Anda di halaman 1dari 10

Faktor Intraseluler Jalur Polyol dan Heksosamin Jalur polyol telah ditetapkan dalam pathogenesis neuropatik diabetes (ND),

melalui aksi aldolase reduktase, enzim pertama dan rate-limiting pada jalur ini. Aldolase reductase menurunkan bentuk aldeid dari glukosa menjadi sorbitol dalam reaksi yang membutuhkan NADPH. Pada keadaan fisiologis sorbitol dioksidasi menjadi fruktosa oleh sorbitol dehidrogenase dan kemudian masuk ke dalam proses glikolisis. Pada kondisi hiperglikemia produksi sorbitol menghambat potensi oksidasinya oleh sorbitol dehidrogenase, dengan akumulasi pada beberapa sel, termasuk sel tubulus ginjal dan sel glomerulus. Beberapa mekanisme telah diyakini berhubungan dengan jalur polyol dalam timbulnya komplikasi diabetes. Hal ini meliputi disregulasi kondisi osmotic seluler, reduksi aktivitas Na+/K+-ATP ase, peningkatan NADH/NAD+ sitosol dan penurunan NADPH. Penurunan NADPH tampaknya menjadi mediator yang paling penting, mengingat hal ini terkait dengan gangguan beberapa reaksi enzimatik yang membutuhkan enzim tersebut, seperti nitric oxide synthase, sitokrom P450, dan glutathione reductase, yang akan meningkatkan status oksidan-antioksidan intraseluler dan memacu vasokonstriksi dan penurunan suplai darah. Jalur Heksosamin merubah fruktosa-6-fosfat dalam N-asetil glukosamin, yang merupakan suatu substrat untuk reaksi sintesis proteoglikan dan pembentukan glikoprotein O-linked. N-asetil-glukosamin telah diterapkan dalam aktivasi faktor SpI transkripsional, yang berhubungan dengan peningkatan sintesis faktor-faktor seperti TGF-1 dan inhibitor-1 aktivator plasminogen, yang perannya terkait dengan kejadian komplikasi vaskuler. Selain itu, jalur heksosamin juga terkait dengan peningkatan tekanan oksidatif dan efek dari jalur ini dapat dicegah dengan pemberian antioksidan yang berlebih, seberti superoxide dismutase.

Jalur Diasilgliserol (DAG)-PKC System DAG-PKC dapat merangsang beberapa perubahan, yang dapat menyebabkan ND. Mekanisme ini meliputi perubahan permeabilitas endotel, vasokonstriksi, peningkatan sintesis matriks ekstraseluler dan stimulasi sintesis sitokin, pertumbuhan sel, angiogenesis, dan adhesi lekosit. Hiperglikemia dapat memacu sintesis DAG de novo, diikuti dengan aktivasi PKC. PKC memodulasi aktivitas beberapa enzim, meliputi fosfolipase A2 dan Na+/K+ ATPase, dan juga ekspresi gen yang terkait dengan komponen matriks ekstraseluler. PKC-beta merupakan isoform utama yang terpengaruh pada ginjal pada hiperglikemia dan ruboksistaurin, suatu inhibitor PKC beta isoform selektif, telah menunjukkan memiliki efek menguntungkan pada komplikasi mikrovaskuler dengan cara menormalkan disfungsi endotel dan GFR dan mengurangi penurunan fungsi penglihatan.

Skrining dan Diagnosis Penilaian Ekskresi Albumin dan GFR Ekskresi Albumin. Pengukuran ekskresi albumin (MA) merupakan dasar dari diagnosis ND. MA merupakan penanda ND yang paling awal yang terdeteksi dan menunjukkan suatu faktor risiko penting pada kejadian ND dan penyakit kardiovaskuler. MA tidak hanya fenomena yang terkait dengan kerusakan ginjal, namun terkait dengan penyaringan albumin yang lebih umum pada darah, akibat dari disfungsi endotel. Skrining MA dapat dilakukan dengan 3 jalan: (1) pengumpulan 24 jam (2) pengumpulan dalam waktu tertentu (misalkan 4 jam atau selama malam); (3) sampel urin sewaktu. Pengumpulan urin 24 jam atau dalam waktu tertentu sering kali sulit

dilakukan dengan akurat, terutama pada anak-anak. Oleh karena itu, cara yang paling mudah adalah dengan rasio albumin-kreatinin (ACR) pada sampel urin sewaktu, lebih baik menggunakan urin pertama di pagi hari, dalam rangka menghindari bias terkait dengan variasi ekskresi albumin pada diurnal. Interpretasi yang tepat membu tuhkan adanya faktor lain dan kondisi yang dapat mempengaruhinya tereksklusi. Aktivitas fisik, infeksi saluran kemih, demam akut, immunoglobulin A atau bentuk lain dari nefritis, hipertensi bergejala, dan siklus mentruasi pada wanita dapat menyebabkan peningkatan ekskresi albumin sementara. Mengetahui bahwa variasi ekskresi albumin intra-individu harian dapat berfluktuasi 40-50%, pengukuran albumin berulang perlu dilakukan. Definisi MA dapat berupa: (1) AER antara 20 hingga 200 g/menit atau 30-300 mg dalam urin tampung 24 jam; (2) ACR 2.5-25 mg/mmol pada pria atau 3.5-25 mg/mmol pada wanita; (3) konsentrasi albumin 30-300 mg/l pada sampel urin pagi. MA persisten ditegakkan dengan 2 dari 3 sampel abnormal dalam periode 3-6 bulan. Nilai di atas batas normal atas pada definisi MA adalah tanda diagnosis makroalbuminuria atau nefropati yang jelas. Berdasarkan pedoman Perkumpulan Diabetes Anak dan Dewasa Internasional, skrining sebaiknya dilakukan dari usia 11 tahun dengan durasi diabetes selama 2 tahun dan mulai usia 9 tahun dengan durasi diabetes selama 5 tahun (Tabel 50-2). Asosiasi Diabetes Amerika menyarankan skrining tahunan sebaiknya dimulai saat anak berusia 10 tahun dan mengalami durasi diabetes 5 tahun lebih sering melakukan pemeriksaan jika nilainya meningkat. GFR. Yayasan Ginjal Nasional sangat menyarankan mengukur GFR pada subjek yang berada dalam risiko penyakit ginjal, seperti pada pasien diabetes. Perubahan GFR dapat memprediksi deteriorasi penyakit ginjal di kemudian hari dan penting sebagai predictor penyakit kardiovaskuler. Penelitian yang dilakukan dengan

follow-up pasien selama 10 tahun telah menunjukkan dengan jelas alur penurunan GFR dalam mengidentifikasi pasien diabetes dewasa dengan risiko tinggi kematian akibat penyakit kardiovaskuler. Evaluasi GFR memiliki peranan penting dalam mengetahui perubahan fungsi ginjal, meskipun ekskresi abumin masih dalam batas normal. Suatu penelitian baru yang dilakukan pada pasien dengan diabetes tipe I menunjukkan penurunan progresif fungsi ginjal sebagai kejadian awal dari MA. Selain itu, peningkatan GFR sering merupakan temuan diagnosis diabetes tahap awal dan terkait dengan hiperperfusi dan peningkatan ukuran ginjal. Pada penelitian terhadap manusia, tahap hiperfiltrasi awal ini dilihat sebagai predictor penting bagi perkembangan selanjutnya dari nefropati, tidak terkait dengan pengendalian kadar gula, meskipun hal ini belum dikonfirmasi pada semua penelitian lain. Evaluasi GFR secara langsung sulit untuk dilakukan, akan memakan banyak waktu dan memerlukan teknik laboratorik yang spesifik dan tingkat tinggi untuk analisisnya. Pemeriksaan klirens kreatinin merupakan alternatif yang memungkinkan namun membutuhkan waktu pengumpulan urin dan konsekuensinya sulit dilakukan dengan akurat, khususnya pada anak-anak. Kreatinin plasma seharusnya merupakan pilihan yang paling mudah. Namun, cara itu dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya pada anak dan remaja. Kenyataannya, kadar kreatinin plasma dipengaruhi tidak hanya oleh filtrasi ginjal tetapi juga oleh sekresi tubulus, usia, jenis kelamin, perubahan massa otot akibat pertumbuhan dan pubertas. Pemeriksaan yang menggunakan kadar kreatinin dan dengan memperhatikan faktor pengganggu lain, seperti komposisi tubuh, telah dikembangkan dan dilakukan sejak lama pada anakanak. YGN merekomendasikan penggunaan formula Scwartz atau Counahan-Barratt untuk memperkirakan estimasi GFR pada subjek dengan usia kurang dari 18 tahun. Formula ini merupakan penghitungan matematis sederhana yang dapat diterapkan untuk pemeriksaan GFR pada anak-anak sehari-hari. Namun, pembedaan tinggi badan pada saat pengukuran kreatinin merupakan suatu poin penting dalam pengaplikasian formula ini. Hal ini menunjukkan keterbatasan yang wajar karena

tinggi badan tidak didapatkan dan diverifikasi dengan mudah di laboratorium ketika pengukuran kreatinin dan penghitungan GFR. Poin penting lain dalam penerapan formula ini adalah , karena hal ini memiliki konstanta k, masing-masing laboratoium memerlukan nilai konstantanya sendiri untuk meningkatkan akurasi estimasi GFR. Selain itu, formula yang berdasarkan kreatinin ini seperti halnya pengukuran klirens kreatinin, tidak dapat dilakukan pada keadaan hiperfiltrasi. Oleh karenanya, pencarian penanda endogen pengganti GFR yang harus diterapkan selain penilaian GFR langsung yang tidak praktis sangat dibutuhkan dan penanda plasma lain, seperti sistatin C atau dimetilarginin simetris, untuk penelitian pada populasi anak dan dewasa.

Jalur Proteomik dan Genomik yang Muncul Sebagai Prediksi, Deteksi dan Pengawasan Nefropati Diabetes ND merupakan penyakit yang kompleks, dengan banyak mekanisme yang berbeda yang terjadi pada patogenesis dan progresinya. Penyakit ini sering kali tidak nampak dalam beberapa tahun, meskipun dalam kurun waktu tersebut perubahan morfologi yang signifikan telah terjadi pada ginjal. Penentuan faktor predisposisi genetik dan penanda dalam darah maupun urin penting untuk identifikasi subjek yang berisiko dan penerapannya dalam strategi pencegahan dan pengobatan, idealnya dengan pendekatan personal yang berdasarkan profil risiko individual pasien. Hal ini adalah dasar pendekatan melalui alur genomik dan proteomic pada ND. Dalam beberapa hal, penelitian keterkaitan genomik secara luas menunjukkan percobaan yang penting pada identifikasi pola genetik pada pasien ND dan investigasi kejadian klinis proteomik hingga kemungkinan kejelasan adanya penanda diagnostik dan/atau prognostik molekuler baru pada ND. Beberapa penelitian besar multisenter seperti Genetik Ginjal pada Diabetes, Penelitian dalam Keluarga mengenai Diabetes, Nefropati, dan epidemiologi Intervensi dan Komplikasi Diabetes, dan penelitian

kondisi genetik terhadap komplikasi diabetes dengan pendekatan rasional pada penduduk Eropa, yang masih berlangsung hingga sekarang, mencari kemungkinan suseptibilitas gen pada ND. Teknologi genomic dan proteomic dapat digunakan untuk menilai ekspresi gen dan ekspresi protein spesifik secara langsung pada jaringan ginjal, meskipun pada saat onset diabetes yang menunjukkan profil risiko pasien. Berbagai penelitian eksperimental telah mengamati profil ekspresi protein pada ginjal. Namun, pada manusia, keterbatasan terjadi pada kebutuhan akan biopsi ginjal. Pilihan lain yang tampaknya valid adalah penerapan teknologi baru ini pada sampel darah dan urin. Penelitian awal pada manusia telah menggunakan proteomic untuk menilai profil protein urin potensial, yang dapat membantu menentukan subjek yang berada dalam risiko ND. Penelitian terkendali pada remaja dengan diabetes tipe I telah mendeteksi polipeptida dalam urin yang spesifik yang terkait dengan diabetes dan, yang lebih menarik, pola spesifik peptida yang berhubungan dengan nefropati awal. Sama halnya, pada orang dewasa dengan diabetes tipe II, polipeptida spesifik dalam urin telah dikaitkan dengan risiko terjadinya ND. Maka, penerapan proteomic untuk mengidentifikasi pola kandungan urin atau protein plasma merupakan cara yang dapat dipercaya dan dapat dilakukan untuk memperkirakan dan mengawasi kejadian ND.

Pencegahan dan Pengelolaan Pengendalian Glukosa Darah Secara Intensif DCCT dan EDIC telah menunjukkan bukti yang kuat betapa pentingnya pengendalian gula darah yang ketat untuk menurunkan risiko komplikasi mikro- dan makrovaskuler pada sunjek dengan diabetes tipe I, termasuk remaja. Pada penelitian DCCT kohort dengan subjek remaja, efek menguntungkan pada komplikasi ditemukan, meskipun rata-rata nilai HbA1c-nya lebih tinggi secara signifikan, sebesar 1%, jika dibandingkan dengan penelitian kohort subjek dewasa. Hal ini menegaskan hal

penting bahwa terdapat pencapaian pengendalian metabolisme yang baik selama masa pubertas. Permasalahan fisiologi, bersamaan dengan efek fisiologis dari resistensi insulin yang terjadi selama pubertas dan beberapa perubahan hormonal akibat lingkungan, meningkatkan permasalahan penanganan pada remaja dengan diabetes tipe I. Penelitian lain juga menunjukkan kesulitan dalam pencapaian pengendalian gula darah dan penghindaran risiko hipoglikemia episodik dan pertambahan berat badan dalam kurun waktu tersebut. Masalah pertambahan berat badan khususnya melibatkan remaja putrid, yang sering menurunkan injeksi insulinnya untuk mencegah kelebihan berat badan. Maka, strategi lain perlu untuk dilakukan untuk meningkatkan pengendalian gula darah khususnya selama remaja.

Pengendalian Tekanan Darah Pada orang dewasa dengan diabetes tipe I dan MA, terapi dengan ACEi atau ARB disarankan, berdasarkan bukti adanya efek positif dalam menurunkan progresifitas dan memacu regresi MA. Efek menguntungkan ACEi telah ditunjukkan pada pasien mikroalbuminuria dengan tekanan darah normal, pada pasien di mana ACEi dapat menghentikan peningkatan, atau bahkan menurunkannya. Selain itu, pada pasien diabetes namun dengan ekskresi albumin dalam batas normal, ACEi telah menunjukkan keefektifannya dalam menurunkan risiko terjadinya MA. Efek ini terjadi tidak terkait dengan batas awal tekanan darah, fungsi ginjal, dan tipe diabetes. Baik ACEi maupun ARB menunjukkan efektivitasnya, namun penggunaan ARB dihubungkan dengan peningkatan risiko kematian pada semua penyebabdibandingkan dengan plasebo. Namun, tidak ada pedoman penggunaan ACEi atau ARB pada populasi anakanak dalam lingkup MA. Kenyataannya, obat-obatan ini telah diterima dan digunakan pada terapi hipertensi, tapi tidak indikasi terkait dengan MA. Empat penelitian kecil telah dilakukan dan menunjukkan efikasi penggunaan ACEi pada remaja dengan MA

namun tidak ada percobaan random terkontrol. Keseluruhan penelitian ini telah menunjukkan bahwa ACEi menurunkan ekskresi albumin. Namun, sulit untuk menentukan kesimpulan pasti dari penelitian ini dan permasalahan potensi penggunaan jangka panjang ACEi pada individu dengan MA juga meningkatkan permasalahan efek samping dari obat-obatan ini. ADA merekomendasikan memulai terapi dengan ACEi untuk MA resisten. Sama halnya dengan pedoman ISPAD yang menyarankan penggunaan ACEi dan ARB untuk MA persisten untuk mencegah progresi proteinuria, meskipun mereka menyadari kurangnya bukti dalam konteks ini.

Pengelolaan Dislipidemia Banyak percobaan intervensif skala besar telah menunjukkan dengan statin, kelompok obat penurun lipid paling efektif, secara signifikan menurunkan risiko penyakit jantung koroner dan mortalitas total. Orang dengan diabetes dan ND sering muncul bersamaan dengan dislipidemia dan terapi statin dihubungkan dengan penurunan risiko komplikasi makrovaskuler yang signifikan. Statin memiliki efek menurunkan kolesterol. Faktanya, obat ini juga memiliki khasiat menguntungkan lainnya seperti inhibisi proliferasi sel otot polos arteri, mencegah oksidasi kolesterol LDL, stabilisasi plak, efek pada makrofag, memperbaiki disfungsi endotel, dan memiliki efek anti-inflamasi serta anti-trombosis. Kerja ini dapat menguntungkan bagi ginjal. Meskipun dislipidemia sering ditemukan pada anak-anak dan remaja dengan diabetes, tidak ada consensus mengenai terapi statin pada kelompok usia tersebut, kemungkinan karena tidak ada percobaan random terkontrol yang pernah dilakukan.

Intervensi Diet dan Penghentian Merokok Diet rendah protein kelihatannya dapat menurunkan angka peningkatan ekskresi albumin dan menurunkan GFR pada orang dewasa dengan diabetes tipe I. Suatu penelitian meta-analisis yang mencari efek asupan protein menunjukkan bahwa restriksi diet hingga 0.5-0.8 g/kg/hari menurunkan risiko progresifitas ND. Namun, tidak ada data spesifik bagi anak dan remaja, di mana pada umumnya asupan protein minimalnya adalah 1 g/kg/hari untuk pertumbuhan yang sesuai, namun belum jelas apakah hal ini menurunkan risiko ND. Karena merokok merupakan hal yang biasa pada remaja dengan diabetes tipe I dan hal ini berhubungan dengan kejadian ND, penting adanya untuk menurunkan niat para pemuda untuk merokok sedini mungkin.

Strategi Terapi Potensial Baru Kemungkinan terapi potensial baru untuk pengelolaan ND tengah berkembang dan hal ini meliputi obat-obatan yang memiliki jalur spesifik yang diterapkan dalam pathogenesis ND (pencegahan glikasi lebih lanjut, inhibitor PKC, dan glikosaminoglikan). Glikosaminoglikan merupakan komponen biokimiawi pada struktur matriks membrana basalis glomerolus. Sulodeksida, suatu formulasi oral dari glikosaminoglikan alami, terdiri atas 80% heparan sulfat kerja cepat dan 20% dermatan sulfat, telah menunjukkan efek nefroprotektif yang potensial, melalui berbagai mekanisme, yang dapat menjelaskan efek remodelingnya. Beberapa penelitian menganalisis efeknya pada ekskresi albumin dan dua buah percobaan random terkontrol secara khusus menunjukkan aksi anti-albumin yang signifikan. Namun, hingga saat ini tidak ada penelitian yang tersedia untuk obat baru ini pada anak-anak dan remaja dengan diabetes.

Ruboksistaurin, suatu inhibitor selektif PKC-beta, telah diketahui memiliki efek menguntungkan pada model eksperimental diabetes, dengan penurunan hiperfiltrasi glomerolus dan albuminuria. Perkembangan obat dengan ruboksistaurin telah mencapai tahap pemeriksaan fase II dengan hasil yang belum pasti. Strategi terapi potensial lain ditujukan pada penghambatan AGE.

Piridoksamin, khususnya, adalah penghambat AGE, dengan efek positif pada model binatang dengan nefropati. Suatu penelitian fase II dengan pasien ND menunjukkan efikasinya dengan profil keamanan yang baik. Penelitian yang akan datang diperlukan untuk evaluasi yang lebih baik mengenai obat ini seiring dengan perkembangan terapi baru, yang dapat ditujukan pada jalur metabolik spesifik lain atau jalur hemodinamik yang terdapat dalam pathogenesis ND.

Kesimpulan ND merupakan suatu komplikasi serius pada diabetes dengan onset pada masa kanakkanak yang terkait dengan morbiditas signifikan akibat penurunan fungsi ginjal progresif dan risiko yang terkait dengan penyakit kardiovaskuler. Meskipun gagal ginjal dan nefropati berat jarang terjadi pada anak-anak dan remaja, perubahan struktural dan fungsional yang penting pada ginjal terjadi selama masa kanak-kanak dan akan meningkat selama pubertas. Beberapa faktor risiko telah dikaitkan dengan kejadian ND, namun banyak yang masih membutuhkan klarifikasi untuk mengembangkan strategi terapi dan pencegahan, yang dapat menurunkan penderitaan terkait dengan ND dan oleh karenanya meningkatkan prognosis untuk pemuda dengan diabetes tipe I.

Anda mungkin juga menyukai