Anda di halaman 1dari 32

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Dalam sejarah perkembangan masyarakat, kapitalisme1 telah melahirkan penjajahan, karena ia membutuhkan pasar hasil industrinya, bahan mentah untuk industrinya, dan buruh murah dalam proses produksinya. Dalam pandangan kapitalisme, penjajahan adalah bentuk perkembangan atau gerak maju masyarakat sehingga para pelakunya dianggap sebagai pahlawan. Sedangkan dalam pandangan negara-negara terjajah, penjajahan adalah bentuk penindasan dan penghisapan sehingga melahirkan kemiskinan dan kebodohan. Kondisi riil perkembangan dunia itu melahirkan kesadaran sosial kedua belah pihakyang bertentangan kepentingannya. Kaum kapitalis ingin mengembangkan kolonialisme menjadi imperalisme, sedangkan kaum terjajah ingin merdeka, bebas dari penjajahan bangsa lain. Untuk dapat merdeka sebagian dari mereka melakukan perang kemerdekaan atau revolusi kemerdekaan. Perang kemerdekaan itu lahir diwaktu rantai kolonialisme itu lemah. Dalam sejarah, kolonialisme melahirkan Perang Dunia Pertama dan Kedua. Kedua Perang Dunia itu terjadi pada waktu rantai kolonialisme lemah. Di saat itulah negara-negera terjajah melakukan perang kemerdekaan atau dikenal dengan sebutan Revolusi
1

Kapitalisme berasal dari kata capital, bahasa latinnya caput artinya kepala, muncul pada abab 1213, capital artinya dana atau persediaan barang, atau sejumlah uang dan bunga pinjaman, atau kekayaan suatu perusahaan atau seorang pedagang. Isme adalah paham. Jadi kapitalisme adalah paham capital yang digunakan untuk mencari keuntungan; pemilik kapital disebut kapitalis. Istilah kapitalisme pertama kali dipakai oleh Adam Smith pada abad 18, kemudian Karl Marx mengembangkan istilah kapitalisme menjadi capital produktif atau cara produksi. Pada abad tersebut Eropa berlaku sistem sosial dan politik feodalisme. Darsono Prawironegoro, 2010, Ekonomi Politik Globalisasi, Jakarta: Nusantara Consulting, hlm.25.

Kemerdekaan. Perang merupakan suatu keharusan sejarah perkembangan dunia karena kerakusan kapitalisme dan kolonialisme. Setelah Perang Dunia Kedua berakhir, kolonialisme dikutuk oleb bangsabangsa terjajah di seluruh dunia. Negara-negara terjajah merdeka, namum mereka lemah dalam bidang ekonomi dan politik. Kenyataan itu merupakan peluang bagi negara-negara bekas penjajah untuk menjajah kembali. Mereka membentuk lembaga internasional bidang keuangan dan perdagangan untuk mendominasi dan

menghegemoni ekonomi dan politik Negara-Negara Sedang Berkembang dan prosesnya melalui globalisasi. Sebelum akhir Perang Dunia Kedua, pada tahun 1941, Perdana Menteri Inggris Churchill dan Presiden Amerika Serikat Rooselvelt mengadakan diskusi yang disebut Atlantic Charter. Garis besar isinya adalah membagi kembali negara-negara terjajah menjadi daerah kekuasaannya. Mereka berdua sadar bahwa negara-negara terjajah pasti merdeka karena semangat dan kesadaran nasionalismenya terbakar oleh kolonialisme. Dalam Atlantic Charter tersebut tersirat, bahwa secara bentuk atau secara politik, mereka boleh merdeka, namun isinya yaitu ekonominya harus tetap kita kuasai. Penguasaan ekonomi negara-negara merdeka setelah Perang Dunia Kedua harus diserahkan kembali kepada penguasa lamanya (dalam hal ini bekas penjajahnya), demikian isi pokok dari Antlantic Charter.2 Konsep Churchil dan

Rooselvelt tersebut didasarkan pada tesis bahwa jika ekonomi suatu bangsa (negara) dikuasi, maka politiknya otomatis dikuasai, karena kehidupan politik merupakan

Oleh sebab itu Indonesia berada di bawah kekuasaan IGGI yang diketuai oleh Belanda, karena Indonesia bekas jajahan Belanda.

cermin dari kehidupan ekonomi, kesadaran politik merupakan produk dari kondisi ekonomi. Konsep inilah yang menjadi dasar proses globalisasi kedua yang lahir setelah Perang Dunia Kedua.3 Keinginan untuk membangkitkan kembali semangat liberalisme klasik sebagai kritik atas pemikiran Keynes kemudian muncul pada tahun 1980-an. Pemikiran ini dipelopori oleh Friedrich von Hayek (Austria) dan Milton Friedman (AS). Hayek menyatakan bahwa penguatan Negara merupakan ancaman bagi kebebasan individu, sedangkan kontrol pemerintah menimbulkan ketimpangan dan inefisiensi. Friedman menyatakan bahwa kebebasan politik memiliki kaitan erat dengan kebebasan ekonomi. Oleh karena itu, yang bisa menjamin kebebasan itu adalah pasar, bukan Negara. 4 Pemikiran ini kemudian di kenal dengan sebutan gerakan Kanan Baru (the New Right) seperti dikenal sekarang. Gerakan ini mendapat dukungan dari dua tokoh dunia Margareth Thatcher dan Ronald Reagen. Mereka berusaha memperjuangkan pasar bebas di dalam Negari maupun arena internasional dengan intervensi minimal Negara di semua bidang kegiattan kecuali bidang keamanan.5 Globalisasi dan pasar bebas memang diimajinasikan sebagai upaya meningkatkan efisiensi global. Perdagangan secara global membantu banyak negara untuk berkembang lebih cepat. Globalisasi juga membuat negara-negara berkembang mendapat akses pengetahuan yang tak dapat diperoleh sebelumnya. Globalisasi
3 4

Darsono Prawironegoro, Op,Cit, hlm.20. Gagasan dasar kaum liberal adalah kebebasan beradasarkan hukum. Individu dianggap sebagai aktor yang penuh damai dan kooperatif, sedangkan Negara bersifat buruk (antinegara). Budi Winarno, 2010. Melawan Gurita Neoliberalisme, Jakarta: Erlangga, hal.10-11. Ibid, hal.11.

merupakan kemajuan negara-negara berkembang harus menerimanya, jika mereka ingin berkembang dan memerangi kemiskinan secara efektif. Tetapi bagi kebanyakan orang di negara-negara berkembang, globalisasi tidak membawa keuntungan ekonomi yang dijanjikan. Pengalaman sudah membuktikan sejak proses globalisasi bergulir muncul pula isu-isu seperti perdagangan global yang tidak fair, juga sistem keuangan global yang labih yang menelorkan krisis. Dalam kondisi tersebut, negara-negara berkembang dan miskin berulang kali terjebak jeratan utang yang justru jadi beban. Belum lagi bermunculan rezim hak properti intelektual, yang malah menghabisi akses masyarakat miskin untuk mendapat obat-obatan dengan harga terjangkau. Dalam proses globalisasi, seharusnya uang mengalir dari negara kaya ke negara miskin. Tapi, dalam beberapa tahun terakhir, yang terjadi justru sebaliknya. Sementara negara-negara kaya memiliki kemampuan untuk menahan risiko fluktuasi kurs dan suku bunga, negaranegara berkembang dan miskin menanggung beban fluktuasi tadi.6 Sejalan dengan ini Winarno menjelaskan bahwa proses pembangunan yang dilakukan oleh sebagian besar negara Dunia Ketiga dengan segala dimensinya telah menciptakan suatu struktur masyarakat yang timpang, tidak adil dan eksploitatif. Kondisi ini semakin parah ketika arus globalisasi menerpa dunia. Pada satu sisi, negara-negara industri maju (Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat) menikmati kemajuan dan kesejahteraan ekonomi dengan standar hidup masyarakatnya di atas rata-rata. Sementara di sisi yang lain, negara-negara Dunia Ketiga masih dililit oleh kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan melihat kondisi seperti ini, maka menjadi
6

Republika, Selasa, 07 Nopember 2006.

masuk akal jika banyak ilmuwan sosial mulai mempertanyakan kontribusi globalisasi dan liberalisasi ekonomi dan perdagangan yang tengah berlangsung saat ini bagi kemajuan dan kesejahteraan negara-negara Dunia Ketiga khususnya dan masyarakat dunia umumnya.7 Lebih lanjut Winarno mengatakan, neoliberalisme juga telah mendorong ketidakmerataan dan ketidaksetaraan internasional karena globalisasi berlangsung dalam kekuatan dan intensitas yang berbeda satu sama lain. Argumentasi Winarno ini didasarkan kepada banyaknya kajian ekonomi yang menunjukkan arus modal internasional ini semakin tidak seimbang, terutama di Negara-negara berkembang. Negara berkembang menjadi bagian terkecil dari arus modal internasional ini. Berlawanan dengan klaim neoliberalisme, investasi asing langsung (FDI) justru masuk ke Negara-negara yang memiliki modal kuat di Utara (negara-negara maju dan kaya), dan bukan ke Negara-negara Selatan (Negara-negara berkembang dan miskin) yang justru membutuhkan modal bagi pembanginan mereka.8 Globalisasi yang tengah berlangsung saat ini telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi perkembangan paham induvidualistik, hal ini ditandai dengan neo-liberalisasi yang dikendalikan oleh kaum kapitalis melalui perusahaan transnasional (TNC) dan perusahaan multinasional (MNC)9. Konsepsi globalisasi yang diistilahkan dengan nama Tata Dunia Baru (Novus Ordo Seclarum) - sebagai
7 8 9

Budi Winarno, 2009, Pertarungan Negara Vs Pasar, Jakarta: Medpress, hlm.2. Budi Winarno, 2010. Melawan Gurita Neoliberalisme, Op.Cit, hal.28. Dalam beberapa dekade belakangan, seiring dengan liberalisasi ekonomi dan perdagangan, perusahaan-perusahaan ini telah menjadi aktor ekonomi politik internasional yang semakin penting. Tujuan mereka yang paling utama adalah bagaimana mengakumulasi kekayaan yang sebesarbesarnya: Lihat: Budi Winarno, 2007, Globalisasi dan Krisis Demokrasi, Cet.I, Yogyakarta: MedPress, hal.2 3.

sebuah deskripsi mengacu pada perluasan dan penguatan arus perdagangan, modal, teknologi dan informasi internasional dalam sebuah pasar tunggal yang menyatu.10 Tata Dunia Baru yang diasumsikan sebagai satu-satunya alternatif yang tersedia sebagai tenaga pendorong proses pembangunan dan sinyal bagi kemakmuran masa depan dinilai sebagai imperialisme abad 21.11 Istilah imperialisme ini dikemukakan oleh Petras, dengan menggunakan konsep imperialisme didasarkan pada suatu

kenyataan bahwa jaringan lembaga-lembaga yang menentukan struktur sistem perekonomian global dilihat bukan dalam pengertian struktural, melainkan dalam pengertian kesengajaan dan ketergantungan, yang dikendalikan oleh orang-orang yang mempresentasikan dan berusaha mendahulukan kepentingan-kepentingan kelas kapitalis internasional baru.12 Pada akhirnya di era globalisasi diskusi mengenai

negara bangsa telah menjadi usang karena perannya digantikan oleh lembaga-lembaga internasional dan negara-negara kawasan.13 Disinilah letak permasalahan kedudukan negara bangsa (nation state) dengan nasionalisme-nya versus lingkungan global, suatu pemerintahan yang tunggal dan global.

Misalnya saja, arus modal internasional yang semakin tidak seimbang. Arus modal internasional terdiri dari swasta dan modal publik. Arus modal publik merupakan
10 11 12 13

James Petras dan Henry Veltmeyer, Op.Cit, hal.7 et seq. Ibid, hal.2. Ibid, hal.9. Keniche Ohmae, 2002, Hancurnya Negara Bangsa: Bangkitnya Negara Kawasan dan Geliat Ekonomi Regional di Dunia Tak Terbatas, Yogyakarta: Qalam, hal.25.

transfer modal yang dilakukan antarpemerintah yang bisa berbentuk arus modal bilateral, yakni suatu Negara memberikan bantuan atau pinjaman uang ke Negara lain; atau arus modal multilateral, misalnya, pinjaman dari lembaga-lembaga multilateral, seperti IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan lain sebagainya.

B. Permasalahan

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

D. Sistematika Penulisan

BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Globalisasi Konsep globalisasi, sebagaimana dikatakan oleh Hirst dan Thompson, telah menjadi mode dalam ilmu-ilmu sosial, merupakan kata kunci dalam resep-resep pakar ilmu manajemen dan kata bertuah yang digunakan oleh para wartwan dan politisi dari berbagai bidang dan tingkatan untuk menarik perhatian.14 Sedangkan Petras dan Veltmeyer berpendapat bahwa globalisasi menempati titik sentral dalam agenda intelektual dan politik yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan krusial tentang apa yang oleh banyak orang dipandang fundamental dan dinamis pada zaman kita ini, yakni sebuah epos perubahan yang menentukan dan secara radikal sedang mentransformasikan hubungan-hubungan dan lembaga-lembaga ekonomi dan sosial pada abad ke-21.15 Istilah globalisasi telah menjadi konsep yang sering digunakan untuk menggambarkan fenomena dunia kontemporer. Memasuki milenium ketiga, dunia berubah dengan sangat cepat sehingga menimbulkan implikasi yang sangat kompleks, yaitu munculnya saling ketergantungan (interdependence) dalam hampir seluruh

14

15

Paul Hirst and Grahame Thompson dalam Budi Winarno, 2009, Pertarungan Negara Vs Pasar, Jakarta: Medpress, hal.15. James Petras dan Henry Veltmeyer, 2002, Imperialisme Abad 21 (Judul Asli Imperialism in the 21th Century), Yogyakarta: Kreasi Wacana, hal.7.

dimensi kehidupan dalam hubungan antarnegara-bangsa (nation-states) dan hubungan transnasional (transnational relations).16 Perubahan-perubahan yang sangat cepat inilah yang kemudian disebut globalisasi. Namun demikian, meskipun telah menjadi istilah yang populer tetapi tidak ada definisi tunggal untuk istilah tersebut, dan beberapa definisi mengenai globalisasi cenderung dilebih-lebihkan serta mendorong terjadinya kesalahpahaman. Sementara penulis-penulis yang lain, seperti Hirst dan Thompson, mulai mempertanyakan validitas konsep globalisasi sebagai yang dapat digunakan untuk menggambarkan dunia kontemporer secara absah. Menurut kedua penulis ini, globalisasi hanyalah mitos belaka.17 Dalam banyak definisi, terutama yang berangkat dari kaum globalis, konsep globalisasi merujuk kepada fenomena di mana batas-batas negara bangsa tidak lagi relevan untuk didiskusikan. Ciri utamanya bahwa banyak persoalan kontemporer saat ini tidak dapat dipelajari secara memadai hanya pada tingkatan negara bangsa, dalam arti masing-masing negara bangsa dan hubungan-hubungan internasional. Namun, persoalan-persoalan kontemporer saat ini harus dipahami dalam proses, global, di mana kekuatan-kekuatan global di luar negara bangsa seperti perusahaan-perusahaan transnasional dan lembaga-lembaga ekonorni global, budaya global atau pengglobalan sistem-sistem keyakinan/ideologi dari berbagai macam tipe, atau kombinasi dari semua ini, yang membuat keberadaan negara bangsa menjadi semakin diragukan. Ini tentu saja berbeda, dengan konsep internasionalisasi yang lebih merujuk pada

16 17

Budi Winarno, 2009, Pertarungan Negara Vs Pasar, Op.Cit, hal.16. Ibid, hal.16.

10

bagaimana negara-negara bangsa di dunia berinteraksi antara satu dengan yang lain. Dengan demikian, kedua konsep ini mempunyai perbedaan yang mendasar, yakni menyangkut peran negara bangsa dalam konteks hubungan-hubungan ekonomi politik tersebut. Menurut Winarno18 globalisasi didefinisikan sebagai suatu proses yang menempatkan masyarakat dunia bisa menjangkau satu dengan yang lain atau saling terhubungkan dalam semua aspek kehidupan mereka, baik dalam budaya, ekonomi, politik, teknologi, maupun lingkungan. Khor, menjelaskan bahwa dalam globalisasi terdapat dua ciri utama, yakni sebagai berikut:19 Pertama, peningkatan konsentrasi dan monopoli berbagai sumber daya dan kekuatan ekonomi oleh perusahaan-perusahaan transnasional/multinasional maupun oleh dana global. Jika dulu sebuah perusahaan multinasional hanya mendominasi sebuah produk, maka saat ini sebuah perusahaan transnasional yang besar secara khusus memproduksi dan menjual berbagai macam produk, pelayanan dan bidangbidang yang semakin beragam. Bahkan, dipredeksikan jika perusahaan-perusahaan transnasional ini semakin beragam produk yang dihasilkannya tergantung pada permintaan pasar di Negara-negara tempat perusahaan tersebut beroperasi. Kedua, dalam kebijakan dan mekanisme pembuatan kebijakan nasional. Kebijakan-kebijakan nasional (yang meliputi bidang-bidang social, ekonomi, budaya

18

19

Budi Winarno, 2004. Globalisasi Wujud Imperalisme Baru, Peran Negara Dalam Pembangunan , Yogyakarta: Tajidu Press, hal.39. Martin Khor, 2002, Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan, Yogyakarta: Cidelaras Pustaka Rakyat Cerdas, hal.11-12.

11

dan teknologi yang sekarang ini berada dalam yuridiksi suatu pemerintah dan masyarakat dalam satu wilayah Negara bangsa bergeser menjadi di bawah pengaruh atau diproses badan-badan internasional atau perusahaan besar serta pelaku ekonomi keuangan internasional. Para ilmuwan terbagi menjadi tiga kelompok dalam melihat globalisasi, yakni kelompok hiperglobalis, kelompok skeptis, dan kelompok transformasionalis20. Ketiga kelompok ini oleh Winarno dipaparkan dalam uraian berikut. Menurut para pendukung hiperglobalis, globalisasi didefinisikan sebagai sejarah baru kehidupan manusia di mana "negara tradisional telah menjadi tidak lagi relevan, lebih-lebih tidak mungkin menjadi unit-unit bisnis dalam sebuah ekonomi global. Pandangan ini memberikan penekanan yang teramat besar terhadap gejala ekonomi dunia. Oleh karena itu, mereka melihat globalisasi ekonomi akan membawa serta gejala "denasionalisasi" ekonomi melalui pembentukan jaringan-jaringan produksi

transnasional (transnational networks of production), perdagangan, dan keuangan. Dalam lingkungan ekonomi yang tanpa batas ini (economics borderless), pemerintahan nasional tidak lebih dari sekadar transmission belts bagi kapital global, atau secara lebih singkat sebagai institusi perantara yang menyisip di antara kekuatan lokal dan regional yang sedang tumbuh, serta mekanisme pengaturan global. Lebih lanjut, mereka mengatakanbahwa globalisasi ekonomi tengah membangun bentukbentuk baru organisasi sosial yang tengah menggantikan atau yang akhirnya akan menggantikan negara bangsa sebagai lembaga ekonomi utama dan unit politik

20

David Held, et al dalam Budi Winarno, 2007 , Globalisasi dan Krisis Demokrasi, Jakarta: MedPress, hlm.12

12

masyarakat dunia. Mereka juga mengklaim bahwa globalisasi ekonomi akan membawa pola baru antara pemenang dan pecundang sekaligus dalam suatu ekonomi global. Pembedaan lama antara kelompok Utara (negara-negara maju dan kaya) dan kelompok Selatan (negara-negara berkembang dan miskin) akan menjadi anakronisme karena pembagian buruh dalam ekonomi global akan menggantikan struktur tradisional antara pusat-periferi dalam suatu arsitektur yang lebih kompleks dari kekuatan ekonomi dunia. Akhirnya, mereka menyatakan bahwa kemunculan ekonomi global dan lembaga-lembaga governance global, serta penyebaran dan hibridisasi budaya dianggap sebagai fakta tatanan dunia baru yang radikal.21 Kelompok pendukung pandangan kedua adalah kelompok skeptis. Tesis utama kelompok ini adalah globalisasi bukanlah merupakan fenomena yang sama sekali baru, tetapi mempunyai akar sejarah yang panjang. Kelompok ini menganggap bahwa tesis kaum hiperglobalis secara fundamental cacat dan secara politik adalah naif karena menganggap remeh kekuasaan pemerintahan nasional dalam mengatur kegiatan ekonomi internasional. Sebaliknya, kelompok ini melihat bahwa kekuatan-kekuatan global itu sendiri sangat bergantung pada kekuatan mengatur dari pemerintahan nasional untuk menjamin liberalisasi ekonomi terus berlanjut. Mereka menyatakan bahwa apa yang disebut sebagai pasar global sebagaimana dikonsepsikan oleh kaum hiperglobalis pada dasarnya hanya dilebih-lebihkan. Bagi sebagian besar kaum skeptis, ekonomi dewasa ini lebih didominasi 'regionalisasi' karena ekonomi dunia yang dianggap mengglobal oleh kaum hiperglobalis hanyalah melibatkan ketiga blok perdagangan dan keuangan, yakni Eropa, Asia-Pasifik, dan Amerika Utara.
21

13

Selanjutnya, berbeda dengan kaum hiperglobalis yang meyakini bahwa persoalan pembedaan antara Kelompok Utara dan Kelompok Selatan yang tidak lagi relevan karena akan lebih ditentukan oleh pembagian buruh, kaum skeptis justru menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan memarginalkan negara-negara Dunia Ketiga karena perdagangan dan investasi hanya mengalir di kalangan negara-negara industri maju dan kaya.22 Kelompok ketiga adalah transformasionalis. Inti pandangan kelompok ini adalah adanya keyakinan bahwa pada permulaan milineum baru, globalisasi adalah kekuatan utama di balik perubahan-perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang tengah menentukan kembali masyarakat modern dan tatanan dunia (world order}. Mereka menyatakan bahwa proses globalisasi yang tengah berlangsung saat ini secara historis belum pernah terjadi sebelumnya, di mana tidak ada lagi perbedaan antara internasional dan domestik, karena hubungan-hubungan internal dan eksternal tidak lagi menjadi jelas.23 Para pendukung transformasionalis ini mempunyai keyakinan bahwa globalisasi yang berlangsung dewasa ini telah menempatkan kembali kekuasaan, fungsi, dan kekuasaan pemerintahan nasional. Salah satu pandangan penting dari kaum transformasionalis adalah negara tidak lagi dapat bersembunyi di balik klaim kedaulatan nasional. Sebaliknya, kekuasaan negara bangsa sekarang ini dalam mengamblik keputusan harus disejajarkan dengan lembaga-lembaga governance global dan dari sudut pandang hukum internasional. Dalam konsisi seperti ini, negara

22 23

14

bangsa yang mengelola dirinya sendiri dan sebagai unit yang otonom lebih merupakan kalim nomatif dibandingkan sebagai suatu pernyataan deskriptif.24 Petras dan Veltmeyer memandang globalisasi sebagai sebuah alat ideologis yang lebih digunakan untuk preskripsi daripada deskripsi yang akurat, globalisasi disepadankan dengan sebuah istilah yang mengandung nilai deskriptif dan kekuatan penjelas lebih besar, yakni imperialisme.25

B. Sejarah Globalisasi Dunia Dalam pandangan yang radikal, globalisasi dalam bidang ekonomi dipahami sebagai suatu struktur yang sama sekali baru sedang terbentuk, yang bukan sekadar perkembangan ekonomi ke arah perdagangan internasional dan investasi yang lebih luas di dalam kerangka ekonomi yang sudah ada.32 Bagi pandangan ini, globalisasi merupakan fenomena yang baru. Sementara pada kutub yang lain, globalisasi yang sekarang ini telah menjadi bahan kajian yang menarik dalam banyak disiplin ilmu bukanlah tanpa preseden, namun hanya merupakan kelanjutan dari perkembangan ekonomi politik masa lalu. Bagi pandangan yang berada pada kutub ini, meskipun globalisasi merupakan fenomena yang tampak di permukaan pada 1960-an, namun pada dasarnya terdapat banyak fakta yang menunjukkan bahwa pergerakan ekonomi lokal ke ekonomi global telah terbentuk selama beberapa abad yang lalu. Asal-usul pergerakan globalisasi dapat ditelusuri kembali paling tidak empat abad yang lalu.

24 25

James Petras dan Henry Veltmeyer, Op.Cit, hlm..9.

15

Tepatnya September 1522 pada waktu ekspedisi Magellan kembali ke kota Serville di Spanyol, setelah melakukan pelayaran yang mengelilingi bumi untuk pertama kali. Meskipun Ferdinand Magellan terbunuh dalam ekspedisi itu, salah satu dari lima kapal dalam armadanya yang kembali dipenuhi dengan muatan rempah-rempah yang nilainya setara dengan biaya yang dikeluarkan selama tiga tahun ekspedisi. Dalam proses perkembangannya, terobosan yang dilakukan oleh ekspedisi Magellan itu memberikan bukti secara konklusif bahwa bumi adalah bulat dengan rute-rute lautan untuk mempermudah pelayaran keliling. Selama 1870-an, beberapa kawasan di dunia boleh dikatakan mempunyai kedudukan yang sebanding dalam gambaran ekonomi dunia. Cina, India, dan Ottoman Empire memainkan peran ekonomi yang penting bersama dengan Eropa Timur. Ini hampir sama dengan fenomena global saat ini di mana posisi kunci dari aktor-aktor ekonomi dan politik terletak pada garis segitiga antara Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat. Setelah 1700-an, Eropa Barat telah mengakumulasi kekayaan dan kekuasaan yang tidak ada bandingannya. Namun demikian, keuntungan-keuntungan yang diperolehnya didistribusikan secara tidak merata, dengan kaum miskin pedesaan, para pekerja industri, maupun kaum wanita yang memperoleh hasil yang sangat kecil dari jerih payah dan pengorbanan mereka. Kendati demikian, dominasi dari bentuk-bentuk ekonomi, budaya, dan politik diperkokoh dalam gelombang imperialisme abad ke-19. Akhirnya, dampak dari Perang Dunia Pertama dan depresi besar setelah itu, digabungkan dengan gelombang nasionalisme yang mulai marak di negara-negara Dunia Ketiga, mulai menggerogoti Eropa. Akibatnya, kepemimpinan ekonomi global

16

beralih ke tangan Amerika Serikat yang mulai mendominasi ekonomi global pasca Perang Dunia II. Dalam perkembangannya, perusahaan-perusahaan multinasional belakangan ini telah membantu memperluas dan mengarahkan ekonomi global di luar kemampuan lembaga-lembaga politik, nasional dan internasional.33

C. Globalisasi dan Kemiskinan Negara Berkembang 1. Globalisasi dan Kemiskinan Global Kemiskinan dan globalisasi memang sudah lama menjadi bahan perdebatan, bukan hanya di kalangan ekonom-ekonom dalam negeri, tapi juga dunia. Perdebatannya pun tak pernah jauh-jauh dari bagaimana dampak globalisasi terhadap kemiskinan; menekan kemiskinan atau justru memperbesar kemiskinan. Sejak proses globalisasi mulai berlangsung, kondisi kehidupan di hampir semua negara terkesan meningkat, apalagi jika diukur dengan indikator-indikator lebih luas. Namun, seringkali pula peningkatan itu hanya ada dalam hitung-hitungan di atas kertas. Negara-negara maju dan kuat memang bisa meraih keuntungan, tapi tidak negaranegara berkembang dan miskin. Globalisasi telah menjadi hard fact bagi semua negara termasuk berlaku di negara negara-sedang berkembang. Bagi sebagian negara, terutama bagi negara industri maju telah mendatangkan berkah. Namun bagi sebagian negara lainnya, terutama sebagian besar negara sedang berkembang belum banyak membawa manfaat,

17

bahkan tidak sedikit menimbulkan bencana baik berupa makin membengkaknya kemiskinan dan pengangguran serta menajamnya ketimpangan.26 Agenda-agenda neoliberal, seperti liberalisasi perdagangan, privatisasi, deregulasi, keterbukaan pasar, pengetatan fiskal, pengurangan pajak, dan pembatasan peran pemerintah, serta bentuk-bentuk kebijakan lainnya ternyata tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, tetapi justru telah menimbulkan berbagai perlambatan pertumbuhan, kemiskinan global, dan instabilitas ekonomi. 27 Penelitian yang dilakukan oleh Rita Abrahamsen di Afrika Selatan menemukan bagaimana adopsi kebijakan neoliberal telah menghancurkan kapital sosial sebagai akibat meluasnya kemiskinan dan ketimpangan. Dalam situasi masyarakat yang miskin dan dimana ketimpangan antara penduduk yang kaya dan miskin sangat mencolok seperti di Afrika Selatan. 28 Selanjutnya, penelitian yang membandingkan pertumbuhan GDP antara dua periode, yakni antara tahun 1980-2000 yang dianggap sebagai masa keemasan ekonomi global dengan periode 1960-1980 yang dianggap sebagai era keemasan ekonomi-regulasi menemukan data sebagai berikut. Negara-negara termiskin di dunia mengalami penurunan pertumbuhan dari 1,9% selama 1960-1980 menjadi -0,5% selama 1980-2000, sedangkan negara-negara seperti Indonesia, Panama, dan Pantai

26

27 28

Didin S. Damanhuri, 2009, Indonesia: Negara, Civil Society dan Pasar Dalam Kemelut Globalisasi, Cet.I, Depok: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, hal.168. Budi Winarno, 2010. Melawan Gurita Neoliberalisme, Op.Cit, hal.29 Sebagaimana dikutip oleh Edy Susanto, 2009, Cengkeraman Neo Liberalisme di Indonesia, Depok: BP IBLAM, hal.26.

18

Gading mengalami penurunan pertumbuhan GDP dari 3,6% (1960-1980) menjadi hanya 1% (1980-2000). 29 Globalisasi dalam praktiknya si lemah harus membiayai efisiensi dunia demi kesejahteraan si kuat. Selatan membiayai efisiensi global demi keuntungan dan kemajuan Utara. Kesenjangan yang semakin lebar antara yang kaya dan yang miskin telah memunculkan semakin banyak orang di Dunia Ketiga menjadi semakin miskin. Pada 1990, 2.718 miliar penduduk hidup dengan uang kurang dari $ 2 per hari, sedangkan pada 1998 jumlah penduduk miskin yang hidup dengan uang yang kurang dari $ 2 perhari diperkirakan 2.801 miliar. Hal ini terjadi berkenaan dengan peningkatan total pendapatan dunia secara aktual sebesar rata-rata 2,5% setiap tahunnya. Globalisasi belum berhasil mengurangi kemiskinan dan belum berhasil menjamin stabilitas. Krisis di Asia dan Amerika Latin telah mengancam perekonomian dan stabilitas negara-negara berkembang, bahkan krisis 1997 dan 1998 merupakan sebuah ancaman bagi seluruh perekonomian dunia.30 Krisis pertengahan 1997 tersebut juga melanda Indonesia, bahkan Indonesia merupakan negara yang menderita paling parah. Pertumbuhan ekonomi yang tahun sebelumnya sekitar 7% per tahun merosot tajam sampai - 13,7% dan inflasi mencapai 77,6 % pada 1998. Ternyata globalisasi bukan meningkatkan kesejahteraan, tetapi bagi dunia ketiga, globalisasi justru meningkatkan kemiskinan.31 Teori ekonomi liberal telah gagal dalam mewujudkan apa yang sering mereka teorikan. Para penentangnya menggugat para ekonom yang mengembangkan teori ini
29 30 31

Budi Winarno, Globalisasi dan Krisis Pembangunan : Bagaimana .Op.Cit. hal.3. http://journal.amikom.ac.id/index.php/Koma/article/viewArticle/1316 Loc Cit.

19

dengan mengatakan bahwa ilmu yang dikembangkan para ekonom dewasa ini dari hari ke hari semakin bersifat abstrak dan jauh dari kenyataan. Akibatnya, terjadi kesenjangan yang dalam antara apa yang diabtraksikan pada tataran teoritik dengan realitas empiris di lapangan. Ini dapat dilihat, misalnya, dari kegagalan-kegagalan resep Bank Dunia dalam mendorong pembangunan di Negara-negara Dunia Ketiga melalui apa yang disebut sebagai program-program penyesuaian struktural. Di Negara-negara dimana SAPs ini dilaksanakan, perekonomian tidak kunjung membaik. Bahkan, bisa dikatakan gagal.32 Menurut Winarno, neoliberalisme juga telah mendorong ketidakmerataan dan ketidaksetaraan internasional karena globalisasi berlangsung dalam kekuatan dan intensitas yang berbeda satu sama lain. Argumentasi Winarno ini didasarkan kepada banyaknya kajian ekonomi yang menunjukkan arus modal internasional ini semakin tidak seimbang, terutama di Negara-negara berkembang. Negara berkembang menjadi bagian terkecil dari arus modal internasional ini. Berlawanan dengan klaim neoliberalisme, investasi asing langsung (FDI) justru masuk ke Negara-negara yang memiliki modal kuat di Utara (negara-negara maju dan kaya), dan bukan ke Negaranegara Selatan (Negara-negara berkembang dan miskin) yang justru membutuhkan modal bagi pembanginan mereka.33 Globalisasi yang dikendalikan oleh neoliberalisme ekonomi inilah yang menjadi pendorong bagi menajamnya kesenjangan antara Utara dengan Selatan pada satu sisi, dan antara Negara-negara kaya dengan Negara-negara miskin pada sisi yang

32 33

Rita Abrahamsen dalam Budi Winarno, 2007, Globalisasi.Op.Cit, hal.72. Budi Winarno, 2010. Melawan Gurita Neoliberalisme, Op.Cit, hal.28.

20

lain. Terlalu banyak alasan teoritik maupun empiric yang dapat digunakan untuk meneguhkan argumentasi ini. Pertama, para pendukung neoliberalisme ekonomi mengatakan bahwa pasar akan jauh lebih efisien dibandingkan dengan Negara dalam mendistribusikan sumber-sumber ekonomi yang langka. Asumsinya, ketika individu diberikan kesempatan untuk berkompetisi satu dengan yang lain, mereka akan mencari cara yang paling efisien guna memenuhi kebutuhannya, dan secara keseluruhan ini akan menyumbangkan pada efisiensi ekonomi nasional dan dunia. Namun, asumsi teoritik ini melupakan aspek penting dinamika individu dan kapitalisme. Individu, yang kini lebih diwakili oleh korporasi-korporasi multinasional, dalam suatu sistem kapitalisme akan mempunyai kecenderungan yang kuat melakukan akumulasi kekayaan dan keuntungan. Untuk itu, mereka hanya akan menginvestasikan kekayaan yang mereka miliki di tempat-tempat yang menjamin keuntungan, seperti akses pasar, sumber daya manusia yang murah, dan sumber bahan baku yang memadai. Oleh karena tujuan uatama mereka adalah profit dan akumulasi kapital, maka mereka tidak menyadari persoalan-persoalan distribusi keuntungan dan investasi. Bahkan, agar keuntungan maksimal, mereka akan berusaha membayar dengan murah tenaga kerja atau buruh. Kondisi eksploitatif inilah yang mendorong Marx untuk meramalkan terjadinya revolusi proletariat.34 Kedua, akibat dari pertama adalah kecenderungan menumpuknya investasi di kawasan-kawasan tertentu saja. Oleh karena orientasi korporasi mengejar maksimasi keuntungan, mereka hanya akan menginvestasikan modal di wilayah-wilayah yang menjanjikan keuntungan sehingga di wilayah-wilayah tertentu, yang sebagian besar
34

Budi Winarno, 2007, Globalisasi.Op.Cit, hal.81-82.

21

berada di Dunia Ketiga, tidak tersentuh investasi sama sekali. Akibatnya, mereka tetap terbelakang. Dengan demikian, para pendukung globalisasi benar ketika mengatakan bahwa mereka miskin karena tidak tersentuh aliran investasi, yang dalam pandangan mereka sebagai akibat globalisasi. Namun, persoalannya bukan mereka tidak tersentuh globalisasi investasi, tetapi karena sifat globalisasi ekonomi neoliberallah yang tidak mau menyentuh mereka. Dengan demikian, yang perlu dipikirkan adalah bukan mendorong mereka mengintegrasikan diri ke dalam pasar global, tetapi bagaimana globalisasi ekonomi ini dibuat menyentuh mereka dengan membuat investasi tidak menumpuk di satu atau dua kawasan.35 2. Globalisasi dan Peningkatan Kemiskinan di Indonesia Persoalan kemiskinan merupakan persoalan klasik yang telah ada sejak zaman purbakala. Kemiskinan selalu menjadi persoalan besar yang begitu menakutkan bagi umat manusia. Setiap harinya tercatat kurang lebih 840 juta orang di dunia menderita kelaparan. Artinya, hampir 1/6 jumlah umat manusia menderita kelaparan. Selain itu, lebih dari 2 milyar umat manusia atau 1/3 dari jumlah populasi di dunia, kekurangan bahan makanan atau mengkonsumsi makanan yang tidak menyehatkan.

Masalah kemiskinan tentunya merupakan masalah yang dihadapi seluruh dunia baik itu negara maju maupun negara berkembang. Akan tetapi hal ini lebih banyak terjadi di negara negara berkembang atau disebut juga sebagai negara dunia ketiga. Kemiskinan merupakan gambaran kehidupan di banyak negara berkembang yang
35

Loc.Cit. Hirts dan Thomsponmenunjukan bahwa sebagian besar arus investasi hanya mengalir di tiga wilayah (triad) pokok, yakni Jepang, Amerika Utara, dan Uni Eropa. Belakangan arus investasi tersebut menyebar ke Negara-negara Asia Timur. Cina menjadi salah satu penerima investasi terbesar dunia saat ini. Paul Hirts dan Grahame Thompson, 2001, Globalisasi adalah Mitos, Jakarta: Yayasan Obor, hal. 99.

22

mencakup lebih dari satu milyar penduduk dunia, terutama di daerah pedesaan atau masyarakat petani. Kemiskinan merupakan permasalahan yang diakibatkan oleh kondisi nasional suatu negara dan situasi global. Sebagai contohnya kasus kemiskinan di Indonesia. Sebagai negara berkembang, Indonesia masih harus berkutat dengan masalah kemiskinan dan pengangguran, meski sudah merdeka 66 tahun. Apalagi, sejak krisis ekonomi 1997-1998, kemiskinan dan pengangguran meledak sehingga menjadi isu sentral dalam kebijakan publik. Lebih lanjut, hingga saat ini kondisi sosial ekonomi Indonesia masih belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang signifikan. Setidaknya, jika hal tersebut diukur dari tingginya pengangguran dan kemiskinan. Dibandingkan dengan negara lain, Indonesia menjadi negara yang paling lama keluar dari krisis.36 Saat ini, kemiskinan menjadi perhatian yang sangat besar dan pemecahan permasalahannya menjadi agenda utama pembangunan Indonesia. Negara ini dihadapkan pada peningkatan jumlah penduduk miskin dari tahun ke tahun. Permasalahan dasar kemiskinan di Indonesia dapat digambarkan dengan melihat perubahan-perubahan tingkat kemiskinan di Indonesia dalam beberapa tahun. Di masa lalu, Indonesia pernah sukses mengurangi kemiskinan. Pada pembangunan ekonomi awal 1970-an, Indonesia cukup sukses mengentas kemiskinan. Pada 1976 jumlah penduduk miskin mencapai 54,2 juta orang atau 40,15 persen. Pembangunan ekonomi berhasil mengurangi jumlah penduduk miskin dalam empat tahun menjadi 28,65 persen pada 1980. Penurunan terus berlanjut sehingga pada 1990 tinggal 27,20
36

Budi Winarno, Globalisasi : Peluang atau Ancaman .Op.Cit., hal.7.

23

juta atau 15,10 persen penduduk miskin. Namun, krisis ekonomi membuat tingkat kemiskinan naik tajam, dari 22,5 juta orang pada 1996 menjadi 47,9 juta (23,45 persen) pada 1999. Indonesia dihadapkan pada kondisi dimana masih tingginya jumlah penduduk miskin yaitu Jumlah penduduk miskin bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta jiwa atau sekitar 17,75 persen (BPS, Maret 2006) Jika dibandingkan dengan bulan Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta atau 15,97 persen, jadi terdapat kenaikan sebesar 3,9 juta. Jumlah kemiskinan ini mungkin lebih sedikit bila dibandingkan dengan analisis Bank Dunia. Menurut laporan kajian Bank Dunia tentang kemiskinan di Indonesia yang dirilis di Jakarta pada hari kamis 7 Desember 2006, Bank Dunia memperhitungkan 108,78 juta orang atau 49 persen dari total penduduk Indonesia berada dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Kalangan ini hidup dengan kurang dari 2 dollar AS atau Rp 19.000 per hari. Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia Andrew Steer menjelaskan, terdapat perbedaan sangat tipis antara penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dan penduduk yang berada hanya sedikit di atas garis kemiskinan. Tingkat pergeseran status ekonomi antara kelompok rakyat miskin dan kelompok hampir miskin relatif ketat. Misalnya, lebih dari 38 persen rumah tangga miskin pada tahun 2004, pada tahun sebelumnya tidak tergolong miskin. Selain jumlah kemiskinan yang terus meningkat, juga masih tingginya Rumah Tangga Miskin di Indonesia yaitu 19,2 juta KK ( BPS, 2006), masih tingginya angka pengangguran sebesar 10,24 persen dari total angkatan kerja yang berjumlah 103 juta

24

jiwa (2006). Selain itu, dalam hal akses pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan & permukiman, infrastruktur, permodalan/kredit dan informasi bagi masyarakat miskin dirasakan masih sangat terbatas. Jika diamati dengan seksama di sebagian wilayah nusantara ini, masih terdapat kawasan kumuh dan kantong-kantong kemiskinan yang jumlahnya mencapai sekitar 56.000 hektar kawasan kumuh di perkotaan di 110 kota-kota, dan 42.000 desa dari sejumlah 66.000 desa dikategorikan desa miskin. Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang kompleks dan dipicu oleh banyak hal. Tetapi penyebab yang paling utama meningkatnya jumlah kemiskinan di Indonesia adalah adanya kenaikan harga, misalnya beras naik sekitar 33%, kenaikan harga BBM sebesar rata-rata 114% dimana harga minyak tanah naik hampir tiga kali lipat. Kondisi tersebut meningkatkan inflasi menjadi 17,95% dan pengeluaran penduduk miskin naik 6%. Kenaikan harga disinipun pastinya disebabkan oleh bayak faktor, namun dapat dikatakan bahwa perubahan pasar (pasar bebas) menjadi penyebab utamanya dan secara tidak langsung ini menjadi faktor meningkatnya kemiskinan. Berbicara masalah kemiskinan tentu tidak lepas dari konteks

pengangguran. Angka pengangguran naik sejak krisis 1997 dari 6,36 persen pada 1999 menjadi 11,22 persen pada 2005. Angka pengangguran dan kemiskinan ini tentu saja masih menyisakan banyak permasalahan diantaranya ialah menyebakan kemiskinan. 3. Pengaruh Globalisasi terhadap Kemiskinan di Indonesia Sebagai salah satu dari negara berkembang, maka Indonesia tidak lepas dari hegemoni globalisasi ekonomi yang dilatarbelakangi kepentingan negara maju. Negara

25

maju melalui tiga pilar utamanya: WTO, IFIs dan MNCs telah mencengkeram penghidupan masyarakat di negara miskin dan berkembang. Melalui standarisasi perdagangan internasional yang diatur dalam WTO dalam bentuk Perjanjian sektor pertanian (AoA-Agreement on Agriculture); Perjanjian sektor jasa (GATS-General Agreement on Trade in Services); Perjanjian mengenai Hak-hak Kekayaan Intelektual yang terkait dengan Perdagangan (TRIPs-Trade Related Intellectual Property Rights); dan Perjanjian akses pasar produk-produk non-pertanian (NAMA-Non-Agricultural Market Access), mendorong pertumbuhan arus barang dan jasa antar negara dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan perdagangan, tarif dan non-tarif (subsidi, bantuan ekspor, aturan-aturan yang menghambat ekspor negara lain). Akibatnya produk-produk Indonesia kalah bersaing dengan produk luar, seperti terlihat dalam nilai ekspor -impor barang. Melalui kekuatan finansialnya, negara maju telah menjerumuskan negaranegara berkembang ke dalam jebakan utang. Sehingga, mereka tidak punya cukup uang untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara seperti pendidikan dan kesehatan. Berkaitan dengan hal ini Winarno37, megatakan kemiskinan di Negaranegara berkembang semakin meningkat tajam dikarenakan tingginya jumlah utang luar negeri yang harus dibayar oleh Negara-negara ini setiap tahunnya, yang bahkan menghabiskan sebagian besar pendapatan Negara-negara tersebut, dan, di sisi lain, investasi asing tidak mampu menciptakan dan memperluas lapangan pekerjaan, dan bahkan kebijakan peringanan dan penghapusan pajak bagi korporasi transnasional

37

Budi Winarno, Melawan GuritaOp. Cit, hal.25-27.

26

(MNCs) justru telah menyebabkan pengosongan anggaran bagi kebijakan-kebijakan social (social spending). Januari 2005 angka utang luar negeri kita mencapai 214,565 juta USD, dimana lebih dari setengahnya (132,9) dilakukan oleh swasta. Hampir 30% dari pengeluaran APBN dihabiskan hanya untuk membayar hutang, melebihi alokasi untuk kebutuhan dasar warga negaranya. Data menunjukkan masyarakat yang tidak punya kapasitas untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya mencapai 8,9 juta atau 4,39% dari penduduk miskin di Indonesia (BPS: 2002). Liberalisasi menyebakan matinya perusahaan-perusahaan lokal yang tidak siap berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan asing yang memiliki modal sangat besar.38 Sebagai contoh nyata di Indonesia sepanjang tahun 1980-1987, 30% dari Industri menengah kecil mengalami gulung tikar. Selain itu perlu dicatat pula bahwa sejak investasi asing mengalir masuk ke Indonesia tahun 1967, banyak industri tradisional, khususnya industri-industri tekstil telah bangkrut karena mereka tidak mampu bersaing dengan industri-industri tekstil modern yang dimiliki oleh para pemilik modal asing. Diperkirakan bahwa selama tahun 1969 sampai dengan tahun 1970 industri-industri tekstik tradisional berjumlah 324.000, namun dalam tahun 1976-1977 jumlah industri tersebut telah berkurang drastis dan tinggal sekitar 60.000. Artinya, penguatan neoliberalisme di era globalisasi telah membuat 60% industri tekstil di Indonesia telah bangkrut. 39

38 39

Ibid, hal.26. Loc Cit.

27

Keberlakuan ekonomi neoliberal di negara sedang berkembang terasa menjadi ancaman bagi pertumbuhan ekonomi , sebagaimana dikatakan oleh Winarno sebagai berikut: proyek liberalisasi neoliberal telah mengancam keamanan manusia (human security) dalam pengertian luas. Bukti mengenai hal ini dapat dilihat dari rendahnya pertumbuhan ekonomi, globalisasi kemiskinan, dan semakin meningkatnya kesenjangan antara si kaya dengan si miskin pasca diterapkannya kebijakan ekonomi neoliberal.40(garis bawah dari penulis). Terdapat begitu banyak berita kegagalan proyek-proyek neoliberalisme di seluruh dunia. Studi-studi yang pernah dilakukan oleh para ahli di beberapa negara menemukan bahwa proyek neoliberalisme senantiasa berujung pada meluasnya kemiskinan dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Selain itu, semakin banyaknya perusahaan-perusahaan multinasional yang akhirnya memonopoli berbagai sektor bisnis hingga bidang pangan. Hal ini menyebabkan kenaikan harga pangan. Bahkan bukan hanya itu, di Indonesia kemudian terjadi pengrusakan sumber daya alam secara besar-besaran yang disebabkan oleh perusahaan-perusahaan multinasional ini. Contohnya kasus Freeport, Newmont batu hijau, kebakaran hutan dan banjir karena illegal logging.

40

Budi Winarno, Globalisasi dan Krisis Pembangunan : Bagaimana Dengan Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, tanggal 5 Desember 2005, hal.2.

28

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Proses pembangunan yang dilakukan oleh sebagian besar negara Dunia Ketiga dengan segala dimensinya telah menciptakan suatu struktur masyarakat yang timpang, tidak adil dan eksploitatif. Kondisi yang demikian semakin bertambah parah dengan berlakunya arus globalisasi menerpa dunia. Pada satu sisi, negara-negara industri maju (Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat) menikmati kemajuan dan kesejahteraan ekonomi dengan standar hidup masyarakatnya di atas rata-rata. Sementara di sisi yang lain, negara-negara Dunia Ketiga masih dililit oleh kemiskinan dan keterbelakangan. Neoliberalisme juga telah mendorong ketidakmerataan dan ketidaksetaraan internasional karena globalisasi berlangsung dalam kekuatan dan intensitas yang berbeda satu sama lain. Hal ini didasarkan kepada banyaknya kajian ekonomi yang menunjukkan arus modal internasional ini semakin tidak seimbang, terutama di Negara-negara berkembang. Negara berkembang menjadi bagian terkecil dari arus modal internasional ini. Globalisasi menciptakan peluang pasar-pasar internasional yang kompetitif bagi pihak-pihak yang mampu mengelola perekonomiannya secara efisien, tetapi di sisi lain, menjadi ancaman yang serius bagi pihak-pihak yang tidak mampu mengelola sektor perekonomiannya dengan baik.

29

Globalisasi ini muncul bersamaan dengan kebangkitan kembali kaum neoliberal atau kelompok Kanan Baru di Amerika Serikat dan Eropa. Akibatnya, pengagungan terhadap mekanisme pasar menjadi tekanan utama, dan campur tangan negara dalam urusan ekonomi sedapat mungkin dihilangkan. Ini karena campur tangan negara yang terlalu besar dalam bidang ekonomi, sebagaimana disarankan oleh paham Keynesian, hanya akan mendistorsi pasar dan membuat ekonomi dunia tidak efektif. Oleh karena itu, menurut pandangan kaum neoliberal, negara dengan cara apapun harus dikeluarkan dari pasar. Pikiran ini mendominasi lembaga-lembaga dunia seperti IMF, Bank Dunia, maupun WTO. Inilah yang menjadi latar belakang gencarnya gerakan globalisasi dan liberalisasi di bidang ekonomi, perdagangan, dan investasi. Negara-negara bangsa yang berpartisipasi dalam ekonomi internasional dituntut untuk mengurangi tarif, menghilangkan kuota dan privilege, dan membuka seluas-luasnya bagi investasi dan perdagangan barang impor. Akibatnya, dunia saat ini terbelah ke dalam kelompok negara yang kaya, dan kelompok negara yang miskin, kelompok negara yang kuat dan kelompok negara yang lemah, yang "dipaksa" untuk berkompetisi secara bebas tanpa ada kompensasi bagi yang lemah. Dunia, demikian kata sebagian ahli, telah dikuasai oleh sebuah rezim perdagangan bebas dan moneter internasional. Dalam perkembangan lebih lanjut, pertumbuhan perusahaan-perusahaan multinasional telah menjadi kekuatan tersendiri dalam hubungan ekonomi-politik internasional. Berjalin dengan perkembangan teknologi komunikasi, kondisi ini dalam pandangan beberapa ilmuwan sosial telah semakin memarginalkan peran negara

30

bangsa dalam proses pembangunan. Sesuai dengan keyakinan kaum neoliberal, bahwa campur tangan negara dalam aktivitas ekonomi akan membuat ekonomi dunia tidak efisien, maka dalam proses globalisasi sekarang ini peran negara semakin dimarginalkan. Peran tersebut kemudian digantikan oleh pasar. Oleh karena proses globalisasi telah mengintegrasikan negara-negara bangsa menuju ke arah state borderless sebagaimana diyakini oleh Ohmae, dan karena kemunculan aktor-aktor nonteritorial maka pembahasan negara bangsa di era global menjadi tidak lagi relevan.

B. Saran Agar suatu bangsa dapat meraih keuntungan yang maksimal dari globalisasi, maka diperlukan pemerintahan yang efektif dan efisien. Dengan demikian, bangsa Indonesia perlu lebih fokus pada usaha-usaha menciptakan pemerintahan yang efektif melalui demokratisasi, penyelenggaraan otonomi daerah, dan good governance. Dengan terwujudnya ketiga hak ini diharapkan dapat menciptakan suatu pemerintahan yang efektif sebagai salah satu prasyarat penting menghadapi globalisasi.

31

DAFTAR PUSTAKA

Darsono Prawironegoro, Op,Cit, hlm.20. Budi Winarno, 2010. Melawan Gurita Neoliberalisme, Jakarta: Erlangga, hal.10-11. Republika, Selasa, 07 Nopember 2006. Budi Winarno, 2009, Pertarungan Negara Vs Pasar, Jakarta: Medpress, hlm.2. Budi Winarno, 2007, Globalisasi dan Krisis Demokrasi, Cet.I, Yogyakarta: MedPress,

Keniche Ohmae, 2002, Hancurnya Negara Bangsa: Bangkitnya Negara Kawasan dan Geliat Ekonomi Regional di Dunia Tak Terbatas, Yogyakarta: Qalam, hal.25. Paul Hirst and Grahame Thompson dalam Budi Winarno, 2009, Pertarungan Negara Vs Pasar, Jakarta: Medpress, hal.15. James Petras dan Henry Veltmeyer, 2002, Imperialisme Abad 21 (Judul Asli Imperialism in the 21th Century), Yogyakarta: Kreasi Wacana, hal.7. Budi Winarno, 2004. Globalisasi Wujud Imperalisme Baru, Peran Negara Dalam Pembangunan , Yogyakarta: Tajidu Press, hal.39. Martin Khor, 2002, Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan, Yogyakarta: Cidelaras Pustaka Rakyat Cerdas, hal.11-12. Budi Winarno, 2007, Globalisasi dan Krisis Demokrasi, Jakarta: MedPress, hlm.12 Didin S. Damanhuri, 2009, Indonesia: Negara, Civil Society dan Pasar Dalam Kemelut Globalisasi, Cet.I, Depok: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, hal.168. Edy Susanto, 2009, Cengkeraman Neo Liberalisme di Indonesia, Depok: BP IBLAM, hal.26. http://journal.amikom.ac.id/index.php/Koma/article/viewArticle/1316 Paul Hirts dan Grahame Thompson, 2001, Globalisasi adalah Mitos, Jakarta: Yayasan Obor, hal. 99. Budi Winarno, Globalisasi dan Krisis Pembangunan : Bagaimana Dengan Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, tanggal 5 Desember 2005, hal.2.

32

Anda mungkin juga menyukai