara perpindahan propagul antar pantai lebih 1968; Whitten dkk., 2000). Ketiganya dapat melakukan
mudah karena lemahnya ombak Laut Jawa. Ekosistem hibridisasi dan menghasilkan keturunan fertil, sehingga
mangrove di pantai utara dan pantai selatan Jawa sering menyulitkan identifikasi secara morfologi; hal ini
Tengah memiliki kondisi lingkungan yang berbeda, di menarik untuk diteliti (Tomlison, 1986). Hibridisasi alami
samping itu kawasan ini berbatasan langsung dengan sering terjadi pada banyak kelompok tumbuhan bunga
area tempat aktivitas masyarakat, maka diperkirakan (Angiospermae) (Knobloch, 1972; Ellstrand dkk., 1996).
kondisi mangrove juga dipengaruhi oleh kegiatan Hibridisasi merupakan masalah yang cukup
manusia di samping kondisi lingkungan non biotik dan mengganggu pada konsep jenis berdasarkan isolasi
biotik, sehingga dimungkinkan setiap lokasi memiliki reproduktif, dan dapat mengaburkan pembedaan di

Publikasi asli: Setyawan, A.D., K. Winarno, Indrowuryatno, Wiryanto, dan Suranto. 2008. Keanekaragaman Sonneratia alba di
Pesisir Pantai Jawa Tengah Berdasarkan Pola Pita Isozim Esterase dan Peroksidase. (tidak dipublikasikan).
62

antara unit-unit ekologi (Mayr, 1992; Gornall, 1997). Murphy dan Phillips, 1993). Isozim diproduksi dalam
Perbedaan morfologi yang umum digunakan untuk sitosol, organel, atau pada keduanya; umumnya berasal
membedakan ketiga spesies Sonneratia adalah bunga, dari bagian vegetatif (Weeden dan Wendel, 1989). Istilah
buah, daun, dan batang. Bunga S. caseolaris, yakni isozim atau isoenzim pertama kali diperkenalkan oleh
petala dan tangkai sari hampir sepenuhnya berwarna Market dan Moller (1959, dalam Acquaah, 1992). Isozim
merah, sedangkan pada S. alba petala dan tangkai sari dapat dipisahkan dengan metode elektroforesis pada gel
hampir sepenuhnya berwarna putih, meskipun bagian pati atau gel poliakrilamid, hasilnya berupa zimogram
pangkalnya kadang-kadang berwarna merah, pada S. pola pita yang diperoleh setelah dilakukan pewarnaan
ovata petala dan tangkai sari sepenuhnya berwarna histokimia. Zimogram hasil elektroforesis bercorak khas
putih (Backer dan Bakhuizen van den Brink, 1968; Ng sehingga dapat digunakan sebagai ciri untuk
dan Sivasothi, 2001). Buah S. caseolaris, umumnya pipih mencerminkan perbedaan genetik (Indriani dkk., 2002).
dengan arah bukaan kelopak mendatar dan dasar buah Metode ini sangat berguna untuk studi tingkatan taksa
tidak menonjol, sedangkan buah S. alba umumnya yang rendah, seperti spesies, subspesies, dan populasi
membulat dengan dasar buah menonjol dan kelopak (Crawford, 1983, 1989; Riesenberg dkk., 1988; Brown,
membalik, pada S. ovata buah membulat dengan dasar 1990), termasuk identifikasi varietas dan hibridanya
buah tidak menonjol dan kelopak menutupi buah (Pierce dan Brewbaker, 1973; Beer dkk., 1993; Murphy
(Whitten dkk., 2000). Daun S. alba umumnya bulat dan Phillips, 1993), sehingga sangat penting dalam
dengan ujung melekuk ke dalam, sedangkan daun S. kajian biologi populasi tumbuhan (Tanksely, 1983;
ovata bulat dengan ujung membulat, adapun daun S. Wendel dan Weeden, 1989; Comps dkk, 2001).
caseolaris umumnya lebih pipih dengan ujung Isozim biasanya diatur oleh gen tunggal dan bersifat
meruncing, namun keanekaragaman bentuk daun dapat kodominan dalam pewarisan sifat (Arulsekar dan Parfitt,
pula ditemukan pada S. alba (Tomlison, 1986). Bentuk 1986). Isozim dapat mendeteksi tiga kondisi genetik dan
batang S. alba biasanya lebih kuat, besar, dan tegak biokimia yang berbeda, yaitu: (i) allel ganda pada lokus
dengan kulit kayu lebih halus dan lebih putih tunggal, (ii) allel tunggal atau ganda pada lokus ganda
dibandingkan kedua spesies lainnya (Ng dan Sivasothi, dan (iii) isozim sekunder (Rothe, 1994; Micales dan
2001). Bonde, 1995). Pita-pita ini dikode oleh lebih dari satu
Di Jawa Tengah, S. alba mampu tumbuh pada lokus gen struktural, apabila dikode allel yang segregasi
habitat reliks mangrove, yang spesies lain tidak tumbuh, pada lokus tunggal disebut allozim (Brown, 1990). Allel
khususnya di pantai selatan yang berpasir, sehingga adalah unit keanekaragaman genetik, sebagaiman jenis
berpotensi untuk restorasi (rehabilitasi) (Setyawan dkk., adalah unit keanekaragaman ekologi (Butlin dan
2002). Kegagalan eksperimen penanaman S. alba Tregenza, 1998). Isozim banyak digunakan karena
dengan bibit dari Segara Anakan Cilacap ke muara metodenya mudah, murah, cepat, polimorfisme diperoleh
Sungai Bogowonto oleh Djohan pada tahun 1997, dari molekul tunggal (Auler dkk., 2002). Menurut Suranto
diperkirakan akibat penggenangan, sedangkan bibit lokal (1991), penggunaan data isozim untuk studi populasi
yang tumbuh secara alami tetap dapat bertahan (Tjut lebih baik menggunakan beberapa enzim dari pada
Sugandawaty Djohan, 2001, komunikasi pribadi). Hal ini hanya satu.
menunjukkan adanya keanekaragaman genetik, sebagai Penelitian ini bertujuan mengetahui keanekaragaman
tanggapan terhadap kondisi lingkungan, meskipun bukti dan kekerabatan populasi Sonneratia alba di pantai utara
morfologi sulit digunakan untuk membedakannya. Di dan pantai selatan Jawa Tengah berdasarkan pola pita
musim kemarau muara Sungai Bogowonto mengalami isozim esterase (EST) dan peroksidase (PER, PRX).
penggenangan sekitar 4-6 minggu, karena terbentuknya
gumuk/tanggul pasir yang membendung muara sungai.
Bendungan ini akan jebol dengan sendirinya pada BAHAN DAN METODE
musim hujan, ketika volume air melimpah. Tumbuhan S.
alba di atas dapat bertahan selama dua tahun hingga
Waktu dan lokasi penelitian
tahun 1999. pada tahun 1997-1998 tidak terjadi
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli s.d.
genangan yang cukup berarti karena rendahnya curah
Desember 2003. Penelitian lapangan dilakukan pada
hujan dan debit air sungai, namun pada musim kemarau
enam lokasi. Tiga lokasi terletak di pantai utara Jawa
tahun 1999, terjadi lagi genangan selama enam minggu
Tengah, yaitu Wulan (WUL), Juwana (JUW), Pasar
sebagaimana tahun-tahun normal sebelumnya, sehingga
Banggi (PAS), dan tiga lokasi sisanya di pantai selatan
hampir semua populasi S. alba dari Segara Anakan
Jawa Tengah, yaitu Bogowonto (BOG), Motean (MOT),
Cilacap terendam dan mati. Menurut McPhaden (1999),
dan Muara Dua (MUA). Pemilihan keenam lokasi
badai El Nino South Oscillation (ENSO) pada tahun,
tersebut didasarkan pada ketersediaan bibit S. alba.
1997-1998 merupakan yang terbesar sepanjang sejarah,
o Berdasarkan survei pendahuluan pada bulan Maret s.d.
suhu permukaan laut naik sebesar 1-4 C serta
Mei, 2002, serta Oktober s.d. Nopember, 2002 setiap
menimbulkan kekeringan dan kebakaran hebat,
lokasi tersebut sekurang-kurangnya memiliki 20 individu
termasuk di Indonesia.
S. alba. Penelitian laboratorium dilakukan di Sub-Lab
Keanekaragaman genetik pada suatu populasi dapat
Biologi, Laboratorium Pusat MIPA Universitas Sebelas
ditelusuri menggunakan penanda genetik yang
Maret (UNS) Surakarta. Penanaman sampel tumbuhan
didasarkan pada separasi elektroforesis protein/isozim
dilakukan pada fasilitas rumah kaca di laboratorium
dan DNA (McDonald dan McDermont, 1993). Data
tersebut.
isozim dan DNA sangat berguna apabila sifat pembeda
morfologi tumpang tindih (Karp dkk., 1996). Isozim
adalah enzim-enzim yang memiliki molekul aktif dan Cara kerja
struktur kimia yang berbeda tetapi mengkatalis reaksi Penelitian ini dimulai dengan koleksi bibit S. alba
kimia yang sama (Tanksely, 1983; Beer dkk., 1993; yang selanjutnya ditanam di rumah kaca, dilanjutkan
63

dengan dengan prosedur elektroforesis yang mencakup ditambahkan iso-butanol jenuh. Setelah terbentuk
koleksi daun, pembuatan buffer, pembuatan larutan stok, gel yaitu kurang lebih 45 menit, iso-butanol jenuh
pembuatan gel, ekstraksi daun, pelaksanaan tersebut diserap dengan kertas tisu dan dibuang,
elektroforesis, dan pembuatan pewarna isozim (esterase lalu dibilas dengan air dan diserap kembali air yang
dan peroksidase). Prosedur elektroforesis merujuk pada tersisa dengan kertas tisu. Setelah itu disiapkan
Weeden dan Wendel (1989), Crawford (1990), dan bahan-bahan untuk pembuatan stacking gel.
Suranto (1991). • Stacking gel: 1,9 ml larutan "M", 1,15 ml larutan
Koleksi bibit dan penanaman di rumah kaca. Pada "N", 4,5 ml H2O, 5 μl TEMED, dan terakhir
enam lokasi yang telah ditentukan diambil 20 individu dicampurkan dengan 10 μl APS (baru) konsentrasi
bibit S. alba untuk diuji keanekaragaman pola isozimnya. 10%. Setelah stacking gel dituang di atas gel
Bibit ditanam di rumah kaca dengan komposisi tanah pemisah, sisir dipasang. Apabila telah terbentuk gel,
dari lingkungan mangrove asal dan humus (1 : 1), hingga sisir dilepas dari cetakan. Gel yang telah terbentuk
tumbuh tunas baru. dipindahkan ke clamping frame dan dimasukkan ke
Koleksi daun. Dipilih daun urutan ketiga dari ujung dalam buffer tank, diisi dengan running buffer
cabang yang pertumbuhannya optimum dengan sampai terendam.
penampilan, umur dan ukuran yang relatif seragam. Ekstraksi daun. Jaringan segar daun dimasukkan
Koleksi daun disimpan dalam lemari pendingin bersuhu dalam buffer ekstraksi, dengan perbandingan 1: 3 (w/v),
o
4 C. Daun dapat bertahan dalam penyimpanan selama- yakni 68 μg (0,068 g) sampel daun dilumatkan dalam
lamanya 14 hari, setelah itu isozim tidak aktif lagi. 204 μl (0,204 ml) buffer ekstraksi. Lalu digerus dalam
Sebaiknya daun digunakan selama-lamanya tujuh hari cawan porselen yang diletakkan di atas serpihan-
pasca pemotongan. Penyimpanan dalam bentuk ekstrak o
serpihan kristal es, agar tetap dingin (suhu 4 C). Sampel
daun pada lemari pendingin bersuhu 4oC dapat bertahan yang akan digunakan disentrifugasi dengan kecepatan
selama 30 hari. o
8500 rpm selama 20 menit pada suhu 4 C, lalu direndam
Pembuatan buffer. Buffer yang diperlukan meliputi dalam serutan kristal es. Supernatan yang terbentuk
tank buffer, buffer ekstraksi, dan running buffer. segera di masukkan dalam slot gel elektroforesis.
• Tank buffer. Tank buffer dibuat dengan melarutkan: Pelaksanaan elektroforesis. Supernatan sampel
asam boraks 14,4 g dan boraks 31,5 g, dalam daun diambil dengan menggunakan mikropipet sebanyak
akuades hingga mencapai volume 2 liter. 10 μl dan dengan ditambah loading dye dan dibantu
• Buffer ekstraksi sampel. Buffer sampel dibuat sample loading guide, sampel tersebut ditempatkan pada
dengan melarutkan 0,018 g sistein, 0,021 g asam gel yang telah tercetak. Lalu sampel dielektroforesis awal
askorbat, dan 5 g sukrosa (PA) dalam 20 ml boraks dengan menggunakan tegangan 200 volt, 60 mA selama
buffer pH 8,4. Perbandingan antara buffer ekstraksi 5 menit sampai sampel memasuki gel pemisah.
dengan sampel daun adalah 3: 1, dalam satuan μl Kemudian sampel dielektroforesis lanjutan dengan
buffer ekstraksi dan μg sampel daun. tegangan listrik konstan 150 V, 400 mA, selama 90-120
• Running buffer. Running buffer yang digunakan menit. Elekroforesis diakhiri apabila penanda warna
ialah TAE (Tris-Acetic-Acid EDTA) 50x yang bromfenol biru mencapai sekitar 56 mm dari slot ke arah
diencerkan sampai konsentrasi 1x. anoda. Setelah itu gel dipindah ke nampan plastik dan
Pembuatan larutan stok. Untuk menyiapkan gel diwarnai dengan enzim pewarna.
akrilamid, terlebih dahulu dibuat larutan stok yaitu: Pembuatan pewarna. Pola pita isozim dideteksi
larutan “L”, “M”, “N”, dan loading dye (penanda warna). menggunakan dua sistem enzim yaitu esterase dan
• Larutan "L": 27,2 g Tris dan 0,6 g SDS dilarutkan peroksidase. Adapun langkah pembuatannya sebagai
dalam 120 ml akuabides, diatur sampai pH 8,8 berikut:
dengan menambahkan HCl, lalu ditambahkan • Esterase. Sebanyak 0,0125 g α-naftil asetat
akuabides hingga volumenya 150 ml. dimasukkan dalam erlenmeyer dan dilarutkan
• Larutan "M": 9,08 g Tris dan 0,6 g SDS dilarutkan dengan 2,5 ml aseton, kemudian ditambahkan 50 ml
dalam 140 ml akuabides, diatur sampai pH 6,8-7,0 0,2 M buffer fosfat pH 6,5 dan 0,0125 g fast blue BB
dengan penambahan HCl, lalu ditambahkan salt. Gel yang telah dielektroforesis dimasukkan
akuabides hingga volumenya 150 ml. dalam larutan pewarna tersebut dan diinkubasi
• Larutan "N": 175,2 g akrilamid dan 4,8 g selama 10 menit sambil digoyang secara perlahan-
bisakrilamid dilarutkan dalam 400 ml akuabides dan lahan setiap 2 menit. Setelah pola pita muncul,
buat volumenya hingga 600 ml. pewarna dibuang dan dibilas dengan akuades. Gel
• Loading dye: 250 μl gliserol ditambah 50 μl direkam gambarnya dengan kamera atau scanner.
bromphenol blue dilarutkan dalam 200 μl akuades. • Peroksidase. Sebanyak 0,0125 g o-Dianisidine
Pembuatan gel. Penyiapan cetakan gel dimulai dimasukkan dalam erlenmeyer dan dilarutkan
dengan merangkai cetakan gel, yaitu cetakan kaca yang dengan 2,5 ml aseton, lalu ditambahkan 50 ml 0,2 M
dilengkapi spacer (pemisah) yang ditempatkan di buffer asetat pH 4,5 kemudian ditambahkan 2 tetes
belakang cetakan kaca yang berukuran lebih kecil. H2O2. Gel yang telah dielektroforesis direndam
Cetakan kaca tersebut dipasang pada casting frame, dalam larutan pewarna selama + 10 menit sambil
selanjutnya dipasang pada casting stand. Untuk digoyang perlahan-lahan setiap 2 menit. Setelah
membuat discontinuous gel 12,5%, bahan yang pola pita muncul, pewarna dibuang dan dibilas
dicampur ialah: dengan akuades. Gel direkam gambarnya dengan
• Gel pemisah: 3,15 ml larutan "L", 5,25 ml larutan kamera atau scanner.
"N", 4,15 ml H2O, 5 μl TEMED, dan terakhir
dicampurkan dengan 10 μl APS (baru) konsentrasi
10%. Gel pemisah dituang pada cetakan, lalu
64

A B C

Gambar xxx. Keanekaragaman bentuk morfologi daun S. alba. A. Wulan, B. Juwana, C. Segara Anakan (Motean dan Muara Dua).

Analisis data itu, secara morfologi, S. alba dan dua kerabat dekatnya
Tingkat kesamaan genetik S. alba dari keenam lokasi S. caseolaris dan S. ovata memiliki bentuk morfologi
penelitian ditentukan dengan indeks similaritas Jaccard, yang sangat mirip, dengan sifat-sifat yang tumpang tindih
berdasarkan hadir tidaknya pita isozim. Dendrogram sehingga sering merancukan dalam identifikasi. Adapun
hubungan kekerabatan dibuat dengan koefisien asosiasi, secara genetik (reproduksi) ketiga spesies ini dapat
adapun pengelompokannya dengan UPGMA berkawin dan menghasilkan keturunan yang fertil. Hal ini
(Unweighted Pair Group Method using Averages) tampaknya semakin menyulitkan identifikasi secara
(Sneath dan Sokal, 1973). morfologi tersebut, karena terbentuknya sifat-sifat antara.
Adapun secara ekologi, eksperimen penanaman bibit S.
alba yang berasal dari laguna Segara Anakan ke muara
HASIL DAN PEMBAHASAN Bogowonto, umumnya gagal beradaptasi dengan
genangan dan mati, sedangkan bibit lokal dari
Bogowonto sendiri dapat tumbuh dengan baik.
Hasil
Esterase dan peroksidase banyak digunakan dalam
Pengujian keanekaragaman genetik dengan isozim
studi keanekaragaman genetik tumbuhan karena
esterase secara keseluruhan memunculkan 9 pita, yaitu
penyebarannya yang sangat luas. Peroksidase
pada nilai Rf (retardantion factor) 0,04, 0,11, 0,16, 0,21,
merupakan enzim yang mengandung heme yang
0,29, 0,33, 0,37, 0,41, dan 0,45. Kesembilan pita
menggunakan hidrogen peroksida dalam oksidasi satu-
tersebut membentuk 12 variasi pola pita isozim
elektron dari substrat organik (Howes dkk., 1999).
(genotipe) (Gambar 3A), sedangkan isozim peroksidase
Peroksidase mempengaruhi berbagai proses fisiologi
memunculkan 6 pita, yaitu pada nilai Rf 0,09, 0,20, 0,29,
pada tumbuhan, seperti pertumbuhan sel, biosintesis
0,33, 0,37, dan 0,47. Keenam pita tersebut membentuk
lignin dan suberin, metabolisme auksin, daya tahan
11 variasi genotipe (Gambar 3B). Intepretasi pola pita
terhadap penyakit dan penyembuhan luka (Gross, 1977;
esterase disajikan pada Gambar 1, sedangkan
Gaspar, 1982; Espelie dkk., 1986; Kennedy dkk., 1996).
intepretasi pola pita peroksidase disajikan pada Gambar
Enzim esterase dan peroksidase cenderung tahan
2.
terhadap gel SDS-PAGE yang digunakan dalam
Dendrogram hubungan kekerabatan berdasarkan
elektroforesis. Enzim yang terurai oleh SDS dengan
pola pita esterase menunjukkan adanya 13 kelompok,
segera dapat kembali ke bentuk asli, sehingga
masing-masing mewakili genotipe yang berbeda.
aktivitasnya tetap dapat terdeteksi dalam elektroforesis
Kelompok ke-13 merupakan individu S. alba yang tidak
(Rothe, 1994).
memunculkan pita esterase; kecuali kelompok ke-13,
semua individu menyatu pada tingkat kesamaan 67%
(Gambar 4A). Adapun dendrogram hubungan Pola pita esterase
kekerabatan berdasarkan pola pita peroksidase Berdasarkan pola pita (genotipe) esterase, populasi
menunjukkan adanya 12 kelompok, masing-masing S. alba dengan keanekaragaman genetik tertinggi
mewakili genotipe yang berbeda. Kelompok ke-12 dijumpai pada sampel dari Motean (6 genotipe), disusul
merupakan kumpulan individu S. alba yang tidak Muara Dua dan Juwana (masing-masing 5), Wulan (4),
memunculkan pita peroksidase; kecuali kelompok ke-12, serta Pasar Banggi dan Bogowonto (masing-masing 3).
semua individu mengumpul pada tingkat kesamaan 66% Di samping itu, terdapat pula sampel yang tidak
(Gambar 4B). menunjukkan aktivitas pita isozim esterase, yaitu Pasar
Pemilihan populasi S. alba untuk mewakili spesies Banggi (3 individu) dan Bogowonto (1). Penyebaran
tumbuhan mangrove yang diuji keanekaragaman genotipe antar lokasi sangat bervariasi. Dalam penelitian
genetiknya, didasarkan kenyataan bahwa S. alba ini tidak ada genotipe yang dijumpai pada semua lokasi.
merupakan salah satu spesies yang paling luas Genotipe yang paling sering dijumpai adalah a dan c
penyebarannya, yakni ditemukan pada 15 lokasi dari 20 (masing-masing 5 lokasi), disusul genotipe f (4),
lokasi penelitian, dengan penyebaran yang relatif merata genotipe j (3), genotipe b dan g (masing-masing 2), serta
baik dipantai utara maupun selatan Jawa Tengah genotipe d, e, h, i, k, dan l (masing-masing 1).
(Setyawan dkk., 2005a), sehingga berpotensi untuk Genotipe a ditemukan pada semua lokasi kecuali di
restorasi ekosistem mangrove yang rusak. Di samping Bogowonto. Genotipe c dijumpai di semua lokasi kecuali
65

di Pasar Banggi. Genotipe f dijumpai di semua lokasi Kelompok V berisi dua individu dari Juwana. Kelompok
kecuali Wulan dan Bogowonto. Genotipe j dijumpai di VI berisi 16 individu dari Juwana, Pasar Banggi, Motean,
Bogowonto (10 individu), Motean (1) dan Muara Dua (5). dan Muara Dua. Kelompok VII berisi empat individu dari
Genotipe b dijumpai di Wulan (1) dan Motean (2). Juwana dan Motean. Kelompok VIII berisi tiga individu
Adapun genotipe-genotipe khas yang hanya dijumpai dari Juwana dan Motean. Kelompok IX berisi 10 individu
pada satu lokasi, sebagai berikut: genotipe d hanya dari Pasar Banggi. Kelompok X berisi 17 individu yang
dijumpai di Wulan (3), genotipe e hanya dijumpai di didominasi dari Juwana. Kelompok XI berisi dua individu
Juwana (1), genotipe i hanya dijumpai di Pasar Banggi dari Bogowonto. Kelompok XII berisi satu individu dari
(10), genotipe h hanya dijumpai di Juwana (2), genotipe Motean. Kelompok XIII berisi tiga individu dari Pasar
k hanya dijumpai di Bogowonto (2), dan genotipe l hanya Banggi (Gambar 4A).
dijumpai di Motean (1). Perhitungan indeks similaritas Jaccard menunjukkan
Adanya genotipe yang dijumpai pada banyak lokasi, bahwa kelompok I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, X menyatu
seperti genotipe a dan c (masing-masing 5 lokasi), serta pada nilai 0,89, artinya kelompok tersebut memiliki
genotipe f (4), menunjukkan adanya pembagian materi tingkat kesamaan genetik dengan isozim esterase
genetik tertentu secara merata pada S. alba. Hal ini hingga 89%. Kemudian gabungan kelompok tersebut
wajar mengingat mereka tergolong dalam spesies yang menyatu dengan kelompok XII pada nilai 0,78, artinya
sama. Menurut Wang dkk. (2000), pola isozim pada kelompok tersebut memiliki tingkat kesamaan genetik
kebanyakan sistem enzim tidak terpengaruh oleh hingga 78%. Di sis lain kelompok IX dan XI menyatu
perbedaan lingkungan dan banyak di antaranya yang pada nilai 0,78, artinya kelompok tersebut memiliki
secara ontogeni stabil. Adapun genotipe j yang hanya tingkat kesamaan genetik hingga 78%. Selanjutnya
dijumpai di pantai selatan saja, mengindikasikan masih kedua gabungan kelompok tersebut menyatu pada nilai
adanya pertukaran genetik antar lokasi yang relatif 0,67, artinya kelompok tersebut memiliki tingkat
berdekatan tersebut, meskipun terdapat ombak besar kesamaan genetik hingga 67%. Kelompok XIII berdiri
laut selatan.Sedangkan banyaknya genotipe yang hanya sendiri mengingat anggota-anggotanya tidak memiliki
dijumpai pada satu lokasi, Pasar Banggi, yakni enam pita esterase. Tingginya tingkat kesamaan genetik pada
genotipe (d, e, h, i, k, l) menunjukkan adanya variasi penelitian ini wajar, mengingat pada spesies yang sama
kondisi lingkungan lokal yang tinggi. Hal ini direspon umumnya memiliki tingkat keanekaragaman sekitar 60%
secara secara genetik dalam bentuk adaptasi terhadap atau lebih.
kondisi lokal. Salah satu penyebab sedikitnya Hasil di atas menunjukkan bahwa individu dari lokasi
keanekaragaman genetik dalam penelitian ini yang sama umumnya memiliki keanekaragaman genetik
kemungkinan karena ukuran populasi S. alba yang yang cenderung sama pula, sebagaimana tampak pada
tersisa pada setiap lokasi relatif kecil. Menurut Sokal dan kelompok IV, V, IX, XI, dan XIII. Hal ini wajar mengingat
Oden (1978), pada populasi kecil dengan luas area pertukaran genetik di dalam satu populasi umumnya
terbatas maka akan terjadi peningkatan inbreeding dan lebih intensif dari pada dengan populasi lain. Meskipun
penurunan arus gen, namun di sisi lain tingkat demikian pada setiap lokasi umumnya terdapat lebih dari
diferensiasi melalui seleksi atau hanyutan genetik lebih satu komposisi genotipe, bahkan terdapat genotipe yang
tinggi sebagai respon terhadap kondisi lokal. Menurut penyebarannya sangat luas, misalnya pada kelompok I,
Fitzpatrick (2002) isolasi dapat meningkatkan keragaman III, dan VI.
genetik di antara populasi. Kelompok I yang anggotanya berasal dari lokasi yang
Terbatasnya luasan habitat menyebabkan populasi relatif lebih beragam dibandingkan kelompok-kelompok
yang tumbuh relatif kecil, sehingga lebih retan terhadap lainnya menunjukkan bahwa di antara populasi S. alba
perubahan lingkungan (Menges, 1991; Holsinger, 2000). terdapat individu-individu dengan komposisi genetik
Di samping itu terbatasnya ukuran populasi dapat sama yang tersebar secara luas. Hal ini terjadi karena
mengurangi keberhasilan penyerbukan (Groom, 1998; mereka masih satu spesies, sehingga cenderung berbagi
Richards dkk, 1999; Lennartsson, 2002). Bibit dari sifat-sifat yang sama. Meskipun demikian terdapat pula
populasi yang ukurannya kecil mengalami penurunan individu-individu yang penyebarannya terbatas, seperti
kemampuan perkecambahan dan ketahanan hidup kelompok IV, V, IX, XI, XII, dan XIII. Individu demikian
(Newman dan Pilson, 1997). Dalam jangka panjang boleh jadi terbentuk sebagai hasil adaptasi terhadap
kelestarian populasi ini dapat terancam karena lingkungan setempat. Keunikan genetik ini sangat
menurunkannya kualitas habitat akibatnya tekanan diperlukan dalam proses evolusi untuk menjaga
manusia dan penurunan kesuburan tanah (Kleijn dan keanekaragaman genetik di dalam populasi. Individu
Verbeek, 2000; Garbutt dan Sparks, 2002; Blomqvist dengan komposisi genetik yang khusus ini dibutuhkan
dkk., 2003). oleh makhluk hidup untuk bertahan terhadap perubahan
Dendrogram hubungan kekerabatan berdasarkan lingkungan (adaptasi).
pola pita esterase, menyatukan ke 120 individu S. alba Tidak terdeteksinya pita isozim esterase pada
dari enam lokasi dalam 13 kelompok, dimana kelompok kelompok XIII juga membuktikan adanya keunikan
XIII merupakan kelompok spesies yang tidak genetik, terdapat individu-individu yang dapat bertahan
memberikan pita dengan pewarnaan esterase. Kelompok hidup tanpa mensintesis enzim esterase, meskipun
I terdiri dari 38 individu yang didominasi dari Wulan, enzim ini sangat luas penyebarannya dan diperlukan
Juwana, Motean, dan Muara Dua dengan komposisi dalam metabolisme tubuh seperti dalam degradasi
yang seimbang. Kelompok II terdiri dari lima individu dari lemak. Namun tidak menutup kemungkinan, ketidak-
Wulan, Motean, dan Muara Dua. Kelompok III terdiri dari munculan pita ini disebabkan oleh kekurangsempurnaan
16 individu yang didominasi dari Bogowonto dan Moara pelaksanaan teknik laboratorium.
Dua. Kelompok IV terdiri dari tiga individu dari Wulan.
66

A B C

D E F

Gambar 1. Pita isozim esterase S. alba dari pantai utara dan selatan Jawa Tengah. Keterangan: A = Wulan (WUL), B = Juwana
(JUW), C = Pasar Banggi (PAS), D = Bogowonto (BOG), E = Motean (MOT), F = Muara Dua (MUA).

A B C

D E F

Gambar 2. Pita isozim peroksidase S. alba dari pantai utara dan selatan Jawa Tengah. Keterangan: A = Wulan (WUL), B = Juwana
(JUW), C = Pasar Banggi (PAS), D = Bogowonto (BOG), E = Motean (MOT), F = Muara Dua (MUA).

A B

Gambar 3. Variasi genotipe S. alba di pantai utara dan selatan Jawa Tengah: A. berdasarkan pita isozim esterase; B. berdasarkan
pita isozim peroksidase.
67

A B

Gambar 4. Dendrogram hubungan kekerabatan S. alba dari pantai utara dan selatan Jawa Tengah: A. berdasarkan pita isozim
esterase; B. berdasarkan pita isozim peroksidase. Keterangan: WUL = Wulan, JUW = Juwana, PAS = Pasar Banggi, BOG =
Bogowonto, MOT = Motehan, MUA = Muara Dua. Pada kelompok VII = pita isozim tidak muncul.

Pola pita peroksidase dan Juwana (9). Genotipe c ditemukan pada dua lokasi,
Berdasarkan pola pita (genotipe) peroksidase, yaitu Wulan (2) dan Juwana (3). Adapun genotipe khas,
populasi S. alba dengan keanekaragaman genetik yakni genotipe yang hanya dijumpai pada satu lokasi,
tertinggi dijumpai pada sampel dari Pasar Banggi (8 dalam penelitian ini hanya terdapat di Pasar Banggi,
genotipe). Pada lokasi lain hanya dijumpai 3 genotipe yaitu: genotipe d, f, g, h, i, j secara berturut-turut
(Wulan dan Juwana) atau hanya 2 genotipe (Bogowonto, masing-masing sebanyak 1, 1, 3, 1, 2, 2 individu.
Motean, dan Muara Dua). Di samping itu, terdapat pula Dalam penelitian ini, genotipe dari pantai utara
sampel yang tidak menunjukkan aktivitas pita isozim umumnya memiliki kemiripan dengan sesama mereka,
peroksidase, yaitu Pasar Banggi dan Bogowonto demikian pula genotipe dari pantai selatan umumnya
(masing-masing 1 individu). Penyebaran genotipe antar memiliki kemiripan dengan sesamanya, kecuali
lokasi sangat bervariasi. Dalam penelitian ini tidak beberapa genotipe dari Pasar Banggi yang dapat
terdapat genotipe yang dijumpai pada semua lokasi. dijumpai di pantai selatan dan utara. Genotipe a, b, c
Genotipe e dan k ditemukan pada empat lokasi yang hanya dijumpai di pantai utara baik pada dua atau tiga
sama, yaitu Pasar Banggi (masing-masing 1 dan 2 lokasi. Sebaliknya genotipe e dan k hanya ditemukan
individu), Bogowonto (11, 8), Motean (16, 4) dan Muara pada ketiga lokasi di pantai selatan, kecuali sejumlah
Dua (13, 7). Genotipe b ditemukan pada tiga lokasi, yaitu kecil di Pasar Banggi, masing-masing secara berturut-
Wulan (8 individu), Juwana (11), dan Pasar Banggi (4). turut diwakili 1 dan 2 individu. Hal ini menunjukkan
Genotipe a ditemukan pada dua lokasi, yaitu Wulan (14) intensitas pertukaran materi genetik (propagul) antar
68

sesama populasi dari pantai utara, dan antar sesama kelompok, misalnya sejumlah kecil individu dari pantai
populasi dari pantai selatan relatif tinggi, sebaliknya utara yang menyatu dengan kelompok V dan XI yang
pertukaran genetik antara populasi dari pantai utara didominasi oleh individu-individu dari pantai selatan. Hal
dengan pantai selatan relatif terbatas. Hal ini merupakan ini menunjukkan bahwa individu-individu S. alba masih
keniscayaan akibat adanya barier alam yang berbagi kesamaan sifat genotipe meskipun lokasi
menyebabkan isolasi geografi. tumbuhnya berjauhan. Hal ini wajar mengingat mereka
Tingginya genotipe khas di Pasar Banggi (6 masih tergolong dalam satu spesies. Pada pola pita
genotipe), kemungkinan disebabkan lokasi tersebut isozim peroksidase ini, keunikan genetik disumbangkan
terletak di bagian paling timur habitat mangrove di pantai oleh kelompok IV, VI, dan VII yang masing-masing
utara Jawa, sebelum berhubungan dengan habitat hanya beranggotakan satu individu, serta kelompok IX,
mangrove di delta Bengawan Solo yang dipisahkan oleh X, dan XIII yang masing-masing hanya beranggotakan
pantai karst Tuban, Lamongan, dan Gresik yang cukup dua individu.
panjang, sehingga menjadi penerima pertama propagul Kenyataan bahwa eksperimen penanaman bibit S.
dari arah timur, di samping itu sebagai lokasi yang alba dari Segara Anakan ke Bogowonto yang menemui
dikelola tidak tertutup kemungkinan adanya penanaman kegagalan, tidak berhasil dideteksi dalam penelitian ini.
secara sengaja S. alba dari lokasi lain dengan materi Hal ini kemungkinan disebabkan gen-gen yang
genetik yang berbeda, serta adanya kemungkinan menyandi pertahanan individu terhadap genangan,
terjadinya hibridisasi dengan kerabat dekatnya S. secara metabolisme kurang atau tidak terkait dengan
caseolaris dan S. ovata. Dalam penelitian ini, di Pasar sintesis enzim esterase maupun peroksidase, sehingga
Banggi selain S. alba terdapat pula S. caseolaris, dengan kedua enzim ini sulit dibedakan adanya
sedangkan di Lasem yang terletak tidak jauh di sebelah perbedaan komposisi genetik yang cukup antara spesies
timurnya ditemukan S. ovata, satu-satunya sampel yang dari Segara Anakan dengan Bogowonto. Pada pengujian
tercatat dari 20 lokasi di pantai utara dan selatan Jawa dengan isozim esterase terbukti bahwa individu-individu
Tengah (Setyawan dkk., 2005a). dari Bogowonto umumnya bergabung dengan individu-
Pengujian dengan isozim peroksidase menunjukkan individu dari Motean dan Muara Dua (Segara Anakan),
adanya 12 kelompok, kelompok XII berisi dua individu sebagaimana tampak pada kelompok III dan X. Begitu
yang tidak menghasilkan pola pita isozim peroksidase. pula pada pengujian dengan isozim peroksidase,
Kelompok I berisi 16 individu dari Wulan dan Juwana. individu-individu dari Bogowonto umumnya bergabung
Kelompok II berisi 23 individu dari Wulan, Juwana, dan dengan individu-individu dari Motean dan Muara Dua,
Pasar Banggi. Kelompok III berisi 6 individu dari Wulan sebagaimana tampak pada kelompok V dan XI. Hal ini
dan Juwana. Kelompok IV berisi satu individu dari Pasar mengindikasikan masih adanya pertukaran sumberdaya
Banggi. Kelompok V berisi 41 individu yang umumnya genetik antar kedua lokasi tersebut, mengingat masih
berasal dari pantai selatan, yaitu Bogowonto, Motean, terletak di garis pantai yang sama meskipun terdapat
dan Muara Dua. Kelompok VI berisi satu individu dari gelombang ombak yang cukup besar.
Pasar Banggi. Kelompok VII berisi lima individu dari
Pasar Banggi. Kelompok VIII berisi satu individu dari
Pasar Banggi. Kelompok IX berisi dua individu dari Pasar STRUKTUR GENETIK DAN RESTORASI HABITAT
Banggi. Kelompok X berisi dua individu dari Pasar
Banggi. Kelompok XI berisi 21 individu, terutama dari
Struktur genetik populasi
Bogowonto, Motean, dan Muara Dua. Kelompok XII
Dalam penelitian ini, tampak bahwa S. alba memiliki
berisi dua individu dari Pasar Banggi dan Bogowonto
keanekaragaman genetik, baik dikaji berdasarkan isozim
(Gambar 4B).
esterase maupun peroksidase. Dalam hipotesis
Perhitungan indeks similaritas Jaccard menunjukkan
biodiversitas alfa dinyatakan bahwa keanekaragaman
bahwa kelompok I, II, III, IV, V, VI, VII, IX, dan X menyatu
yang tinggi akan menyebabkan terjadinya kestabilan
pada nilai 0,83, artinya kelompok tersebut memiliki
ekosistem, karena produktivitas dan penyimpanan
tingkat kesamaan genetik dengan isozim peroksidase
nutriennya tinggi (Tilman, 1999). Populasi dengan
hingga 83%. Di sis lain kelompok VIII dan XI secara
keanekaragaman genetik tinggi dapat lebih
terpisah menyatu pula pada nilai 0,83, artinya kelompok
mempengaruhi ekosistem (Heywood, 1995). Di pantai
tersebut memiliki tingkat kesamaan genetik hingga 83%.
selatan dan utara Sonneratia spp. bersama dengan
Selanjutnya keduanya bergabung pada nilai 0,66, artinya
Avicennia spp., dan Rhizophora spp. selalu memiliki nilai
kelompok tersebut memiliki tingkat kesamaan genetik
penting tertinggi (Setyawan dkk., 2005b). Faktor utama
hingga 66%. Kelompok XII berdiri sendiri mengingat
yang mempengaruhi keanekaragaman tumbuhan adalah
anggota-anggotanya tidak memiliki pita peroksidase.
sebaran geografi (32%), bentuk hidup (25%), dan sistem
Sama halnya dengan isozim esterase, pada
perkawinan (17%) (Hamrick dkk, (1979; 1991). Hal ini
dendrogram hubungan kekerabatan berdasarkan pola
teramati dari perbedaan keragaman genetik pada
pita peroksidase ini individu-individu dari lokasi yang
individu yang tumbuh di pantai utara dan selatan, yaitu
sama atau lokasi yang berdekatan cenderung memiliki
sesama spesimen dari pantai utara umumnya memiliki
komposisi genetik yang serupa, sebagaimana kelompok
keseragaman yang lebih tinggi dibandingkan spesimen
I, II, dan III yang didominasi oleh individu-individu dari
dari pantai selatan, begitu pula sebaliknya. Kemampuan
pantai utara, serta kelompok V dan XI didominasi oleh
dispersal merupakan salah satu karakteristik utama
individu-individu dari pantai selatan. Hal ini wajar
untuk merespon fragmentasi habitat (Bawa dkk., 1991;
mengingat populasi dari lokasi yang sama atau
Vankat dkk., 1991; Fore dkk., 1992). Dispersal
bertetangga memiliki kemungkinan bertukar materi
merupakan proses utama yang mempengaruhi ekologi,
genetik secara lebih intensif.
genetika, dan distribusi geografi spesies (Van der Pijl,
Meskipun demikian terdapat pula sejumlah individu
1969; Sauer, 1988; Dingle, 1996). Kondisi gelombang
dari lokasi yang berjauhan, namun menyatu dalam satu
69

laut pantai pantai utara yang relatif tenang menyebabkan penentuan strategi pembibitan, serta manajemen dan
pertukaran sumberdaya genetik antar habitat mangrove konservasi genetik (Auler dkk., 2002). Pada populasi
yang bersebelahan relatif lebih tinggi dari pada di pantai yang direstorasi, ketahanan jangka panjang dapat
selatan. ditentukan melalui pemilihan benih lokal atau non lokal,
Kecenderungan terjadinya keragaman genetik S. sumber tungga atau banyak, varietas alami atau
alba, boleh jadi akibat tingginya fragmentasi habitat dibudidayakan, serta daya adaptasi dan daya kompetisi
dimana ekosistem mangrove terpisah-pisah dalam bibit pada lingkungan baru. Perkawinan antara sesama
kelompok-kelompok kecil. Salah satu bentuk perubahan individu dari lokasi yang sama dapat menurunkan daya
lanskap alami oleh aktivitas manusia adalah fragmentasi tahan karena tekanan inbreeding, sebaliknya perkawinan
habitat utuh menjadi beberapa kelompok kecil, silang antar populasi yang berbeda dapat menurunkan
terpencar-pencar, dan terisolasi (Barrett dan Kohn, 1991; daya tahan karena tekanan outbreeding (Fenster dan
Fenster dan Dudash, 1994; Fore dan Guttman, 1996, Dudash, 1994; Gustafson dkk, 2001). Pemahaman yang
1999). Hilangnya habitat alami akibat aktivitas manusia lebih baik mengenai interaksi antar daya tahan,
merupakan faktor utama yang menyebabkan kepunahan persamaan dan keanekaragaman genetik, serta daya
spesies (Sih dkk., 2000). Fragmentasi menyebabkan saing suatu spesies tumbuhan akan bermanfaat untuk
jarak di antara populasi semakin jauh, sehingga memelihara ekosistem yang masih ada dan merestorasi
menghambat migrasi antar populasi tetangga, dan ekosistem yang terganggu (Gustafson dkk., 2002).
meningkatkan terjadinya isolasi (Fahrig dan Merriam, Perbedaan daya saing antar populasi dapat
1994). mempengaruhi struktur genetik populasi (Aarssen dan
Fragmentasi dan isolasi geografi habitat S. alba di Turkington. 1985; Turkington, 1994). Dalam proyek
pantai utara dan selatan menyebakan meningkatnya restorasi sebaiknya bibit tumbuhan yang digunakan
keseragaman genetik dalam setiap fragmen habitat, berasal dari lingkungan yang serupa dengan kondisi
sebaliknya meningkatkan keragaman genetik antara habitat yang direstorasi, karena bibit introduksi dengan
fragmen. Hal ini terjadi karena keterbatasan arus gen daya kompetisi yang lebih kuat dapat mendesak sisa-
dari luar populasi dapat meningkatkan diferensiasi sisa tumbuhan asli (Etterson dan Shaw, 2001). Apabila
genetik antar populasi (Dickinson dan Antonovics, 1973; populasi bibit introduksi dan bibit asli berbeda secara
Fore dan Guttman, 1992; Rhodes dan Chesser, 1994; genetik, maka dapat terjadi tekanan outbreeding yang
Husband dan Barrett, 1996). Diferensiasi genetik antar mempengaruhi keberhasilan restorasi. Populasi
populasi menurunkan kemungkinan restorasi kemungkinan memerlukan waktu beberapa generasi
keanekaragaman genetik secara alami dari populasi di untuk menyembuhkan diri akibat perkawinan silang
sekitarnya (Ellstrand, 1992; Newman dan Tallmon, 2001; tersebut (Emlen, 1991). Namun pada spesies langka
Hewitt dan Kellman, 2002). Keragaman genetik sangat sering diperlukan tekanan outbreeding untuk konservasi
penting untuk ketahanan spesies dalam jangka panjang, dan restorasi populasi tersebut (Gerard dkk, 1995;
karena mempengaruhi kemampuan spesies dalam Byers, 1998). Tekanan outbreeding yang menyebabkan
beradaptasi terhadap perubahan lingkungan (e.g. perkawinan silang sangat mungkin terjadi apabila dua
Westemeier dkk, 1998; Knapp dan Connors, 1999; Keller populasi dari lokasi berbeda disatukan (Montalvo dan
dan Waller, 2002). Oleh karena itu restorasi suatu habitat Ellstrand, 2001).
mangrove seringkali memerlukan bibit lokal, introduksi Pemilihan S. alba dalam program restorasi mangrove
bibit baru dari lokasi lain kadang-kadang gagal tumbuh perlu dilakukan secara hati-hati, agar tarik menarik
meskipun dari jenis yang sama. antara tekanan inbreeding dan outbreeding tidak
menghasilkan resultan negatif, mengingat adanya
Restorasi dan struktur genetik populasi keanekaragaman genetik pada populasi ini. Pemilihan
Struktur genetik di dalam dan di antara populasi eksplan dari lokasi setempat dapat menyebabkan
penting dalam restorasi ekosistem yang rusak (Brown, tekanan inbreeding akibat perkawinan sedarah. Hal ini
1989; Ceska dkk., 1997). Ketiadaan pengetahuan dapat menyebabkan homogenitas populasi sangat tinggi
struktur genetik populasi asli sebelum disturbansi sehingga daya adaptasi terhadap perubahan lingkungan
merupakan masalah serius dalam restorasi ekosistem, menurun, di sisi lain homogenitas yang tinggi tersebut
serta untuk memelihara keanekaragaman dan merupakan bentuk adaptasi spesifik terhadap kondisi
mengurangi perubahan genetik pasca disturbansi lingkungan selama ini. Pemilihan eksplan dari lokasi lain
(Young dkk., 1996; Fore dan Guttman, 1999). Prakiraan dapat menyebabkan tekanan outbreeding akibat
keanekaragaman genetik dapat dimasukkan dalam perkawinan silang, sehingga dapat menyebabkan
rancangan manajemen restorasi, misalnya dalam berubahnya struktur genetik populasi tersebut. Hal ini
pemilihan bibit untuk meningkatkan keberhasilan diperlukan untuk menyuplai gen baru sehingga eksplan
restorasi (Hamrick dan Godt. 1989; Brown dan Briggs, dapat beradaptasi terhadap perubahan lingkungan,
1991; Holsinger dan Gottlieb, 1991). Keberhasilan namun di sisi lain perubahan struktur genetik ini dapat
restorasi ekosistem mangrove di pesisir utara Rembang menyebabkan kegagalan untuk beradaptasi terhadap
tampaknya oleh pemilihan bibit lokal sebagai sumber kondisi lingkungan lokal selama ini.
eksplan (Setyawan dan Winarno, 2006).
Faktor-faktor yang mempengaruhi keanekaragaman Manajemen konservasi
pada tingkat ekologi juga mempengaruhi Pengetahuan tentang struktur genetik S. alba
keanekaragaman genetik pada tingkat molekular, diperlukan dalam program restorasi mangrove dan
misalnya: fragmentasi, penyiangan, dekomposisi nutrien, konservasi tumbuhan ini, yaitu (i) mengidentifikasi dan
peracunan tanah, perubahan temperatur global, dan mengevaluasi ancaman yang membahayakan
aspek kehutanan (Linhart dan Grant, 1996; Tilman, kelestariannya; dan (ii) menentukan disain program
1999). Informasi tentang keanekaragaman genetik pada restorasi (Vrijenhoek, 1994). Pada program restorasi,
tingkat spesies di dalam ekosistem membantu pengetahuan mengenai distribusi keanekaragaman
70

genetik merupakan panduan dalam pengelolaan DAFTAR PUSTAKA


sumberdaya genetik yang penting (Barrett and Kohn,
1991). Keanekaragaman genetik merupakan wadah Aarssen, L.W. and R. Turkington. 1985 Biotic specialization between
untuk adaptasi dan evolusi, sehingga pemeliharaan neighbouring genotypes in Lolium perenne and Trifolium repens
from a permanent pasture. Journal of Ecology 73: 605-614.
keanekaragaman genetik sangat penting dalam Acquaah, G. 1992. Practical Protein Electrophoresis for Genetic
konservasi biodiversitas (Thomas dkk., 1999). Prakiraan Research. Portland, OR.: Dioscorides Press..
tingkat dan distribusi keanekaragaman genetik dalam Aitken, S.N. and W.J. Libby. 1994. Evolution of the pygmy-forest edaphic
subspecies of Pinus contorta across an ecological staircase.
spesies tumbuhan dapat digunakan sebagai panduan Evolution 48: 1009-1019.
dalam manajemen spesies dengan sebaran terbatas Antonovics, J. 1971. The effects of a heterogeneous environment on the
(Hamrick dkk, 1991). Tumbuhan dengan distribusinya genetics of natural populations. American Scientist 59: 593-599.
terbatas cenderung memiliki lebih sedikit Armbruster, W.S., and K.E. Schwaegerle.. Causes of covariation of
phenotypic traits among populations. Journal of Evolutionary Biology
keanekaragaman isozim dibandingkan dengan spesies 9: 261-276.
yang distribusinya luas (Hamrick dan Godt, 1989; Arulsekar, S. and D.E. Parfitt. 1986. Isozyme analysis procedures for
Hamrick dkk., 1992), meskipun, sebaran geografi tidak stone fruits, almond, grape, walnut, pistachio and fig. Horticulture
Science 21 (4): 928-933.
selalu mempengaruhi struktur genetik suatu spesies Auler, N.M.F., M. Sedrez dos Reis, M.P. Guerra, and R.O. Nodari. 2002.
(Soltis dan Soltis, 1991; Lewis dan Crawford, 1995). The genetics and conservation of Araucaria angustifolia: I. Genetic
Pemilihan S. alba lokal sebagai sumber eksplan structure and diversity of natural populations by means of non-
secara manajemen perlu diutamanakan, mengingat adaptive variation in the state of Santa Catarina, Brazil. Genetics
and Molecular Biology, 25 (3): 329-338.
sasaran utama konservasi adalah memelihara Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1968. Flora of Java.
biodiversitas dengan menjaga keberadaan spesies asli di Vol. III. Groningen: P.Noordhoff
dalam ekosistem selama mungkin (Harrison dkk., 1984; Barrett, S.C.H. and J.R. Kohn. 1991. Genetic and evolutionary
consequences of small population size in plants: implications for
Falk, 1992). Penurunan daya tahan spesies pada habitat conservation. In: Falk D.A. and K.H. Holsinger (ed.). Genetics and
yang mengalami degradasi dan fragmentasi memerlukan Conservation of Rare Plants. Oxford: Oxford University Press.
tindakan untuk melindungi habitat dari kerusakan, Bawa, K., B. Schaal, O.T. Solbrig, S. Stearns, A. Templeton, and G. Vida.
memperlambat hilangnya habitat dan fragmentasi, serta 1991. Biodiversity from the gene to the species. In Solbrig, O.T.
(ed.). From Genes to Ecosystem: a Research Agenda for
melestarikan dan memperkaya biodiversitas (Noss dkk., Biodiversity. Paris: International Union of Biological Sciences,.
1997). Konservasi genetik dapat dilakukan secara in situ Beer, S.C., J. Grofeda, T.D. Philips, J.P. Murphy, and M.E. Sorrels. 1993.
dan ex situ. Konservasi in situ dilakukan untuk Assesment of genetic variation in Avena sterilis using
morphological traits, isozyme and RFLPs. Crop Science 33: 1386-
mengembalikan potensi evolusi suatu populasi termasuk 1393.
pengayaan dan pembentukan populasi baru bersama- Blomqvist, M.M., P. Vos, P.G.L. Klinkhamer, and W.J. ter Keurs. 2003.
sama dengan manajemen ekologi. Konservasi ex situ Declining plant species richness of grassland ditch banks-a problem
mencakup pembentukan koleksi yang mengandung of colonization or extinction? Biology Conservation 109: 391-406.
Brown A.H.D., and J.D. Briggs. 1991. Sampling strategies for genetic
keanekaragaman genetik paling tinggi. Hal ini hanya variation in ex situ collections of endangered plant species. In: Falk
dapat dilakukan apabila struktur genetik spesies dan D.A. and K.H. Holsinger (ed.). Genetics and Conservation of Rare
populasi telah diketahui (Machon dkk., 2001). Plants. Oxford: Oxford University Press.
Brown, A.D.H. 1989. Genetic characterization of plant mating system. In:
Brown, A.H.D., M.T. Clegg, A.L. Kahler, and B.S. Weir (eds.).
Population Genetics and Germplasm Resources in Crop
KESIMPULAN Improvement. Sunderland, MA: Sinauer Associates.
Brown, A.D.H. 1990. The role of isozyme studies in molecular
systematics. Australian Systematics of Botany 3: 39-46.
Pengujian keanekaragaman genetik S. alba dengan Butlin, R.K. and T. Tregenza. 1998. Levels of genetic polymorphism:
marker loci versus quantitative traits. Phillosophy Transaction Royal
isozim esterase secara keseluruhan memunculkan 9 Society of London B 353: 187-198.
pita, dengan 12 variasi genotipe, sedangkan isozim Byers, D. L. 1998. Effect of cross proximity on progeny fitness in a rare
peroksidase memunculkan 6 pita, dengan 11 variasi and a common species of Eupatorium (Asteraceae). American
genotipe. Dendrogram hubungan kekerabatan Journal of Botany 85: 644-653.
Caro, T.M. and Laurenson, M.K. (1994) Ecological and genetic factors in
berdasarkan pola pita esterase menunjukkan adanya 13 conservation: a cautionary tale. Science 263: 485-486
kelompok, yang menyatu pada tingkat kesamaan 67% Caughley, G. 1994. Directions in conservation biology. Journal of Animal
(kecuali kelompok ke-13 yang tidak memunculkan pita Ecology 63: 215-244.
Ceska, J.F., J.M. Affolter, and J.C. Hamrick. 1997. Developing a
esterase). Adapun dendrogram berdasarkan pola pita sampling strategy for Baptisia arachnifera based on allozyme
peroksidase menunjukkan adanya 12 kelompok, yang diversity. Conservation Biology 11: 1133-1139.
juga menyatu pada tingkat kesamaan 66% (kecuali Comps, B., D. Gömöry, J. Letouzey, B. Thiebaut, and J. Petit, 2001.
kelompok ke-12 yang tidak memunculkan pita Diverging trends between heterozygosity and allelic richness during
postglacial colonization in European beech. Genetics, 157: 389-97
peroksidase). Individu S. alba dari lokasi yang sama atau Cooperrider, A. 1991. Conservation of biodiversity of western rangelands.
berdekatan umumnya memiliki keanekaragaman genetik In W. E. Hudson [ed.], Landscape linkages and biodiversity.
yang cenderung sama, mengingat pertukaran genetik di Washington, D.C.: Island Press.
Crawford, D.J. 1983. Phylogenetic and systematic inferences from
dalam satu populasi atau di antara populasi yang electrophoretic studies. In Tanksley S.D. and T.J. Orton (ed.).
berdekatan umumnya lebih tinggi dari pada dengan Isozymes in Plant Genetics and Breeding, Part A. New York:
populasi lain, sehingga populasi S. alba dari pantai utara Elsevier.
memiliki kesamaan genetik yang lebih tinggi di antara Crawford, D.J. 1989. Enzyme electrophoresis and plant systematics. In
Soltis, D.E. and P.S. Soltis (ed.). Isozymes in Plant Biology.
sesamanya dibandingkan dengan populasi dari pantai Portland, OR.: Dioscorides Press.
selatan, begitu pula sebaliknya populasi dari pantai Crawford, D.J. 1990. Plant Molecular Systematics, Macromolecular
selatan memiliki kesamaan genetik yang lebih tinggi di Approaces. New York: John Wiley and Sons.
Dickinson, H. and J. Antonovics. 1973. Theoretical considerations of
antara sesamanya dibandingkan dengan populasi dari sympatric divergence. American Naturalist 107: 256-274.
pantai utara. Dingle, H. 1996. Migration: the biology of life on the move. New York:
Oxford University Press.
71

Ellstrand, N.C. and D.R. Elam. 1993. Population genetic consequences Harrison, J., K. Miller, and J. McNeely. 1984. The world coverage of
of small population size: implications for plant conservation. Annual protected areas: development goals and environmental needs. In
Review of Ecology and Systematics. 24: 217-242 McNeely, J.A. and K.R. Miller (eds.). National Parks, Conservation
Ellstrand, N.C. 1992. Gene flow by pollen: implications for plant and Development: the Role of Protected Areas in Sustaining Society.
conservation genetics. Oikos 63: 77-86. Washington, D.C.: Smithsonian Institution.
Ellstrand, N.C., R. Whitkus, and L.H. Rieseberg. 1996. Distribution of Hewitt, N. and M. Kellman. 2002. Tree seed dispersal among forest
spontaneous plant hybrids. Proceedings of the National Academy of fragments: II. Dispersal abilities and biogeographical controls.
Sciences 93: 5090-5093. Journal of Biogeography 29: 351-363.
Emlen, J.M. 1991. Heterosis and outbreeding depression: a multilocus Heywood, V.H. 1995. Global Biodiversity Assessment. Cambridge:
model and an application to salmon production. Fisheries Research Cambridge University Press.
12: 187-212. Holsinger, K.E. 2000. Demography and extinction in small populations.
Espelie, K.E., V.R. Franceschi, and P.E. Kolattukudy. 1986. In: Young, A.G. and G.M. Clarke. (eds). Genetics, Demography and
Immunocytochemical localization and time course of appearance of Viability of Fragmented Populations. Cambridge: Cambridge
an anionic peroxidase associated with tuberization in potato. University Press.
Archives on Biochemistry and Biophysics 240: 539-545. Holsinger, K.E. and L.D. Gottlieb, 1991 Conservation of rare and
Etterson, J.R. and R.G. Shaw, 2001 Constraint to adaptive evolution in endangered plants: principles and prospects. In: Falk D.A. and K.H.
response to global warming. Science 294: 151-154. Holsinger (ed.). Genetics and Conservation of Rare Plants. Oxford:
Fahrig, E. and G. Merriam. 1994. Conservation of fragmented Oxford University Press.
populations. Conservation Biology 8: 50-59. Howes, B.D., C.B. Schiødt, K.G. Welinder, M.P. Marzocchi, J.G. Ma, J.
Falk, D.A. 1992. From conservation biology to conservation practice: Zhang, J.A. Shelnutt, and G. Smulevich. 1999. The Quantum mixed-
strategies for protecting plant diversity. In Fiedler P.L. and S. K. Jain spin heme state of barley peroxidase: a paradigm for class III
[eds.]. Conservation Biology: Theory and Practice of Nature peroxidases. Biophysics Journal: 478-492.
Conservation and Management. New York: Chapman and Hall. Husband B.C. and S.C.H. Barrett. 1996. A metapopulation perspective in
Fenster CB, MR Dudash, 1994 Genetic considerations for plant plant population biology. Journal of Ecology 84: 461-469.
population restoration and conservation. In Bowles, M.L., and C.J. Indriani, F.C., L. Soetopo, Sudjindro, dan A.N. Sugiharto. 2002.
Whelan (eds.). Restoration of Endangered Species. Cambridge: Keragaman genetic plasma nutfah kenaf (Hibisus cannabinus L.)
Cambridge University Press. dan beberapa spesies yang sekerabat berdasarkan analisis isozim.
Fitzpatrick, B.M. 2002. Molecular correlates of reproductive isolation. Biosain 2 (1): 29-39.
Evolution 56 (1): 191-198. Karp, A., O. Seberg, and M. Buiatti. 1996. Molecular techniques in the
Fore, S.A. and S.I. Guttman, 1992 Genetic structure after forest assessment of botanical diversity. Annals of Botany 78: 146-149.
fragmentation: a landscape ecology perspective of Acer Keller, L.F. and D.M. Waller. 2002. Inbreeding effects in wild populations.
saccharum. Canadian Journal of Botany 70: 1659-1668. Trends in Ecology and Evolution 17 (5): 230-241.
Fore, S.A. and S.I. Guttman. 1996. Spatial and temporal genetic structure Kennedy, K., C. Biles, B.Bruton, and J. Zhang. 1996. Peroxidase activity
of Asclepias verticillata L. (whorled milkweed) among prairie and isozymes of cantaloupe tissue. Abstracts from the 85th
patches in a forested landscape. Canadian Journal of Botany 74: Technical Meeting, Oklahoma State University-OKC, 8 November,
1289-1297. 1996.
Fore, S.A. and S.I. Guttman. 1999. Genetic structure of Helianthus Kleijn D. and M. Verbeek. 2000. Factors affecting the species
occidentalis (Asteraceae) in a preserve with fragmented habitat. composition of arable field boundary vegetation. Journal of Applied
American Journal of Botany 86 (7): 988-995. Ecology 37: 256-266.
Fore, S.A., R.J. Hickey, J.L. Vankat, and S. I. Guttman. 1992. The effect Knapp, E.E. and P.G. Connors. 1999. Genetic consequences of a single-
of forest fragmentation on genetic diversity and structure: a founder population bottleneck in Trifolium amoenum (Fabaceae).
landscape ecology perspective. Canadian Journal of Botany 70: American Journal of Botany 86: 124-130.
1659-1668. Knobloch, I.W. 1972. Intergeneric hybridization in flowering plants. Taxon
Garbutt, R.A. and T.H. Sparks. 2002. Changes in the botanical diversity 21: 97-103.
of a species rich ancient hedgerow between two surveys (1971- Lennartsson, T. 2002. Extinction thresholds and disrupted plant-pollinator
1998). Biological Conservation 106: 273-278. interactions in fragmented plant populations. Ecology 83: 3060-3072.
Gaspar, T., C. Penel, T. Thorpe, and H. Greppin. 1986. Peroxidases Lewis, P.O. and D.J. Crawford. 1995. Pleistocene refugium endemics
1970-1980: A Survey of their Biochemical and Physiologic Roles in exhibit greater allozymic diversity than widespread congeners in the
Higher Plants. Geneva, Switzerland: University of Geneva Press. genus Polygonella (Polygonaceae). American Journal of Botany 82:
Gerard, J., B. Oostermeijer, R.G.M. Altenburg, and H.C.M. den Nijs. 141-149.
1995. Effects of outcrossing distance and selfing on fitness Linhart, Y.B. and M.C. Grant. 1996. Evolutionary significance of local
components in the rare Gentiana pneumonanthe (Gentianaceae). genetic differentiation in plants. Annual Review of Ecology and
Acta Botanica Neerlandica 44: 257–268. Systematics 27: 237-277.
Godt, M.J.W. and J.L. Hamarick. 1993. Genetic diversity and population Machon, N., J.M. Guillon, G. Dobigny, S. Le Cadre, and J. Moret. 2001.
structure in Tradescantia hirsuticaulis (Commelinaceae). American Genetic variation in the horsetail Equisetum variegatum Schleich.,
Journal of Botany 80: 959-966. an endangered species in the Parisian region. Biodiversity and
Gornall, R.J. 1997. Practical aspects of the species concept in plants. In Conservation 10: 1543-1554.
Claridge, M.F., H. A. Dawah and M.R. Wilson (eds.). Species: the Max, K.N., S.K. Mouchaty, and K.E. Schwaegerle. 1999. Allozyme and
Units of Biodiversity. London: Chapman & Hall. morphological variation in two subspecies of Dryas octopetala
Groom, M.J. 1998.-Allee effects limit population viability of an annual (Rosaceae) in Alaska. American Journal of Botany 86 (11): 1637-
plant. American Naturalist 151: 487-496. 1644.
Gross, G.G. 1977. Biosynthesis of lignin and related monomers. Recent Mayr, E. 1992 A local flora and the biological species concept. American
Advanced in Phytochemistry 11: 141-184. Journal of Botany 79: 222-238.
Gustafson, D.J. 2001. Characterizing three restored Andropogon McDonald, B.A. and J.M. McDermont. 1993. Population genetics of plant
gerardii Vitman (big bluestem) populations established with Illinois pathogenic fungi. BioScience 43 (5): 311-319.
and Nebraska seed: established plants and their offspring. In McPhaden, M.J. 1999. Genesis and evolution of the, 1997-1998 El-Nino.
Bernstein, N.P. and L.J. Ostrander (eds.). Proceedings of the 17th Science 283: 950-954.
North American prairie conference. Seeds for the future; roots of the Menges, E.S. 1991. The application of minimum viable population theory
past. Mason City: North Iowa Area Community College. to plants. In: Falk D.A. and K.H. Holsinger (eds.). Genetics and
Gustafson,D.J., D.J. Gibson, and D.L. Nickrent. 2002. Genetic diversity Conservation of Rare Plants. Oxford: Oxford University Press.
and competitive abilities of Dalea purpurea (Fabaceae) from Micales, J.A. and M.R. Bonde. 1995. Isozymes: methods and
remnant and restored grasslands. International Journal of Plant applications. In Singh, R.P. and U.S. Singh (eds.). Molecular
Science 163 (6): 979-990. Methods in Plant Pathology. Boca Raton: CRC Press-Lewis
Hamrick, J.L. and M.J.W. Godt. 1989. Allozyme diversity in plant species. Publishers.
In: Brown, A.H.D., M.T. Clegg, A.L. Kahler, and B.S. Weir (eds.). Montalvo, A.M. and N.C. Ellstrand. 2001. Nonlocal transplantation and
Plant Population Genetics, Breeding, and Genetic Resources. outbreeding depression in the subshrub Lotus scoparius
Sunderland, MA.: Sinauer Associates. (Fabaceae). American Journal of Botany 88 (2): 258-269.
Hamrick, J.L., M.J.W. Godt, D.A. Murawski, and M.D. Loveless. 1991. Murphy, J. and T.D. Philips. 1993. Isozyme variation in cultivated oats
Correlations between species traits and allozyme diversity: and its progenitor species Avena sterilis. Crop Science 33: 1366-
implications for conservation biology. In: Falk D.A. and K.H. 1372.
Holsinger (ed.). Genetics and Conservation of Rare Plants. Oxford: Newman, D. and D. Pilson, 1997 Increased probability of extinction due
Oxford University Press. to decreased genetic effective population size: experimental
Hamrick, J.L., M.J.W. Godt, and S.L. Sherman-Broyles. 1992. Factors populations of Clarkia pulchella. Evolution 51: 354-362.
influencing levels of genetic diversity in woody plant species. New
Forests 6: 95-124.
72

Newman D. and D. A. Tallmon. 2001. Experimental evidence for Soltis, D.E. and P.S. Soltis. 1989. Polyploidy, breeding systems, and
beneficial fitness effects of gene flow in recently isolated populations. genetic differentiation in homosporous pteridophytes. In Soltis, D.E.
Conservation Biology 15: 1054-1063. and P.S. Soltis (ed.). Isozymes in Plant Biology. Portland, OR.:
Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (eds.). 2001. A Guide to Mangroves of Dioscorides Press.
Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and Suranto. 1991. Studies of Population Variations in Species of
Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science Ranunculus. (M.Sc. thesis). Hobart: Departement of Plant Science
Centre. University of Tasmania.
Noss, R.F., M.A. O’Connell, and D. Murphy. 1997. The Science of Tanksely, S. D. 1983. Molecular markers in plant breeding. Plant
Conservation Planning: Habitat Conservation under the Endangered Molecular Biology Report 1: 3-8.
Species Act. Covelo, CA.: Island Press. Thomas, B.R., S.E. Macdonald, M. Hicks, D.L. Adams, dan R.B.
Opdam, P., R. Foppen, R. Reijnan, and A. Schotman. 1994. The Hodgetts. 1999. Effects of reforestation methods on genetic diversity
landscape ecological approach in bird conservation: integrating the of lodgepole pine: an assessment using microsatellite and randomly
metapopulation concept into spatial planning. Ibis 137: S139-S146. amplified polymorphic DNA markers. Theoritical and Applied
Pierce, L.C. and J.L. Brewbaker. 1973. Application of isozyme analysis in Genetics 98: 793-801.
horticultural science. Horticulture Science 8 (1): 17-22. Thompson, J.N. 1996. Evolutionary ecology and the conservation of
Purps, D.M. and J.W. Kadereit. 1998. RAPD evidences for a sister group biodiversity. Trends in Ecology and Evolution 11: 300-303.
relationship of the presumed progenitor-derivative species pair Tilman, D. 1999. Diversity and production in European grasslands.
Senecio nebrodensis and S. viscosus (Asteraceae). Plant Science 286: 1099-1100.
Sistematics and Evolution 211: 57-70. Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge
Rhodes, O.E. and R.K. Chesser. 1994. Genetic concepts for habitat University Press.
conservation: the transfer and maintenance of genetic variation. Treuren, R. van, R. Bulsma, W. van Velden, and N.J. Ouborg. 1991. The
Landscape and Urban Planning 28: 55-62. significance of genetic erotionin the process of extiction. 1. Genetic
Richards, A. 1999. Plant Breeding Systems, 2nd ed. London: Chapman differentiation in Salvia pratensis and Scabiosa columbaria in
and Hall. relation to population size. Heredity 66: 181-189.
Riesenberg, L.H., S.D. Soltis, and P.S. Soltis. 1988. Genetic variations in Turkington, R, 1994 Effect of propagule source on competitive ability of
Helianthus annus and H. bolanderi. Biochemical Systematics and pasture grass: spatial dynamics of six grasses in simulated swards.
Ecology 4: 393-399. Can J Bot 72: 111-121.
Rothe, G.M. 1994. Electrophoresis of Enzymes, Laboratory Methods. Van der Pijl, L. 1969. Principles of dispersal in higher plants. Springer-
Berlin: Springer Verlag. Verlag, Berlin, Germany.
Sauer, J. D. 1988. Plant migration: the dynamics of geographic patterning Vankat, J.L., J. Wu, and S.A. Fore. 1991. Old-growth by design: applying
in seed plant species. Berkeley, CA.: University of California Press. the concepts of landscape ecology. In Henderson D. and L.D.
Setyawan A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, dan A. Susilowati. Hedrick (eds.). Restoration of Old Growth Forests in the Interior
2005a. Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 1. Highlands of Arkansas and Oklahoma. Arkansas: Ouachita National
Keanekaragaman Jenis. Biodiversitas 6 (1): 57-61. Forest and Winrock International Institute for Agricultural
Setyawan A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, dan A. Susilowati. Development, AR.
2005b. Tumbuhan mangrove di pesisir Jawa Tengah: 2. komposisi Vrijenhoek, R.C. 1994. Genetic diversity and fitness in small populations.
dan struktur vegetasi. Biodiversitas 6 (3): 194-198. In: Loeschcke, V., J. Tomiuk, and S.K. Jain (eds.). Conservation
Setyawan, A.D., A. Susilowati, dan Wiryanto. 2002. Habitat reliks Genetics. Sunderland, MA.: Sinauer Associates.
vegetasi mangrove di pantai selatan Jawa. Biodiversitas 3 (2): 242- Wang, X.R., A.E. Szmidt, and N.H. Nghia, 2000. The phylogenetic
256. position of the endemic flat-needle pine Pinus krempfii (Pinacea)
Setyawan, A.D. dan K. Winarno. 2006. Permasalahan konservasi from Vietnam, based on PCR-RFLP analysis of chloroplast DNA.
ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Plant Systematics and Evolution 220: 21-36
Biodiversitas 7 (2): 160-164. Weeden, N.F. and J.F. Wendel. 1989. Genetic and plant isozymes. In
Shields, W.M. 1993. The natural and unnatural history of inbreeding and Soltis, D.E. and P.S. Soltis (eds.). Isozymes in Plant Biology.
outbreeding. In Thornhill, N.W. (ed.). The Natural History of Portland, OR.: Dioscorides Press.
Inbreeding and Outbreeding. Chicago: University of Chicago Press. Westemeier, R.L., J.D. Brawn, S.A. Simpson, T.L. Esker, R.W. Jansen,
Sih, A., B.G. Jonsson, and G. Luikart. 2000. Habitat loss: ecological, J.W. Walk, E.L. Kershner, J.L. Bouzat, and K.N. Paige. 1998.
evolutionary and genetic consequences. Trends in Ecology and Tracking the long-term decline and recovery of an isolated
Evolution 15: 132-134. population. Science 282: 1695-1698.
Sneath, P.H.A and R.R. Sokal. 1973. Numerical Taxonomy. San Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S. Afiff. 2000. Ecology of Java and
Francisco: W.H. Freeman and Co. Bali. Singapore: Periplus.
Sokal, R.R. and D.E. Wartenburg. 1983. A test of spatial auto-correlation Young, A., T. Boyle, and T. Brown. 1996 The population genetic
analysis using an isolation-by-distance model. Genetics 105: 219- consequences of habitat fragmentation for plants. Trends in Ecology
237. and Evolution 11: 413-418.
Sokal, R.R. and N.L. Oden. 1978. Spatial autocorrelation in biology. 1.
Methodology. Biological Journal of the Linnean Society 10: , 199-
249.
Kandungan Nutrien Sedimen Tanah

ABSTRACT Salah satu aktivitas manusia yang berpengaruh


nyata terhadap siklus nutrien adalah peningkatan
The aims of this research were to find out the content of nutrient sumbangan unsur nutrien nitrogen (N) dan fosfor (P).
parameters at mangrove habitat in northern and southern coast Sumbangan ini berasal dari limbah domestik dan
of Central Java Province, namely total organic matter (TOM), pertanian, termasuk kotoran ternak dan pupuk,
- + 3-
nitrate (NO3 ), ammonium (NH4 ), and phosphate (PO4 ), and it meningkatnya aliran permukaan akibat pembukaan
potential eutrophycation in this habitat. This research was lahan untuk pertanian dan pemukiman, serta
conducted in July until December 2003, at 20 sites of mangrove
habitat. The result indicated that the content of total organic
pembakaran bahan bakar fosil (Cole dkk., 1993; Nixon,
material varied from 8.308% (Wulan) to 15.361% (Bulak) with 1995; Howarth, 1998). Ketersediaan nutrien sering kali
+
the average of 11.260%. The NO3 content varied from 0.327 menjadi faktor pembatas produktivitas primer. Dari
mg/100g (Cincingguling) to 0.671 mg/100g (Bulak) with the semua nutrien yang ada, nitrogen dan fosfor merupakan
+
average of 0.4224 mg/100g. The NH4 content varied from dua unsur yang paling sering membatasi pertumbuhan
0.174 mg/100g (Wulan) to 0.409 mg/100g (Ijo) with the average produsen primer (Hauxwell dkk., 2001). Ekosistem
3-
of 0.2847 mg/100g. The PO4 content varied from 4.73 mg/100g perairan tawar dan laut memiliki perbedaan pola siklus
(Cincingguling) to 8.39 mg/100g (Ijo) with the average of 6.80 kedua nutrien tersebut. Fosfor merupakan faktor
mg/100g. This result indicated that the content of nitrogen was
far below the recommended standard quality of sewage. The
pembatas produktivitas primer pada lingkungan perairan
high concentration of phosphate was the consequence of tawar, sedangkan nitrogen merupakan faktor pembatas
marine environment in mangrove ecosystem. It can be pada lingkungan perairan laut (Smith, 1984; Downing
concluded that was not eutrophycation yet in soil sediment of dkk., 1999; Hauxwell, dkk. 2001), sehingga terjadi
mangrove environment in Central Java Province. perubahan besar komposisi komunitas pada kawasan
mangrove dan terumbu karang. Perubahan siklus
nitrogen berdampak besar terhadap ekosistem akuatik
Key words: nutrient, organic matter, nitrate, ammonium, (Downing dkk., 1999).
phosphate, mangrove environment, Central Java. Secara alamiah nutrien terdapat di alam dan
mendukung terbentuknya ekosistem yang subur, namun
aktivitas manusia dapat meningkatkan masukan nutrien
PENDAHULUAN hingga tingkat yang tidak diinginkan (Hauxwell, dkk.
2001). Aktivitas manusia dapat meningkatkan jumlah
Proses pembangunan secara nyata telah menyebab- nitrogen dan fosfor, serta mempengaruhi siklus biogeo-
kan berubahnya penggunaan lahan/habitat, kandungan kimianya (Schlesinger 1991; Vitousek dkk., 1997a, b).
kimia udara, tanah dan air, laju dan keseimbangan Kelebihan nutrien ini memasuki ekosistem muara dan
proses-proses biokimia, serta keanekaragaman hayati perairan pantai melalui sungai, air tanah, dan transpor
(Vitousek dkk., 1997a, b). Perubahan penggunaan lahan udara (Howarth dkk., 1996; Nixon dkk., 1996). Keseha-
sangat mempengaruhi siklus nutrien dan dapat tan ekosistem pantai sangat terancam akibat berlebihnya
mempengaruhi masa depan ekosistem perairan tawar nutrien ini (eutrofikasi) (Hauxwell, dkk. 2001). Nutrien
dan laut. Hutan tropis banyak diubah menjadi lahan pada ekosistem mangrove tidak hanya dihasilkan oleh
pertanian atau dibuka dan dibiarkan menjadi lahan kritis, ekosistem itu sendiri (autochthonous), tetapi juga berasal
sehingga sering kali kurang efisien dalam menyerap dari sungai atau laut di sekitarnya (allochthonous) (Ng
karbon dan elemen lain, mengubah siklus hidrologi dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).
setempat dan kehilangan sejumlah besar unsur nutrien Di samping kedua unsur nutrien inorganik, nitrogen
seperti nitrogen dan fosfor melalui pelindihan aliran dan fosfor, ekosistem mangrove dapat menyimpan
permukaan. Hal ini berdampak pada ekosistem akuatik sejumlah besar nutrien organik/detritus (Matsui, 1998;
yang secara berkala mendapat masukan berlebih Fujimoto dkk., 1999), bahkan pada ekosistem mangrove
sedimen, air, dan nutrien dari daratan (Downing dkk., tertentu ketebalan sedimen yang kaya bahan organik
1999). dapat mencapai beberapa meter (Twilley dkk., 1992;

Publikasi asli: Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, dan K. Winarno. 2005. Potensi Eutrofikasi Kandungan Nutrien pada
Sedimen Tanah Mangrove di Propinsi Jawa Tengah. Enviro 5 (1): 12-17.
74

Lallier-Verges dkk., 1998). Tingginya produksi daun dan (PO43-) pada lingkungan mangrove di pantai utara dan
serasah, serta cepatnya laju penguraian detritus selatan Jawa Tengah.
menyebabkan hutan mangrove menjadi salah satu
ekosistem yang paling produktif dan mendukung
berbagai kehidupan liar dengan kemelimpahan tinggi BAHAN DAN METODE
(Aksornkoae, 1986; Ong, 1995). Sekitar 30-60% total
produksi primer ekosistem mangrove adalah serasah Waktu dan lokasi penelitian
(Bunt dkk., 1979). Serasah daun sangat penting dalam Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli s.d.
menjaga rantai makanan yang berbasis detritus (Ong Desember 2003. Penelitian lapangan dilakukan pada 20
dkk., 1984; Lee, 1995). Sifat kimia detritus mangrove habitat mangrove di pantai utara dan selatan Jawa
berubah selama dekomposisi dan penuaan (Rice dan Tengah. Keduapuluh lokasi tersebut meliputi: (1) Wulan,
Tenore, 1981). Dedaunan yang jatuh ke dalam air dan Demak (2) Sigrogol, Demak (3) Serang, Demak (4)
basah akan segera mengalami pelindihan bahan Bulak, Jepara, (5) Telukawur, Jepara, (6) Tayu, Pati, (7)
organik, termasuk karbon organik, nitrogen organik, dan Juwana, Pati, (8) Pecangakan, Rembang, (9) Pasar
tanin (Newell dkk., 1984; Robertson, 1988; Steinke dkk., Bangi, Rembang, (10) Lasem, Rembang, (11)
1993a, b). Bogowonto, perbatasan Kulonprogo dan Purworejo, (12)
Ekosistem mangrove merupakan jalur penting bagi Cakrayasan, Purworejo, (13) Lukulo, Purworejo, (14)
siklus bahan organik di lingkungan tropis, khususnya Cincingguling, Kebumen, (15) Ijo, Kebumen, (16)
karbon. Hutan mangrove memiliki produktivitas primer Bengawan, Cilacap, (17) Serayu, Cilacap, (18) Tritih,
sangat tinggi, serta dapat mempengaruhi dan mengatur Cilacap (19) Motean, Cilacap, dan (20) Muara Dua,
siklus nutrien, selanjutnya mengirimkan bahan organik Cilacap. Lokasi ke-4, 5, 9, dan 10 terletak langsung di
ke laut terbuka dan lingkungan akuatik di sekitarnya, tepi pantai dan jauh dari muara sungai besar, lokasi ke-
dalam bentuk serasah dan bahan organik partikulat atau 18, 19, 20 terletak di laguna Segara Anakan, sedangkan
terlarut (Clough, 1992; Lee, 1995; Lovelock, 1993; lokasi sisanya terletak di muara sungai. Penelitian
Jickells 1998; Ng dan Sivasothi, 2001); dapat pula laboratorium dilakukan di Sub-Lab Kimia, Laboratorium
melalui perumputan yang dilakukan herbivora, sehingga Pusat MIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
dipindahkan dalam bentuk energi (Ng dan Sivasothi,
2001; Lovelock, 1993). Tumbuhan mangrove dapat Bahan dan alat
meningkatkan sedimentasi bahan terlarut selama banjir Preparasi sampel tanah. Alat yang digunakan
dan mengendapkan material allochtonous (Furukawa meliputi: soil core, ember plastik, kantung plastik hitam
dkk., 1997). Sekitar 90% partikel bahan organik yang atau botol polietilen, nampan plastik, kipas angin,
memasuki kawasan pantai diendapkan ke dalam timbangan, mortar porselen, saringan stainless steel
sedimen melalui flokulasi kimia, adsorbsi dan deposisi atau nilon berdiameter 0,5 mm dan 2 mm.
fisik akibat pertemuan air tawar dan air laut (Lisitzyn, Pengukuran kadar bahan organik total (BOT).
1999). Bahan yang diperlukan adalah: K2Cr2O7, H2SO4, H3PO3
Peningkatan nutrien antropogenik dalam jumlah be- 85%, indokator difenilamin, akuades, dan FeSO4 1N.
sar dapat mempengaruhi komposisi dan kemelimpahan Alat yang digunakan adalah: timbangan analitik, gelas
produsen primer, sehingga berdampak pada siklus arloji, gelas beker 50 ml, gelas ukur 10 ml, pipet, labu
biogeokimia nutrien secara keseluruhan (Worm dkk., elenmeyer 50 ml, dan labu titrasi.
-
2000). Tumbuhan mangrove sangat penting dalam Pengukuran kadar nitrat (NO3 ). Bahan yang
penyampuran nutrien dan partikulat di kawasan pantai, diperlukan adalah: pelarut ekstraktan, asam fenol
karena dapat memperlambat arus, memperkuat deposisi disulfonat, larutan ammonium, larutan nitrat standard,
dan menyerap nutrien (Levin dkk., 2001). Keragaman campuran bubuk Ca(OH)2 dan MgCO3. Alat yang
spesies yang tinggi dapat membantu keberlanjutan pro- digunakan adalah: timbangan analitik, gelas arloji, cawan
duktivitas melalui stabilisasi komunitas dalam berbagai evaporasi, pipet volumetri 100 ml, labu elenmeyer 500
kondisi lingkungan (McNaughton, 1993). Peningkatan ml, shaker, penangas air, dan AAS (Atomic Absorbance
pembuangan limbah di sungai yang dikombinasi dengan Spectrophotometer).
peningkatan konsentrasi nutrien dalam sungai Pengukuran kadar ammonium (NH4+). Bahan kimia
menyebabkan meningkatnya nutrien di kawasan muara yang diperlukan adalah: KCl 10%, MgO 10%, indikator
(Wosten dkk., 2003). Proses biogeokimia pada sedimen asam borat 2%, dan larutan standar H2SO4 0,01 N. Alat
di kawasan muara sangat bervariasi tergantung yang digunakan adalah: timbangan analitik, labu
beberapa faktor, seperti: sumber bahan organik dari laut elenmeyer 300 ml, shaker, corong gelas, kertas
dan darat; variasi salinitas, proses remineralisasi Whatman 42, gelas arloji, pipet volumetri 20 ml, buret,
sediment anoksik, adanya makrofauna bentos, dan oven, dan alat destilasi semi-mikro Kjehldal.
3-
kondisi redoks sedimen (Burdige, 2001), sehingga status Penentuan kadar fosfat (PO4 ). Bahan kimia yang
nutrient dapar bervariasi antar tempat. diperlukan adalah: HClO4 dan HNO3 pekat, larutan HCl,
Tumbuhan mangrove berpotensi untuk mitigasi larutan molibdat-vanadat, HNO3 2N, larutan fosfat stan-
kelebihan nitrogen dan fosfor, karena dapat melepaskan dard (P 20 ppm; 250 ppm). Alat yang digunakan adalah:
kedua unsur tersebut selama pertumbuhannya. Di labu Kjeldahl 100 ml, apparus digesti elektris, pipet, co-
samping itu, sedimen mangrove merupakan habitat yang rong gelas, kertas Whatman 42, pipet volumetri 100 ml,
-
cocok bagi bakteri denitrifikasi, untuk mengubah NO3 tabung gradasi 20 ml, labu volumetri 200 ml dan AAS.
menjadi gas N2. Hal ini dapat mengurangi kelebihan
nutrien bagi produsen primer di pantai dan mencegah Cara kerja
eutrofikasi di laut (Hauxwell, dkk. 2001). Penelitian ini Pengukuran parameter nutrien merujuk pada: Tan
bertujuan untuk mengetahui kandungan bahan organik (1996), Prawirowardoyo, dkk. (1987), Hidayat (1978),
total (BOT), nitrat (NO3-), ammonium (NH4+), dan fosfat dan APHA (1969).
75

Preparasi sampel tanah. Sampel sedimen tanah dipanaskan 30 menit dan didinginkan lagi. Kemudian
diambil dengan soil core di kedalaman + 20 cm dari leher labu Kjeldahl dicuci dengan air dan disaring ke
permukaan sedimen pada lima titik yang ditentukan dalam labu volumetri 100 ml, ditambahkan akuades
secara random, dengan jarak sekurang-kurangnya 10 m hingga tanda batas dan digojok pelahan-lahan.
antara satu dengan lainnya, lalu dicampur dan diaduk Sebanyak 1 ml larutan dipipetkan ke dalam tabung
secara merata dalam ember plastik. Proporsi sedimen gradasi 20 ml, ditambahkan 5 ml HNO3 2N dan akuades
tanah dari kelima titik tersebut relatif sama, dengan hasil hingga mencapai 15 ml. Ditambahkan 2 ml molibdat-
akhir sekitar 1-2 kg basah. Di laboratorium, sisa-sisa vanadat dan akuades hingga 20 ml, serta digojok dan
akar, batu dan material organik dibuang dan disaring dibiarkan selama 20 menit. Kemudian absorbansi diukur
dengan saringan berdiameter 2 mm, lalu dilanjutkan dengan AAS pada panjang gelombang 420 mμ. Proses
dengan saringan berdiameter 0,5 mm. di atas lakukan pula terhadap larutan fosfat standard (P:
Pengukuran kadar bahan organik total (BOT). 20 ppm; 250 ppm).
Sebanyak 1 g sampel tanah kering angin dimasukkan
dalam gelas beker 50 ml, ditambah 10 ml K2Cr2O7 dan Analisis data
10 ml H2SO4 dengan gelas ukur, lalu dikocok hingga Untuk mengetahui kemungkinan telah terjadinya
homogen. Didiamkan 30 menit hingga larutan menjadi pencemaran lingkungan (i.e. eutrofikasi) oleh unsur
dingin. Ditambahkan 5 ml H3PO3 85% dan 1 ml indikator nutrien, maka data dianalisis dengan membandingkan
difenilamin, lalu ditambahkan akuades hingga volume kandungan nutrien dalam sedimen tanah dengan
mencapai 50 ml, dikocok hingga homogen dan dibiarkan ketentuan dalam Kepmen LH No. Kep-
mengendap. Sebanyak 5 ml larutan yang jernih diambil 51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair dan
dengan pipet dan dimasukkan dalam labu elenmeyer 50 PP 82/2001 tentang Kriteria Mutu Air berdasarkan Kelas
ml, dan ditambah 15 ml akuades. Kemudian dititrasi untuk kelas I, yakni air dengan kualitas terbaik. Hal ini
dengan FeSO4 1N hingga berwarna kehijauan. Langkah dilakukan mengingat peraturan yang secara khusus
tersebut dilakukan pula tanpa sampel tanah sebagai dibuat untuk menerangkan kandungan nutrien yang
blanko. diperkenankan dalam tanah sedimen tidak ada. Dari
-
Pengukuran kadar nitrat (NO3 ). Sebanyak 20 g perbandingan tersebut diharapkan dapat diketahui ada
sampel tanah dimasukkan dalam labu elenmeyer 500 ml tidaknya pencemaran nutrien (eutrofikasi) pada sedimen
yang telah diisi 100 ml larutan ekstraktan. Ditambah 0,7 lingkungan mangrove.
g campuran Ca(OH)2 dan MgCO3 dan ditutup dengan
sumbat karet. Lalu digojok selama 10 menit dengan
shaker, dibiarkan beberapa menit dan disaring dengan
HASIL DAN PEMBAHASAN
kertas saring Whatman 42. Dipipet 25 ml ekstrak ke
cawan penguap dan dikeringkan di atas penangas air.
Setelah dingin ditambahkan 2 ml asam fenol disulfonat Hasil
dengan pipet dan cawan diputar-putar hingga merata, Parameter nutrien yang diamati dalam penelitian ini
didiamkan 10 menit. Ditambahkan 15 ml akuades dan adalah kandungan bahan organik total (BOT), nitrat
- + 3-
diaduk hingga seluruh residu terlarut. Lalu ditambahkan (NO3 ), ammonium (NH4 ), fosfat (PO4 ). Parameter-
larutan NH4OH dan diaduk hingga berwarna kuning parameter di atas, merupakan beberapa parameter yang
alkali. Dipindahkan ke dalam labu volumetri 100 ml dan memiliki karakteristik khas untuk lingkungan mangrove.
ditambahkan akuades hingga tanda. Kemudian Data pengamatan selengkapnya tersaji pada Tabel 1.
absorbansi diukur dengan AAS pada panjang gelombang
410 mμ. Proses di atas lakukan pula terhadap larutan
Tabel 1. Hasil pengukuran karakter fisik-kimia pada kawasan
nitrat standard (NO3-: 20 ppm; 250 ppm). ekosistem mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Tengah.
+
Pengukuran kadar ammonium (NH4 ). Sebanyak
20 g sampel tanah dimasukkan dalam labu elenmeyer Unsur hara/nutrien
200 ml yang telah diisi 100 ml KCl 10%, lalu digojok Lokasi BOT NO3
-
NH4
+
PO4 3
-

selama 30 menit dengan shaker dan disaring dengan (%) (mg/100gr) (mg/100gr) (mg/100gr)
kertas saring Whatman 42. Setelah itu labu elenmeyer Wulan 8,308 0,354 0,174 4,86
100 ml berisi 5 ml asam borat 2% sebagai indikator Sigrogol 12,355 0,438 0,316 6,68
diletakkan di bawah kondensor. Sebanyak 20 ml larutan Serang 10,337 0,412 0,223 6,02
dipipetkan ke dalam labu Kjeldahl, ditambahkan 10 ml Bulak 15,361 0,671 0,401 8,05
suspensi magnesium oksida 10% dan dibersihkan Telukawur 11,738 0,512 0,251 7,36
dengan akuades. Didistilasi selama 5 menit, hingga hasil Tayu 11,435 0,477 0,203 7,44
Juwana 13,068 0,414 0,328 7,79
distilasi tinggal sekitar 35 ml. Ujung kondensor dicuci Pecangakan 9,194 0,379 0,235 6,07
dengan akuades, setelah dingin dititrasi dengan H2SO4 Pasar Banggi 11,010 0,405 0,308 7,13
0,01 N hingga berwarna merah muda. Langkah tersebut Lasem 13,523 0,425 0,345 7,87
dilakukan pula tanpa sampel tanah sebagai blanko. Bogowonto 9,986 0,565 0,304 6,26
Pengukuran kadar fosfat (PO43-). Sebanyak 2 g Cakrayasan 11,203 0,361 0,340 7,15
sampel tanah dimasukkan dalam labu Kjeldahl 100 ml Lukulo 11,080 0,354 0,215 6,71
yang telah diisi 2 g pasir kuwarsa. Ditambahkan 6 ml Cingcingguling 9,160 0,327 0,263 4,73
HNO3 pekat, dipanaskan dan digojok pelahan-lahan Ijo 14,564 0,391 0,409 8,39
Bengawan 11,136 0,459 0,365 6,96
dalam apparatus digesti elektris pada suhu di bawah Serayu 9,766 0,366 0,267 5,73
80oC. Setelah gas NO2 menguap sempurna dan dingin, Tritih 10,403 0,333 0,240 6,99
ditambahkan 6 ml HClO4 pekat dan suhu dinaikkan Motean 10,148 0,396 0,230 6,77
hingga 120oC, serta digojok hingga diperoleh larutan Muara Dua 11,429 0,408 0,276 7,06
jernih. Didinginkan dan ditambah 1 ml HCl pekat, lalu Rata-rata 11,260 0,4224 0,2847 6,80
76

Bahan organik total (BOT) deforestasi, penggunaan lahan, dan pengolahan tanah
Bahan organik total sering kali diartikan sebagai (Subramanian dan Verma, 2000). Faktor lingkungan fisik
bahan organik karbon, karena karbon merupakan unsur dan biotik pada ekosistem mangrove dapat
utama penyusun makhluk hidup. Unsur karbon mempengaruhi dinamika karbon organik dalam sedimen,
merupakan kerangka dasar (backbone) semua senyawa misalnya terjadinya sinergi antara periode genangan
yang ada dalam tubuh makhluk hidup. Kandungan bahan (fisik) dengan konsumsi detritus oleh invertebrata bentos
organik dalam sedimen tanah mangrove berasal dari (biotik) (Lee, 1995; Bouillon dkk., 2003).
produktivitas primer setempat yang sebagian besar Kemampuan hutan untuk menyimpan dan
disumbangkan oleh tumbuhan mangrove mensekuestrasi karbon, menjadi perhatian dunia
(autochthonous) dan masukan yang terbawa oleh aliran sehubungan dengan upaya mitigasi efek rumah kaca.
aliran permukaan dari daerah aliran sungai yang Kegiatan manusia dan gangguan alam, seperti konversi
bermuara padanya (allochthonous). Oleh karena itu hutan ke penggunaan di luar kehutanan, serta degradasi
kelebatan vegetasi hutan mangrove maupun hutan-hutan hutan akibat pemanenan berlebih, kebakaran,
di sepanjang daerah aliran sungai, serta kegiatan meledaknya hama dan penyakit, dan lain-lain dapat
antropogenik dapat mempengaruhi kandungan bahan menyebabkan hutan menjadi sumber CO2. Hal ini terjadi
organik total di lingkungan mangrove. Bahan organik karena produktivitas primer dari fotosintesis dilampaui
total sangat penting dalam menentukan derajat oleh total respirasi dan oksidasi tumbuhan, tanah dan
keasaman (pH) tanah sedimen, namun bukan sisa-sisa bahan organik (Brown, 2002). Dalam skala
merupakan satu-satunya faktor penentu pH tanah. global, perubahan penutupan hutan akan menaikkan
Menurut Rao (1994) kandungan bahan organik sangat emisi gas CO2 ke atmosfer sehingga menyumbang
menentukan stabilitas tanah yang mengandung terjadinya efek rumah kaca (Houghton, 1999; Houghton
lempung, karena bahan prganik beserta kondisi alami dan Hackler, 2001). Pembukaan ekosistem mangrove
mikroba dapat menyatukan partikel-partikel tanah diyakini turut menyumbangkan emisi CO2 dan CH4 ke
menjadi suatu agregat. Tekstur tanah sangat atmosfer mengingat ekosistem ini kaya akan bahan
mempengaruhi keberhasilan hidup tumbuhan dan organik, baik yang terkumpul sebagai autochthonous dari
mikrobia di habitat. lingkungan mangrove itu sendiri maupun sebagai
Dalam penelitian ini BOT tertinggi dijumpai di Bulak allochthonous dari kawasan sungai dan laut di
(15,361%), sedangkan terendah di Wulan (8,308%), sekitarnya, sehingga harus dilakukan dengan
adapun rata-ratanya adalah 11,260%. Bahan organik manajemen yang tepat.
bukan merupakan bahan pencemar sehingga tidak diatur
dalam Kepmen LH No. Kep-51/MENLH/10/1995 tentang Kadar nitrat (NO3-) dan ammonium (NH4+)
Baku Mutu Limbah Cair maupun PP 82/2001 tentang Dalam penelitian ini unsur nitrogen yang diamati
Kriteria Mutu Air berdasarkan Kelas. Rendahnya BOT di dalam sedimen hanya NO3- dan NH4+, mengingat hanya
Wulan kemungkinan disebabkan tanahnya merupakan keduanya yang dapat diserap langsung tumbuhan dan
tanah akresi yang umurnya relatif muda, dengan produsen primer lainnya. Adapun NO2- biasanya hanya
vegetasi mangrove yang relatif masih muda pula, terdapat dalam jumlah kecil pada tanah yang teraerasi
sehingga akumulasi serasah relatif terbatas. Adapun dengan baik (Schroth dkk., 2003). Nitrogen sangat
tingginya BOT di Bulak karena pengambilan sampel penting bagi kehidupan, karena menjadi komponen
tanah dilakukan pada tempat-tempat cekung, tempat utama dalam (i) klorofil, pigmen hijau produsen primer
mengumpulnya serasah dan air saat laut surut, sehingga yang menyerap sinar matahari selama fotosintesis, (ii)
memiliki akumulasi bahan organik yang cukup tinggi. asam amino, kerangka dasar protein, dan (iii) material
Pada lingkungan mangrove yang vegetasinya relatif lebih genetik, termasuk asam deoksiribonukleat (DNA) dan
mapan, namun masih mengalami akresi lumpur, seperti asam ribonukleat (RNA). Nitrogen merupakan unsur
Segara Anakan dan sekitarnya, kadar BOT berada pada keempat yang paling banyak dijumpai pada jaringan
kisaran rata-rata, yakni sebesar 10,403% (Tritih), tubuh makhluk hidup, setelah oksigen, karbon, dan
10,148% (Motean), dan 11,429% (Muara Dua). hidrogen (Hauxwell, dkk. 2001).
Penelitian Sudarmadji (2000) di kawasan mangrove Kebanyakan nutrien penting yang dibutuhkan
Taman Nasional Baluran menunjukkan kadar bahan tumbuhan dan produsen primer lainnya diperoleh dari
organik karbon berkisar antara 18,98-36,36% pelapukan batuan, kecuali nitrogen yang tersedia
Siklus biogeokimia karbon di lingkungan banyak melimpah sebagai gas dinitrogen (N2), yakni 78%
dibantu oleh makhluk hidup, yang melakukan penyusun udara. Nitrogen alami dapat bersumber dari
transformasi kimia dan penyimpanan. Karbon di dalam fiksasi oleh bakteri, mineralisasi bahan organik tanah,
tanah terdiri dari dua komponen, yaitu karbon organik dan deposisi dari udara, sedangkan sumber nitrogen
yang umumnya terletak hingga kedalaman 1 m dari antropogenik antara lain: pupuk dan limbah peternakan,
permukaan tanah, serta karbon inorganik. Karbon di pembakaran bahan organik atau bahan bakar fosil, dan
dalam tanah jumlahnya 3,3 kali lebih banyak dari pada di dekomposisi bahan organik (Vitousek dkk., 1997a, b;
atmosfer, sedangkan karbon pada biomassa tumbuhan Nasholm dkk., 2000; Hauxwell, dkk. 2001). Adapun
4,0 kali lebih banyak dari pada di atmosfer (Lal, 1999). kehilangan nitrogen di alam dapat disebabkan pelindihan
Tanah merupakan tempat penyimpanan utama karbon nitrat, volatilisasi, dan denitrifikasi (Schroth dkk., 2003).
dan berperan penting dalam pengaturan siklusnya. Kebanyakan tumbuhan tidak dapat menggunakan N2
Namun penyimpanan karbon di atmosfer terus secara langsung, karena tidak mampu memecahkan
meningkat setiap tahun, kebanyakan dalam bentuk CO2. ikatan dinitrogen tersebut. Energi kilat dapat
Kegiatan antropogenik merupakan faktor utama yang mematahkan ikatan N2, serta menghasilkan NO2-, NO3-,
menyebabkan perubahan siklus karbon di lingkungan. dan NH4+. Organisme pemfiksasi nitrogen, sepertti
Penyebab utama peningkatan ini adalah (i) pembakaran mikorhiza, bakteri bintil akar dan cyanobacteria, dapat
bahan bakar fosil, (ii) aktivitas pabrik semen, serta (iii) mengubah N2 menjadi NH4+, dan selanjutnya dioksidasi
77

- -
oleh bakteri tanah menjadi NO2 dan NO3 , melalui Kadar fosfat (PO43-)
-
proses nitrifikasi. Terdapat pula proses reduksi NO3 Unsur fosfor yang diteliti hanya senyawa PO43-,
-
menjadi NO2 , yang hanya terjadi pada kondisi teraerasi mengingat hanya senyawa ini yang berada dalam
dengan baik. Tumbuhan dapat menyerap NO3-, dan keadaan tersedia bagi tumbuhan dan produsen primer
+
mengubahnya menjadi NH4 sebelum digunakan dalam lainnya. Fosfor merupakan komponen penting dalam
sintesis protein (Herbert, 1999; Hauxwell, dkk. 2001; DNA, suatu molekul hereditas, ditemukan pula dalam
Silver dkk., 2001). Faktor utama yang mempengaruhi adenosin trifosfat (ATP), suatu molekul yang diperlukan
konsentrasi nitrogen inorganik, terutama NO3- dan NH4+, dalam pemindahan dan penyimpanan energi, fosfor juga
di perairan pantai adalah masukan nutrien dari diperlukan dalam berbagai reaksi enzimatis (Marschner,
daratan/sungai dan kondisi fisika-kimia di permukaan 1995; Hauxwell dkk. 2001). Hampir semua fosfor alami di
sedimen (sedimen-water interface). Perubahan nutrien dalam tanah berasal dari pelapukan mineral primer,
ini sangat ditentukan oleh laju sedimentasi, dekomposisi terutama apatite (Mott, 1988). Pengukuran kandungan
detritus, dan transportasi nutrien dari dan ke badan air fosfor di dalam tanah sangat krusial, mengingat sifatnya
oleh infauna. Laju ammonifikasi (pelepasan NH4+ dari yang sangat immobil, sehingga pengambilan sampel
+ -
bahan organik), nitrifikasi (oksidasi NH4 menjadi NO3 ) pada kedalaman yang berbeda dan/atau pada lokasi
-
dan denitrifikasi (reduksi NO3 menjadi N2 dan N2O) yang berbeda dapat menghasilkan kandungan fosfor
- +
dapat diestimasi dari perubahan NO3 dan NH4 di yang jauh berbeda (Schroth dkk., 2003). Untuk itu dalam
permukaan sedimen (Jensen dkk., 1990). penelitian ini digunakan teknik pengambilan sampel
Dalam penelitian ini, kadar NO3- bervariasi antara komposit, dengan mencampur homogen sampel tanah
0,327 mg/100g (Cingcingguling) s.d. 0,671 mg/100g dari beberapa titik.
(Bulak), dengan rata-rata 0,4224 mg/100g. Kadar NH4+ 3-
Dalam penelitian ini kadar PO4 bervariasi antara
bervariasi antara 0,174 mg/100g (Wulan) s.d. 0,409 4,73 mg/100g (Cingcingguling) s.d. 8,39 mg/100g (Ijo)
mg/100g (Ijo) dengan rata-rata 0,2847 mg/100g. Sebagai dengan rata-rata 6,80 mg/100g. Dalam Baku Mutu
pembanding dalam Baku Mutu Limbah Cair menurut Limbah Cair menurut Kepmen LH No. Kep-
Kepmen LH No. Kep-51/MENLH/10/1995 ditetapkan 51/MENLH/10/1995 baku mutu untuk PO43- tidak
baku mutu untuk NO3- sebesar 20-30 mg/L (200-300 ditetapkan. Adapun dalam Kriteria Mutu Air berdasarkan
+
mg/100mL); sedangkan untuk NH3 (NH4 ) sebesar 1-5 Kelas menurut PP 82/2001 untuk kelas I ditetapkan
mg/L (10-50 mg/100mL). Adapun dalam Kriteria Mutu Air kadar PO43- sebesar 0,2 mg/L (2 mg/100mL), sehingga
berdasarkan Kelas menurut PP 82/2001 untuk kelas I, kadar fosfat di lokasi penelitian semuanya berada di atas
ditetapkan kadar NO3- sebesar 10 mg/L (100 mg/100mL); ambang yang diperkenankan. Kadar PO43- di
+
sedangkan untuk NH3 (NH4 ) sebesar 0,5 mg/L (5 Cingcingguling merupakan yang terendah, yaitu 4,73
mg/100mL). Angka hasil penelitian di atas relatif rendah mg/100g. Hal ini kemungkinan disebabkan daerah aliran
dan tidak terlalu berbeda antara satu lokasi dengan sungai tersebut sebagian berhulu di Pegunungan
lokasi lainnya. Gombong yang merupakan pegunungan karst
Hasil di atas berbeda dengan anggapan umum (gamping), sehingga memiliki sedimen yang kaya
bahwa kawasan di sekitar lahan pertanian intensif akan kalsium karbonat (CaCO3). Senyawa PO43- dapat
cenderung memiliki kandungan unsur-unsur nutrien berikatan dengan kalsium karbonat, sehingga
kimia inorganik, seperti NO3- dan NH4+, yang relatif lebih keberadaannya tidak terukur dalam pengujian di
tinggi karena adanya sumbangan pupuk dari lahan laboaratorium. Bentuk senyawa kompleks ini juga kurang
pertanian. Dalam penelitian ini, kawasan mangrove dapat diserap tumbuhan, sehingga unsur fosfor menjadi
Cingcingguling yang dikelilingi areal pertanian ternyata faktor pembatas pertumbuhan (Mott, 1988; Hauxwell
memiliki kadar NO3-, paling rendah dari pada lokasi dkk. 2001). Hal yang sama kemungkinan juga terjadi di
3-
lainnya. Sebaliknya pada proses pengambilan data Wulan, yang memiliki kadar PO4 hampir sama
secara berurutan (simultan) di Ijo yang daerah aliran rendahnya dengan Cingcingguling, yaitu 4,86 mg/100g.
sungainya juga mencakup areal pertanian ternyata Sebagian kawasan hulu daerah aliran sungai ini adalah
kandungan NH4+ paling tinggi. Hal ini kemungkinan Pegunungan Kendeng Utara yang merupakan
dikarenakan jumlah pupuk kimia yang ditebarkan di pegunungan karst pula. Rendahnya kadar PO43- di
lahan pertanian dan selanjutnya terbawa ke kawasan Wulan dapat pula disebabkan karena sedimennya
-
mangrove tidak cukup besar, sehingga kadar NO3 dan bersifat lempung (clay). Kawasan karst disusun oleh
+
NH4 , di kawasan tersebut lebih tergantung pada proses batuan gamping, yang di sela-selanya terdapat tanah
biogeokimia secara umum dari pada sumbangan input lempung dengan jumlah yang beragam antar lokasi.
nutrien dari lahan pertanian. Meskipun demikian Menurut Mott (1988) tanah lempung, kalsium, dan
tingginya kadar NO3- di Bulak yang merupakan area aluminium dapat berikatan dengan fosfor.
3-
pertambakan dibandingkan kawasan lain, kemungkinan Kadar PO4 yang paling tinggi ditemukan di Ijo (8,39
disumbangkan oleh kegiatan pemupukan tambak, mg/100g), diikuti Bulak (8,05 mg/100g). Ijo merupakan
mengingat tidak adanya sumber antropogenik lain yang sungai yang melewati lahan pertanian sawah cukup luas,
cukup besar. Adapun rendahnya kadar NH4+ di Wulan sehingga diperkirakan terdapat masukan pupuk
dapat pula disebabkan sedimen tanah akresinya inorganik fosfat dari kawasan tersebut. Adapun Bulak
didominasi material lempung. Muatan listrik pada merupakan kawasan pantai yang dikelilingi area tambak
+
permukaan jenis tanah ini dapat berikatan dengan NH4 cukup luas pada sisi yang mengarah ke laut, serta lahan
membentuk koloid, sehingga keberadaannya tidak pertanian sawah pada sisi yang mengarah ke daratan.
terdeteksi, meskipun pada akhirnya nutrien ini dapat pula Limpahan pupuk yang digunakan untuk menyuburkan
dilepaskan kembali (Herbert, 1999). sawah dan tambak ini kemungkinan menjadi penyebab
tingginya kadar fosfat. Secara umum dalam penelitian
ini, kadar PO43- berada di atas persyaratan kriteria air
Kelas I menurut PP 82/2001, hal ini terjadi karena
78

3- Houghton, R.A., and J.L. Hackler. 2001. Carbon Flux to the Atmosphere
adanya suplai PO4 dari laut, sebagaimana diketahui
3- from Land-Use Changes: 1850-1990. Oak Ridge TN: Carbon
PO4 bukan merupakan faktor pembatas pada Dioxide Information Analysis Center, Oak Ridge National Laboratory.
lingkungan perairan laut, sebaliknya ketersediaannya di Howarth, R.W. 1998. An assessment of human influences on fluxes of
laut sangat melimpah. nitrogen from the terrestrial landscape to the estuaries and
continental shelves of the North Atlantic Ocean. Nutrient Cycling in
Agroecosystems 52: 213-223.
Howarth, R.W., and 15 others. 1996. Regional nitrogen budgets and
KESIMPULAN riverine N and P fluxes for the drainages to the North Atlantic Ocean:
Natural and human influences. Biogeochemistry 35: 75-139.
Jensen, H.M., E. Lomstein, and J. Sorensen. 1990. Benthic NH4+ and
Kadar nutrien pada sedimen tanah mangrove di Jawa NO3- flux following sedimentation of a spring phytoplankton bloom in
Tengah masih berada jauh di bawah kisaran baku mutu Aarhus, Denmark. Marine Ecology 61: 87-96.
Jickells, T.D. 1998. Nutrien biogeochemistry of the coastal zone. Science
limbah cair, khususnya untuk unsur nitrogen, sedangkan 281: 217-222.
kandungan fosfat yang tinggi merupakan konsekuensi Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep-
dari keberadaan mangrove di lingkungan laut. Kadar 51/MENLH/10/1995 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan
Industri.
bahan organik total bervariasi antara 8,308% (Wulan) Lal, R. 1999. World soils and the greenhouse effect. Global Climate
s.d. 15,361% (Bulak), adapun rata-ratanya adalah Change Newsletter, IGBP 37: 4-5.
-
11,260%. Kadar NO3 bervariasi antara 0,327 mg/100g Lallier-Verges, E., B.P. Perrussel, J.R. Disnar, and F. Baltzer. 1998.
(Cingcingguling) s.d. 0,671 mg/100g (Bulak), dengan Relationships between environmental conditions and the diagenetic
evolution of organic matter derived from higher plants in a modern
rata-rata 0,4224 mg/100g. Kadar NH4+ bervariasi antara mangrove swamp system (Guadeloupe, French West Indies).
0,174 mg/100g (Wulan) s.d. 0,409 mg/100g (Ijo), dengan Organic Geochemistry 29: 1663-1686.
rata-rata 0,2847 mg/100g. Kadar PO43- bervariasi antara Lee, S.Y., 1995. Mangrove outwelling: a review. Hydrobiologia 295: 203-
212.
4,73 mg/100g (Cingcingguling) s.d. 8,39 mg/100g (Ijo) Levin, L.A., D.F. Boesch, A. Covich, C. Dahm, C. Erseus, K.C. Ewel, R.T.
dengan rata-rata 6,80 mg/100g. Hal ini mengindikasikan Kneib, A. Moldenke, M.A. Palmer, P. Snelgrove, D. Strayer, and J.M.
belum adanya eutrofikasi pada sedimen tanah di Weslawski. 2001. The function of marine critical transition zones and
lingkungan mangrove Jawa Tengah. the importance of sediment biodiversity. Ecosystems 4: 430-451
Lisitzyn, A.P. 1999. The continental–ocean boundary as a marginal filter
in the world oceans. Environment 59:69-103.
Lovelock, C. 1993. Field Guide to the Mangroves of Queensland.
Queensland: Australian Institute of Marine Science.
DAFTAR PUSTAKA www.aims.gov.au
Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition of Hinger Plants. London:
Aksornkoae, S., 1986. Mangrove ecosystem general background. In: Academic Press.
Training Course on Life History of Selected Species of Flora and Matsui, N., 1998. Estimated stocks of organic carbon in mangrove roots
Fauna in Mangrove Ecosystems. Bangkok: UNDP/UNESCO and sediments in Hinchinbrook Channel, Australia. Mangroves and
Regional Project. Salt Marshes 2: 199-204.
APHA. 1969. Standard Methods for the Examination of Water and McNaughton, S.J., 1993. Biodiversity and function of grazing
Wastewater. New York: APHA (American Public Health Association). ecosystems. In Schulze, E.D. and H.A. Mooney (eds.). Biodiversity
Bouillon, S., F. Dahdouh-Guebas, A.V.V.S. Rao, N. Koedam, dan F. and Ecosystem Function. Berlin: Springer Verlag.
Dehairs. 2003. Sources of organic carbon in mangrove sediments: Mott, C.J.B. 1988. Surface chemistry of soil particles. In Wild, A. (ed.)
variability and possible ecological implications. Hydrobiologia 00: 1- Russell’s Soil Conditions and Plant Growth. Harlow: Longman.
7. (article in press). Nasholm, T., K. Huss-Danell, and P. Hogberg. 2000. Uptake of organic
Brown, S. 2002. Measuring carbon in forests: current status and future nitrogen in the field by four agriculturally important plant species.
challenges. Environmental Pollution 116: 363-372. Ecology 81: 1155-1161.
Bunt, J.S., K.G. Boto, and G. Boto. 1979. A survey method for estimating Newell, S.Y., J.W. Fell, A. Statzell-Tallman, C. Miller, and R. Cefalu.
potential levels of mangrove forest primary production. Marine 1984. Carbon and nitrogen dynamics in decomposing leaves of three
Biology 52: 123-128. coastal marine vascular plants of the subtropics. Aquatic Botany 19:
Burdige, D.J. 2001. Dissolved organic matter in Cheaseapeake Bay 183-192.
sediment pore water. Organic Geochemistry 32: 487-505. Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (eds.). 2001. A Guide to Mangroves of
Clough, B.F. 1992. Primary productivity and growth of mangrove forests. Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and
In Robertson, A.I. and D.M. Alongi (ed.). Coastal and Estuarine Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science
Studies: Tropical Mangrove Ecosystems. Washington DC.: American Centre.
Geophysical Union. Nixon, S.W, and 15 others. 1996. The fate of nitrogen and phosphorus at
Cole, J.J., B.L. Peirls, N.F. Caraco, and M.L. Pace. 1993. Nitrogen the land-sea margin of the North Atlantic Ocean. Biogeochemistry
loading of rivers as a human driven process. In: McDonnell, M.J. and 35: 141-180.
S.T.A. Pickett (eds.) Humans as Components of Ecosystems: The Nixon, S.W. 1995. Coastal marine eutrophication: a definition, social
Ecology of Subtle Human Effects and Populated Areas. New York: causes, and future concerns. Ophelia 41:199-219
Springer-Verlag. Ong, J.E., 1995. The ecology of mangrove conservation and
Downing, J.A., M. McClain, R. Twilley, J.M. Melack, J. Elser, N.N. management. Hydrobiologia 295: 343-351.
Rabalais, W.M. Lewis, R.E. Turner, J. Corredor, D. Soto, A. Yanez- Ong, J.E., W.K. Gong, C.H. Wong, and G. Dhanarajan. 1984.
Arancibia, J.A. Kopaska, and R.W. Howarth. 1999. The impact of Contribution of aquatic productivity in managed mangrove
accelerating land-use change on the N-Cycle of tropical aquatic ecosystem in Malaysia. In Soepadmo, E., A.N. Rao, and D.J.
ecosystems: Current conditions and projected changes. Macintosh (eds.). Proceeding UNESCO: Asian Symposium on
Biogeochemistry 46: 109-148. Mangrove Environment, Resources, and Management. University of
Fujimoto, K., A. Imaya, R. Tabuchi, S. Kuramoto, H. Utsugi, and T. Malaya. Kuala Lumpur, Malaysia: 209-215.
Murofushi. 1999. Belowground carbon storage of Micronesian Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan
mangrove forests. Ecological Research 14: 409-413. Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air; Kriteria Mutu Air
Furukawa, K., E. Wolanski, and H. Mueller. 1997. Currents and sediment berdasarkan Kelas I.
transpor in mangrove forests. Estuary and Coastal Shelf Science 44: Prawirowardoyo, S., A. Rosmarham, Dj. Shiddieq, M.S. Hidayat, and M.
301-310. Ma’shum. 1987. Prosedur Analisa Kimia Tanah. Yogyakarta: FMIPA
Hauxwell, J., C. Jacoby, T.K. Frazer, and J. Stevely. 2001. Nutriens and UGM.
Florida’s Coastal Waters: The Links between People, Increased Rao, N.S. 1994. Mikroorganism Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Edisi
Nutriens, and Changes to Coastal Aquatic Systems. Gainesville FL.: kedua. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Florida Sea Grant, University of Florida. Rice, D.L. and K.R. Tenore. 1981. Dynamics of carbon and nitrogen
Herbert, R.A. 1999. Nitrogen cycling in coastal marine ecosystems. during the decomposition of detritus derived from estuarine
FEMS Microbiology Reviews 23: 563-590. macrophytes. Estuary and Coastal Shelf Science 13: 681-690.
Hidayat, A. 1978. Methods of Soil Chemical Analysis. Bogor: Japan Robertson, A.I.. 1988. Decomposition of mangrove leaf litter in tropical
International Cooperation Agency (JICA). Australia. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology 116:
Houghton, R.A., 1999. The annual net flux of carbon to the atmosphere 235-247.
from changes in land use 1850-1990. Tellus 50B: 298-313.
79

Schlesinger, W.H. 1991. Biogeochemistry: An Analysis of Global Change. Sudarmadji. 2000. Vegetation Structure and Edaphic factors of Mangrove
New York: Academic Press. Forest at Baluran National Park, East Java Indonesia. [Dissertation].
Schroth, G., J. Lehmann, and E. Barrios. 2003. Soil nutrient availability Los Banos: University of the Philippines at Los Banos (UPLB).
and acidity. In Schroth, G. and F.L. Sinclair. (eds.). Trees, Crops and Tan, K.H. 1996. Soil Sampling, Preparation and Analysis. New York:
Soil Fertility. New York: CAB International. Marcel Dekker, Inc.
Silver, W.L., D.J. Herman, and M.K. Forestone. 2001. Dissimilatory Twilley, R.R., R.H. Chen, and T. Hargis. 1992. Carbon sinks in mangrove
nitrate reduction to ammonium in upland tropical forest soil. Ecology forests and their implications to the carbon budget of tropical coastal
82: 2410-2416. ecosystems. Water, Air and Soil Pollution 64: 265-288.
Smith, S.V. 1984. Phosphorus versus nitrogen limitation in the marine Vitousek, P.M., H.A. Mooney, J. Lubchenco, and J.M. Melillo. 1997.
environment. Limnology and Oceanography 29: 1149-1160 Human domination of earth's ecosystems. Science 277: 494-499.
Steinke, T.D., A.J. Holland, and Y. Singh. 1993a. Leaching losses during Vitousek, P.M., J. Aber, R.W. Howarth, G.E. Likens, P.A. Matson, D.W.
decomposition of mangrove leaf litter. South Africa Journal of Botany Schindler, W.H. Schlesinger, and G.D. Tilman. 1997. Human
59: 21-25. alteration of the global nitrogen cycle: causes and consequences.
Steinke, T.D., A. Rajh, and A.J. Holland. 1993b. The feeding behaviour of Ecological Applications 7: 737-750.
the red mangrove crab Sesarma meinerti De Man, 1887 (Crustacea: Worm, B., H.K. Lotze, and U. Sommer. 2000. Coastal food web structure,
Decapoda: Grapsidae) and its effect on the degradation of mangrove carbon storage, and nitrogen retention regulated by consumer
leaf litter. South Africa Journal of Marine Science 13: 151-160. pressure and nutrien loading. Limnology and Oceanography 45 (2):
Subramanian, V. and A. Verma. 2000. Energy and the carbon cycle. 339-349.
TERI Information Monitor on Environmental Science (TIMES) 5 (2): Wosten, J.H.M., P. de Willigen, N.H. Tri, T.V. Lien, and S.V. Smith. 2003.
91-103. Nutrien dynamics in mangrove areas of the Red River Estuary in
Vietnam. Estuary and Coastal Shelf Science 57: 65-72.
80

Pencemaran Logam Berat Fe, Cd, Cr, dan Pb

ABSTRACT mangrove dan pantai adalah pencemaran logam berat,


yang akhir-akhir ini menjadi isu hangat. Pencemaran Hg
The aims of the research were to find out the heavy metals di Teluk Minamata, Jepang (1953), merupakan tonggak
concentration of Fe, Cd, Cr, and Pb at mangrove environment in awal perhatian dunia terhadap pencemaran logam berat.
northern coast and southern coast of Central Java Province. Kasus terbaru adalah pencemaran As dan Hg di Teluk
This research was conducted in July until December 2003, at 20 Buyat, Sulawesi Utara (Polii dkk., 2001; Suhendrayatna,
sites. Laboratory assay was conducted in Central Laboratory of 2001). Menurut US. EPA (US. Environmental Protection
Mathematics and Natural Sciences, Sebelas Maret University
(UNS) Surakarta. Soil samples were collected by soil core at +
Agency) dalam Novotny (1995), terdapat 13 jenis logam
20 cm in depth at five sites, which definite randomly, at least 10 berat yang berbahaya bagi makhluk hidup, yaitu:
m in distance between each others. The contents of Fe, Cd, Cr, antimon (Sb), arsen (As), berilium (Be), kadmium (Cd),
and Pb were analyzed by using AAS method (Atomic kromium (Cr), tembaga (Cu), timbal (Pb), merkuri (Hg),
Absorbance Spectrophotometer). The result indicated that the nikel (Ni), selenium (Se), perak (Ag), stronsium (Sr), dan
Fe content varied from 42.682 mg/100g (Bulak) to 282.098 seng (Zn). Beberapa jenis logam berat merupakan
mg/100g (Lukulo) with the average of 225.853 mg/100g. The Cd komponen penting dalam ekosistem. Cu dan Zn
content varied from 0.0662 mg/100g (Tayu) to 0.3270 mg/100g dibutuhkan bagi kehidupan, namun logam berat lainnya
(Bulak) with the average of 0.1215 mg/100g. The Cr content
varied from 0.3042 mg/100g (Bengawan) to 3.0808 mg/100g
seperti Pb dan Hg tidak diketahui fungsi biokimianya
(Lukulo) with the average of 1.0583 mg/100g. The Pb content (Pinto dkk., 2003).
varied from 0.7026 mg/100g (Cingcingguling) to 2.1304 Logam berat di lingkungan dapat berasal dari dari
mg/100g (Serayu) with the average of 1.3885 mg/100g. This sumber alami maupun sumber buatan/ aktivitas
result indicated that the content of heavy metals was high antropogenik. Logam berat yang menjadi bahan
enough, but still below the recommended standard quality of pencemar umumnya berasal dari sumber antropogenik
sewage. (Adriano, 1986; Bilos dkk., 2001; Pinto dkk., 2003).
Sumber alami dapat berupa pelapukan batu-batuan,
Key words: heavy metals, Fe, Cd, Cr, Pb, mangrove, Central aktivitas gunung berapi, badai pasir, semburan ombak
Java. laut dan partikel-partikel hayati. Adapun sumber
antropogenik mencakup limbah pertambangan, industri,
pertanian, transportasi, dan limbah domestik.
PENDAHULUAN Kontaminasi dari sumber antropogenik terus meningkat
karena meningkatnya eksploitasi pertambangan dan
industrialisasi (Jones dkk., 2000; Bilos dkk., 2001; Pinto
Mangrove atau mangal adalah vegetasi yang tumbuh dkk., 2003).
di sepanjang garis pantai tropis dan sub-tropis, Limbah cair dari kawasan pemukiman dan industri
didominasi tumbuhan bunga terestrial umumnya merupakan sumber utama pencemaran di perairan,
berhabitus pohon dan semak, dapat menginvasi dan adapun gas buang kendaraan bermotor merupakan
tumbuh di kawasan pasang surut, dengan tanah sumber utama pencemaran di udara (Adriano, 1986;
bersalinitas tinggi dan anaerob (MacNae, 1968; Storelli dkk., 2001). Limbah ini dapat terbawa jauh dari
Chapman, 1976; Tomlinson, 1986; Aksornkoae, 1993; sumber asalnya (Pinto dkk., 2003). Limbah di udara
Nybakken, 1993; Kitamura dkk., 1997). Ekosistem pada akhirnya akan terdeposisi dari atmosfer, lalu
mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai bersama-sama limbah cair dan padat akan terangkut
tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi oleh air hujan, sungai dan laut ke lingkungan mangrove
dengan lingkungan di habitat mangrove (SNM, 2003). dan pantai, serta terendap dan terakumulasi pada
Sebagian besar ekosistem mangrove di Jawa telah sedimen tanah (Kim dkk., 1998; Prange dan Dennison,
mengalami degradasi. Hal ini umumnya disebabkan 2000). Sedimen merupakan material yang tersusun atas
pembangunan tambak, penebangan hutan, sedimentasi/ detritus, partikel organik dan inorganik, dengan sifat-sifat
reklamasi, dan pencemaran lingkungan (Walsh, 1974; fisika, kimia dan biologi yang beragam. Sebagian besar
Lewis, 1990; Nybakken, 1993; Primavera, 1993). Salah logam berat dalam sedimen dapat mengalami perubahan
satu bentuk pencemaran lingkungan di kawasan ke bentuk larutan, baik melalui presipitasi sebagai oksida

Publikasi asli: Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, dan K. Winarno. 2004. Pencemaran Logam Berat Fe, Cd, Cr, dan Pb
pada Lingkungan Mangrove di Propinsi Jawa Tengah. Enviro 4 (2): 45-49..
81

atau karbonat, maupun melalui pembentukan campuran Alat dan bahan


padat dengan logam lain (Kim dkk., 1998; Li dkk., 2000). Preparasi sampel tanah. Alat yang digunakan
Logam berat dapat terserap biota melalui in-take meliputi: soil core, ember plastik, kantung plastik hitam
langsung maupun rantai makanan (Prange dan atau botol polietilen, nampan plastik, kipas angin,
Dennison, 2000; Pinto dkk., 2003). Biota yang timbangan, alu dan lumpang porselen, saringan stainless
mengakumulasi logam berat antara lain makroalgae, steel atau nilon berdiameter 0,5 mm dan 2 mm.
organisme bentos, dan padang lamun (Prange dan Pengukuran kadar logam berat. Bahan kimia yang
Dennison, 2000; Storelli dkk., 2001). digunakan adalah: hidrogen peroksida 20%, dan asam
Logam berat merupakan bahan pencemar yang hidroklorat. Alat yang digunakan adalah botol
berbahaya karena bersifat toksik dan dapat polipropilen, timbangan analitik, corong, kertas saring
mempengaruhi berbagai aspek ekologi dan biologi. Whatman 42, gelas ukur 50 ml, penunjuk waktu, dan
(Dahuri dkk., 1996; Suhendrayatna, 2001). Mekanisme perangkat AAS (Atomic Absorbance Spectrophotometer).
toksisitas logam berat tidak selalu jelas, namun
kebanyakan terkait dengan tingkat oksidasinya. Logam Cara kerja
berat dapat menyebabkan kerusakan oksidatif, melalui Pengukuran bahan pencemar logam berat merujuk
peningkatan konsentrasi oksigen reaktif (radikal bebas) pada: Tan (1996), Prawirowardoyo, dkk. (1987), Hidayat
dalam sel, serta penurunan kapasitas antioksidasi sel. (1978) dan APHA (1969).
Organisme merespon logam berat dengan membentuk Preparasi sampel tanah. Sampel sedimen tanah
berbagai antioksidan, termasuk berbagai jenis enzim dan diambil dengan soil core di kedalaman + 20 cm dari
senyawa-senyawa dengan berat molekul rendah (Pinto permukaan sedimen pada lima titik yang ditentukan
dkk., 2003). secara random, dengan jarak sekurang-kurangnya 10 m
Pembuangan limbah logam berat ke lingkungan antara satu dengan lainnya, lalu dicampur dan diaduk
muara dan pantai mendapat perhatian serius dari para secara merata dalam ember plastik. Proporsi sedimen
pemerhati lingkungan, karena (i) beracun bagi organisme tanah dari kelima titik tersebut relatif sama, dengan hasil
dan persisten di lingkungan akuatik; (ii) kebanyakan akhir sekitar 1-2 kg basah. Di laboratorium, sisa-sisa
berasal dari sumber antropogenik yang terus meningkat; akar, batu dan material organik dibuang dan disaring
(iii) informasi mengenai perilaku dan biotoksisitasnya dengan saringan berdiameter 2 mm, lalu dilanjutkan
masih terbatas; dan (iv) terjadi akumulasi dan dengan saringan berdiameter 0,5 mm.
biomagnifikasi pada organisme akuatik (Cohen dkk., Pengukuran kadar logam berat. Sampel tanah di
2001). Dari sudut pandang toksikologi, partikulat logam atas siap untuk dianalisis kandungan logam berat Fe,
berat yang terbawa udara dapat mempengaruhi Cd, Cr, dan Pb dengan AAS. Apabila tanah tidak segera
kesehatan. Partikel-partikel kecil (θ ≤ 10 mm) yang dianalisis maka perlu disimpan dalam plastik hitam atau
terhirup saat menghirup udara dapat terserap alveoli botol polietilen, udara dalam plastik dikeluarkan, diikat
paru-paru. Pb, Cd, dan Cr merupakan partikel-partikel rapat dan dimasukkan dalam lemari pendingin.
logam berat yang banyak terhirup dan mempengaruhi
kesehatan masyarakat (Bilos dkk., 2001).
Vegetasi mangrove berpotensi mengeliminasi HASIL DAN PEMBAHASAN
pencemaran logam berat. Penelitian ini bertujuan untuk Hasil
mengetahui kandungan logam berat Fe, Cd, Cr, dan Pb Hasil penelitian kadar Fe, Cd, Cr, dan Pb di
pada lingkungan mangrove di pantai utara dan selatan lingkungan mangrove pantai utara dan selatan Jawa
Jawa Tengah. Tengah disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kadar logam berat Fe, Cd, Cr, dan Pb di lingkungan


BAHAN DAN METODE mangrove pantai utara dan selatan Jawa Tengah.

Kadar logam berat (mg/100 gr)


Waktu dan lokasi penelitian Lokasi
Fe Cd Cr Pb
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli s.d. Wulan 235.000 0.1447 1.1001 1.8268
Desember 2003. Penelitian lapangan dilakukan pada 20 Sigrogol 255.746 0.1228 0.7234 1.5064
habitat mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Serang 217.958 0.1122 0.6687 1.3434
Tengah. Keduapuluh lokasi tersebut meliputi: (1) Wulan, Bulak 42.682 0.3270 0.7325 2.0854
Demak (2) Sigrogol, Demak (3) Serang, Demak (4) Telukawur 277.646 0.1155 1.3037 1.0455
Bulak, Jepara, (5) Telukawur, Jepara, (6) Tayu, Pati, (7) Tayu 232.672 0.0662 1.0333 1.1411
Juwana, Pati, (8) Pecangakan, Rembang, (9) Pasar Juwana 216.196 0.1133 1.3006 1.9393
Bangi, Rembang, (10) Lasem, Rembang, (11) Pecangakan 234.976 0.0780 1.1335 1.7257
Pasar Banggi 139.648 0.1268 1.0576 1.6807
Bogowonto, perbatasan Kulonprogo dan Purworejo, (12) Lasem 176.396 0.0679 1.3188 1.9168
Cakrayasan, Purworejo, (13) Lukulo, Purworejo, (14) Bogowonto 274.506 0.1245 0.6627 1.2816
Cincingguling, Kebumen, (15) Ijo, Kebumen, (16) Cakrayasan 277.896 0.1167 0.7811 1.3884
Bengawan, Cilacap, (17) Serayu, Cilacap, (18) Tritih, Lukulo 282.098 0.1189 3.0808 1.2085
Cilacap (19) Motean, Cilacap, dan (20) Muara Dua, Cingcingguling 240.288 0.0847 0.7599 0.7026
Cilacap. Lokasi ke-4, 5, 9, dan 10 terletak langsung di Ijo 210.230 0.0942 0.3498 1.0568
tepi pantai dan jauh dari muara sungai besar, lokasi ke- Bengawan 208.602 0.1840 0.3042 0.8937
18, 19, 20 terletak di laguna Segara Anakan, sedangkan Serayu 227.632 0.1021 0.7629 2.1304
Tritih 253.962 0.1105 1.8383 0.8994
lokasi sisanya terletak di muara sungai. Penelitian
Motean 262.074 0.1223 1.2520 1.2254
laboratorium dilakukan di Sub-Lab Kimia, Laboratorium Muara Dua 250.842 0.0976 1.0029 0.7813
Pusat MIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Rata-rata 225.853 0.1215 1.0583 1.3885
82

Kandungan logam berat Bahan-bahan pencemar tersebut semakin berbahaya


karena dapat terakumulasi pada makhluk hidup yang
Kadar besi (Fe) terpapar dan mengalami biomagnifikasi pada tingkatan
Kadar Fe bervariasi antara 42,682 mg/100g (Bulak) trofik rantai makanan yang lebih tinggi. Bahan pencemar
s.d. 282,098 mg/100g (Lukulo), dengan rata-rata ini sangat berbahaya bagi manusia karena manusia
225,853 mg/100g (Tabel 1.). Sebagai pembanding dalam menempati tingkatan trofik paling tinggi dalam jaring-
Baku Mutu Limbah Cair menurut Kepmen LH No. Kep- jaring makanan, akibatnya kemungkinan akumulasi
51/MENLH/10/1995 ditetapkan baku mutu untuk Fe logam berat pada tubuh manusia sangat tinggi. Menurut
sebesar 5-10 mg/L (50-100 mg/100 ml). Fe tidak Koyama dkk. (2000), kandungan logam berat yang tinggi
termasuk logam berat berbahaya dalam kriteria US. pada mamalia dan burung laut, misalnya Cd, dapat
EPA. Tingginya kadar Fe dapat disebabkan tipe/jenis diperoleh dari cumi-cumi yang menjadi mangsanya.
tanah dan proses biogeokimia di dalamnya. Oleh karena Cumi-cumi sendiri mendapatkan logam berat dari air dan
itu, pada lingkungan mangrove, tingginya kadar Fe tidak bahan makanan. Kadar logam berat pada cumi-cumi liar
selalu identik dengan pencemaran lingkungan yang umumnya lebih rendah dari kadar di air laut, namun
disebabkan oleh proses-proses antropogenik. sama tingginya dengan kadar pada mangsanya. Menurut
Pengamatan di pantai selatan menunjukkan tingginya Rai dkk. (1981), semakin tinggi kandungan logam berat
kadar Fe dapat disebabkan tipe tanah pasirnya dalam perairan, maka semakin tinggi pula kandungan
mengandung bijih besi, misalnya Bogowonto, logam berat yang terakumulasi dalam tubuh biota
Cakrayasan, Lukulo, dan Serayu. Muara Serayu akuatik.
merupakan salah satu sumber bijih besi untuk pabrik Dalam penelitian ini, kawasan mangrove yang
semen di Cilacap. Kawasan Segara Anakan tidak mendapatkan aliran permukaan dari daerah pemukiman
memiliki tipe tanah berpasir besi dan memiliki kandungan padat dan industri umumnya memiliki tingkat
Fe pada kadar di sekitar rata-rata. Hal ini kemungkinan pencemaran logam berat lebih tinggi dari pada kawasan
akibat proses biogeokimia di dalamnya. Kadar Fe di atas mangrove yang mendapatkan aliran permukaan dari
rata-rata juga terukur di Wulan, Sigrogol, Telukawur, daerah aliran sungai yang lebih alami. Meskipun telah
Tayu, dan Pecangakan. jamak diketahui pula bahwa pelapukan bantuan dan
Fe memiliki peranan penting pada lingkungan aktivitas gunung berapi di hulu sungai merupakan salah
mangrove. Bersama dengan belerang, elemen ini dapat satu sumber utama logam berat, di samping kegiatan
membentuk kompleks pirit (FeS2) yang dapat antropogenik. Menurut Shriadah (1999), variasi tingkat
menurunkan pH tanah. Kondisi asam ini terjadi logam berat di lingkungan mangrove secara umum
berdasarkan empat kemungkinan, yaitu (Dent, 1980): dipengaruhi oleh: (i) kandungan bahan organik; (ii)
• Fe teroksidasi semua dan terbentuk Fe3+ adanya vegetasi mangrove yang baik; dan (iii) masukan
FeS2 + 15/4 O2 + ½ H2O Æ Fe3+ + 2 SO42- + H+ antropogenik. Selanjutnya menurut Luque dkk. (1995),
• Pelepasan ion Fe2+ area yang tidak dipengaruhi pasang surut atau
FeS2 + 7/2 O2 + H2O Æ Fe2+ + 2 SO42- + 2 H+ sebaliknya terekspos langsung ke laut mengandung
• Fe teroksidasi semua dan terbentuk besi (III) bahan pencemar logam berat paling rendah, adapun
hidroksida lapisan sedimen yang lebih dalam mengandung bahan
FeS2 + 15/4 O2 + 7/2H2O Æ Fe(OH)3 + 2 SO42- + 4 H+ pencemar lebih tinggi. Hal ini boleh jadi karena terjadinya
• Pembentukan jarosit: akumulasi logam berat pada lapisan rhizosfer akar.
15 1 +
FeS2 + /4 O2 + 5/2 H2O + /3 K Æ
1
/3 KFe3(SO4)2(OH)6 + 4/3 SO42- + 3 H+ Kadar kadmium (Cd)
Proses di atas secara langsung maupun tidak dapat Kadar Cd bervariasi antara 0,0662 mg/100g (Tayu)
mempengaruhi kadar Fe dalam sedimen. s.d. 0,3270 mg/100g (Bulak) dengan rata-rata 0,1215
mg/100g (Tabel 1.). Dalam Baku Mutu Limbah Cair
Bahan pencemar Cd, Cr, dan Pb menurut Kepmen LH No. Kep-51/MENLH/10/1995 baku
Kawasan mangrove merupakan daerah peralihan mutu untuk Cd tidak ditetapkan. Meskipun tidak
(ekoton) antara lingkungan darat dan laut, sehingga ditetapkan ambang batas amannya, Cd merupakan
bahan pencemar dari darat, pantai, maupun laut dapat salah satu logam berat yang sangat berbahaya bagi
terakumulasi di kawasan ini dan mempengaruhi hidupan. Pantai Tayu terletak jauh dari kawasan
kehidupan mangrove. Pb, Cd, dan Cr merupakan jenis- pemukiman padat dan tidak terdapat industri besar yang
jenis logam berat pencemar lingkungan yang banyak cukup berarti, sehingga kadar logam berat terukur relatif
dihasilkan dari aktivitas manusia. Sumber utama limbah rendah. Sebaliknya Bulak memiliki sungai-sungai kecil
Pb adalah gas buang kendaraan bermotor dan industri, yang menjadi tempat pembuangan limbah beberapa
serta sisa-sisa baterai. Limbah Cr umumnya berasal dari industri rumah tangga dan kawasan pertanian, sehingga
industri perkulitan, sedangkan limbah Cd banyak kadar logam berat terukur relatif tinggi.
digunakan dalam industri yang membutuhkan bahan Cd merupakan salah satu jenis logam berat yang
warna, seperti tekstil. Bahan-bahan tersebut sangat berbahaya karena dapat mempengaruhi sistem
berbahaya karena mengganggu metabolisme tubuh, pembuluh darah, serta terakumulasi dalam tubuh,
hingga dapat menimbulkan kangker karena khususnya di hati dan ginjal, dengan membentuk ikatan
menghasilkan radikal bebas yang berlebihan, serta dapat dengan protein-protein yang ada didalamnya, sehingga
mengganggu sistem syaraf akibat impuls yang pengaruhnya dapat bersifat jangka panjang. Pada kadar
ditimbulkan ion-ion logam berat. Hal ini tampak pada rendah logam ini dapat menyebabkan gangguan
kasus pencemaran logam berat di Teluk Minamata, terhadap paru-paru, emfisema pada hati dan gagal ginjal
Jepang dan Teluk Buyat, Sulawesi Utara. yang kronis (Suhendrayatna, 2001). Jumlah normal
kadar Cd di dalam tanah kurang dari 1 ppm, tetapi di
kawasan pertambangan dapat mencapai 1700 ppm
83

(Fairbridge dan Finkl, 1994). Cd lebih mudah Mengingat penggunaannya yang luas dalam dunia
diakumulasi oleh tanaman dari pada ion logam berat industri dan perdagangan, siklus biogeokimia Pb lebih
lainnya seperti Pb (Barchan dkk., 1998). Logam berat ini rumit dari pada kebanyakan logam berat lain. Produksi
bersama-sama dengan Pb dan Hg dikenal sebagai tiga limbah Pb sekitar 20 kali lebih tinggi dibandingkan laju
jenis logam berat dengan tingkat bahaya paling tinggi peruraiannya, sehingga sejumlah besar Pb antropogenik
terhadap kesehatan manusia (Widle dan Benemann, terakumulasi di biosfer, dan menjadi pencemar utama
1993). Menurut FAO/WHO, konsumsi Cd per minggu (Cao dkk., 2003). Sumber utama limbah Pb adalah
yang dapat ditoleransi manusia adalah 400-500 µg per komponen gugus alkil-Pb yang digunakan sebagai
orang atau 7 µg per kg berat badan (Barchan dkk., bahan tambahan bensin, untuk menaikkan nilai oktan
1998). agar mudah dibakar. Umumnya Pb masuk ke tubuh
melalui makanan dan minuman (Widle dan Benemann,
Kadar kromium (Cr) 1993). Pb beracun terhadap seluruh aspek kehidupan,
Kadar Cr bervariasi antara 0,3042 mg/100g seperti sistem saraf, hemetologis, hemetotoksis, dan
(Bengawan) s.d. 3,0808 (Lukulo), dengan rata-rata ginjal. Menurut WHO toleransi konsumsi mingguan Pb
1,0583 mg/100g (Tabel 1.). Sebagai pembanding dalam pada orang dewasa adalah 50 µg/kg berat badan,
Baku Mutu Limbah Cair menurut Kepmen LH No. Kep- sedang pada bayi atau anak 25 µg/kg berat badan
51/MENLH/10/1995 ditetapkan baku mutu untuk Cr (Barchan dkk., 1998). Mobilitas Pb di tanah dan
sebesar 0,1-0,5 mg/L (1-5 mg/100 ml). Bengawan tumbuhan cenderung lambat, kadar normal pada
merupakan sungai dengan aliran pendek dan tidak tumbuhan berkisar antara 0,5-3 ppm (Fairbridge dan
melewati kawasan pemukiman padat atau industri. Finkl, 1994).
Sebaliknya Lukulo memiliki daerah aliran sungai cukup Pb yang sangat beracun ini dapat ditemukan pada
luas dan melewati kawasan pemukiman padat dan setiap benda mati maupun sistem biologi. Dalam
industri, misalnya kota Kebumen. ekosistem akuatik, Pb terutama dihasilkan dari aktivitas
Cr merupakan logam berbahaya di permukaan bumi antropogenik. Pb mencapai kawasan mangrove melalui
dan dijumpai dalam kondisi oksida antara Cr(II) sampai aliran sungai, deposisi dari atmosfer, pelindihan tanah,
Cr(VI), tetapi hanya Cr(III) dan Cr(VI) yang memiliki dan rembesan air tanah. Ketersediaan oksigen di badan
kesamaan sifat biologi. Cr(III) merupakan bentuk yang air dan reaktivitas antara Pb dengan partikel-partikel
umum dijumpai di alam, bahkan dalam tubuh makhluk oksida yang tinggi menyebabkan terjadinya absorbsi dan
hidup Cr selalu bervalensi tiga. Cr(VI) merupakan salah akumulasi Pb dari badan air ke dalam sedimen tanah
satu materi organik pengoksida tinggi, sehingga dapat secara terus-menerus. Pb mengalami remobilisasi pada
memperpendek umur sel dan organel-organel di sediment-water interface, saat pelarutan partikel-partikel
dalamnya. Sifat racun Cr(III) jauh lebih rendah redoks yang sensitif di badan air. Pb dapat diserap dari
dibandingkan dengan Cr(VI) (Suhendrayatna, 2001). air anoksik melalui presipitasi dengan sulfida atau FeS,
Pada bahan makanan dan tumbuhan mobilitas Cr relatif tetapi penyerapan Pb tidak dapat terjadi selama aktivitas
rendah (Fairbridge dan Finkl, 1994; Barchan dkk., 1998). produk ionik melampaui kelarutan PbS (Taillefert dkk.,
Konsumsi harian Cr yang diperkenankan pada manusia 2000).
adalah di bawah 100 µg. Konsumsi ini kebanyakan
berasal dari makanan, sedang dari air dan udara sangat Fitoremediasi
sedikit (Barchan dkk., 1998). Pencemaran logam berat dapat diatasi dengan
perlakuan kimia, namun proses remediasi ini seringkali
Kadar timbal (Pb) sangat mahal dan tidak berlaku spesifik untuk logam
Kadar Pb bervariasi antara 0,7026 mg/100g berat tertentu, karena adanya kompetisi antar ion.
(Cingcingguling) s.d. 2,1304 mg/100g (Serayu) dengan Beberapa jenis perlakuan kimia tidak dapat diterapkan
rata-rata 1,3885 mg/100g (Tabel 1.). Sebagai secara murah dalam skala luas. Di sisi lain, perlakuan
pembanding dalam Baku Mutu Limbah Cair menurut biologi berpotensi untuk mengambil logam berat beracun
Kepmen LH No. Kep-51/MENLH/10/1995 ditetapkan secara sangat selektif dan fleksibel, karena dapat
baku mutu untuk Pb sebesar 0,01-1 mg/L (0,1-10 digunakan secara in situ atau ex situ tergantung bentuk
mg/100 ml). Cingcingguling merupakan sungai yang bioreaktornya. Kebanyakan proses ini menggunakan
relatif kecil, alirannya pendek, dan daerah aliran mikroorganisme yang secara alamiah berperan penting
sungainya sempit. Sungai ini juga tidak melewati dalam siklus biogeokimia logam berat tersebut (Lloyd
kawasan pemukiman padat atau kawasan industri, dan Lovley, 2001).
sehingga dalam penelitian ini kadar bahan pencemar Pb Ekosistem mangrove merupakan barier biogeokimia
paling rendah. Sebaliknya Serayu merupakan sungai terhadap bahan pencemar logam berat dalam sedimen
yang besar, panjang dan daerah aliran sungainya luas. tanah. Tumbuhan mangrove sebagaimana beberapa
Sungai ini juga menjadi tempat pembuangan limbah dari jenis bakteri dapat bertindak sebagai pengeliminasi
kawasan pemukiman padat dan industri, termasuk logam berat. Peran ini pada tumbuhan dikenal sebagai
limbah dari kota Purwokerto, Purbalingga, Banjarnegara, fitoremediasi, sedangkan pada bakteri dikenal sebagai
dan Wonosobo yang padat kendaraan bermotor. Hal ini bioremediasi. Tumbuhan dapat mengeliminasi logam
menyebabkan kadar Pb pada muara Serayu sangat berat melalui beberapa cara, seperti (i) fitostabilisasi:
tinggi. Menurut Shriadah (1999), konsentrasi Pb yang tumbuhan menstabilkan limbah di dalam tanah; (ii)
tinggi dapat disumbangkan oleh tumpahan minyak, fitostimulasi: akar tanaman menstimulasi penghancuran
buangan limbah kendaraan bermotor, baterai dan limbah dengan bantuan bakteri rhizosfer; (iii)
terutama pembakaran minyak yang mengandung Pb fitodegradasi: tanaman mendegradasi limbah; (iv)
untuk meningkatkan angka oktannya. fitoekstraksi: jaringan tanaman, terutama daun
mengakumulasi limbah; (v) fitovolatilisasi: limbah diubah
menjadi senyawa yang mudah menguap; serta (vi)
84

rhizofiltrasi: akar menyerap limbah dari air (Kompas, bervariasi 0,7026 mg/100g (Cingcingguling) s.d. 2,1304
31/08/2004). mg/100g (Serayu) dengan rata-rata 1,3885 mg/100g.
Tumbuhan mangrove dapat menyerap logam berat Kadar tersebut relatif tinggi, namun masih pada kisaran
dan menyimpannya dalam jaringan tubuh, seperti daun, baku mutu yang diperkenankan.
batang dan akar, sehingga dapat mengurangi tingkat
pencemaran di tanah sedimen dan air. Namun berbeda
dengan bakteri yang dapat mengubah tingkat oksidasi DAFTAR PUSTAKA
dan ordinasi logam berat menjadi kurang berbahaya,
pada fitoremediasi sebagian logam berat yang diserap Adriano, D.C., 1986. Trace Element in the Terrestrial Environment. New
tetap dalam kondisi membahayakan manusia, sehingga York: Springer.
kayu atau panenan lain dari tumbuhan tersebut harus Aksornkoae S. 1993. Ecology and Management of Mangroves. Bangkok:
International Union for Conservation of Nature and Natural
diperlakukan secara khusus karena tetap mengandung Resources.
zat beracun, meskipun tingkat peracunan ini umumnya APHA. 1969. Standard Methods for the Examination of Water and
terbatas karena logam berat yang tertahan di lapisan Wastewater. New York: APHA (American Public Health Association).
akar umumnya tidak berada dalam kondisi dapat diserap Barchan, V.S.H., E.F. Kovnatsky, and M.S. Smetannikova. 1998. Water,
Air, and Soil Pollution 103: 173-195.
makhluk hidup. Bilos, C., J.C. Colombo, C.N. Skorupka, and M.J. Rodriguez-Presa.
Tumbuhan mangrove mampu mengalirkan oksigen 2001. Sources, distribution and variability of airborne trace metals in
melalui akar ke dalam sedimen tanah untuk mengatasi La Plata City area, Argentina. Environmental Pollution 111: 149-158
Cao X, L.Q. Ma, M. Chen, D.W. Hardison, W.G. Harris. 2003. Lead
kondisi anaerob pada sedimen tersebut, kemudian transformation and distribution in the soils of shooting ranges in
dengan bantuan bakteri tertentu menghasilkan lapisan Florida, USA. The Science of the Total Environment 307: 179-189.
rhizosfer yang mengandung oksigen dan mampu Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation. Liechtenstein: J.Cramer
memfiksasi logam berat dalam bentuk nonbioavailable. Verlag.
Cohen, T., S.S. Que-Hee, and R.F. Ambrose. 2001. Trace metals in fish
Di samping itu, sistem perakaran tumbuhan mangrove and invertebrates of three California Coastal Wedlands. Marine
yang besar dan luas dapat menahan dan memantapkan Pollution Bulletin 42 (3): 224-232.
sedimen tanah, sehingga mencegah tersebarnya bahan Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan
Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta:
pencemar ke area yang lebih luas dan memungkinkan Pradnya Paramita.
remobilisasi bahan pencemar secara fisik. Terserap dan Dent, D.L 1980. Acid sulphate soils: morphology and prediction. Journal
tertahannya logam berat oleh lapisan rhizosfer di sekitar of Soil Science 37: 97-99.
akar menyebabkan terjadinya penurunan tajam Fairbridge, R.W. and C.W. Finkl Jr. 1994. The Encyclopedia of Soil
Science Part 1. New York: Dowden, Hutchinson and Ross Inc.
konsentrasi logam berat pada permukaan atas lapisan Hidayat, A. 1978. Methods of Soil Chemical Analysis. Bogor: Japan
sedimen dan mencegah perpindahan ke perairan pantai International Cooperation Agency (JICA).
disekitarnya. Logam berat di lapisan rhizosfer ini Jones, G.B., P. Mercurio, and F. Olivier. 2000. Zinc in Fish, Crabs,
Oysters, and Mangrove Flora and Fauna from Cleveland Bay.
umumnya dalam bentuk kimia yang sulit diserap akar Marine Pollution Bulletin 41 (7-12): 345-352.
tumbuhan (Lacerda dkk., 1993). Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep-
Proses remediasi terjadi karena tumbuhan dapat 51/MENLH/10/1995 Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan
melepaskan senyawa kelat, seperti protein dan Industri.
Kim, K.-W., J.-H. Myung, J.S. Ahn, and H.-T. Chon. 1998. Heavy metal
glukosida, yang berfungsi mengikat logam dan contamination in dusts and stream sediments in the Taejon area,
dikumpulkan di jaringan tubuh. Sistem fitoremediasi Korea. Journal of Geochemical Exploration 64: 409–419.
berbiaya murah, efektif, dan dapat dikerjakan secara in Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of
Mangroves in Indonesia; Bali & Lombok. Denpasar: The
situ, tetapi memerlukan waktu lama dan pemeliharaan Development of Sustainable Mangrove Management Project,
terhadap tumbuhan yang digunakan (Stomp et al., 1993, Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation
Schnoor dkk., 1995; Jones dkk., 2000). Kemajuan Agency.
pemahaman pengaruh logam berat terhadap makhluk Kompas, 31/08/2004. Cara Alternatif untuk Mengolah Limbah Padat yang
Mengandung Merkuri dan Arsen; Merujuk Kasus Buyat.
hidup dan potensi untuk mengatur aktivitasnya Koyama, J., N. Nanamori, and S. Segawa. 2000. Bioaccumulation of
menggunakan biologi molekuler, membuka cakrawala waterborne and dietary cadmium by oval squid, Sepioteuthis
pengembangan proses bioremediasi logam berat yang lessoniana, and its distribution among organs. Marine Pollution
Bulletin 40 (11): 961-967.
lebih baru atau diperkaya (Lloyd dan Lovley, 2001). Lacerda, L.D., C.E. Carvalho, K.F. Tanizaki, A.R.C. Ovalle, and C.E.
Perpaduan proses fitoremediasi yang memiliki Rezende. 1993. The biogeochemistry and trace metals distribution of
keterbatasan-keterbatasan di atas dengan proses mangrove rhizospheres. Biotropica 25: 252-257.
bioremediasi yang diperkaya di lapisan rhizosfer tanah, Lewis, R.R. 1990. Creation and restoration of coastal wetlands in Puerto
Rico and the US Virgin Islands. In Kusler, J.A. and M.E. Kentula
di masa depan diharapkan dapat menjadi sarana (ed.) Wetland Creation and Restoration: The Status of Science, Vol.
pengeliminasi logam berat di lingkungan secara efektif I: Regional Reviews. Washington: Island Press.
dan efisien. Li, X, Z. Shen, O.W.H. Wai, and Y. Li. 2000. Chemical partitioning of
heavy metal contaminants in sediments of the Pearl River Estuary.
Chemical Speciation and Bioavailability 12 (1): 17-25.
Lloyd, J.R. and D.R. Lovley. 2001. Microbial detoxification of metals and
radionuclides. Current Opinion in Biotechnology 12: 248–253.
KESIMPULAN Luque, C.J., E.M. Castellanos, J.M. Castillo, M. Gonzalez, M.C.
Gonzalez-Vilches, and M.E. Figueroa. 1995. Distribucion de metales
Kadar Fe pada lingkungan mangrove di pantai utara pesados en sedimentos de las Marismas del Odiel (Huelva, SO.
Espana). Cuaternario y Geomorfología 12 (3-4): 77-85.
dan selatan Jawa Tengah bervariasi antara 42,682 MacNae, W. 1968. A general account of the fauna and flora of mangrove
mg/100g (Bulak) s.d. 282,098 mg/100g (Lukulo), dengan swamps and forests in the Indo-West-Pacific region. Advances in
rata-rata 225,853 mg/100g. Kadar Cd bervariasi antara Marine Biology 6: 73-270.
0,0662 mg/100g (Tayu) s.d. 0,3270 mg/100g (Bulak) Novotny, V. 1995. Diffuse sources of pollution by toxic metals and impact
on receiving waters. In Allan R., U. Forstner, and W. Salmons (ed.).
dengan rata-rata 0,1215 mg/100g. Kadar Cr bervariasi Heavy Metals. Berlin: Springer.
antara 0,3042 mg/100g (Bengawan) s.d. 3,0808 Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. 3rd
(Lukulo), dengan rata-rata 1,0583 mg/100g. Kadar Pb edition. New York: Harper Collins College Publishers.
85

Pinto, E., T.C.S. Sigaud-Kutner, M.A.S. Leitao, O.K. Okamoto, D. Morse, SNM (Strategi Nasional Mangrove). 2003. Strategi Nasional Pengelolaan
and P. Colepicolo. 2003. Review: Heavy metal–induced oxidative Mangrove di Indonesia (Draft Revisi); Buku II: Mangrove di
stress in algae. Journal of Phycology 39: 1008–1018. Indonesia. Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Polii, B., L.A.J. Waworuntu, V.A. Kumurur, M.T. Lasut, dan H. Stomp, A.M., K.H. Han, and M.P. Gordon. 1993. Genetic improvement of
Simanjuntak. 2001. Status pencemaran logam & sianida di perairan tree species for remediation of hazardous wastes. In Vitro Cell.
Teluk Buyat dan sekitarnya, Propinsi Sulawesi Utara, tahun 1999. Development Biology 29P: 227–232.
Ekoton 1 (1): 16-23. Storelli, M.M., A. Storelli, and G.O. Marcotrigiano. 2001. Heavy metals in
Prange, J.A. and W.C. Dennison. 2000. Physiological responses of five the aquatic environment of the Southern Andriatic Sea, Italy;
seagrass species to trace metals. Marine Pollution Bulletin 41 (7-12): Macroalgae, sediments and benthic species. Environment
327-336. International 26: 505-509.
Prawirowardoyo, S., A. Rosmarham, Dj. Shiddieq, M.S. Hidayat, and M. Suhendrayatna. 2001. Bioremoval logam berat dengan menggunakan
Ma’shum. 1987. Prosedur Analisa Kimia Tanah. Yogyakarta: FMIPA mikroorganisme: suatu kajian kepustakaan. Seminar on-Air
UGM. Bioteknologi untuk Indonesia Abad 21. Sinergy Forum - PPI Tokyo
Primavera, J.H. 1993. A critical review of shrimp pond culture in the Institute of Technology, 1-14 Februari 2001
Philippines. reviews in fisheries. Science 1 (2): 151-201 Taillefert, M., C.P. Lienemann, J.F. Gaillard, and D. Perret. 2000.
Rai, L.L., J.P. Gaur and H.D. Kumar, 1981. Phycology and heavy metal Speciation, reactivity, and cycling of Fe and Pb in a meromictic lake.
pollution. In Biological Review of The Phycology Society. London: Geochimica et Cosmochimica Acta 64 (2): 169–183.
Cambridge University Press. Tan, K.H. 1996. Soil Sampling, Preparation and Analysis. New York:
Schnoor, J.L., L.A. Licht, S.C. McCutcheon, N.L. Wolfe, and L.H. Marcel Dekker, Inc.
Carreira. 1995. Phytoremediation of organic and nutrient Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge
contaminants. Environmental Science and Technology 29: 318A– University Press.
323A. Walsh, G.E. 1974. Mangroves: A review. In Reinhold, R. J. and W.H.
Shriadah, M.M.A. 1999. Heavy metals in mangrove sediments of the Queen (ed.). Ecology of Halophytes. New York: Academic Press.
United Arab Emirates shoreline (Arabian Gulf). Water, Air, and Soil Widle, E.W. and J.R. Benemann. 1993. Biotechnology Advanced 11:
Pollution 116: 523-534, 1999. 781-812.
86

Pemanfaatan Langsung, Penggunaan Lahan, dan Restorasi

ABSTRACT pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya. Tingkat


kerusakan ekosistem mangrove dunia, termasuk
The aims of the research were to find out (i) the direct Indonesia, sangat cepat dan dramatis. Ancaman utama
exploitation in the mangrove ecosystem, (ii) the land use in its kelestarian ekosistem mangrove adalah kegiatan
surrounding, and (iii) the restoration activities in the mangrove manusia, seperti pembuatan tambak (ikan dan garam),
ecosystem in northern coast and southern coast of Central Java penebangan hutan, dan pencemaran lingkungan. Di
Province. This was descriptive research that was done samping itu terdapat pula ancaman lain seperti reklamasi
qualitatively, in July until December 2003, at 20 sites of
mangrove habitat. The data was collected in field surveys, in-
dan sedimentasi, pertambangan dan sebab-sebab alam
depth interview to local people and/or local government, and seperti badai. Restorasi hutan mangrove mendapat
examination of topographic maps of Java (1963-1965) and perhatian secara luas mengingat tingginya nilai sosial-
digital satellite image of Landsat 7 TM (July-September 2001). ekonomi dan ekologi ekosistem ini. Restorasi berpotensi
The result indicated that the direct exploitation in the mangrove besar menaikkan nilai sumber daya hayati mangrove,
ecosystem included fishery, forestry, food stuff, cattle woof, memberi mata pencaharian penduduk, mencegah
medicinal stuff, industrial material, and also tourism and kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, produksi
education. The land use around mangrove ecosystem included perikanan, dan lain-lain (Setyawan, 2002).
fishery/embankment, agriculture, and the area of developing
and building. The anthropogenic activities had been degraded
Pemanfaatan ekosistem mangrove dapat
mangrove ecosystem, it was called for restoration. The dikategorikan menjadi pemanfaatan ekosistem secara
mangrove restoration had been done success in Pasar Banggi, keseluruhan (nilai ekologi) dan pemanfaatan produk-
but it failed in Cakrayasan and Lukulo. produk yang dihasilkan ekosistem tersebut (nilai sosial
ekonomi dan budaya). Secara tradisional, masyarakat
Key words: direct use, land use, mangrove ecosystem, Central setempat menggunakan mangrove untuk memenuhi
Java Province. berbagai keperluan secara lestari, tetapi meningkatnya
jumlah penduduk dapat menyebabkan terjadinya
tekanan yang tidak terbaharukan pada sumber daya ini.
PENDAHULUAN Referensi tertua mengenai pemanfaatan tumbuhan
mangrove berasal dari tahun 1230 di Arab, yakni
penggunaan bibit (seedling) Rhizophora sebagai sumber
Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka
pangan, getah untuk mengobati sakit mulut, batang tua
dan khas di dunia, karena luasnya hanya 2% permukaan
untuk kayu bakar, tanin dan pewarna, serta
bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem
menghasilkan minuman yang memiliki efek afrodisiak
mangrove terluas di dunia. Ekosistem ini memiliki
bagi lelaki dan pengasihan bagi perempuan
peranan ekologi, sosial-ekonomi, dan sosia-budaya yang
(Bandaranayake, 1998).
sangat penting. Fungsi ekologi hutan mangrove meliputi
Ekosistem mangrove di Jawa Tengah memiliki
tempat sekuestrasi karbon, remediasi bahan pencemar,
bentuk yang beragam. Pantai utara berbatasan dengan
menjaga stabilitas pantai dari abrasi, intrusi air laut, dan
Laut Jawa yang hempasan gelombangnya relatif kecil.
tekanan badai, menjaga kealamian habitat, menjadi
Sebaliknya pantai selatan berbatasan langsung dengan
tempat bersarang, pemijahan dan pembesaran anakan
Laut Selatan (Samudera Hindia) yang kondisi
berbagai jenis ikan, udang, kerang, burung dan fauna
gelombangnya sangat besar. Hal ini menyebabkan
lain, serta pembentuk daratan. Fungsi sosial-ekonomi
penampakan fisiografi dan fisiognomi vegetasi mangrove
hutan mangrove meliputi kayu bangunan, kayu bakar,
di kedua kawasan tersebut berbeda. Di pantai utara,
kayu lapis, bubur kertas, tiang telepon, tiang pancang,
sedimen dari sungai dan laut terendapkan pada lokasi-
bagan penangkap ikan, dermaga, bantalan kereta api,
lokai tertentu yang terlindung dan membentuk tidal flat
kayu untuk mebel dan kerajinan tangan, atap huma,
atau mud flat (dataran lumpur pasang surut). Di pantai
tannin, bahan obat, gula, alkohol, asam asetat, protein
selatan sedimen yang terbawa sungai dan laut
hewani, madu, karbohidrat, dan bahan pewarna, serta
mengendap di muara sungai membentuk tanggul dan
memiliki fungsi sosial-budaya sebagai areal konservasi,

Publikasi asli: Setyawan, A.D. dan K. Winarno. 2006. Pemanfaatan Langsung Ekosistem Mangrove di Jawa Tengah dan
Penggunaan Lahan di Sekitarnya; Kerusakan dan Upaya Restorasinya. Biodiversitas 7 (3): 282-291.
87

gumuk pasir (sand dunes) yang menghambat masuknya Kegiatan koleksi data dalam penelitian ini mencakup
air sungai ke laut, sehingga terbentuk laguna. Di pantai pengamatan (survei) lapangan, wawancara (in-depth
utara mangrove tidak hanya tumbuh di muara sungai, interview), serta kajian peta topografi dan citra satelit.
namun juga pada kawasan tidal flat, sedangkan di pantai Alat dan bahan yang digunakan meliputi: daftar
selatan mangrove hanya tumbuh pada laguna di muara pertanyaan, alat perekam audio dan video, kamera, dan
sungai, termasuk laguna Segara Anakan, Cilacap, ka- alat tulis. Pengamatan langsung dilakukan dengan
wasan mangrove terluas di Jawa (Steenis, 1958; 1965). menjelajahi seluruh area, baik dengan berjalan kaki
Keragaman bentuk fisiografi pantai ini mempengaruhi maupun dengan kendaraan bermotor dan perahu.
kultur masyarakat termasuk dalam menyikapi kondisi Wawancara dilakukan dengan sekurang-kurangnya 10
ekosistem mangrove. Perubahan fisik di dalam hutan orang penduduk dan/atau aparat pemerintah setempat
mangrove seperti pengeringan, pembangunan kanal- pada setiap lokasi. Di samping itu dilakukan pula kajian
kanal air dan pemakaian pupuk dalam pengelolaan pustaka terhadap peta topografi tahun 1963-1965 (US.
tambak, menyebabkan perubahan habitat mangrove Army Map Services, 1963-1965) dan citra satelit Landsat
(Tanaka, 1992), sehingga komposisi dan struktur 7 TM periode Juli-September 2001. Data hasil penelitian
vegetasi hutan ini dapat berubah-ubah (Odum, 1971). ditabulasikan dalam satu kesatuan dan dipaparkan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (i) jenis- secara dekriptif kualitatif.
jenis pemanfaatan langsung di dalam ekosistem
mangrove, (ii) jenis-jenis penggunaan lahan di sekitar
ekosistem mangrove, serta (iii) kerusakan dan upaya HASIL DAN PEMBAHASAN
restorasi ekosistem mangrove di pantai utara dan pantai
selatan Jawa Tengah.
Pemanfaatan langsung di dalam ekosistem mangrove
Nilai ekonomi kawasan mangrove yang muncul
sebagai akibat dari peran ekologi dan produk panennya
BAHAN DAN METODE sering diabaikan sehingga kawasan ini banyak diubah
menjadi kawasan pertanian, pertambakan ikan, tambak
Waktu dan lokasi penelitian garam, kehutanan, dan infrastruktur (Ronnback, 1999).
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Desember Dalam penelitian ini, tidak ada satupun dari ke-20 lokasi
2003. Penelitian lapangan dilakukan pada 20 habitat yang diteliti telah ditetapkan sebagai kawasan lindung,
mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Tengah. sehingga aktivitas manusia di dalamnya relatif tinggi.
Keduapuluh lokasi tersebut meliputi: (1) Wulan, Demak Pemanfaatan langsung di dalam ekosistem mangrove,
(2) Sigrogol, Demak (3) Serang, Demak (4) Bulak, baik dengan mengubah area tersebut maupun tidak
Jepara, (5) Telukawur, Jepara, (6) Tayu, Pati, (7) mencakup tambak ikan/udang, pemasangan jaring
Juwana, Pati, (8) Pecangakan, Rembang, (9) Pasar apung (karamba), tempat penangkapan langsung,
Bangi, Rembang, (10) Lasem, Rembang, (11) sumber kayu bakar dan arang, sumber kayu bangunan,
Bogowonto, perbatasan Kulonprogo dan Purworejo, (12) sumber bahan pangan, pakan ternak, bahan obat, bahan
Cakrayasan, Purworejo, (13) Lukulo, Purworejo, (14) baku industri, serta kepentingan sosial-budaya berupa
Cincingguling, Kebumen, (15) Ijo, Kebumen, (16) pariwisata dan pendidikan (Tabel 1).
Bengawan, Cilacap, (17) Serayu, Cilacap, (18) Tritih,
Cilacap (19) Motean, Cilacap, dan (20) Muara Dua, Perikanan
Cilacap. Lokasi ke-4, 5, 9, dan 10 terletak langsung di Perikanan merupakan sumber daya ekonomi paling
tepi pantai (marine environment) dan jauh dari muara utama di kawasan mangrove. Di Wulan dan Segara
sungai besar, lokasi ke-18, 19, 20 terletak di laguna Anakan, sebagian vegetasi mangrove ditebang untuk
Segara Anakan, sedangkan lokasi sisanya terletak di tambak ikan/udang. Hampir semua tambak tersebut
muara sungai (riverine environment). Tabulasi data menggunakan sistem tambak intensif, hampir tidak ada
dilakukan di Laboratorium Jurusan Biologi FMIPA yang melakukannya dengan sistem empang parit
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. (tambak tumpang sari). Pada tambak intensif, semua
tumbuhan mangrove dibersihkan, tumbuhan mangrove
Cara kerja hanya disisakan di tepian tambak, khususnya yang
Dalam penelitian ini, batas terluar ekosistem berbatasan dengan sungai untuk mencegah abrasi,
mangrove adalah jarak 100 m ke arah luar dari titik sedangkan pada sistem empang parit luasan tambak
terluar habitat yang masih ditumbuhi satu atau lebih dan luasan vegetasi mangrove yang disisakan relatif
tumbuhan mangrove mayor (dbh > 10 cm). Seluruh sama (Hartina, 1996; Anonim, 1997), sehingga tetap
lahan yang terletak di dalam garis batas tersebut memungkinkan tumbuhnya vegetasi mangrove.
dinyatakan sebagai kawasan di dalam ekosistem Sama halnya dengan tambak, jaring apung/karamba
mangrove; sedangkan lahan yang terletak di luar garis juga dikembangkan secara luas di kedua lokasi tersebut.
batas tersebut dinyatakan sebagai kawasan di luar atau Jaring apung ini sekaligus digunakan untuk menangkap
di sekitar ekosistem mangrove. Pemanfaatan langsung anakan biota laut yang menggunakan lingkungan
di dalam ekosistem mangrove adalah pemanfaatan yang mangrove untuk berkembangbiak, seperti udang dan
dilakukan oleh penduduk setempat atau masyarakat lain ikan bandeng, sehingga dalam sudut pandang
secara langsung di dalam ekosistem mangrove, baik konservasi jaring apung dapat mengganggu suplai bibit
dengan tetap mempertahankan kondisi aslinya atau ke perairan laut demersal di tepi pantai. Perikanan
dengan mengubahnya dalam bentuk baru. Sedangkan tangkap merupakan produk mangrove yang bernilai
penggunaan lahan di sekitar ekosistem mangrove adalah ekonomi paling tinggi (Hamilton dkk., 1989). Perikanan
bentuk-bentuk konversi lahan alami ke bentuk tangkap juga dilakukan di dalam kawasan mangrove,
antropogenik di luar batas ekosistem mangrove. khususnya pada kawasan yang memiliki perairan luas
88

seperti Wulan dan Segara Anakan. Di tempat-tempat lain yang berharga mahal. Mangrove juga menjadi habitat
juga terjadi penangkapan langsung, tetapi jumlahnya sejumlah besar spesies kerang, karena tersedianya
relatif terbatas, mengingat terbatasnya luasan ekosistem cukup bahan organik yang diperlukan hewan penyaring
mangrove. Perikanan tangkap langsung di kawasan ini (Ronnback, 1999), misalnya kerang thokthok (Gelonia
mangrove yang memberi dampak langsung terhadap erosa) yang banyak dipanen masyarakat Kampung Laut.
ekonomi masyarakat secara luas terjadi di Segara Keterkaitan mangrove dengan produktivitas
Anakan, jenis-jenis yang ditangkap beragam dari udang, perikanan telah banyak dilaporkan (e.g. Primavera,
ikan, kerang, hingga kepiting. Hasil tangkapan ini banyak 1995). Kawasan mangrove sangat diperlukan untuk
dijual di pasar-pasar kota Cilacap. Di samping itu, jenis- perikanan pantai di daerah tropik. Habitat ini merupakan
jenis ini juga menjadi sumber protein utama masyarakat tempat persembunyian utama dan tempat mencari
Kampung Laut yang tinggal di dalam kawasan tersebut. makan berbagai ikan dan kerang komersial yang
Ikan yang menggunakan mangrove sebagai habitat penting. Pembabatan hutan mangrove, dapat
tetap relatif terbatas, namun sejumlah besar ikan dan menyebabkan hancurnya perikanan pantai secara
spesies laut menggunakan mangrove sebagai tempat permanen, sehingga terdapat perhatian besar untuk
berkembangbiak dan membesarkan anak. Ikan-ikan ini membentuk hutan mangrove (Bashan dkk., 1998).
banyak ditangkap nelayan di tepian pantai maupun di Pembabatan ekosistem mangrove selalu diikuti
lepas pantai dengan nilai ekonomi tinggi. Mangrove penurunan hasil tangkapan ikan dan udang pada
merupakan area pembibitan yang penting bagi udang perairan pantai di sekitarnya (Martosubroto dan Naamin,
dan kepiting komersial. Di selat Malaka, sekitar 49% ikan 1977), termasuk pembabatan mangrove untuk
demersal, serta di keseluruhan Asia Tenggara sekitar pertambakan. Oleh karena itu perlu adanya manajemen
30% ikan dan hampir 100% udang kehidupannya secara yang terintegrasi antara pengelola hutan mangrove dan
langsung terkait dengan lingkungan mangrove. Kepiting perikanan, sehingga terbuka kesempatan untuk
mangrove merupakan salah satu produk ekonomi melakukan budidaya tambak secara berkelanjutan (Kairo
terpenting lingkungan mangrove, termasuk Scylla serrata dkk., 2001).

Tabel 1. Pemanfaatan langsung di dalam ekosistem mangrove dan penggunaan lahan di sekitar (di luar tegakan) ekosistem
mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Tengah.

Pemanfaatan langsung di dalam ekosistem mangrove Penggunaan lahan di sekitar/di luar ekosistem mangrove
Pertam
Perikanan Kayu Sosial Pertanian Pengembangan/ Bangunan
bakan
Pemukiman Pelabuhan

Kecil/ Dermaga ikan


Kayu bakar & arang

Jalan negara/ prop.


Bahan industri ****)
Tangkap langsung

Bahan pangan **)

Lokasi
Pakan ternak ***)
Kayu bangunan

Industri besar
Jaring apung

Udang/ ikan
Bahan obat

Pendidikan
Pariwisata

Pastoral
Tambak

Tegalan
Sawah
Garam

Urban

Besar
Rural

& TPI
Wulan 9 9 9 9 9 9 1) • • • 9 • 9 • 9 • • 9 • • 9 • •
Sigrogol • • 9 • • 9 1) • • • • • 9 • 9 • • 9 • • • • •
Serang • • 9 9 • 9 1) • • • • • 9 • 9 • • 9 • • • • •
Bulak • • • • • • • • • 9 9 9 • • • • 9 • • • • •
Telukawur • • • • • • • • • • 9 9 • • • • • 9 • • • •
Tayu • • • • • 9 1) • • • • • 9 • • • • • 9 • 9 9 •
Juwana • • 9 • • • • • • 9 • 9 • • • • • 9 9 9 • •
Pecangakan • • 9 9 9 1) • • • • • 9 9 • • • 9 • • 9 9 •
Pasar Banggi • • 9 9 9 9 1) 9 • • 9 9 9 9 • • • • 9 • 9 9 •
Lasem • • • • • • 9 • • • • 9 9 • • • • 9 • 9 9 •
Bogowonto • • • • • • 9 9 • • 9 9 • • 9 9 9 • • 9 9 •
Cakrayasan • • • • • • 9 • • • • 9 • • 9 9 9 • • 9 • •
Lukulo • • • • • • 9 • • • • 9 • • 9 9 9 • • • • •
Cingcingguling • • • • • • 9 • • • • • • 9 • • 9 • • • • •
Ijo • • • • • 9 2) 9 • • 9 • 9 • • 9 • 9 • • 9 9 •
Bengawan • • • • • • • • • • • • • 9 9 • 9 • • • 9 •
Serayu • • • • • • 9 • 9 1) • • • • 9 9 • 9 • • 9 9 •
Tritih • • 9 9 9 9 3) • • 9 2) 9 9 9 • 9 • • • 9 9 9 9 9
Motean 9 9 9 9 9 9 3) • 9 9 3) 9 9 9 • • • • 9 • • • • •
Muara Dua 9 9 9 9 9 9 3) • 9 9 3) 9 9 9 • • • • 9 • • • • •
Keterangan: 9 = hadir, • = tidak hadir
*) Sumber: pengamatan (survei) lapangan, wawancara (in-depth interview), serta kajian peta topografi dan citra satelit.
**) Bahan pangan dari tumbuhan yang kadang-kadang masih dijual di pasar: 1) buah Avicennia, 2) buah Nypa fruticans, 3)
berbagai jenis tetapi tidak dijual di pasar, seperti buah Nypa fruticans, buah Sonneratia, propagul Rhizophora.
***) Pakan ternak umumnya mencakup: daun/ranting Rhizophora, Sonneratia, Avicennia, dan rumput-rumputan (Gramineae).
****) Jenis bahan baku industri: 1) pasir bijih besi; 2) lempung campuran semen; 3) kepala shuttlecock dari pneumatofora
Sonneratia.
89

Kayu sebagai tonik; buah Rhizophora spp. dan Sonneratia


Kawasan mangrove merupakan sumber kayu yang caseolaris secara berturut-turut dapat dijadikan tuak dan
penting bagi masyarakat pesisir. Penebangan kayu sari buah. Nira bunga N. fruticans dapat diolah menjadi
ditujukan untuk bahan baku pembuatan arang, kayu gula merah dan tuak, karena kandungan sukrosanya
bakar, dan bahan bangunan. Penebangan pohon untuk yang tinggi. Nipah juga dapat menghasilkan minyak
pembuatan arang hanya dilakukan di Segara Anakan, goreng, daunnya untuk kertas rokok, dan abunya untuk
namun penebangan untuk tujuan kayu bakar lebih luas sumber garam (Bandaranayake, 1998). Rendahnya
cakupan lokasinya. Sedangkan penggunaan kayu pemanfaatan tumbuhan mangrove di lokasi penelitian
mangrove untuk bangunan rumah dalam jumlah besar sebagai bahan pangan, selain disebabkan karena rasa,
juga hanya ditemukan di Segara Anakan, meskipun warna, dan penampilannya, diduga karena adanya
dalam jumlah terbatas juga dilakukan di Wulan, kesan bahwa bahan makanan tersebut hanya layak
Pecangakan dan Pasar Banggi. Jenis pohon yang dikonsumsi orang miskin atau pada masa paceklik, serta
ditebang untuk pembuatan arang umumnya Rhizophora adanya kemudahan mendapatkan uang dari tangkapan
spp. karena memiliki kalori yang cukup tinggi, sedangkan biota laut untuk ditukar dengan beras atau bahan pangan
untuk kayu bakar hampir semua pohon digunakan. lainnya.
Adapun untuk bahan bangunan, selain digunakan
Rhizophora spp., digunakan pula Sonneratia spp. dan Bahan pakan ternak
Bruguiera spp., sedangkan daun N. fruticans untuk atap Pakan ternak dari tumbuhan mangrove umumnya
rumah masih dijumpai di Wulan. Pembabatan mencakup daun/ranting Rhizophora, Sonneratia,
pepohonan merupakan penyumbang utama kerusakan Avicennia, serta jenis rumput-rumputan (Gramineae). Hal
ekosistem mangrove di dalam kawasan hutan, ini dilakukan baik di pantai utara maupun selatan. Di
sebagaimana kawasan hutan mangrove Segara Anakan. pantai selatan, kawasan yang sering tergenang banjir di
Penebangan hutan hingga tingkat yang tidak musim hujan atau dikenal dengan nama bonorowo, biasa
memungkinkan penyembuhan secara alami merupakan digunakan sebagai lokasi penggembalaan ternak, baik
ancaman serius ekosistem mangrove (Hasmonel dkk., sapi maupun kerbau, seperti di Bogowonto dan Lukulo.
2000). Pembabatan hutan mangrove menyebabkan Di Bogowonto dan sekitarnya yang kawasan bonorowo-
abrasi di Bulak dan Telukawur, hingga menghapus nya cukup luas dan sering tergenang, masyarakat
beberapa kawasan dari peta. Sebaliknya pengelolaan banyak memelihara ternak kerbau yang relatif tahan
hutan mangrove yang baik di sekitar Pasar Banggi terhadap rerumputan basah di area penggembalaan;
menyebabkan kawasan tersebut aman dari abrasi dan rerumputan dari kawasan ini merupakan pakan utama
badai. Badai tsunami merupakan salah satu bencana hewan ternak tersebut. Di Lukulo yang kawasan
alam paling merusak di kawasan pantai. bonorowo-nya lebih sempit dan cenderung kering,
masyarakat umumnya memelihara sapi; rerumputan dari
Bahan pangan kawasan tersebut hanya menyumbangkan sebagian
Ekosistem mangrove sebagai sumber protein hewani kecil dari komposisi pakan ternak. Di Segara Anakan
telah dikenal luas sejak lama, tetapi sebagai sumber pemanfaatan tumbuhan mangrove sebagai pakan ternak
protein dan bahan makanan nabati relatif belum banyak sangat terbatas, karena budaya beternak tidak dilakukan
dikenal. Dalam penelitian ini, banyak lokasi yang masyarakat Kampung Laut. Di pantai utara,
masyarakatnya memanfaatkan tumbuhan mangrove pemanfaatan kawasan mangrove untuk pengembangan
untuk bahan makanan, namun kuantitas dan kualitasnya peternakan relatif kurang berkembang. Hal ini antara lain
relatif terbatas. Beberapa jenis bahan pangan dari di sebabkan kawasan pertanian terletak jauh dari tempat
tumbuhan mangrove masih dapat dijumpai di pasar. tumbuhnya mangrove di tepian pantai. Berbeda dengan
Buah Avicennia spp. biasa dimakan sebagai sayuran di pantai selatan yang kawasan mangrove dan lahan
kawasan pantai utara Jawa Tengah, bahkan masih dijual pertanian hanya dipisahkan tanggul-tanggul, di pantai
di pasaran, misalnya di Wulan dan Pasar Banggi. utara kedua kawasan ini umumnya dipisahkan area
Sedangkan buah N. fruticans banyak dikonsumsi di pertambakan yang cukup luas, misalnya di sepanjang
kawasan pantai selatan, khususnya di Cingcingguling pesisir Kabupaten Jepara dan Demak. Orientasi
dan Ijo, bahkan kadang-kadang dijual sebagai buah masyarakat di pantai utara cenderung ke arah
tangan untuk wisatawan, sebagaimana di kawasan penangkapan ikan di laut atau budidaya perairan payau,
wisata pantai Lohgending, Ayah, Kebumen yang terletak sedangkan di pantai selatan ke arah budidaya pertanian,
di muara sungai Ijo. Adapun di Segara Anakan, buah N. mengingat ombak lautnya yang besar dan kurang sesuai
fruticans, buah Sonneratia spp., dan propagul untuk perahu nelayan tradisional.
Rhizophora spp. masih dikonsumsi penduduk namun
tidak diperdagangkan. Bahan obat
Pemanfaatan tumbuhan mangrove sebagai bahan Secara tradisional, kandungan bioaktif tumbuhan
pangan di lokasi penelitian ini, jauh lebih rendah dari mangrove banyak digunakan sebagai bahan obat, yang
pada potensi yang ada. Di seluruh dunia, pada dasarnya mencakup anti-helmintik, anti mikrobia, anti virus, anti
tumbuhan mangrove menyediakan banyak bahan jamur; kanker, tumor; diare, pendarahan; analgesik,
makanan. Buah/hipokotil Bruguiera spp., Sonneratia inflamasi, disinfektan; serta anti oksidan dan astringen.
caseolaris, dan Terminallia catapa mengandung pati dan Di samping itu digunakan pula sebagai racun yang
dapat menjadi sumber karbohidrat. Daun muda mencakup moluskisida, insektisida, racun ikan, dan
Acrostichum aureum, Avicennia marina, dan Pluchea spermisida. Bangsa Arab merupakan bangsa yang
indica, hipokotil B. gymnorrhiza dan B. sexangula, serta pertama-tama menyusun farmakope yang sangat baik
buah, biji, dan seedling A. marina, A. officinalis, B. mengenai berbagai spesies mangrove, sehingga
sexangula dapat dijadikan sayuran. Ekstraks galih kayu Linnaeus menamai salah satu spesies mangrove paling
Avicennia alba dan A. officinalis dapat digunakan
90

penting dan penyebarannya paling luas berdasarkan Bahan baku industri


nama Ibnu Sina (Avicennia; 980-1036), seorang dokter Pemanfaatan kawasan mangrove sebagai sumber
dan filosof Arab paling dihormati dan termashur bahan baku industri dapat berasal dari hidupan liar
(Bandaranayake, 1998). setempat maupun bahan galian C. Kawasan mangrove
Dalam penelitian ini, pemanfaatan tumbuhan di muara Serayu merupakan tempat penambangan pasir
mangrove sebagai bahan obat masih sangat terbatas. besi, sedangkan di Kecamatan Kawunganten, Cilacap
Obat-obatan tradisional Jawa umumnya bersumberkan yang membawahi Segara Anakan terdapat
tumbuhan darat, sangat jarang digunakan spesimen penambangan lempung untuk bahan baku semen.
mangrove atau laut. Dalam kajian dari berbagai pustaka, Dalam penelitian ini, satu-satunya bahan baku industri
Bandaranayake (1998) hanya menemukan penggunaan dari tumbuhan mangrove yang memberi kontribusi
Pluchea indica di Jawa sebagai tumbuhan obat. Daun langsung terhadap kesejahteraan masyarakat adalah
dan akar tumbuhan ini digunakan sebagai astringen dan pemanfaatan pneumatofora Sonneratia spp. untuk
antipiretik, serta digunakan sebagai diaforetik pada pembuatan kepala shuttlecock di sekitar Segara Anakan.
demam. Daun segar digunakan sebagai tapal melawan Hidupan liar lainnya yang menjadi bahan baku industri
lemah daya dan borok. Yayasan Prosea Bogor yang umumnya terkait dengan perikanan.
mengkompilasi beberapa tumbuhan mangrove dari Asia Potensi tumbuhan mangrove sebagai bahan baku
Tenggara, terutama mengelompokkannya dalam industri cukup luas. Menurut Walsh (1977) pneumatofora
“tumbuhan penghasil pewarna dan tannin” (Lemmens Sonneratia alba dan S. caseolaris, dapat digunakan
dan Wulijarni-Soetjipto, 1992), bukan dalam kelompok untuk sol sepatu. Kayu berbagai jenis tumbuhan
“tumbuhan obat dan racun” (Padua dkk., 1999; mangrove, seperti Heritiera spp. dan Rhizophora spp.
Valkenburg dan Bunyapraphatsara, 2002; Lemmens dan dapat digunakan untuk menghasilkan pulp. Menurut
Bunyapraphatsara, 2003). Hal ini menunjukkan nilai obat Field (1995) beberapa tumbuhan mangrove lainnya juga
tumbuhan ini relatif kurang diperhatikan. berpotensi sebagai bahan baku industri, misalnya
Pengetahuan manfaat obat tumbuhan mangrove pneumatofora B. gymnorrhiza dan B. sexangula dapat
umumnya diperoleh masyarakat setempat dari menghasilkan parfum dan rempah-rempah. Ekstrak
masyarakat luar yang mencari tumbuhan tersebut, bukan Acanthus spp. dan Xylocarpus spp. dapat menghasilkan
sebagai pengetahuan tradisional warisan nenek penguat rambut, ekstrak S. caseolaris untuk losion kulit,
moyangnya. Dalam pengobatan tradisional masyarakat ekstrak Excoecaria agallocha untuk afrodisiak, ekstrak
Segara Anakan, yang merupakan keturunan prajurit Avicennia spp. untuk sabun, ekstrak kulit kayu B.
Kerajaan Mataram, digunakan tumbuhan darat gymnorrhiza, B. sexangula, dan Ceriops tagal untuk lem.
sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya. Tumbuhan mangrove juga dikenal sebagai sumber
Meskipun demikian di Bogowonto dan Segara Anakan utama tanin untuk bahan pewarna dan penyamak dalam
masyarakat mengetahui potensi obat beberapa dunia industri. Menurut Lammens dan Wulijarni-Soetjipto
tumbuhan mangrove, seperti buah (biji) Acanthus (1992), getah dan kulit kayu Ceriops spp. secara
ilicifolius yang berpotensi untuk pengobatan hepatitis. tradisional diolah menjadi bahan pewarna kain batik dan
Menurut Bandaranayake (1998), tumbuhan ini berperan dikenal sebagai soga, sedangkan kulit kayu H. littoralis,
sebagai afrodisiak, asma, pembersih darah (buah), R. mucronata, S. caseolaris dan lain-lain banyak diolah
diabetes, diuretik, dispepsia, hepatitis, lepra (buah, daun, menjadi bahan penyamak kulit dan memperkuat jala
akar), neuralgia, paralisis, cacingan, rematik, penyakit yang terbuat dari serat tumbuhan. Namun dalam
kulit, gigitan ular, dan sakit perut (kulit kayu, buah, daun). penelitian ini tidak tercatat adanya penggunaan
Kurang berkembangnya pemanfaatan tumbuhan tumbuhan mangrove untuk pewarna dan penyamak,
mangrove dalam farmakope Jawa, yang juga menjadi penggunaan bahan-bahan sintetis tampaknya telah
pegangan masyarakat pantai dalam pengobatan menggantikan peran bahan alami ini, misalnya
tradisional, diduga terkait dengan kuatnya kultur Jawa digunakannya pewarna sintetis dari unsur logam yang
pedalaman yang dikembangkan raja-raja Mataram, yang sebenarnya berbahaya bagi kesehatan, serta
mendasarkan kekuasaannya pada budaya pertanian, penggunaan jaring nilon menggatikan jaring serat
sehingga kawasan pantai dan laut dijadikan halaman tumbuhan, sehingga tidak memerlukan penguatan
belakang yang kurang diperhatikan serta potensinya dengan tanin. Pengembangan potensi ini diharapkan
kurang dikembangkan. Potensi tumbuhan mangrove dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan
sebagai bahan obat sangat besar, pada saat ini pada akhirnya turut mendorong upaya pelestarian
kandungan metabolit sekunder tumbuhan mangrove ekosistem mangrove.
mulai banyak terungkap. Tumbuhan ini kaya akan
steroid, triterpen, saponin, flavonoid, alkaloid, dan tannin Pariwisata dan pendidikan
(Bandaranayake, 1995). Kajian kandungan kimia Penggunaan kawasan mangrove sebagai lokasi
tumbuhan mangrove sangat penting karena merupakan wisata telah dikembangkan sejak lama. Tritih merupakan
jenis hutan yang paling mudah tumbuh dan dapat lokasi wisata yang dibangun Perhutani pada
tumbuh pada lingkungan marjinal, sehingga diperkirakan pertengahan tahun 1970-an untuk tujuan konservasi dan
menghasilkan berbagai metabolit sekunder yang khas pendidikan ekosistem mangrove, namun fasilitas ini kini
untuk beradaptasi. Kandungan kimia tumbuhan telah terbengkalai. Salah satu kawasan mangrove alami
mangrove sangat berpotensi sebagai sumber senyawa yang berpotensi untuk ekowisata adalah Segara Anakan,
baru agrokimia dan senyawa bernilai obat mengingat kelengkapan atraksi alam dan sarana
(Bandaranayake, 1998). Perkembangan ini diharapkan akomodasinya yang memadahi. Di kawasan ini terdapat
dapat membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat fasilitas kapal penyeberangan yang sekaligus
setempat sebagai penyuplai bahan baku, sehingga merupakan kapal wisata, terdapat pula perahu-perahu
memacu upaya perlindungan ekosistem mangrove. nelayan yang berukuran lebih kecil dan dapat disewa
untuk mengelilingi kawasan, serta terdapat sarana
91

penginapan yang mudah dijangkau di kota Cilacap. atau sungai untuk mencegah abrasi.
Dalam jumlah terbatas, arus turis ke kawasan mangrove Di sepanjang pantai utara, tambak ikan dikelola
juga teramati di Wulan, Bulak, Juwana, Pasar Banggi, secara intensif hingga jauh ke arah daratan. Hampir
dan Ijo. Kawasan Pasar Banggi sangat potensial sebagai semua pantai yang mengalami sedimentasi membentuk
lokasi wisata karena areanya cukup luas, dikelola dan dataran lumpur dan memiliki ekosistem mangrove diubah
diawasi masyarakat sehingga cukup lestari, serta menjadi areal tambak. Secara intensif hal ini
letaknya strategis di tepi jalan negara pantai utara. berlangsung antara lain di pantai Demak, Pati, dan
Kawasan mangrove dapat menjadi lokasi pendidikan Rembang, meskipun beberapa areal tambak tampaknya
konservasi. Dalam penelitian ini, beberapa lokasi telah tidak lagi produktif akibat perubahan kondisi hidrologi,
dikunjungi para pelajar dan mahasiswa untuk tujuan edafit (tanah sulfat asam), penyakit dan pencemaran
pendidikan, seperti Bulak, Telukawur dan Pasar Banggi lingkungan, misalnya di Pati, puluhan hektar tambak
yang banyak digunakan penelitian mahasisiwa beserta sarana produksinya dibiarkan rusak tidak
Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang. Bogowonto terurus. Di pantai selatan terdapat pula upaya mengubah
banyak didatangi mahasiswa Universitas Gadjah Mada lahan mangrove menjadi tambak. Dalam jumlah terbatas
(UGM) Yogyakarta dan Institut Pertanian ‘Instiper’ hal ini dijumpai di muara Sungai Lokulo, Cakrayasan,
Yogyakarta. Segara Anakan banyak diteliti mahasiswa Bogowonto, dan Ijo, sedang dalam skala besar dilakukan
UGM Yogyakarta, Universitas Jenderal Sudirman di Segara Anakan. Usaha pertambakan ini sering gagal
(UNSOED) Purwokerto dan lain-lain. Adapun mahasiswa karena adanya akumulasi pirit yang beracun (tanah
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta antara lain sulfat asam) dan tidak adanya kepastian hukum atas
menggunakan mangrove di Pasar Banggi dan Segara tanah yang digunakan (Yudho, 1988).
Anakan untuk praktikum dan penelitian. Ekosistem mangrove berperan penting dalam
mendukung usaha pertambakan ikan/udang. Vegetasi
Penggunaan lahan di sekitar ekosistem mangrove mangrove yang subur dapat mencegah erosi, menjaga
Dalam penelitian ini, penggunaan lahan di sekitar area dari banjir, badai dan bencana alam lain, sehingga
ekosistem mangrove, meliputi pertambakan (udang/ikan, tidak diperlukan biaya tinggi untuk membangun
garam), pertanian (sawah, tegalan, ladang infrastruktur tambak, misalnya pembuatan sabuk hijau
penggembalaan/ pastoral), pemukiman (rural, urban), mangrove di sepanjang tepian pantai dan tebing muara
pelabuhan (besar; kecil/dermaga ikan dan tempat sungai pada kawasan pertambakan di pantai utara Jawa.
pelelangan ikan/TPI), jalan negara dan propinsi, serta Di sisi lain mangrove juga dapat mengurangi tingkat
kawasan industri (Tabel 2). Tata guna lahan sangat polusi secara alamiah, sehingga mencegah jatuhnya
terkait dengan kelestarian ekosistem mangrove. usaha tambak intensif akibat limbah cair yang
Perubahan lahan mangrove ke pertambakan ikan dihasilkannya, seperti tingginya kadar nitrogen dan fosfor
merupakan penyebab utama kerusakan ekosistem ini. Di (Ronnback, 1999). Nilai ekonomis tambak tergantung
samping itu terdapat pula kerusakan akibat penebangan daya dukung lingkungan mangrove di sekitarnya, namun
kayu, pembangunan kawasan industri dan pemukiman nilai ini jarang dihitung dalam biaya produksi.
(Pagiola, 2001). Tambak garam dalam skala luas hanya dijumpai di
Pecangakan, Pasar Banggi dan Lasem, kesemuanya di
Pertambakan Kabupaten Rembang, kabupaten penghasil garam
Jenis penggunaan lahan yang paling sering ditemui terbesar di Propinsi Jawa Tengah (Kompas, 03/03/2003).
di sekitar ekosistem mangrove adalah pertambakan Pada musim kemarau saat ketersediaan air melimpah
ikan/udang, baik di pantai utara maupun di pantai dan intensitas sinar matahari lebih rendah, tambak-
selatan, di samping itu terdapat pula tambak garam yang tambak garam ini banyak yang diubah menjadi tambak
hanya ditemukan di pantai utara. ikan bandeng. Konversi ekosistem mangrove menjadi
Tambak ikan atau udang banyak ditemukan di tambak ikan merupakan tekanan utama terhadap
pantai utara dan selatan Jawa Tengah, meskipun dalam kelestarian ekosistem mangrove di dunia, sehingga
skala besar hanya dijumpai di pantai utara. Tambak tidak harus dikendalikan dan dikelola dengan baik.
ditemukan di Cingcingguling, Bengawan dan Serayu
karena lahan disekitarnya digunakan penduduk untuk Pertanian
bertanam padi sawah yang menghasilkan panen lebih Konversi ekosistem mangrove menjadi lahan
stabil dan kepastian harganya lebih terjamin. Konversi pertanian pangan umumnya kurang berhasil, seperti
kawasan mangrove menjadi lahan tambak ikan dan yang dilaksanakan di Kecamatan Kawunganten, Cilacap
udang merupakan penyebab utama rusaknya ekosistem sejak jaman kolonial. Upaya ini dilakukan dengan
mangrove. Nilai ekonomi udang yang tinggi mengubah arah aliran air sungai, sehingga sedimentasi
menjadikannya mata dagangan penting di dunia. mengumpul pada area tertentu yang akhirnya menjadi
Keberhasilan teknik budidaya udang pada tahun 1970-an daratan, selanjutnya untuk mengurangi tingkat salinitas,
mendorong upaya pertambakan udang secara modern dilakukan penggelontoran secara teratur tanah tersebut
dalam skala luas. Di Indonesia pembuatan tambak dengan air tawar untuk mendesak keluarnya kandungan
udang pada awalnya di mulai di pantai utara Jawa. Hal garam dari dalam sedimen. Upaya ini dilakukan sebagai
ini mendorong perusakan hutan mangrove secara besar- antisipasi terhadap kecenderungan berubahnya
besaran antara pertengahan tahun 1970-1990-an. ekosistem mangrove di Segara Anakan menjadi
Pembuatan tambak di sekitar muara sungai dan dataran ekosistem daratan, namun upaya ini pada akhirnya
pantai utara Jawa menyebabkan perubahan vegetasi berhenti dengan sendirinya akibat sulitnya menemukan
muara secara nyata. Ekosistem mangrove hanya tersisa varietas padi dengan produktivitas tinggi untuk lahan
pada tempat-tempat tertentu yang sangat terisolasi atau tersebut, serta menyebabkan ketidakpastian penghasilan
ditanam di tepi tambak yang berbatasan dengan pantai nelayan akibat berkurangnya luasan laguna (Winarno
dan Setyawan, 2003; ECI, 1975).
92

Tabel 2. Kegiatan restorasi ekosistem mangrove di pantai utara dan selatan Jawa Tengah *).

Resto- Perkiraan Spesies utama Tingkat **)


Lokasi Inisiatif Tujuan
rasi luas yang ditanam keberhasilan
Wulan 9 Pemerintah 5-10 ha Rhizophora spp. Menjaga stabilitas garis pantai ++
Memperluas area mangrove
Sigrogol 9 Masyarakat ± 1 ha Avicennia spp. Menjaga stabilitas tebing sungai dan garis pantai ++
Serang • - - - - -
Bulak 9 Pemerintah, 1-2 ha Rhizophora spp. Menjaga stabilitas garis pantai +++
Univ. Membangun kawasan wisata dan pendidikan
Telukawur 9 Pemerintah, ± 1 ha Rhizophora spp. Menjaga stabilitas garis pantai +
Univ.
Tayu • - - - - -
Juwana • Masyarakat < 1 ha Exoecaria Menjaga stabilitas tebing sungai +
agallocha
Sonneratia spp.
Pecangakan 9 Masyarakat 1-2 ha Avicennia spp. Memperluas area mangrove. ++
Menjaga stabilitas garis pantai
Menahan hempasan gelombang laut
Pasar Banggi 9 Pemerintah, 15-20 ha Rhizophora spp. Memperluas area mangrove. ++++
masyarakat Menjaga kawasan sekitarnya dari sedimentasi
Membangun kawasan wisata dan pendidikan
Menahan hempasan gelombang laut
Menyediakan suplai kayu masyarakat
Lasem 9 Masyarakat ± 1 ha Rhizophora spp. Menjaga stabilitas tebing sungai dan garis pantai ++
Bogowonto 9 Pemerintah, 1-2 ha Rhizophora spp., Mengembalikan fungsi ekosistem yang hampir +
Univ., Sonneratia spp. hilang
Masyarakat Menjaga warisan ekosistem mangrove satu-satunya
di Yogyakarta
Cakrayasan 9 Pemerintah ± 1 ha Rhizophora spp. Mengembalikan fungsi ekosistem yang hampir -
hilang
Lukulo 9 Pemerintah ± 1 ha Rhizophora spp. Mengembalikan fungsi ekosistem yang hampir -
hilang
Cingcingguling 9 Masyarakat < 1 ha Nypa fruticans Menjaga stabilitas tebing sungai +
Menyediakan suplai bahan pangan
Ijo 9 Masyarakat < 1 ha Nypa fruticans Menjaga stabilitas tebing sungai ++
Menyediakan suplai bahan pangan
Bengawan • - - - - -
Serayu • - - - - -
Tritih 9 Pemerintah ± 10 ha Rhizophora spp. Membangun kawasan wisata alam dan pendidikan +++
(Perhutani) Menjaga keanekaragaman hayati
Membangun kawasan konservasi ex situ
Motean 9 Pemerintah ± 5 ha Rhizophora spp. Mengembalikan fungsi ekosistem yang rusak +
(BPKSA) Menjaga keanekaragaman hayati (tempat untuk
berbiak, mencari makan dan membesarkan anak
berbagai fauna)
Menyediakan suplai kayu masyarakat
Menyediakan suplai bahan pangan
Menjaga nilai budaya
Menyediakan sarana pendidikan dan wisata
Muara Dua 9 sda sda sda sda sda
Keterangan: 9 = hadir, • = tidak hadir;
*) ++++ = sangat berhasil, +++ = berhasil, ++ = sedang, + = hampir gagal, - = gagal atau tidak ada restorasi.
**) Sumber: pengamatan (survei) lapangan, wawancara (in-depth interview), serta kajian peta topografi dan citra satelit.

Usaha untuk mengubah kawasan mangrove menjadi sepanjang garis sempadan sungai tersebut, seperti di
area pertanian pangan (sawah) sering kali berhasil pada Cingcingguling. Pada masa lalu tanggul-tanggul ini
lokasi yang berbatasan langsung dengan ekosistem air diperkuat dengan vegetasi N. fruticans yang memiliki
tawar, misalnya di Serayu, Bengawan, dan batang bawah tanah (rhizoma) sangat kuat, namun pada
Cingcingguling yang terletak di pantai selatan, serta saat ini perannya digantikan batu gunung, beton
Wulan, Sigrogol, dan Serang di pantai utara. Sawah- tetrapod, dan tanggul yang diperkeras, meskipun biaya
sawah tersebut umumnya dapat dipisahkan dengan pemeliharaan vegetasi tersebut lebih murah dan daya
ekosistem mangrove atau area tambak yang berair asin tahan tanggulnya tidak kalah dengan bangunan
dengan bendungan atau tanggul. Di pantai utara, dengan penahan. Berbeda dengan konversi ke area
ketinggian lahan persawahan sangat rendah dan luas, pertambakan yang menjadi penyebab utama kerusakan
biasanya sungai-sungai dilengkapi dengan bendung mangrove di pantai utara Jawa, maka di pantai selatan
gerak untuk mencegah membanjirnya air laut pada saat Jawa konversi ke lahan sawah diperkirakan merupakan
pasang. Sedangkan di pantai selatan, dengan aliran penyebab utama berkurangnya area mangrove dan rawa
keluar masuknya air pasang terbatas hanya di sungai- burit/belakang (back swamp).
sungai besar, maka biasanya dibuat tanggul di
93

Selain pertanian sawah basah terdapat pula Jalan negara dan jalan propinsi yang merupakan
pertanian tegalan kering di sekitar ekosistem mangrove, kelas jalan dengan kepadatan lalu lintas tertinggi dalam
misalnya di Bogowonto, Cakrayasan, Lukulo, Bengawan, sistem transportasi di Indonesia, dapat dijumpai pada
dan Serayu. Terutama pada tempat-tempat yang sedikit hampir semua lokasi yang diteliti, kecuali di Motean dan
lebih tinggi dari lahan mangrove sehingga cenderung Muara Dua yang terletak di tengah-tengah laguna
bertanah kering. Area ini banyak ditanami sayuran dan Segara Anakan. Hal ini menunjukkan besarnya arus
palawija, namun pada musim hujan tetap ditanami padi. barang dan manusia di lokasi-lokasi penelitian. Kegiatan
Ladang penggembalaan (pastoral) ditemukan di transportasi ini juga menghasilkan bahan pencemar
Bogowonto, Cakrayasan, dan Lukulo, terutama pada logam berat, khususnya Pb, yang dapat mengganggu
lahan kering yang tidak dapat diolah karena terlalu asin kehidupan mangrove.
dan berpasir, sehingga tidak cocok untuk tanaman Industri besar dalam penelitian ini hanya dijumpai di
budidaya. Kegiatan pertanian dapat menyebabkan Cilacap. Kota ini merupakan kota pelabuhan terbesar di
hilangnya area mangrove karena dikonversi menjadi pantai selatan Jawa dan telah dikembangkan sejak
sawah atau tegalan. Kegiatan penggembalaan juga jaman kolonial, sehingga sejak lama telah menjadi
dapat mengganggu kelangsungan ekosistem mangrove tempat manusia beraktivitas. Di kota ini terdapat pula
karena perumputan terhadap bibit-bibit mangrove. instalasi pengilangan minyak mentah dan industri semen
Kegiatan pertanian intensif juga dapat menyebabkan yang cukup besar. Aktivitas pelabuhan, pengilangan
eutrofikasi apabila penggunaan pupuk kimia dilakukan minyak, industri semen, dan kawasan perumahan secara
secara berlebihan. kontinu menghasilkan bahan pencemar yang dapat
mengganggu kehidupan di kawasan mangrove. Pada
Kawasan pengembangan dan bangunan saat-saat tertentu aktivitas kapal tangker dapat
Kawasan pantai merupakan sumber yang kaya akan mengalami kecelakaan, sehingga menumpahkan limbah
pangan, energi, dan mineral, sehingga menjadi sumber minyak dalam jumlah cukup besar dan dapat mematikan
mata pencaharian utama banyak masyarakat. Kawasan mangrove secara masal. Industri semen yang
pantai juga menjadi sumberdaya biologi dan menjaga mengambil tanah liat di Kawunganten dan tanah karst
kelestarian lingkungan. Namun, pembangunan ekonomi, (gamping) di Nusakambangan dapat meningkatkan
pertambahan penduduk yang cepat dan migrasi dari sedimentasi, sehingga memperparah laju sedimentasi di
kawasan pedalaman menyebabkan peningkatan Segara Anakan. Debu dari pabrik semen dapat menutupi
terkanan terhadap kawasan pantai. Pada saat ini, stomata dan lentisel tumbuhan mangrove, sehingga
sejumlah besar kawasan pantai khususnya di dunia mengganggu fotosintesis dan respirasi. Limbah domestik
ketiga mengalami penurunan produktivitas dan peran seperti sampah padat dapat mengganggu perakaran
ekologinya mulai jatuh. Oleh karena itu pengelolaan mangrove dan pertumbuhan bibit mangrove.
kawasan pantai harus dilakukan lebih baik dengan
mengintegrasikan keseluruhan rencana pembangunan Kerusakan dan upaya restorasi
mulai dari tingkat nasional hingga lokal (Pappas dkk., Jenis-jenis pemanfaatan langsung dalam ekosistem
1994.) mangrove dan penggunaan lahan di sekitarnya
Kawasan mangrove tidak lepas dari tekanan merupakan proses antropogenik yang secara nyata
kepadatan penduduk, hingga area mangrove yang sering mempengaruhi kelestarian ekosistem mangrove di Jawa
diasumsikan dengan lokasi terpencil, pada kenyataannya Tengah. Beberapa aktivitas yang mempengaruhi
tetap menjadi salah satu lokasi dengan jumlah penduduk kehidupan mangrove secara luas adalah: konversi
cukup padat. Kawasan pemukiman dengan tingkat habitat ke pertambakan (ikan/udang dan garam),
kepadatan rendah (rural) dengan mudah dapat penebangan pohon secara berlebih untuk diambil
ditemukan di semua lokasi penelitian, termasuk di kayunya, sedimentasi, dan pencemaran lingkungan.
Segara Anakan yang terletak di tengah-tengah laguna Lemahnya pemahaman mengenai nilai khas dari jasa
dan dikelilingi hutan mangrove. Beberapa area ekologi dan produk panen ekosistem mangrove,
mangrove bahkan terletak di dekat kawasan pemukiman menyebabkan ekosistem ini sering kurang dihargai dan
padat (urban), seperti Cilacap, Jepara, Juwana (Pati), cenderung dikonversi ke penggunaan lain. Penilaian
serta Rembang dan Lasem (Rembang). Aktivitas yang rendah juga merupakan akibat sulitnya
pemukiman secara nyata dapat mempengaruhi kawasan menerapkan standar moneter pada faktor-faktor yang
mangrove karena limbah yang dihasilkannya, serta terkait dengan peran ekologi dan produk panen
adanya aktivitas kehidupan sehari-hari. ekosistem mangrove. Hal ini memerlukan pengetahuan
Kawasan mangrove juga sering terletak di dekat yang mendalam dan holistik (Bandaranayake, 1998;
pelabuhan, baik pelabuhan besar maupun kecil Ronnback, 1999).
(dermaga ikan atau tempat pelelangan ikan/TPI). Dalam Pembuatan tambak merupakan ancaman utama
penelitian ini pelabuhan samudera yang cukup besar kelestarian ekosistem mangrove dunia (Hamilton dkk.,
terdapat di Cilacap, beberapa kilometer dari lokasi 1989; Primavera, 1998). Di Jawa budidaya tambak,
penelitian Tritih, sedangkan pelabuhan ikan yang cukup khususnya ikan bandeng (Chanos chanos), memiliki
besar terdapat di Juwana, pelabuhan ikan kedua sejarah panjang dan telah dilakukan sejak 500 tahun
terbesar di Propinsi Jawa Tengah. Adapun pelabuhan yang lalu (Schuster, 1952), namun penemuan teknologi
kecil/TPI ditemukan pada hampir semua lokasi penelitian pertambakan udang pada tahun 1970-an telah
lainnya. Kegiatan pelabuhan dapat menghasilkan limbah mengubah orientasi tambak tradisional yang lebih ramah
seperti sisa-sisa bahan bakar, di samping itu arus lingkungan menjadi tambak modern yang sarat dengan
gelombang air laut yang disebabkan pergerakan kapal bahan kimia, seperti antibiotik, makanan tambahan, dan
dapat menghambat pemantapan dan pertumbuhan bibit pupuk kimia. Keuntungan besar dari tambak udang telah
mangrove. menyebabkan dikonversinya hampir seluruh ekosistem
mangrove di pantai utara Jawa Tengah menjadi lahan
94

tambak. Ironisnya, produktivitas tambak sangat mempengaruhi ekosistem mangrove adalah minyak bumi
tergantung pada kondisi alami ekosistem mangrove di dan sampah domestik padat. Pencemaran minyak bumi
sekitarnya, yang menjadi penyuplai air bersih, bibit, ditemukan di Segara Anakan akibat aktivitas
pakan, dan lain-lain (Hamilton dan Snedaker, 1984; pengilangan minyak dan pelabuhan besar Cilacap, serta
Larsson dkk., 1994; Beveridge dkk., 1997). Kini banyak tumpahan minyak dari kecelakaan kapal tangker.
tambak yang tidak produktif lagi karena akumulasi bahan Sampah domestik padat dapat dijumpai di semua lokasi
kimia, pirit, penyakit, perubahan pola hidrologi, dan penelitian. Sampah ini dapat mengganggu pertumbuhan
pencemaran lingkungan. Tambak yang gagal ini banyak bibit mangrove sehingga menghambat regenerasi dan
dijumpai di pantai utara Demak, Jepara, Pati dan menggagalkan upaya restorasi, seperti di Lukulo,
Rembang, serta Segara Anakan. Masa produktif tambak Cakrayasan, dan Pasar Banggi.
ikan/udang yang dikelola secara intensif atau semi Munculnya kesadaran akan pentingnya konservasi
intensif umumnya hanya sekitar 5-10 tahun (Gujja dan ekosistem mangrove, meskipun tidak selalu dengan
Finger-Stich, 1996), dan sekitar 70% tambak yang tujuan dan intensitas pemahaman yang sama di antara
semula produktif pada akhirnya akan ditinggalkan para pihak telah memunculkan upaya-upaya restorasi
(Stevenson, 1997). (rehabilitasi) (Tabel 2.). Tujuan utama restorasi
Penebangan pohon menjadi ancaman serius mangrove adalah mengelola struktur, fungsi, dan proses-
terhadap kelestarian ekosistem mangrove, karena tidak proses ekologi di dalamnya, serta mencegah kepunahan,
hanya menyebabkan hilangnya pepohonan yang fragmentasi atau degradasi lebih lanjut dari ekosistem ini
ditebang namun juga mengubah iklim mikro sehingga (Anonim, 2001b). Restorasi diperlukan apabila ekosistem
mengganggu kehidupan ekosistem secara keseluruhan. yang rusak tidak dapat memperbaharui diri dan
Penebangan pepohonan mangrove secara intensif di melaksanakan fungsinya secara normal, karena
Segara Anakan menyebabkan berubahnya penampakan homeostasisnya secara permanen terhenti (Stevenson
vegetasi kawasan tersebut dari hutan berpohon menjadi dkk., 1999; Morrison, 1990). Dalam restorasi mangrove
semak-semak belukar yang didominasi A. ilicifolius yang kadang-kadang hanya fungsi tertentu yang ingin
secara ekonomi kurang menguntungkan. Penebangan dikembalikan, karena telah terjadi perubahan faktor
pohon untuk berbagai keperluan, termasuk untuk edafik dan keanekaragaman jenis (Lewis, 1990, 1992).
pembukaan tambak juga ditemukan di Wulan dan Tujuan restorasi lainnya adalah memperkaya
Pecangakan. keanekaragaman hayati landskap, mempertahankan
Sedimentasi dibutuhkan untuk pemantapan suplai produksi sumberdaya alam, terutama perikanan
ekosistem mangrove, namun sedimentasi yang berlebih dan kayu, melindungi kawasan pantai, dan fungsi sosial
dapat mengubah ekosistem ini menjadi ekosistem darat. budaya (Ronnback dkk., 1999).
Di Segara Anakan sedimentasi merupakan masalah Di Wulan, kegiatan restorasi ditujukan terutama untuk
utama yang mengancam kelestarian laguna dan hutan memperluas area mangrove. Tumbuhan mangrove dapat
mangrove. Sifat laguna Segara Anakan yang tertutup, memantapkan garis pantai dan mendorong terbentuknya
muara sungai tidak langsung terhubung dengan laut daratan, menguatkan tanggul-tanggul lumpur,
bebas, menyebabkan sejumlah besar sedimen mengurangi hembusan angin, mengurangi energi
didepositkan dalam laguna. Setiap tahun sungai gelombang laut dan air pasang. Penanaman tumbuhan
Citanduy dan Cimeneng/Cikonde masing-masing mangrove relatif lebih murah dan tidak kalah efektif
3 3
mengangkut 5 juta m dan 770.000 m sedimen, sebagai pelindung pantai. Tumbuhan mangrove dapat
3 3
sebanyak 740.000 m dan 260.000 m di antaranya memecahkan gelombang dan menahan sedimen
diendapkan di Segara Anakan (ECI, 1994). Pelumpuran sehingga memantapkan garis pantai (Broom dkk., 1981).
ini menyebabkan menjoroknya daratan sejauh 17-30 m Hal ini dapat mengurangi laju sedimentasi pada kolam
per tahun, sehingga dalam jangka panjang akan pelabuhan, maupun kawasan pantai yang menjadi lokasi
mengubah ekosistem mangrove menjadi ekosistem wisata (Bandaranayake, 1998).
daratan, dengan jenis komponen biotik (flora dan fauna) Di Sigrogol penanaman tumbuhan mangrove
yang berbeda (Tjitrosoepomo, 1981), sehingga tidak terutama untuk menjaga tebing sungai dari abrasi,
hanya mempengaruhi ekosistem alami, namun juga sehingga dapat menjaga kelancaran lalu lintas perahu
mempengaruhi kultur masyarakat. Hal ini sudah terbukti nelayan. Di Bulak dan Telukawur restorasi terutama
dengan perubahan konstruksi rumah penduduk ditujukan untuk menjaga stabilitas garis pantai,
Kampung Laut, yakni dari rumah panggung di atas mengingat beberapa tahun sebelumnya kawasan ini
permukaan laut menjadi rumah tembok di daratan. terkena abrasi yang cukup luas. Penanaman Rhizophora
Perubahan ekosistem ini mendorong penduduk untuk spp. di Bulak pada akhirnya juga menyediakan kawasan
mengubah mata pencaharian dari nelayan menjadi pendidikan dan wisata bagi masyarakat.
petani (Brotosusilo, 1988). Sebaliknya sedimentasi di Di Tayu aktivitas reboisasi hampir tidak ada, bahkan
kawasan pantai utara Jawa Tengah, seperti Wulan, terdapat sejumlah besar area mangrove di tepian pantai
Juwana, dan Pecangakan menyebabkan bertambahnya yang dibersihkan untuk diambil kayunya dan dibuat
luasan area mangrove secara terus menerus ke arah tambak. Pesisir Tayu merupakan daerah penumpukan
laut. Sedimentasi di pantai utara Jawa, tampaknya tidak lumpur/akresi dari sungai Juwana dan sungai-sungai
banyak mempengaruhi ekosistem mangrove walaupun kecil di sekitarnya, sehingga relatif tidak terdapat
sangat merugikan perekonomian (Anonim, 2001a). ancaman abrasi terhadap pantai yang gundul. Di Juwana
Pencemaran lingkungan dapat menjadi ancaman aktivitas reboisasi sangat terbatas, terutama hanya pada
serius terhadap ekosistem mangrove. Sebagai kawasan tepian sungai Juwana untuk memperlambat runtuhnya
peralihan dari darat ke laut, maka semua jenis bahan tebing sungai. Kawasan ini sangat sesuai untuk
pencemar dari kedua lokasi tersebut dapat terakumulasi pertambakan bandeng sehingga hampir tidak ada lahan
di kawasan mangrove. Dalam penelitian ini, bahan yang disisakan kecuali untuk tambak. Tipisnya vegetasi
pencemar yang secara kasat mata mudah dijumpai dan mangrove di tebing sungai dan tepian garis pantai
95

menyebabkan alur pelayaran di sungai ini harus sering keanekaragaman hayati ekosistem mangrove, termasuk
dikeruk mengingat seringnya tebing sungai longsor, di konservasi ex situ beberapa burung dari kawasan
samping tingginya sedimentasi dari daerah hulu. mangrove Segara Anakan.
Di Pecangakan, reboisasi ditujukan untuk Di Motean dan Segara Anakan, keduanya di laguna
memperluas area mangrove, menjaga stabilitas garis Segara Anakan, aktivitas restorasi ditujukan untuk
pantai, dan menahan gelombang laut. Tanah yang mengembalikan fungsi ekosistem yang rusak, menjaga
terbentuk sekitar 3-5 tahun sejak penanaman mangrove keanekaragaman hayati (misalnya tempat untuk berbiak,
tersebut akan dibuka untuk tambak, namun sebelum mencari makan dan membesarkan anak berbagai
dibuka area mud flat di arah laut telah ditanami pula fauna), menyediakan suplai kayu masyarakat,
dengan mangrove lagi. Kegiatan ini menyebabkan garis menyediakan suplai bahan pangan, menjaga nilai
pantai secara terus-menerus mengarah ke laut. Teknik budaya, menyediakan sarana pendidikan dan wisata.
ini sangat efektif untuk memperluas area daratan, namun Bagi masyarakat Kampung Laut, mangrove di sekitarnya
dataran baru yang terbentuk umumnya sangat rendah, tidak hanya menjadi sumber mata pencaharian, namun
hampir sejajar dengan permukaan laut sehingga rawan telah menjadi bagian dari budaya masyarakat setempat,
terhadap penggenangan, khususnya pada saat pasang mengingat mereka telah tinggal selama ratusan tahun.
purnama atau pasang perbani, dimana rata-rata Upaya restorasi ekosistem mangrove untuk
permukaan air laut dapat naik hingga 1-2 m di atas rata- menghidupkan kembali fungsi semula, dengan
rata pasang harian. menghadirkan (penanaman) bibit-bibit mangrove mayor,
Restorasi mangrove di Pasar Banggi merupakan seperti Rhizophora, Sonneratia, dan Avicennia, telah
yang paling berhasil di antara lokasi-lokasi yang diteliti. dilakukan, baik oleh pemerintah, perhutani, perguruan
Restorasi di kawasan ini juga memiliki tujuan yang lebih tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat
beragam, yakni memperluas area mangrove, menahan awam. Dalam skala besar, kegiatan ini antara lain
hempasan gelombang laut, mengurangi sedimentasi, pernah atau sedang dilakukan di Wulan, Pasar Banggi,
membangun kawasan wisata dan pendidikan, serta Bogowonto, Cakrayasan, Lukulo, dan Segara Anakan.
menyediakan suplai kayu bagi masyarakat. Tujuan yang Keberhasilan upaya restorasi terkait banyak faktor, baik
beragam ini sangat didukung oleh masyarakat setempat faktor biotik, abiotik maupun budaya masyarakat
yang diikutsertakan dalam manajemen pengelolaan, setempat. Kegagalan penanaman S. alba di Bogowonto
mereka diberi hak untuk mengambil panen dari kawasan antara lain disebabkan kesalahan pemilihan spesies
mangrove tanpa merusak, serta diikutsertakan dalam bibit, yakni bibit yang diambil dari Segara Anakan
program restorasi secara berkala sebagai penyedia bibit ternyata tidak dapat bertahan terhadap genangan di
mangrove. Tujuan yang beragam ini juga didukung Bogowonto, di samping akibat perumputan oleh kerbau
lokasinya yang strategis di tepian jalan negara sehingga (Bos bubalis). Kegagalan restorasi mangrove di
memudahkan akses ke kawasan. Kawasan ini Cakrayasan dan Lukulo antara lain disebabkan karena
merupakan area akresi tidal flat, namun terdapat timbunan sampah domestik pada bibit, sehingga
pelabuhan perikanan yang cukup besar, sehingga mengakibatkan kematian bibit tersebut. Keberhasilan
adanya area mangrove diharapkan dapat mengurangi restorasi mangrove (R. mucronata) di Pasar Banggi
sedimentasi. Di Lasem, restorasi terutama ditujukan antara lain dikarenakan peran aktif masyarakat
untuk menjaga tebing sungai dan memantapkan garis setempat, yang diikutsertakan dalam pengelolaan
pantai. kawasan mangrove tersebut.
Di pantai selatan Jawa Tengah, upaya restorasi eko-
sistem mangrove relatif terbatas, mengingat terbatasnya
luasan mangrove, serta kecilnya peran sosial ekonomi, KESIMPULAN
ekologi, dan sosial budaya ekosistem ini, kecuali di
Segara Anakan yang luasan ekosistem mangrovenya
Pemanfaatan langsung dalam ekosistem mangrove
cukup signifikan. Kegiatan restorasi di kawasan ini
di Jawa Tengah mencakup perikanan, kayu, bahan
terutama ditujukan untuk menghadirkan kembali
pangan, pakan ternak, bahan obat, bahan baku industri,
ekosistem mangrove yang hampir hilang. Di Bogowonto,
serta pariwisata dan pendidikan. Adapun penggunaan
restorasi juga ditujukan untuk menyelamatkan satu-
lahan di sekitar ekosistem mangrove, mencakup
satunya warisan ekosistem mangrove di Yogyakarta. Di
perikanan/tambak, pertanian, serta kawasan
Cakrayasan dan Lukulo restorasi ditujukan untuk
pengembangan dan bangunan. Kegiatan antropogenik
mengembalikan ekosistem mangrove yang hilang,
tersebut telah menurunkan peran ekologi, ekonomi dan
namun kegiatan ini relatif kurang berhasil. Beberapa
sosial budaya ekosistem mangrove, oleh karena itu
faktor yang mempengaruhinya adalah perumputan oleh
banyak dilakukan upaya restorasi. Upaya restorasi yang
hewan ternak, penutupan oleh sampah, kesalahan
cukup berhasil terjadi di Pasar Banggi, keberhasilan ini
pemilihan spesies bibit, dan tiadanya pemeliharaan yang
tampaknya karena pengikutsertaan masyarakat dalam
cukup berarti. Di antara Cakrayasan dan Lukulo terdapat
manajemennya. Kegiatan restorasi yang gagal terjadi di
muara sungai Wawar yang telah musnah ekosistem
Cakrayasan dan Lukulo; penyebab utama kegagalan ini
mangrovenya. Hal ini mengindikasikan kemungkinan
tampaknya adalah kesalahan pemilihan bibit dan
hilangnya ekosistem mangrove sepenuhnya di
tiadanya pemeliharaan yang cukup berarti.
Cakrayasan dan Lukulo, mengingat kondisi lingkungan
biotik, abiotik, dan kultur masyarakatnya yang tidak
berbeda jauh. Di Cingcingguling dan Ijo aktivitas
restorasi ditujukan untuk menjaga stabilitas tanggul pada DAFTAR PUSTAKA
tebing sungai dan menyediakan suplai pangan berupa N.
fruticans. Aktivitas ditujukan untuk membangun kawasan Anonim. 1997. Empang parit di Desa Randusanga Kulon, Kecamatan
Brebes, Kabupaten Brebes. Kehutanan Indonesia 6: 31-34.
wisata alam dan pendidikan, serta menjaga
96

Anonim. 2001a. Mangroves, Multi-Species Recovery Plan for South Habitat, Baltimore, MD, USA, March 7-9 1991. National Coalition for
Florida. southeast.fws.gov/vbpdfs/commun/mn.pdf. Marine Conservation, Inc., Savannah, Georgia, USA.
Anonim. 2001b. Shoreline stabilization and storm protection. Wetland Martosubroto, P. and M. Naamin. 1977. Relationship between tidal
Values and Function. Gland: The Ramsar Bureau. forests (mangroves) and commercial shrimp production in Indonesia.
Bandaranayake, W.M. 1998. Traditional and medicinal uses of Marine Research Indonesia 18: 81-86.
mangroves. Mangroves and Salt Marshes 2: 133-148. Morrison, D. 1990. Landscape restoration in response to previous
Bandaranyake, W.M. 1995. Survey of mangrove plants from Northern disturbance. In: Turner, M.G. (ed.) Landscape Heterogeneity and
Australia for phytochemical constituents and UV-absorbing Disturbance. New York: Springer-Verlag.
compounds. Current Topics in Phytochemistry (Life Science Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. 3rd edition. Philadelphia:
Advances) 14: 69-78. W.B. Sounders Company.
Bashan, Y., M.E. Puente, D.D. Myrold, and G. Toledo. 1998. In vitro Padua, L.S. de, N. Bunyapraphatsara, and R.H.M.J. Lemmens (eds.).
transfer of fixed nitrogen from diazotrophic lamentous cyanobacteria 1999. Plant Resources of South-East Asia No. 12 (1), Medicinal and
to black mangrove seedlings. FEMS Microbiology Ecology 26: 165- Poisonous Plants 1. Bogor: Prosea.
170. Pagiola, S. 2001. Land use change in Indonesia. In: Indonesia:
Beveridge, M.C.M., M.J. Phillips, and D.J. Macintosh. 1997. Aquaculture Environment and Natural Resource Management in a Time of
and the environment: the supply of and demand for environmental Transition. Jakarta: Environment Department, World Bank.
goods and services by Asian aquaculture and the implications for Pappas, E., J. Post, and C.G. Lundin. 1994. Coastal Zone Management
sustainability. Aquaculture Research 28: 797-807. and Environmental Assessment. In Environmental Assessment
Broom, S.W., E.D. Seneca, and W.W. Woodhouse, Jr. 1981. Planting Sourcebook Updates. Washington, D.C.: The World Bank
marsh grasses for erosion control. North Carolina: North Carolina Primavera, J.H. 1995. Mangroves and brackish water pond culture in the
University Sea Grant Program. Philippines. Hydrobiologia 295: 303-309.
Brotosusilo, A. 1988. Social change in Segara Anakan-Cilacap, Primavera, J.H., 1998. Tropical shrimp farming and its sustainability. In:
Indonesia. ASEAN/US Technical Workshop on Integrated Tropical de Silva, S. (ed.), Tropical Mariculture. London: Academic Press.
Coastal Zone Management, Singapore, 28-31 October 1988 Ronnback, P. 1999. The ecological basis for economic value of seafood
ECI (Engineering Consultant Inc.). 1975. The Citanduy River Basin production supported by mangrove ecosystems. Ecological
Development Project Segara Anakan. Denver: Banjan. Economics 29: 235-252
ECI. 1994. Segara Anakan Conservation and Development Project. Ronnback, P., M. Troell, N. Kautsky, JH. Primavera. 1999. Distribution
Jakarta: Asian Development Bank. pattern of shrimps and fish among Avicennia and Rhizophora
Field, C. 1995. Journeys Amongst Mangroves; International Society for microhabitats in the Pagbilao mangroves, Philippines. Estuarine
Mangrove Ecosystems, Okinawa, Japan. Hong Kong: South China Coastal Shelf Science 48: 223-234.
Printing Co. Schuster, W.H., 1952. Fish culture in the brackish water ponds of Java.
Gujja, B. and A. Finger-Stich, 1996. What price prawn? Shrimp IPFC Special Publication 1: 1-143.
aquaculture’s impact in Asia. Environment 38: 12-39. Setyawan, A.D. 2002. Ekosistem Mangrove sebagai Kawasan Peralihan
Hamilton, L. and S.C. Snedaker. 1984. Handbook for Mangrove Area Ekosistem Perairan Tawar dan Perairan Laut. Enviro 2 (1): 25-40.
Management. Honolulu: Environment and Policy Institute, East-West SNM (Strategi Nasional Mangrove). 2003. Strategi Nasional Pengelolaan
Center. Mangrove di Indonesia (Draft Revisi); Buku II: Mangrove di
Hamilton, L., J. Dixon, and G. Miller. 1989. Mangroves: an undervalued Indonesia. Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
resource of the land and the sea. Ocean Yearbook 8: 254-288. Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In: Flora Malesiana.
Hartina. 1996. Evaluasi Usaha Tumpang Sari Empang Parit di RPH Djakarta: Noordhoff-Kollf.
Cemara, BKPH Indramayu, KPH Indramayu. [Tesis]. Yogyakarta: Steenis, C.G.G..J. van. 1965. Concise plant-geography of Java. In:
Program Pascasarjana UGM. Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of
Hasmonel, M.W., Purwaningdyah, dan R. Nurhayati. 2000. Reklamasi Java. Vol. II. Groningen: P.Noordhoff
Pantai dalam Hubungannya dengan Pendaftaran Tanah (Studi Stevenson, N.J., 1997. Disused shrimp ponds: options for redevelopment
Kasus di Pantai Utara Jakarta). Jakarta: Universitas Terbuka. of mangroves. Coastal Management 25: 425-435.
Kairo, J.G., F. Dahdouh-Guebas, J. Bosire, and N. Koedam. 2001. Stevenson, N.J., R.R. Lewis, and P.R. Burbridge. 1999. Disused shrimp
Restoration and management of mangrove systems-a lesson for and ponds and mangrove rehabilitation. In Streever, W. (ed.). An
from the East African region. South African Journal of Botany 67: International Perspective on Wetland Rehabilitation. Dordrecht:
383-389. Kluwer Academic Publishers.
Kompas, 03/03/2003. Kabupaten Rembang. Tanaka, S., 1992. Bali Environment the Sustainable Mangrove Forest.
Lammens, R.H.M.J. and N. Wulijarni-Soetjipto (eds.). 1992. Plant Jakarta: Development of Sustainable Mangrove Management
Resources od Southeast Asia No. 3 Dye and Tannin-Producing Project.
Plants. Bogor: Prosea. Tjitrosoepomo, G. 1981. Pembangunan wilayah pantai Cilacap. Paper
Larsson, J., C. Folke, and N. Kautsky, 1994. Ecological limitations and presented at a panel discussion on urban and rural planning in
appropriation of ecosystem support by shrimp farming in Colombia. Semarang, Central Java.
Environmental Management 18: 663-676. US. Army Map Services. 1963-1965. Sheets Map of Java. Washington,
Lemmens, R.H.M.J. and N. Bunyapraphatsara (eds.). 2003. Plant D.C.: Corps of Engineers.
Resources of South-East Asia No. 12 (3), Medicinal and Poisonous Valkenburg, J.L.C.H. van and N. Bunyapraphatsara (eds.). 2002. Plant
Plants 3. Bogor: Prosea. Resources of South-East Asia No. 12 (2), Medicinal and Poisonous
Lemmens, R.H.M.J. and W. Wulijarni-Soetjipto (eds.). 1992. Plant Plants 2. Bogor: Prosea.
Resources of South-East Asia No. 3, Dye and Tannin-Producing Walsh, G.E. 1977. Exploitation of Mangal. In: Chapman, V.J. (ed),
Plants. Bogor: Prosea. Ecosystems of the World. New York: Elsevier Scientific.
Lewis, R.R. 1990b. Wetlands restoration/creation/ enhancement Winarno, K. dan A.D. Setyawan. 2003. REVIEW: Penyudetan sungai
terminology: suggestions for standardization. In J.A. Kusler and M.E. Citanduy, buah simalakama konservasi ekosistem mangrove Segara
Kentula (eds.) Wetland Creation and Restoration: The Status of the Anakan. Biodiversitas 4 (1): 63-72.
Science, Vol. I: Regional Reviews. Washington: Island Press. Yudho, W. 1988. Local environment awareness and attitudes toward
Lewis, R.R. 1992. Coastal habitat restoration as a fishery management coastal resources management in Segara Anakan-Cilacap,
tool. In Stroud, R.H. (ed.) Stemming the Tide of Coastal Fish Habitat Indonesia. ASEAN/US Technical Workshop on Integrated Tropical
Loss; Proceedings of a Symposium on Conservation of Coastal Fish Coastal Zone Management, Singapore, 28-31 October 1988.
97

Lampiran xxx. Pemanfaatan langsung di dalam ekosistem mangrove dan penggunaan lahan di sekitarnya, serta upaya
restorasinya.

Gambar xxx. Tambak ikan bandeng di Juwana Gambar xxx. Tambak garam di Pasar Banggi

Gambar xxx. Jaring apung di Wulan Gambar xxx. Perahu nelayan di Segara Anakan

Gambar xxx. Penebangan kayu dan konversi ke pertambakan di Gambar xxx. Penebangan kayu dan konversi ke pertambakan di
Pecangakan Wulan

Gambar xxx. Pemanenan kayu bakar di Wulan Gambar xxx. Penggembalaan ternak di Lukulo
98

Gambar xxx. Buah A. ilicifolius sebagai bahan obat hepatitis Gambar xxx. Gumuk pasir sebagai bahan baku semen (bijih
besi)

Gambar xxx. Potensi ekowisata di Pasar Banggi Gambar xxx. Potensi pendidikan di Bogowonto

Gambar xxx. Sawah di sekitar ekosistem mangrove di Gambar xxx. Pelabuhan ikan di Juwana
Cingcingguling

Gambar xxx. Sampah domestik di Wulan Gambar xxx. Tipikal pemukiman di Segara Anakan
99

A B
Gambar xxx. Hambatan pertumbuhan bibit Rhizophora di Pasar Bangi oleh: A. sampah plastik, B. rumput laut Ulva.

A B
Gambar xxx. Papan penunjuk restorasi ekosistem mangrove. A. Pasar Banggi (2002, berhasil); B. Lukulo (2000, gagal)
100
101

BAGIAN III

Beberapa Permasalahan dan Penanganannya


102
103

Habitat Reliks Mangrove di Pantai Selatan Jawa

ABSTRACT Melayu manggi-manggi dan bahasa Arab el-gurm


menjadi mang-gurm, keduanya sama-sama berarti
Mangrove vegetation is one of the most richness ecosystems in Avicennia (api-api), pelatinan nama Ibnu Sina, seorang
tropical forest. It has high value economically and ecologically. dokter Arab yang banyak mengidentifikasi manfaat obat
Mangrove product can be used directly as timber, firewood, tumbuhan mangrove. Kata mangrove dapat ditujukan
charcoal, tannin, dyes, food, medicine, raw material of untuk menyebut spesies, tumbuhan, hutan atau
industries, etc. It also can be used indirectly as fisheries, wastes komunitas (Ng dan Sivasothi, 2001).
processing, seashore protection, ecoturisms, educations, etc. In
the past time, river estuaries in south coast of Java was
Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem
mangrove habitat. However, anthropogenic activities had been paling produktif dan memiliki nilai ekonomi tinggi, antara
reduced mangrove vegetation into relix habitat. The aim of the lain sebagai sumber bahan bangunan, kayu bakar,
research was to know (1) sites of mangrove vegetation in river arang, tanin, bahan pewarna, bahan makanan, bahan
estuaries in south coast of Java, (2) diversity of mangrove obat, serta bahan baku industri, seperti pulp, rayon dan
vegetation, (3) density of Sonneratia alba J.E. Smith, and (4) lignoselulosa (Ng dan Sivasothi, 2001; Inoue dkk., 1999;
physical and chemical properties of these sites. The research Bandaranayake, 1998; Anonim, 1997a; Tanaka, 1992).
was conducted in March-April 2002, at 20 river estuaries from Keanekaragaman hayati ekosistem mangrove berpotensi
Pacitan until Cilacap, south coast of Java. The results indicated
that mangrove remnant could be met in 10 river estuaries,
besar untuk menghasilkan produk berguna di masa
namely Grindulu, Teleng, Bogowonto, Cakrayasan, Lukulo, depan (bioprospeksi). Tumbuhan obat yang selama ini
Cincingguling, Ijo, Bengawan, Serayu, and Jeruk Legi-Donan. dimanfaatkan secara tradisional dapat diteliti secara
There were 29 mangrove species in estuaries, consist of major mendalam hingga diperoleh obat modern (Ng dan
components (9 sp.), minor components (2 sp.), and mangrove Sivasothi, 2001).
associated (18 sp.). The density of Sonneratia alba J.E. Smith Hutan mangrove mampu melindungi pantai dari
varied from 0 till > 250 individual per hectare. The soil sediment abrasi, menjaga intrusi air laut, menahan limbah dari
could be grouped into sand, silt, and clay, where silt and clay darat dan laut, tempat lahir dan bersarangnya ikan,
could support mangrove growth finely. The average of
environmental parameters as follows: temperature of water and
udang, kerang, burung, dan biota-biota lain, serta
o o
sediment respectively were 32.0 C and 31.4 C, pH of water and berperan dalam ekoturisme dan pendidikan (Ng dan
sediment respectively were 7.29 and 6.96, total dissolved solid Sivasothi, 2001; Inoue dkk., 1999; Howe dkk., 1992).
of water was ~ 2000 ppm, dissolved oxygen of water was 9.29 Namun sejumlah besar area hutan mangrove di dunia
ppm, and water salinity was 16 ppt. telah hilang karena pengambilan kayu, kegiatan
pertanian, perikanan, industri, perdagangan, perumahan
Key words: mangrove remnant, Sonneratia alba, diversity, dan gangguan alam (Nybakken, 1993; Knox dan
density. Miyabara, 1984).
Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia.
Pada tahun 1982 luasnya sekitar 4,25 juta hektar,
PENDAHULUAN sumber lain mengatakan pada tahun itu luasnya sekitar
3,24 juta hektar dan pada tahun 1993 tinggal tersisa 3
Hutan mangrove atau mangal adalah sejumlah juta hektar. Di Jawa Tengah luas hutan ini tinggal sekitar
komunitas tumbuhan pantai tropis dan sub-tropis yang 13.577 hektar (Anonim, 1997b), umumnya tersebar di
didominasi tumbuhan bunga terestrial berhabitus pohon Karimunjawa, pantai utara dan Segara Anakan. Pada
dan semak yang dapat menginvasi dan tumbuh di masa lalu luas hutan mangrove di Segara Anakan
kawasan pasang surut (Nybakken, 1993; Kitamura dkk., mencapai 15,145 hektar (Wirjodarmodjo dkk., 1979) atau
1997). Hutan mangrove disebut juga hutan pasang surut, bahkan 21.500 hektar (Sasaki dan Sunarto, 1994). Pada
hutan payau, rawa-rawa payau atau hutan bakau. Istilah masa kini luasnya sulit diperdiksi akibat tingginya
yang sering digunakan adalah hutan mangrove atau sedimentasi hingga terbentuk dataran-dataran baru yang
hutan bakau (Kartawinata, 1979). diinvasi mangrove, serta banyaknya perubahan
Kata mangrove merupakan perpaduan bahasa peruntukan area vegetasi mangrove lama.

Publikasi asli: Setyawan, A.D., A. Susilowati, dan Wiryanto. 2002. Habitat Reliks Vegetasi Mangrove di Pantai Selatan Jawa.
Biodiversitas 3 (2): 242-256.
104

Hutan mangrove di daerah tropis relatif heterogen. tumbuhnya mangrove, (2) identifikasi keragaman spesies
Spesies yang tumbuh di bibir pantai cenderung vegetasi mangrove, (3) pengukuran kerapatan S. alba,
berhabitus rendah, sedang yang jauh berhabitus tinggi dan (4) pengukuran parameter fisik-kimia lingkungan
(Tomlison, 1986). Tumbuhan mangrove di Indonesia yang terkait dengan keberadaan mangrove.
terdiri dari 47 spesies pohon, lima spesies semak, sem-
bilan spesies herba dan rumput, 29 spesies epifit dan Area kajian
dua spesies parasit, serta beberapa spesies alga dan Lokasi penelitian meliputi 20 sungai yang bermuara
bryophyta (Anonim, 1997b). Kompilasi yang dilakukan di pantai selatan Jawa mulai dari Pacitan, Jawa Timur
Sasaki dan Sunarto (1994) menunjukkan ekosistem hingga Cilacap, Jawa Tengah (Tabel 1.). Kesemua
mangrove Segara Anakan disusun oleh 64 spesies. sungai tersebut secara langsung bermuara di Samudera
Pada ekosistem alami tumbuhan mangrove Hindia, kecuali Sungai Jeruk Legi-Donan yang selain
membentuk zonasi (Nybakken, 1993; Chapman, 1992). bermuara di Samudera Hindia, juga bermuara di
Zona luar yang terbuka didominasi Avicennia dan kawasan Segara Anakan. Pada Sungai Jeruk Legi-
Sonneratia, diikuti Rhizophora pada bagian sedikit agak Donan karena luasnya muara, maka sampel diambil
dalam. Zona tengah didominasi Bruguiera gymnorrhiza. pada tiga stasiun yang berjauhan, yaitu di sekitar
Zona tiga didominasi Xylocarpus dan Heritiera. Zona Pelabuhan, Karangtalun dan Tritih. Penelitian
dalam didominasi Bruguiera cylindrica, Schyphiphora dilaksanakan pada bulan Maret s.d. April 2002.
dan Lumnitzera. Adapun zona transisi didominasi
Cerbera manghas (Ng dan Sivasothi, 2001; Chapman, Bahan dan Alat
1992; de Haan dalam Steenis, 1958). Pada perbatasan Pengecekan kondisi mangrove. Alat yang diguna-
hutan mangrove dengan rawa air tawar tumbuh tegakan kan meliputi: peta topografi, kompas, teropong, rol meter,
Nypa fruticans, diikuti Cyperus partulacastrum, dan alat tulis.
Fimbristylis ferruginea, Scirpus litoralis dan Scirpus Keanekaragaman spesies mangrove. Alat dan
malaccensis (Sukardjo, 1985; Odum, 1971). Pada masa bahan yang digunakan meliputi: vaskulum, pisau,
kini pola zonasi tidak jelas karena adanya sedimentasi gunting tanaman, tali, pensil, buku lapangan, label,
dan perubahan habitat. sasak herbarium, kertas koran, kardus, serta kertas dan
Tumbuhan mangrove memiliki beberapa ciri antara label herbarium.
lain: akar dangkal, menyebar, dan kadang-kadang Pengukuran kerapatan S. alba. Alat yang
tumbuh ke atas membentuk pneumatofora (akar napas); digunakan meliputi: hand counter, patok, tali rafia, rol
daun keras, tebal, mengkilat, sukulen, memiliki jaringan meter, dan meteran kecil.
penyimpan air dan garam; beberapa tumbuhan memiliki Pengukuran parameter lingkungan. Alat yang
kelenjar garam untuk mengatur osmosis (Nybakken, digunakan meliputi: termometer, pH meter, TDS-meter,
1993; Whitten dkk., 1987; Odum, 1971). Suksesi di hutan oksigenmeter, refraktometer, meteran, dan alat tulis.
mangrove sangat aktif, arus pasang surut memungkin-
kan terangkutnya propagul berbagai spesies. Perubahan
Cara kerja
fisik di hutan mangrove seperti pengeringan, pemba-
Pengecekan kondisi mangrove
ngunan kanal-kanal air dan pemakaian pupuk dalam
Pengecekan kondisi terkini sisa-sisa vegetasi
pengelolaan tambak, dapat menyebabkan perubahan
mangrove dilakukan dengan mendatangi langsung
habitat mangrove, sehingga struktur dan komposisinya
seluruh muara sungai di sepanjang pantai selatan Jawa,
berubah-ubah (Tanaka, 1992; Odum, 1971).
mulai dari Pacitan hingga Cilacap, dengan merujuk pada
Pantai selatan Jawa secara dinamis mengalami
peta topografi US Army Map Service (1963; 1964). Di
perubahan. Pertambahan penduduk dan kepadatannya
samping itu dilakukan pula wawancara dengan aparat
yang tinggi menyebabkan besarnya kebutuhan akan
pemerintah dan penduduk lokal.
lahan, sehingga hampir semua ekosistem alami diubah
Dalam pengamatan tersebut ditentukan luasan lahan
menjadi antropogenik dan eksistensinya terancam.
yang berpotensi mendukung pertumbuhan mangrove
Topografi muara sungai di kawasan ini relatif beragam.
dan pada masa lalu diperkirakan menjadi habitat
Beberapa muara terletak di kawasan pegunungan
mangrove. Lahan ini dapat berupa sawah, tambak atau
gamping dengan tepian yang terjal dan sangat berpasir,
semak-semak tidak terurus. Di samping itu ditentukan
sehingga mengurangi kesempatan tumbuhnya
pula luasan lahan yang pada saat ini secara realitas
mangrove. Muara lainnya terletak di kawasan yang relatif
masih ditumbuhi vegetasi mangrove.
datar, bertanah lumpur atau liat, dengan gosong (gumuk)
pasir menutupi muara sungai dan membentuk laguna,
sehingga memungkinkan pertumbuhan mangrove. Keanekaragaman spesies mangrove
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (i) tempat- Identifikasi keanekaragaman spesies vegetasi
tempat tumbuhnya mangrove pada muara-muara sungai mangrove dilakukan dengan metode survei. Semua
di pantai selatan Jawa, dari Pacitan hingga Cilacap, (ii) tumbuhan komponen mayor, minor dan tumbuhan
keaneka-ragaman spesies vegetasi mangrove (iii) asosiasi mangrove dicatat jenisnya dan dikoleksi
kerapatan Sonneratia alba J.E. Smith, dan (iv) kondisi sampelnya untuk herbarium. Adapun tumbuhan
fisik-kimia lingkungan di tempat-tempat tersebut. pendatang yang dijumpai pada lingkungan mangrove di
muara-muara sungai ini, namun tidak pernah dicatat
keberadaannya pada ekosistem mangrove alami
BAHAN DAN METODE diabaikan. Identifikasi spesies merujuk pada Ng dan
Sivasothi (2001), Kitamura dkk. (1997), Tomlison (1986),
Prosedur pencarian data penelitian pada garis serta Backer dan Bakhuizen v.d. Brink (1963; 1965;
besarnya meliputi: (1) pengecekan muara-muara sungai 1968). Selain itu dilakukan pula pemeriksaan Sonneratia
di pantai selatan Jawa untuk mengetahui tempat-tempat koleksi Kebun Raya Bogor dan Herbarium Bogoriense.
105

Tabel 1. Lokasi penelitian habitat reliks mangrove di pantai selatan Jawa.

No. Muara sungai *) Kabupaten Letak geografi *)


o o o o
1. Wiyoro Pacitan, Jawa Timur 111 18’00” – 111 19’00” BT; 8 15’00” – 8 15’45” LS
o o o o
2. Kitri Pacitan, Jawa Timur 111 17’00” – 111 18’00” BT; 8 15’00” – 8 15’45” LS
o o o o
3. Padi Pacitan, Jawa Timur 111 12’30” – 111 13’30” BT; 8 15’00’ – 8 15’45” LS
o o o o
4. Grindulu Pacitan, Jawa Timur 111 05’30” – 111 06’30” BT; 8 12’00” – 8 13’15” LS
o o o o
5. Teleng Pacitan, Jawa Timur 111 04’00” – 111 04’15” BT; 8 13’15’ – 8 14’00” LS
o o o o
6. Barong Pacitan, Jawa Timur 110 57’00” – 110 57’30” BT; 8 12’30” – 8 14’15” LS
o o o o
7. Sadeng Wonogiri, Jawa Tengah 110 47’00” – 110 47’30” BT; 8 11’00” – 8 11’30” LS
o o o o
8. Baron (bawah tanah) Gunung Kidul, Yogyakarta 110 32’15” – 110 32’45” BT; 8 07’45” – 8 08’00” LS
o o o o
9. Opak Bantul, Yogyakarta 110 15’45” – 110 17’45” BT; 7 58’45” – 8 00’45” LS
o o o o
10. Progo Kulon Progo, Yogyakarta 110 12’00” – 110 14’30” BT; 7 55’30” – 7 58’45” LS
o o o o
11. Serang Kulon Progo, Yogyakarta 110 03’45” – 110 04’30” BT; 7 54’30” – 7 55’15” LS
o o o o
12. Bogowonto Kulon Progo, Yogyakarta 110 00’45” – 110 01’45” BT; 7 53’00” – 7 53’45” LS
o o o o
13. Cakrayasan (Jali) Purworejo, Jawa Tengah 109 53’30” – 109 54’45” BT; 7 50’45” – 7 51’30” LS
o o o o
14. Wawar Purworejo, Jawa Tengah 109 48’30” – 109 49’30” BT; 7 48’45” – 7 50’15” LS
o o o o
15. Lukulo Kebumen, Jawa Tengah 109 35’30” – 109 37’45” BT; 7 46’00” – 7 47’00” LS
o o o o
16. Cincingguling/Kr. bolong Kebumen, Jawa Tengah 109 27’15” – 109 28’45” BT; 7 44’00” – 7 45’30” LS
o o o o
17. I j o (Logending) Kebumen, Jawa Tengah 109 22’45” – 109 23’30” BT; 7 42’00” – 7 43’00” LS
o o o o
18. Bengawan Cilacap, Jawa Tengah 109 09’00” – 109 09’45” BT; 7 39’45” – 7 41’15” LS
o o o o
19. Serayu Cilacap, Jawa Tengah 109 05’00” – 109 07’45” BT; 7 39’45” – 7 41’15” LS
o o o o
20. Jeruk Legi-Donan **) Cilacap, Jawa Tengah 108 59’00” – 109 02’00” BT; 7 39’00” – 7 44’00” LS
*) US Army Map Service (1963; 1964).

Sebagai pembanding dilakukan pula pengecekan lokal; sedang tekstur tanah digolongkan sebagai pasir,
jenis-jenis tumbuhan mangrove di Segara Anakan lumpur (silt), lempung (tanah liat), atau campurannya.
dengan metode survei. Adapun kawasan yang disurvei Setiap parameter diukur sebanyak 3-5 kali, tergantung
meliputi: Alas Kitiran, Alas Malang, Arus Gede, Bagian, keanekaragaman fisiografinya.
Bondan, Gombol dan alur perairan di sepanjang
kawasan tersebut yang kesemuanya terletak di kawasan Analisis data
Kampung Laut. Dilakukan pula pengecekan di sepanjang Data hasil penelitian dijelaskan secara deskriptif
alur penyeberangan dari pelabuhan Cilacap hingga komparatif.
Motean, yang melewati sebagian Sungai Donan,
Sapuregel dan Kembang Kuning.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengukuran kerapatan Sonneratia alba
Pada setiap lokasi penelitian, tegakan S. alba yang
Kondisi habitat mangrove
diamati ditentukan secara purposif pada area-area
Hutan mangrove dapat mencapai lebar beberapa
dengan kerapatan paling tinggi. Pada setiap lokasi
meter di bibir pantai hingga ratusan kilometer ke hulu
ditentukan tiga buah stasiun. Pada masing-masing
sungai (Chapman, 1992; Wainwright, 1984). Pada
stasiun diletakkan sebuah plot kuadrat dengan ukuran 20
sungai-sungai besar formasi hutan ini dapat menjorok
x 20 m2, selanjutnya rata-rata kerapatan dikonversi
2 hingga ratusan kilometer ke daratan. Di Pulau
dalam 1 hektar (10.000 m ). Semua S. alba yang
Kalimantan, tepatnya di Sungai Baram hutan ini
dijumpai dalam plot dihitung. Tegakan dengan diameter
menjorok hingga 150 km ke hulu, bahkan di Sungai
setinggi dada (DBH) > 10 cm dinyatakan sebagai po-
Kapuas hingga 240 km (Steenis, 1958). Sekitar 60-75%
hon, kurang dari itu dinyatakan sebagai anak pohon,
panjang garis pantai daerah tropis ditumbuhi hutan
sedang tegakan < 50 cm dinyatakan sebagai seedling.
mangrove (Walsh, 1974 dalam Chapman, 1992).
Pada pohon yang ditebang di bawah DBH namun
Pantai selatan Jawa memiliki cukup banyak muara
kembali tumbuh (trubus), pengukuran diameter dilakukan
sungai yang berpotensi menjadi habitat mangrove.
pada bagian batang teratas yang memungkinkan.
Muara-muara sungai ini membentuk laguna karena
adanya gosong pasir di mulut muara. Hal ini terjadi
Pengukuran parameter lingkungan karena aliran air sungai yang mengandung sedimen
Parameter lingkungan yang diukur dan diamati tanah dari daratan menuju laut bertemu dengan
meliputi: suhu air dan sedimen, pH air dan sedimen, gelombang laut menuju daratan yang membawa butiran-
kadar total padatan terlarut (TDS), kadar oksigen terlarut butiran pasir. Laguna ini merupakan kawasan potensial
(DO), kadar salinitas, pola genangan, dan tekstur bagi pertumbuhan mangrove dan pada masa lalu diduga
sedimen tanah. Pengukuran dilakukan pada siang hari merupakan habitat mangrove.
antara pukul 09.00-15.00 wib. Suhu air dan sedimen, pH Dalam penelitian ini, sebanyak 10 dari 20 muara
air dan sedimen, serta total padatan terlarut diukur sungai yang diamati masih memiliki sisa-sisa tumbuhan
dengan Hanna Instrument HI 991300, USA. Kadar mangrove (Tabel 2). Pada dasarnya semua sungai yang
oksigen terlarut (DO) diukur dengan oksigenmeter merek diteliti memiliki sebagian daerah pasang surut yang
Oxi 330/SET, Jerman. Kadar salinitas diukur dengan potensial bagi pertumbuhan mangrove. Proses perubah-
refraktometer merek N.O.W, 0-100%, Jepang an habitat tampaknya menjadi masalah pokok yang
(selanjutnya dikonversi dalam ppt; part per thousand). menyebabkan komunitas mangrove hilang dari sebagian
Pola genangan dicatat pada lembar kertas sebagai hasil muara sungai tersebut. Kebanyakan habitat mangrove
wawancara dengan aparat pemerintah dan penduduk telah diubah menjadi lahan persawahan atau bahkan
106

pemukiman. Pada beberapa muara sungai, area ini telah aliran sungai yang melewati dataran alluvial tersebut,
diubah menjadi tambak, seperti di sepanjang tepian serta adanya perlindungan dari gelombang laut oleh
Sungai Ijo. teluk dan masukan air laut melalui mekanisme pasang
surut.
Tabel 2. Distribusi mangrove pada muara-muara sungai di Pengaruh aktivitas antropogenik terhadap
pantai selatan Jawa. keberadaan habitat mangrove, secara nyata dapat
diamati di muara Sungai Cincingguling. Muara sungai ini
Estimasi luas mangrove semula memiliki ekosistem lahan basah sangat luas,
(ha)
No. Muara sungai Hadir terdiri dari meander, laguna dan sungai-sungai kecil
Dahulu Kini yang sangat banyak dan terletak pada area yang luas,
1. Wiyoro • 50-100 0 namun dalam upaya pengendalian banjir dan
2. Kitri • 100-150 0 ekstensifikasi pertanian, sungai-sungai kecil tersebut
3. Padi • 100-200 0 diubah menjadi kanal-kanal lurus dengan tebing yang
4. Grindulu 9 200-300 100 diperkeras, sedangkan meander dan laguna diubah
5. Teleng 9 50-100 50 menjadi sawah, sehingga luasan habitat mangrove
6. Barong • 50-100 0 menjadi sangat tereduksi. Sisa-sisa vegetasi mangrove
7. Sadeng • 25-50 0
di kawasan ini terpencar-pencar di antara lahan
8. Baron • 25-50 0
pertanian pada kawasan yang cukup luas. Namun pada
9. Opak • 200-250 0
tempat-tempat tertentu masih dijumpai beberapa spesies
10. Progo • 300-350 0
11. Serang • 50-100 0 mangrove yang tumbuh mengelompok dalam jumlah
12. Bogowonto 9 100-200 100 agak banyak, misalnya N. fruticans.
13. Cakrayasan 9 100-150 50
14. Wawar • 100-150 0 Keanekaragaman spesies mangrove
15. Lukulo 9 250-300 50 Tomlinson (1986) memilahkan spesies penyusun
16. Cincingguling 9 300-400 100 hutan mangrove menjadi komponen mayor, minor dan
17. Ijo 9 200-250 100 tumbuhan asosiasi mangrove. Komponen mayor
18. Bengawan 9 200-250 150
19. Serayu 9 400-500 50
memiliki ciri-ciri: (i) hanya dapat tumbuh pada ekosistem
20. Jeruk Legi-Donan 9 > 1000 > 1000 mangrove; (ii) merupakan penyusun utama hutan
Keterangan: “9” salah satu komponen mayor atau minor hadir; mangrove dan dapat membentuk tegakan murni; (iii)
“•“ komponen mayor atau minor tidak hadir, meskipun beradaptasi secara morfologi terhadap lingkungan
tumbuhan asosiasi hadir. mangrove, misalnya dengan membentuk akar napas dan
embryo vivipar; (iv) dapat bertahan dalam kondisi asin
Hilangnya mangrove pada beberapa sungai selain karena memiliki mekanisme fisiologi untuk membuang
dikarenakan perubahan habitat juga disebabkan jenis kelebihan garam; dan (v) berbeda secara taksonomi
sedimentasi dari daerah aliran sungai yang tidak sesuai dengan tumbuhan terestrial, setidaknya hingga tingkat
bagi pertumbuhan mangrove, misalnya Sungai Serayu genus. Komponen minor adalah tumbuhan mangrove
dimana dominasi sedimen pasir di tepian sungai sangat yang tidak mampu membentuk tipe vegetasi yang
tinggi, sehingga pertumbuhan mangrove umumnya menyolok, jarang membentuk tegakan murni dan hanya
terpencar dalam kelompok-kelompok kecil pada anak- menempati bagian tepi habitat. Adapun tumbuhan
anak sungai dan kolam-kolam di sekitar sungai utama asosiasi adalah spesies tumbuhan yang berasosiasi
yang memiliki jenis sedimen lempung atau lumpur. Di dengan hutan pantai dan dapat disebarluaskan oleh arus
kawasan ini pertumbuhan mangrove tidak dapat air laut.
mencapai klimaks. Kondisi demikian telah terjadi sejak Dalam penelitian ini jumlah keseluruhan spesies
lama. Dalam peta topografi US Army Map Service (1963; mangrove komponen mayor, minor dan tumbuhan
1964) ekosistem lahan basah di sungai ini digambarkan asosiasi pada 10 muara sungai di pantai selatan Jawa
terpencar-pencar dalam kelompok-kelompok kecil pada lebih banyak dari pada di Segara Anakan, masing-
kawasan yang sangat luas. Di tempat ini Acanthus masing 29 dan 27 spesies (Tabel 3). Spesies yang
illicifolius yang menyukai lahan terbuka lebih mudah ditemukan di Segara Anakan umumnya merupakan
dijumpai dari pada spesies mangrove lainnya. kelompok mayor dan minor, sedang spesies dari 10
Kabupaten Pacitan, Wonogiri, Gunung Kidul, serta muara sungai umumnya dari kelompok tumbuhan
sebagian Kabupaten Bantul dan Kulon Progo terletak di asosiasi. Hal ini terjadi karena pengamatan di Segara
kawasan pegunungan kapur, sehingga muara-muara Anakan di lakukan pada pusat-pusat distribusi
sungai di tempat ini umumnya memiliki tebing yang mangrove, dimana invasi tumbuhan asosiasi masih
curam dengan luas tepian muara sungai sempit, sangat terbatas. Sebaliknya pada 10 muara sungai yang
beberapa diantaranya didominasi sedimen pasir. Hal ini diamati, kecuali Sungai Jeruk Legi-Donan, komunitas
secara umum tidak cocok bagi pertumbuhan mangrove, mangrove hanya tinggal sisa-sisa (relik), dimana invasi
namun di tempat-tempat tertentu masih dijumpai lahan tumbuhan pantai dan spesies asosiasi lainnya sangat
basah dengan dominasi lempung atau lumpur, meskipun tinggi. Apabila pengamatan vegetasi mangrove di
lahan ini umumnya sudah diubah menjadi sawah. Pada Segara Anakan juga dilakukan pada area tepi vegetasi,
masa lalu area ini dimungkinkan merupakan habitat boleh jadi jumlah spesies asosiasi yang ditemukan akan
mangrove. bertambah. Dalam penelitian ini spesies mangrove
Mangrove di Pacitan hanya dijumpai di muara Sungai komponen mayor, minor dan tumbuhan asosiasi yang
Teleng dan Grindulu, dimana keduanya terletak di Teluk dijumpai di 10 muara sungai secara berturut-turut
Pacitan, yakni pada dataran alluvial kota tersebut. sebanyak 9, 2 dan 18 spesies, sedangkan di Segara
Tempat ini sangat cocok bagi pertumbuhan mangrove Anakan dijumpai secara berturut-turut sebanyak 13, 8,
mengingat adanya masukan lumpur dan air tawar oleh dan 6 spesies.
107

18
13
19
14 7
20 1
15 8 2
16 9 3
17 10 4
11 5
12 6

5
4

2 3 4&5

6 7 8
108

9 10 11

12 13 14

15 16 17

18 19
Gambar 1. Peta lokasi penelitian: 1. Wiyoro, 2. Kitri, 3. Padi , 4. Teleng, 5. Grindulu, 6.
Barong, 7. Sadeng, 8. Baron (bawah tanah), 9. Opak, 10, Progo, 11. Serang, 12.
Bogowonto, 13. Cakrayasan, 14. Wawar, 15. Lukulo, 16. Cincingguling, 17. Ijo, 18.
Bengawan, 19. Serayu, dan 20, Jeruk Legi-Donan. Garis = 2 Km. Daerah yang diarsir
menunjukkan keberadaan sisa-sisa vegetasi mangrove pada saat ini.

20
109

Tabel 3. Keragaman spesies tumbuhan mangrove di pantai selatan Jawa.

Jeruk Legi-Donan
Cingcing-guling

Segara Anakan

Jumlah muara
Cakrayasan
Bogowonto

Bengawan
No. Nama Spesies

Grindulu

Serayu
Lukulo
Teleng

Ijo
Komponen mayor
1. Avicennia alba 9 9 • • • • 9 • • 9 9 4
2. Avicennia lanata • • • • • • • • • • • 0
3. Avicennia marina • • • • • • 9 • • • 9 1
4. Avicennia officinalis • • • • • • • • • • 9 0
5. Bruguiera cylindrica • • • • • • • • • 9 9 1
6. Bruguiera gymnorrhiza • • • • • • • • • 9 9 1
7. Bruguiera parviflora • • • • • • • • • 9 • 1
8. Bruguiera sexangula • • • • • • • • • • 9 0
9. Ceriops decandra • • • • • • • • • • 9 0
10. Ceriops tagal • • • • • • • • • • 9 0
11. Lumnitzera littorea • • • • • • • • • • • 0
12. Lumnitzera racemosa • • • • • • • • • • • 0
13. Nypa fruticans • • 9 • • 9 9 9 9 9 9 6
14. Rhizophora apiculata • • • • • • • • • 9 9 1
15. Rhizophora lamarckii • • • • • • • • • • • 0
16. Rhizophora mucronata • • 9 • • • 9 9 • 9 9 4
17. Rhizophora stylosa • • • • • • • • • • • 0
18. Sonneratia alba 9 9 9 9 9 • 9 9 9 9 9 9
19. Sonneratia caseolaris • • • • • • • • • • 9 0
Komponen minor
20. Acrosticum aureum • • 9 9 • • 9 • 9 9 9 5
21. Aegiceras corniculatum • • • • • • • • • • 9 0
22. Aegiceras floridum • • • • • • • • • • • 0
23. Excoecaria agallocha • • • • • • • • • 9 9 1
24. Heritiera littoralis • • • • • • • • • • 9 0
25. Osbornia octodonta • • • • • • • • • • • 0
26. Pemphis acidula • • • • • • • • • • • 0
27. Scyphiphora hydrophyllacea • • • • • • • • • • 9 0
28. Xylocarpus granatum • • • • • • • • • • 9 0
29. Xylocarpus moluccensis • • • • • • • • • • 9 0
30. Xylocarpus rumphii • • • • • • • • • • 9 0
Tumbuhan asosiasi
31. Acanthus ilicifolius 9 9 9 9 9 • 9 • 9 9 9 8
32. Barringtonia asiatica • • • • 9 • • • • • • 1
33. Calophyllum inophyllum 9 • 9 9 9 • 9 • • 9 • 6
34. Calotropis gigantea • • 9 9 • 9 • • 9 • 9 4
35. Cerbera manghas • • • • • • • • • • 9 0
36. Clerodendrum inerme • • • • • • • • • 9 9 1
37. Derris trifoliata 9 9 9 9 • • 9 9 • 9 • 7
38. Finlaysonia maritima • • • • • • 9 • • • • 1
39. Hibiscus tiliaceus 9 • 9 9 9 9 9 9 • • 7
40. Ipomoea pescaprae 9 9 9 9 9 9 9 9 9 • • 9
41. Pandanus tectorius 9 • 9 9 9 9 • • 9 • • 6
42. Pongamia pinnata • • 9 • • • 9 • • • • 2
43. Sesuvium portulacastrum • • • • 9 • • • • • • 1
44. Spinifex littoreus • • 9 9 • • • • 9 • • 2
45. Stachytarpheta jamaicensis • • 9 • 9 • • • • • • 2
46. Terminalia catappa 9 9 9 9 • 9 9 9 9 9 • 9
47. Thespresia populnea • 9 • • • • • • • • • 1
48. Scirpus littoralis • • • 9 • • • • • • 9 1
49. Welingi (Cyperaceae) • • • • • • • 9 • • 9 1
50. Jumlah spesies 9 7 15 11 9 6 14 8 10 15 27 29
Keterangan: “9”hadir; “•“ tidak hadir.

Tumbuhan mangrove komponen mayor yang paling masing hanya ditemukan pada satu sungai. S. alba
sering dijumpai pada muara-muara sungai di pantai selaku tumbuhan pionir tampaknya memiliki pola
selatan Jawa adalah S. alba (9 sungai), disusul N. pemencaran dan daya adaptasi lebih baik dari pada
fruticans (6 sungai), R. mucronata dan A. alba (4 spesies lain sehingga mampu tumbuh pada lebih banyak
sungai). Sedangkan A. marina, B. cylindrica, B. muara sungai. Tumbuhan mangrove komponen minor
gymnorrhiza, B. parviflora, dan R. apiculata masing- yang dapat dijumpai di tempat ini hanya dua spesies,
110

yaitu A. aureum (5 sungai) dan E. agallocha (1 sungai). terbentuk akibat sedimentasi. Selaku tumbuhan pionir
Tumbuhan asosiasi yang paling sering dijumpai pada daya tahan dan daya adaptasinya terhadap lingkungan
muara-muara sungai di pantai selatan Jawa adalah I. yang berbeda-beda relatif tinggi. Dalam penelitian ini, S.
pescaprae dan T. catappa (9 sungai), diikuti A. ilicifolius alba merupakan komponen mayor vegetasi mangrove
(8 sungai), D. trifoliata dan H. tiliaceus (7 sungai), C. yang paling sering dijumpai di muara-muara sungai
inophyllum dan P. tectorius (6 sungai), C. gigantea (4 pantai selatan Jawa. Dari 10 muara sungai yang memiliki
sungai), serta P. pinnata, S. littoreus dan S. jamaicensis komunitas mangrove, hanya satu sungai yang tidak
(2 sungai). Adapun spesies yang hanya ditemukan pada memiliki tumbuhan ini, yakni Sungai Cincingguling. Oleh
satu sungai adalah B. asiatica, C. inerme, F. maritima, S. karena itu secara khusus S. alba dipilih untuk
portulacastrum, T. populnea, S. littoralis, dan Welingi mengetahui kerapatan tegakan pohon, anak pohon
(Cyperaceae). C. manghas merupakan satu-satunya (sapling) dan bibit (seedling), sehingga prediksi
tumbuhan asosiasi yang ditemukan di Segara Anakan, keberlanjutan keberadaannya pada masa depan dapat
namun tidak ditemukan pada muara-muara sungai. I. ditentukan.
pescaprae merupakan tumbuhan khas pantai sehingga
sangat wajar apabila ditemukan sebagai tumbuhan Tabel 4. Kerapatan S. alba pada muara-muara sungai di pantai
asosiasi di muara-muara sungai, sedangkan T. catappa selatan Jawa.
merupakan tumbuhan daratan rendah yang sangat tinggi
daya adaptasinya, termasuk adaptasi terhadap salinitas, Estimasi jumlah individu/ha
No. Muara Sungai
P AP S
sehingga banyak dijumpai sebagai tumbuhan asosiasi
1. Grindulu 25 100 100
mangrove di muara-muara sungai. 2. Teleng 125 125 150
Sungai yang memiliki paling banyak spesies 3. Bogowonto 125 200 100
mangrove, baik komponen mayor, minor maupun 4. Cakrayasan 75 75 50
tumbuhan asosiasi secara berturut-turut adalah: Sungai 5. Lukulo 50 25 25
Jeruk Legi-Donan dan Bogowonto (15 sp.), Ijo (14 sp.), 6. Cincingguling *) 0 0 0
Cakrayasan (11 sp.), Serayu (10 sp.), Grindulu (9 sp.), 7. Ijo 25 25 25
Lukulo (9 sp.), Bengawan (8 sp.), Teleng (7 sp.), dan 8. Bengawan 100 125 125
9. Serayu ~ 25 ~ 25 ~ 25
Cincingguling (6 sp.). Banyaknya spesies mangrove
10. Jeruk Legi-Donan > 250 > 250 > 250
yang ditemukan di Sungai Jeruk Legi-Donan merupakan Keterangan: *) Sungai Cincingguling merupakan satu-satunya
hal yang wajar mengingat kawasan ini berbatasan kawasan mangrove tanpa S. alba.
langsung dengan Segara Anakan yang merupakan pusat
ekosistem mangrove di pantai selatan Pulau Jawa,
hingga memungkinkan adanya suplai biji dan propagul
Berdasarkan estimasi jumlah individu dalam setiap
lain dari tempat tersebut.
hektar (Tabel 4), hanya di Sungai Jeruk Legi-Donan
yang berbatasan langsung dengan kawasan Segara
Kerapatan Sonneratia alba
Anakan keberadaan S. alba cukup melimpah, dengan
Sonneratia alba J.E. Smith merupakan salah satu
proporsi pohon, anak pohon dan sedling ideal
dari tiga anggota genus Sonneratia yang tumbuh di
sedangkan pada sungai-sungai lain yang bermuara
Jawa. Kerabat dekatnya adalah Sonneratia caseolaris
langsung di pantai selatan Jawa, kerapatannya
(L.) Engl. dan Sonneratia ovata Back. S. alba memiliki
cenderung rendah. Keberadaan S. alba di Sungai
penyebaran paling luas. Spesies ini dibedakan dari
Grindulu, Teleng, Bogowonto, dan Bengawan relatif lebih
kedua kerabatnya karena memiliki kuncup bunga
baik dari pada di Sungai Lukulo, Ijo dan Serayu.
berbentuk elips, tabung kelopak memiliki tulang rusuk,
Pada kelompok pertama jumlah anak pohon dan
tidak berbulu, bagian dalam kemerah-merahan, cuping
sedling relatif lebih banyak dibandingkan pohon
sepala cenderung melekuk ke luar; mahkota kecil, putih
sehingga diharapkan regenerasi berjalan dengan baik.
atau separuh merah-putih, filamen cenderung putih.
Sedang pada kelompok kedua jumlah anak pohon dan
Daun membulat, ujung meruncing, tanpa pembalikan
sedling relatif sedikit, sehingga keberlanjutan hidupnya
(Tomlison, 1986; Backer dan Bakhuizen v.d. Brink,
diragukan. S. alba tidak ditemukan di Sungai
1963). Kulit batang putih hingga coklat dan memiliki
Cincingguling, meskipun kawasan ini masih menyisakan
celah-celah memanjang (Ng dan Sivasothi, 2001).
vegetasi mangrove. Menurut kesaksian penduduk pada
Dalam indentifikasi, S. alba seringkali dikacaukan
masa lalu S. alba juga dapat ditemukan di kawasan ini,
dengan S. caseolaris dan S. ovata. Dalam penelitian ini
namun pertanian yang ekstensif menyebabkan sebagian
semua semua spesies Sonneratia yang ditemukan pada
besar habitat mangrove diubah menjadi lahan pertanian,
muara-muara sungai di pantai selatan Jawa diidentifikasi
di samping itu sungai-sungai diluruskan dan dibuat
sebagai S. alba, terutama karena batangnya berwarna
kanal-kanal dengan tebing lebih padat, sehingga
putih dan bercelah-celah memanjang, dengan tinggi
mengurangi habitat S. alba.
dapat mencapai 20 m. S. caseolaris memiliki batang
Di Sungai Bogowonto banyaknya jumlah pohon dan
berwarna coklat kelam dengan tinggi hampir sama
anak pohon tidak secara linier diikuti banyaknya jumlah
dengan S. alba, namun batang/ cabang cenderung
sedling. Hal ini disebabkan pohon-pohon tersebut
tumbuh miring, sedang S. ovata memiliki batang
merupakan sisa-sisa mangrove yang tumbuh alami,
berwarna coklat mengkilat dan jauh lebih pendek dari
sedang anak pohon merupakan hasil proses rehabilitasi.
kedua spesies lain. Batang kayu S. alba merupakan
Pada tegakan pohon tua, sedling umumnya ternaungi
bahan bangunan yang baik, berbeda dengan kedua
sehingga pertumbuhannya tidak optimum, sedangkan
spesies lainnya.
pada tegakan anak pohon, lantai mangrove yang terkena
S. alba menempati posisi khusus dalam komunitas
sinar matahari langsung didominasi sejenis Gramineae,
mangrove. Spesies ini merupakan tumbuhan pionir yang
sehingga sedling tertekan dalam kompetisi. Dalam hal
mampu menginvasi tanah timbul (delta) yang baru
111

ini, anak pohon S. alba dengan diameter batang 5-10 cm pantai ke daratan, sehingga dapat terbentuk zonasi
sudah mampu bereproduksi, tidak harus menunggu (Giesen, 1991).
menjadi pohon dengan ukuran > 10 cm.
Pemerintah beberapa kabupaten di pantai selatan Salinitas
Jawa bersama dengan berbagai lembaga lain, secara Komunitas hutan mangrove memiliki rentang
proaktif telah melakukan upaya rehabilitasi lahan toleransi yang luas terhadap garam, mulai dari halofit
mangrove, khususnya dengan penanaman S. alba, sejati yang sangat tahan hingga glikofit yang sangat
namun upaya ini cenderung tidak berhasil. Pada tahun rentan (Barbour dkk., 1987). Salinitas dipengaruhi oleh
2000 Pemerintah Kabupaten Purworejo melakukan aliran pasang surut dan musim (Goldman dan Horne,
penanaman S. alba cukup luas di muara Sungai 1983). Kadar garam biasanya dinyatakan sebagai bagian
Cakrayasan, sedangkan Pemerintah Kabupaten per seribu (parts per thousand; ppt), yakni jumlah garam
Kebumen melakukan penanaman spesies yang sama di (gram) yang larut dalam 1.000 gram air, namun sering
muara Sungai Lukulo, namun pengamatan lapangan pula dinyatakan dalam persentase. Kadar garam air laut
pada bulan April 2002 menunjukkan bahwa hampir biasanya berkisar 35 ppt. Berdasarkan tingkat
semua bibit yang ditanam gagal tumbuh, sedangkan salinitasnya perairan dapat digolongkan menjadi perairan
spesies yang dijumpai merupakan sisa-sisa vegetasi oligohalin, dengan salinitas rendah (0,5-5 ppt),
lama. Dalam upaya rehabilitasi ini selain harus mesohalin dengan salinitas sedang (5-18 ppt) dan
diperhatikan prosedur budidaya yang benar, tampaknya polihalin dengan salinitas tinggi (18-35 ppt). Air payau
perlu pula dipilih bibit dari induk lokal yang telah terbukti biasanya bersifat oligihalin atau mesohalin, namun kadar
mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan lokal. salinitas perairan mangrove dapat bervariasi dari 0,5-35
Sungai Serayu memiliki jaringan anak sungai cukup ppt. Hal ini disebabkan adanya pasang naik, dimana air
banyak sehingga kawasan lahan basah yang laut dapat membanjiri hutan mangrove dan salinitas
memungkinkan pertumbuhan mangrove relatif luas, menjadi polihialin (Ng dan Sivasothi, 2001).
namun jenis tanahnya yang cenderung berpasir Dalam penelitian ini variasi tingkat salinitas sangat
menyebabkan mangrove hanya tumbuh di tempat- menyolok, mulai dari 1-34 ppt, dengan rata-rata 16 ppt
tempat tertentu, dimana kandungan lumpur dan tanah (Tabel 5). Pola pasang surut air laut dan lokasi yang
liat cukup. Di kawasan ini, S. alba dan spesies mangrove dipilih untuk pengukuran sangat berpengaruh terhadap
lainnya ditemukan dalam kelompok-kelompok kecil yang besarnya salinitas. Penelitian ini dilakukan pada
terpencar-pencar pada daerah sangat luas (Gambar 1), perpindahan musim hujan ke musim kemarau, dimana
sehingga kerapatannya rendah. debit air sungai relatif masing tinggi dan secara periodik
mampu menembus gosong pasir di muara sungai,
Parameter lingkungan sehingga gosong pasir tidak terlalu tinggi dan dapat
Hutan mangrove terbentuk karena adanya dilewati arus pasang, akibatnya pola genangan pada
perlindungan dari ombak, masukan air tawar dari sungai, laguna bersifat harian mengikuti pola pasang surut air
sedimentasi dan aliran air pasang surut (Goldman dan laut. Nilai salinitas yang tinggi umumnya diperoleh
Horne, 1983). Proses internal dalam komunitas, seperti apabila pengukuran dilakukan pada saat laut sedang
fiksasi energi, produksi bahan organik dan daur hara mengalami pasang, misalnya pengukuran di Sungai
sangat dipengaruhi proses eksternal, seperti suplai air Cakrayasan (34 ppt), Bengawan (31 ppt), Ijo (29 ppt) dan
tawar dari sungai dan pasang surut air laut, suplai hara Cincingguling (25 ppt). Pengukuran salinitas di Sungai
dan stabilitas sedimen (Blasco, 1992). Faktor utama Jeruk Legi-Donan juga dilakukan pada saat air laut
yang mempengaruhi komunitas mangrove adalah pasang, namun hasilnya lebih rendah (21 ppt), hal ini
salinitas, tipe tanah, serta daya tahan terhadap arus air terjadi karena kawasan tempat pengukuran (Tritih dan
dan gelombang laut (Chapman, 1992; Steenis, 1958). sekitarnya) relatif jauh dari muara yang terhubung
Faktor-faktor ini bervariasi sepanjang transek dari tepi langsung dengan laut bebas.

Tabel 5. Pengukuran parameter fisik-kimia vegetasi mangrove pada muara-muara sungai di pantai selatan Jawa.
o
Suhu ( C) pH Sedimen
TDS air DO air Salinitas
No. Muara sungai Kedalaman
air sed air sed (ppm) (ppm) air (ppt) Tekstur
(cm)
1. Grindulu 38,2 35,1 7,96 7,03 ~ 2000 6,69 1 Lempung-pasir; hitam-kelabu; 0-25
padat
2. Teleng 36,7 34,5 7,81 7,06 ~ 2000 7,02 2 Lumpur halus; kelabu; becek 50-75
3. Bogowonto 31,6 31,4 6,98 6,72 ~ 2000 6,62 4 Lempung; kelabu; padat 25-50
4. Cakrayasan 30,0 29,5 7,17 6,81 2000 10,14 34 Lumpur halus-lempung; kelabu- 50-75
merah;becek
5. Lukulo 32,7 32,3 7,52 7,13 ~ 2000 8,23 6 Lempung-pasir; hitam-merah; 0-25
padat
6. Cincingguling 30,8 30,6 7,24 7,04 2000 9,75 25 Lempung-pasir; hitam-merah; 0-25
padat
7. Ijo 28,6 28,9 6,94 6,93 2000 7,43 29 Lempung; merah; padat 25-50
8. Bengawan 28,8 28,9 6,95 6,94 2000 11,27 31 Lumpur-lempung; kelabu- 25-50
merah; padat
9. Serayu 31,3 30,9 7,34 6,97 2000 9,19 5 Lempung-pasir; hitam-merah; 0-25
padat
10. Jeruk Legi-Donan 31,6 31,8 6,97 6,94 2000 16,55 21 Lumpur halus; kelabu; becek 50-100
Rata-rata 32,0 31,4 7,29 6,96 ~ 2000 9,29 16 - -
112

Di hutan mangrove masukan air tawar sangat selalu tergenang air. Semakin dalam tanah maka
berpengaruh, sehingga laguna muara sungai dan semakin sedikit tingkat aerasinya, sehingga proses
meander di sekitarnya bersifat oligohalin bahkan kadang- dekomposisi bahan organik juga semakin lambat. Pada
kadang bersifat tawar. Nilai salinitas rendah yang didapat beberapa lokasi seperti di Sungai Teleng dan Jeruk Legi-
karena pengukuran dilakukan pada saat laut surut terjadi Donan, serta sebagian lokasi di Sungai Bogowonto dan
di Sungi Grindulu (1 ppt), Teleng (2 ppt), Bogowonto (4 Cakrayasan, tanah berwarna kelabu gelap hingga hitam
ppt), dan Lukulo (6 ppt). Pengukuran salinitas pada dan di beberapa tempat, secara samar-samar berbau
sungai-sungai ini dilakukan pada kubangan-kubangan air seperti telur busuk. Hal ini menunjukkan adanya gas H2S
di antara vegetasi mangrove. Hasil pengukuran sebagai hasil aktivitas bakteri aerobik pereduksi sulfur.
menunjukkan kadar salinitas yang relatif rendah, hal ini Perbedaan kondisi tanah dapat menyebabkan
terjadi karena sisa-sisa garam dalam badan air diikat terjadinya zonasi distribusi hewan dan tumbuhan.
oleh tanah lumpur atau lempung dan terendapkan. Hal Namun dalam penelitian ini pembentukan zonasi
sebaliknya dapat terjadi apabila pengukuran dilakukan tumbuhan mangrove sulit diamati mengingat jumlah
pada kubangan air laut yang terletak di atas pasir, vegetasi yang tersisa pada setiap muara sungai relatif
dimana sinar matahari akan menguapkan air sedangkan sedikit dan kegiatan antropogenik sangat tinggi. Zonasi
butir-butir pasir cenderung tidak mampu mengikat merupakan kombinasi dari faktor salinitas, kondisi tanah,
garam, sehingga kadar salinitas dapat naik. Menurut Ng ketinggian pasang surut, ketersediaan propagul dan
dan Sivasothi (2001), dalam kondisi demikian kolam- kompetisi. Umumnya Avicennia dan Sonneratia tetap
kolam yang terbentuk dapat bersifat hipersalin (>30 ppt). dapat tumbuh pada tanah yang mengandung pasir
Dalam penelitian ini pengukuran salinitas di Sungai meskipun lebih menyukai tanah lempung atau lumpur,
Serayu dilakukan pada sisa-sisa vegetasi yang tidak sedangkan Rhizophora tumbuh dengan baik pada tanah
terhubung langsung dengan laut yang sedang pasang, lumpur lembut yang kaya humus, adapun Bruguiera
sehingga diperoleh salinitas rendah (5 ppt). Pada tanggal menyukai tanah lempung keras yang mengandung
bulan baru atau bulan purnama, serta 2-3 hari sedikit bahan organik. Di beberapa muara, seperti
sesudahnya kawasan ini tetap terendam air pasang, Sungai Bengawan, Ijo dan Cincingguling dimana
mengingat pada hari-hari tersebut air laut yang sedang campuran substrat lumpur dan tanah liat cukup, N.
pasang dapat mencapat 3-5 meter di atas garis surut fruticans tumbuh melimpah di sepanjang tepian sungai.
terendah. Hara tanah di hutan mangrove dapat dihasilkan
sendiri oleh komunitas setempat (autochthonous) melalui
Tekstur tanah produsen primer atau diperoleh dari luar (allochthonous)
Tanah kawasan mangrove di pantai selatan Jawa, melalui sungai dan laut. Muara sungai pada dasarnya
merupakan tanah alluvial dari laut dan daratan yang merupakan kawasan yang kaya hara. Hujan secara
diangkut oleh sungai dan arus laut dan diendapkan teratur membawa hara dari daerah aliran sungai ke
sebagai sedimen. Tanah terdiri dari pasir, lumpur (silt) dalam mangrove, sedangkan laut membawa bahan
dan lempung dengan komposisi berbeda-beda organik terlarut termasuk organisme-organisme kecil ke
tergantung lokasi dan geomorfologi daerah aliran sungai. hutan mangrove pada saat laut pasang.
Beberapa muara sungai yang memiliki daerah aliran Dalam penelitian ini material padat yang terlarut
sungai di kawasan pegunungan kapur, dominasi dalam air (TDS) relatif tinggi dengan rata-rata mendekati
sedimen pasir sangat menonjol sehingga keragaman 2000 ppm. Hal ini disebabkan tingginya tingkat
dan kepadatan vegetasi mangrove relatif rendah atau sedimentasi, dimana secara visual terlihat dari warna air
bahkan tidak ada. Hal ini teramati pada sebagian sungai- yang hampir selalu berwarna coklat keruh. Jumlah total
sungai di Pacitan, Wonogiri, dan Yogyakarta. Di padatan terlarut boleh jadi lebih besar dari angka
kawasan ini vegetasi mangrove hanya ditemukan di tersebut, mengingat alat yang digunakan hanya mampu
Teluk Pacitan dan Sungai Bogowonto, dimana komposisi mendeteksi hingga 2000 ppm.
sedimen lempung dan lumpur lebih tinggi dari pada
pasir. Sedimen muara-muara sungai di sebelah barat Derajat keasaman (pH)
Sungai Bogowonto umumnya disusun oleh lumpur dan Perairan di kawasan mangrove umumnya bersifat
lempung, dimana keduanya kaya akan bahan organik alkali, hal ini merupakan akibat kalsium dari cangkang
sehingga mampu mendukung pertumbuhan mangrove. dan terumbu karang lepas pantai yang larut di dalamnya.
Namun pada Sungai Serayu dan Wawar dominasi pasir Namun tanah mangrove cenderung netral hingga sedikit
relatif tinggi dan miskin hara, sehingga pertumbuhan asam, hal ini merupakan akibat aktivitas bakteri
mangrove relatif rendah. Bahkan di muara Sungai pereduksi sulfur dan adanya tanah liat yang asam.
Wawar vegetasi ini tidak ditemukan. Sungai Wawar Dalam penelitian ini, pH air hampir selalu sedikit lebih
merupakan satu-satunya sungai di antara Sungai tinggi dari pada pH sedimen, secara berturut-turut nilai
Bogowonto dan Segara Anakan yang tidak ditumbuhi rata-rata keduanya adalah 7,29 dan 6,96.
mangrove.
Pada beberapa muara sungai permukaan topsoil Kadar oksigen
umumnya terlihat sebagai tanah pasir atau lempung. Kadar oksigen terlarut di perairan hutan mangrove
Tanah pasir umumnya berwarna lebih terang, porous, biasanya lebih kecil dari pada laut bebas. Kadar ini
lebih mudah tergenang pada waktu pasang dan semakin rendah pada tempat-tempat yang mengalami
mengalami aerasi pada waktu surut. Sedangkan tanah pencemaran bahan organik, sehingga terbentuk zona
lempung berwarna lebih gelap dan proses aerasi lebih anoksik pada badan air. Oksigen dipermukaan sedimen
lambat, namun keberadaan hewan pembuat lubang tanah digunakan bakteri untuk pembusukan dan
seperti kepiting dan ikan gelodok dapat membantu respirasi. Permukaan tanah sedalam beberapa milimeter
aerasi. Tanah di bawah permukaan (subsoil) hampir (sediment water interface) selalu mengandung oksigen
113

yang berasal dari sirkulasi pasang surut dan pertukaran KESIMPULAN


dengan atmosfer. Di bawah lapisan ini, bahan organik
dan partikel lumpur halus berada dalam kondisi anoksik, Vegetasi mangrove masih dapat dijumpai pada
dimana hanya bakteri anaerob yang dapat menguraikan beberapa muara-muara sungai di pantai selatan Jawa,
materi organik. Hasilnya berupa gas H2S yang yaitu: Sungai Grindulu, Teleng, Bogowonto, Cakrayasan,
menyebabkan tanah berwarna gelap dan berbau telur Lukulo, Cingcingguling, Ijo, Bengawan, Serayu dan
busuk. Sungai Jeruk Legi-Donan. Di tempat tersebut ditemukan
Dalam penelitian ini rata-rata kadar oksigen terlarut 29 spesies mangrove, terdiri dari komponen mayor (9
dalam air sebesar 9,29 ppm. Pada beberapa lokasi yang sp.), minor (2 sp.), dan tumbuhan asosiasi (18 sp.).
lumpurnya berbau telur busuk, kadar oksigen terlarutnya Kerapatan Sonneratia alba J.E. Smith pada sungai-
relatif rendah, misalnya di Sungai Grindulu, Teleng dan sungai tersebut sangat bervariasi, mulai dari 0 s.d. > 250
Bogowonto. Sedang pada lokasi yang airnya cenderung individu per hektar. Tekstur tanah pada muara-muara
mengalir karena arus air atau gerakan angin, kadar sungai di pantai selatan Jawa berupa pasir, lempung dan
oksigen terlarutnya relatif lebih tinggi, misalnya di Sungai liat, dimana tekstur lempung dan liat dapat mendukung
Jeruk Legi-Donan. pertumbuhan mangrove dengan lebih baik. Adapun rata-
rata nilai parameter lingkungan sebagai berikut: suhu air
Suhu o o
dan sedimen masing-masing 32,0 C dan 31,4 C, pH air
Dalam penelitian ini, kerapatan vegetasi mangrove dan sedimen masing-masing 7,29 dan 6,96, total
pada semua muara sungai di pantai selatan Jawa relatif padatan terlarut ~ 2000 ppm, DO air 9,29 ppm, dan
rendah, sehingga sinar, matahari dapat mencapai salinitas air 16 ppm.
permukaan tanah. Akibatnya suhu air dan sedimen tanah
relatif tinggi, dimana rata-ratanya secara berturut-turut
adalah 32,0oC dan 31,4oC. Pada kawasan ini invasi
DAFTAR PUSTAKA
jenis-jenis Gramineae yang tidak tercatat sebagai
tumbuhan asosiasi mangrove sering ditemukan dan
Anonim. 1997a. National strategy for mangrove management in
berkompetisi dengan sedling tumbuhan mangrove. Indonesia. Volume 1 (strategy and action plan). Jakarta: Office of the
Pengecekan pada tegakan alami ekosistem mangrove di Minister of Environment, Departement of Forestry, Indonesian
Segara Anakan menunjukkan bahwa rata-rata suhu di Institute of Science, Department of Home Affairs, and The Mangrove
Foundation.
tempat ini lebih kecil dari pada di muara-muara sungai Anonim. 1997b. National strategy for mangrove management in
(data tidak ditunjukkan). Hal ini wajar mengingat sinar Indonesia. Volume 2 (mangrove in Indonesia current status).
matahari tertahan kanopi hutan dan tidak langsung Jakarta: Office of the Minister of Environment, Departement of
mengenai lantai hutan. Forestry, Indonesian Institute of Science, Department of Home
Affairs, and The Mangrove Foundation.
Backer, C.A. dan R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1963. Flora of Java.
Pasang surut Vol. I. Groningen: P.Noordhoff.
Pada musim kemarau rendahnya debit air sungai Backer, C.A. dan R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java.
Vol. II. Groningen: P.Noordhoff.
menyebabkan gosong pasir di muara sungai tidak dapat Backer, C.A. dan R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1968. Flora of Java.
ditembus, sehingga air sungai menggenang dan salinitas Vol. III. Groningen: P.Noordhoff.
laguna menurun. Dalam setiap tahunnya, genangan Bandaranayake, W.M. 1998. Traditional and medicinal uses of
penuh ini berlangsung selama kurang lebih 1-2 bulan. mangroves. Mangrove and Salt Marshes 2: 133-148.
Barbour, M.G., J.H. Burk dan W.D. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology.
Genangan umumnya terjadi pada bulan Oktober s.d. Second edition. Menlo Park: The Benjamin Cummings Publishing
Desember tergantung lokasi dan kondisi iklim. Di luar Company Inc.
masa tersebut, khususnya pada musim hujan besarnya Blasco, F. 1992. Outlines of ecology, botany and forestry of the mangals
of the Indian subcontinent. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of
debit air sungai menyebabkan terbukanya gosong pasir the World 1: Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier.
dan laguna terhubung langsung dengan laut bebas, Chapman, V.J. 1992. Wet coastal formations of Indo Malesia and Papua-
sehingga terjadi genangan harian sejalan dengan New Guinea. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1:
pasang-surut air laut dan salinitasnya lebih bervariasi. Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier.
Giesen, W. 1991. Checklist of Indonesian fresh water aquatic herbs
Di pantai selatan Jawa pasang naik dan pasang surut (including an introduction to fresh water aquatic vegetation).
terjadi dua kali dalam sehari. Hal ini disebabkan oleh PHPA/AWB Sumatra Wetland Project Report no.27. Jakarta: Asian
gaya gravitasi dan sentrifugal bumi, bulan dan matahari, Wetland Bureau-Indonesia.
Goldman, R.C. and Horne, 1983. Lymnology. New York: McGraw Hill
serta dipengaruhi pula kondisi geografi. Tinggi genang International Book Company.
pada kedua pasang dalam sehari ini tidak selalu sama. Howe, C.P., G.F. Claride, R. Hughes, Zuwendra, 1992. Manual of
Pada saat bulan purnama atau bulan baru yang secara guideline for scoping EIA in Indonesia wetland. Second edition.
bergiliran terjadi setiap dua minggu sekali, posisi bulan PHPA/AWB Sumatra Wetland Project No.6B. Jakarta: Directorat
General of Forest Protection and Nature Conservation-Asian
dan matahari terletak pada garis lurus, sehingga terjadi Wetland Bureau Indonesia
pasang tertinggi sekaligus surut terendah. Dalam hal ini Inoue, Y., O. Hadiyati, H.M.A. Affendi, dan I.N. Budiyana. 1999.
perbedaan ketinggian pasang surut dapat mencapai 3,5 Sustainable Management Models for Mangrove Forests. Jakarta:
Ministry of Forest and Estate Crops.
meter, bahkan hingga 5 meter. Di luar itu dapat terjadi Kartawinata. K. 1979. Status pengetahuan hutan bakau di Indonesia.
pasang perbani dimana perbedaan pasang tertinggi dan Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta: MAP LON
surut terendah hanya sekitar 0,5 meter. Perilaku pasang LIPI.
surut berbada-beda tergantung lokasi dan waktu Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, dan S. Baba. 1997. Handbook of
Mangroves in Indonesia; Bal & Lombok. Denpasar: The
(musim). Development of Sustainable Mangrove Management Project,
Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation
Agency.
Knox, G.A. dan T. Miyabara. 1984. Coastal Zone Resource Development
and Conservation in South East Asia, with Special Refference to
Indonesia. Jakarta: UNESCO.
114

Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (editors). 2001. A Guide to Mangroves of Tanaka, S., 1992. Bali Environment the Sustainable Mangrove Forest.
Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and Jakarta: Development of Sustainable Mangrove Management
Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science Project.
Centre. Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge
Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. Third University Press.
edition. New York: Harper Collins College Publishers. US Army Map Service. 1963; 1964. Far East, Sheet Nos. 4719 I, 4720 II,
Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. Third edition. Philadelphia: 4819 I, 4819 IV, 4919 I, 4919 II, 4919 IV, 5018 I, 5019 II, 5019 III,
W.B. Sounders Company. 5118 II, 5118 III, 5118 IV, 5218 II, 5218 III. Jakarta: Direktorat
Sasaki, Y. and H. Sunarto. 1994. Mangrove forest of Segara Anakan Topografi Angkatan Darat Indonesia.
lagoon. In Takashima, F. and K. Soewardi (eds.). Ecological Wainwright, S.J. 1984. Adaptation of Plant to Flooding with Salt Water.
Assessment for Management Planning of Segara Anakan Lagoon, New York: Academic Press Inc.
Cilacap, Central Java. Tokyo: NODAI Center for International Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S. Afiff. 1987. Ecology of Java and
Program, Tokyo University of Agriculture and JSPS-DGHE Program. Bali. Singapore: Periplus.
Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In: Flora Malesiana. Wirjodarmodjo. H., S.D. Soeroso, dan S. Bambang. 1979. Pengelolaan
Djakarta: Noordhoff-Kollf. hutan payau Cilacap. Prosiding Seminar Ekosistem Hutan
Sukardjo, S., 1985. Laguna dan vegetasi mangrove. Oseana 10 (4): 128- Mangrove. Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional LIPI.
137
115

Konservasi Mangrove di Kabupaten Rembang

ABSTRACT dapat menaikkan nilai sumber daya hayati mangrove,


memberi mata pencaharian penduduk, mencegah
The aims of the research were to find out (i) species diversity of kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, produksi
mangrove plats, (ii) the conservation problems of mangrove perikanan, dan lain-lain (Setyawan, 2002).
ecosystem, and (iii) restoration efford of mangrove ecosystem at Ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Rembang,
coastal area of Rembang Regency, Central Java. This was sebagaimana pantai utara Jawa Tengah lainnya tidak
descriptive research that was done qualitatively, in July until hanya terbentuk di kawasan muara sungai namun
December 2003, at 3 sites of mangrove habitat in Rembang
Regency, namely Pecangakan, Pasar Banggi, and Lasem. The
terutama terbentuk pada lokasi-lokai tertentu yang
data was collected in field surveys, in-depth interview to local terlindung dari gelombang laut, dimana sedimen dari
people and/or local government, and examination of topographic sungai dan laut terendapkan dan membentuk tidal flat
maps of Java (1963-1965) and digital satellite image of Landsat atau mud flat (dataran lumpur pasang surut). Sifat Laut
7 TM (July-September 2001). The result indicated that northern Jawa yang merupakan laut pedalaman dengan jeluk
coast of Rembang had 27 mangrove species, i.e. 12 species of yang dangkal dan arus gelombang yang relatif tenang
major mangrove, 2 species of minor mangrove, and 13 species sangat mendukung proses ini (Steenis, 1958; 1965).
of associated plants. Rhizophora had been dominated Pantai utara Jawa kebanyakan berupa lumpur atau
mangrove ecosystem in Lasem and Pasar Bangi; while
Avicennia had been dominated in Pecangakan. The most
tanah lempung yang ditumbuhi mangrove, pantai terbuka
degrading factors of mangrove ecosysrems were aquaculture yang berpasir jarang dijumpai, gumuk pasir hampir tidak
and salt pond, timber logging, land reclamation and soil ada. Pantai berkarang dan kadang-kadang bergamping/
sedimentation, and environmental pollution. Mangrove karst hanya dijumpai di sebagian tempat, seperti bagian
restoration by Rhizophora in coast of Pasar Bangi had been timur Rembang. Vegetasi hutan primer dan sekunder
successfully, because community based management. hampir tidak ada lagi, karena telah diubah menjadi lahan
budidaya seperti tambak dan sawah (Steenis, 1965).
Key words: conservation problems, mangrove ecosystem, Pada masa lalu ekosistem mangrove sangat melimpah di
Rembang Regency, Central Java Province. pantai utara Jawa mulai dari Banten hingga Jepara,
“cekungan” antara Pati dan Rembang, serta delta Solo-
Brantas. Di pantai selatan ekosistem ini tumbuh di Teluk
PENDAHULUAN Grajakan, Pulau Sempu, Segara Anakan, dan Ujung
Kulon (Whitten dkk., 2000). Keragaman bentuk fisiografi
Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka, pantai mempengaruhi kultur masyarakat dalam
karena luasnya hanya 2% permukaan bumi. Indonesia menyikapi kondisi ekosistem mangrove, hal ini
merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di berdampak pada kelestarian ekosistem tersebut.
dunia. Ekosistem ini memiliki peranan ekologi, sosial- Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (i)
ekonomi, dan sosia-budaya yang sangat pentin; keanekaragaman hayati tumbuhan mangrove, (ii)
misalnya menjaga menjaga stabilitas pantai dari abrasi, permasalahan ekosistem mangrove, dan (iii) upaya
sumber ikan, udang dan keanekaragaman hayati restorasi ekosistem mangrove di Pesisir Kabupaten
lainnya, sumber kayu bakar dan kayu bangunan, serta Rembang, Jawa Tengah.
memiliki fungsi konservasi, pendidikan, ekoturisme dan
identitas budaya. Tingkat kerusakan ekosistem
mangrove dunia, termasuk Indonesia sangat cepat BAHAN DAN METODE
akibat pembukaan tambak, penebangan hutan
mangrove, pencemaran lingkungan, reklamasi dan Waktu dan lokasi penelitian
sedimentasi, pertambangan, sebab-sebab alam seperti Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Desember
badai/tsunami, dan lain-lain. Restorasi mangrove 2003. Penelitian lapangan dilakukan pada tiga habitat
mendapat perhatian luas mengingat tingginya nilai mangrove di pantai utara Kabupaten Rembang, Jawa
sosial-ekonomi dan ekologi ekosistem ini. Restorasi Tengah, yaitu: (i) Pecangakan, Kaliori, (ii) Pasar Bangi,

Publikasi asli: Setyawan, A.D. dan K. Winarno. 2006. Permasalahan Konservasi Ekosistem Mangrove di Pesisir Kabupaten
Rembang, Jawa Tengah. Biodiversitas 7 (2): 159-163.
116

Rembang, dan (iii) Lasem. Ekosistem mangrove di lokasi wawancara (in-depth interview), serta kajian peta
tersebut terletak di lingkungan muara sungai (riverine topografi dan citra satelit. Alat dan bahan yang
environment). Tabulasi data dilakukan di Laboratorium digunakan meliputi: daftar pertanyaan, alat perekam
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) audio dan video, kamera, dan alat tulis. Pengamatan
Surakarta. langsung dilakukan dengan menjelajahi seluruh area,
baik dengan berjalan kaki maupun dengan kendaraan
bermotor dan perahu. Wawancara dilakukan dengan
sekurang-kurangnya 10 orang penduduk dan/atau aparat
pemerintah setempat pada setiap lokasi. Di samping itu
dilakukan pula kajian pustaka terhadap peta topografi
tahun 1963-1965 (US. Army Map Services, 1963-1965)
dan citra satelit Landsat 7 TM periode Juli-September
2001. Data hasil penelitian ditabulasikan dalam satu
kesatuan dan dipaparkan secara dekriptif kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi lokasi
Wilayah Kabupaten Rembang, secara geografis
terletak pada koordinat 110º15'-111º40' BT dan 6º40'-
6º55' LS. Adapun batas administrasinya, di sebelah utara
Gambar 1. Kawasan muara sungai yang menjadi lokasi berupa Laut Jawa, sebelah timur adalah Kabupaten
penelitian: 1. Pecangakan, Kaliori, 2. Pasar Bangi, Rembang, Tuban, sebelah selatan adalah Kabupaten Blora,
dan 3. Lasem.
sebelah barat adalah Kabupaten Pati. Asal nama
Rembang belum dapat dibuktikan dengan tepat, karena
Cara kerja ketiadaan bukti-bukti tertulis. Salah satu cerita rakyat
Dalam penelitian ini, batas terluar ekosistem mang- menuturkan bahwa nama Rembang berasal dari
rove adalah jarak 100 m ke arah luar dari titik terluar “ngrembang” yang berarti membabat tebu (Kompas,
habitat yang masih ditumbuhi satu atau lebih tumbuhan 03/03/2003; Darmawan dkk., 2003). Kabupaten
mangrove mayor (dbh > 10 cm). Seluruh lahan yang Rembang terdiri dari 14 kecamatan dan 294 desa,
terletak di dalam garis batas tersebut dinyatakan sebagai dengan jumlah penduduk 565.860 jiwa. Kabupaten
kawasan di dalam ekosistem mangrove; sedangkan Rembang tergolong daerah "minus". Dari total luas
lahan yang terletak di luar garis batas tersebut wilayah 101.408 ha, sebanyak 34% (34.968 ha) berupa
dinyatakan sebagai kawasan di luar atau di sekitar tanah tegalan, 29% (29.044 ha) berupa sawah, 28%
ekosistem mangrove. (23.625 ha) berupa hutan, 8% (8.500 ha) tanah
Keanekaragaman tumbuhan dan analisis pekarangan dan sisanya berupa padang rumput dan
vegetasi. Koleksi jenis-jenis tumbuhan mangrove tambak. Curah hujan rata-rata 1.500 mL per tahun
dilakukan dengan metode survei (penjelajahan). (Kompas, 12/10/2002).
Spesimen segar hasil koleksi segera diidentifikasi dan Pesisir utara Kabupaten Rembang, secara
dicatat sifat-sifat morfologinya. Sebagian diawetkan, geomorfologi terbagi dalam dua bentangan yang sangat
difoto penampakan umum, bunga, dan buah, serta berbeda. Pada kaki Gunung Lasem ke arah timur
dibuat deskripsinya. Identifikasi spesies mangrove terbentuk dataran bergelombang yang tersusun atas
mayor, minor, dan tumbuhan asosiasi merujuk pada batu kapur dan berbatasan langsung dengan laut Jawa,
pustaka-pustaka: Backer dan Bakhuizen van den Brink di antara kaki perbukitan kapur tersebut terbentuk pantai-
(1963; 1965; 1968), Kitamura dkk. (1997), Ng dan pantai berpasir, termasuk pantai pasir putih akibat
Sivasothi (2001), serta Tomlison (1986). Pengambilan pelapukan koral di laut. Pada kawasan ini terdapat
data vegetasi dilakukan dengan metode belt transect, beberapa sungai kecil yang umumnya berhulu di
yakni dengan meletakkan belt transect ukuran 10X60 m2, Pegunungan Kendeng, sehingga jarak alirannya cukup
dari bibir pantai ke arah daratan, yang di dalamnya pendek, sebagian besar sungai-sungai ini mengering
terdapat 6 plot kuadrat untuk setiap strata, dengan atau alirannya tidak mencapai laut pada musim kemarau.
2 2
ukuran 10X10 m (pohon), 5X5 m (semak dan anak Sebaliknya kawasan di sebelah barat Gunung Lasem
2
pohon), serta 1X1 m (herba, bibit semak, dan bibit merupakan dataran lumpur/aluvial (tidal flat) sebagai
pohon). Semua spesies tumbuhan di dalam plot akibat sedimentasi. Kawasan ini dipengaruhi beberapa
diidentifikasi. Diukur nilai penutupan dan frekuensi setiap sungai yang umumnya berhulu di Pegunungan Kendeng.
spesies pada setiap strata habitus. Data komposisi dan Mengingat jarak alirannya yang pendek, sebagian besar
struktur vegetasi ditampilkan dalam bentuk nilai penting sungai-sungai ini merupakan sungai kecil yang kering
yang merupakan penjumlahan nilai penutupan dan atau alirannya tidak mencapai laut pada musim kemarau.
frekuensi relatif yang dibagi dua (Odum, 1971; Barbour Beberapa sungai yang alirannya cukup besar dan berair
dkk., 1987). Cara ini menyebabkan tidak semua jenis sepanjang tahun adalah Sungai Delok, Sungai Anyar,
tumbuhan mangrove yang ditemukan melalui metode dan Sungai Lasem. Pada musim hujan, sungai-sungai
survei dapat tercakup dalam belt transect. besar ini dapat meluap dan menyebabkan banjir, seperti
Permasalahan ekosistem mangrove dan di Kaliori dan Lasem (Darmawan dkk., 2003). Oleh
restorasi. Kegiatan koleksi data untuk mengetahui karena itu, tumbuhan mangrove hanya terkonsentrasi di
permasalahan ekosistem mangrove dan upaya sisi barat, mencakup Kecamatan Kaliori, Rembang, dan
restorasinya mencakup pengamatan (survei) lapangan,
117

Lasem. Tabel 2. Nilai penting jenis-jenis tumbuhan mangrove di pantai


utara dan selatan Jawa Tengah, termasuk di pesisir Kabupaten
Rembang (data selengkapnya tidak ditunjukkan)(Setyawan,
Keanekaragaman tumbuhan mangrove 2005b).
Di pesisir kabupaten Rembang, ditemukan 27
spesies tumbuhan mangrove, terdiri dari 12 spesies

Pecangakan

Pasar Bangi
mangrove mayor, 2 spesies mangrove minor, dan 13
spesies tumbuhan asosiasi mangrove. Tumbuhan

Kategori
Nama Spesies

Lasem
mangrove yang ditemukan di Pecangakan, Pasar
Banggi, dan Lasem secara berturut-turut sebanyak 8, 18,
dan 11 spesies (Tabel 1). Spesies yang paling umum
dijumpai adalah Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia. Strata habitus pohon
Avicennia spp. MAY 0,51 0,09 0,42
Tumbuhan mangrove di pesisir Lasem didominasi oleh Sonneratia spp. MAY 0 0,06 0,06
Rhizophora, di Pecangakan didominasi Avicennia, Rhizophora spp. MAY 0,22 0,83 0,33
sedangkan di Pasar Bangi didominasi oleh Rhizophora, Strata habitus anak pohon dan semak
dengan beberapa tegakan Sonneratia di arah laut dan Anak pohon
Avicennia tumbuh di arah daratan (Tabel 2). Semua Avicennia spp. MAY 0,34 0,10 0,32
ekosistem mangrove di ketiga lokasi tersebut sangat Sonneratia spp. MAY 0 0,09 0,06
terpengaruh kegiatan manusia, dan umumnya Rhizophora spp. MAY 0,23 0,45 0,46
merupakan hasil penanaman program rehabilitasi dan Semak
Acanthus ilicifolius ASO 0,17 0,10 0,17
restorasi, baik oleh pemerintah kabupaten, maupun Acrostichum spp. MIN 0 0,03 0
masyarakat setempat. Ekosistem mangrove di kawasan Derris trifoliata ASO 0 0 0,07
ini, tinggal berupa segaris mangrove di tepi laut Pandanus tectorius ASO 0 0 0,07
(mangrove fringe). Di Pasar Bangi lebarnya dapat Calotropis gigantea ASO 0 0,04 0
mencapai 100-300 m, sedangkan di kedua lokasi Strata habitus bibit pohon, bibit semak, dan herba
lainnya, umumnya kurang dari 100 m, bahkan sebagian Bibit pohon
hanya berupa sebaris pohon mangrove yang Avicennia spp. MAY 0,43 0,13 0,32
memisahkan laut dengan area pertambakan rakyat. Rhizophora spp. MAY 0,26 0,68 0,46
Bibit semak
Acanthus ilicifolius *) ASO 0,17 0,1 0,17
Tabel 1. Jenis-jenis tumbuhan mangrove di pesisir Kabupaten
Derris trifoliata *) ASO 0 0 0,07
Rembang (Setyawan dkk., 2005a).
Pandanus tectorius *) ASO 0 0 0,07
Herba
ASO 0,11 0,10 0,14
Pecangakan
Pasar Bangi

Sesuvium portulacastrum
Rumput (Gramineae) **) ASO 0,20 0 0,23
Habitus

Nama Spesies Familia Rumput liar lainnya ***) ASO 0 0,11 0


Lasem

Teki (Cyperaceae) ****) ASO 0,10 0,07 0


Keterangan: MAY = mayor, MIN = minor, ASO = asosiasi.
Mangrove mayor
Avicennia alba Avicenniaceae p + + +
Avicennia marina Avicenniaceae p + + -
Avicennia officinalis Avicenniaceae p - + + Rhizophora dan Avicennia merupakan tumbuhan
Bruguiera cylindrica Rhizophoraceae p - + - yang sering dipilih untuk restorasi dan rehabilitasi
Bruguiera gymnorrhiza Rhizophoraceae p - + - mangrove. Proyek rehabilitasi hutan mangrove yang
Ceriops tagal Rhizophoraceae p - + - didanai pemerintah kabupaten hampir selalu memilih
Nypa fruticans Araceae p - + - Rhizophora, seperti di Pasar Bangi. Adapun spesies
Rhizophora apiculata Rhizophoraceae p - + - Avicennia biasa dipilih petambak untuk ditanam ditepian
Rhizophora mucronata Rhizophoraceae p + + +
Sonneratiaceae p - + -
pantai untuk menjaga hempasan ombak laut. Pemilihan
Sonneratia alba
Sonneratia caseolaris Sonneratiaceae p - + - Rhizophora tampaknya terkait dengan bentuk
Sonneratia ovata Sonneratiaceae p - - + perakarannya yang khas, sehingga secara awam
Mangrove minor diidentikkan dengan mangrove (bakau). Tumbuhan ini
Acrostichum aureum Pteridaceae s - + - cenderung membutuhkan area yang luas untuk
Aegiceras floridum Lythraceae p - + - pertumbuhannya. Sedangkan pemilihan Avicennia untuk
Tumbuhan asosiasi restorasi oleh masyarakat tampaknya terkait dengan
Acanthus ilicifolius Acanthaceae s + + + ukurannya yang relatif lebih kecil sehingga untuk
Calotropis gigantea Asclepiadaceae s - + -
Gramineae h + - -
pertumbuhan optimal tidak memerlukan ruangan yang
Cynodon dactylon
Cyperus sp. Cyperaceae h + + - luas dan tidak memakan ruang untuk tambak, misalnya
Derris trifoliata Leguminosae s - + + di Pecangakan. Di pesisir Rembang, Sonneratia hampir
Hibiscus tiliaceus Malvaceae p - - + tidak pernah dipilih untuk program restorasi, tampaknya
Ipomoea pescaprae Convolvulaceae h - - - karena pertumbuhannya yang cenderung lebih lambat.
Pandanus tectorius Pandanaceae s - - + Pemilihan spesies mangrove untuk restorasi juga sangat
Phragmites karka Gramineae h + - - terkait dengan ketersediaan propagul. Di Pasar Bangi,
Sesuvium portulacastrum Aizoaceae h + + + spesies Rhizophora yang dipilih adalah Rhizophora
Spinifex littoreus Gramineae h - - +
Stachytarpheta jamaicensis Verbenaceae h - - -
stylosa (bakau putih) karena lebih mudah dijumpai dan
Terminalia catappa Combretaceae p - - + pada awal program restorasi tahun 1980-an merupakan
Jumlah 27 8 18 11 spesies yang ditanam, sedangkan di Pecangakan dipilih
Keterangan: “+”hadir; “-“ tidak hadir. p = pohon, s = semak, h = Avicennia, karena banyak tumbuh di lokasi tersebut.
herba/rumput.
118

Permasalahan ekosistem mangrove Reklamasi dan sedimentasi


Beberapa faktor yang menjadi penyumbang terbesar Reklamasi pantai untuk kepentingan industri dan
kerusakan ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten pelabuhan telah banyak dilakukan di pantai utara Jawa.
Rembang adalah: pertambakan, penebangan pepohon- Di Kabupaten Rembang, reklamasi pantai untuk kegiatan
an, reklamasi dan sedimentasi, serta pencemaran usaha relatif masih terbatas. Salah satu rencana
lingkungan. reklamasi pantai yang tampaknya akan berdampak
serius adalah rencana pembangunan pelabuhan
Pertambakan udang/ikan dan garam pendaratan ikan di pusat kota Rembang yang tidak jauh
Konversi ekosistem mangrove menjadi tambak dari kawasan mangrove Pasar Bangi. Dermaga
merupakan faktor utama penyebab hilangnya hutan pelabuhan direncanakan jauh menjorok di tengah laut,
mangrove dunia, tidak terkecuali di pesisir Kabupaten untuk menghindari kawasan mangrove yang dangkal dan
Rembang. Di kawasan ini tambak merupakan berlumpur, namun aktivitas pelabuhan ikan yang besar
pemandangan umum, baik tambak udang dan bandeng dengan segala hiruk-pikuk perahu, manusia, dan sarana
maupun tambak garam. Pada musim penghujan, tambak lainnya diyakini akan berdampak pada ekosistem
garam yang bersalinitas tinggi biasanya juga diubah mangrove. Besarnya volume kedatangan perahu
menjadi tambak bandeng, sehingga kawasan ini menjadi nelayan dapat menimbulkan riak di laut sehingga
pemasok bandeng budidaya terbesar di Jawa Tengah menghambat pemantapan bibit baru dan menggerus
setelah kabupaten tetangga baratnya, Pati. Kawasan lumpur yang ada. Kegiatan ini dipastikan juga akan
pesisir Rembang juga menjadi penghasil garam terbesar menghasilkan limbah yang dapat mencemari ekosistem
di Jawa Tengah. Pertambakan ditemukan sepanjang mangrove. Kabar terakhir menyatakan rencana tersebut
pantai mulai dari Pecangakan hingga Lasem. ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan, meskipun
Tambak-tambak ikan dan udang di kawasan ini pemancangan tiang-tiang dermaga telah dilakukan.
dikelola secara intensif hingga jauh ke arah daratan. Tampaknya telah terjadi kesalahan perencanaan.
Hampir semua pantai yang mengalami sedimentasi Kawasan di sekitar rencana lokasi pelabuhan,
membentuk dataran lumpur dan memiliki ekosistem merupakan kawasan akresi lumpur dari daratan dan
mangrove diubah menjadi areal tambak, meskipun pasir putih dari laut, sehingga umur kolam pelabuhan
beberapa areal tambak yang jauh dari bibir pantai diperkirakan akan pendek dan pemaksaan pembuatan
tampaknya tidak lagi produktif akibat perubahan kondisi pelabuhan ikan di kawasan ini diyakini berbiaya mahal
hidrologi, edafit (tanah sulfat asam), penyakit dan mengingat harus dilakukan pengerukan sedimen secara
pencemaran lingkungan, sehingga tambak beserta periodik, sehingga tidak veasible. Kesombongan para
sarana produksinya dibiarkan rusak tidak terurus. penentu kebijakan tampaknya telah menyia-nyiakan
Pertambakan rakyat secara nyata mempengaruhi dana pajak dari masyarakat karena memaksakan diri
keberadaan mangrove di sekitarnya. Pada saat ini tidak membuat pelabuhan ikan di kawasan tersebut.
lagi tersisa ekosistem mangrove alami. Ekosistem Sedimentasi merupakan faktor dinamis yang dapat
mangrove yang ada merupakan ekosistem buatan yang mendorong terbentuknya ekosistem mangrove, namun
diupayakan oleh pemerintah, masyarakat, dan para sedimentasi dalam skala besar dan luas dapat merusak
pihak lain. ekosistem mangrove karena tertutupnya akar nafas dan
berubahnya kawasan rawa menjadi daratan.
Penebangan vegetasi mangrove Sedimentasi di pesisir Kabupaten Rembang
Pembukaan lahan untuk tambak udang memiliki andil memungkinkan terus bertambah luasnya daratan ke arah
besar bagi kerusakan mangrove di luar hutan, laut, dan memungkinkan pertumbuhan ekosistem
sedangkan penebangan secara tidak lestari merupakan mangrove. Namun sesuai dengan pola masyarakat yang
penyebab utama kerusakan mangrove di dalam hutan terus membuka tambak ke arah laut mengikuti arah
(Suara Pembaruan, 11/08/2002). Di pesisir kabupaten pertumbuhan mangrove, maka pada dasarnya perluasan
Rembang, tidak ada lagi hutan alami mangrove, daratan ini tidak menyebabkan bertambah luasnya
meskipun demikian tumbuhan mangrove hasil restorasi ekosistem mangrove, kecuali di Pasar Bangi, yang hutan
di Pasar Banggi sudah menyerupai hutan kembali mangrovenya cenderung lebih sulit dibuka untuk tambak
mengingat usianya sudah lebih dari 15 tahun, waktu karena adanya campur tangan kelompok-kelompok tani
yang diperlukan ekositem mangrove yang rusak untuk yang berusaha mempertahankannya. Sebaliknya
menyembuhkan diri sebagaimana kondisi asli. Ekosistem perluasan tambak ke arah laut menyebabkan tambak-
mangrove di kawasan ini relatif terjaga mengingat tambak lama menjadi terletak jauh dari bibir pantai dan
adanya perhatian serius dari pemerintah kabupaten dan terjadi perubahan pola hidrologi, air tidak lagi dapat
kelompok-kelompok tani yang memiliki hak menggenangi tambak pada saat pasang surut harian,
mengelolanya, yakni terdapat kesepakatan bahwa setiap akibat buruknya manajemen drainase. Kawasan tambak
luasan hutan yang dibuka harus didahului dengan ini pada akhirnya banyak yang dipusokan akibat
penanaman mangrove hingga kondisi mapan pada tingginya biaya operasional dan tidak lagi ekonomis.
dataran lumpur dan pasir di arah laut. Namun kawasan
ini tidak bebas sama sekali dari ancaman penebangan, Pencemaran lingkungan
terdapat pencurian kayu untuk bangunan rumah maupun Pencemaran yang terjadi baik di laut maupun di
kayu bakar, meskipun demikian besarnya peran daratan dapat mencapai kawasan mangrove, karena
kelompok tani dapat meminimalkan ancaman tersebut. habitat ini merupakan ekoton antara laut dan daratan.
Salah satu kawasan yang dibabat sisa-sisa ekosistem Bahan pencemar seperti minyak, sampah, dan limbah
mangrove untuk pertambakan dapat dijumpai di industri dapat menutupi akar mangrove sehingga
Pecangakan, Kaliori. mengurangi kemampuan respirasi dan osmoregulasi
tumbuhan mangrove, dan pada akhirnya menyebabkan
kematian. Di pesisir pantai Rembang bahan pencemar
119

yang umum dijumpai di kawasan mangrove adalah mangrove pada batas daratan dengan laut, misalnya di
sampah domestik, seperti lembaran plastik, kantung Pecangakan, dimana sejumlah tumbuhan mangrove di
plastik, sisa-sisa tali dan jaring, botol, kaleng dan lain- muara sungai dibabat untuk tambak, setelah area baru
lain. Secara khas di pesisir Pasar Bangi, terdapat Ulva mangrove di arah laut mulai tumbuh subur dan berumur
yang dapat mengapung dan menutupi bibit mangrove sekitar dua tahun. Pantai utara Rembang merupakan
sehingga mengganggu upaya restorasi. Menurut tidal flat bagi sungai-sungai di sekitarnya, seperti Sungai
Setyawan dkk. (2004) pencemaran logam berat (Fe, Cd, Delok, Sungai Anyar, dan Sungai Lasem, sehingga
Cr, dan Pb) belum menjadi ancaman serius kawasan memungkinkan terus berlanjutnya perluasan ekosistem
mangrove di pesisir Rembang, selanjutnya Setyawan mangrove ke arah laut.
-
dkk. (2005c) juga menyatakan bahwa pupuk kimia (NO3 , Kegagalan restorasi mangrove dapat disebabkan
+
NH4 ) juga belum menjadi ancaman bagi ekosistem ini, kesalahan pemahaman pola hidrologi, perubahan arus
meskipun demikian perkembangan kota dan pertanian laut, tipe tanah, pemilihan spesies, penggembalaan
tetap berpotensi untuk menyumbangkan bahan hewan ternah, sampah, kelemahan manajemen, dan
pencemar di masa depan, termasuk adanya upaya ketiadaan partisipasi masyarakat. Di pesisir Pasar Bangi,
membangun pelabuhan ikan di Pasar Banggi. partisipasi kelimpok-kelompok tani dalam manajemen
pengelolaan mangrove sangat menentukan keberhasilan
Restorasi dan rehabilitasi ekositem mangrove restorasi mangrove. Masyarakat diwajibkan menjaga
Ekosistem mangrove di Jawa mengalami penurunan kelestarian mangrove, sebagi imbalannya mereka
sangat drastis, akibat tingginya tekanan pertambahan mendapatkan manfaat ekologi seperti perlindungan garis
penduduk yang berimplikasi pada besarnya kegiatan pantai dan terjaganya biodiversitas ikan, serta manfaat
pertambakan, penebangan hutan, reklamasi dan ekonomi secara langsung berupa produk kayu
sedimentasi, serta pencemaran lingkungan, sehingga Rhizophora dan bibit Rhizophora yang dijual untuk
perlu dilakukan restorasi untuk mengembalikan kepentingan program restorasi. Kawasan ini merupakan
karakteristik dan fungsi ekosistem ini. Hutan mangrove salah satu salah pusat pembibitan Rhizophora terbesar
yang rusak dapat melakukan penyembuhan sendiri di Jawa.
melalui suksesi sekunder dalam periode 15-30 tahun, Dalam program restorasi, sampah domestik seperti
dengan syarat sistem hidrologi pasang-surut tidak lembaran plastik, kantung plastik, tali dan lain-lain dalam
berubah, dan tersedia biji (propagul) atau bibit. Tindakan menjadi masalah karena menutupi area penanaman
sengaja dengan restorasi buatan seringkali diperlukan sehingga anakan mangrove tidak dapat tumbuh
untuk memastikan berhasilnya proses penyembuhan sempurna, bahkan dapat menyebabkan seedling yang
alami tersebut. Di Jawa, sejarah restorasi ekosistem perakarannya masih lemah ikut terhanyut ke laut. Di
mangrove tidak banyak dicatat, namun berbagai individu pesisir Pasar Bangi “penjeratan” ini juga dilakukan oleh
dan lembaga, baik pemerintah maupun swasta, diyakini sejenis algae lembaran, Ulva, Spesies ini hidup
terlibat dalam kegiatan ini meskipun jumlahnya relatif mengapung di tepi pantai dangkal terbuka, yang juga
terbatas. Salah satu contoh restorasi hutan mangrove merupakan lokasi yang umum didatangi propagul alami
yang dilakukan secara kontinyu dan cukup berhasil mangrove, dan dipilih dalam program restorasi dan
adalah penanaman Rhizophora, di sepanjang pesisir rehabilitasi. Pada saat air pasang, Ulva akan terangkat
Pasar Bangi. ke atas, dan ketika air surut akan tersangkut, melekat,
Pemerintah Kabupaten Rembang berupaya dan mati pada bibit mangrove, sehingga menghambat
merestorasi ekosistem mangrove, khususnya di Pasar pertumbuhan dan mematikan bibit tersebut. Kondisi ini
Bangi, yang termasuk kecamatan kota dan berpenduduk menyebabkan kerugian yang cukup berarti pada
padat. Pada tahun 1980-an, pemerintah setempat program rehabilitasi bakau di tepi pantai Pasar Banggi.
bersama para pihak melakukan restorasi ekosistem
mangrove pada area dengan panjang sekitar 3000 m,
dan lebar antara 100-300 m. Tujuan kegiatan ini selain KESIMPULAN
untuk menjaga garis pantai dari abrasi dan badai, juga
untuk menjaga salah satu identitas lanskap kabupaten Di pesisir kabupaten Rembang, ditemukan 27
ini, yakni ekosistem mangrove. Upaya ini telah menarik spesies tumbuhan mangrove, terdiri dari 12 spesies
hidupan alami, seperti burung-burung dan benih ikan mangrove mayor, 2 spesies mangrove minor, dan 13
(khususnya nener). Untuk menjaga kelestarian spesies tumbuhan asosiasi mangrove. Tumbuhan
tumbuhan ini, masyarakat setempat diikutsertakan dalam mangrove di pesisir Lasem dan Pasar Bangi didomimasi
kelompok-kelompok tani yang memiliki hak memanen oleh Rhizophora, sedangkan di Pecangakan didominasi
ekosistem yang ada, dengan tetap memperhatikan Avicennia. Penyumbang terbesar kerusakan ekosistem
kelestariannya. Pada akhirnya lokasi ini bernilai mangrove di pesisir Kabupaten Rembang, antara lain:
konservasi karena menarik berbagai hidupan liar, pertambakan, penebangan pepohonan, reklamasi dan
khususnya spesies-spesies burung air; serta terdapat sedimentasi, serta pencemaran lingkungan. Restorasi
pula nilai edukasi dan pariwisata, dimana sering mangrove di pesisir Pasar Bangi, Rembang dengan
disinggahi pelancong di jalur pantura dan menjadi lokasi penanaman Rhizophora cukup berhasil, salah satu
praktikum dan penelitian mahasiswa dari Universitas penyebabnya adalah keikutsertaan masyarakat dalam
Sebelas Maret Surakarta, Universitas Diponegoro manajemen pengelolaannya.
Semarang, dan lain-lain.
Penanaman mangrove oleh para petani tambak
biasanya secara khusus ditujukan untuk menjaga garis
pantai dan menjebak lumpur. Apabila lumpur yang
terjebak sudah cukup tinggi, area ini biasanya diubah
menjadi tambak, dengan terlebih dahulu menanami
120

DAFTAR PUSTAKA Setyawan, A.D. 2002. Ekosistem Mangrove sebagai Kawasan Peralihan
Ekosistem Perairan Tawar dan Perairan Laut. Enviro 2 (1): 25-40.
Setyawan, A.D. Indrowuryatno, Wiryanto, dan K. Winarno. 2004.
Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1963. Flora of Java. Pencemaran logam berat Fe, Cd, Cr, dan Pb pada lingkungan
Vol. I. Groningen: P.Noordhoff mangrove di Propinsi Jawa Tengah. Enviro 4 (2): 45-49.
Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java. Setyawan, A.D. Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, dan A. Susilowati.
Vol. II. Groningen: P.Noordhoff 2005a. Tumbuhan mangrove di pesisir Jawa Tengah: 1.
Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1968. Flora of Java. keanekaragaman jenis. Biodiversitas 6 (2): 90-94.
Vol. III. Groningen: P.Noordhoff Setyawan, A.D. Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, dan A. Susilowati.
Barbour, M.G., J.H. Burk, and W.D. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. 2005b. Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 2. Komposisi
Second edition. Menlo Park CA.: The Benjamin Cummings Pub. Co. dan Struktur Vegetasi. Biodiversitas 6 (3): 194-198.
Inc. Setyawan, A.D. Indrowuryatno, Wiryanto, dan K. Winarno. 2005c.
Darmawan, A., S.K. Purba, dan Hermawan. 2003. Pemetaan Geologi Potensi eutrofikasi kandungan nutrien pada sedimen tanah
Teknik Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Bandung: Direktorat mangrove di Propinsi Jawa Tengah. Enviro 5 (1): 12-17.
Jendral Geologi dan Sumber Daya Mineral. Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In: Flora Malesiana.
Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of Djakarta: Noordhoff-Kollf.
Mangroves in Indonesia; Bali & Lombok. Denpasar: The Steenis, C.G.G..J. van. 1965. Concise plant-geography of Java. In:
Development of Sustainable Mangrove Management Project, Backer, C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of
Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation Java. Vol. II. Groningen: P.Noordhoff
Agency. Suara Pembaruan, 11/08/2002. Pendangkalan dan Abrasi di Jawa
Kompas, 03/03/2003. Kabupaten Rembang. Mengkhawatirkan.
Kompas, 12/10/2002. Waduk Banyukuwung Kering Total. Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge
Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (ed.). 2001. A Guide to Mangroves of University Press.
Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and US. Army Map Services. 1963-1965. Sheets Map of Java. Washington,
Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science D.C.: Corps of Engineers.
Centre. Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S.A. Afiff. 2000. The Ecology of
Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. 3rd edition. Philadelphia: Java and Bali. Singapore: Periplus.
W.B. Sounders Company.
121

Konservasi Mangrove di Segara Anakan melalui Penyudetan


Sungai Citanduy

ABSTRACT Degradasi hutan mangrove umumnya disebabkan


reklamasi untuk membangun tambak udang, ikan, dan
Mangrove ecosystem at Segara Anakan lagoon, Cilacap having garam (Terchunian et al., 1986; Primavera, 1993), di
specific characteristics so that in developing this area should samping itu diakibatkan pula oleh penebangan hutan
consider the conservation aspect. This area is the widest (Walsh, 1974; Hussein, 1995), konversi hutan kayu putih
conserved-mangrove ecosystem at Java, and the place for (Kedaulatan Rakyat, 27/9/2001; Suara Merdeka,
breeding of many species of fish, crustacean and others. 16/6/2001), pertambangan, pembendungan sungai,
Thousand families of fisheries were supported both direct and
indirectly from this ecosystem. However, along with the
pencemaran lingkungan (Lewis, 1990), tumpahan
development activities in the watershed of Citanduy, minyak (Ellison dan Farnsworth, 1996; IPIECA, 1993),
Cimeneng/Cikonde and other rivers connected to the area has pertanian, dan bencana alam (Nybakken, 1993; Knox
brought about the increase of sediment, and threaten the dan Miyabara, 1984).
existence of the lagoon and surrounding mangrove ecosystem. Ekosistem mangrove memiliki fungsi ekonomi,
Diversion of Citanduy river, dredging sediment, and reboisation ekologi dan sosial-budaya sangat penting. Nilai ekonomi
of the watershed river was a preference of conserving the meliputi: kayu bangunan, kayu bakar, kayu lapis, bubur
ecosystem, however, the diversion could be forming a new kertas, tiang telepon, tiang pancang, bagan penangkap
ecosystem, that actually threat the fisheries and tourism
activities at Pangandaran, Ciamis.
ikan, dermaga, bantalan kereta api, kayu untuk mebel
dan kerajinan tangan, atap, gula, alkohol, asam asetat,
protein hewani, karbohidrat, madu, bahan obat, tannin,
Key words: mangrove, Citanduy river, Segara Anakan lagoon,
sedimentation, diversion. dan bahan pewarna (Ong, 2002; Manassrisuksi et al.,
2001; Ng dan Sivasothi, 2001; Dahdouh-Guebas et al.,
2000; Bandaranayake, 1998; Spaninks dan Beukering,
1997; IPIECA, 1993; Hamilton dan Snedaker, 1984).
PENDAHULUAN Nilai ekologi mangrove paling utama adalah sebagai
daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan
Indonesia merupakan negara pemiliki ekosistem (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding
mangrove terluas di dunia. Dari 15,9 juta ha mangrove ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang, burung dan
dunia, sekitar 4,25 juta ha (27%) berada di Indonesia biota lain (Haroen, 2002), di samping itu berperan pula
(FAO, 1982), namun luasan mangrove berkurang sangat sebagai penyerap karbon dioksida, filtrasi limbah,
cepat. Pada tahun 1982-1993 luas hutan mangrove pembentuk daratan, menjaga kealamian habitat,
berkurang sekitar 50%, hingga tinggal 2.496.185 ha menjaga pantai dari erosi, intrusi air laut, dan badai.
(Dephut, 1994). Pada tahun 1985 luas hutan mangrove Adapun nilai sosial-budayanya meliputi fungsi
di Jawa masih 170.500 ha dan di Jawa Tengah masih konservasi, pendidikan, ekoturisme, dan identitas
46.500 ha (Giesen, 1993), namun pada tahun 1997 budaya (Ong, 2002; Anonim, 2001; Manassrisuksi et al.,
secara berturut-turut luasnya tinggal 19.077 ha (11,19%) 2001; Ng dan Sivasothi, 2001; Spaninks dan Beukering,
dan 13.577 ha (29%) (Republika, 23/7/2002). Pada 1997; Tanaka, 1994; IPIECA, 1993; Howe et al., 1992;
tahun 1942 luas hutan mangrove di Segara Anakan Sukardjo, 1989; Tomlison, 1986; Thom, 1967).
masih 22.512 ha, namun pada tahun 1997 tinggal 8.958 Laguna Segara Anakan merupakan pertemuan
ha (Suara Pembauran, 25/8/2002). Bahkan kajian muara sungai Citanduy, Cimeneng/Cikonde, Cibereum,
terbaru menunjukkan luasnya tinggal 1.800 ha Palindukan, serta beberapa sungai kecil lain yang
(Republika, 24/3/2001) atau tinggal 1.125 ha (Pikiran dilindungi Pulau Nusakambangan dari gelombang laut
Rakyat, 1/5/2002). Kawasan Segara Anakan sendiri selatan (Moeljono, 1982). Kawasan ini berair payau
mencakup wilayah seluas 34.018,62 ha, meliputi karena terhubung dengan laut melalui kanal barat dan
26.780,65 ha daratan dan 7.237,97 ha perairan (Suara timur. Kondisi itu sangat potensial bagi pertumbuhan
Merdeka, 26/5/2001). hutan mangrove, serta menjadi daerah pemijahan,

Publikasi asli: Winarno, K., dan A.D. Setyawan. 2003. REVIEW: Penyudetan Sungai Citanduy, Buah Simalakama Konservasi
Ekosistem Mangrove Segara Anakan. Biodiversitas 4 (1): 63-72.
122

asuhan, dan mencari pakan berbagai jenis ikan, udang, sebagai tumbuhan pioner daerah akresi (Soeroyo dan
kepiting, kerang, dan biota lain (Suara Pembauran, Soemodihardjo, 1990; Soemodihardjo et al., 1988),
25/8/2002; Haroen, 2002). Sehingga Segara Anakan dimana Avicennia tumbuh pada endapan tanah yang
sangat bernilai untuk mendukung perikanan di dalam lebih lembek daripada Sonneratia (Harjosuwarno, 1978).
laguna itu sendiri, dan di laut lepas pantai, serta Selama beberapa tahun hutan ini mengalami kerusakan
merupakan sisa-sisa terakhir hutan mangrove terluas di terbukti adanya dominasi tumbuhan muda berupa
pulau Jawa (Schweithelm, 1988; Amin dan Hariati, pohon-pohon kecil yang membentuk semak dengan
1988). tinggi sekitar 5 m, sedangkan pohon-pohon besar telah
Kini, sekitar 13.500 jiwa menempati tiga desa di ditebang dan banyak dijual sebagai kayu bakar
Kecamatan Kawunganten, Kabupaten Cilacap yang (Harjosuwarno, 1978; Soemodihardjo et al., 1988).
dikenal sebagai Kampung Laut, yaitu: Desa Ujung Alang Tempat-tempat tebuka bekas penebangan didominasi
meliputi: Motean, Klaces, dan Mangunjaya; Ujung Gagak Derris trifoliata, Finlaysonia maritima, dan Acanthus
meliputi: Cibereum, Karanganyar, Karangsari, illicifolius yang berkompetisi dengan sedling pohon
Karangmulyo, dan Palindukan; serta Desa Panikel mangrove (Soemodihardjo et al., 1988).
meliputi: Kalibener, Bugel, Muaradua, dan Panikel Ekosistem mangrove juga kaya berbagai fauna.
(Suara Pembauran, 9/4/2002; 25/8/2002; Nurwanto, Laguna Segara Anakan menyediakan habitat bagi
2001), serta satu desa Majingklak di Kecamatan sekitar 85 spesies burung, fauna akuatik, rusa, monyet
Kalipucang, Kabupaten Ciamis. Akibat sedimentasi, dan berbagai mamalia kecil lainnya (Segara Anakan,
Lempong Pucung (Suara Hidayatullah, 5/1999) dan 1998). Nontji (1987) melaporkan bahwa kurang lebih 80
Klaces (Kompas, 21/12/2002) praktis menyatu dengan spesies dari Crustaceae dan 65 spesies Mollusca hidup
Nusakambangan, sehingga orang luar dengan leluasa pada ekosistem mangrove di Indonesia. Menurut Haroen
dapat masuk ke pulau tersebut tanpa meminta izin (2002), tanaman dan seresah mangrove menjadi habitat
kepada pihak berwenang karena dengan berjalan kaki, berbagai fauna akuatik yang berasosiasi dengan
terlebih pada musim kemarau sudah dapat ekosistem tersebut. Ekosistem ini berfungsi sebagai
memasukinya. tempat untuk bertelur, memelihara larva, dan tempat
pakan berbagai spesies akuatik, khususnya udang
Penaeidae dan ikan bandeng (Chanos chanos).
KEANEKARAGAMAN HAYATI EKOSISTEM Di perairan Segara Anakan, selain hidup ribuan jenis
MANGROVE SEGARA ANAKAN biota, hidup pula satwa langka yang dilindungi dan
terancam punah, yaitu lumba-lumba khas yang disebut
wersut (Orcaella sp.), kerabat dekat pesut sungai
Segara anakan merupakan barier yang mencegah
Mahakam dan lumba-lumba sungai Irrawaddy di
masuknya manusia ke kawasan Nusakambangan,
Myanmar. Populasi satwa tersebut semakin menurun
sehingga pulau yang luasnya sekitar 12.106,43 ha ini
akibat perubahan habitat alami, seperti pembuatan
menjadi salah satu warisan terakhir ekosistem hutan
dermaga, pembabatan hutan mangrove, lalu lintas air
pantai dan hutan tropis dataran rendah di Jawa (Akar,
yang semakin ramai, kurangnya sumber pakan,
2001), sehingga terdapat upaya untuk mendirikan Pusat
pencemaran lingkungan, dan pendangkalan (Sinar
Riset Ekosistem Tropis di Cilacap (Kompas, 16/11/2002).
Harapan, 11/1/2003).
Hutan Nusakambangan berperan dalam pengaturan tata
Burung bangau (Ciconia episcopus) dan bangau
lingkungan di sekitarnya, mencegah erosi, dan
tong-tong (Myceteria cinerea) masih ditemukan di hutan
merupakan habitat berbagai jenis fauna langka, antara
mangrove Segara Anakan. Unggas yang semakin langka
lain macan kumbang (Panthera pardus), landak (Hystrix
ini termasuk binatang dilindungi, namun penangkapan
brachyura), trenggiling (Manis javanica), ular sanca
burung masih terus berlangsung, baik ditangkap hidup-
(Python sp), dan berbagai jenis burung seperti rangkong
hidup untuk dijual di pasar burung, ataupun dibunuh
(Buceros sp). Di pulau ini telah berdiri empat kawasan
untuk dimakan dagingnya. Pemburuan liar ini dapat
konservasi alam kecil, yaitu Cagar Alam (CA)
mengancam kelestarian kehidupan bangau tersebut.
Nusakambangan Barat (928 ha), CA Nusakambangan
Padahal upaya penangkaran seperti dilakukan Perhutani
Timur (277 ha), CA Wijayakusuma (1 ha), dan CA
di Wana Wisata Hutan Mangrove Tritih Kulon, Cilacap
Karangbolong (0,5 ha) yang telah ditetapkan statusnya
masih jauh dari berhasil (Suara Pembaruan, 25/11/2001;
sejak jaman penjajahan Belanda (Sinar Harapan,
Segara Anakan, 1998). Di samping itu, kawasan Segara
11/1/2003).
Anakan juga menjadi tempat perlindungan burung
Hutan mangrove Segara Anakan di sebelah utara
migran dari Asia, antara lain trinil (Tringa stagnita),
Nusakambangan merupakan ekosistem mangrove
grajakan (Numentus spp), dan cerek (Charadrius
terluas di Jawa. Ekosistem mangrove merupakan salah
javanicum) (Nurwanto, 2001).
satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi
di daerah tropis. Flora tumbuhan mangrove di Indonesia
terdiri dari 47 spesies pohon, 5 spesies semak, 9 spesies
herba dan rumput, 29 spesies epifit dan 2 spesies KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE SEGARA
parasit, di samping beberapa spesies algae dan ANAKAN
bryophyta (Anonim, 1997). Di Segara Anakan terdapat
27 spesies tumbuhan mangrove, terdiri dari 13 spesies Indikasi kerusakan ekosistem hutan mangrove
mayor, 8 spesies minor, dan 6 spesies tumbuhan secara sederhana dapat diukur dari penurunan luas
asosiasi (Setyawan dkk., 2002). Jenis pohon mangrove hutan. Penurunan luas terjadi oleh karena memang
yang mudah ditemukan adalah Rhizophora apiculata, secara fisik tidak memungkinkan lagi berkembangnya
Bruguiera gymnorrhiza, and Aegiceras corniculatum, tumbuhan mangrove, misalnya akibat sedimentasi yang
sedangkan Avicennia, Sonneratia banyak dijumpai
123

tinggi dan abrasi, atau perubahan fisik lahan akibat Sedimentasi merupakan masalah utama yang
intervensi manusia (Buana Katulistiwa, 2002). mengancam kelestarian laguna dan hutan mangrove
Luas hutan mangrove Segara Anakan terus Segara Anakan. Di samping itu terdapat pula ancaman
berkurang. Pada saat ini luasnya diperkirakan tinggal lain seperti penebangan hutan, pertambakan, dan
1.800 ha (Republika, 24/03/2001) atau bahkan tinggal berkembangnya desa-desa yang membutuhkan sarana
1.125 ha (Pikiran Rakyat, 1/5/2002), sedangkan pada dan prasarana kehidupan (Dudley, 2000), hingga muncul
tahun 1942 masih 22.512 ha (Suara Pembauran, usulan untuk membatasi jumlah penduduk Segara
25/8/2002). Di sisi lain luas laguna Segara Anakan juga Anakan (Suara Merdeka, 4/7/2001). Jumlah ideal
terus menyusut. Pada tahun 1903 luasnya 6.450 ha, dan penduduk pada kawasan pemukiman berkisar 80-150
pada tahun 2000 diperkirakan luasnya tingga 600 ha jiwa/ha (Suara Merdeka, 26/5/2001).
(Gambar 1.) (ECI, 1994), citra satelit pada bulan Sedimentasi merupakan syarat utama terbentuknya
September 2002 menunjukkan luasnya tinggal 550 ha ekosistem mangrove, di samping perlindungan dari
(Kompas, 21/12/2002). Sedimentasi tidak hanya ombak, masukan air tawar, aliran air pasang surut, dan
mempersempit luas laguna namun juga membuatnya suhu yang hangat (Walsh, 1974). Namun sedimentasi di
dangkal, pada tahun 1903 kedalaman laguna mencapai Segara Anakan secara serius mengancam eksistensi
30-40 m, namun pada tahun 2002 umumnya tinggal 0,5- kawasan mangrove. Sifat lagunanya yang tertutup,
1 m (Pikiran Rakyat, 7/11/2002; Suara Pembaruan, dimana muara sungai tidak langsung terhubung dengan
9/4/2002). laut bebas, menyebabkan sejumlah besar sedimen
didepositkan dalam laguna. Sungai Citanduy membawa
sejumlah besar lumpur erosi dari daerah hulu dan
diendapkan di dalam laguna (Wirjodarmodjo dkk., 1978).
Setiap tahun sungai Citanduy dan Cimeneng/
3
Cikonde masing-masing mengangkut 5 juta m dan
770.000 m3 sedimen, dimana 740.000 m3 dan 260.000
3
m di antaranya diendapkan di Segara Anakan (ECI,
1994). Pelumpuran ini menyebabkan menjoroknya
daratan antara 17-30 m per tahun. Tanpa upaya yang
berarti untuk mengatasinya, dalam jangka panjang
ekosistem mangrove akan berubah menjadi ekosistem
daratan, dengan jenis komponen biotik (flora dan fauna)
yang berbeda (Tjitrosoepomo, 1981). Sehingga tidak
hanya mempengaruhi komunitas alami dan habitatnya,
namun juga mempengaruhi kultur masyarakat Kampung
Laut (Hardoyo, 1982). Hal ini sudah terbukti dengan
perubahan konstruksi rumah penduduk, dimana rumah-
rumah penduduk yang sebagian besar nelayan semula
merupakan rumah panggung di atas permukaan laut,
namun kini sebagian besar sudah berubah menjadi
rumah tembok di daratan (Pikiran Rakyat, 22/1/2001).
Sedimentasi menyebabkan berbagai permasalahan,
seperti turunnya pendapatan nelayan yang merupakan
pekerjaan sebagian besar penduduk (70-87,5%, tahun
1987), diubahnya area mangrove menjadi areal
pertanian, munculnya konflik kepentingan antara
penduduk setempat dengan Perhutani mengenai
penggunaan tanah timbul, dan terancamnya Segara
Anakan sebagai tempat pembibitan perikanan lepas
pantai (Brotosusilo, 1988; Budihardjo, 1988).
Bertambahnya daratan juga menimbulkan sengketa
antara Perhutani yang ingin mempertahankannya
sebagai hutan dan pemerintah daerah yang ingin
mengubahnya menjadi lahan budidaya (Yudho, 1988).
Perubahan ekosistem perairan menjadi daratan
mendorong penduduk untuk mengubah mata
pencaharian dari nelayan menjadi petani (Brotosusilo,
1988), termasuk merambah hutan untuk mengambil kayu
dan dijual sebagai kayu bakar atau arang. Meskipun
mereka menyadari hal ini akan menurunkan produktivitas
ikan dan udang (Republika, 24/03/2001). Pada tahun
2002 saja, untuk merestorasi hutan mangrove seluas
202,5 ha yang rusak akibat penebangan dan
pertambakan, serta memelihara 700 ha hutan yang
terancam rusak, diperlukan 470.575 berbagai jenis bibit
mangrove (Pikiran Rakyat, 3/8/2002). Pada masa lalu
Gambar 1. Penurunan luas laguna Segara Anakan 1903-2000
banyak digunakan Bruguiera gymnorrhiza dan
(ECI, 1994).
124

Rhizophora mucronata sebagai pohon penghijauan PENYUDETAN SUNGAI CITANDUY


(Haditenojo dan Abbas, 1982; Moeljono, 1982).
Kebanyakan peneliti meyakini adanya hubungan Sungai Citanduy berasal dari mata air di Gunung
positif antara besarnya hasil tangkapan ikan, udang dan Cakrabuana (1.921 m dpl), dengan luas daerah aliran
biota laut komersial lainnya dengan kondisi ekosistem sungai sekitar 279.830 ha, dimana hampir 70% berbukit-
mangrove di wilayah pesisir, dimana semakin luas hutan bukit. Jumlah penduduk kawasan ini lebih dari 2 juta jiwa
mangrove maka semakin banyak udang yang tertangkap 2
dengan kepadatan 704 orang per km DAS Citanduy
(Kompas, 18/4/2002; Sukartika, 1980). Hal ini hulu, semakin kritis dengan semakin sedikitnya lahan
dikarenakan ekosistem mangrove dapat menangkap berhutan dan intensifnya eksploitasi lahan. Kawasan ini
bahan organik sehingga memiliki produktivitas tinggi mencakup enam kabupaten, yakni Garut, Tasikmalaya,
sebagai sumber pakan ikan, perairan mangrove yang Ciamis, Majalengka, Kuningan, dan Cilacap, sehingga
keruh dapat menurunkan jarak pandang predator, serta harus dikelola secara adil dimana setiap wilayah memiliki
keanekaragaman struktur dan relung habitat mangrove hak dan kewajiban, serta integratif untuk
menyediakan ruang yang luas untuk beragam spesies. mengakomodasi kemungkinan konflik kepentingan antar
Jumlah hasil tangkapan perikanan komersial juga sangat wilayah. Di Jawa Barat, Citanduy hulu merupakan salah
dipengaruhi oleh kondisi geografi lokasi penangkapan, satu daerah aliran sungai yang mendapat prioritas untuk
luas penutupan mangrove, luas wilayah pesisir, panjang ditangani karena tingginya tingkat erosi, sedimentasi,
garis pantai, luas area pasang surut, karakter sungai, dan sampah. Sedimentasi dari Citanduy merupakan
dan masukan bahan organik (Haroen, 2002). penyebab utama atau 70% penyempitan laguna Segara
Kerusakan hutan mangrove menyebabkan mero- Anakan, tingkat erosinya mencapai 19,15 mm/tahun
sotnya nilai potensi ekonomi Segara Anakan, karena (Kompas, 25/1/2001).
berkurangnya tempat pemijahan udang, ikan dan biota Untuk mengurangi laju sedimentasi, serta menye-
lain yang bernilai ekonomi tinggi. Nilai total ekonomi lamatkan laguna dan ekosistem mangrove Segara
ekosistem mangrove Segara Anakan sebesar Rp. Anakan, pada tahun 1996 Pemerintah Indonesia dengan
140.880.427.700 per tahun atau Rp. 8.188.980 per dana hutang dari Bank Pembangunan Asia (Asian
hektar per tahun, dimana sebagian besar berupa Development Bank; ADB) menggelar proyek konservasi
sumberdaya alam perairan (Paryono dkk., 1999). dan pembangunan Segara Anakan (SACDP) selama
Penelitian pada tahun 1999-2000 menunjukkan 8% ikan lima tahun (1997-2002). Pekerjaan ini terdiri dari tiga
dan 34% udang yang ditangkap nelayan di perairan komponen. Komponen A meliputi: penyudetan sungai
pantai Cilacap dan Ciamis menetas dan dibesarkan di Citanduy kurang lebih 3 km, penyudetan sungai
Segara Anakan, angka ini senilai Rp. 62 milyar per tahun Cimeneng kurang lebih 8 km, pengerukan Segara
(Dudley, 2000). Rusaknya lingkungan di Segara Anakan Anakan sekitar 600 ha, dan normalisasi sungai di DAS
mengancam nasib sekitar 22.000 nelayan (Pikiran Segara Anakan kurang lebih 20 km. Komponen B berupa
Rakyat, 1/5/2002). pembangunan desa yang meliputi: rehabilitasi hutan
Sedimentasi tidak hanya menimbulkan kerugian mangrove rakyat seluas 1125 ha, pengelolaan hutan
material namun juga menyebabkan kematian akibat mangrove rakyat seluas 5.000 ha, pembuatan
bencana banjir (Kompas, 30/10/2001). Faktor utama percontohan akuakultur seluas 20 ha, perbaikan
penyebab banjir adalah melimpahnya curah hujan, prasarana desa (jalan, air minum, kantor desa, dan lain-
hingga tidak dapat diserap tanah dan tidak dapat lain), konservasi tanah dan pengendalian erosi seluas
ditampung sungai-sungai (Buana Katulistiwa, 2002). 5.000 ha di DAS Cimeneng. Komponen C berupa
Sedimentasi menyebabkan laguna Segara Anakan pelaksanaan dan pengawasan proyek yang meliputi:
menyempit, dangkal, dan menaikkan dasar sungai pengelolaan administrasi dan program pembangunan
terutama di kawasan muara, sehingga daya tampungnya desa, pelaksanaan dan pengawasan program di laguna
berkurang. Akibatnya dataran di sepanjang tepian Segara Anakan, persiapan dan administrasi pelatihan
sungai-sungai yang bermuara di Segara Anakan menjadi dan kepedulian masyarakat, orthophoto, survey
langganan bajir rutin setiap musim hujan (Suara kepemilikan tanah, dan pembuatan foto udara (Pikiran
Pembaruan, 26/5/2002; Mitra Bisnis, 11/2001; Kompas, Rakyat, 20/11/2002; Akar, 2001). ADB menyediakan
30/10/2001; ). 60% kebutuhan dana, sebesar US$ 76.89 juta,
Kepadatan penduduk di daerah aliran sungai (DAS) sedangkan pemerintah Indonesia menyediakan sisanya
menyebabkan besarnya permintaan akan sumberdaya, (ADB News Release, 1996).
sehingga ekosistem alami diubah menjadi lahan
pemukiman, pertanian, usaha, jalan dan lain-lain, Sejarah penyudetan
akibatnya terjadi penurunan kemampuan tanah dalam Sejarah pengelolaan laguna Segara Anakan dapat
menyerap air. Kegiatan yang paling serius menyebabkan dirujuk dari studi de Haan pada tahun 1865 yang
terjadinya banjir adalah penggundulan hutan, baik oleh menyatakan perlunya menciptakan sebuah reservasi
pencuri kayu dan perambah hutan ataupun oleh aparat hutan mangrove untuk menjamin ketersediaan kayu bagi
Perhutani dengan dalih penjarangan tanaman. Hal ini penduduk Segara Anakan. Studi lebih lanjut
terbukti pada kasus banjir besar pada bulan Oktober menunjukkan sedimentasi yang tinggi di laguna
2000 di Cilacap (Buana Katulistiwa, 2002; Kompas, berpotensi mengubah ekosistem mangrove menjadi
21/03/01). Penyudetan sungai Citanduy dan ekosistem terestrial, sehingga masyarakat harus berganti
Cimeneng/Cikonde diperkirakan dapat mengurangi banjir profesi dari nelayan menjadi petani. Hal ini menginspirasi
di Kecamatan Kawunganten, Sidareja, dan Patimuan, Blommenstain untuk mengubah tanah timbul menjadi
Kabupaten Cilacap, serta di Kecamatan Kalipucang, areal pertanian. Bahkan untuk mempercepat
Padaherang, dan Lakbok, Kabupaten Ciamis (Suara sedimentasi, pada tahun 1972 PT Indah Karya
Pembaruan, 6/7/2002; 26/5/2002; Mitra Bisnis, 11/2001). menyarankan pelurusan aliran sungai Citanduy ke
125

laguna Segara Anakan melalui kanal Nusawulung. Citanduy menjadi masalah paling kontroversial (Pikiran
Namun pada tahun 1975, ECI memberi rekomendasi Rakyat, 20/11/2002; Berita KAI, 14/8/2002; Akar, 2001).
bahwa reklamasi laguna menyebabkan ketidakpastian Setelah uji kelayakan, pemerintah dalam hal ini
penghidupan nelayan, sebaliknya menyarankan Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah
peningkatan usaha nelayan tradisional menjadi nelayan (Depkimpraswil) tampaknya bermaksud segera me-
modern, dengan mengembangkan laguna sebagai laksanakan proyek tersebut. Sungai Citanduy yang
sumber pemijahan biota akuatik. Tetapi lembaga ini juga bermuara di Segara Anakan, dekat ujung barat Pulau
melaporkan adanya percepatan sedimentasi di laguna Nusakambangan, di wilayah Kabupaten Cilacap, akan
melebihi perkiraan semula (Pikiran Rakyat, 20/11/2002; dibuatkan kanal sejauh 3 km ke laut selatan, sehingga
ECI, 1975). alirannya langsung masuk ke perairan laut Nusawere di
Kajian ECI ditindaklanjuti dengan penyusunan sebelah timur Pangandaran, Kabupaten Ciamis.
rencana pengembangan DAS Citanduy secara integral Program ini mendapat tantangan warga Pangandaran,
dengan tujuan mengendalikan banjir, irigasi pertanian, yang umumnya hidup sebagai nelayan dan pelaku
serta konservasi daerah hulu dan hilir Segara Anakan. pariwisata. Mereka mendesak Pemerintah Kabupaten
Pada tahun 1979, ECI melakukan studi kelayakan irigasi Ciamis untuk mencabut persetujuan yang pernah
Citanduy hilir, diikuti pelaksanaan konstruksi irigasi diberikan kepada pemerintah pusat terhadap proyek
Sidareja-Cihaur pada tahun 1982 yang diperluas pada penyudetan tersebut (Media Indonesia, 29/8/2002; Mitra
tahun 1993. Pada tahun 1980, LIPI melakukan penelitian Bisnis, 11/2001).
ekologi ekosistem Segara Anakan, beserta beberapa Kegiatan proyek ini menimbulkan keragu-raguan di
aspek lainnya dengan memfokuskan pada manajemen kalangan masyarakat Pangandaran, karena khawatir
sumber daya kelautan (Pikiran Rakyat, 20/11/2002). nutrien yang dibawa sungai Citanduy akan langsung
Hasil kajian menarik perhatian ADB antara lain dengan terbuang ke laut, terjadi perubahan salinitas di Segara
membiayai proyek pemantauan dan rencana Anakan yang mengganggu keanekaragaman hayati dan
penggunaan optimal periode 1981-1985. Kegiatan yang memusnahkan tempat pemijahan berbagai jenis biota
dianggap layak adalah pengerukan sedimen, serta laut, bertumpuknya lumpur dan sampah di pantai
pembentukan area pertanian dengan menaikkan daratan Pangandaran, serta terjadinya banjir di daratan rendah
dan meningkatkan pembilasan (Ludwig, 1985). Pada pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau
tahun 1987 kembali ADB membiayai studi rencana (Pikiran Rakyat, 20/11/2002; Mitra Bisnis, 11/2001).
pekerjaan umum (ECI, 1987) yang hasilnya menarik Sebelumnya permasalahan hilangnya nutrien dan
minat pemerintah Amerika Serikat untuk membiayai studi berubahnya salinitas telah disinggung dalam laporan ECI
rencana manajemen terpadu Segara Anakan oleh (1994) yang menjadi dasar ADB membiayai proyek
ICLARM (International Center for Living Aquatic penyudetan ini. Laporan tersebut meyakinkan bahwa
Resources Management) yang diselesaikan pada 1988 penyudetan tidak akan mempengaruhi daur nutrien pada
(Pikiran Rakyat, 20/11/2002). ekosistem mangrove, suatu hal yang menimbulkan
Berdasarkan studi ECI pada tahun 1994, Depar- pertanyaan mengingat daur nutrien pada ekosistem
temen Pekerjaan Umum dan ADB mengusulkan mangrove sangat dipengaruhi masukan dari sungai dan
beberapa alternatif pengelolaan laguna Segara Anakan, laut. Selanjutnya laporan tersebut mengakui
diantaranya adalah tidak melakukan tindakan apapun, kemungkinan terjadinya peningkatan salinitas hingga tiga
mengeruk sedimen, membangun pintu gerak atau kali lipat, sehingga biota akuatik tertentu diperkirakan
bendungan di kanal barat, dan membangun sudetan tidak akan bertahan hidup. Namun dari segi akuakultur,
sungai Citanduy (Pikiran Rakyat, 20/11/2002; ECI, hal ini dapat di atasi dengan didatangkannya spesies
1994). Usul penyudetan sungai Citanduy semakin bernilai ekonomi yang tahan salinitas dari luar, misalnya
mengkristal dengan adanya pertemuan antara dengan membuat tambak udang (Pudjiastuti dan Siregar,
Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Pekerjaan 2002).
Umum, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen
Kehakiman dengan ADB, perguruan tinggi, dan Potensi konflik
pemerintah daerah setempat yang menyepakati perlunya Permasalahan lingkungan merupakan salah satu
upaya penyelamatan Segara Anakan. Sasaran adalah problem besar yang akan muncul dalam penerapan
upaya konservasi areal seluas 12.000 ha meliputi laguna otonomi daerah, terutama apabila otonomi diartikan
(1.800 ha), hutan mangrove (5.200 ha), dan tanah secara sempit. Lingkungan hidup sebagai ruang interaksi
daratan (5.000 ha). antara sesama makhluk hidup dan dengan makhluk tidak
Fokus pekerjaannya meliputi: penanganan penyebab hidup, tidak mengenal batas wilayah. Kasus penyudetan
sedimentasi pada daerah aliran sungai dengan metode sungai Citanduy merupakan konflik lingkungan terbesar
agroteknik, yaitu perbaikan lahan, penghijauan, dan yang muncul pada awal penerapan otonomi daerah,
pengaturan sedimentasi, pengalihan sedimen yang yang implikasinya dapat menimbulkan benih-benih
masuk ke laguna sebelum agroteknik efektif, pengerukan perselisihan menuju krisis sosial. Di satu sisi pemerintah
sedimen di laguna, dan penanganan aspek sosial. Kabupaten Cilacap bermaksud melakukan penyudetan
Hasilnya pada tahun 1995-1997 dilakukan pengerukan untuk menyelamatkan Segara Anakan dari
sedimen untuk menjamin tempat tumbuh vegetasi pendangkalan akibat sedimentasi sungai Citanduy yang
mangrove dan mencegah penyempitan laguna (Pikiran utamanya berasal dari Kabupaten Ciamis. Di sisi lain
Rakyat, 20/11/2002). Selanjutnya pada tahun 1996, upaya ini mendapat tantangan keras dari anggota DPRD
pemerintah dan ADB sepakat menggelar proyek Ciamis, warga dan LSM, karena dikhawatirkan akan
konservasi dan pembangunan Segara Anakan selama berdampak negatif terhadap lingkungan pantai
lima tahun dengan rencana kerja sebagaimana telah Pangandaran. Menanggapi keberatan ini Pemerintah
disebutkan di atas, dimana upaya penyudetan sungai Kabupaten Cilacap mengancam akan membendung
sungai tersebut di daerah Plawangan, ujung barat
126

Nusakambangan yaitu tempat bertemunya perairan Para pakar berkesimpulan bahwa penanganan
Segara Anakan dengan laut selatan (Pikiran Rakyat, sedimentasi di Segara Anakan dengan atau tanpa
17/5/2000). Jika penyudetan ini direalisasikan diduga penyudetan sungai Citanduy sama-sama mengandung
banyak nelayan dan pelaku wisata Pangandaran yang risiko, namun penanganan dengan penyudetan memiliki
menderita dan sebaliknya penduduk Segara Anakan risiko lebih kecil daripada tanpa penyudetan.
akan menikmati panen berlimpah dari hasil perikanan. Berdasarkan hasil kaji ulang yang pembahasan finalnya
Penyelesaian konflik lingkungan memerlukan telah dilaksanakan di Depkimpraswil (24/8/2001), maka
pemahaman yang mendalam secara keilmuan dan diputuskan untuk melanjutkan upaya penyudetan sungai
kemampuan analisis secara holistik (Media Indonesia, Citanduy. Untuk itu pemerintah dan ADB sepakat
9/6/2000). memperpanjang proyek hingga tahun 2004, selanjutnya
Benturan antara dua atau lebih wilayah akibat per- hal ini menunggu "lampu hijau" dari Pemerintah
soalan lingkungan harus diselesaikan dengan tetap Kabupaten dan DPRD Ciamis (Suara Merdeka,
berpegang pada prinsip-prinsip keadilan. Suatu wilayah 14/8/2002; Mitra Bisnis, 11/2001).
yang menjadi biang pencemaran di wilayah lain tidak
dapat menutup mata atas kerugian yang ditim- Terbentuknya ekosistem baru
bulkannya. Saling mengancam antara para elite politik Penyudetan sungai Citanduy dengan memindahkan
tidak menyelesaikan masalah, bahkan dapat muaranya dari laguna Segara Anakan langsung ke laut
menimbulkan persoalan baru yang melibatkan selatan dapat mengakibatkan terjadinya pelumpuran,
masyarakat banyak. Otonomi daerah bukan sarana pengeruhan, dan penumpukan sampah di kawasan
untuk membentuk tirani baru, namun suatu keberkahan pantai, serta menimbulkan banjir di sepanjang tepi kanal
sehingga perlu dipahami semangat di belakang sudetan. Di samping itu memungkinkan terbentuknya
kelahirannya. Para politisi tidak dapat menganggap ekosistem baru menggantikan ekosistem lama
ringan potensi berkembangnya konflik, karena khususnya terumbu karang yang banyak dijumpai di
dampaknya sangat dekat dengan persoalan disintegrasi sepanjang pantai, khususnya di CA Pananjung,
bangsa (Media Indonesia, 9/6/2000). Pangandaran. Dampak ekologis terbentuknya ekosistem
Upaya konservasi dan pengembangan Segara baru ini sulit diprediksi dan diperkirakan akan
Anakan secara integratif sebagaimana direncanakan memunculkan permasalahan sosial baru pula (Suara
harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh tidak Pembaruan, 25/8/2002; Sinar Harapan, 11/3/2002;
menggunakan pendekatan proyek sebagaimana umum Republika, 16/1/2002; Mitra Bisnis, 11/2001).
dilakukan pada masa lalu. Konsep tersebut perlu Perubahan pola aliran sungai menyebabkan arus
dipadukan antara Kabupaten Ciamis dan Cilacap balik ombak dan arus pasang surut laut selatan, lambat
sehingga tidak mewariskan masalah bagi pemerintahan laun dapat menyebabkan pendangkalan di muara barat
selanjutnya (Republika, 16/1/2002). Kajian teknis dan Segara Anakan dan memungkinkan bersatunya Pulau
sosialisasi rencana harus diberikan secara jujur dan Jawa dengan Nusakambangan. Tertutupnya kanal barat
terbuka agar masyarakat dapat mempelajari dan di Plawangan ini dapat menyebabkan sedimen dari
mengantisipasi berbagai dampak yang dapat timbul, sungai Cibeureum, Palindukan, dan sungai-sungai lain
sehingga persetujuan masyarakat bukan merupakan yang tidak disudet dan tetap bermuara di Segara Anakan
hasil penggiringan opini, namun merupakan pemahaman akan tertahan dan tertimbun di dalam laguna, sehingga
atas kekurangan, kelebihan dan konsekuensi yang harus tetap menjadi ancama eksistensi Segara Anakan. Di
ditanggung apabila penyudetan dilaksanakan atau diba- samping itu gundulnya bukit-bukit di Nusakambangan
talkan (Sinar Harapan, 11/3/2002; Republika, akibat masuknya pendatang turut menyumbang pe-
16/1/2002;). Pelaksanaan penyudetan sungai Citanduy ningkatkan sedimentasi (Pikiran Rakyat, 23/11/2000).
tanpa melibatkan kesertaan masyarakat dapat
memunculkan gejolak yang pada akhirnya membuat Potensi sedimentasi dari Nusakambangan
proyek menjadi mubasir (Republika, 16/1/2002). Sampai tahun 1980-an, Nusakambangan masih
merupakan kawasan yang benar-benar tertutup. Akan
Kaji ulang tetapi sejalan dengan upaya pemanfaatan potensi
Tarik ulur upaya penyudetan menyebabkan rencana alamnya, berbagai aktivitas mulai dilakukan. Penam-
yang sedianya dilaksanakan pada tahun anggaran bangan batu kapur untuk keperluan pabrik semen diduga
1999/2000 ditunda dan dikaji ulang, khususnya oleh menjadi katalis utama masuknya manusia ke kawasan
pemerintah Kabupaten Ciamis. Sebelumnya pihak ini (Kompas, 24/2/2001). Pemukim pertama didatangkan
proyek Citanduy telah bekerja sama dengan para pakar pada tahun 1997, sebagai buruh tani oleh sebuah proyek
untuk meneliti segala kemungkinan yang dapat terjadi penanaman pisang cavendish yang gagal, yakni 400 KK
sebagai dampak penyudetan. Namun tingginya dari Banjarpatoman, Ciamis. Selanjutnya masuk
tantangan atas penyudetan tersebut menyebabkan pendatang lain hingga jumlahnya mencapai sekitar 900
pengkajian yang melibatkan para pakar itu harus KK (Kompas, 29/5/2001; 24/2/2001; Akar, 2001).
dilaksanakan kembali. Kaji ulang dilakukan oleh tim Akibatnya sekitar 1.000 ha hutan lindung rusak parah
gabungan perguruan tinggi, di antaranya dari Institut karena pencurian kayu atau dikoversi menjadi ladang, di
Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Univer- luar kerusakan akibat penambangan batu kapur (Suara
sitas Padjadjaran, dan Universitas Galuh. Dengan kaji Merdeka, 8/5/2000; Kompas, 9/8/2000; 29/5/2001;
ulang diharapkan dapat diperoleh hasil yang obyektif dan 22/6/2002).
komprehensif, termasuk kemungkinan ditemukannya Para pendatang seringkali menanami lahan miring
alternatif baru agar sedimen dari sungai Citanduy yang tanpa pembuatan teras, sehingga menyebabkan
masuk ke perairan Segara Anakan dapat ditekan (Suara terjadinya erosi. Penertiban pendatang pernah dilakukan
Merdeka, 14/8/2002; Suara Pembaruan, 26/5/2002; pada bulan Januari-Pebruari 2001, namun pada bulan
Kompas, 11/5/2001; Pikiran Rakyat, 22/1/2001).
127

Juni 2001 mereka kembali datang (Suara Merdeka, pemilik jaring apung dan pemilik tanah pendatang yang
16/6/2001; Akar, 2001), bahkan kembali mencapai meminta harga ganti jauh di atas nilai jual obyek pajak
sekitar 300 KK pada awal tahun 2002 (Suara Merdeka, (NJOP) (Pikiran Rakyat, 12/3/2002; 1/5/2002; Sinar
28/3/2002). Kehadiran pendatang yang cenderung Harapan, 1/5/2002). Misalnya seorang pengusaha yang
dibiarkan mendorong penduduk asli ikut menjamah menguasai tanah seluas 125 ha meminta agar seluruh
hutan Nusakambangan, terlebih sedimentasi telah tanahnya dibebaskan dengan harga jauh di atas NJOP,
menyatukan kampung mereka dengan pulau tersebut sedangkan proyek hanya memerlukan 25 ha tanahnya
seperti di Lempong Pucung (Suara Hidayatullah, 5/1999) (Mitra Bisnis, 11/2001).
dan Klaces (Kompas, 21/12/2002). Sehingga semakin Berlarut-larutnya upaya penyudetan sungai ini
meningkatkan sedimentasi dari sisi selatan laguna menyebabkan ADB selaku lembaga donor mengancam
Segara Anakan. untuk menarik pinjamannya (Pikiran Rakyat, 12/3/2002),
sebaliknya pemerintah Indonesia tetap diwajibkan
Tidak ada jaminan terhentinya sedimentasi membayar biaya komitmen atas janji hutang tersebut
Hingga kini tidak ada jaminan bahwa pelumpuran di (Jawa Pos, 22/10/2002). Proyek konservasi lingkungan
Segara Anakan akan terhenti setelah muara sungai demikian selayaknya didanai dengan hibah bukannya
Citanduy dan Cimeneng dialihkan ke laut selatan, dana hutang (Suara Pembauran, 25/8/2002; Media
mengingat tingginya arus degradasi hutan Nusa- Indonesia, 29/8/2002), sebagaimana jargon hutang
kambangan dan adanya pelumpuran dari sungai-sungai ditukar lingkungan (environtmental debt swap).
kecil lain, meskipun tidak sebesar kedua sungai tersebut
(Republika, 16/1/2002). Di samping itu sudetan dapat Penghijauan dan pengerukan
patah oleh proses geologi yang belum ditelaah, sehingga Penyudetan sungai Citanduy bukan merupakan satu-
tidak menyelesaikan masalah bahkan sebaliknya satunya cara untuk mengurangi pelumpuran di Segara
menimbulkan permasalahan baru, seperti terhentinya Anakan. Pembenahan lingkungan daerah aliran sungai,
pasokan air tawar di Majingklak, terputusnya transportasi penghijauan, dan pengerukan sedimen secara rutin
air sungai dari Kalipucang-Majingklak, dan terjadinya diharapkan dapat mengurangi laju sedimentasi (Koran
perebutan lahan bekas hutan mangrove (Sinar Harapan, Tempo, 6/6/2002; Suara Pembauran, 25/8/2002; Media
11/1/2003). Indonesia, 29/8/2002). Namun dalam prakteknya
Dalam hal ini alasan penolakan masyarakat, LSM, penghijauan sulit dilaksanakan, mengingat kawasan hulu
dan DPRD Ciamis memiliki pembenaran yang kuat. sungai-sungai yang bermuara di Segara Anakan
Bahkan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin umumnya merupakan tanah milik pribadi. Para petani
Dahuri yang pernah menjadi tim konsultan pada proyek yang kebanyakan juga miskin, menanaminya dengan
konservasi dan pembangunan Segara Anakan juga tanaman pangan yang lebih cepat dipanen dari pada
berpendapat penyudetan tersebut kurang tepat karena tanaman tahunan yang lebih bernilai konservasi (Akar,
hanya mengalihkan permasalahan lama ke 2001). Di sisi lain tanpa pembenahan dan penghijauan di
permasalahan baru. Proyek sudetan tidak akan efektif, daerah aliran sungai, maka upaya pengeruhan sedimen
kecuali secara teknis tidak berdampak negatif pada dapat dipastikan tidak efektif, mengingat tidak diputusnya
ekosistem (Suara Pembauran, 25/8/2002). sumber pelumpuran. Sebagai jalan pintas yang segera
Akan tetapi pada bulan Juli 2002 pejabat dapat dilihat hasilnya adalah dibuatnya kanal
Depkimpraswil kembali menetapkan jadwal rencana penyudetan. Adapun upaya pembenahan dan
penyudetan sungai Citanduy yang akan dimulai pada penghijauan harus tetap dilakukan.
bulan September 2002, dengan alasan pembebasan Untuk kawasan sempadan sungai sebenarnya telah
tanah dan kekhawatiran terhadap dampak negatif proyek dibuat aturan perlindungan, yakni Keppres No. 20 Tahun
tersebut telah dapat diatasi (Suara Pembaruan, 1990, yang menyatakan bahwa di sepanjang sungai
6/7/2002). Namun sebulan kemudian ribuan nelayan dan besar harus dibuat sabuk hijau (green belt) selebar 100
warga Pangandaran kembali menyatakan keberatannya m di sebelah kanan sungai dan 60 m di sebelah kiri
dengan mendatangi kantor Gubernur Jawa Barat (Media sungai yang harus ditanami aneka jenis pohon (Suara
Indonesia, 29/8/2002). Pembauran, 25/8/2002). Namun luasan ini tampaknya
Penyelamatan Segara Anakan merupakan komitmen terlalu sempit untuk daerah aliran sungai Citanduy dan
nasional (Kompas, 5/10/2002). Dalam Rakorbangnas 22 sungai-sungai lain yang bermuara di Segara Anakan. Di
Oktober 2002 dinyatakan bahwa permasalahan sudetan kawasan Segara Anakan, jalur hijau yang mutlak harus
sungai Citanduy dan pendangkalan Segara Anakan dilindungi terdiri dari sempadan laguna seluas 101,64 ha,
masih terus diupayakan untuk diselesaikan bersama sempadan sungai seluas 2.095 ha, sempadan pantai
antara Pemerintah Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah Nusakambangan seluas 5.674,08 ha, hutan mangrove
dan Pemerintah Pusat c.q. Depkimpraswil, sehingga seluas 2.769,11 ha, dan hujan tropis dataran rendah di
babak akhir kelanjutan penyudetan ini masih ditunggu- Nusakambangan seluas 9.939,30 ha (suara Merdeka,
tunggu. Banyaknya kepentingan yang turut ambil bagian 26/5/2001).
tampaknya menjadi penyebab tertunda-tundanya
rencana penyudetan tersebut (Suara Merdeka,
14/8/2002). PENUTUP

Hambatan lain Uraian di atas menunjukkan upaya penyudetan


Di samping tekanan masyarakat Ciamis, terutama sungai Citanduy bagaikan buah simalakama, disudet
Pangandaran untuk membatalkan penyudetan sungai ataupun tidak disudet masing-masing memiliki kerugian
Citanduy, Cimeneng/Cikonde, dan sungai-sungai di dan kelebihan, meskipun secara umum – dari segi
sekitarnya, upaya ini juga mendapat hambatan dari para konservasi ekosistem mangrove – tampaknya upaya
128

penyudetan lebih memberikan harapan bagi ECI (Engineering Consultant Inc.). 1975. The Citanduy River Basin
Development Project Segara Anakan. Denver: Banjan.
perpanjangan umur ekosistem tersebut dari pada tanpa ECI. 1987. Segara Anakan Engineering Measurement Study. Jakarta:
penyudetan. Mengingat tanpa penyudetan hilangnya Ministry of Public Work.
laguna dan menciutnya ekosistem mangrove di Segara ECI. 1994. Segara Anakan Conservation and Development Project.
Anakan merupakan sebuah kepastian dan tinggal Jakarta: Asian Development Bank.
Ellison, A.M. and E.J. Farnsworth. 1996. Anthropogenic disturbance of
menunggu waktu. Caribbean mangrove ecosystems: past impacts, present trends, and
Sebenarnya dalam kultur masyarakat Ciamis selatan future predictions. Biotropica 24: 549–565.
terdapat pembenaran atas upaya penyudetan sungai ini, FAO. 1982. Managenet and Utilization of Mangrove in Asia and the
Pacific. Rome: FAO Environment Paper 3.
dimana petuah leluhur (uga kawasen) menyatakan Giesen, W. 1993. Indonesian mangroves: an update on remaining area
bahwa kelak kawasan Lakbok, Ciamis dan sekitarnya and main management issues. International Seminar on Coastal
akan subur makmur dan sejahtera, apabila sungai- Zone Mangement of Small Island Ecosystem, Ambon, 7-10 April
sungainya sudah bermuara ke selatan (Pikiran Rakyat, 1993.
Haditenojo, P.S. dan T.S. Abbas. 1982. Pengalaman pengelolaan hutan
11/10/2002). Namun pendekatan kultural tampaknya mangrove di Cilacap. Seminar II Ekosistem Mangrove, Baturraden,
diabaikan pelaksana proyek, yang lebih mementingkan 3-5 Agustus 1982.
aspek teknis dan mengabaikan aspek nonteknis. Hamilton, L.S. and S.C. Snedaker. 1984. Handbook for Mangrove Area
Management. Honolulu: Environment and Policy Institute, East-West
Pelibatan masyarakat dan pihak-pihak terkait Center.
(stakeholders) dalam perencanaan, dapat menghasilkan Hardoyo, S.R. 1982. The Kampung Laut of the Segara Anakan: A study
proyek yang lebih sesuai dengan kepentingan of socio-economic problems. In Bird, E.C.F., A. Soegiarto, and K. A.
masyarakat, karena masyarakat yang membiayai, Soegiarto (eds.). Workshop on Coastal Resources Management in
the Cilacap Region. Jakarta: Indonesian Institute of Sciences and
memanfaatkan dan menanggung risiko apabila terjadi the United Nations University.
kegagalan (Suara Publik, 2002). Harjosuwarno, S. 1978. Aspek sosial ekonomi hutan mangrove Cilacap.
Sebagai suatu tata lingkungan, kawasan laguna, Seminar I Ekosistem Mangrove Jakarta 27 Pebruari – 1 Maret 1978.
Haroen, Z.A. 2002. Konsiderasi Komunitas dalam Perlindungan dan
hutan mangrove Segara Anakan, dan hutan Nusa- Rehabilitasi Mangrove; Suatu Filosofi. Program Pasca Sarjana:
kambangan perlu dikelola menurut perencanaan Institut Pertanian Bogor.
terpadu, baik dalam aras manajemen konservasi Howe, C.P., G.F. Claride, R. Hughes, and Zuwendra. 1992. Manual of
maupun administrasi antar pemerintah daerah, Guideline for Scoping EIA in Indonesia Wetland. Second edition.
PHPA/AWB Sumatra Wetland Project No. 6B. Jakarta: Directorat
masyarakat maupun pihak-pihak terkait lainnya sehingga General of Forest Protection and Nature Conservation-Asian
terjadi keselarasan dalam upaya perlindungan, penelitian Wetland Bureau Indonesia
dan pemanfaatannya. Hussein, M.Z. 1995. Silviculture of mangroves. Unasylva 46: 36-42.
IPIECA. 1993a. Biological Impact of Oil Pollution: Mangroves. IPIECA
Report No. 4. London: International Petroleum Industry
Environmental Conservation Association.
Jawa Pos, 22/10/2002. Indonesia Dapat Kolaps.
Kedaulatan Rakyat, 27/9/2001. Pasca Penjarahan Hutan Jateng Selatan;
Lolos dari Mulut Buaya, Masuk Mulut Harimau.
DAFTAR PUSTAKA Knox, G.A. and T. Miyabara. 1984. Coastal Zone Resource Development
and Conservation in South East Asia, with special Refference to
ADB News Release. 1996. ADB lends US$ 45.6 million to Indonesia to Indonesia. Jakarta: UNESCO.
save Java ecosystem. ADB News Release No. 119/96, 17 Oktober Kompas, 11/5/2001, Dikaji Ulang, Proyek Konservasi Segara Anakan
1996. Kompas, 16/11/2002. Cilacap, Pusat Riset Ekosistem Tropis.
Akar. 2001. Konflik di Segara Anakan: kelalaian pemerintah Orde Baru, Kompas, 18/4/2002. Mangrove Hancur, Perikanan Terancam.
tantangan bagi pemerintah sekarang. Akar 2 (1): www. Kompas, 21/03/01. Hutan Jati Cilacap Dijarah Massa.
arupa.or.id/publications/akar2-1/konflik_di_segara_anakan. htm Kompas, 21/12/2002. Nusakambangan Menyatu dengan Kampung
Amin, E.M. dan T. Hariati. 1988 The capture fisheries of Segara Anakan, Klaces.
Indonesia. ASEAN/US Technical Workshop on Integrated Tropical Kompas, 22/6/2002. Hutan Nusakambangan Menjadi Incaran Pencuri.
Coastal Zone Management, Singapore, 28-31 October 1988. Kompas, 24/2/2001. Nusa Kambangan, Pulau Wisata atau Pusat Judi.
Anonim. 1997. National Strategy for Mangrove Management in Kompas, 25/1/2001. DAS Citanduy Hulu Semakin Kritis.
Indonesia. Volume 1: Strategy and Action Plan. Volume 2: Mangrove Kompas, 29/5/2001. Penduduk Liar Ancam Konservasi Air
in Indonesia Current Status. Jakarta: Office of the Minister of Nusakambangan.
Environment, Departement of Forestry, Indonesian Institute of Kompas, 30/10/2001. Banjir Melanda Berbagai Daerah; Di Cilacap Tiga
Science, Department of Home Affairs, and The Mangrove Orang Tewas
Foundation. Kompas, 5/10/2002. Penyelamatan Segara Anakan, Komitmen Nasional.
Anonim. 2001. Shoreline stabilization and storm protection. Wetland Kompas, 9/8/2000. 600 Kubik Kayu Nusakambangan Disita.
Values and Function. Gland: The Ramsar Bureau Koran Tempo, 6/6/2002. Penyedotan Citanduy Sebaiknya Diurungkan.
Bandaranayake, W.M. 1998. Traditional and medicinal uses of Lewis, R.R. 1990. Creation and restoration of coastal wetlands in Puerto
mangroves. Mangrove and Salt Marshes 2: 133-148. Rico and the US Virgin Islands. In Kusler J.A. and M.E. Kentula (ed.)
Berita KAI. 14/8/2002. Proyek Sudetan Citanduy Masih Kontroversi. Wetland Creation and Restoration: The Status of Science, Vol. I:
Brotosusilo, A. 1988. Social change in Segara Anakan-Cilacap, Regional Reviews. Washington: Island Press.
Indonesia. ASEAN/US Technical Workshop on Integrated Tropical Ludwig, E.H.F., 1985. Final Report of Consult Phase I Report Segara
Coastal Zone Management, Singapore, 28-31 October 1988 Anakan. Bandung: Segara Anakan Environtmental Monitoring and
Buana Katulistiwa. 2002. Beberapa Indikasi Terjadinya Degradasi Optimal Use Planning Project, IHE-ARD.
Lingkungan Hidup dan Kegiatan Masyarakat sebagai Faktor Manassrisuksi, K., M. Weir, and Y.A. Hussin. 2001. Assesment of
Pendorongnya di Indonesia. Depok: Buana Katulistiwa - NGO for mangrove rehabilitation programme using remote sensing and GIS:
Spatial Information, Jawa Barat, Indonesia a case study of Amphur Khlung, Chantaburi Province, Eastern
Budihardjo. 1988. Economic analysis of existing income sources of Thailand. 22nd Asian Conference on Remote Sensisng, Singapore 5-
Kampung Laut, Segara Anakan-Cilacap, Indonesia. ASEAN/US 9 November 2001.
Technical Workshop on Integrated Tropical Coastal Zone Media Indonesia, 29/8/2002. Pemprov Jabar Cari Solusi Soal sungai
Management, Singapore, 28-31 October 1988. Citanduy.
Dahdouh-Guebas, F., C. Mathenge, J.G. Kairo, and N. Koedam. 2000. Media Indonesia, 9/6/2000. Otonomi Daerah dan Konflik Lingkungan
Utilization of mangrove wood products around Mida Creek (Kenya) Mitra Bisnis. 11/2001. Segara Anakan Perlu Segera Diselamatkan,
among subsistence and commercial users. Economic Botany 54: Sudetan Sungai Citanduy Salah satu Solusinya
513–527. Moeljono, H.S. Pemilihan jenis pada rehabilitasi hutan payau Cilacap.
Departemen Kehutanan. 1994. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Duta Rimba 8 (52): 12-15.
Rehabilitasi (RTR) Daerah Pantai. Jakarta: Direktorat Jenderal Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (ed.). 2001. A Guide to Mangroves of
Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan. Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and
Dudley, R.G. 2000. Segara Anakan Fisheries Management Plant. Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science
Cilacap: Segara Anakan Conservation and Development Project. Centre.
129

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan. ASEAN/US Technical Workshop on Integrated Tropical Coastal
Nurwanto, Y.A. 2001. Keanekaragaman Vegetasi Hutan Mangrove di Zone Management, Singapore, 28-31 October 1988
Segara Anakan Cilacap. [Tesis]. Surakarta: Program Studi Ilmu Soeroyo dan S. Soemodihardjo. 1990. Tumbuhan gulma dan semai alami
Lingkungan, Program Pasca Sarjana, Universitas Sebelas Maret. di hutan mangrove Segara Anakan, Cilacap. Seminar IV Ekosistem
Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. Third Mangrove, Bandar Lampung, 7-9 Agustus 1990.
edition. New York: Harper Collins College Publishers. Spaninks, F. and P. van Beukering. 1997. Economic Valuation of
Ong, J.E. 2002. The hidden costs of mangrove services: use of Mangrove Ecosystems: Potential and Limitations. CREED Working
mangroves for shrimp aquaculture. International Science Round Paper No 14, July 1997. London and Amsterdam: International
Table for the Media, Bali Indonesia, 4 June 2002. Joint event of Institute for Environment and Development, and Institute for
ICSU, IGBP, IHDP, WCRP, DIVERSITAS and START. Environmental Studies.
Paryono, T.J., T. Kusumastanto, R. Dahuri dan D. G. Bengen. 1999. Suara Hidayatullah. 5/1999. Kampung "Pensiun" di Nusakambangan.
Kajian ekonomi pengelolaan tambak di kawasan mangrove Segara Suara Merdeka, 14/8/2002. Pro Kontra Sudetan Citanduy; Tertunda
Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Pesisir & Lautan 2 (3): akibat Banyak Kepentingan.
8-16. Suara Merdeka, 16/6/2001. Hutan Mangrove Dimodifikasi dengan Kayu
Pikiran Rakyat, 1/5/2002. Kawasan Segara Anakan dan Hutan Mangrove Putih.
Rusak Mafia Tanah Hambat Penyudetan Citanduy. Suara Merdeka, 16/6/2001. Penduduk Liar Rambah Nusakambangan
Pikiran Rakyat, 11/10/2002. Menyelamatkan Segara Anakan Citanduy Lagi.
Tak Perlu Disudet. Suara Merdeka, 26/5/2001. Segara Anakan Ditetapkan sebagai Kawasan
Pikiran Rakyat, 12/3/2002. Soal Pembebasan Tanah Segara Anakan. Lindung.
Pikiran Rakyat, 17/5/2000. Penyudetan sungai Citanduy. Suara Merdeka, 28/3/2002. Penduduk Liar di Nusakambangan Marak
Pikiran Rakyat, 20/11/2002. Di Balik Pro-Kontra Sudetan Citanduy Lagi.
Pikiran Rakyat, 22/1/2001. Dekan Fisip Unigal: Jangan Hanya Konsultasi Suara Merdeka, 4/7/2001. Penduduk Segara Anakan Harus Dibatasi.
Publik Proses Kajiulang Citanduy Harus Bersifat Teknis. Suara Merdeka, 8/52000. Polres Kejar Pencuri Kayu Nusakambangan.
Pikiran Rakyat, 23/11/2000. Disudet, Ekosistem Bisa Rusak, Akan Suara Pembaruan, 25/11/2001. Bangau Segara Anakan Kian Langka
Terjadi Pendangkalan di “Oulet” Segara Anakan Suara Pembaruan, 26/5/2002. Segara Anakan yang Terus Menyusut.
Pikiran Rakyat, 3/8/2002. Perlu 470.000 Bibit Mangrove. Suara Pembaruan, 6/7/2002. Proyek Sudetan Citanduy Dimulai
Pikiran Rakyat, 7/11/2002. Melihat Segara Anakan yang Nyaris Rusak September 2002.
Total; Pangandaran Menolak, Karanganyar Ancam Bendung Suara Pembaruan, 9/4/2002. Segara Anakan Kian Dangkal.
Citanduy. Suara Pembauran, 25/8/2002. Sudetan Laguna Segara Anakan Tak
Primavera, J.H. 1993. A critical review of shrimp pond culture in the Efektif .
Philippines. Reviews in Fisheries. Science 1 (2): 151-201 Suara Publik, 2002. Training Workshop Pelibatan Stakeholders da-lam
Pudjiastuti, S. and P.R. Siregar. 2002. The Citanduy River Diversion Proses Pengambilan Keputusan Pembangunan Prasarana
Project some critical thoughts. In Good Governance or Bad Sumberdaya Air; Melibatkan Stakeholder, Menggeser Paradigama
Mangement; An Overview of the ADB's Decision Making Processes Lama. Jakarta: LP3ES.
and Policies. Bangkok: Focus on the Global South, Chulalongkorn Sukardjo, S. 1989. The mangrove forests of Java and Bali (Indonesia).
University, Bangkok. Symposium on Mangrove Management. Biotrop Special Publication
Rakorbangnas. 2002. Notulensi Persidangan Hari Kedua Selasa, 22 No 37.
Oktober 2002. Jakarta: Kantor Menteri Negara Perencanaan Sukartika, B. 1980. Intensifikasi tumpangsari tambak di Cilacap. Kertas
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Kerja pada Lokakarya Pengalaman dengan Agroforestry di Jawa.
Nasional. Yogyakarta: UGM.
Republika, 23/7/2002. Kajian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove Tanaka, S., 1992. Bali Environment the Sustainable Mangrove Forest.
Mengejutkan. Jakarta: Development of Sustainable Mangrove Management
Republika, 24/03/2001. Hutan Mangrove di Cilacap Menyusut. Project.
Republika, 16/1/2002. Sudetan Citanduy: Menghitung Dampak Mengurai Terchunian, A., V. Klemas, A. Alvarez, B. Vasconez, and L. Guerrero.
Harapan 1986. Mangrove mapping in Ecuador: The impact of shrimp pond
Schweithelm, J. 1988. Watershed land use and coastal sedimentation: construction. Environmental Management 10: 345–350
the Citanduy/Segara Anakan system. ASEAN/US Technical Thom, B.G. 1967. Mangrove ecology and deltaic geomorphology:
Workshop on Integrated Tropical Coastal Zone Management, Tabasco, Mexico. Journal of Ecology 55: 301–343
Singapore, 28-31 October 1988. Tjitrosoepoma, G. 1981. Pembangunan wilayah pantai Cilacap. Paper
Segara Anakan. 1998. Introduction of the official home page of the presented at a panel discussion on urban and rural planning in
Segara Anakan Conservation and Development Project (SACDP), Semarang, Central Java.
Directorate General for Regional Development, Ministry of Home Tomlinson, C.B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge: Cambridge
Affairs, the Republic of Indonesia University Press.
http://members.tripod.com/~sacdp/intro.html Walsh, G.E. 1974. Mangroves: a review. In Reimold, R.J., and W.H.
Setyawan, A.D., A. Susilowati dan Wiryanto. 2002. Habitat reliks vegetasi Queen (ed.). Ecology of Halophytes. New York: Academic Press.
mangrove di pantai selatan Jawa. Biodiversitas 3 (2): 242-256. Wirjodarmodjo, H., Soeroso, dan B. Soekartiko. 1978. Pengelolaan hutan
Sinar Harapan, 1/5/2002. Akibat Sedimentasi, Segara Anakan payau Cilacap. Seminar I Ekosistem Mangrove Jakarta 27 Pebruari
Menyempit. – 1 Maret 1978.
Sinar Harapan, 11/1/2003. Mendesak, Konservasi Ekosistem Yudho, W. 1988. Local environment awareness and attitudes toward
Nusakambangan. coastal resources management in Segara Anakan-Cilacap,
Sinar Harapan, 11/3/2002. Pakar Lingkungan Tolak Proyek Sudetan Indonesia. ASEAN/US Technical Workshop on Integrated Tropical
sungai Citanduy. Coastal Zone Management, Singapore, 28-31 October 1988.
Soemodihardjo, S., Suroyo, Suyarso. 1988. The mangroves of Segara
Anakan: An assessment of their condition and prospects.
130

Tumpahan Minyak Bumi, Mitigasi dan Restorasinya

ABSTRACT Tumbuhan mangrove diperkirakan berasal dari Indo-


Malaysia, kawasan pusat biodiversitas mangrove dunia.
Ekosistem mangrove dicirikan oleh sejumlah komunitas Spesies ini terbawa arus laut ke seluruh pantai daerah
o
tumbuhan pantai tropis dan sub-tropis yang didominasi tropis dan subtropis dunia, pada garis lintang 25 LU s.d.
angiospermae berhabitus pohon dan semak, serta dapat o
25 LS, karena propagulnya dapat mengapung (Walsh,
menginvasi dan tumbuh di kawasan pasang surut dengan 1974; Tomlison, 1986). Sekitar sepertiga hutan
salinitas tinggi. Ekosistem ini bersifat unik dan langka karena mangrove dunia terdapat di Asia Tenggara (61.250 km2),
hanya menutupi 2% luas permukaan bumi. Indonesia
merupakan pemilik mangrove terluas di dunia, namun tingkat
dimana 42.550 km2 terdapat di Indonesia (Spalding et
keterancaman ekosistem ini relatif tinggi. Salah satu ancaman al., 1997). Ekosistem mangrove hanya mencakup 2%
terhadap ekosistem mangrove yang mendapat perhatian luas daratan bumi, sehingga secara global sangat langka dan
adalah tumpahnya minyak bumi, baik yang berasal dari fasilitas bernilai dalam konservasi (Ong, 2002). Ekosistem ini
pengeboran dan pengolahan minyak bumi maupun dari merupakan bagian dari wilayah pesisir, pertemuan darat
kecelakaan kapal tanker. Hal ini terjadi karena akibat yang dan laut, yang mencakup 8% permukaan bumi
ditimbulkannya bersifat massal dan berlangsung lama. Minyak (Birkeland, 1983; Ray dan McCormick, 1994; Clark,
bumi dapat menutupi pori-pori akar nafas dan terserap dalam 1996).
sedimen tanah, sehingga tumbuhan mangrove kekurangan
oksigen dan permeabilitas membran sel dalam menjaga
Ekosistem mangrove di Indonesia umumnya
salinitas tidak berfungsi. Pada saat ini terdapat beberapa cara terpencar-pencar dalam kelompok-kelompok kecil,
untuk mencegah masuknya tumpahan minyak bumi ke sebagian besar terletak di Irian (Papua). Di samping itu
ekosistem mangrove, antara lain mengambil tumpahan minyak ditemukan pula di Kalimantan, Sumatra, Jawa, Sulawesi,
langsung secara mekanis, baik dengan menyendok, menyedot, Maluku, dan Nusa Tenggara. Di Indonesia mangrove
menyerap atau cara lain, membakar dengan api, menggunakan tumbuh pada berbagai substrat seperti lumpur, pasir,
dispersan, dan bioremediasi. Di samping itu secara alamiah terumbu karang, dan kadang-kadang pada batuan,
angin dan ombak dapat pula mendispersikan minyak ke air laut. namun paling baik tumbuh di pantai berlumpur yang
Dua tahun setelah tumpahan minyak, kawasan mangrove baru
dapat direstorasi kembali dengan penanaman bibit atau
terlindung dari gelombang dan mendapat masukan air
rekruitmen alami. sungai (Soemodihardjo dan Ishemat, 1989). Keragaman
spesies pada setiap lokasi berbeda-beda, di seluruh
Key words: mangrove, oil spills, restoration, management, Java. Indonesia jumlah tumbuhan mangrove sekitar 47 spesies
(Anonim, 1997). Informasi lain menyatakan jumlahnya
sekitar 37 spesies (Soemodihardjo dan Ishemat, 1989)
atau 45 spesies (Spalding et al., 1997), dimana spesies
PENDAHULUAN utama berasal dari genera Avicennia, Rhizophora,
Sonneratia, Bruguiera, Ceriops, Excoecaria, Heritiera,
Hutan mangrove atau mangal adalah sejumlah Lumnitzera, Nypa, Xylocarpus, dan Aegiceras
komunitas tumbuhan pantai tropis dan sub-tropis yang (Soemodihardjo dan Sumardjani, 1994). Jumlah spesies
didominasi tumbuhan bunga terestrial berhabitus pohon tumbuhan mangrove di Indonesia masih diperdebatkan.
dan semak yang dapat menginvasi dan tumbuh di Jumlah yang sering diacu adalah 37 spesies
kawasan pasang surut dengan salinitas tinggi (MacNae, (Soemodihardjo dan Ishemat, 1989), 45 spesies
1968; Chapman, 1976; Tomlinson, 1986; Nybakken, (Spalding et al., 1997) atau 47 spesies (Anonim, 1997).
1993; Kitamura et al., 1997). Dalam bahasa Indonesia Hutan mangrove memiliki nilai sosial-ekonomi dan
hutan mangrove disebut juga hutan pasang surut, hutan ekologi sangat penting (Bennett dan Reynolds, 1993).
payau, rawa-rawa payau atau hutan bakau. Istilah yang Selama berabad-abad ekosistem mangrove memiliki nilai
sering digunakan adalah hutan mangrove atau hutan sosial-ekonomi berupa: kayu bangunan, kayu bakar,
bakau (Kartawinata, 1979). Namun untuk menghindari kayu lapis, bubur kertas, tiang telepon, tiang pancang,
kesalahan literasi dianjurkan penggunaan istilah bagan penangkap ikan, dermaga, bantalan kereta api,
mangrove karena bakau adalah nama generik anggota kayu untuk mebel dan kerajinan tangan, atap, tannin kulit
genus Rhizophora (Widodo, 1987).

Publikasi asli: Setyawan A.D. 2008. REVIEW: Pengaruh Tumpahan Minyak Bumi terhadap Ekosistem Mangrove, Upaya Mitigasi
dan Restorasinya. Ekosains 1 (1): 30-40.
131

kayu, bahan obat, gula, alkohol, asam asetat, protein ekskresi garam, serta secara taksonomi berbeda dengan
hewani, madu, karbohidrat hipokotil dan bahan pewarna tumbuhan darat setidaknya hingga tingkat genus.
(Hamilton dan Snedaker, 1984; IPIECA, 1993a; Mangrove minor pada dasarnya sama dengan mangrove
Spaninks dan Beukering, 1997; Bandaranayake, 1998; mayor, namun tidak mampu membentuk tegakan murni,
Dahdouh-Guebas et al., 2000; Manassrisuksi et al., sedangkan tumbuhan asosiasi adalah tumbuhan yang
2001; Ng dan Sivasothi, 2001; Ong, 2002). toleran terhadap salinitas dan dapat berinteraksi dengan
Mangrove memiliki fungsi ekologi yang tidak kalah mangrove mayor.
penting, antara lain untuk sekuestrasi karbon, menya-
ring dan menangkap bahan pencemar, menjaga Ciri-ciri tumbuhan mangrove
stabilitas pantai dari erosi, intrusi air laut, dan tekanan Tumbuhan mangrove berbentuk pohon dan semak
badai, membentuk daratan baru, menjaga kealamian dengan bentuk dan ukuran beragam. Semuanya
habitat, menjadi tempat bersarang, memijah dan termasuk dikotil kecuali Nypa fruticans. Acrostichum
membesarkan anak berbagai jenis ikan, udang, kerang, merupakan satu-satunya Pterydophyta di lingkungan
burung, dan fauna lain, serta memiliki fungsi sosial mangrove (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).
sebagai area konservasi, pendidikan, ekoturisme, dan Tumbuhan mangrove merupakan tumbuhan
identitas budaya (Thom, 1967; Tomlison, 1986; berpembuluh, dapat menggunakan air garam sebagai
Sukardjo, 1989; Howe et al., 1992; IPIECA, 1993a; sumber air, dengan adaptasi daun keras, tebal,
Tanaka, 1994; Spaninks dan Beukering, 1997; Anonim, mengkilat, sukulen, serta memiliki jaringan penyimpan air
2001b; Manassrisuksi et al., 2001; Ng dan Sivasothi, dan garam. Tumbuhan mangrove memiliki mekanisme
2001; Ong, 2002), namun nilai penting ekologi masih untuk mencegah masuknya sebagian besar garam ke
sering diabaikan (Coulter et al., 2001). dalam jaringan dan dapat mengekskresi atau
menyimpan kelebihan garam. Biji dapat mengapung
terbawa arus ke area yang luas dan dapat berkecambah
EKOSISTEM MANGROVE saat masih di pohon induk (vivipar), serta tumbuh
dengan cepat setelah jatuh dari pohon. Akar memiliki
struktur tertentu (pneumatofora) yang menyerap oksigen
Ekosistem mangrove terbentuk karena adanya
pada saat surut dan mencegah kelebihan air pada saat
perlindungan dari ombak, masukan air tawar,
pasang, sehingga dapat tumbuh pada tanah anaerob
sedimentasi, aliran air pasang surut, dan suhu yang
(Tomlinson, 1986).
hangat (Walsh, 1974; Goldman dan Horne, 1983).
Proses internal pada komunitas ini seperti fiksasi energi,
produksi bahan organik dan daur hara sangat Kondisi tanah lingkungan mangrove
dipengaruhi proses eksternal seperti suplai air tawar dan Terdapat banyak faktor lingkungan yang
pasang surut, suplai hara dan stabilitas sedimen (Blasco, mempengaruhi kehidupan di kawasan mangrove, seperti
1992). Faktor utama yang mempengaruhi komunitas ini salinitas, tipe tanah, derajat keasaman (pH), kandungan
adalah salinitas, tipe tanah, serta resistensi terhadap oksigen, kandungan unsur hara, intensitas sinar
kekuatan arus air dan gelombang laut (Chapman, 1992; matahari, suhu dan kelembaban udara, kecepatan angin
Steenis, 1958). Faktor-faktor ini bervariasi sepanjang dan arus laut, serta fluktuasi aliran pasang-surut (Ng dan
transek dari tepi laut ke daratan, sehingga terbentuk Sivasothi, 2001). Dalam tulisan ini hanya dikemukakan
zonasi vegetasi (Giesen, 1991). kondisi tanah.
Komunitas mangrove tersusun atas tumbuhan, Tanah mangrove berupa sedimen alluvial yang
hewan, dan mikroba, namun tanpa hadirnya tumbuhan dibawa dan diendapkan oleh sungai dan laut. Lapisan
mangrove komunitas ini tidak dapat disebut ekosistem atas tanah (topsoil) biasanya bertipe pasir atau lempung.
mangrove (Jayatissa et al., 2002). Vegetasi mangrove Topsoil pasir berwarna lebih terang, porous, dapat
berperan besar dalam ekologi ekosistem ini, dimana dilewati air pada saat pasang, dan mengalami aerasi
tumbuhan mangrove mayor merupakan penyusun pada saat surut, sedangkan topsoil lempung berwarna
utamanya (Lugo dan Snedaker, 1974; Hamilton dan lebih gelap, kurang porous dan tidak teraerasi dengan
Snedaker, 1984; Tomlinson, 1986). Identifikasi komposisi baik. Tanah subsoil selalu jenuh air atau tergenang,
vegetasi mangrove merupakan prasyarat untuk sehingga hanya sedikit teraerasi. Kondisi tanah
memahami semua aspek struktur dan fungsi mangrove, merupakan penyebab terbentuknya zonasi hewan dan
sebagaimana kondisi biogeografi, konservasi, dan tumbuhan, misalnya kepiting yang berbeda menempati
manajemennya (Jayatissa et al., 2002). kondisi tanah yang berbeda pula, di sisi lain tumbuhan
Klasifikasi vegetasi mangrove Avicennia dan Sonneratia hidup dengan baik pada tanah
Ekosistem mangrove merupakan kawasan ekoton berpasir, sedangkan Rhizophora lebih menyukai lumpur
antara komunitas laut dengan pantai dan daratan, lembut, adapun Bruguiera menyukai tanah lempung
sehingga memiliki ciri-ciri tersendiri (Dahuri et al., 1996). yang mengandung sedikit bahan organik. Derajat
Komunitas ini sangat berbeda dengan komunitas laut, keasaman (pH) Tanah mangrove bersifat netral hingga
namun tidak berbeda tajam dengan komunitas daratan sedikit asam, karena aktivitas bakteri pereduksi belerang
dengan terbentuknya rawa-rawa air tawar sebagai zona dan adanya sedimentasi tanah lempung yang asam.
antara. Tomlinson (1986) mengklasifikasikan vegetasi Aktivitas bakteri pereduksi belerang ditunjukkan oleh
mangrove menjadi: mangrove mayor, mangrove minor tanah gelap, asam dan berbau telur busuk (Ng dan
dan tumbuhan asosiasi. Mangrove mayor (true Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).
mangrove) adalah tumbuhan yang sepenuhnya Berbeda dengan tanah kering, lumpur hampir tidak
berhabitat di kawasan pasang surut, dapat membentuk memiliki rongga udara untuk menyerap oksigen. Jumlah
tegakan murni, beradaptasi terhadap salinitas melalui oksigen terlarut dalam perairan mangrove umumnya
peneumatofora, embryo vivipar, mekanisme filtrasi dan lebih rendah daripada di laut terbuka. Kandungan ini
semakin rendah pada tempat yang kelebihan bahan
132

organik, mengingat oksigen diserap untuk peruraian bertahan di lumpur yang tidak stabil. Lumnitzera
bahan organik tersebut, sehingga terbentuk zona membentuk akar lutut kecil yang bentuknya merupakan
anoksik. Oksigen pada permukaan sedimen (sediment kombinasi akar lutut dan akar pasak (Ng dan Sivasothi,
water interface) digunakan bakteri untuk mengurai bahan 2001; Lovelock, 1993).
organik dan respirasi. Oksigen ini diperoleh dari sirkulasi Akar papan. Pada Xylocarpus granatum akar
pasang-surut dan pengaruh atmosfer. Di bawahnya horizontal tumbuh melebar secara vertikal ke atas,
lumpur yang mengandung bahan organik dan partikel- sehingga akar berbentuk pipih menyerupai papan.
partikel halus menghasilkan kondisi anoksik, yang hanya Struktur ini terbentuk mulai dari pangkal batang. Akar ini
ditumbuhi bakteri anaerob yang dapat mengurai bahan juga melekuk-lekuk seperti ular yang sedang bergerak
organik tanpa oksigen dan menghasilkan H2S (Ng dan dan bergelombang. Terpaparnya bagian vertikal
Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993). memudahkan aerasi dan tersebarnya akar secara luas
membantu berpijak di lumpur yang tidak stabil (Ng dan
Adaptasi tumbuhan mangrove terhadap kondisi tanah Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).
Proses evolusi menyebabkan spesies mangrove
memiliki beberapa sifat biologi yang khas sebagai bentuk
adaptasi, yang terutama ditujukan untuk mengatasi KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE
salinitas yang fluktuatif, kondisi lumpur yang anaerob
dan dan tidak stabil, serta untuk reproduksi. Sejalan
Di seluruh dunia aktivitas manusia telah mengurangi
dengan judul makalah, dalam tulisan ini hanya
luasan ekosistem alami dan menurunkan
dikemukakan kondisi tanah.
keanekaragaman hayati hingga tingkat yang meng-
Tumbuhan mangrove memiliki adaptasi khusus untuk
khawatirkan. Keanekaragaman hayati kawasan tropis
tumbuh di tanah yang lembut, asin dan kekurangan
merupakan yang tertinggi di dunia (Ligtvoet et al., 1996;
oksigen, dimana kebanyakan tumbuhan tidak mampu.
Groombridge, 1990). Hutan mangrove diperkirakan
Suplai oksigen ke akar sangat penting bagi pertumbuhan
menempati 75% luas kawasan pantai tropis (Chapman,
dan penyerapan nutrien. Karena tanah mangrove
1976), tetapi tekanan antropogenik telah menurunkan
seringkali anaerob, maka tumbuhan mangrove
luas hutan ini secara global hingga di bawah 50% dari
membentuk struktur khusus pneumatofora (akar napas).
luas awal (Saenger et al., 1983; Spalding et al.,1997).
Akar yang menjulang di atas tanah ini dipenuhi dengan
Luasan hutan mangrove dunia sangat beragam
jaringan parenkim spons (aerenkim) dan memiliki banyak
tergantung metode pengukuran dan referensi yang diacu
pori-pori kecil di kulit kayu (lentisel), sehingga oksigen
para penulis. Dengan teknologi remote sensing luas
dapat masuk dan diangkut ke sistem akar di bawah
hutan mangrove dunia diperkirakan sekitar 18,1 juta ha
tanah. Akar pneumatofora ini juga berfungsi sebagai
(Spalding et al., 1997). Sedangkan sumber lama
struktur penyokong atau jangkar untuk menahan tetap
menyebutkan bahwa luas hutan mangrove dunia sekitar
tegaknya pohon di tanah lumpur yang lembut. Tumbuhan
15,9 juta ha (FAO, 1982), data yang diperbaharui
mangrove memiliki bentuk akar napas yang berbeda-
luasnya sekitar 16,9 juta ha (Saenger et al., 1983).
beda. Terdapat empat tipe pneumatofora, yaitu akar
Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Dari
penyangga (stilt, prop), akar pasak (snorkel, peg, pencil),
15,9 juta ha mangrove dunia tersebut, sekitar 4,25 juta
akar lutut (knee, knop), dan akar papan (ribbon, plank)
ha (27%) berada di Indonesia (FAO, 1982).
(Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).
Penurunan luasan mangrove paling cepat dan
Akar penyangga (sangga). Pada Rhizophora akar
dramatis terjadi di Asia Tenggara (Gómez 1988;
panjang dan bercabang-cabang muncul dari pangkal
Aksornkoae, 1993). Di Indonesia luas hutan ini terus
batang. Akar ini dikenal sebagai prop root dan pada
menurun dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi
akhirnya akan menjadi stilt root apabila batang yang
3.237.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185
disangganya terangkat hingga tidak lagi menyentuh
ha (1993). Dalam kurun waktu 11 tahun (1982-1993),
tanah. Akar penyangga membantu tegaknya pohon
terjadi penurunan hutan mangrove lebih dari 50% dari
karena memiliki pangkal yang luas untuk mendukung di
total luasan semula (Dephut, 1994; Soenarko, 2002).
lumpur yang lembut dan tidak stabil. Juga membantu
Penurunan luasan hutan mangrove disebabkan oleh
aerasi ketika terekspos pada saat laut surut (Ng dan
reklamasi untuk membangun tambak udang, ikan, dan
Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).
garam (Terchunian et al., 1986; Primavera, 1993),
Akar pasak. Pada Avicennia dan Sonneratia,
penebangan hutan secara berlebih (Walsh, 1974;
pneumatofora merupakan cabang tegak dari akar
Hussein, 1995; Semesi, 1998), pertambangan,
horizontal yang tumbuh di bawah tanah. Pada Avicennia
pencemaran lingkungan, pembendungan sungai (Lewis,
bentuknya seperti pensil atau pasak dan umumnya
1990), pertanian, bencana alam (Nybakken, 1993;
hanya tumbuh setinggi 30 cm, sedangkan pada
Jimenez, 1985; Knox dan Miyabara, 1984), serta
Sonneratia tumbuh lebih lambat namun dapat
tumpahan minyak (Ellison dan Farnsworth, 1996),
membentuk massa kayu setinggi 3 m, kebanyakan
namun yang terakhir ini belum banyak didokumentasikan
setinggi 50 cm. Di teluk Botany, Sidney dapat dijumpai
(Burns et al., 1994; 1999). Kegiatan yang menjadi ancam
Avicennia marina dengan pneumatofora setinggi lebih
ekosistem mangrove tersebut dapat dikelompokkan
dari 28 m, meskipun kebanyakan tingginya hanya sekitar
dalam dua katogeri, yaitu: pemanfaatan langsung
4 m (Ng dan Sivasothi, 2001; Lovelock, 1993).
(konsumtif) dan kegiatan lain di luar mengrove yang
Akar lutut. Pada Bruguiera dan Ceriops akar
berpengaruh terhadap ekosistem ini (non konsumtif). Di
horizontal tumbuh sedikit di bawah permukaan tanah,
kawasan tropis keterancaman ekosistem mangrove terus
dan secara teratur dan berulang-ulang tumbuh vertikal
meningkat sejalan dengan tingginya angka pertumbuhan
ke atas kemudian kembali ke bawah, sehingga
penduduknya dan adanya tuntutan modernisasi
berbentuk seperti lutut yang ditekuk. Bagian di atas
kehidupan masyarakat pantai (IOI, 1999).
tanah (lutut) membantu aerasi dan menjadi tempat
133

Penurunan luasan mangrove mendorong terjadinya satunya moda transportasi pengangkut minyak bumi
intrusi air laut dan erosi pantai, sehingga menurunkan antara benua – berlangsung sangat intensif. Salah satu
produktivitas perairan pantai (Aksornkoae, 1993). Untuk akibatnya adalah kecelakaan kapal tangker dimana
mengatasi hal ini banyak negara mengkampanyekan jutaan liter minyak bumi tumpah ke laut dan tersebar
upaya konservasi, manajemen, dan restorasi hutan hingga kawasan pesisir di sekitarnya (Bragg et al., 1994;
mangrove (Manassrisuksi et al., 2001; Hong dan San, Pickrell, 2002). Tumpahan minyak bumi dalam skala
1993). Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri besar pertama kali dilaporkan di Inggris pada tahun
menilai, kondisi kerusakan hutan mangrove dan terumbu 1967, dimana 119.000 ton minyak bumi tumpah di lepas
karang di wilayah pesisir Indonesia sudah pada tingkat pantai Torrey Canyon, Cornwall (ITOPF, 2002). Kejadian
yang sangat mengkhawatirkan. Untuk itu dibutuhkan terbaru adalah tenggelamnya kapal tangker Prestige
kebijakan nasional yang mengatur pengelolaan sumber yang membawa 76 juta liter minyak di pantai utara
daya pesisir dan pulau-pulau kecil (Suara Pembaruan, Spanyol pada bulan Nopember 2002. Kecelakaan kapal
29/7/2002). Kehidupan yang lestari tergantung pada tangker paling terkenal adalah tenggelamnya Exxon
berlanjutnya ekosistem yang mampu menyediakan Valdez pada tahun 1989 di Alaska yang menyebabkan
sumberdaya bagi manusia (Miller, 1999). tumpahnya 37.000 ton minyak bumi (Bragg et al., 1994;
Pickrell, 2002).
Di Indonesia, tumpahan minyak bumi dalam skala
PENCEMARAN MINYAK BUMI besar pertama kali dilaporkan pada tangga 19
September 1992, dimana kapal tanker Nagasaki Spirit
tenggelam di Selat Malaka dan menumpahkan 12.000
Kawasan mangrove merupakan habitat antara laut
ton minyak mentah. Sebelumnya juga pernah terjadi
dan daratan, sehingga pencemaran yang terjadi di laut
tenggelamnya kapal Showa Maru di Selat Malaka yang
maupun di daratan dapat berdampak pada kawasan ini.
sangat menghebohkan karena tingkat kerusakan
Sekitar 80% pencemaran di laut berasal dari daratan,
lingkungan yang sangat besar. Dua puluh tumpahan
seperti dari industri, pertanian, dan rumah tangga.
minyak terbesar akibat kecelakaan kapal tanker sejak
Sumber pencemar terbesar di laut berasal dari aliran
tahun 1967 disajikan dalam Tabel 1. Sedangkan
permukaan (44%), emisi pesawat terbang (33%),
tumpahan minyak yang cukup besar di Indonesia sejak
pelayaran dan tumpahan minyak (12%), pembuangan
tahun 1990-an disajikan dalam Tabel 2 (ITOPF, 2002;
limbah ke laut (10%), dan kegiatan penambangan lepas
Anonim, 2001a; 2003).
pantai (1%) (Anonim, 2001a). Bahan pencemar seperti
minyak, sampah, dan limbah industri dapat menutupi Pencemaran minyak bumi dari instalasi produksi
akar mangrove sehingga mengurangi kemampuan Pengeboran minyak di dalam atau di dekat kawasan
respirasi, osmoregulasi, dan mati. Tumpahan minyak mangrove secara nyata dapat mempengaruhi kawasan
mendapat perhatian besar karena menyebabkan banyak tersebut (Longley et al. 1978). Minyak mentah dan
kerusakan jangka panjang dan massif. Pencemaran ini residunya dapat membunuh tumbuhan mangrove
umumnya terjadi akibat kecelakaan kapal tanker dengan melapisi akar aerial dan akar di bawah tanah,
pengangkut minyak bumi atau kecelakaan dari fasilitas serta melalui penyerapan secara langsung (Odum dan
produksi seperti kebakaran pada anjungan pengeboran Johannes 1975, Carlberg 1980). Berbagai macam
minyak bumi (Wardrup, 1987; Burns et al., 1993; Duke et pengaruh dapat terjadi, termasuk kematian pohon, yang
al., 1997). terjadi beberapa bulan hingga beberapa tahun setelah
Tumpahan minyak mentah berdampak sangat serius tumpahnya minyak (Lewis, 1979; 1980). Hanya sedikit
terhadap ekosistem mangrove, karena dapat mengham- yang dapat dilakukan untuk mencegah kerusakan yang
bat pertukaran gas di permukaan akar aerial, sehingga terjadi. Dispersan yang sering digunakan untuk
menyebabkan kematian tumbuhan mangrove akibat mengatasi tumpahan minyak bersifat racun terhadap
kekurangan oksigen. Substansi racun dari tumpahan tumbuh-tumbuhan (Baker, 1971). Kerusakan akibat
minyak mentah juga dapat meracuni akar di bawah abrasi mekanis, terinjak-injak atau pemadatan selama
tanah dan mikroorganisme tanah. Dampak tumpahan pembersihan dapat berpengaruh negatif terhadap
minyak terhadap ekosistem mangrove, teramati dengan lingkungan (IPIECA, 1993a). Sehingga larangan untuk
jelas di Puerto Rico, dimana pada kawasan yang menggunakan kawasan mangrove untuk mengebor
tercemar berat, kanopi hutan akan rontok hingga 50% minyak dan pengapalannya merupakan cara yang paling
dalam wakru 43 hari, dan 95% setelah 85 hari (IOI, baik untuk mencegah kerusakan ekosistem ini, meskipun
1999). Tumpahan minyak bumi yang terbawa hingga ke hal ini bertentangan dengan tuntutan ekonomi.
pantai, dapat mengakibatkan kerusakan serius pada Di Indonesia terdapat banyak instalasi pengeboran
ekosistem perairan pantai, khususnya kawasan intertidal. dan pengolahan minyak bumi yang terletak di kawasan
Mangrove merupakan salah satu ekosistem pantai yang mangrove. Salah satu yang terbesar terletak di delta
sangat retan terhadap ancaman tumpahan minyak, Sungai Mahakam, Kalimantan Timur yang dikelola oleh
karena deposit tumpahan minyak di atas permukaan PT. Total Indonésie. Kawasan industri ini sesuai dengan
tanah akan menutupi akar napas, di bawah permukaan buku amdalnya dinyatakan berpotensi merusak
tanah akan menutupi akar pencari makan, serta ekosistem mangrove. Pengaruh yang bersifat langsung
mematikan sejumlah besar fauna dan mikrobia yang antara lain pembersihan hutan, pembuatan kanal,
berasosiasi dengannya (Duke dan Burns, 1999). pemasangan pipa, serta kecelakaan pada aktivitas
pengeboran dan produksi. Di samping itu kegiatan rutin
Kejadian utama tumpahan minyak bumi dapat menyebabkan berbagai pengaruh tidak langsung
Selama paruh akhir abad ke-20 kebutuhan industri di terhadap flora dan fauna. Oleh karena itu semua
negara-negara maju akan minyak bumi berkembang kegiatan harus mengacu pada buku amdal untuk
pesat, sehingga operasi pelayaran kapal tangker – satu- mencegah kerusakan yang lebih besar (TOTAL, 2003).
134

Tabel 1. Kejadian 20 kecelakaan tanker minyak bumi terbesar di dunia (ITOPF, 2002).

Tahun Nama Lokasi Jumlah (ton)


1967 Torrey Canyon Kepulauan Scilly, Inggris 119.000
1972 Sea Star Teluk Oman 115.000
1975 Jakob Maersk Oporto, Portugal 88.000
1976 Urquiola La Coruna, Spanyol 100.000
1977 Hawaiian Patriot 300 mil laut dari Honolulu, Hawaii 95.000
1978 Amoco Cadiz Lepas pantai Brittany, Perancis 223.000
1979 Atlantic Empress Lepas pantai Tobago, Amerika Selatan 287.000
1979 Independenta Selat Bosphorus, Turki 95.000
1980 Irenes Serenade Teluk Navarino, Yunani 100.000
1983 Castillo de Bellver Lepas pantai Saldanha, Afrika Selatan 252.000
1988 Odyssey 700 mil laut dari Nova Scotia, Kanada 132.000
1989 Khark 5 120 mil laut dari pantai Maroko 80.000
1989 Exxon Valdez Selat Prince William, Alaska 37.000
1991 ABT Summer 700 mil laut dari pantai Angola 260.000
1991 Haven Genoa, Italia 144.000
1992 Aegean Sea La Coruna, Spanyol 74.000
1992 Katina P. Lepas pantai Maputo, Mozambique 72.000
1993 Braer Pulau Shetland, Inggris 85.000
1996 Sea Empress Milford Haven, Inggris 72.000
2002 Prestige Lepas pantai Spanyol 77.000

Tabel 2. Kejadian tumpahan minyak bumi di perairan laut Indonesia sejak tahun 1990-an (Anonim, 2001a; 2003).

Tahun Lokasi Kejadian


1992 Selat Malaka Nagasaki Spirit bertabrakan dengan kapal barang Ocean Blessing, menumpahkan
12.000 ton minyak mentah.
1992 Laut Andaman Maersk Navigator bertabrakan dengan Sanko Honour menumpahkan 255.312 ton
minyak dan mengotori pantai Sumatra sepanjang 56 km.
1994 Cilacap MV. Bandar Ayu dengan kapal ikan.
1997 Selat Madura Kapal tanker SETDCO tenggelam.
1998 Tanjung Priok Kapal Permina Supply No. 27 dengan muatan solar kandas.
1999 Cilacap MT. King Fisher robek menumpahkan 640.000 liter minyak dan mencemari teluk
Cilacap sepanjang 38 km.
2000 Cilacap Tenggelamnya kapal tangker HHC yang memuat 9000 ton aspal.
2000 Batu Berhanti, Riau Natuna Sea menabrak karang menumpahkan sekitar 7.000 ton minyak.
2001 Tegal-Cirebon Tenggelamnya kapal tangker Steadfast yang megangkut 800- 1200 ton minyak.
2002 Yogyakarta MV. Kalla Lines yang membawa aspal tenggelam di pantai Congot, Kulonprogo.

hidrokarbon ringan lainnya apabila terhirup akan segera


Dampak pencemaran minyak bumi diangkut ke aliran daran sehingga dapat merusak sel
Tumpahan minyak bumi dapat mempengaruhi darah merah, menurunkan sistem kekebalan hati, limpa,
aktivitas di pantai dan eksploitasi sumberdaya lautan, dan ginjal, serta mempengaruhi sistem reproduksi pada
sehingga berdampak serius terhadap perekonomian. hewan dan manusia (AMSA, 1998).
Dalam banyak kasus, kerusakan ini bersifat temporer Minyak bumi yang telah dikilang umumnya lebih
akibat sifat fisik minyak yang menyebabkan kondisi tidak toksik terhadap manusia, namun lebih mudah
nyaman dan berbahaya. Dampak terhadap kehidupan didegradasi oleh lingkungan. Komposisi minyak bumi
biota laut terkait dengan toksisitas dan menempelnya mempengaruhi perilaku, daya tahan terhadap cuaca, dan
senyawa minyak bumi, serta sensivitas makhluk hidup pengaruh buruknya terhadap lingkungan. Hal ini meliputi
terhadap polusi minyak bumi. Hal ini dapat menurunkan volatilitas hidrokarbon ke udara, kelarutan komponen
diversitas dan variabilitas mahluk hidup (ITOPF, 2002). toksis ke laut, pembentukan dan stabilitas emulsi, laju
Pemahaman sifat kimia minyak bumi yang tertumpah dispersi, daya tahan mengapung, dan laju biodegradasi
sangat penting untuk merunut akibat yang mungkin alami. Setiap fraksi minyak hasil kilangan memiliki
ditimbulkan terhadap makhluk hidup. Minyak bumi dapat perilaku yang berbeda-beda, sehingga pengaruhnya sulit
mempengaruhi fungsi fisiologi makhluk hidup dan diprediksi. Misalnya, beberapa fraksi akan segera
meracuni kehidupan. Misalnya, senyawa alifatis minyak menguap di udara sebaliknya fraksi lain cenderung
dengan berat molekul rendah bersifat anastesi dan bertahan lama di alam. Kondisi angin dan air laut dapat
senyawa aromatis seperti benzin bersifat karsinogen dan mengubah pengaruh minyak terhadap hidupan liar.
sangat beracun. Senyawa aromatis ini dapat Misalnya, di laut yang hangat dengan angin kuat,
terkonsentrasi pada jaringan makanan, khususnya pada evaporasi dapat menghilangkan senyawa aromatis
jenis-jenis kerang dan bentos lain (Etkin, 1997). dengan berat molekul rendah, sehingga tidak terlarut
Komponen volatil minyak bumi dapat memerahkan dalam air, mempengaruhi kehidupan laut, dan memasuki
mata, kulit, iritasi, dan mengelupaskan selaput tipis pada rantai makanan (AMSA, 1998).
hidung, mata, dan mulut. Hidrokarbon dapat memicu Tumpahan minyak di laut akan terbawa ke kawasan
pneumonia jika mencapai paru. Benzin, toluen, dan mangrove pada saat air pasang, lalu ketika air surut
135

akan terdeposit di permukaan sedimen dan akar pohon. biodegradasi (Boesch et al., 1974), yang dapat
Pola pasang harian yang berubah-ubah menyebabkan mengubah komponen-komponen minyak mentah.
setiap tempat mendapatkan pengaruh yang berbeda- Selama proses penguraian minyak oleh cuaca ini,
beda. Pada kondisi pencemaran berat, tumbuhan senyawa-senyawa dengan berat molekul rendah yang
mangrove dapat mati akibat pori-pori pneumatofora lebih toksik dari pada senyawa-senyawa dengan berat
tertutup minyak. Mangrove juga dapat mati akibat molekul tinggi, diuapkan atau didegradasi lebih cepat,
terserapnya minyak oleh sedimen. Senyawa aromatis sehingga toksisitas minyak berkurang (Lin dan
minyak bumi dengan berat molekul rendah yang terserap Mendelssohn, 1998). Hal ini menyebabkan vegetasi
sedimen tanah dapat merusak membran sel akar, yang tertumpahi minyak segera setelah kecelakaan
sehingga garam dapat masuk ke jaringan dan terjadi mengalami kerusakan jauh lebih besar daripada vegetasi
keracunan (IPIECA, 1993a). Tumpahan minyak dapat yang berkontak dengan minyak yang telah beberapa jam
menyebabkan kerusakan yang akut dan kronis, termasuk berada di laut (Cowell, 1969).
reduksi tinggi batang, kerapatan pohon dan biomassa, Degradasi minyak di dalam tanah tergantung kondisi
serta kematian tumbuhan (Krebs dan Tanner, 1981, lingkungan tanah seperti status oksidasi, kesuburan, pH,
Ferrell et al., 1984, Alexander dan Webb, 1987, Lin dan konsentrasi bahan organik, dan mikrobia tanah (Sims,
Mendelssohn, 1996). 1986, Mahaffey et al., 1991). Minyak yang terserap
Respon tumbuhan terhadap kontaminasi minyak dalam tanah anaerob, suatu kondisi umum di lahan
berbeda-beda tergantung spesiesnya, sehingga basah, dapat bertahan lebih lama karena proses
pencemaran minyak dapat mengubah komposisi spesies degradasi memerlukan waktu lebih lama akibat
dalam suatu komunitas tumbuhan (Lin dan ketiadaan oksigen (Hambrick et al., 1980, Getter et al.,
Mendelssohn, 1998). Pengaruh hidrokarbon minyak 1984, Baker et al., 1993). Keberadaan vegetasi
terhadap vegetasi umumnya tergantung volume dan tumbuhan juga dapat mereduksi kandungan minyak
konsentrasinya dalam tanah (Alexander dan Webb, dalam tanah karena diserap oleh tumbuhan. Hidrokarbon
1987, Lin dan Mendelssohn, 1996) dan tingkat minyak ini diserap dari sedimen dan diakumulasi dalam
ketahanan minyak terhadap cuaca sebelum berkontak bentuk hidrokarbon atau total lipid pada bagian aerial
dengan vegetasi (Cowell, 1969). tumbuhan (Lytle dan Lytle, 1987). Tanah yang subur,
Tumpahnya minyak pada akar dan sedimen misalnya karena pemupukan, dapat meningkatkan
menyebabkan kematian sejumlah besar pepohonan, di biomassa tumbuhan sehingga memperbesar
samping itu deposit minyak ini juga dapat menghambat kemampuan menyerap minyak dari tanah. Di samping itu
pertumbuhan pohon-pohon yang bertahan hidup, bertambahnya biomassa tumbuhan menyebabkan lebih
mempengaruhi rekrutmen bibit dan kembalinya hewan banyak bahan organik dilepaskan dari akar tumbuhan ke
yang selamat. Dalam kasus-kasus tertentu, terjadi rhizosfer, membentuk mikrohabitat kaya bahan organik
pengaruh yang segera dan besar-besaran berupa yang sesuai untuk pertumbuhan mikrobia sehingga
kematian fauna laut dan pohon dalam jangka beberapa mendorong terjadinya degradasi minyak oleh mikrobia.
hari hingga beberapa bulan pasca tumpahan minyak. Aktivitas mikrobia lebih tinggi pada rhizosfer daripada
Dalam jangka panjang, daat terjadi kematian secara bagian tanah lainnya (Sandmann dan Loos, 1984;
pelah-lahan tumbuhan dan hewan yang selamat, Walton dan Anderson, 1990). Hal ini disebabkan adanya
termasuk rekruitmen baru. Pengaruh sublethal ini dapat pelepasan enzim-enzim, zat hara, dan sumber karbon
bertahan selama puluhan tahun dan dapat mengurangi dari akar tumbuhan untuk digunakan mikrobia (Lin dan
luas kanopi hutan (20-30%) dan memusnahkan sebagian Mendelssohn, 1998).
bentuk habitat (Duke dan Burns, 1999).
Dampak pencemaran minyak terhadap ekosistem Tindakan yang dapat dilakukan
masih akan terasa hingga puluhan tahun kemudian. Tindakan yang dapat dilakukan untuk menangani
Kecelakaan kapal tangkel di teluk Buzzards, minyak bumi yang tumpah minyak ke ekosistem
Massachusetts, pada bulan September 1969 yang mangrove, sebagai berikut (Duke dan Burns, 1999):
menumpahkan 700 ton minyak disel hingga kini masih Sebelum tumpahan minyak. Perlu diperhatikan
menyisakan residu pada sedimen rawa. Meskipun dengan cermat cara penanganan minyak bumi pasca
lapisan minyak telah hilang dari permukaan air, kecelakaan tumpahan dan dibandingkan tindakan yang
hidrokarbon minyak masih tetap bertahan dalam berhasil dan tidak berhasil. Perlu dilakukan riset untuk
sedimen pada kedalaman 6-28 cm. Degradasi minyak memperbaiki teknik dan pengetahuan untuk mengatur,
bumi sangat lambat bahkan setelah 30 tahun. Hal ini mengumpulkan dan menenggelamkan minyak ke laut.
disebabkan ketiadaan oksigen dan sulfat dari sedimen Minyak yang kurang toksik apabila memungkinkan
yang dibutuhkan bakteri pendegradasi untuk bertahan dipindahkan. Perlu ditingkatkan kepedulian terhadap
hidup (Pickrell, 2002). Di kawasan tropis laju degradasi kelestarian lingkungan. Perlu penelitian ekologi bagi
minyak biasanya lebih cepat, hambatan degradasi selain pemantauan pasca tumpahan dan penelitian khusus
akibat sifat sedimen mangrove yang anaerob, juga untuk memahami pengaruh tumpahan minyak terhadap
karena tingginya konsentrasi tannin pada lumpur ekosistem mangrove.
mangrove sehingga menghambat kehidupan bakteri Segera setelah tumpahan minyak. Jumlah minyak
pendegradasi (IPIECA, 1993a). yang memasuki area mangrove dikurangi dengan
menyekop dan mengumpulkannya. Dispersan yang
memilik tingkat toksisitas rendah dapat digunakan pada
MITIGASI PENCEMARAN MINYAK BUMI perairan mangrove yang lebih dalam. Tingkat toksisitas
minyak yang menuju mangrove dikurangi dengan
memperlambat penyebarannya. Degradasi minyak
Daya tahan minyak terhadap cuaca umumnya
dipercepat dengan weathering dan biodegradasi. Apabila
tergantung evaporasi, dissolution, oksidasi, dan
minyak tidak dapat dapat dicegah masuk ke area
136

mangrove, maka masuknya minyak dikontrol pada Dispersan memiliki dua komponen utama, yaitu
tingkat pasang yang pengaruhnya paling kecil terhadap surfaktan dan pelarut. Surfaktan adalah molekul yang
ekosistem, agar pohon-pohon utama yang menyusun memiliki affinitas terhadap dua cairan yang berbeda dan
mangrove tetap selamat untuk menjaga ketersediaan bertindak sebagai penyatu keduanya. Satu bagian
bibit mangrove. molekul surfaktan yang digunakan sebagai dispersan
Setelah minyak mencapai mangrove. Luasan memiliki sifat dapat melekat pada minyak (oleofilik),
habitat mangrove yang tercemar dan jumlah minyak sedang bagian lainnya dapat melekat pada air (hidrofilik).
yang menjadi residu dipetakan. Survei ini perlu diperkuat Apabila dispersan diseprotkan di atas minyak, maka
dengan koleksi sedimen tanah untuk analisis tegangan permukaan antara air dan minyak menurun
hidrokarbon. Jumlah dan tipe fauna, serta bibit mangrove sehingga terbentuk droplet yang dapat tersuspensi ke
yang tercemar dan mati juga dipetakan. dalam air (Gambar 1.). Dispersan memiliki keterbatasan
Setelah kematian mangrove. Area yang mengalami berupa kekurangmampuannya untuk mendispersikan
deforestasi dipetakan dan spesies-spesies yang musnah minyak yang viskositasnya tinggi, sehingga sebelum
dideskripsikan. Diukur pula tingkat hidrokarbon dalam minyak tenggelam dapat sampai di ekosistem mangrove
sedimen. Selanjutnya diupayakan rehabilitasi pada area (ITOPF, 2002).
yang rusak dengan mengkondisikan bibit alami untuk Sedimen mangrove didominasi lumpur anaerob dan
tumbuh dan diupayakan penanaman buatan apabila mengandung sulfur (Alongi dan Saeskumar, 1992).
diperlukan Pertumbuhan pohon dan rekruitmen baru Permukaan sedimen yang mengandung oksigen kurang
yang dapat bertahan dipelihara dan dijaga hingga dari 1 cm, bahkan pada hutan Rhizophora hanya
tegakan baru mampu mandiri. sedalam 1-2 mm (Duke et al., 1999). Ketersediaan
oksigen dan nutrien merupakan faktor pembatas
Teknik pembersihan tumpahan minyak kehidupan bakteri pendegradasi hidrokarbon (Swannell
Berbagai teknik untuk membersihkan lingkungan dari et al., 1994; Scherrer dan Mille, 1989; Oudot dan
pencemaran minyak telah ditemukan dan dapat Dutrieux, 1989; Burns et al., 1999). Pendekatan
diterapkan secara baik, namun beberapa teknik dapat bioremediasi dapat digunakan untuk biodegradasi
menghambat penyembuhan habitat mangrove(Sell, minyak, dimana mikroba diberi tambahan akseptor
1995). Teknik pembersihan minyak bumi yang tidak tepat elektron dan nutrien, sehingga pertumbuhan dan
dapat menyebabkan kerusakan yang diakibatkan proses perkembangnya lebih cepat. Teknik ini telah berhasil
mekanik pembersihan tersebut jauh lebih besar dari diterapkan pada lingkungan pantai berpasir, berkerikil
pada tumpahan minyak itu sendiri, sehingga membiarkan dan berkerakal (Prince, 1993; Bragg et al., 1994;
saja lebih baik dari pada membersihkannya (IPIECA, Swannell et al.,1994, 1996, 1999). Meskipun masih
1993a). Hingga kini cara terbaik adalah mengambil jarang dilakukan pada lingkungan mangrove (Burns et
tumpahan minyak langsung secara mekanis, baik al., 1999), penambahan aerasi dan nutrien terbukti dapat
dengan menyendok, menyedot, menyerap atau cara lain. mempercepat pertumbuhan organisme pendegradasi
Penggunaan dispersan agar minyak mengendap hanya hidrokarbon minyak bumi di kawasan mangrove
memindahkan pencemaran dari permukaan air ke (Ramsay et al., 2000).
permukaan sedimen (IPIECA, 1993b). Sedangkan
membakar minyak dapat menyebabkan percemaran
baru di udara. Alternatif yang mulai dimanfaatkan adalah RESTORASI EKOSISTEM MANGROVE
bioremediasi. Di samping itu secara alamiah angin dan
ombak dapat pula mendispersikan minyak. Restorasi ekosistem mangrove ditujukan untuk
Dispersan adalah kelompok bahan kimia yang mengembalikan ekosistem mangrove yang telah diubah
didesain untuk dapat disemprotkan di atas tumpahan ke kondisi normal seperti semula, atau sekurang-
minyak untuk mempercepat proses dispersi alamiah. kurangnya pada kondisi yang efektif secara ekologi
Penyemprotan dispersan kadang-kadang merupakan (Kairo et al., 2001; Morrison, 1990; Field, 1998). Tujuan
satu-satunya cara untuk mencegah minyak menyebar ke utama restorasi mangrove adalah memantapkan kembali
area yang lebih luas, terutama apabila pengambilan habitat dan fungsi mangove yang telah atau akan hilang
secara mekanis tidak dapat dilakukan. Dispersi secara (Morrison, 1990). Tujuan lainnya adalah memperkaya
alamiah akan terjadi apabila angin dan arus laut landskap, meningkatkan kualitas lingkungan, menjaga
menyebabkan lapisan minyak menjadi butiran-butiran keberlanjutan sumber daya alam, dan melindungi
(droplet) yang dapat tenggelam dalam badan air. kawasan pantai (Field, 1996; Morrison, 1990).
Dispersan berfungsi mempercepat proses tersebut.

Gambar 1. Mekanisme dispersi minyak bumi.


137

Pengaruh tumpahan minyak pada sedimen Hutan mangrove yang rusak dapat melakukan
mangrove dapat berlangsung selama puluhan tahun, penyembuhan sendiri melalui suksesi sekunder dalam
namun di kawasan tropis setahun setelah terjadinya periode 15-30 tahun, dengan syarat sistem hidrologi
tumpahan, restorasi mangrove sudah dapat dilakukan. pasang-surut tidak berubah, dan tersedia biji (propagul)
Semakin lama masa jeda, maka semakin tinggi tingkat atau bibit. Oleh kerena itu sebelum dilakukan restorasi
keberhasilan pertumbuhan propagul (biji). Regenerasi hambatan yang dapat mencegah suksesi sekunder
baik oleh rekruitmen alami maupun penanaman buatan harus dihilangkan. Mangrove juga dapat dibuat dengan
yang dilakukan segera setelah tumpahan minyak menghutankan dataran pasang surut yang gundul dan
umumnya tidak berhasil, mengingat masih terdapatnya tempat-tempat yang dalam kondisi normal tidak
sisa-sisa minyak bumi yang akan kembali membunuh ditumbuhi mangrove. Restorasi tanpa memperhatikan
atau menghambat pertumbuhan bibit mangrove. kemampuan alam untuk melakukan penyembuhan akan
Kesiapan area mangrove yang tercemar untuk kembali menyia-nyiakan investasi yang besar (Kairo dkk., 2001).
menerima tumbuhan mangrove juga dipengaruhi oleh Rehabilitasi mangrove umumnya difokuskan pada satu
jenis minyak yang tumpah, tipe tanah, pola pasang-surut, hingga beberapa spesies kunci, sedangkan restorasi
dan intensitas hujan (IPIECA, 1993a). Di Refineria mangrove secara keseluruhan tergantung pada proses
Panama, dua tahun setelah tumpahnya minyak, alam (IPIECA, 1993a).
sebanyak 86.000 bibit mangrove dengan tinggi rata-rata Penanaman dan pengelolaan mangrove di Asia
1 m ditanam pada area seluas 75 ha, hasilnya 90% Tenggara telah lama dilakukan (e.g. Watson, 1928),
dapat tumbuh dan bertahan hidup (Teas, 1989; Teas et meskipun catatan sejarah pengelolaan mangrove paling
al., 1989). Propagul yang ditanam tiga bulan dan enam tua dilakukan di Sundarbans. Hutan mangrove
2
bulan pasca tumpahan minyak semuanya mati Sundarbans di Bangladesh dan India seluas 6000 km
keracunan, namun sebagian propagul yang ditanam (577.000 ha) telah dikelola sejak tahun 1764 dan
sembilan bulan setelah tumpahan minyak dan sejumlah rencana kerja secara detail telah dibuat pada tahun
besar yang ditanam kemudian dapat bertahan hidup 1893-1894 (Chowdhury dan Ahmed, 1994; Hussain dan
(IPIECA, 1993a). Acharya, 1994; UNDP, 1998; Rahman, 2000). Hutan
Dengan berlalunya waktu, toksisitas minyak bumi mangrove di Matang, Malaysia seluas 40.000 ha telah
terhadap tanah mulai menurun dan tidak lagi bersifat dikelola sejak tahun 1902 untuk menghasilkan arang
racun terhadap propagul alami atau bibit yang ditanam. (Watson, 1928). Manajemen penebangan hutan
Keberhasilah hidup bibit tergantung pada berbagai faktor dilakukan melalui rotasi selama 30 tahun (Ong, 2002).
seperti macam tanah yang tercemari, jenis tanah, arus Hutan Matang memberi lapangan kerja dan sumbangan
pasang surut dan curah hujan. Keberhasilan tumbuh ekonomi cukup berarti bagi Malaysia (Chan, 1996).
mangrove tidak mengharuskan hilangnya seluruh minyak Hutan ini juga menjadi sumber kayu bakar, bahan
dari dalam tanah. Mangrove dapat mapan dan tumbuh bangunan, mencegah erosi, dan menjadi tempat
normal pada tempat-tempat yang tertumpahi minyak pemijahan ikan. Pada saat ini telah dilakukan
dimana masih terdapat residu minyak mentah, seperti pengelolaan secara terintegrasi untuk perikanan
tampak dari struktur tanah, bau dan film minyak di (Primavera, 1995) dan ekowisata (Bacon, 1987).
permukaan air. Pada beberapa kejadian, tumpahan
minyak dapat bertahan di dalam tanah mangrove lebih
dari satu dekade (IPIECA, 1993a). PENUTUP
Regenerasi alami hutan mangrove yang mati akibat
tumpahan minyak bumi dapat saja terjadi, namun proses
Mangrove telah lama menjadi sumber kekaguman
ini dapat berlangsung lambat akibat adanya residu racun
banyak orang. Bagi masyarakat yang hidup di kawasan
dari minyak atau mungkin juga propagul yang biasanya
tropis dan sub tropis di Indo-Pasifik Barat dan Amerika-
disebarkan air pasang tidak dapat mencapai bekas hutan
Afrika Barat, istilah mangrove sangat familiar. Hutan
akibat banyaknya batang, dahan, akar aerial yang mati
mangrove sering diangankan sebagai area yang selalu
dan menghalanginya. Pada kasus tertentu, regenerasi
tergenang, dengan tumbuhan yang memiliki sistem
dapat berlangsung lambat karena tidak terdapat cukup
perakaran aerial khas. Namun banyak pula orang yang
pohon hidup di sekitarnya untuk menyuplai bibit (IPIECA,
menganggap mangrove sebagai rawa-rawa berbahaya
1993a).
yang menjadi sarang nyamuk, lalat, ular, tidak aman, dan
Pada kasus restorasi hutan mangrove di Refineria
berbahaya. Konsep pengelolaan hutan mangrove tidak
Panama, tanah mangrove yang tercemari minyak
dimiliki kebanyakan orang, termasuk para pengambil
disingkirkan dan diisi dengan tanah dari daratan yang
keputusan (Lovelock, 1993).
bebas pencemaran, lalu ditanami bibit mangrove.
Ekosistem mangrove sangat kompleks sehingga
Sebagian bibit dilindungi dari tanah yang tercemar
pengelolaannya harus terintegrasi dengan lingkungan
minyak, sejalan dengan berjalannya waktu maka bibit
alam di sekitarnya, bahkan hingga daerah aliran sungai
semakin membesar dan kuat, sebaliknya tingkat
di hulu. Rencana manajemen mangrove harus diikuti
toksisitas tanah yang tercemari minyak semakin
sebanyak mungkin elemen stakeholders, seperti
menurun akibat pengaruh cuaca, pasang surut dan
pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, pengusaha
pencucian oleh hujan, sehingga bibit dapat tumbuh
hutan, masyarakat setempat dan ilmuwan. Peningkatan
dengan baik. Restorasi hutan mangrove yang rusak
kepedulian masyarakat dilakukan dengan meningkatkan
sebaiknya dipersiapkan segera, hal ini penting untuk
nilai mangrove yang terkait langsung dengan
mempersiapkan pembibitan dimana mangrove dapat
kepentingannya. Untuk itu diperlukan penelitian yang
segera tumbuh dan siap ditanam di lapangan segera
sistematis, komitmen politik yang kuat, serta integrasi
setelah toksisitas minyak bumi menurun (IPIECA,
konsep dan praktek pengelolaan di lapangan
1993a).
(Choudhury, 1996).
138

DAFTAR PUSTAKA in Kandelia candel mangrove forests. Marine Ecology Progress


Series 221: 117-124.
Dahdouh-Guebas, F., C. Mathenge, J.G. Kairo, and N. Koedam. 2000.
Aksornkoae S. 1993. Ecology and Management of Mangroves. Bangkok: Utilization of mangrove wood products around Mida Creek (Kenya)
International Union for Conservation of Nature and Natural among subsistence and commercial users. Economic Botany 54:
Resources. 513-527.
Alexander, S.K. and J.W. Webb, 1987. Relationship of Spartina Dahuri R, J. Rais, S.P.Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan
alterniflora growth to sediment oil content following an oil spill. Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta:
Proceeding of the 1987 Oil Spill Conference. Washington, D.C.: P.T. Saptodadi.
American Petroleum Institute. Departemen Kehutanan. 1994. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik
Alongi, D.M. and A. Sasekumar. 1992. Benthic communities. In Rehabilitasi (RTR) Daerah Pantai. Jakarta: Direktorat Jenderal
Robertson, A.I. and D.M. Alongi (ed.). Coastal and Estuarine Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan.
Studies: Tropical Mangrove Ecosystems. Washington DC.: American Duke, N.C. and K.A. Burns. 1999. Fate and effects of oil and dispersed
Geophysical Union. oil on mangrove ecosystems in Australia. Final Report to the
Anonim. 1997. National Strategy for Mangrove Management in Australian Petroleum Production Exploration Association, 12 June
Indonesia. Volume 1: Strategy and Action Plan. Volume 2: Mangrove 1999. Australian Institute of Marine Science and CRC Reef
in Indonesia Current Status. Jakarta: Office of the Minister of Research Centre. http://www.aims.gov.au.
Environment, Departement of Forestry, Indonesian Institute of Duke, N.C., K.A. Burns, and R.P.J. Swannell. 1999. Research into the
Science, Department of Home Affairs, and The Mangrove Bioremediation of Oil Spills in Tropical Australia: with Particular
Foundation. Emphasis on Oiled Mangrove and Salt Marsh Habitat. Final report to
Anonim. 2001a. Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir. Jakarta: the Australian Safety Maritime Authority. Townsville: Australian
Departemen Kelautan dan Perikanan. Institute of Marine Science.
Anonim. 2001b. Shoreline stabilization and storm protection. Wetland Duke, N.C., Z.S. Pinzon, and M.C.Prada, M.C. 1997. Large-scale
Values and Function. Gland: The Ramsar Bureau damage to mangrove forests following two large oil spills in Panama.
Anonim. 2003. The Mariner Group - Oil Spill History. Biotropica 29: 2-14.
http://www.marinergroup.com/oil-spill-history.htm Ellison, A.M. and E.J. Farnsworth. 1996. Anthropogenic disturbance of
Australian Maritime Safety Authority (AMSA). 1998. Environmental & Caribbean mangrove ecosystems: past impacts, present trends, and
Scientific Coordinators Toolbox: The Effects of Maritime Oil Spills on future predictions. Biotropica 24: 549-565.
Wildlife including Non-Avian Marine Life. Etkin D.S. 1997. The Impact of Oil Spills on Marine Mammals. OSIR
http://www.amsa.gov.au/me/natplan/toolbox/wildlife/non_avian.htm. Report 13 March 1997 Special Report.
Bacon, P.R. 1987. Use of wetlands for tourism in the insular Caribbean. FAO. 1982. Managenet and Utilization of Mangrove in Asia and the
Annals of Tourism Research 14: 104–117. Pacific. Rome: FAO Environment Paper 3.
Baker, J.M., L.M. Guzman, P.D. Bartlett, D.I. Little, and C.M. Wilson, Field, C. 1996. Restoration of Mangrove Ecosystems. Okinawa:
1993. Long-term fate and effects of untreated thick oil deposits on International Tropical Timber Organization and International Society
salt marshes. Proceeding of the 1993 International Oil Spill for Mangrove Ecosystems.
Conference. Washington, DC.: American Petroleum Institute. Field, C. 1998. Rehabilitation of mangrove ecosystems: an overview.
Baker, J.M.. 1971. The effects of oil on plant physiology. Pages 88-98 in Marine Pollution Bulletin 37: 383–392.
E.B. Cowell (ed.), Ecological Effects of Oil Pollution. London: Applied Getter, C.D., G., Cintron, B., Dicks, R.R. Lewel, and E.D. Seneca, 1984.
Science Publishers. The recovery and restoration of salt marshes and mangroves
Bandaranayake, W.M. 1998. Traditional and medicinal uses of following an oil spill. In: Cairns, J. Jr. and A.L. Buikema, Jr. (ed.).
mangroves. Mangrove and Salt Marshes 2: 133-148. Restoration of Habitats Impacted by Oil Spills. Stoneham, MA.:
Bennett, E.L. and C.J. Reynolds. 1993. The value of mangrove area in Butterworth Publishers.
Sarawak. Biodiversity Conservation 2: 359-375. Giesen, W. 1991. Checklist of Indonesian Fresh Water Aquatic Herbs.
Birkeland, C. 1983. Influences of Topography of Nearby Land Masses in PHPA/AWB Sumatra Wetland Project Report No. 27. Jakarta: Asian
Combination with Local Water Movement Patterns on the nature of Wetland Bureau-Indonesia.
Nearshore Marine Communities, Productivity and Processes in Goldman, R.C. and Horne, 1983. Lymnology. New York: McGraw Hill
Island Marine Ecosystem. Dunedine: UNESCO Report in Marine International Book Company.
Science No. 27. Gómez, E.G. 1988. Overview of environmental problems in the East
Blasco, F. 1992. Outlines of ecology, botany and forestry of the mangals Asian seas region. Ambio 17:166-169.
of the Indian subcontinent. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of Hambrick, G.A., R.D. DeLaune, and W.H. Patrick, Jr. 1980. Effect of
the World 1: Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier. estuarine sediment pH and oxidation-reduction potential on microbial
Bragg, J. R., R.C. Prince, E.J. Harner, and R.M. Atlas. 1994. hydrocarbon degradation. Applied Environmental Microbiology 40:
Effectiveness of bioremediation for the Exxon Valdez oil spill. Nature 365-369.
368: 413-418. Hamilton, L.S. and S.C. Snedaker. 1984. Handbook for Mangrove Area
Burns, K.A. 1993. Evidence for the importance for including hydrocarbon Management. Honolulu: Environment and Policy Institute, East-West
oxidation products in environmental assessment studies. Marine Center.
Pollution Bulletin 26: 77-85. Hong, P.N. and H.T. San. 1993. Mangroves of Vietnam. Bangkok:
Burns, K.A., S. Codi, R.J.P. Swannell, and N.C. Duke. 1999. Assessing International Union for Conservation of Nature and Natural
the petroleum hydrocarbon degradation potential of endogenous Resources.
tropical marine wetland microorganisms: Flask experiments. Howe, C.P., G.F. Claride, R. Hughes, and Zuwendra. 1992. Manual of
Mangroves and Salt Marshes 3: 67-83. Guideline for Scoping EIA in Indonesia Wetland. Second edition.
Burns, K.A., S.D. Garrity, D. Jorissen, J. MacPherson, and M. Stoelting. PHPA/AWB Sumatra Wetland Project No. 6B. Jakarta: Directorat
1994 The Galeta oil spill. II: Unexpected persistence of oil trapped in General of Forest Protection and Nature Conservation-Asian
mangrove sediments. Estuarine Coastal and Shelf Science 38: 349- Wetland Bureau Indonesia
364. Hussain, Z. and G. Acharya, 1994. (ed.). Mangroves of the Sundarbans.
Carlberg, S.R. 1980. Oil pollution of the marine environment-with an Vol, 2: Bangladesh. Bangkok: International Union for the
emphasis on estuarine studies. In Olausson, E. and I. Cato (ed.). Conservation of Nature.
Chemistry and Biogeochemistry of Estuaries. New York: John Wiley Hussein, M.Z. 1995. Silviculture of mangroves. Unasylva 46: 36-42.
and Sons. IOI. 1999. Mangroves: threat to mangrove ecosystem. IOI Online
Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation. Liechtenstein J.Cramer Services. http://hypnea.botany.uwc.ac.za/marbot/mangroves/
Verlag. mangrove-threats.htm
Chapman, V.J. 1992. Wet coastal formations of Indo Malesia and Papua- IPIECA. 1993a. Biological Impact of Oil Pollution: Mangroves. IPIECA
New Guinea. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1: Report No. 4. London: International Petroleum Industry
Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier. Environmental Conservation Association.
Choudhury, J.K. 1996. Mangrove forest management. Mangrove IPIECA. 1993b. Dispersants and their Role in Oil Spill Response. IPIECA
Rehabilitation and Management Project in Sulawesi. Jakarta: Asia Report No. 5. London: International Petroleum Industry
Development Bank. Environmental Conservation Association.
Chowdhury, R.A., and I. Ahmed. 1994. History of forest management. In ITOPF. 2002. Effects of Marine Oil Spills.
Hussain Z, and G. Acharya (ed.). Mangroves of the Sundarbans, Vol. http://www.itopf.com/effects.html
2: Bangladesh. Gland, Switzerland: IUCN Wetlands Program. Jayatissa, L.P., F. Dahdouh-Guebas, and N. Koedam. 2002. A revi-ew of
Clark, R. J. 1996. Coastal Zone Management Hand Book. Boca Raton: the floral composition and distribution of mangroves in Sri Lanka.
CRC Lewis Publishers. Botanical Journal of the Linnean Society 138: 29-43.
Coulter, S.C., C.M. Duarte, S.T. Mai, H.T. Nguyen, T.H. Hoang, H.G. Le, Jimenez, J.A., R. Martinez, and L. Encarnocion. 1985. Massive tree
and N.G. Phan. 2001. Retrospective estimates of net leaf production mortality in Puerto Rican mangroves forests. Caribbian Journal of
Science 21: 75-78.
139

Kairo, J.G., F Dahdouh-Guebas, J. Bosire, and N. Koedam. 2001. Pickrell, J. 2002. Oil spills pollute indefinitely and invisibly, study says.
Restoration and management of mangrove systems — a lesson for National Geographic News, November 22, 2002.
and from the East African region. South African Journal of Botany Primavera, J.H. 1993. A critical review of shrimp pond culture in the
67: 383-389. Philippines. Reviews in Fisheries. Science 1 (2): 151-201
Kartawinata, K. 1979. Status pengetahuan hutan bakau di Indonesia. Primavera, J.H. 1995. Mangroves and brackish water pond culture in the
Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta: MAP LON Philippines. Hydrobiologia 295: 303-309.
LIPI. Prince, R.C., R.E. Bare, G.N. George, C.E. Haith, M.J. Grossman, J.R.
Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of Lute, D.L. Elmendorf, V. Minak-Bernero, J.D. Senius, L.G. Keim,
Mangroves in Indonesia; Bal & Lombok. Denpasar: The R.R. Chianelli, S.M. Hinton, and A.R. Teal. 1993. The effect of
Development of Sustainable Mangrove Management Project, bioremediation on the microbial populations of oiled beaches in
Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation Prince William Sound, Alaska. In Proceedings of the 1993 Oil Spill
Agency. Conference. Washington DC: American Petroleum Institute.
Knox, G.A. and T. Miyabara. 1984. Coastal Zone Resource Development Rahman, L.M. 2000. The Sundarbans: A Unique Wilderness of the World.
and Conservation in South East Asia, with special Refference to In McCool, S.F., D.N. Cole, W.T. Borrie, and J. O’Loughlin (ed.).
Indonesia. Jakarta: UNESCO. Wilderness science in a time of change conference—Volume 2:
Krebs, C.T. and C.E. Tanner, 1981. Restoration of oiled marshes through Wilderness within the context of larger systems; 1999 May 23-27;
sediment stripping and Spartina propagation. Proceeding of the 1981 Missoula, MT. Proceedings RMRS-P-15-VOL-2. Ogden: U.S.
Oil Spill Conference. Washington, D.C.: American Petroleum Department of Agriculture, Forest Service, and Rocky Mountain
Institute. Research Station.
Lewis, R.R. 1990. Creation and restoration of coastal wetlands in Puerto Ramsay, M.A., R.P.J. Suwannell, W.A. Shipton, N.C. Duke, and R.T. Hill.
Rico and the US Virgin Islands. In Kusler J.A. and M.E. Kentula (ed.) 2000. Bioremediation on the microbial community in oiled mangrove
Wetland Creation and Restoration: The Status of Science, Vol. I: sediments. Marine Pollution Bulletin 41 (7-12): 413-419.
Regional Reviews. Washington: Island Press. Ray, C.C. and R.G. McCormick. 1994. Coastal marine protected areas, a
Lewis, R.R. III. 1979. Oil and mangrove forests: the aftermath of the moving target. Proceeding from the International Workshop on
Howard Starr oil spill. Florida Scientist (supplement) 42:26. Coastal Marine Protected Areas and Biosphere Reserves. Canberra:
Lewis, R.R. III. 1980. Oil and mangrove forests: observed impacts 12 ANCA/UNESCO.
months after the Howard Starr oil spill. Florida Scientist (supplement) Saenger, P., E.J. Hegerl, and J.D.S Davie. 1983. Global status of
43:23. mangrove ecosystems. The Environmentalist 3: 1-88. Also cited as:
Ligtvoet, W., R.H. Hughes, and S. Wulffraat. 1996. Recreating mangrove IUCN. 1983. Global Status of Mangrove Ecosystems. Gland:
forest near Jakarta, Conserving biodiversity in an urban environment. International Union for the Conservation of Nature and Natural
Land and Water International 84: 8-11. Resources.
Lin, Q. and I. A. Mendelssohn. 1998. Phytoremediation for oil spill Sandmann, E.R.I.C., and M.A. Loos, 1984. Enumeration of 2,4-D-
cleanup and habitat restoration in Louisiana coastal marshes: Effects degrading microorganisms in soil and crop plant rhizospheres using
of marsh plant species and fertilizer. Louisiana Applied Oil Spill indicator media: high population associated with sugarcane
Research and Development Program, OSRADP Technical Report (Saccharum officinarum). Chemosphere 13, 1073–1083.
Series 97-006. Scherrer, P. and G. Mille. 1989. Biodegradation of crude oil in an
http://www.osradp.lsu.edu/1997_Deliverables/Lin97/Lin97.htm experimentially polluted peaty mangrove soil. Marine Pollution
Lin, Q., and I.A. Mendelssohn, 1996. A comparative investigation of the Bulletin 20: 430-432.
effects of Louisiana crude oil on the vegetation of fresh, brackish, Sell, D. 1995. The effect of oil spill clean-up on shore recovery times.
and salt marsh. Marine Pollution Bulletine 32: 202–209. Proceedings of the Second International Oil Spill Research and
Longley, W.L., R. Jackson, and B. Snyder. 1978. Managing oil and gas Development Forum, London, 23-26 May 1995. London: The
activities in coastal environments. U.S. Fish and Wildlife Service, International Maritime Organization.
Office of Biological Services, Washington, D.C. FWS/OBS-78/54. Semesi, A.K. 1998. Mangrove management and utilization in eastern
Lovelock, C. 1993. Field Guide to the Mangroves of Queensland. Africa. Ambio 27: 620-626.
Queensland: Australian Institute of Marine Science. Sims, R., 1986. Water:soil treatability studies for four complex wastes:
www.aims.gov.au methodologies and results. US EPA Publication No. EPA:600:6-
Lugo A.E. and S.C. Snedaker. 1974. The ecology of mangroves. Annual 86:003b.
Review of Ecology and Systematics 5: 39-63. Soemodihardjo, S and S. Ishemat. 1989. Country Report: Indonesia, The
Lytle, J.S. and T.F. Lytle. 1987. The role of Juncus roemerianus in Status of Mangrove Forests in Indonesia, Symposium on Mangrove
cleanup of oil-polluted sediments. In: Proceedings of the 1987 Oil Management. Biotrop Special Publication No 37.
Spill Conference. Washington, DC.: American Petroleum Institute. Soemodihardjo, S. and L. Sumardjani. 1994. Re-afforestation of
MacNae, W. 1968. A general account of the fauna and flora of mangrove mangrove forests in Indonesia. Proceeding of the Workshop on ITTO
swamps and forests in the Indo-West-Pacific region. Advances in Project. Bangkok, 18-20 April 1994.
Marine Biology 6: 73-270. Soenarko. 2002. Kebijakan KIMPRASWIL dalam Rangka Percepatan
Mahaffey, W.R., M. Nelson, J. Kinsella, and G. Compeau, 1991. Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Rapat Koordinasi Nasional
Developing strategies for PAH and TCE bioremediation. Water Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun 2002, Jakarta, 30 Mei
Environment Technology 10: 83–88. 2002.
Manassrisuksi, K., M. Weir, and Y.A. Hussin. 2001. Assesment of Spalding, M., F. Blasco, and C. Field. 1997. World Mangrove Atlas.
mangrove rehabilitation programme using remote sensing and GIS: Okinawa: International Society for Mangrove Ecosystems.
a case study of Amphur Khlung, Chantaburi Province, Eastern Spaninks, F. and P. van Beukering. 1997. Economic Valuation of
Thailand. 22nd Asian Conference on Remote Sensisng, Singapore 5- Mangrove Ecosystems: Potential and Limitations. CREED Working
9 November 2001. Paper No 14, July 1997. London and Amsterdam: International
Miller, K.R. 1999. International wilderness provides ecological services Institute for Environment and Development, and Institute for
for sustainable living. International Journal of Wilderness 5 (3): 35- Environmental Studies.
39. Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In Flora Malesiana.
Morrison, D. 1990. Landscape restoration in response to previous Djakarta: Noordhoff-Kollf.
disturbance. In Turner, M.G. (ed.) Landscape Heterogeneity and Suara Pembaruan 29/7/2002. Kerusakan Hutan Bakau
Disturbance. New York: Springer-Verlag. Mengkhawatirkan.
Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (ed.). 2001. A Guide to Mangroves of Sukardjo, S. 1989. The mangrove forests of Java and Bali (Indonesia).
Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and Symposium on Mangrove Management. Biotrop Special Publication
Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science No 37.
Centre. Swannell, R.P.J., A. Basseres, K. Lee, and F.X. Merlin. 1994. A direct
Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. Third respirometric method for the in situ determination of bioremediation
edition. New York: Harper Collins College Publishers. efficacy. In 17th Arctic and Marine Oil Spill Program Technical
Odum,W.E., and R.E. Johannes. 1975. The response of mangroves to Seminar. Ottawa: Environment Canada.
man-induced environmental stress. In Wood, E.J.F. and R.E. Swannell, R.P.J., D. Mitchell, D.M. Jones, S. Petch, I.M. Head, A. Willis,
Johannes (ed.). Tropical Marine Pollution. Amsterdam: Elsevier K. Lee, and J. Lepo. 1999. Bioremediation of oil contaminated fine
(Oceanography Series). sediments. In Proceedings of 1999 International Oil Spill
Ong, J.E. 2002. The hidden costs of mangrove services: use of Conference. Washington: The American Petroleum Institute.
mangroves for shrimp aquaculture. International Science Round Swannell, R.P.J., K. Lee, and M. McDonagh. 1996. Field evaluations of
Table for the Media, Bali Indonesia, 4 June 2002. Joint event of marine oil spill bioremediation. Microbiological Reviews 60: 342-365.
ICSU, IGBP, IHDP, WCRP, DIVERSITAS and START. Tanaka, S., 1992. Bali Environment the Sustainable Mangrove Forest.
Oudot, J. and E. Dutrieux. 1989. Hydrocarbon weathering and Jakarta: Development of Sustainable Mangrove Management
biodegradation in a tropical estuarine ecosystem. Marine Project.
Environmental Research 27: 195-212.
140

Teas, H.J. 1989. Mangrove restoration after the 1986 Refineria Panama UNDP. 1998. Integrated resource development of the Sundarbans
oil spill. Proceedings 1989 Oil Spill Conference. Washington, D.C.: Reserved Forests, Bangladesh. Volume I Project BGD/84/056.
American Petroleum Institute. Dhaka: United Nations Development Programme, Food and
Teas, H.J., A.H. Lasday, L.E. Luque, R.A. Morales, M.E.D. Diego, and Agriculture Organization of the United Nations.
J.M. Baker, 1989. Mangrove restoration after the 1986 refineria Walsh, G.E. 1974. Mangroves: a review. In Reimold, R.J., and W.H.
Panama oil spill. In: Proceedings of the 1989 Oil Spill Conference. Queen (ed.). Ecology of Halophytes. New York: Academic Press.
Washington, DC.: American Petroleum Institute. Walton, B.T., and T.D. Anderson, 1990. Microbial degradation of
Terchunian, A., V. Klemas, A. Alvarez, B. Vasconez, and L. Guerrero. trichloroethylene in the rhizosphere: potential application to biological
1986. Mangrove mapping in Ecuador: The impact of shrimp pond remediation of waste sites. Applied Environmental Microbiology 56:
construction. Environmental Management 10: 345-350 1012–1016.
Thom, B.G. 1967. Mangrove ecology and deltaic geomorphology: Wardrup, J.A., 1987. The effects of oils and dispersants on mangroves: a
Tabasco, Mexico. Journal of Ecology 55: 301-343 review and bibliography. Occasional paper no. 2: Environmental
Tomlinson, C.B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge: Cambridge Studies. Adelaide: University of Adelaide.
University Press. Watson, J.G. 1928. Mangrove forests of the Malay Peninsula. Kuala
TOTAL. 2003. Environmental management in action: a sensitive Lumpur: Malaysian Forest Records No. 6
mangrove ecosystem remains unharmed by 20 years of oil Widodo, H. 1987. Mangrove hilang ekosistem terancam. Suara Alam 49:
production. TOTAL in the Mahakam Delta, Indonesia. 11-15.
http://www.ipieca.org/downloads/biodiversity/sens_envir_case_studs
/total_mahakam.html.
141

BAGIAN IV

Penutup
142
143

Restorasi Ekosistem Mangrove di Jawa

ABSTRACT menambahkan atau menaikkan sesuatu (Mish, 1989).


Selanjutnya muncul istilah rehabilitasi sebagai payung
The restoration of mangroves has received a lot of attentions yang mencakup istilah restorasi dan kreasi (Streever,
world wide for several reasons. Mangrove ecosystem is very 1999). Menurut Whitten et al., (2000) restorasi adalah
important in term of socio-economic and ecology functions. suatu taktik untuk mengembalikan lahan yang
Because of its functions, wide range of people paid attention terdegradasi ke kondisi asli atau mendekati kondisi asli,
whenever mangrove restoration taken place. Mangrove sedangkan rehabilitasi adalah suatu strategi manajemen
restoration potentially increases mangrove resource value,
protect the coastal area from destruction, conserve biodiversity,
untuk mencegah degaradasi suatu lanskap dan
fish production and both of directly and indirectly support the life menjadikannya bermanfaat. Di samping itu terdapat pula
of surrounding people. This paper outlines the activities of istilah reforestasi dan afforestasi. Menurut Lewis dan
mangrove restoration on Java island. The extensive research Streever (2000), reforestasi adalah penanaman
has been carried out on the ecology, structure and functioning of mangrove pada bekas area hutan mangrove, sedang
the mangrove ecosystem. However, the findings have not been afforestasi adalah penanaman mangrove pada area
interpreted in a management framework, thus mangrove forests yang semula bukan hutan mangrove.
around the world continue to be over-exploited, converted to Tulisan ini bermaksud menjelaskan aktivitas restorasi
aquaculture ponds, and polluted. We strongly argue that links
between research and sustainable management of mangrove
ekosistem mangrove khususnya di Jawa, sehingga
ecosystem should be established. fungsinya dapat kembali seperti semula. Penelitian yang
luas telah dilakukan untuk memahami ekologi, struktur
Key words: mangrove, restoration, management, Java. dan fungsi ekosistem mangrove. Namun, temuan-
temuan tersebut belum diterapkan dalam kerangka kerja
manajemen, terbukti hutan mangrove di seluruh dunia
terus mengalami penurunan terutama akibat eksploitasi
PENDAHULUAN berlebih, konversi ke tambak ikan dan udang, serta
pencemaran lingkungan. Oleh karena itu perlu kiranya
Ekosistem mangrove di Jawa mengalami penurunan mengaitkan penelitian mangrove dengan manajemen
sangat drastis, akibat tingginya tekanan penduduk yang lestari ekosistem tersebut.
berimplikasi pada besarnya kegiatan pertambakan,
penebangan hutan, reklamasi dan sedimentasi, serta
pencemaran lingkungan. Ekosistem mangrove memiliki
SEJARAH RESTORASI MANGROVE
fungsi sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan peran ekologi
yang sangat penting, sehingga banyak pihak
(stakeholders) yang memberi perhatian lebih untuk Penanaman dan pengelolaan mangrove memiliki
mengembalikan fungsi ekosistem ini melalui restorasi. sejarah panjang di Asia Tenggara (Watson, 1928),
Restorasi mangrove dapat menaikkan nilai sumber daya meskipun catatan tertua mengenai manajemen
ini, memberi mata pencaharian penduduk, mencegah mangrove sebagai penghasil kayu terdapat di
2
kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, menjaga hasil Sundarbans, suatu hutan mangrove seluas 6.000 km di
tangkapan perikanan, serta mempengaruhi kehidupan perbatasan India dan Banglades, yang dikelola sejak
masyarakat di sekitarnya baik secara langsung atau 1769, dimana rencana kerja lengkap pengelolaannya
tidak langsung (Setyawan dkk., 2003). telah disempurnakan pada tahun 1893-1894 (Chowdhury
Terdapat tiga kata kunci yang penting dalam dan Ahmed, 1994). Hutan mangrove seluas 40.000 ha di
manajemen ekosistem mangrove, yaitu restorasi, kreasi Matang, Malaysia yang dikelola sejak 1902 untuk
(pembentukan), dan pengkayaan spesies (Lewis, 1990; menghasilkan kayu bakar (Watson, 1928), merupakan
Mish, 1989). Restorasi adalah tindakan untuk contoh tertua dan terbaik manajemen hutan mangrove
mengembalikan sesuatu ke kondisi semula; kreasi (Khoon dan Eong, 1995).
adalah tindakan untuk membuat, menemukan atau Pada saat ini mangrove dikelola secara terintegrasi
menghasilkan sesuatu; sedangkan pengkayaan adalah untuk budidaya ikan dan udang (Primavera, 1995),

Publikasi asli: Setyawan, A.D., K. Winarno, dan P. C. Purnama. 2004. REVIEW: Ekosistem Mangrove di Jawa: 2. Restorasi.
Biodiversitas 4 (2): 105-118.
144

ekoturisme (Bacon, 1987), mencegah erosi (Teas, 1977), pemerintah setempat bersama para pihak melakukan
eksperimen biologi (Rabinowitz, 1978), melindungi dari restorasi ekosistem mangrove pada area dengan
badai (Hamilton dan Snedaker, 1984), dan merestorasi panjang sekitar 3000 m, dan lebar antara 100-300 m.
kerusakan ekosistem akibat tumpahan minyak (Duke, Pada saat ini tegakan yang terbentuk sudah dapat
1996). Restorasi ekosistem mangrove yang rusak antara menjalankan fungsi utamanya sebagai penahan
lain dibahas oleh Watson (1928), Noakes (1951), gelombang laut, angin dan mencegah pantai dari abrasi.
Chapman (1976), Lewis (1982), Hamilton dan Snedaker Untuk menjaga kelestarian tumbuhan ini, masyarakat
(1984), Lewis (1990a, 1990b), Crewz dan Lewis (1991), setempat diikutsertakan dalam kelompok-kelompok tani
Cintron-Molero (1992), Saenger dan Siddiqi (1993), yang memiliki hak untuk memanen ekosistem yang ada,
Siddiqi et al. (1993), dan Field (1996). dengan tetap memperhatikan kelestariannya. Salah satu
Penanaman kembali hutan-hutan daratan yang rusak kegiatan terkait konservasi yang cukup berhasil adalah
(reboisasi) telah dilakukan selama ratusan tahun, namun pembibitan Rhizophora spp. untuk memenuhi kebutuhan
reboisasi ekosistem mangrove baru akhir-akhir ini bibit proyek-proyek rehabilitasi hutan bakau di Jawa.
mendapatkan perhatian serius, seperti di Indonesia, Kawasan ini merupakan salah satu pusat pembibitan
Malaysia, Banglades, dan Cina. Banglades mempelopori Rhizophora spp. terbesar di Jawa. Pantai utara
penghutanan mangrove dengan sukses sejak 1966 di Rembang merupakan tidal flat bagi sungai-sungai di
atas tanah seluas 113.000 ha (Choudhury, 2000). sekitarnya, seperti Sungai Delok, Sungai Anyar, dan
Malaysia sejak 1980 menanam berbagai tumbuhan Sungai Lasem, sehingga memungkikan terus
mangrove untuk membatu regenerasi alami dan berlanjutnya perluasan ekosistem mangrove ke arah
memantapkan penutupan hutan (Hassan, 1981). laut. Suatu tindakan yang hingga saat ini masih terus
Penghutanan mangrove di Cina dimulai pada akhir 1950- dilakukan oleh pemerintah setempat. Pada akhirnya
an dan diaktifkan lagi pada tahun 1980 (Baowen et al., lokasi ini bernilai konservasi karena menarik berbagai
1997). Di Indonesia, reboisasi mangrove diawali di Sinjai, hidupan liar yang megah, khususnya spesies-spesies
Sulawesi pada tahun 1985 diprakarsai sekelompok burung air. Di samping itu terdapat pula nilai edukasi dan
nelayan. Kesuksesan upaya ini mendorong reboisasi turisme, dimana sering disinggahi pelancong di jalur
mangrove di seluruh Indonesia (Choudhury, 1996). Di pantura dan menjadi lokasi praktikum dan penelitian
atas kertas, rehabilitasi mangrove mendapatkan mahasiswa dari Universitas Sebelas Maret Surakarta,
perhatian cukup besar dalam Strategi Nasional Universitas Diponegoro Semarang, dan lain-lain (ADS,
Pengelolaan Mangrove di Indonesia (Anonim, 2003), 2002-2003, pengamatan pribadi). Upaya restorasi
namun implementasi di lapangan tampaknya masih jauh mangrove dengan pola serupa, yakni memberi peran
dari harapan. Kegagalan beberapa kegiatan restorasi aktif kepada masyarakat juga dilakukan di Probolinggo,
ditengarai karena pendekatan “proyek” yang Jawa Timur (Sudarmadji, 2003, komunikasi pribadi).
menyebabkan lemahnya manajemen pelaksanaan. Tampaknya pelibatan aktif masyarakat merupakan salah
Silvikultur mangrove (penanaman, pemeliharaan, dan satu unsur utama keberhasilan pengelolaan kawasan
pemanenan) telah dilaksanakan sejak abad ke-19 di pesisisir (Suara Pembaruan, 03/03/2002).
Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam (Teas, 1980; Salah satu contoh upaya restorasi mangrove yang
Teas et al., 1975). Kegiatan manajemen meliputi kurang berhasil terjadi di muara Sungai Bogowonto,
penanaman, penjarangan, penyiangan spesies yang satu-satunya ekosistem mangrove di Propinsi Daerah
tidak dikehendaki, dan persemaian propagul, khususnya Istimewa Yogyakarta dan berbatasan dengan Pro-pinsi
Rhizophora. Informasi silvikultur mangrove untuk Jawa Tengah. Upaya ini telah dilakukan sejak tahun
restorasi relatif masih sedikit. Pada saat ini telah 1990an, namun hasilnya tidak memuaskan. Tidak
diketahui spesies-spesies pohon yang dapat digunakan adanya kesamaan persepsi antara para pihak yang
untuk restorasi, namun kegiatan penciptaan ekosistem berkepentingan tampaknya menjadi penyebab utama
yang bernilai bagi perikanan dan konservasi masih kegagalan. Universitas, lembaga swadaya masyarakat,
jarang (Kaly dan Jones, 1996). dan sebagian organ pemerintah setempat merasa
Salah satu upaya mengintegrasikan perikanan dan berkepentingan untuk menjaga kelestarian ekosistem
konservasi mangrove dilakukan oleh Perhutani dan mangrove. Pengusaha dan sebagain organ pemerintah
masyarakat di pantai utara Jawa dengan sistem lainnya mencoba mengambil keuntungan ekonomi
“empang parit” (“tambak tumpangsari”). Sistem ini dengan membuat tambak. Adapun masyarakat setempat
merupakan pengetahuan asli masyarakat Indonesia, secara turun-temurun memanfaatkan tepian lahan untuk
dimana pada hutan mangrove dibuat lajur-lajur tambak bertani dan bagian tengah untuk padang
untuk memelihara ikan, atau sebaliknya di atas tambak penggembalaan kerbau (Bos bubalis). Semua
dibuat lajur-lajur tumbuhan mangrove, misalnya di kepentingan tersebut tidak dikelola secara integratif,
Brebes, Pemalang, Cirebon, Indramayu, Purwakarta, sehingga boleh jadi saling merugikan. Upaya konservasi
Karawang, dan Tanggerang (Anonim, 1991, 1997; dengan mengembalikan lahan menjadi hutan mangrove
Fitzgerald dan Savitri, 2002; Fitzgerald, 1997, 2002; dapat menafikan upaya pengusaha untuk membuat
Tessar dan Insan, 1993; Hartina, 1996; Widiarti dan tambak dan upaya petani untuk terus memanfaatkannya
Effendi, 1989). sebagai lahan bertani dan menggembalakan ternak.
Di Jawa, sejarah restorasi ekosistem mangrove tidak Upaya pembuatan tambak dapat menggusur lahan
banyak dicatat, namun berbagai individu dan lembaga, bercocok tanam dan penggembalaan ternak, serta
baik pemerintah maupun swasta, diyakini terlibat dalam berpotensi menghancurkan lahan mangrove yang
kegiatan ini meskipun jumlahnya relatif terbatas. Salah tersisa. Sedangkan upaya petani mempertahankan lahan
satu contoh restorasi hutan mangrove yang dilakukan untuk bertanam dan menggembala ternak dapat
secara kontinyu dan cukup berhasil adalah penanaman menghambat upaya perluasan tambak dan mematikan
Rhizophora spp. di sepanjang pantai utara Rembang, benih mangrove yang diharapkan dapat menyebar dan
khususnya di kecamatan kota. Pada tahun 1980-an, menutupi seluruh laguna sebagaimana dahulu. Apabila
145

tidak dikelola dengan tepat, permasalahan ini akan sungai. Pada akhirnya, preservasi ekosistem mangrove
menghabiskan energi, dana, dan sumber daya tanpa membantu menjaga keseluruhan kondisi alami dan
hasil yang memadahi (ADS, 2002-2003, pengamatan keindahan panorama muara sungai dan nilai ekonomi
pribadi). kawasan pesisir (Anonim, 2001).
Kegiatan restorasi lahan mangrove di Jawa dengan Dalam restorasi mangrove kadang-kadang hanya
ukuran yang signifikan, antara lain juga telah dilakukan di fungsi tertentu saja yang ingin dikembalikan, karena
teluk Jakarta, Muara Angke, Bekasi, Indramayu, beberapa parameter seperti kondisi dan tipe tanah, serta
Pemalang, Tegal, dan Demak dengan dipelopori oleh spesies tumbuhan dan hewan telah berubah (Lewis,
Yayasan Mangrove Indonesia) (Anonim, 2003). Kegiatan 1990b, 1992). Restorasi yang bertujuan mengembalikan
restorasi juga dilakukan di Segara Anakan oleh Badan suatu area sepenuhnya ke kondisi alami seperti sebelum
Pengelola Kawasan Segara Anakan (BPKSA) (Suara dibangun, memiliki tingkat kegagalan jauh lebih tinggi
Pembaruan, 19/04/2003), muara sungai Porong oleh dibandingkan restorasi karakter dan fungsi ekosistem
Pemerintah Kabupaten Sidoarjo (Republika Online, tertentu saja (Lewis et al., 1995). Restorasi ke tipe
15/07/2002), Telukawur-Semat, Jepara oleh Universitas habitat asli kemungkinan juga bukan pilihan terbaik untuk
Diponegoro Semarang (Suara Merdeka, 09/04/2003), skala regional, khususnya apabila ekosistem yang rusak
dan lain-lain. Dalam jumlah yang lebih kecil, kegiatan ini hanya bagian kecil dari suatu tipe ekosistem yang
diyakini banyak di lakukan di berbagai lokasi, termasuk umum, namun apabila tipe ekosistem tersebut sangat
pada muara-muara sungai di pantai selatan Jawa, langka maka restorasi ke kondisi asli barangkali
misalnya di Purworejo dan Kebumen (ADS, 2002-2003, diperlukan (Cairns, 1988). Dalam tulisan ini, hanya
pengamatan pribadi). disinggung praktek restorasi mangrove dengan tujuan
melindungi pantai, mengembalikan tambak yang rusak,
serta mengatasi kerusakan akibat tumpahan minyak.
TUJUAN RESTORASI
Pelindung pantai
Tujuan utama restorasi mangrove adalah mengelola Di kawasan yang penuh aktivitas dan padat
struktur, fungsi, dan proses-proses ekologi pada penduduk, restorasi dapat ditujukan untuk melindungi
ekosistem tersebut, serta mencegahnya dari kepunahan, pantai (Stevenson et al., 1999). Di pantai utara Jawa,
fragmentasi atau degradasi lebih lanjut (Anonim, 2001). abrasi merupakan fenomena yang sering terjadi, seperti
Restorasi diperlukan apabila ekosistem telah di Tangerang (Media Indonesia, 19/08/2002,
terdegradasi dan berubah jauh, tidak dapat 03/10/2003), Jakarta (Media Indonesia, 17/06/2002),
memperbaharui diri secara alami untuk kembali ke Indramayu (Pikiran Rakyat, 27/12/2002; Republika
kondisi semula, serta tidak dapat melaksanakan fungsi Online, 17/04/2002; Suara Pembaruan, 07/07/2002,
sebagaimana mestinya, sehingga memerlukan 11/12/2002; Pikiran Rakyat, 14/03/2003), Cirebon (Media
pengelolaan dan perlindungan (Stevenson et al., 1999; Indonesia, 08/04/2003), Brebes (Media Indonesia,
Morrison, 1990). Pada kondisi ini, homeostasis 28/07/2003), Tegal (Kompas, 06/08/2002), Pemalang,
ekosistem secara permanen terhenti, sehingga Pekalongan (Media Indonesia, 31/05/2002; Republika
menghambat proses suksesi sekunder secara normal Online, 15/07/2003), Kendal, Semarang, Demak, Jepara,
untuk menyembuhkan area yang rusak (Stevenson et al., dan Pati (Kompas, 15/08/2002; Suara Merdeka,
1999). Konsep ini belum banyak dibahas, pembahasan 26/01/2003).
baru dilakukan antara lain oleh Detweiler et al. (1976), Pembabatan mangrove di beberapa kawasan terkait
Ball (1980), dan Lewis (1982). erat dengan kerusakan ekosistem ini, meskipun dapat
Tujuan restorasi lainnya adalah memperkaya pula terjadi karena perubahan arus laut akibat
landskap, mempertahankan keberlanjutan produksi pengerukan pasir (Pikiran Rakyat, 04/04/2002; Media
sumberdaya alam (khususnya perikanan dan kayu), Indonesia, 15/09/2003), reklamasi pantai (Kompas,
melindungi kawasan pantai, serta fungsi sosial budaya 06/10/2003), gangguan/pemindahan muara sungai
(Watson, 1928; Field, 1996; Morrison, 1990; Lewis, (Kompas, 10/11/2002), dan kerusakan terumbu karang
1992, Aksornkoea, 1996; Stevenson et al., 1999). Tujuan (Whitten et al., 2000). Restorasi ekosistem mangrove
restorasi perlu ditetapkan berdasarkan masukan dari diharapkan dapat memulihkan kondisi lingkungan seperti
para pihak dan merupakan konsensus bersama, semula, meskipun harapan ini tidak selalu berhasil
sehingga mendapat dukungan secara luas (Fitzgerald, mengingat pada kasus tertentu kerusakan yang timbul
1997), tanpa dukungan para pihak setempat bersifat permanen sehingga penanaman mangrove tidak
keberhasilan restorasi dalam jangka panjang sangat dapat mengatasi, tanpa perubahan kondisi-kondisi lain
kecil (Primavera dan Agbayani, 1996). yang menyebabkan perubahan arus laut. Di samping itu
Keuntungan restorasi komunitas mangrove meliputi: kesembuhan ekosistem mangrove bersifat jangka
konservasi dan pengembalian spesies yang pernah ada, panjang, dimana pada kasus tertentu, kecepatan abrasi
spesies yang memiliki daerah jelajah luas, dan burung- jauh melebihi kemampuan tumbuhnya mangrove.
burung migran; mendaur-ulang nutrien dan menjaga Meskipun pada akhirnya abrasi akan terhenti dengan
keseimbangan nutrisi pada muara sungai; melindungi sendirinya apabila pola arus laut kembali seimbang.
jaring-jaring makanan pada hutan mangrove, muara, dan Dalam hal ini pembangunan tanggul dan pemecah
laut; menjaga habitat fisik dan tempat pembesaran gelombang tampaknya lebih sesuai (Pikiran Rakyat,
anakan berbagai spesies laut komersial; melindungi 27/12/2002).
lahan dari badai, menjaga garis pantai, dan
mengendapkan lumpur; meningkatkan kualitas dan Restorasi mangrove pada bekas tambak udang
kejernihan air dengan menyaring dan menjebak sampah Restorasi secara khusus dapat pula ditujukan untuk
dan sedimen yang dibawa air permukaan dari hulu mengembalikan bekas tambak udang ke ekosistem
146

mangrove. Hingga kini sangat sedikit laporan berkenaan penampakannya. Langkah ini dapat mempercepat
dengan restorasi tambak (Stevenson dkk., 1999). kesembuhan ekosistem. Biasanya restorasi hanya
Pembangunan tambak udang merupakan salah satu ditekankan pada satu atau beberapa spesies kunci,
penyebab utama kerusakan ekosistem mangrove di restorasi ekosistem mangrove yang kompleks secara
Jawa. Tambak ikan memiliki sejarah panjang di Jawa, keseluruhan tergantung pada proses alami. Regenerasi
dimana bandeng (Chanos chanos) telah dibudidayakan baik secara alami maupun buatan segera setelah
sejak abad ke-15, namun pada tahun 1970 terjadi tumpahan minyak tidak mungkin dilakukan, karena
akselerasi pertambakan, khususnya dengan minyak yang tersisa akan mematikan atau menghambat
ditemukannya metode budidaya intensif udang di tambak pertumbuhan mangrove. Contoh toksisitas pasca
(Fitzgerald dan Savitri, 2002), sehingga sejumlah besar tumpahan minyak ditunjukkan di Panama tahun 1986,
area mangrove di pantai utara Jawa diubah menjadi dimana propagul Rhizophora yang ditanam 4 dan 6
tambak. Namun tambak udang intensif berkonsekuensi bulan pasca kecelakaan semuanya mati, sedang
pada perubahan kondisi hidrologi, edafit (tanah sulfat propagul yang ditanam 9 bulan atau lebih setelah
asam), penyakit, dan pencemaran lingkungan, sehingga kecelakaan dapat hidup (IPIECA, 1993).
ratusan hektar tambak beserta sarana produksinya Lama waktu degradasi racun minyak bumi tergan-
dibiarkan rusak tidak terurus (Setyawan dkk., 2002). tung tipe tanah, arus pasang surut, dan curah hujan.
Dalam kondisi demikian, Stevenson et al. (1999) Penanaman mangrove tidak harus menunggu racun
menyarankan agar dilakukan restorasi mangrove pada tersebut sepenuhnya hilang. Regenerasi alamiah
tambak udang yang rusak, diikuti pembukaan area mangrove yang mati akibat tumpahan minyak dapat
mangrove baru untuk tambak udang. terjadi, tetapi proses ini kemungkinan sangat lambat
Pengamatan di beberapa kawasan pantai utara Jawa karena adanya sisa-sisa minyak yang beracun,
menunjukkan, tingginya sedimentasi menyebabkan garis kurangnya suplai propagul dari kawasan sekitarnya atau
pantai cenderung terus menuju ke arah laut, dengan hambatan propagul untuk mencapai lokasi, akibat
segaris mangrove tepi sebagai batas antara laut dengan adanya sisa-sisa batang dan akar mangrove mati yang
lahan budidaya masyarakat, umumnya berupa tambak menghalanginya (IPIECA, 1993).
bandeng, tambak udang atau tambak garam. Mangrove Regenerasi buatan atas ekosistem mangrove yang
tepi ini sekaligus berfungsi sebagai pelindung dari rusak oleh tumpahan minyak dapat dipercepat dengan
ombak, badai, dan abrasi. Dalam periode tertentu, mengganti tanah tercemar pada lubang penanaman
luasan dataran lumpur yang ditumbuhi mangrove cukup dengan tanah dari daratan, baru ditanami propagul.
untuk diubah menjadi tambak dengan menyisakan Dapat pula dengan menanam bibit pada wadah yang
segaris mangrove tepi, biasanya berupa tegakan memisahkannya dari tanah tercemar, dengan
Avicennia atau Rhizophora. Pembukaan kawasan berjalannya waktu wadah ini akan rusak dan toksisitas
mangrove ini umumnya dimulai dengan proses tanah akan menurun, sehingga bibit dapat tumbuh
pelelangan oleh aparat desa setempat, sehingga area ini normal. Dapat pula dilakukan pembibitan propagul,
berubah dari tanah publik menjadi tanah pribadi. Dalam sehingga bibit akan siap ditanam pada saat toksisitas
hal ini, tambak lama letaknya akan semakin jauh dari tanah sudah menurun. Cara regenerasi di atas berhasil
pantai, akumulasi perubahan kondisi hidrologi, edafit, diterapkan di Panama, dimana area seluas 75 ha
penyakit, dan pencemaran lingkungan menyebabkan ditanami lebih dari 86.000 bibit mangrove. Dua tahun
tambak ini tidak lagi ekonomis untuk diusahakan. Upaya pasca tumpahan minyak, saat regenerasi alami mulai
untuk mengembalikan area ini kembali ke ekosistem terbentuk, bibit hasil penanaman telah mencapai tinggi 1
mangrove merupakan tindakan mahal, mengingat tanah meter dengan tingkat keberhasilan hidup lebih dari 90%
tersebut merupakan milik pribadi, serta adanya (IPIECA, 1993).
perubahan pola hidrologi. Akibatnya banyak bekas- Di Jawa restorasi ekosistem mangrove yang rusak
bekas tambak yang dibiarkan tidak terawat (Jawa: bera). akibat tumpahan minyak bumi tampaknya belum pernah
Dalam jumlah cukup signifikan, kondisi demikian dapat dilakukan. Dalam skala Indonesia, hal ini pernah
dijumpai pada “cekungan” antara gunung Muria dan dilakukan di delta Mahakam, Kalimantan Timur dengan
gunung Lasem, salah satu produsen bandeng budidaya bibit Sonneratia caseolaris (Dutrieux et al., 1990). Di
terbesar di Jawa, yang meliputi Kabupaten Pati dan Jawa, dampak negatif tumpahan minyak bumi terhadap
Rembang. Pada kondisi ketersediaan air tawar ekosistem mangrove dapat diamati di sekitar sungai
mencukupi, secara gradual bekas tambak dapat diubah Donan, Segara Anakan, Cilacap dimana terdapat industri
menjadi sawah, seperti di sepanjang pesisir Demak, pengilangan minyak. Kawasan ini secara periodik
meskipun untuk itu perlu dibangun tanggul dan terpengaruh tumpahan minyak baik dari industri tersebut
bendungan untuk mencegah masuknya air laut di kala maupun kapal-kapal tangker yang melayaninya. Ukuran
pasang (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi). pohon mangrove yang dekat dengan lokasi tersebut
Di Indonesia, upaya restorasi mangrove pada bekas umumnya lebih kecil, lebih pendek, dan lebih jarang
tambak udang dalam luasan yang signifikan dan cukup dibandingkan lokasi yang jauh (Hardjosuwarno, 1989).
berhasil antara lain dilakukan di teluk Benoa, Bali.
Budidaya udang di kawasan ini dimulai pada tahun 1991,
dan program restorasi dimulai sejak tahun 1995, dimana KERANGKA KERJA RESTORASI
sekitar 350 ha tambak udang rusak ditanami mangrove
kembali. Penanaman dimulai dari bekas tambak paling
Secara umum dapat diformulasikan tiga langkah
dekat daratan menuju arah laut (Stevenson dkk., 1999).
utama untuk meriset restorasi habitat mangrove, yaitu: (i)
menggambarkan status ekosistem, serta menentukan
Restorasi akibat tumpahan minyak tujuan dan kriteria keberhasilan restorasi (Lewis, 1990;
Mangrove yang mati akibat tumpahan minyak dapat Kusler dan Kentula, 1990; Pratt, 1994), (ii)
direstorasi untuk mengembalikan fungsi dan
147

pengembangan teknologi, meliputi pemilihan spesies, keterancaman dan kerusakan (Setyawan dkk., 2003).
penentuan perlu tidaknya pekerjaan fisik dan restorasi Keberhasilan restorasi mangrove antar lokasi sulit
buatan (Kaly dan Jones, 1996), (iii) menilai keberhasilan digeneralisasikan, karena tergantung kondisi lingkungan
restorasi, berdasarkan besarnya biaya dan kecepatan setempat dan spesies yang ditanam, sehingga perlu
kesembuhan ekosistem (Henry dan Amoros, 1995), diketahui pola yang mendasari terbentuknya tegakan
yakni kembalinya aspek fungsional ekosistem tersebut mangrove (Field, 1998a). Umumnya pola hidrologi
(Kaly dan Jones, 1996). dianggap sebagai faktor utama yang mempengaruhi
Restorasi biasanya ditekankan pada penanaman daya tahan dan pertumbuhan seedling mangrove (Field,
tumbuhan mangrove, namun sebelumnya perlu diketahui 1996, 1998b). Oleh karena itu, mangrove ditanam pada
penyebab kerusakan, menghilangkan penyebab terse- lokasi dengan ombak kecil, dimana tingkat erosi pantai
but, dan membiarkan proses penyembuhan secara alami minimal. Pengetahuan zonasi spesies mangrove
(Lewis dan Streever, 2000; Hamilton dan Snedaker, diperlukan untuk menentukan area yang sesuai untuk
1984). Keberhasilan restorasi mangrove akan meningkat spesies yang berbeda (Kairo et al., 2001). Zonasi ini
apabila kondisi habitat telah diidentifikasi; memperhati- merupakan hasil toleransi lingkungan dan pilihan
kan hak milik atas tanah dan rencana perlindungan fisiologis setiap spesies (Rabinowitz, 1978). Setiap
habitat liar secara menyeluruh; pengelolaan hidrologi spesies mangrove mempunyai suatu cakupan toleransi
dan introduksi tumbuhan asing untuk memperkaya, yang spesifik terhadap parameter-parameter lingkungan,
merestorasi, dan menjaga keanekaragaman spesies; seperti kadar garam, genangan pasang surut,
dan terdapat peraturan perundang-undangan yang tegas keteduhan, elevasi daratan dan lain-lain. Hal ini
(Anonim, 2001). Hutan mangrove dapat memulihkan diri membatasi zona yang sesuai bagi keberadaannya.
sendiri tanpa upaya restorasi melalui suksesi sekunder Sonneratia alba dan Rhizophora akan tumbuh pada
pada periode 15-30 tahun, apabila siklus hidrologi perbatasan ekosistem mangrove dengan laut, sebab
normal dan tersedia biji atau propagul dari ekosistem tidak mampu menoleransi fluktuasi konsentrasi garam
mangrove di sekitarnya (Watson, 1928; Lewis, 1982; yang besar, sedang Ceriops tagal dan Avicennia marina
Cintron-Molero, 1992). Regenerasi buatan hanya dapat menoleransi kadar garam yang tinggi sehingga
diperlukan untuk mempercepat proses alami (McKee dan ditemukan pada batas ekosistem mangrove dengan
Faulkner, 2000) atau apabila kesembuhan alami tidak daratan. Oleh karena itu, Sonneratia dapat ditanam pada
mungkin terjadi akibat perubahan homeostasis yang dataran lumpur yang berbatasan langsung dengan laut,
terlalu jauh (Lewis dan Streever, 2000). Kegagalan sedangkan Ceriops dan Avicennia dapat ditanam pada
melihat penyebab degradasi merupakan penyebab lokasi kering yang berbatasan dengan daratan (Kairo et
utama kegagalan restorasi mangrove. al., 2001).
Menurut Sanyal (1998) antara tahun 1989-1995 area Faktor penting lainnya yang menentukan keberha-
seluas 9,050 ha di Bengali Barat, India ditanam silan proyek restorasi adalah tingkat kerjasama dari
mangrove, namun tingkat keberhasilannya hanya 1,52%. masyarakat dan para pemimpin lokal. Tekanan populasi
Sebaliknya Soemodihardjo et al. (1996) melaporkan lokal akan mempengaruhi struktur dan fungsi ekosistem
bahwa hanya 10% area yang ditebangi di Tembilahan, mangrove di sekitarnya. Pendidikan lingkungan dapat
Indonesia (715 ha) yang memerlukan penanaman ulang, mendorong keterlibatan aktif dan keikutsertaan publik
sebab kawasan tersebut masih menyisakan lebih dari yang lebih besar. Keduanya merupakan isu penting
2.500 seedling alami setiap ha. Mangrove dapat juga dalam manajemen dan konservasi mangrove. Keputusan
dibentuk dengan menghutankan kawasan intertidal yang manajemen menyertakan masukan lokal akan lebih
tidak bervegetasi atau area lain yang secara alami tidak berhasil dan mendapatkan dukungan politis lebih besar.
memungkinkan kedatangan propagul mangrove, Dua pendekatan telah digunakan di restorasi area
misalnya tanah timbul, namun area ini sering juga mangrove yang terdegradasi, yaitu regenerasi buatan
melayani tujuan ekologis lain seperti menjadi tempat dan alami (Kairo et al., 2001).
mencari makan burung-burung air (Lewis dan Streever, Keberhasilan harus dapat diukur sebagai derajat
2000). Penanaman ini juga dapat mempengaruhi dimana fungsi ekosistem alami yang digantikan dapat
vegetasi akuatik lain seperti padang lamun (Phillips dan ditingkatkan. Hal ini tidak hanya ditentukan berdasarkan
McRoy, 1980). spesies yang hadir dan fungsi yang terkait denganya,
Terdapat lima langkah penting bagi keberhasilan tetapi juga sifat fisik, kimia dan biologi habitat. Ekosistem
restorasi mangrove (Lewis dan Marshall, 1997): yang direstorasi juga harus dapat merespon cekaman
(i) Pemahaman autekologi setiap spesies mangrove, dan perubahan lingkungan sepanjang waktu
meliputi pola reproduksi, distribusi propagul, dan sebagaimana ekosistem alami. Beberapa faktor penting
pemantapan seedling. yang terkait dengan keberhasilan restorasi wetland
(ii) Pemahaman pola hidrologi yang mempengaruhi adalah kemampuan untuk mengakses dan membuat
distribusi, pemantapan, dan pertumbuhan spesies kembali hidrologi, serta mengelola dan melindungi
mangrove yang diinginkan. wetland baru dalam jangka panjang (Kusler dan Kentula,
(iii) Pemahaman perubahan lingkungan yang dapat 1990).
mencegah suksesi sekunder secara alami. Secara ringkas, faktor-faktor yang perlu diperhatikan
(iv) Restorasi sifat hidrologi, dan bila memungkinkan dalam restorasi mangrove mencakup stabilitas tanah dan
penggunaan propagul alami. pola penggenangan (Pulver, 1975), pasang surut dan
(v) Penanaman dilakukan apabila jumlah rekruitmen ombak (Lewis, 1992, Field, 1996), elevasi (Hoffman et
alami tidak mencukupi untuk penyembuhan. al., 1985), salinitas dan aliran air tawar permukaan
(Jiminez, 1990), ketersediaan propagul (Loyche, 1989,
Keberhasilan dan Kegagalan restorasi Kairo et al., 2001), predasi propagul (Dahdouh-Guebas
Pada bagian pertama tulisan ini telah dikemukakan et al., 1997, 1998), jarak dan kerapatan (FAO, 1985,
kondisi terkini ekosistem mangrove di Jawa, termasuk Kairo et al., 2001), eradikasi gulma (Saenger dan
148

Siddique, 1993), teknik pembibitan (Siddique et al., penghijauan mangrove. Pada saat air pasang, Ulva akan
1993), pemantauan (Lewis, 1990b), keikutsertaan terangkat ke atas, dan ketika air surut akan tersangkut,
masyarakat (Kairo dkk., 2001) dan biaya yang melekat, dan mati pada seedling mangrove, sehingga
dibutuhkan (Field, 1998a). Di Jawa, kegagalan restorasi menghambat pertumbuhan dan mematikan seedling
mangrove dapat disebabkan oleh kesalahan tersebut. Kondisi ini menyebabkan kerugian yang cukup
pemahaman pola hidrologi, perubahan arus laut, tipe berarti pada program penghijauan bakau di tepi pantai
tanah, pemilihan spesies, penggembalaan hewan ternah, Pasar Banggi, Rembang. Di Segara Anakan, kegagalan
sampah, kelemahan manajemen, dan ketiadaan restorasi akibat sampah, kurang teramati mengingat
partisipasi masyarakat (ADS, 2002-2003, pengamatan luasnya area mangrove tersebut (ADS, 2002-2003,
pribadi). pengamatan pribadi). Ancaman terbesar ekosistem
Kelemahan manajemen dan tidak adanya peran aktif mangrove di kawasan ini adalah sedimentasi (Winarno
masyarakat merupakan penyebab utama kegagalan dan Setyawan, 2002).
restorasi di beberapa lokasi di Jawa, selain akibat Di muara sungai Luk Ulo, Kebumen selain sampah,
melanggar langkah-langkah penting lain. Kegagalan pola genangan, dan jenis tanah berpasir yang cenderung
restorasi mangrove di muara Bogowonto antara lain juga kurang cocok bagi Rhizophora; tampaknya penggemba-
disebabkan kesalahan pemilihan sumber propagul dan laan merupakan penyebab utama kegagalan restorasi.
pemahaman pola genangan. Penanaman Sonneratia Lokasi mangrove yang direstorasi merupakan area
spp. dengan bibit dari Segara Anakan Cilacap ke Sungai penggembalaan ternak sapi (Bos sondaicus), sehingga
Bogowonto pada tahun 1997 menunjukkan kegagalan seedling yang ditanam tidak tersisa akibat perumputan.
pertumbuhan akibat adanya genangan. Secara alami, Hal sama terjadi di muara sungai Bogowonto, dimana
setiap tahun di musim kemarau muara Sungai area mangrove merupakan kawasan penggembalaan
Bogowonto mengalami penggenangan sekitar 4-6 kerbau (Bos bubalis), sehingga seedling alami hanya
minggu. Hal ini terjadi karena terbentuknya gumuk pasir dapat bertahan di kawasan yang sulit dijangkau ternak,
(sanddunes) yang membendung muara sungai. sedangkan penanaman sengaja hanya dapat dilakukan
Bendungan ini akan jebol dengan sendirinya ketika pada area yang dipagari, yang biasanya telah rusak
volume air yang terbendung melimpah. Bibit Sonneratia sebelum seedling cukup tinggi, sehingga akan dimakan
spp. dapat bertahan hingga tahun 1999, karena pada kerbau (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi).
tahun 1998 tidak terjadi genangan yang cukup berarti Di pantai utara Jawa, kegagalan restorasi juga dapat
akibat curah hujan dan debit air sungai cukup tinggi disebabkan perubahan arus laut. Hal ini terjadi pada
sepanjang tahun sehingga mampu menembus gumuk pantai-pantai terabrasi, dimana penanaman mangrove
pasir di muara sungai. Namun pada musim kemarau akan sia-sia, selama penyebab utama abrasi belum
tahun 1999, kembali terjadi genangan selama 6 minggu, diatasi, karena seedling yang ditanam ikut tergerus arus
sehingga hampir semua populasi Sonneratia spp. dari laut. Salah satu contoh keberhasilan penanaman
Segara Anakan Cilacap mati terendam, namun populasi mangrove untuk mencegah abrasi ditemukan di kawasan
lokal tetap bertahan (Tjut S. Djohan, 2001, komunikasi Bulak-Semat, Jepara. Pada tahun 1980-an pantai di
pribadi). Pengamatan isozim oleh penulis menunjukkan kawasan ini terabrasi akibat kerusakan terumbu karang
adanya perbedaan pola pita isozim populasi Sonneratia dan pembabatan hutan mangrove. Pembuatan tanggul
spp dari kedua lokasi tersebut. Menurut McPhaden pemecah gelombang dan penanaman mangrove terbukti
(1999), badai El Nino South Oscillation (ENSO) pada dapat mengurangi efek abrasi. Pada saat ini Rhizophora
tahun 1997-1998 merupakan yang terbesar sepanjang yang ditanam langsung berbatasan dengan bibir laut,
sejarah, hingga mencurahkan cukup banyak air ke dan tanah dibawahnya ditutupi pasir putih, menunjukkan
kawasan barat Pasifik, setelah sebelumnya garis pantai berhenti di bawah tegakan komunitas ini
menyebabkan kekeringan hebat. Di samping itu (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi).
kegagalan juga disebabkan perumputan oleh kerbau,
sebagaimana terjadi pada populasi Rhizophora spp
(ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi). TEKNIK RESTORASI
Di pantai selatan Jawa, kegagalan restorasi juga
terjadi di muara sungai Cakrayasan, Purworejo dan
Kebanyakan restorasi hanya bertumpu pada
muara sungai Luk Ulo, Kebumen. Pada tahun 2000,
penanaman pohon mangrove, kurang memperhatikan
dilakukan restorasi ekosistem mangrove di kedua lokasi
struktur komunitas dalam jangka panjang atau kaitannya
ini dengan spesies Rhizophora spp. Di muara sungai
dengan ekosistem di sekitarnya (Kusler dan Kentula,
Cakrayasan, kegagalan restorasi kemungkinan besar
1990; Simberloff, 1990). Kebanyakan proyek restorasi
disebabkan akumulasi sampah dari hulu sungai pada
mangrove hanya bersangkutan dengan introduksi pohon
awal musim hujan. Sampah, seperti lembaran plastik,
mangrove, dengan harapan hidupan lain seperti kepiting,
kantung plastik, tali dan lain-lain menutupi area
meiofauna, algae, ikan, dan fauna mangrove lain akan
penanaman sehingga anakan mangrove tidak dapat
mengikuti dengan sendirinya ketika habitat yang dibuat
tumbuh sempurna, bahkan sebagian besar seedling
telah mapan (Kaly dan Jones, 1996). Biasanya restorasi
yang perakarannya masih lemah ikut terhanyut ke laut.
hanya ditekankan pada satu atau beberapa spesies
Di pantai utara Jawa, di sepanjang muara-muara sungai
kunci, restorasi ekosistem mangrove yang kompleks
di Demak, Jepara, Pati, dan Rembang, kematian
secara keseluruhan tergantung pada proses alami
seedling akibat “terjerat” sampah domestik merupakan
berikutnya (IPIECA, 1993).
kejadian umum. Secara unik “penjeratan” ini juga
Teknik restorasi meliputi introduksi biji atau propagul,
dilakukan oleh sejenis algae lembaran, Ulva spp.
anakan pohon, atau pohon yang lebih besar. Penana-
Spesies ini hidup mengapung di tepi pantai dangkal
man biji atau propagul dapat dilakukan secara langsung
terbuka, yang juga merupakan lokasi yang umum
di area yang direstorasi, atau disemaikan dahulu hingga
didatangi propagul alami, dan dipilih dalam program
149

setinggi 0,3-1,2 m (Thorhaug, 1990). Penyemaian biji restorasi ekosistem mangrove (Brinkman dan Singh,
atau propagul menjadi anakan pohon dapat meningkat- 1982). Tanah ini dapat memiliki pH 2 (Kaly dan Jones,
kan keberhasilan penanaman dibandingkan menanam- 1996). Brinkman dan Singh (1982) mengurangi kondisi
nya secara langsung (Hannan, 1975; Thorhaug, 1990), sulfat asam dengan mengeruk tanah di permukaan
meskipun demikian suatu eksperimen di kawasan tropis tambak yang dikeringkan setebal 15 cm dan
Australia menunjukkan bahwa keberhasilan hidup dan ditambahkan kapur untuk mencegah pelepasan asam.
pertumbuhan bibit mangrove tidak ada perbedaan Cara lain adalah menggenangi tanah dengan air pasang
signifikan antara benih hasil semaian, cangkokan, dan dan membiarkan waktu untuk mengoksidasi asam
benih yang ditanam langsung (Kaly dan Jones, 1996). sebelum ditanami kembali. Tanah dikembalikan ke
Strategi menghilangkan makrofauna pada awal kondisi anoksik sebagaimana area lumpur pasang surut
restorasi dapat membantu pertumbuhan mangrove, alami. Di ekosistem mangrove tropis, bakteri tanah
karena menjadi pemangsa atau parasit propagul dan memainkan peranan penting dalam jejaring makanan
tumbuhan muda. Smith (1987a,b,c) menemukan bahwa benthos, seperti memineralisasikan detritus organik dan
kepiting merupakan predator bibit mangrove yang mendaur ulang nutrien penting (Kaly dan Jones, 1996).
signifikan, dan dapat mempengaruhi distribusi spesies di Oleh karena itu, proses biogeokimia alami perlu didorong
hutan mangrove. Kepiting dapat memusnahkan sama untuk menumbuhkan bakteri (Alongi, 1994).
sekali Avicennia marina dengan mengkonsumsi 100% Polutan. Mangrove merupakan ekoton antara
propagul. Menurut Tampa dan Tampa (1988), Kumbang kawasan daratan dan laut, sehingga pencemaran yang
parasit Coccotrypes fallax (Scolytidae) dapat terjadi di darat maupun di laut dapat menumpuk di
mengerumuni sampai 95% propagul dan seedling. kawasan ini. Salaha satu jenis bahan pencemar yang
Menurut Kitamura et al. (1997), jenis hama dan penyakit menarik adalah tumpahan minyak bumi. Dalam suatu
utama seedling mangrove pada kebun bibit di Bali studi, Sonneratia caseolaris, digunakan sebagai
adalah kepiting, kumbang dan tikus. tumbuhan pionir dan ditanam pada tanah yang terpolusi
minyak di delta Mahakam, sebagian dari lokasi ini juga
terpolusi pupuk nitrat dan sisa-sisa dispersan minyak.
RESTORASI FISIK HABITAT Dalam hal ini restorasi diarahkan hanya untuk
mengembalikan satu spesies mangrove yang paling kuat
sebagai starter. Minyak mempengaruhi kematian dan
Sebelum dilaksanakan penanaman tumbuhan
pertumbuhan seedling yang ditanam, tetapi dispersan
mangrove, perlu dilakukan restorasi fisik habitat
berpengaruh lebih buruk lagi. Untuk itu area mangrove
sehingga memungkinkan tumbuhan mangrove yang
yang tertumpahi minyak sebaiknya tidak disemprot
ditanam dapat tumbuh sehat. Secara umum habitat fisik
dispersan dan penanaman ditunda hingga beberapa
yang perlu diperhatikan mencakup pola hidrologi, kondisi
bulan (Dutrieux et al., 1990).
tanah dan adanya bahan pencemar.
Hidrologi. Ekosistem mangrove sudah lama dikenal
sebagai pelindung dan pemantap garis pantai (Othman,
1994), sehingga selamat dari angin topan dan REGENERASI ALAMI
gelombang laut, namun mangrove hanya dapat
mempengaruhi tingkat pengendapan sedimen atau erosi, Regenerasi mangrove secara alami menggunakan
tetapi tidak mengendalikannya (Gill, 1971; Hannan, biji dan propagul alami (wildlings) sebagai sumber bibit,
1975). Oleh karena itu pada pantai yang terabrasi akibat sehingga komposisi spesies yang tumbuh tergantung
perubahan arus laut, tetap memerlukan tanggul pada populasi mangrove tetangganya. Kemampuan
pemecah ombak seperti batu, kuadrapot, tiang pancang, mangrove menyebar dan tumbuh dengan sendirinya
karung goni atau bekas ban (Teas et al., 1975; Hannan, tergantung pada kondisi hutan, arus pasang surut, dan
1975). Struktur tersebut dapat mempercepat stabilitas tanah (Kairo et al., 2001). Pada famili
kesembuhan ekosistem mangrove (Lin dan Beal, 1995) Rhizophoraceae, propagul dilengkapi dengan hipokotil
dan mendorong terbentuknya mangrove baru pada runcing yang akan jatuh dan menanam diri sendiri pada
kawasan sekitarnya. Hidrologi yang mempengaruhi lumpur tidak jauh dari induknya (La Rue dan Muzik,
keberhasilan restorasi mangrove, meliputi: pola pasang 1954), namun apabila propagul tersebut jatuh pada saat
surut (frekuensi dan periode), ketinggian sedimen dan air pasang atau ombak tinggi, kadang-kadang tidak
drainase, serta masukan air tawar (Kaly dan Jones, dapat menancap di lumpur, bahkan tersapu dan terbawa
1996). Kegagalan restorasi seringkali akibat sulitnya arus laut, hingga tumbuh jauh dari induknya (Rabinowitz,
memperbaiki pola hidrologi (Kusler dan Kentula, 1990). 1978; van Speybroeck, 1992).
Pada area dimana terjadi sedimentasi pasir, Penebangan hutan mangrove secara berlebihan
kemungkinan diperlukan pengerukan untuk mencapai dapat menurunkan stabilitas tanah, sehingga propagul
tanah mangrove yang kaya bahan organik. Restorasi dan anak pohon mudah dihanyutkan ombak dan
hidrologi termasuk menghubungkan kembali area regenerasi alami sulit terbentuk (Kairo et al., 2001). Di
dengan laut terbuka sehingga terjadi arus pasang surut Malaysia, direkomendasikan agar disisakan sebanyak 12
yang normal (Brockmeyer et al., 1997, Turner dan Lewis, pohon induk per ha, sebagai penyuplai biji regenerasi
1997), serta pembatasan pengaruh gelombang akibat alami (Tang, 1978, FAO, 1994), namun pada lokasi-
lalu lintas perahu (Knutson et al., 1981). lokasi dengan tingkat regenerasi rendah jumlah tersebut
Kondisi tanah. Tanah sulfat asam (acid soil), yang dapat dinaikkan. Di Thailand, penggunaan pohon induk
umum ditemukan pada area mangrove di seluruh dunia diganti lajur-lajur mangrove yang tidak ditebangi untuk
tropis serta diakibatkan oleh oksidasi dan asidifikasi menjaga regenerasi (FAO, 1985). Kelebihan dan
sedimen yang mengandung pirit ketika penggalian dan kekurangan regenerasi alami dan regenerasi buatan
pengeringan, merupakan tantangan potensial dalam tersaji pada Tabel 1.
150

Tabel 1. Kelebih dan kekurangan regenerasi secara alami bambu (FAO, 1994). Sepanjang kelembaban dijaga,
(Kairo et al., 2001). propagul mangrove dapat disimpan selama enam bulan
(Kairo et al, 2001).
Kelebihan Pada saat penanaman anak pohon baik dari kebun
i. Lebih murah.
pembibitan atau hutan alam perlu dilakukan upaya
ii. Tidak memerlukan tenaga kerja dan peralatan.
iii. Lebih sedikit disturbansi pada tanah. melindungi akar, baik ketika dicabut atau ditanam. Hal ini
iv. Pertumbuhan anakan pohon lebih subur. biasanya dilakukan dengan menyekop anak pohon
dengan diameter tanah separuh tinggi anak pohon. Daya
Kekurangan tahan propagul atau anak pohon lebih baik (80-100%
i. Spesies pengganti kemungkinan berbeda dengan spesies dari 70.000 setelah 24 bulan) dibanding pohon kecil (<
semula. 5% setelah 12 bulan). Anak pohon dari kebun
ii. Ketiadaan pohon induk menyebabkan bibit sedikit atau pembibitan memiliki daya tahan lebih tinggi (80-100%
tidak ada. setelah 24 bulan) dibandingkan seedling alami (Kairo et
iii. Pengkayaan genetika sulit terjadi.
al., 2001). Bibit mangrove dapat pula diperoleh dengan
iv. Ombak laut dapat menyebabkan sulit mapan.
v. Terjadi predasi bibit oleh makrofauna (seperti kepiting dan mencangkok, misalnya pada Rhizophora mangle,
siput). Avicennia germinans, dan Laguncularia racemosa
vi. Jarak tanam, asal dan komposisi spesies bibit sulit (Calton dan Moffler, 1978). Keberhasilan teknik ini
dikontrol. tergantung spesies, terdapat perbedaan signifikan
(p<0,001) keberhasilan pertumbuhan akar antara
Sonneratia alba (58,8%), Lumnitzera racemosa (36,5%),
REGENERASI BUATAN dan Xylocarpus granatum (4,4%). Regenerasi buatan
memiliki beberapa keuntungan antara lain: distribusi dan
komposisi spesies dapat diatur, tumbuhan dapat
Regenerasi mangrove secara alami dapat berlang- diperkaya secara genetik, dan serangan hama dapat
sung lambat, karena perubahan kondisi tanah, pola dikendalikan (Field, 1998a).
hidrologi, dan terhambatnya suplai bibit. Regenerasi
buatan pertama-tama harus memperbaiki pola hidrologi
dan penanaman hanya dilakukan jika rekrutmen alami
tidak mencukupi atau kondisi tanah menghalangi peman- SPESIES UNTUK RESTORASI
tapan alami. Penanaman mangrove telah berhasil dilak-
sanakan di Indonesia, Malaysia, India, Filipina, Thailand, Informasi teknik pembibitan mangrove memusat
dan Vietnam. Kebanyakan spesies yang ditanam pada beberapa spesies mangrove mayor. Dari sekitar 60
termasuk dalam famili Rhizophoraceae, Avicenniaceae, spesies pohon dan semak mangrove mayor dan minor,
dan Sonneratiaceae (Kairo et al., 2001). Teknik serta sekitar 20 spesies tumbuhan asosiasi, hanya 12
regenerasi buatan umumnya menggunakan propagul, spesies yang biasa digunakan untuk restorasi, yaitu
kadang-kadang anak pohon (tinggi < 1,2 m), tetapi Rhizophora, Avicennia, Sonneratia, Bruguiera, Heritiera,
jarang menggunakan pohon kecil (tinggi > 6 m). Metode Lumnitzera, Ceriops, Excoecaria, Xylocarpus, Nypa,
ini sudah digunakan sejak Watson (1928) hingga kini Cassurina, dan Hibiscus. Penentuan spesies yang dipilih
(Kogo et al., 1987, Qureshi, 1990, Siddique et al., 1993). tergantung pada tekstur tanah, kadar garam, dan lama
Propagul Rhizophora sering dipilih karena memiliki penggenangan, serta iklim mikro lainnya (Choudhury,
hipokotil panjang sehingga dapat ditancapkan langsung 1996; 2000). Di kebanyakan negara, pada mulanya
di lapangan, namun teknik ini tidak dapat digunakan penanaman mangrove dilakukan dengan propagul atau
pada anggota genus mangrove lain. Pada umumnya, seedling yang dikumpulkan dari lantai hutan. Sekarang
propagul ditanam dengan jarak 1 meter (10.000 per ha). material yang digunakan adalah seedling alami, biji atau
Pada mangrove, angka kematian bibit awal relatif propagul, dan seedling pembibitan. Hutan mangrove
rendah, tetapi tingkat daya hidup yang diharapkan alami biasanya memiliki sejumlah besar seedling alami.
biasanya hanya sekitar 50%, sehingga diperoleh Mereka sering kali sama tingginya umurnya bervariasi
kepadatan hutan mangrove dewasa yang ideal, sekitar mulai dari 1-6 tahun. Seedling alami yang bangsor,
1.000 pohon per hektar (1 pohon per 10 m2). halus, dan sehat memiliki kemampuan tumbuh lebih baik
Penanaman anak pohon sebaiknya dilakukan pada awal (Choudhury, 1996).
musim hujan, meskipun dapat pula ditanam sepanjang Penggunaan biji dan propagul di penghutanan
tahun (Kairo et al., 2001). mangrove biasa dilakukan, khususnya propagul vivipar.
Pada spesies mangrove tertentu ketersediaan Beberapa spesies tumbuhan mangrove memerlukan
propagul tergantung musim. Propagul mangrove yang kebun pembibitan. Di Bali, pembibitan dilakukan
telah masak dikoleksi dari pohon induk, dari bawah terhadap Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata,
pohon atau dari pantai. Pada Rhizophora dan Ceriops Bruguiera gymnorrhiza, Sonneratia alba, Avicennia
warna hipokotil dapat digunakan untuk membedakan marina, Ceriops tagal, dan Xylocarpus granatum
propagul muda dari yang masak. Pada Avicennia, (Kitamura dkk., 1997). Di Jawa, pembibitan umumnya
propagul masak dapat dipetik dengan mudah dari dilakukan terhadap Rhizophora spp. seperti dilakukan
induknya dengan meninggalkan kelopak. Propagul hasil kelompok tani di pesisir Rembang, Probolinggo, dan
koleksi dapat disimpan dalam kantung plastik lembab Perhutani di Indramayu. Para petani membibitkan
selama tiga hari hingga beberapa minggu, di tempat Rhizophora untuk memenuhi kebutuhan proyek-proyek
teduh, untuk meningkatkan daya tahan terhadap restorasi mangrove. Proyek-proyek ini sering kali identik
serangan kepiting (Watson, 1928, Dahdouh-Guebas et dengan penanaman bakau yang memiliki bentuk
al., 1997). Propagul juga dapat dilindungi dengan perakaran khas. Masyarakat di pantai utara Jawa juga
mengecat hipokotil atau meletakkannya dalam buluh biasa menggunakan seedling alami Rhizophora,
151

Avicennia dan Sonneratia untuk menguatkan tanggul- Perbedaan signifikan komposisi dan keanekaragaman
tanggul tambak, terutama yang berbatasan langsung fauna mulai teramati 5 tahun setelah penanaman.
dengan sungai atau laut (ADS, 2002-2003, pengamatan Kepadatan makrofauna tanah pada ekosistem yang
pribadi). direstorasi lebih tinggi daripada ekosistem yang
dibiarkan terbuka, serta sama dengan ekosistem alami
Teknik pembibitan dan penanaman (Kairo et al., 2001).
Di Bali, pembibitan dilakukan di kebun persemaian
yang letaknya di lokasi mangrove, sehingga bibit dapat Pemantauan area restorasi
beradaptasi dengan kondisi lingkungan di area Area restorasi mangrove perlu dipantau (Tabel 3).
penanaman. Seedling ditanam dalam polibag yang diisi Pemantauan tumbuhan mangrove yang telah ditanam
tanah, dimana penyiraman umumnya mengikuti arus sangat diperlukan untuk menjamin keberhasilan program
pasang laut. Penanaman langsung propagul Rhizophora restorasi. Parameter yang perlu diperhatikan dalam
dimungkinkan pada lokasi yang dangkal (Kitamura dkk., proyek restorasi disajikan pada Tabel 3. Aktivitas ini
1997). Di Rembang, pembibitan tidak dilakukan pada serupa dengan aktivitas yang dilakukan pada proyek
area khusus, tetapi di bawah tegakan mangrove yang kehutanan pada umumnya (Field, 1998b).
agak terbuka atau di tepian area mangrove, pada batas
dengan daratan. Propagul ditanam pada polibag yang
cukup tinggi untuk mengurangi pemangsaan oleh PENUTUP
kepiting (ADS, 2002-2003, pengamatan pribadi). Cara
pembibitan berbagai spesies mangrove antara lain
Mangrove merupakan ekosistem yang menghubung-
dipublikasikan oleh Choudhury (1994, 1996, 2000) ber-
kan hidupan laut dan daratan, serta menjadi daerah
dasarkan penelitian di Banglades, namun dalam tulisan
penyangga dan ekoton antar kedua hidupan tersebut.
ini hanya dikemukan cara pembibitan mangrove tujuh
Semua aktivitas yang dilakukan di darat dan di laut dapat
spesies di Bali oleh Kitamura et al. (1997), mengingat
mempengaruhi eksistensi ekosistem ini. Nilai penting
kedekatan ekosistemnya dengan Jawa (Tabel 2.).
ekosistem mangrove telah diketahui secara luas, namun
Penanaman seedling umumnya dilakukan pada
hingga kini penurunan luasan mangrove di seluruh dunia
bulan Desember s.d. Januari, pada awal musim hujan.
yang terus berlanjut. Hal ini menunjukkan adanya
Waktu penanaman juga memperhatikan kalender hijriah,
kesenjangan antara teori yang menyatakan perlunya
dimana penanaman dilakukan seminggu setelah tanggal
pemanfaatan ekosistem mangrove secara lestari dan
14 atau 15 saat pasang sedang rendah. Bibit yang
praktek yang menunjukkan dilaksanakannya
digunakan biasanya berketinggian sekitar 60 cm, bibit
pemanfaatan secara tidak lestari. Mangrove merupakan
yang lebih tinggi dapat ditanam pada area dengan
ekosistem yang sangat viabel. Ekosistem mangrove
tingkat penggenangan lebih dalam, tetapi bibit dengan
yang rusak dapat memulihkan diri sepanjang faktor-
ketinggian lebih dari 1,5 m sebaiknya tidak digunakan. Di
faktor lingkungan seperti pola hidrologi, kondisi tanah,
Indonesia dan Malaysia biasanya dipilih propagul dalam
dan ketersediaan propagul mendukung, namun pada
praktek penanaman, sehingga spesies yang ditanam
kondisi daya lenting terpatahkan perlu dilakukan campur
umumnya Rhizophora (Choudhury, 2000).
tangan dengan melakukan regenerasi secara buatan.
Penanaman mangrove memerlukan masa perawatan
Teknik manajemen mangrove yang ada saat ini sering
intensif sekitar 75 hari setelah tanam, dimana diperlukan
kali gagal untuk mempertahankan kelestarian sumber
penggantian bibit yang tersapu ombak, tererosi, dimakan
daya ini. Untuk itu perlu dilakukan pendekatan yang lebih
kepiting, bibit yang tidak sehat dan mati serta menjaga
luas dengan mengintegrasikan manajemen kawasan
drainase, membuang sampah, dan menjaga dari erosi.
pesisir, dengan memasukkan unsur-unsur penting
Semak-semak mangrove yang tebal dapat terbentuk
seperti ekologi, sosial ekonomi, dan sosial budaya
setelah 5 tahun. Adapun pohon mangrove dewasa
sehingga dapat memenuhi hajat hidup orang banyak,
dengan tinggi lebih dari 5 m, akar penyangga kuat,
sekaligus memelihara biodiversitas secara luas.
rangkaian akar nafas luas, dan kanopi rapat dapat
terbentuk dalam waktu 15 tahun (Choudhury, 1996).

Tabel 3. Aktivitas pemantauan setelah penanaman mangrove (Field, 1998b).

Aktivitas Tindakan di lapangan


Memantau perkembangan spesies Mengecek kebenaran asal usul propagul dan biji
Memantau laju pertumbuhan sejalan dengan umur Mengamati kerapatan sapling dan pohon, diameter batang, tinggi dan volume
pohon. Mengukur pertambahan tahunan.
Memantau pertumbuhan sifat-sifat khusus Mengamati struktur batang, nodus, fenologi, pembuahan, serta resistensi
terhadap hama dan penyakit.
Mencatat tingkat kegagalan anak pohon Menyiapkan penjelasan ilmiah mengenai kegagalan ini.
Mencatat tingkat akumulasi sampah Mencatat asal sampah dan langkah yang diambil untuk mengatasinya.
Mengatur kerapatan seedling dan anak pohon pada Mencatat tingkat kelebatan, regenerasi buatan atau alami.
tingkat optimum Mencatat pertumbuhan pohon.
Memperkirakan total biaya akhir proyek restorasi Mencatat semua pengeluaran, meliputi persiapan lokasi, koleksi propagul,
pembibitan di kebun, penanaman di lapangan dan lain-lain.
Memantau dampak penebangan hutan mangrove di Hal ini merupakan catatan restorasi jangka panjang
sekitarnya
Memantau sifat-sifat ekosistem mangrove yang Mengukuran secara terinci mengenai fauna, flora dan parameter lingkungan
direstorasi dari ekosistem hasil restorasi dan membandingkannya dengan ekosistem
mangrove alami.
152

Tabel 2. Teknik penanaman beberapa spesies mangrove yang utama di Bali (Kitamura dkk., 1997).

Rhizophora Rhizophora Bruguiera Sonneratia Avicennia Ceriops tagal Xylocarpus


mucronata apiculata gymnorrhiza alba marina granatum
Musim buah September- Desember- Mei-Desember April-Juni dan Desember- Agustus- September-
Desember Pebruari September- Pebruari Desember Desember
Oktober
Kriteria buah Kotiledon hijau Kotiledon Kotiledon hijau Buah jatuh dari Berat buah Kotiledon Buah kuning
muda atau merah, panjang tua hingga pohon, biji tanpa kelopak kuning, hingga cokelat,
kuning, panjang > 20 cm, merah, panjang mengapung di 1,5 g, panjang panjang > 20 permukaan biji
> 50 cm, dipilih diameter > 1,4 > 20 cm. air tawar. > 1,8 cm. cm, dipilih cokelat
propagul yang cm, dipilih Sebelum propagul yang kekuningan
bebas penyakit. propagul yang ditanam bebas penyakit. dengan bintik-
bebas penyakit direndam air bintik kelabu,
semalam untuk tali ari tampak.
membuang
kulitnya.

Media tanam Tanah tepi Tanah tepi Tanah tepi Tanah yang Tanah tepi Tanah tepi Tanah tepi
tambak. tambak. tambak. dicampur 30% tambak. tambak. tambak.
pupuk
kandang.

Pembibitan Propagul Propagul Propagul Biji dipendam Biji dipendam Biji dipendam Biji diletakkan
ditancapkan ditancapkan ditancapkan sedalam sedalam 1/3 sedalam 5 cm. di atas tanah
sedalam 10 cm. sedalam 5 cm. sedalam 5 cm. separuh panjangnya, dengan posisi
panjangnya, diletakkan radikula di
dua biji per pot. bebas dari bawah.
pasang surut
hingga berakar.

Naungan 50% 50%. 30%. 30%. 30%. 50%. 30%.

Pengairan Mengikuti arus Mengikuti arus Mengikuti arus Mengikuti arus Disiram dua Mengikuti arus Mengikuti arus
pasang-surut. pasang-surut. pasang-surut. pasang-surut kali sehari pada pasang surut, pasang surut,
dan pengairan saat tidak ada dan disiram dan disiram
buatan setiap pasang, dan pada saat air pada saat air
hari. sekali ketika surut. surut.
ada pasang,
saat air surut.

Hama dan Kepiting, ulat, Tidak ada yang Tidak ada yang Tikus, kepiting, Tikus, kepiting, Tidak ada yang Tidak ada yang
penyakit kumbang. penting. penting. dan ulat. dan ulat. penting. penting.

Cara Kepiting Tikus Tikus


mengatasi memakan memakan biji, memakan biji, ,
propagul baru, daun muda dan diatasi dengan
diatasi dengan tunas muda, jaring keliling
meletakkan diatasi dengan kebun. Kepiting
pangkal bibit jaring keliling memakan
setinggi 20 cm kebun. Kepiting tunas muda
di atas dasar. memakan dan daun,
Ulat dan tunas muda diatasi dengan
kumbang dan daun, lembaran
memakan ujung diatasi dengan plastik keliling
propagul, lembaran kebun. Ulat
diatasi secara plastik keliling diatasi dengan
manual. kebun. Ulat jaring halus
diatasi dengan keliling kebun.
jaring halus
keliling kebun.
Lama 4-5 bulan, tinggi 4-5 bulan, 3-4 bulan, tinggi 5-6 bulan, 3-4 bulan, 6-7 bulan, 3-4 bulan,
pembibitan seedling > 55 tinggi seedling seedling > 35 tinggi seedling tinggi seedling tinggi seedling tinggi seedling
cm, jumlah > 30 cm, cm, jumlah daun > 15 cm, > 30 cm, > 20 cm, > 20 cm,
daun 2 pasang. jumlah daun 2 > 3 pasang. jumlah daun > jumlah daun > jumlah daun > jumlah daun >
pasang. 3 pasang. 3 pasang. 2 pasang. 2 pasang.
Penanaman Polibag Polibag Polibag dibuang Polibag Polibag Polibag Polibag
dibuang dan dibuang dan dan 1/3 bagian dibuang. dibuang. dibuang dan dibuang.
1/3 bagian 1/3 bagian propagul 1/3 bagian
propagul propagul dibenamkan, propagul
dibenamkan. dibenamkan. pada penaman dibenamkan.
langsung
kelopak tidak
dibuang.
153

DAFTAR PUSTAKA FAO. 1994. Mangrove Forest Management Guidelines. Rome: FAO
Forestry Paper.
Field, C. 1996. Restoration of mangrove Ecosystems. Okinawa:
Aksornkoae, S. 1996. Reforestation in mangrove forests in Thailand, A International Tropical Timber Organization and International Society
case study in Pattani Province. In Field, C.D. (ed.) Restoration of for Mangrove Ecosystems.
Mangrove Ecosystems. Okinawa: International Society for Mangrove Field, C. 1998a. Rationales and practices of mangrove afforestation.
Ecosystems. Marine and Freshwater Research 49: 353-358
Alongi, D.M. 1994. The role of bacteria in nutrient recycling in tropical Field, C. 1998b. Rehabilitation of mangrove ecosystems: an overview.
mangrove and other coastal benthic ecosystems. Hydrobiologia 285: Marine Pollution Bulletin 37: 383-392
19-32. Fitzgerald, B. 2002. Case study 5: integrated mangrove forest and
Anonim. 1991. Application social forestry strategy by using silvofishery aquaculture systems (silvofisheries) in Indonesia. In Macintosh D.J.,
system for supporting national food production. Bandung: Perum M.J. Phillips, R.R. Lewis, and B. Clough. Annexes to the Thematic
Perhutani Unit III West Java. Review on Coastal Wetland Habitats and Shrimp Aquaculture. Case
Anonim. 1997. Empang parit di Desa Randusanga Kulon, Kecamatan studies 1-6. Report prepared under the World Bank, NACA, WWF
Brebes, Kabupaten Brebes. Kehutanan Indonesia 6: 31-34. and FAO Consortium Program on Shrimp Farming and the
Anonim. 2001. Mangroves, Multi-Species Recovery Plan for South Environment. Work in Progress for Public Discussion. Published by
Florida. southeast.fws.gov/vbpdfs/commun/mn.pdf. the Consortium.
Anonim. 2003. Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di Indonesia. Fitzgerald, B. and L.A. Savitri. 2002. Case study 6: integration of
Jakarta: Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. silvofisheries into coastal management and mangrove rehabilitation
Bacon, P.R. 1987. Use of wetlands for tourism in the insular Caribbean. in Java, Indonesia. In Macintosh D.J., M.J. Phillips, R.R. Lewis, and
Annals of Tourism Research 14: 104-117. B. Clough. Annexes to the Thematic Review on Coastal Wetland
Ball, M. C. 1980. Patterns of secondary succession in a mangrove forest Habitats and Shrimp Aquaculture. Case studies 1-6. Report prepared
in south Florida. Oecologia (Berl.) 44: 226-235. under the World Bank, NACA, WWF and FAO Consortium Program
Baowen, L. 1997. The present situation and prospects of mangrove on Shrimp Farming and the Environment. Work in Progress for
afforestation in China. World Forestry Congress 1997. Public Discussion. Published by the Consortium.
Brinkman, R., and V.P. Singh, 1982. Rapid reclamation of fishponds on Fitzgerald, W.J. 1997. Silvofisheries-an environmentally sensitive
acid sulphate soils. In Dost, H. & N. van Breemen (ed.). Proceedings integrated mangrove forest and aquaculture system. Aquaculture
of the Bangkok Symposium on Acid Sulphate Soils. ILRI. Asia 2 (3): 9-17.
Wageningen, Nederlands, Publication 31: 318-330. Gill, A. M. 1971. Mangroves-is the tide of public opinion turning? Fairchild
Brockmeyer, R.E. Jr., J.R. Rey, R.W. Virnstein, R.G. Gilmore, and L. Tropical Garden Bulletin 26: 5-9.
Ernest. 1997. Rehabilitation of impounded estuarine wetlands by Hamilton, L.S. and S.C. Snedaker. 1984. Handbook for Mangrove Area
hydrologic reconnection to the Indian River Lagoon, Florida (USA). Management. Honolulu: Environment and Policy Institute, East-West
Wetlands Ecology and Management 4 (2): 93-109. Center.
Cairns, J. 1988 Restoration ecology: the new frontier. In Restoration of Hannan, J. 1975. Aspects of red mangrove reforestation in Florida.
Damaged Ecosystems, Volume 1. Boca Raton, Flo.: CRC Press. Proceedings of the Second Annual Conference on the Restoration of
Calton, J.M. and M.D. Moffler. 1978. Propagation of mangroves by air- Coastal Vegetation in Florida.
layering. Environmental Conservation 5: 147-150 Hardjosuwarno, S. 1989. The impact of oil refinery on the mangrove
Chapman, V.J. 1976. Mangrove Vegetation. Liechtenstein: J.Cramer vegetation. BIOTROP Special Publications 37: 187-192.
Verlag. Hartina, 1996. Evaluasi Usaha Tumpang Sari Empang Parit di RPH
Choudhury, J.K. 1994. Mangrove re-afforestation in Bangladesh. Cemara, BKPH Indramayu, KPH Indramayu. [Tesis]. Yogyakarta:
Proceedings on the Workshop on ITTO Project Development and Program Pascasarjana UGM.
Dissemination of Re-afforestation Techniques on Mangrove Forests: Hassan, H.H.A. 1981. A Working Plan for the Second 30-year Rotation of
18-20 April 1994. Bangkok Thailand. the Matang Mangrove Forest Reserve Perak 1980-89. Perak,
Choudhury, J.K. 1996. Mangrove forest management. Mangrove Malaysia: State Forestry Department Publication.
Rehabilitation and Management Project in Sulawesi. Jakarta: Asia Hoffman, W.E., M.J. Durako, and R.R. Lewis. 1985. Habitat restoration in
Development Bank. Tampa bay. In: Simon, S.A.F., R.R. Lewis, and R.R. Whiman. (eds.)
Choudhury, J.K. 2000. Sustainable management of coastal mangrove Treat, Proc. Tampa Bay Area Scientific Inf. Symp. Tampa: Florida
forest development and social needs. Mangroves and Other Coastal Sea Grant College & Bellwether Press.
Forests. www.fao.org/montes/ foda/wforcong/ IPIECA. 1993. Biological Impact of Oil Pollution: Mangroves. IPIECA
PUBLI/PDF/V6E_T386.PDF. Report No. 4. London: International Petroleum Industry
Chowdhury, R.A., and I. Ahmed. 1994. History of forest management. In Environmental Conservation Association.
Hussain Z. and G. Acharya (ed.). Mangroves of the Sundarbans, Vol. Jimenez, JjA. 1990. The structure and function of dry weather mangroves
2: Bangladesh. Gland, Switzerland: IUCN Wetlands Program. on the Pacific coast of Central America, with emphasis on Avicennia
Cintron-Molero, G. 1992. Restoring mangrove systems. In Thayer, G.W. bicolor forests. Estuaries 13: 182-192
(ed.). Restoring the Nation’s Marine Environment. Maryland: Kairo, J.G., F Dahdouh-Guebas, J. Bosire, and N. Koedam. 2001.
Maryland Seagrant Program, College Park. Restoration and management of mangrove systems — a lesson for
Crewz, D.W. and R.R. Lewis. 1991. An evaluation of historical attempts and from the East African region. South African Journal of Botany
to establish emergent vegetation in marine wetlands in Florida. 67: 383-389.
Florida Sea Grant Technical Publication No. 60, Gainesville, Kaly, U.L. and G.P. Jones. 1996. Mangrove Restoration: a Potential Tool
Flo:.Florida Sea Grant College. for Ecosystem Management of Coastal Fisheries. Queensland:
Dahdouh-Guebas, F., M. Verneirt, J.F. Tack, and N. Koedam. 1997. Food Department of Marine Biology, James Cook University, Queensland,
preferences of Neosarmatium meinerti de Man (Decapoda: Australia.
Sesarminae) and its possible effect on the regeneration of Khoon, G.W. and O.J. Eong. 1995. The use of demographic studies in
mangroves. Hydrobiologia 347: 83-89 mangrove silviculture. Hydrobiologia 295: 255-261.
Dahdouh-Guebas, F., M. Verneirt, J.F. Tack, D. Van Speybroeck, and N. Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, and S. Baba. 1997. Handbook of
Koedam. 1998. Propagule predators in Kenyan mangroves and their Mangroves in Indonesia; Bal & Lombok. Denpasar: The
possible effect on regeneration. Marine and Freshwater Research Development of Sustainable Mangrove Management Project,
49: 345-350 Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation
Detweiler, T.E., F.M. Dunstan, R.R. Lewis, and W.K. Fehring. 1976. Agency.
Patterns of secondary succession in a mangrove community. Knutson, P.L., J.C. Ford, M.R. Inskeep, and J. Oyler. 1981. National
Proceedings of the Second Annual Conference on Restoration of survey of planted salt marshes (vegetative stabilization and wave
Coastal Plant Communities in Florida. Tampa, FL: Hillsborough stress), Journal of the Society of Wetland Scientists 1, 129-156.
Community College. Kogo, M., D. Kamimura, and T. Miyagi. 1987. Research for
Duke, N. 1996. Mangrove reforestation in Panama: an evaluation of rehabilitation/reforestation of mangroves in Truk Island. In:
planting areas deforested by a large oil spill. In: Field C. (ed.) Mangroves of Asia and the Pacific: Status and Management.
Restoration of Mangrove Ecosystems. Okinawa: International Technical Report of the UNDP/UNESCO Research and Training
Tropical Timber Organization and International Society for Mangrove Pilot Programme on Mangrove Ecosystems in Asia and the Pacific
Ecosystems. (RAS/79/002). Quezon City, Phillipines: UNESCO.
Dutrieux, E., F.Martin, and A. Debry. 1990. Growth and mortality of Kompas, 06/08/2002. 29 Hektar Pantai Muara Reja Terkena Abrasi
Sonneratia caseolaris planted on an experimentally oil-polluted Kompas, 06/10/2003. Reklamasi Pantai Jakarta Memperparah Abrasi
soil. Marine Pollution Bulletin 21: 62-68. Kompas, 10/11/2002. Pantai Dadap Direklamasi Untuk Tempat Wisata
FAO. 1985. Mangrove Management in Thailand, Malaysia and Indonesia. Kompas, 15/08/2002. Parah Abrasi di Pantura
Rome: FAO Environment Paper.
154

Kusler, J.A. and M.E. Kentula. 1990. Wetland Creation and Restoration: Pulver, T.R. 1975. Suggested mangrove transplanting techniques.
The Status of the Science. Washington: Island Press. Proceedings of the Second Annual Conference on the Restoration of
La Rue, C.D. and T.J. Muzik. 1954. Does mangrove really plant its Coastal Vegetation in Florida.
seedling. Nature 114: 661-662 Qureshi MT. 1990. Experimental plantation for rehabilitation of mangrove
Lewis, R.R. 1982. Low marshes, peninsular Florida. In Lewis, R.R. (ed.). forests in Pakistan. Mangrove Ecosystem Occasional Papers 4.
Creation and restoration of coastal plant communities Boca Raton, UNESCO, COMAR, UNDP
FL.: CRC Press. Rabinowitz, D. 1978. Early growth of mangrove seedlings in Panama,
Lewis, R.R. 1990a Creation and restoration of coastal wetlands in Puerto and hypothesis concerning the relationship of dispersal and
Rico and the US Virgin Islands. In Kusler, J.A. and M.E. Kentula zonation. Journal of Biogeography 5: 113-133.
(ed.) Wetland Creation and Restoration: The Status of Science. Republika Online, 15/07/2002. Kawasan Pantai Sidoarjo Akan Ditanami
Washington: Island Press. 20.000 Pohon Mangrove.
Lewis, R.R. 1990b. Wetlands restoration/creation/enhancement Republika Online, 15/07/2003. Sejumlah Tambak Terkena Dampak
terminology: suggestions for standardization. In J.A. Kusler and M.E. Abrasi.
Kentula (eds.) Wetland Creation and Restoration: The Status of the Republika Online, 17/04/2002. Abrasi Laut Ancam Permukiman Ratusan
Science. Island Press, Washington, D.C., USA. Warga Indramayu.
Lewis, R.R. 1992. Coastal habitat restoration as a fishery management Saenger, P. and N.A. Siddique. 1993. Land from the sea: the mangrove
tool. In Stroud, R.H. (ed.) Stemming the Tide of Coastal Fish Habitat afforestation proqramme of Bangladesh. Ocean and Coastal
Loss; Proceedings of a Symposium on Conservation of Coastal Fish Management 20: 23-29.
Habitat, Baltimore, MD, USA, March 7-9 1991. National Coalition for Sanyal, P. 1998. Rehabilitation of degraded mangrove forests of the
Marine Conservation, Inc., Savannah, Georgia, USA. Sunderbans of India. Program of the International Workshop on the
Lewis, R.R. and M.J. Marshall. 1997. Principles of successful restoration Rehabilitation of Degraded Coastal Systems. Phuket Marine
of shrimp aquaculture ponds back to mangrove forests. Biological Center, Phuket, Thailand. 19-24 January 1998.
Programa/resumes de Marcuba ‘97, September 15/20, Palacio de Setyawan, A.D., K. Winarno, P.C. Purnama. 2003. REVIEW: Ekosistem
Convenciones de La Habana, Cuba. Mangrove di Jawa: 1. Kondisi Terkini. Biodiversitas 4 (2): 133-145.
Lewis, R.R., and B. Streever. 2000. Restoration of mangrove habitat. Siddique, N.A., M.R. Islam, M.A.S. Khan, and M. Shahidullah. 1993.
WRP Technical Notes Collection (ERDC TN-WRP-VN-RS-3.2). Mangrove nurseries in Bangladesh. International Society for
Vicksburg, MS.: U.S. Army Engineer Research and Development Mangrove Ecosys stems Occasional Papers No.1. Okinawa:
Center. www.wes.army.mil/el/wrp. International Society for Mangrove Ecosystems.
Lewis, R.R., J.A. Kusler, and K.L. Erwin. 1995. Lessons learned from five Simberloff, D. 1990. Reconstructing the ambiguous: Can island
decades of wetland restoration and creation in North America. pp. ecosystems be restored? In Towns, D.R., C.H. Daugherty, and I.A.E.
107-122 In Montes, C., G. Oliver, F. Molina, and J. Cobos (eds.) Atkinson. Ecological Restoration of New Zealand Islands;
Bases Ecologicas para la Restauracion de Humedales en la Cuenca Conservation Sciences Publication No. 2. Wellington: Department of
Mediterranea. Proceedings of a meeting held at the University of La Conservation, New Zealand.
Rabida, Spain. 7-l 1 June 1993. Junta de Andaluca, Spain. Smith, T.J. 1987a. Seed predation in relation to tree dominance and
Lin, J. And J.L. Beal. 1995. Effects of mangrove marsh management on distribution in mangrove forests. Ecology 68: 266-273.
fish and decapod communities. Bulletin of Marine Sciences 57: 193- Smith, T.J. 1987b. Effects of seed predators and light level on the
201. distribution of Avicennia marina (Forsk.) Vierh. in tropical, tidal
Loyche M. 1989. Mangrove of West Africa — the forest within the sea. forests. Estuarine, Coastal and Shelf Science 25: 43-51.
Mangroves and Fish. IDAF Newsletter 9: 18-31 Smith, T.J. 1987c. The influence of seed predators on structure and
McKee, K.L., and P.L. Faulkner. 2000. Restoration of biogeochemical succession in tropical tidal forests. Proceedings Ecological Society
function in mangrove forests. Restoration Ecology 8: 274-259 Australia 15: 203-211.
McPhaden, M.J. 1999. Genesis and evolution of the 1997-1998 El-Nino. Soemodihardjo, S., P. Wiroatmodjo, F. Mulia, and M.K. Harahap. 1996
Science 283: 950-954. Mangroves in Indonesia, a case study of Tembilahan, Sumatra. In
Media Indonesia, 03/10/2003. Abrasi Pantura Tangerang Makin Fields, C. (ed.) Restoration of Mangrove Ecosystems. Okinawa:
Mengkhawatirkan International Society for Mangrove Ecosystems.
Media Indonesia, 08/04/2003. 20 Km Pantura Cirebon dan Indramayu Stevenson, N.J., R.R. Lewis, and P.R. Burbridge. 1999. Disused shrimp
Mengalami Abrasi ponds and mangrove rehabilitation. In Streever, W. (ed.). An
Media Indonesia, 15/09/2003. Nelayan Keluhkan Pengerukan Pasir Laut International Perspective on Wetland Rehabilitation. Dordrecht:
Media Indonesia, 17/06/2002. 124 Pantai di Indonesia Mengalami Kluwer Academic Publishers.
Kerusakan Streever, W. (ed.). 1999. An International Perspective on Wetland
Media Indonesia, 19/08/2002. Desa-desa di Pesisir Tangerang Makin Rehabilitation. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.
Terancam Abrasi Suara Merdeka, 09/04/2003. Kampanye Tanam Bakau di Telukawur.
Media Indonesia, 28/07/2003. Ribuan Hektare Tambak di Brebes, Suara Merdeka, 26/01/2003. Abrasi Pantai di Kendal dan Demak.
Cirebon, dan Indramayu Lenyap Terkena Abrasi Suara Pembaruan, 03/03/2002. Pengelolaan Pesisir Harus Libatkan
Media Indonesia, 31/05/2002. Pantai Slamaran di Pekalongan Alami Warga Lokal
Abrasi Suara Pembaruan, 07/07/2002. Abrasi Mengancam Desa Limbangan
Mish, F.C. (ed.). 1989. Webster’s ninth new collegiate dictionary. Suara Pembaruan, 11/12/2002. Pendangkalan dan Abrasi di Jawa
Springfield, MS.: Merriam-Webster Inc. Mengkhawatirkan
Morrison, D. 1990. Landscape restoration in response to previous Suara Pembaruan, 19/04/2003. 25.000 Batang Mangrove Ditanam di
disturbance. In: Turner, M.G. (ed.) Landscape Heterogeneity and Segara Anakan
Disturbance. New York: Springer-Verlag. Suara Pembaruan, 30/06/2002. Dilema Lingkungan Akibat Tambak
Noakes, D.S.P. 1951. Notes on the silviculture of the mangrove forest of Udang
Matang, Perak. Malaysian Forester 14: 183-196. Tampa, S. and P. Tampa. 1988. Establishment and growth of mangrove
Othman, M.A. 1994. Value of mangroves in coastal protection. seedlings in mangrove forests of southern Thailand. Ecological
Hydrobiologia 285: 277-282. Research 3: 227-238.
Phillips, R.C. and C.P. McRoy (eds.). 1980. Handbook of Seagrass Tang, H.T. 1978. Regeneration stocking adequacy standards. Malaysian
Biology and Ecosystem Perspective. New York: Garland STPM Forester 41: 176-182
Press. Teas, H.J. 1977. Ecology and restoration of mangrove shorelines in
Pikiran Rakyat, 04/04/2002. Pantai Pakisjaya Dikeruk Warga Florida. Environmental Conservation 4: 51-58
Khawatirkan Abrasi. Teas, H.J. 1980. Saline silviculture. 2nd International Workshop on
Pikiran Rakyat, 14/03/2003. Ribuan Hektare Pantai Habis Digerus Abrasi. Biosaline Research, La Paz, Baja, California sur, Mexico.
Pikiran Rakyat, 27/12/2002. 20 Kilometer Pantai Rusak Karena Abrasi. Teas, H.J., W. Jurgens, and M.C. Kimball. 1975. Planting of red
Pratt, J.R. 1994. Artificial habitats and ecosystem restoration: Managing mangroves (Rhizophora mangle L.). In: Lewis RR (ed.)
for the future. Bulletin of Marine Sciences 55: 268-275. Proceedings of the 2nd Annual Conference on the Restoration of
Primavera, J.H. 1995. Mangroves and brackish water pond culture in the Coastal Vegetation, Florida; May 17, 1975, Hillsborough Community
Philippines. Hydrobiologia 295: 303-309. College, Tampa, Florida.
Primavera, J.H. and R.F. Agbayani. 1996. Comparative strategies in Tessar, B. dan K.I. Insan. 1993. Melacak gubug akhir hutan bakau. Warta
community based mangrove rehabilitation programs in the Konservasi Lahan Basah 2 (2): 8-9.
Philippines. Proceedings of the ECOTONE V Regional Seminar: Thorhaug, A. 1990. Restoration of mangroves and seagrasses-economic
Community Participation In Conservation, Sustainable Use and benefits for fisheries and mariculture. In Berger, J.J. (ed.)
Rehabilitation of Mangroves In Southeast Asia. Ho Chi Minh City, Environmental Restoration: Science and strategies for restoring the
Vietnam, 8-12 January, 1996. Mangrove Ecosystem Research earth ed. Washington, D.C.: Island Press.
Centre (MERC), and Vietnam National University. Turner, R.E. and R.R. Lewis. 1997. Hydrologic restoration of coastal
wetlands. Wetlands Ecology and Management 4 (2): 65-72.
155

van Speybroeck, D. 1992. Regeneration strategy of mangroves along the Widiarti, A. and R. Effendi. 1989. Socio-economic aspects of
Kenyan coast: A first approach. Hydrobiologia 247: 243-251 brackishwater pond forest in mangrove forest complex. Symposium
Watson, J.G. 1928. Mangrove forests of the Malay Peninsula. Kulala Mangrove Management in Indonesia. Biotrop Special Publication No.
Lumpur: Malaysian Forest Records No. 6 37: 275-279.
Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S.A. Afiff. 2000. The Ecology of Winarno, K. dan A.D. Setyawan. 2003. REVIEW: Penyudetan Sungai
Java and Bali. Singapore: Periplus. Citanduy, buah simalakama konservasi ekosistem mangrove Segara
Anakan. Biodiversitas 4 (1): 63-72.
156
157

Bibliografi Publikasi Asli

BAGIAN I: Pendahuluan
1. Setyawan, A.D., K. Winarno, dan P.C. Purnama. 2003. REVIEW: Ekosistem Mangrove di Jawa: 1. Kondisi
Terkini. Biodiversitas 4 (2): 130-142.
2. Setyawan, A.D. 2002. Ekosistem Mangrove sebagai Kawasan Peralihan Ekosistem Perairan Tawar dan
Perairan Laut. Enviro 2 (1): 25-40.
2b. Setyawan, A.D., Sutarno, dan A. Susilowati. 2002. Biodiversitas pada Tingkat Genetik, Spesies, dan
Ekosistem Mangrove di Jawa. Surakarta: Jurusan Biologi FMIPA UNS.
BAGIAN II: Kajian Terkini Mangrove di Jawa Tengah
3. Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, dan A. Susilowati. 2005. Tumbuhan Mangrove di
Pesisir Jawa Tengah: 1. Keanekaragaman Jenis. Biodiversitas 6 (2): 90-94.
4. Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, dan A. Susilowati. 2005. Tumbuhan Mangrove di
Pesisir Jawa Tengah: 2. Komposisi dan Struktur Vegetasi. Biodiversitas 6 (3): 194-198.
5. Setyawan, A.D., K. Winarno, Indrowuryatno, Wiryanto, dan A. Susilowati. 2008. Tumbuhan Mangrove di
Pesisir Jawa Tengah 3. Diagram Profil Vegetasi. Biodiversitas (submitted).
6. Setyawan, A.D., K. Winarno, Indrowuryatno, Wiryanto, dan Suranto. 2008. Keanekaragaman Sonneratia
alba di Pesisir Pantai Jawa Tengah Berdasarkan Pola Pita Isozim Esterase dan Peroksidase. Biodiversitas
(submitted).
7. Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, dan K. Winarno. 2005. Potensi Eutrofikasi Kandungan Nutrien pada
Sedimen Tanah Mangrove di Propinsi Jawa Tengah. Enviro 5 (1): 12-17.
8. Setyawan, A.D., Indrowuryatno, Wiryanto, dan K. Winarno. 2004. Pencemaran Logam Berat Fe, Cd, Cr, dan
Pb pada Lingkungan Mangrove di Propinsi Jawa Tengah. Enviro 4 (2): 45-49.
9. Setyawan, A.D. dan K. Winarno. 2006. Pemanfaatan Langsung Ekosistem Mangrove di Jawa Tengah dan
Penggunaan Lahan di Sekitarnya; Kerusakan dan Upaya Restorasinya. Biodiversitas 7 (3): 282-291.
BAGIAN III: Beberapa Permasalahan dan Penanganannya
10. Setyawan, A.D., A. Susilowati, dan Wiryanto. 2002. Habitat Reliks Vegetasi Mangrove di Pantai Selatan
Jawa. Biodiversitas 3 (2): 242-256.
11. Setyawan, A.D. dan K. Winarno. 2006. Permasalahan Konservasi Ekosistem Mangrove di Pesisir Kabupaten
Rembang, Jawa Tengah. Biodiversitas 7 (2): 159-163.
12. Winarno, K., dan A.D. Setyawan. 2003. REVIEW: Penyudetan Sungai Citanduy, Buah Simalakama
Konservasi Ekosistem Mangrove Segara Anakan. Biodiversitas 4 (1): 63-72.
13. Setyawan, A.D. 2003. R E V I E W: Pengaruh Tumpahan Minyak Bumi terhadap Ekosistem Mangrove,
Upaya Mitigasi dan Restorasinya. Enviro (submitted).
BAGIAN IV: Penutup
14. Setyawan, A.D., K. Winarno, dan P. C. Purnama. 2004. REVIEW: Ekosistem Mangrove di Jawa: 2.
Restorasi. Biodiversitas 4 (2): 105-118.
158

Key words index:

ammonium, phosphate 73 management 3, 130, 143


Cd 80 mangrove 3, 15, 80,121,
Central Java 61, 73, 80, 130, 143
Central Java Province 33, 45, 86, 115 mangrove ecosystem 86, 115
Citanduy river 121 mangrove environment 73
composition and vegetation structure 45 mangrove plants 33, 45
conservation problems 115 mangrove remnant 103
Cr 80 nitrate 73
density 103 nutrient 73
direct use 86 oil spills 130
diversion 121 organic matter 73
diversity 103 Pb 80
ecosystem 15 peroxidase 61
ecotone 15 Rembang Regency 115
esterase 61 restoration 3, 130, 143
Fe 80 sedimentation 121
heavy metals 80 Segara Anakan lagoon 121
isozyme 61 Sonneratia alba 61, 103
Java 3, 130, 143 species diversity 33
land use 86
159

Lampiran:

Lampiran xxx. Bentuk lanskap dan penutupan vegetasi/lahan pada 20 area mangrove di Jawa Tengah berdasarkan
peta topografi tahun 1963-1965 dan citra satelit Landsat 7 TM periode Juli-September 2001. Kotak = 1 km2.

Gambar xxx. Muara sungai Wulan, Demak

Gambar xxx. Muara sungai Sigrogol/Lobang (Babalan), Demak


160

Gambar xxx. Muara sungai Serang (Kedung), Demak

Gambar xxx. Pesisir pantai Bulak, Jepara

Gambar xxx. Pesisir pantai Telukawur, Jepara


161

Gambar xxx. Pesisir pantai Tayu, Pati

Gambar xxx. Muara sungai Juwana, Pati

Gambar xxx. Pesisir pantai Pecangakan, Pati


162

Gambar xxx. Pesisir pantai Pasar Banggi, Rembang

Gambar xxx. Pesisir pantai Lasem, Rembang

Gambar xxx. Muara sungai Bogowonto, perbatasan Purworejo-Kulonprogo


163

Gambar xxx. Muara sungai Cakrayasan, Purworejo

Gambar xxx. Muara sungai Wawar, Purworejo

Gambar xxx. Muara sungai Lukulo, Kebumen


164

Gambar xxx. Muara sungai Cingcingguling, Kebumen

Gambar xxx. Muara sungai Ijo (Pantai Lohgending, Ayah), Kebumen

Gambar xxx. Muara sungai Bengawan, Cilacap


165

Gambar xxx. Muara sungai Serayu, Cilacap


166

18

20

19

Gambar xxx. Laguna Segara Anakan, Cilacap: 18 = Tritih, 19 = Motean, 20 = Muara Dua.
Pada masa lalu, Propinsi Jawa Tengah merupakan pemiliki lahan mangrove
167
tunggal terluas di pulau Jawa, yakni di Segara Anakan, Cilacap. Namun tingginya
laju sedimentasi dari sungai Citanduy dan sungai-sungai lainnya yang bermuara
di dalamnya menyebabkan kawasan tersebut cenderung berubah menjadi
ekosistem daratan, sehingga keberadaan mangrove menjadi terdesak. Hal ini
diperparah dengan tingginya laju penebangan pepohonan untuk pembuatan
arang. Ekosistem mangrove di Jawa Tengah juga menarik dikaji karena adanya
perbedaan menyolok antara fisiografi pantai utara yang bertanah lempung dan
berombak relatif tenang dengan pantai selatan yang bertanah pasir dan berombak
sangat kuat. Oleh karena itu, ekosistem mangrove di kawasan ini perlu dikaji
lebih mendalam untuk mendapatkan gambaran kondisi terkini, memahami
kondisi-kondisi yang dapat mengancam kelestariannya, serta upaya-upaya yang
perlu dilakukan untuk menjaga kelestariannya. Pemahaman yang spesifik
terhadap kondisi mangrove di Jawa Tengah perlu pula dipahami dari sudut
pandang yang lebih luas kondisi keseluruhan di pulau Jawa, sehingga diperoleh
pemahaman yang lebih mendalam dan lengkap.

Anda mungkin juga menyukai