Anda di halaman 1dari 14

7

BAB II TELAAH KASUS


2.1 PENDAHULUAN Traumatik injuri pada rongga mulut dan sekitarnya merupakan kasus yang banyak terjadi di kalangan anak, remaja dan dewasa muda sehingga mernbutuhkan perhatian baik dan teliti mengenai perawatan dari dokter gigi. Trauma yang melibatkan gigi depan tetap atas sering terjadi pada usia 8 sampai 12 tahun. Penyebab trauma pada gigi permanen antara lain jatuh dari sepeda, berkelahi, kecelakaan lalu lintas dan olahraga.1,2 Gigi yang mengalami trauma harus diperiksa apakah gigi tersebut mengalami fraktur, kegoyangan, perubahan posisi, cedera pada ligamen periodontal dan tulang alveolar, serta trauma pada jaringan pulpa. Periksa pula adanya kemungkinan keterlibatan gigi yang berada di rahang lawannya. 3 Keparahan trauma pada gigi geligi tersebut dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, yang salah satu diantaranya adalah lepasnya seluruh bagian gigi dari soket atau yang biasa kita sebut dengan avulsi. Untuk menanganinya, dokter gigi perlu melakukan suatu tindakan untuk mengembalikan gigi ke dalam soketnya semula, tindakan ini disebut replantasi gigi. Golden periode untuk melakukan replantasi gigi adalah 2 jam setelah gigi tersebut terlepas. Apabila gigi direplantasi lebih dari 2 jam, kemungkinan gigi akan menjadi non vital sehingga gigi tersebut perlu dilakukan perawatan endodontik setelah difiksasi. Bila gigi tidak segera dirawat, secara signifikan dapat menimbulkan dampak negatif bagi pasien yaitu gangguan fungsi, estetis, dan psikologi. 1,2,3 Keberhasi1an perawatan dari gigi yang avulsi tergantung dari berapa lama terjadinya, tempat kejadian, tindakan apa yang dilakukan pertama kali ketika terjadinya gigi avulsi dan bagaimana cara penanganan gigi avulsi tersebut. Prognosis dari trauma yang meliputi gigi dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu tingkat kerusakan atau luas dari kerusakan yang dialami, apakah kerusakan yang dialami meliputi jaringan lain di sekitar gigi, seperti jaringan lunak maupun jaringan keras seperti tulang rahang, kualitas dan kesegeraan dari perawatan yang dilakukan setelah terjadi trauma serta evaluasi dari penatalaksanaan selama masa penyembuhan.2,3

2.2 DEFINISI Fraktur dental adalah suatu keadaan patah gigi yang disababkan oleh suatu hal. Fraktur dental merupakan salah satu dari ketiga penyebab utama kerusakan pada gigi setelah karies dan penyakit jaringan periodontal. 4 Fraktur akibat trauma gigi-geligi adalah kerusakan jaringan keras pada gigi atau periodonsium karena disebabkan faktor mekanis. Karena pukulan, bantingan, atau dorongan pada kecelakaan, kekerasan olahraga dan permainan. Fraktur spontan adalah fraktur yang terjadi karena tekanan pengunyahan, elemenelemen karies, sangat aus sudah direstorasi dan ututh dapat retak/patah yang tidak hanya terjadi pada email. Fraktur dental pada umumnya terjadi bersamaan dengan cidera mulut lainnya. Deteksi dan pengobatan dini dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan fungsi dari gigi tersebut. Sekitar 82% gigi yang mengalami trauma adalah gigi-gigi maksiler. Fraktur dental maksiler tersebut 64% adalah gigi incisivus sentral, 15% incisivus lateral, dan 3% caninus.5,6 2.3 ETIOLOGI Fraktur dental pada umumnya terjadi bersamaan dengan cidera mulut lainnya. Penyebab umum fraktur dental adalah benturan atau trauma terhadap gigi yang menyebabkan disrupsi atau kerusakan enamel, dentin, atau keduanya1,2,3 Benturan atau trauma, baik berupa pukulan langsung terhadap gigi atau berupa pukulan tidak langsung terhadap mandibula, dapat menyebabkan pecahnya tonjolantonjolan gigi, terutama gigi-gigi posterior. Selain itu, tekanan oklusal yang berlebihan terutama terhadap tumpatan yang luas dan tonjol-tonjolnya tak terdukung oleh dentin dapat pula menyebabkan fraktur.4,5 Trauma yang tumpul cenderung menyebabkan kerusakan yang besar pada jaringan lunak dan jaringan pendukung, sedangkan kecepatan yang tinggi atau luka tusuk menyebabkan gigi berputar dan fraktur. Ellis dan Davey membagi penyebab trauma menjadi dua yaitu: Langsung

Yaitu gigi secara langsung terkena benda penyebab trauma. Tidak langsung

Gigi secara tidak langsung terkena benda penyebab trauma, misalnya trauma mengenai rahang bawah yang kemudian menyebabkan kerusakan gigi di rahang bawah. Trauma yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung dapat disebabkan oleh : 1. Terjatuh dan berkelahi (pukulan/dorongan) merupakan penyebab yang paling utama dari kerusakan gigi. 2. Kecelakaan olah raga / permainan dan kecelakaan lalu lintas 3. Luka karena sengatan listrik atau hewan 4. Khusus untuk trauma yang terjadi secara langsung mengenai gigi dapat disebabkan oleh aksi pengunyahan yang disebut fraktur spontan. Fraktur spontan dapat terjadi sebagai akibat tekanan pengunyahan pada gigi yang mengalami karies besar, sehingga gigi dapat retak atau patah pada waktu menggigit benda yang keras.1.3,5 2.4 FAKTOR PREDISPOSISI faktor predisposisi fraktur dental antara lain postnormal occlusion, overjet yang melebihi 4 mm, bibir atas yang pendek, bibir yang inkompeten, umur, aktivitas olahraga, riwayat medis, dan anatomi gigi juga merupakan fraktur predisposisi 3,4,5 2.5 KLASIFIKASI Klasifikasi yang lazim digunakan untuk trauma gigi depan adalah yang diperkenalkan oleh Ellis dan Davey, terdiri dari sembilan kelas. Kelas I sampai kelas VIII untuk gigi depan tetap dan kelas IX untuk gigi depan sulung yang juga terdiri dari delapan kelas, sama seperti halnya pada gigi tetap.6 Klasifikasi ini sangat sederhana sehingga mudah untuk menegakkan diagnosa dan perawatan. Klasifikasi menurut Roberts sama dengan yang diperkenalkan Ellis, tetapi untuk membedakan antara gigi sulung dan gigi tetap, digunakan istilah kelas I tetap, kelas II dan seterusnya. Sedangkan untuk gigi sulung, digunakan kelas I sulung dan seterusnya.2,4,6 Klasifikasi Ellis & Davey Kelas I Fraktur yang sederhana dari mahkota gigi dengan terbukanya sedikit atau tidak sama sekali bagian dentin dari mahkota (hanya mengenai bagian enamel) Kelas II Kelas Fraktur yang terjadi pada mahkota gigi dengan terbukanya dentin yang luas, tetapi belum mengenai pulpa (hanya mengenai bagian dentin) Fraktur pada mahkota gigi dengan terbukanya dentin yang luas, sudah

10

III Kelas IV Kelas V Kelas VI Kelas VII

mengenai pulpa (dentin dan pulpa terkena) Trauma pada gigi yang mengakibatkan gigi menjadi non vital disertai dengan ataupun tanpa disertai hilangnya struktur mahkota gigi Trauma pada gigi yang menyebabkan hilangnya gigi, yang disebut dengan avulsi Fraktur pada akar disertai dengan ataupun tanpa disertai hilangnya struktur mahkota gigi Trauma yang menyebabkan berpindahnya gigi (intrusi, ekstrusi, labial, palatal, bukal, distal, mesial, rotasi) tanpa disertai oleh adanya fraktur mahkota atau akar gigi

Kelas VIII

Trauma yang menyebabkan fraktur mahkota yang besar pada gigi (total distruction) tetapi gigi tetap pada tempatnya dan akar gigi tidak mengalami perubahan

Kelas IX

Semua kerusakan pada gigi sulung akibat trauma pada gigi depan, definisi untuk gigi sulung sama dengan untuk gigi tetap

Hargreaves dan Craig memperkenalkan klasifikasi hanya untuk fraktur mahkota gigi sulung, yaitu kelas I, II, III dan IV. Klasifikasi tersebut hampir sama dengan klasifikasi Ellis. Perbedaannya terletak pada kelas IV yaitu fraktur akar disertai atau tanpa mahkota gigi sulung Menurut Andreasen dalam bukunya Patologi Gigi Geligi Kelainan Jaringan Keras Gigi, secara garis besar fraktur dental digolongkan menurut penyebabnya sebagai berikut: a) Fraktur Spontan Merupakan jenis fraktur yang diakibatkan oleh adanya tekanan pengunyahan. Pada hal ini elemen-elemen enamel gigi mengalami atrisi dan aus karena adanya gesekan pada saat mengunyah. Keadaan ini bisa menyebabkan gigi mengalami fraktur. Fraktur spontan lebih sering terjadi pada gigi molar satu bawah.5 b) Fraktur Traumatik Fraktur traumatic terjadi akibatkan adanya benturan keras yang bersifat tiba-tiba. Fraktur traumatic biasanya tidak terjadi pada bayi dibawah umur 1 tahun karena pengaruh aktivitas yang dilakukannya. Penyebab frsktur yang sering terjadi adalah benturan akibat kecelakaan atau karena dipukul.Berdasarkan bagian yang mengalami fraktur, fraktur traumatrik dibedakan menjadi beberapa jenis sebagai berikut:

11

1. Fraktur Mahkota Fraktur mahkota merupakan jenis fraktur yang terjadi pada bagian enamel, sering hingga ke bagian tulang gigi dengan atau tanpa patahnya sebagian elemen. Dalam hal ini, yang termasuk dalam jenis fraktur ini adalah jenis fraktur Ellis 1 dan Ellis 2. Fraktur mahkota juga dapat dibagi menjadi: a. Infraksi Mahkota Pada jenis ini, pada beberapa kasus fraktur yang terjadi tidak membentuk suatu patahan, namun hanya berupa garis retak saja yaitu sekitar 10-13 %. Retak bias mencapai dentin hingga pulpa. b. Fraktur Mahkota Tanpa Komplikasi Merupakan fraktur yang terjadi pada sebagian email, dan dentin. Fraktur ini biasanya terjadi pada gigi anterior, dan patah pada bagian sudut mesial maupun sudut distal. Biasanya jenis fraktur ini tidak menimbulkan rasa sakit, namun apabila fraktur terjadi hingga mencapai denitin, maka rasa sakit akan terasa terutama pada saat makan maupun karena perubahan suhu. Rasa sakit pada saat mengunyah juga bisa terjadi karena jaringan periodontal juga mengalami kerusakan.2,4,6 c. Fraktur Mahkota dengan Komplikasi Pada jenis fraktur ini, bagian besar mahkota dan tulang gigi patah sehingga pulpa terbuka dan mengalami pendarahan kapiler. Rasa sakit biasanya timbul pada saat mengunyah dan jika terjadi perubhaan suhu. Sekitar 4% penderita fraktur dental mengalami fraktur jenis ini.1,3,4 2. Fraktur Akar Fraktur akar terjadi pada daerah sekitar akar gigi. Diagnosis fraktur dapat ditegakkan melalui pemeriksaan foto rontgen untuk mnegetahui kondisi gigi yang mengalami fraktur. a. Fraktur Mahkota Akar Fraktur mahkota akar yang terjadi berjalan dari insisal sampai 2-3 mm di bawah pengikatan gingival pada elemen pada arah vestibulolingual, dan pulpa sering terlibat dalam hal ini. Pada gigi gigi premolar atas tonjol vestibular sering patah. Pada kasus yang terakhir, bagian yang patah biasanya ditahan pada tempatnyaoleh serabut periodontal, sehingga retak pada mulanya kurang menarik

12

perhatian. Keluhan yang terjadi pada pasien seperti keluhan pada pulpitis, dan sakitnya akan bertambah ketika digunakan untuk menggigit. 6 b. Fraktur Akar Gigi yang baru erupsi memiliki resiko untuk lepas dari alveolus apabila terjadi benturan, sedangkan gigi yang telah tumbuh sempurna memiliki resiko patah. (Schuurs, 1993) 2.6 KlINIS Gambaran klinis fraktur berdasarkan lokasi.4,5 1. Fraktur dento-alveolar Pada umunya hanya didapatkan rasa nyeri dan pembengkakan pada daerah fraktur 2. Fraktur zigomatikus: a. Berkurangnya tonjolan tulang pipi b. Ekimosis sirkumorbital c. Ekimosis subkonjungtiva d. Parestesi/anestesi infra orbital. e. Epistaksis ipsilateral f. Diplopia, enopthalmus, perubahan interpupilary line. 3. Blow out fraktur pada dasar orbita Apabila suatu benda dengan diameter yang lebih besar dari orbita, dipukulkan pada bola mata maka bola mata dapat bertahan tanpa pecah, demikian juga dinding orbita tidak mengalami fraktur. Tenaga kompresi kan disalurkan ke dasar orbita yang tipis, sehingga terjadi fraktur. Fragmen fraktur dan jaringan lemak periorbital akan bergeser ke arah antrum. Gambaran klini dapat berupa: a. Enophthalmus b. Diplopia c. Ekimosis sirkumorbital d. Ekimosis subkonjungtiva e. Perubahan interpupillary line 4. Fraktur kompleks nasalis. Tanda klini yang dijumpai: a. Edema sehingga dapat mengaburkan tanda fraktur b. Ekimosis sirkumorbital bilateral c. Pada trauma lateral terjadi devisiasi ke samping

13

d. Pada trauma anterior terjadi depresi hidung e. Epistaksis bilateral f. Bila terjadi fraktur ciribriformis os etmoidale, dapat terjadi cerebro spinal fluid rhinorrhea. g. Pada palpasi teraba bagian tulang yang patah atau remuk. 5. Fraktur Le Fort I Pada fraktur Le Fort I tidak terjadi pembengkakan wajah, juga tidak terjadi ekimosis sirkumorbital dan subkonjungtival. Maksila dapat turun ke bawah atau kea rah lateral. Intra oral dapat terjadi maloklusi, ekimosis atau sulkus bukalis. Pada palpasi dapat terlihat mobilitas maksila pada perkusi gigi akan terdengar suara cangkir pecah. 6. Fraktur Le Fort II dan III Pada fraktur Le Fort II dan III dapat meliputi daerah orbita, os nasalis dan mungkin juga os etmoidale serta kompleks zigomatikus sehingga menyebabkan edema yang luas. Disertai dengan adanya ekimosis dan perdarahan subkonjungtiva serta terjadi pula perdarahan hidung dan nasofaring. Dapat pula terjadi pemanjangan atau pendataran profil muka porterior gagging dari gigi geligi molar dan retroklusi dari gigi anterior maksila. Ada kemungkina terjadi parestesi daerah infraorbital, dan cerebro spinal fluid rhinorrhea.5,6 Pada trauma yang berat bagian sepertiga tengah wajah akan terdesak ke arah postero inferior, sehingga palatum mole bertemu lidah, edema, perdarahan, pada akhirnya akan menymbat jalan nafas. Pada keadaan ini jalan nafas perlu dibebaskan dengan menarik maksila ke antero superior.5,6 2.7 PEMERIKSAAN Pemeriksaan yang teliti penting untuk mendapatkan hasil perawatan yang akurat sehingga perawatan dapat dilakukan dengan tepat. Pemeriksaan meliputi anamnesa untuk mengetahui riwayat medis dan riwayat kesehatan gigi, serta pemeriksaan klinis untuk mengetahui keadaan ekstra oral, intra oral dan roentgen.6,7 2.7.1 Pemeriksaan Subyektif

Pemeriksaan terhadap pasien trauma gigi harus dilakukan sesegera mungkin setelah terjadinya trauma. Proses pemeriksaannya hampir sama seperti pemeriksaan pada kasus perawatan endodontik.

14

Anamnesis diperoleh dari keterangan pasien atau orang lain yang mengetahui secara pasti mengenai kondisi yang dialami oleh pasien, meliputi keluhan utama, riwayat terjadinya trauma, dan medical history. Keluhan utama Pasien ditanyakan mengenai keparahan dari rasa sakit dan berbagai gejala signifikan lainnya. Perdarahan pada jaringan lunak memang terlihat sebagai suatu kondisi yang parah, namun apabila terjadi fraktur pada tulang maka rasa sakit yang timbul akan lebih besar dan kondisi ini harus menjadi prioritas utama dalam melakukan perawatan. Selain itu, perlu dicatat juga mengenai durasi dari tiap gejala.6 Riwayat terjadinya trauma Tanyakan pasien hal-hal berikut ini: 1. Kapan dan dimana cedera terjadi. 2. Bagaimana terjadinya cedera. 3. Perawatan apa saja yang sudah dilakukan sebelum datang ke dokter gigi (operator). 4. Apakah sebelumnya sudah pernah mengalami trauma yang serupa. 5. Gejala apa saja yang dirasakan pasien sejak terjadinya trauma (pusing, muntah, sakit kepala, kejang-kejang ataupun konvulsi, pandangan kabur, hilang kesadaran, gangguan pendengaran, pengecapan, penglihatan dan keseimbangan, serta perdarahan dari hidung atau telinga. Masalah gigi yang dialami sejak trauma (sakit, kegoyangan, sangkutan oklusal, gejala lain pada jaringan sekitar gigi). Medical history

Riwayat alergi terhadap obat-obatan. Kelaianan seperti gangguan perdarahan, diabetes, epilepsi. Obat-obatan yang sedang dipakai sekarang. Status imunisasi tetanus. Untuk luka bersih, tidak diperlukan booster apabila imunisasi dilakukan sejak 10 tahun yang lalu. Untuk luka kotor, diperlukan booster apabila imunisasi dilakukan lebih dari 5 tahun.6

2.7.2 Pemeriksaan Obyektif Pemeriksaan jaringan lunak Lakukan observasi dan palpasi pada jaringan lunak yang cedera. Apabila terjadi terjadi laserasi jaringan lunak dan fraktur dental perlu dilakukan pula

15

pemeriksaan radiografi karena tidak jarang fragmen gigi tertanam ke dalam jaringan lunak. 7 Pemeriksaan tulang wajah Maksila, mandibula, dan TMJ perlu diperiksa secara visual, palpasi, untuk melihat adanya distorsi, malalignment, atau adanya indikasi fraktur. Apabila ada indikasi fraktur lakukan pula pemeriksaan radiografi. Catat juga apabila ada dislokasi dari gigi, sangkutan oklusal, dan perkembangan dari pathosis apikal.1 Pemeriksaan gigi Gigi yang mengalami trauma harus diperiksa apakah gigi tersebut mengalami fraktur, kegoyangan, perubahan posisi, cedera pada ligamen periodontal dan tulang alveolar, serta trauma pada jaringan pulpa. Periksa pula adanya kemungkinan keterlibatan gigi yang berada di rahang lawannya.2,4,5 Fraktur email atau keretakan pada mahkota dapat diperiksa dengan indirect light atau transluminasi atau dengan penggunaan dye. Apabila struktur gigi telah hilang, periksa luasnya kehilangan apakah sampai pada batas email, dentin, atau sudah mencapai jaringan pulpa.4,5 Kegoyangan gigi diperiksa dalam segala arah. Apabila ketika gigi digerakkan gigi sebelahnya ikut bergerak, perlu dicurigai adanya fraktur pada tulang alveolar.2,5 Perubahan posisi gigi yang terjadi dapat berupa intrusi, ekstrusi, lateral (labial atau lingual), dan avulsi secara keseluruhan. Tanyakan kepada pasien apakah ada kontak prematur ataupun sangkutan oklusal. Apabila ada perubahan oklusi, perlu dicurigai adanya kemungkinan fraktur rahang atau akar gigi ataupun ekstrusi gigi.3,4,5 Untuk memeriksa adanya cedera pada jaringan periodontal lakukanlah tes perkusi pada gigi. Pada gigi yang mengalami trauma tanpa adanya fraktur atau perubahan posisi pemeriksaan ini cukup penting untuk melihat adanya kerusakan pada neurovascular bundle yang masuk ke dalam gigi melalui apeks. Kerusakan ini akan menimbulkan adanya kemungkinan terjadinya degenerasi pulpa. Kerusakan ini biasanya ditandai dengan tes perkusi yang positif.3,5 Pemeriksaan vitalitas atau respon pulpa terhadap trauma harus diperiksa pada awal kunjungan dan kunjungan-kunjungan kontrol berikutnya, karena adanya kemungkinan kematian pulpa beberapa bulan setelah trauma. Setelah terjadi

16

trauma, sering pulpa memperlihatkan hasil negatif ketika dilakukan tes vitalitas. Namun, setelah pulpa mengalami pemulihan, dia dapat kembali memperlihatkan hasil positif. Hal yang sebaliknya dapat pula terjadi.3 2.7.3 Follow-up Evaluation Pasien trauma harus dievaluasi cukup sering dan dalam jangka waktu yang cukup panjang untuk memastikan terjadinya pemulihan atau justru terjadinya kerusakan jaringan pulpa dan resorpsi akar. Pemeriksaan pemulihan pulpa dianjurkan setiap 3-4 minggu sekali dalam 6 bulan pertama, dan untuk selanjutnya setiap 1 tahun sekali. Apabila terjadi inflammatory resorption ataupun nekrosis pulpa maka perlu segera dilakukan perawatan endodontik.1 2.8 PENATALAKSANAAN Perawatan fraktur gigi dan prosesus alveolaris dilakukan tergantung keadaan trauma yang terjadi: A. Splinting dengan Arch Bar, wiring atau menggunakan alat cekat ortodontik B. Perawatan gigi dan prosesus alveolaris dilakukan dengan mempertimbangkan 3 elemen: 1. Tahap pertumbuhan ujung akar akar gigi 2. Luas Trauma pada gigi 3. Keadaan procesus alveolaris yang menyangga gigi terlibat trauma. 3 C. 1. Perawatan trauma pada gigi dengan akar gigi telah tumbuh sempurna,

goyang tetapi tidak avulsi atau impaksi, diperlakukan sebagai gigi vital 2. Evaluasi 1 minggu gigi non vital, perawatan dilanjutkan dengan perawatan saluran akar secara endodontic 3. Pada gigi avulsi: perawatan endodontik dilanjutkan dengan reposisidan fiksasi 4. Pada gigi intrusi dilakukan traksi perlahan dengan alat cekat ortodontik.1,4,5 Apabila terjadi fraktur email, dapat dilakukan pemeriksaaan dengan transluminasi.Perawatan fraktur hingga dentin. Dilakukan pulp caping dengan Ca(OH)2 agar terbentuk dentin sekunder. Dilakukan pulpatomi bila lapisan dentin yang melindungi pulpa sangat tipis. Perawatan fraktur dengan pulpa terbuka, bertujuan untuk mempertahankan vitalitas pulpa dengan memperhatikan ukuran pulpa yang terbuka, vitalitas pulpa, lama pulpa terbuka, derajat pembukaan akar, dan rencana restorasi mahkota yang akan dilakukan. Perawatannya yaitu dengan

17

pulpektomi (pembuangan pulpa bagian koronal dan akar). Pulpektomi harus diikuti dengan perawatan dan pengisian saluran akar. Apabila pulpa yang telah mati itu tertutup oleh lapisan tambalan/ dentin, maka pulpa yang mati tersebut mengeluarkan gas gangrin yang akibatnya susah keluar dari rongga pulpa itu. Hal ini dapat menimbulkan kondisi yang lebih parah pada gigi. Pulp Capping adalah suatu perlindungan terhadap pulpa sehat yang hampir tereksponasi atau tereksponasi kecil dengan obat-obatan antiseptik atau sedatif agar pulpa sembuh kembali serta mendapatkan vitalitas dan fungsi yang normal.9 Gigi yang mengalami luksasi akibat trauma, akan terjadi kerusakan dalam berbagai tingkatan kerusakan jaringan periodontal, alveolus dan suplai

neurovaskuler.Rontgen periapikal dibuat sebagai pedoman jangka panjang. Jika kekuatan tekan melebihi kapasitas kekuatan jar. Periodontal untuk menahan akan menyebabkan jar.periodontal cedera sehingga gigi goyah. Pemeriksaan gigi luksasi dengan menekan gigi ke arah bukolingual menggunakan 2 pegangan instrumen gigi. Kegoyangan gigi dibedakan menjadi :9.10 *Derajat 1: Kegoyangan yang sedikit lebih besar daripada normal *Derajat 2: kegoyangan gigi sekitar 1 mm *Derajat 3: Kegoyangan gigi lebih besar dari 1mm pada segala arah dan atau gigi dapat ditekan kearah apical Perawatan gigi goyah ( luksasi ) dilakukan stabilisasi dengan splint. Tujuan pembuatan splint yaitu untuk membantu proses regenerasi jaringan pendukung gigi.Durasi pemasangan splint tergantung dengan derajat awal kegoyahan gigi dan luasnya kerusakan alveolar. 12,13 Penatalaksanaan gigi avulsi harus dilakukan dalam waktu seminimum mungkin untuk menjaga ligamen periodontal karena bila ligamen periodontal masih baik, derajat dan ketepatan waktu resorpsi akar akan terjaga dan kemungkinan terjadinya ankilosis akan berkurang. Resorpsi akar hampir tidak terhindarkan apabila melebihi 2 jam, waktu maksimal dilakukan replantasi adalah 48 jam setelah gigi berada diluar soket.9 Setelah replantasi perlu juga dilakukan splinting untuk menjaga stabilitas gigi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan ligamen periodontal untuk regenerasi. Kemudian dilakukan kontrol yang tepat agar hasil perawatan dapat diperoleh dengan baik.13

18

2.9 PROGNOSIS Prognosis dari trauma yang meliputi gigi dipengaruhi oleh 3 faktor: 1. Tingkat kerusakan atau luas dari kerusakan yang dialami. Apakah kerusakan

yang dialami meliputi jaringan lain di sekitar gigi, seperti jaringan lunak maupun jaringan keras seperti tulang rahang. 2. 3. Kualitas dan kesegeraan dari perawatan yang dilakukan setelah terjadi trauma. Evaluasi dari penatalaksanaan selama masa penyembuhan.14

19

BAB III KESIMPULAN

Trauma pada gigi yang mengakibatkan gigi menjadi non vital disertai dengan hilangnya struktur mahkota gigi ini termasuk ke dalam klas IV klasifikasi Ellis dan Davey. Kasus ini sering terjadi disebabkan oleh trauma kecelakaan Dalam mempertimbangkan gigi secara fungsional dan estetis, penanganan terbaik untuk gigi non vital adalah melakukan ekstraksi yang kemudian menggantikan fungsi gigi dengan gigi tiruan. Pemakaian gigi tiruan mempunyai tujuan bukan hanya memperbaiki fungsi pengunyahan, fonetik, dan estetik saja, tetapi juga harus dapat mempertahankan kesehatan jaringan tersisa. Prognosis dari trauma yang meliputi gigi dipengaruhi oleh tingkat kerusakan atau luas dari kerusakan yang dialami. Apakah kerusakan yang dialami meliputi jaringan lain di sekitar gigi, seperti jaringan lunak maupun jaringan keras seperti tulang rahang. Kualitas dan kesegeraan dari perawatan yang dilakukan setelah terjadi trauma.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Shepherd. Maxillofacial trauma. In: Oral and maxillofacial S urgery. Pedlar J, Frame, J. (eds). Churchill: Livingstone; 2001.p.179-94 2. troott M, David DJ. Facial fractures. In: Craniomaxillafacial trauma. David, Simpson. Churchill: Livingstone; 1995.p.263-342. 3. Tucker MR, Ochs MW. Correction of dentofacial deformities. In: Contemporary of oral and maxillofacial surgery. Peterson E, Hupp, Tucker.,4th ed. Philadelphia: CV. Mosby Co; 2003.p.560-602. 4. Mc Mahon, Koppel AD, Devlin M, Moos KF. Maxillary and panfacial fractures. In: Maxillofacial trauma and esthetic facial reconstruction. Booth PW, Eppley BL, Schemelzeisen R..Churchill: Livingstone; 2003.p. 237-59 5. Leopard PF. Complications. In: Maxillofacial injuries Rowe. Willama., 2nd ed, Volume 2. Churchill: Livingstone; 1994.p. 570-94 6. David JD, Abbott Jay M, Nuget. Deformities. In: Craniomaxillofacial trauma. David, Simpson. Churchill: Livingstone; 1995.p.545-648. 7. Richardson D, Jones DC. Secondary osteotomies and bone grafting. In: Maxillofacial trauma and esthetic facial reconstruction. Booth PW, Eppley BL, Schemelzeisen R..Churchill: Livingstone; 2003.p. 459-87. 8. Tucker Sacco, White. Principles of surgical management of dentofacial deformity. In: Contemporary treatment of dentofacial deformity. Proffit W, Sarver. Philadelphia: CV.Mosby Company; 2003.p.270-87 9. Beek, Geoffrey C. 1996. Morfologi Gigi. Jakarta: EGC 10. Bramanti, Indra, Siti Balesri Rantinah.2007. perawatan Trauma Gigi Kelas II Ellis pada Gigi 11. Incisivus Sentral Atas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Offset 12. Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland edisi 29. Jakarta : EGC 13. Harshanur, Itjingningsih W. 1991. Anatomi Gigi. Jakarta: EGC 14. Ingle, J.I. and L.K. Bakland. 2002. Endodontics. Ontario: Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai