Anda di halaman 1dari 3

Andika Wahyu/Antara

REPUBLIKA

KAMIS, 29 AGUSTUS 2013

23

Pesan dari Secarik Batik


I Oleh Siwi Tri Puji B

Motif batik Indonesia sarat makna dan filosofi. Dari secarik kain, mengalir cerita, harapan, dan juga doa.
arang klithik? Apa ya, nama senjata tajam, bukan? celoteh Rina, siswa kelas IX sebuah SMP swasta ternama di Jakarta Selatan. Ia baru mengangguk-angguk ketika salah seorang mentor di kelas membatik yang diikutinya, menunjuk baju yang dikenakannya, batik dengan ornamen lereng, motif parang klithik. Tak hanya kaya warna dan rumit dalam proses pembuatannya, setiap motif batik juga memiliki makna filosofi yang unik dan menarik. Keistimewaan ini tak dimiliki oleh kain manapun dan industri tekstil dimanapun. Motif batik diciptakan tidak berdasarkan pertimbangan nilai estetis saja, tetapi juga berdasarkan harapan-harapan yang dituangkan dalam bentuk banyak simbol. Dalam secarik kain, terdapat makna filosofi yang dalam, cerita, harapan, juga doa, kata penggiat batik Indra Tjahjani. Sebutlah misalnya motif Parang. Motif berbentuk mata parang ini melambangan kekuasaan dan kekuatan. Di masa lalu, batik motif ini hanya boleh dikenakan oleh penguasa dan ksatria. Batik jenis ini harus dibuat dengan ketenangan dan kesabaran yang tinggi. Kesalahan dalam proses pembatikan dipercaya akan menghilangkan kekuatan gaib batik tersebut. Motif parang sendiri mengalami perkembangan dan memunculkan varian motif yang beragam, seperti Parang Kusuma, Parang Rusak, Parang Klithik, dan Lereng Sobrah. Karena penciptanya pendiri Keraton Mataram, maka motif parang

menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat kebangsawanan seseorang. Motif-motif parang dulunya hanya diperkenankan dipakai oleh raja dan keturunannya dan tidak boleh dipakai oleh rakyat biasa. Sehingga jenis motif ini termasuk kelompok batik larangan. Namun seiring perkembangan zaman, motif ini bisa dikenakan oleh siapapun. Sempat mati suri, batik kini naik pamor lagi. Apalagi setelah badan dunia UNESCO menetapkannya sebagai warisan budaya dunia asli Indonesia. Sentrasentra batik yang semula sepi, kembali giat berproduksi. Batik di tiap daerah, kata Indra yang merupakan pendiri komunitas Mbatik Yuuk, memiliki kekhasan. Batik Tuban kerap disebut batik Gedog misalnya, dalam proses pembuatannya melalui jalan yang panjang, dimulai dari memintal bahan kain yang akan dibatik terlebih dahulu langsung dari kapas. Setelah menjadi benang, kemudian di tenun dan menjadi selembar kain untuk mulai dibatik. Eksistensi batik gedog sempat mati suri, sempat menjadi langka dan hampir punah. Hal ini dikarenakan banyak pengrajin batik gedog yang enggan untuk memintal kain terlebih dahulu. Nama Gedog berasal dari bunyi dog-dog yang berasal dari alat menenun batik. Proses pembuatan batik gedog Tuban butuh waktu sekitar tiga bulan. Baru-baru ini, Museum Tekstil Indonesia menggelar pameran yang menampilkan batik dengan motif langka, nitik. Motif ini merupakan ragam hias ceplokan yang tersusun dari garis-garis halus, balok kecil, segi empat, serta titik-titik halus yang sepintas menyerupai tenunan. Memang, batik nitik diilhami dari kain patola, tenun ikat ganda berbahan sutera asal India. Di Jawa pada masa lalu, kain ini disebut cinde, kain favorit keraton. Membuat batik dengan ragam hias nitik memerlukan keahlian khusus. Hanya pembatik yang sudah andal dan berpengalaman yang mampu mengerjakannya, dengan cantik batik khusus

yang digunakan. Di Yogyakarta, canting yang digunakan adalah canting dengan ujung caratnya dibelah empat, sedang di Surakarta bercarat dua. Di Pekalongan, batik nitik dikenal dengan nama batik jlamprang, dibuat dengan canting bermata empat buah carat kecil. Beda dengan di Yogyakarta dan Solo, batik jlamprang redup pamornya. Tradisi pembuatan batik nitik di desa Krapyak, Pekalongan, sudah jarang ditemui. Saat ini hanya dibuat dengan cara cap oleh satu keluarga pembatik, karena keahlian membuat jlamprang dengan teknik tulis sudah tak ada yang mewarisi lagi. Jlamprang tulis dibuat terakhir tahun 2006 oleh Almarhum Aisyah, pembatik jlamprang Pekalongan yang terkenal. Saya keliling Pekalongan mencari batik tulis jlamprang, sangat sedikit yang mengenalnya, kata alumni Culture Heritage Universitas Canberra ini.

datang ke Semarang, lalu cari batik Semarangan, yang sebagus zaman dulu tak ada lagi, karena yang muncul batik kontemporer motif lawang sewu, tugu muda. Bukan batik Semarangan, katanya. Namun menurutnya, booming batik layak diapreasiasi. Mestinya menjadi perhatian siapa saja untuk membenahi dan nguri-uri (melestarikan). Jangan sampai motif-motif lama hilang begitu saja, katanya.

Bersaing dengan batik printing


Di sisi lain, booming batik juga diboncengi beberapa pihak yang ingin ikut ambil untung dengan membuat batik printing. Banyak motif-motif lama yang dibuat versi printing, yaitu kain dengan bantuan mesin, bukan dibatik dengan canting, dibuat menjadi seolah-olah batik. Kita tahu bahwa printing itu bukan batik. Tapi kain yang diberi motif batik. katanya. Shuniyya menyatakan tak ada yang salah dengan motif batik tulis yang dijadikan printing, asal disosialisasikan dengan baik bahwa kain batik printing bukanlah batik. Apalagi batik tulis harganya memang mahal bagi sebagian orang, katanya. Hal yang sama ditekankan pemulia batik asal Surabaya, Noorlailie Soewarno Tjahjadi. Tak masalah asal disosialisasikan. Yang jadi masalah adalah jika printing dijual dan dibilang sebagai batik cap apalagi tulis, katanya. Menurutnya, untuk mengenalkan batik pada generasi muda, batik printing tak masalah. Namun harus disosialisasikan juga pada mereka bahwa batik itu bukan motif, melainnya keseluruhan mulai dari motif hingga proses pembuatannya. Lely mengapresiasi tingginya minat masyarakat untuk mencintai batik. Dulu, mana ada anak muda mau memakai batik. Batik konotasinya adalah untuk orang tua atau pergi kondangan, kata dosen di Universitas Airlangga yang seharihari mengenakan kain panjang batik ini. Menurut Lely, panggilan akrabnya, batik adalah karya adilihung bangsa. Ia mencotohkan wanita India yang bangga mengenakan sari sebagai busana mereka sehari-hari. Sudah selayaknya kita menjaga warisan bangsa ini dan bangga mengenakannya, katanya. I

Motif lama miskin apresiasi


Soal nyaris punahnya motif nitik, penggiat batik Kendal, Shuniyya Ruhama Habiballah, tak sepakat. Menurutnya, pembatik jlamprang di Pekalongan masih ada, namun mereka jarang berproduksi. Permintaannya memang tidak ada. Kalaupun berproduksi, hanya sedikit yang diserap pasar, katanya. Ia menyatakan, booming batik saat ini tak diikuti dengan apresiasi yang tinggi terhadap motif-motif batik lama. Memang menggembirakan batik kini menjadi tuan rumah lagi di negeri sendiri, tapi kita kehilangan ruh dari batik itu sendiri, katanya. Kini, kata dia, mulai muncul batikbatik yang digarap secara serampangan. Asal kain dicanting, lalu disebut batik, kata wanita asal Weleri ini. Batik, katanya, sarat filosofi. Dalam satu kain terdapat cerita, nasihat, pitutur, fatwa, filosofi , doa, dan harapan, ujar wanita kelahiran tahun 1982 ini. Kalau yang sekarang kita lihat, lebih mengedepankan asal kain dicanting disebut batik. Jadi terdapat kemunduran dari makna batik itu sendiri. Ia mencontohkan batik Semarangan. Zaman dulu, batik mereka luar biasa indah sekali. Namun ketika hari ini kita

Dok Noorlailie Soewarno Tjahjadi

Mematahkan Mitos
icaranya lugas. Berbincang batik dengan Shuniyya Ruhama tak pernah membosankan. terutama tentang batik pesisiran yang menjadi passion wanita 31 tahun ini. Padahal, tak setetespun darah pembatik menetes di tubuh jebolan FISIP UGM ini. Ia mempelajari batik secara otodidak, sejak usia sangat belia. Nenek saya kolektor batik, dan saya kerap diajak beliau berkunjung ke rumah-rumah pembatik, katanya. Hobi mengoleksi batik neneknya menurun padanya. Namun beda dengan sang nenek, dia kini memutuskan untuk mengembangkan batik dengan memproduksinya sendiri. Dengan desain sendiri, dia membuat motif kontemporer dengan diilhami motif lama. Shuniyya juga menghidupkan motif batik yang sudah tak dibuat lagi. Untuk yang terakhir, ia punya alasan sendiri. Shuniyya ingin mematahkan mitos yang kerap didengungkan segelintir orang

Para Makelar Batik B


yang menjual batik dengan harga selangit bahwa batik-batik tertentu tak mungkin dibuat lagi. Saya melawan kenakalan dalam tanda petik para makelar Batik. Tak sekadar membual, tapi saya membuat, katanya. Ia mengaku sempat gemas dengan pihak yang mendompleng populeritas batik demi mengeruk untung. Ada batik yang sebenernya gampang dibuat, dimunculkan seolah-olah langka dan harganya selangit, katanya. Pecinta baru batik, kata dia, banyak yang tak mengerti batik. Inilah yang dimanfaatkan oleh para makelar batik yang tak bertanggung jawab. Sehingga ada batik yang sebenarnya gampang dibuat, harganya menjadi luar biasa, katanya. Ia mencontohkan batik opera istambul bisa dihargai sampai Rp 5 juta. Padahal biaya produksinya, termasuk membayar dengan layak pembantiknya, hanya sekitar Rp 1 juta, kata dia.

Selain itu, ada juga batik-batik tertentu yang sebenarnya masih bisa direpro, tapi dengan berbagai dalih dan bumbu, dipasarkan dengan harga sangat mahal. Demakan ada yang dijual sampai Rp 7,5 juta. Padahal harganya kalau dibuat paling Rp 1,5 juta, katanya. Hal-hal seperti ini, katanya, tidak bisa dicerna dengan baik oleh pecinta batik. Bisa dimaklumi karena pengetahuan yang minim dan industri batik sempat mati suri, katanya, yang pernah merepro batik basurek, batik dengan motif huruf Arab yang pertama diciptakan oleh Sunan Gunung Jati. Bagi Shuniyya, batik adalah karya seni. Itu sebabnya, dia tak pernah memburuburu pembantiknya -- jumlahnya lebih dari 80 orang dan tersebar di Kendal, Batang, dan Pekalongan -- untuk menyelesaikan satu karya. Pembatik itu ibarat seniman. Karya seni yang indah, tentu tak lahir dengan cara instan, kata dia. I

24-25

Perlawanan dari Ujung Canting


I Oleh Agung P Vazza
Agung P Vazza/Republika

akulturasi &
Sejak bersama melawan penjajahan VOC itulah kehidupan masyarakat Jawa dan Cina di Lasem terasa harmonis.

atik. Bagi sebagian orang barangkali sekadar kain yang digambari beragam motif. Lalu, sejalan dengan perkembangan fashion dan mode, batik pun menggeliat menjadi industri fashion. Mulai industri rumahan sampai industri besar. Batik as business as usual. Namun, di sebuah kota kecamatan, sekitar 12 kilometer arah timur Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, batik bukan sekadar bisnis. Di Lasem, batik menyatu dengan napas keseharian masyarakat. Di kota kecamatan yang sering dijuluki Tiongkok kecil ini, batik bukan sekadar kain yang dilukisi beragam motif. Setiap titik adalah penggalan sejarah. Setiap goresan adalah pelajaran kehidupan. Tangan-tangan terampil penggerak canting fasih menuangkan titik dan goresan itu menjadi motif indah pada selembar kain; Batik Tulis Lasem. Dan itu, disebut-sebut, sudah terasa sejak berabad lalu. Sejak Lasem masih berstatus kerajaan di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Kerajaan Lasem saat itu, sekitar tahun 1351, diperintah Duhitendu Dewi (Ratu Dewi Indu) atau dikenal sebagai Bhre Lasem, yang tak lain adalah adik dari Prabu Hayam Wuruk, Raja Majapahit. Setelah menikah dengan Rajasa Wardhana, seorang petinggi Angkatan Laut Majapahit yang berpangkalan di Pelabuhan Lasem, Dewi Indu pun menetap dan tinggal di Lasem. Sejumlah referensi menyebut Dewi Indu-lah yang memulai pembuatan batik di Lasem. Saat itu, motif-motif khas Jawa masih mendominasi batik Lasem, ungkap Joko Sri Purwanto, pengusaha batik tulis Lasem, Sekar Mulyo. Salah satunya adalah motif sekar jagad. Motif ini dengan sangat gamblang menuangkan semua keindahan dan kemakmuran di bumi. Saat itu, Lasem yang terletak di pesisir, memang dikenal sebagai daerah yang subur dan indah, baik di daratan maupun di laut. Sekar jagad benar-benar soal keindahan alam. Batik bermotif ini jelas menampilkan titik-titik putih mirip beras tumpah yang melambangkan kesuburan Lasem. Di selembar kain, beras tumpah berpadu apik dengan motif bunga dan tumbuhan serta keindahan laut, seperti rumput laut. Budaya membatik di Lasem terus berjalan sampai pada 1413, ketika armada Laksamana Cheng Ho, menurut buku Sabda Bradasanti, mampir ke Lasem untuk melakukan perbaikan kapal dan menurunkan awak kapal yang sakit untuk berobat. Bi Nang Un, nakhoda armada, menyadari Lasem adalah daerah subur dan banyak orang Campa. Maka, Bi Nang Un pun meminta izin kepada Laksamana Cheng Ho untuk menetap di Lasem, tidak ikut melanjutkan pelayaran. Izin diberikan izin dan Bi Nang Un pun memboyong istrinya, Na Li Ni, serta putranya, Bi Nang Na, dan putri bungsu, Bi Nang Ti. Kehadiran keluarga Bi Nang Un inilah yang diyakini jadi titik awal berpadunya motif Jawa pada batik Lasem dengan motif khas Cina. Apalagi, Na Li Ni juga diyakini turut ambil bagian dalam kegiatan membatik. Maka, beragam keindahan bumi Lasem pun berpadu dengan motif khas Cina, seperti pohon bambu serta hewanhewan khasnya, seperti burung hong dan sosok naga. Motif bambu pun berpadu dengan motif burung elang. Begitu pula dengan motif sekar jagad yang dipadu dengan sosok naga. Seperti juga perpaduan motif batik, dalam keseharian akulturasi dan pembauran antara Hoakiao (masyarakat Cina perantauan) dan masyarakat setempat dengan kultur Jawa, juga kental terasa. Sejak itu pula batik tulis Lasem mendapat tempat penting pada sektor perdagangan. Para saudagar mengirim batik Lasem ke berbagai pulau di nusantara. Pembauran semakin kental terasa ketika terajadi Geger Cina (Tragedi Angke) di Batavia pada sekitar 1740-an. Banyak masyarakat Cina di Batavia saat itu mengalami tindakan represif dari Pemerintah Belanda (VOC) sebagai balasan atas pemberontakan. Ribuan tewas dan sebagian mengungsi ke Lasem. Kedatangan pengungsi Cina dari Batavia disambut baik pemimpin Lasem saat itu, Adipati Widyaningrat. Sang adipati, bersama Raden Panji Margana, putra dari Pangeran Tejakusuma V, serta para pengungsi akhirnya sepakat bersama mengangkat senjata mengusir

G Motif Hong Bambu

Agung P Vazza/Republika

VOC dari Pulau Jawa. Goresan damar dari canting dan tangan terampil perajin batik Lasem tak hanya mencerminkan berbaurnya budaya Jawa dan Cina, tapi juga menghadirkan perlawanan masyarakat Jawa dan Cina di Lasem saat berjuang melawan penindasan VOC Belanda. Tak berhenti pada zaman VOC, perlawanan masyarakat Jawa dan Cina juga terasa saat terjadi kerja paksa Belanda dalam pembuatan Jalan AnyerPanarukan yang juga melintasi wilayah Lasem. Ekspresi kejengkelan sekaligus perlawanan masyarakat Lasem saat itu dituangkan dalam motif-motif batik, seperti motif Watu Pecah atau Kricak. Motif inilah yang jadi simbol perlawanan terhadap kerja paksa yang dilakukan VOC pada warga setempat, ujar Joko. Motif dan warna batik Lasem, yang didominasi warna merah, merupakan pertautan budaya Tionghoa dengan budaya Jawa. Dari selembar batik Lasem, ada kisah tentang persatuan etnis dan budaya, kata Njo Tjoen Hian (80), pembatik Lasem, juga sebagai salah satu tokoh penting Lasem yang dikenal dengan nama Sigit Witjaksono. Sejak bersama melawan penjajahan VOC itulah kehidupan masyarakat Jawa dan Cina di Lasem terasa harmonis. Bahkan, boleh dibilang sejak 1929, sudah tidak ada lagi benturan atau konflik berbau SARA di Lasem, ungkap Sigit, yang tak lain merupakan turunan kedelapan dari nenek moyangnya yang datang ke Lasem pada sekitar 1750-an. Akulturasi dan perlawanan terhadap penjajahan hanya sebagian dari yang tecermin dalam motif batik tulis Lasem. Selain motif-motif tersebut, kata Joko, batik tulis Lasem juga menggambarkan nilai-nilai persatuan dan kebersamaan yang sangat kuat. Joko lalu menunjuk pada motif batik Tiga Negeri. Di motif ini, dia bilang, aroma persatuan tergambar jelas. Batik Tiga Negeri merupakan perpaduan tiga warna dari tiga daerah berbeda. Batik tulis Lasem sejak dulu dikenal memiliki kekhasan pada warna merah darah ayam. Kabarnya, banyak pembatik dari luar Lasem tidak bisa membuat warna merah tersebut. Maka, setelah diberi warna merah khas Lasem, motif batik yang sama dibawa ke Pekalongan untuk diberi warna biru (biron), dan terakhir dibawa ke Solo untuk diberi warna cokelat sogan yang khas. Motif batik Tiga Negeri ini, tambah Joko, sudah ada sejak 17 tahun lalu. Dan, mengingat sarana transportasi pada zaman itu tidak sebaik sekarang, batik Tiga Negeri pun dianggap salah satu masterpiece batik. Soal warna merah khas Lasem, Joko mengatakan, ada sebuah penelitian yang mengungkapkan warna tersebut dipengaruhi sumber air di Lasem. Sumber ini mengandung senyawa tertentu, yang jika dicampur dengan cat warna merah bisa menghasilkan warna merah khas Lasem, ujarnya. Sumber air ini yang tidak ada di kota lain. Dalam perkembangannya, batik tulis Lasem bersama motif-motifnya yang sarat makna dan simbol kehidupan meredup pamornya. Kehadiran batik-batik cap (print), yang kemudian juga berubah menjadi industri besar, dengan harga yang jauh lebih murah jadi salah satu penyebabnya. Sebab lainnya, kata Joko, masyarakat Lasem yang terbiasa dengan budaya batik tulis seperti tidak ingin beralih ke batik cap. Kita semua tetap dengan batik tulis. Usaha kebanyakan perajin batik di Lasem pun seperti mati suri, hidup segan mati tak mau, katanya. Dengan jangkau pasar batik cap yang jauh lebih luas, batik tulis Lasem semakin tenggelam. Namun, setelah UNESCO menetapkan batik masuk Daftar Representatif

G Motif Sekar Sejagad

Agung P Vazza/Republika

G Motif Tiga Negeri

Agung P Vazza/Republika

G Motif Watu Pecah

sebagai Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity pada 2009 lalu, bersama batik-batik daerah lain batik Lasem kembali hidup. Pengakuan internasional tersebut seperti angin segar bagi industri batik, terutama industri rumahan seperti di Lasem. Sebagai warisan budaya dunia, batik tulis Lasem sudah saatnya bangkit. Warga Lasem memang tak bisa lepas dari

batik tulis, ungkap Joko tersenyum sembari memperlihatkan koleksi batik kunonya dengan beragam motif lengkap dengan canting kuno pula. Seonggok titiktitik sejarah, goresan pelajaran kehidupan, nilai-nilai akulturasi serta ekspresi perlawanan terhadap penjajahan yang keluar dari ujung canting, dan terpapar dalam motif batik tulis Lasem, memang tak semestinya pudar. I

REPUBLIKA
Agung P Vazza/Republika

KAMIS, 29 AGUSTUS 2013

Batik Pesisir
Tahta Aidila/Republika

Kaya Ragamnya
I Oleh Siwi Tri Puji B

Seno S/Antara

atik Lasem tak bisa dipisahkan dari tradisi batik pesisir pada umumnya. Motif batik pesisir memperlihatkan gambaran yang berbeda dari motif batik keraton. Jika motif batik keraton mengikuti pakem-pakem tertentu, batik pesisir lebih bebas dan lebih kaya akan motif dan warna. Motif batik pesisir umumnya berupa tanaman, binatang, dan ciri khas lingkungannya. Menurut Asti Musmar dan Ambar B Arini dalam buku, Batik: Warisan Adiluhung Nusantara, batik pesisir banyak menyerap pengaruh luar, seperti pedagang asing dan para penjajah. Karenanya, motifmotif batik ini seperti melompat dari motif-motif klasik Jogja-Solo. Sebut contoh motif batik megamendung khas Cirebon. Motif ini merupakan akulturasi dengan budaya Cina yang disesuaikan dengan cita rasa masyarakat Cirebon yang mayoritas beragama Islam. Batik motif ini telah berkembang sejak sekitar abad ke-16. Sejarah batik Cirebon dimulai ketika Pelabuhan Muara Jati menjadi tempat persinggahan pedagang dari Tiongkok, Arab, Persia, dan India. Terjadilah akulturasi dan asimilasi pada masyarakat Cirebon saat itu. Pernikahan Putri Ong Tien de-

ngan Sunan Gunung Jati disebut-sebut menjadi pintu gerbang bagi masuknya pengaruh budaya Cina pada masyarakat Cirebon. Pernakpernik Cina yang dibawa Putri Ong Tien menjadi inspirasi bagi seniman, termasuk seniman batik. Warna-warna cerah dalam teknik membatik dikenalkan. Juga motifmotif khas negeri Tiongkok. Corak burung phoenix dengan warna merah menyala diduga muncul karena pengaruh ini. Sejarah batik pesisir juga terkait dengan perkembangan gerakan tarekat. Karenanya, kendati terpengaruh motif Cina, penuangan gambarnya berbeda, dengan corak bernuansa Islam. Contohnya adalah motif batik paksi naga lima. Motif ini merupakan simbol pesan keagamaan. Paksi menggambarkan rajawali, naga adalah ular naga, dan liman menyimbolkan gajah. Motif itu menggambarkan peperangan antara kebaikan melawan keburukan dalam mencapai kesempurnaan. Di luar itu, motif ini menggambarkan paduan tiga budaya: Islam, Cina, dan India. Mengenai pengaruh Cina pada khazanah batik Indonesia, pendiri Danar Hadi, H Santoso Doellah, menyatakan dimulai tahun 1800-an. Meski bangsa Cina sudah masuk dan tinggal di pesisir sejak abad ke-13, orang-orang Cina peranakan mulai mengembangkan batik baru pada abad ke-19. Dalam buku, Batik, Pengaruh Za-

man dan Lingkungan, Santoso menyatakan batik mereka khas, menampilkan pola-pola dengan ragam hias satwa mitos Cina, seperti naga, singa, burung phoenix atau burung hong, kura-kura, kilin (anjing berkepala singa), dewa, dan mega, dengan warna khas merah dan biru yang mencolok. Selain kain panjang, mereka mengembangkan sarung batik. Sarung-sarung batik yang mereka kembangkan motifnya mirip dengan pola tekstil atau hiasan pada keramik Cina kuno, yang umumnya mempunyai makna filosofis tertentu, misalnya banji, melambangkan kebahagiaan, atau kelelawar, yang melambangkan nasib baik. Perkembangan pesat batik Cina, kata Santoso, antara lain, disebabkan oleh hak-hak khusus yang diberikan pemerintah jajahan Belanda, yang membuat mereka mampu bersaing dengan para pedagang pribumi, India, dan Arab. Batik-batik Cina yang dibuat sesudah tahun 1910 banyak dianggap sebagai adikarya, di samping batik-batik Belanda. Ketika batik Belanda mulai membanjiri pasar dan permintaan meningkat, para pedagang Cina memanfaatkan peluang ini dengan membuat batik dengan pola dan ragam hias yang mengandung unsur budaya Eropa meski dengan cita rasa dan warna yang berbeda. Motif-motif batik tersebut berupa bunga-bunga lotus, seruni, serta buketan (buket bunga) dengan burungburung kecil dan kupu-kupu. Selain warnanya yang lebih beragam, batik Cina juga lebih halus dan rumit pengerjaannya. Dengan isen-isen (motif pengisi) yang lebih beragam, penampilan batik Cina lebih hidup dan indah. Di samping batik Cina dengan pengaruh budaya Eropa, para pedagang Cina juga membuat berbagai jenis batik untuk pasar pedalaman Jawa yang tetap menyukai ragam hias dan warna batik keraton. Mereka kemudian mengembangkan batik dua negeri dan tiga negeri. Istilah dua dan tiga negeri mengacu pada proses penyelesaian batik di dua dan tiga kota yang berbeda. Batik ini menabrakkan motif keraton sebagai latar dengan motif buketan gaya pesisiran. Begitu juga warna yang dipakai merupakan keroyokan warna pesisiran dan keraton, yaitu merah, biru, soga, dan krem. Batik dua negeri dibuat di Lasem untuk pola yang berwarna merah dan untuk warna birunya dikerjakan di Kudus atau Pekalongan. Sedangkan untuk batik tiga negeri, proses pembuatan dilakukan di Lasem untuk pewarnaan merah, warna biru dikerjakan di Kudus atau Pekalongan, sedangkan warna soga di Surakarta, Yogyakarta, atau Banyumas. Hampir sama dengan batik keraton, pola dan warna batik Cina banyak yang mengandung makna filosofis, misalnya merah muda dan biru diperuntukkan bagi gadis muda, biru dan merah oleh wanita setengah baya, dan untuk wanita berusia lanjut menggunakan warna biru, cokelat, lembayung, dan hijau di atas dasar putih. Hal ini sesuai paham yang dianut oleh orang Cina bahwa usia menentukan apa yang dipakai. Pekalongan dikenal sebagai penghasil batik Cina hasil karya-karya terbaik. Dan, yang sangat terkenal pada abad ke-19 adalah batik Cina buatan perusahaan Oey Soe Tjoen yang terletak di Desa Kedung Wuni. Selain karena kehalusan pengerjaannya, motifnya juga khas, dengan menggabungkan motif Cina dan Belanda. Batik Cina sesudah tahun 1910 tetap digemari hingga kini. Batik ini dikenal dengan batik encim dan banyak dikembangkan di daerah Cirebon, Pekalongan, Demak, Kudus, dan Lasem. I
Adhi Wicaksono

motif Khas Lasem


Agung Fama Putra

Burung hong

Sekar jagad

Adalah burung yang populer dalam mitologi Cina setelah naga. Burung hong atau disebut juga burung fenghuangfeng sebutan untuk spesies jantan dan huang sebutan untuk betinamenyimbolkan kebahagiaan. Biasanya, burung hong disandingkan bersama naga. Ini melambangkan keindahan dan keabadian. Dikenal juga sebagai burung phoenix, hong juga memiliki arti keabadian, lambang siklus kehidupan setelah mati, dan simbol dari kebangkitan tubuh setelah mati.
G

Adalah salah satu motif batik khas Indonesia. Motif ini mengandung makna kecantikan dan keindahan sehingga orang lain yang melihat akan terpesona. Ada pula yang beranggapan bahwa motif sekar jagad sebenarnya berasal dari kata kar jagad yang diambil dari bahasa Jawa (kar atau peta dan jagat yang berarti dunia) sehingga motif ini juga melambangkan keragaman di seluruh dunia.
G

Watu pecah

motif tiga negeri

Dikenal juga dengan motif krecak. Watu pecah menggambarkan kejengkelan masyarakat Lasem sewaktu pembuatan jalan Anyer-Panarukan oleh Gubernur Jenderal Belanda, Herman Willem Daendels, yang memakan banyak korban. Dalam khazanah batik Lasem, motif ini paling banyak digunakan untuk isen-isen. Selain itu, juga untuk dijadikan highlight di bagian tumpal kain.

Merujuk pada tiga warna utama yang digunakan dalam batik ini. Pada masa lalu, batik ini juga diselesaikan di tiga tempat yang berbeda untuk menyempurnakan proses pewarnaannya: di Lasem untuk pewarnaan merah, warna biru dikerjakan di Kudus atau Pekalongan, sedangkan warna soga di Surakarta, Yogyakarta, atau Banyumas.

Anda mungkin juga menyukai