Anda di halaman 1dari 16

DID MUHAMMAD EXIST BAB 4. MENYALAKAN TERANG SEJARAH YANG SEBENARNYA (Bag.

1)
28 Agustus 2013 pukul 21:40

Bab 4 Menyalakan Terang Sejarah Yang Sebenarnya

Penulis Biografi Muhammad Pertama

Kisah-kisah tentang Muhammad yang konon katanya dipenuhi terang sejarah sebagian besar berasal dari seorang muslim bernama Ibnu Ishaq bin Yasar, yang umumnya dikenal sebagai Ibnu Ishaq, yang pertama kali menulis biografi Muhammad. Tetapi Ibnu Ishaq tidak hidup sejaman dengan nabinya, Muhammad, yang dipercaya meninggal di tahun 632. Ibnu Ishaq meninggal tahun 773, dan karyanya berkisar lebih dari 100 tahun setelah kematian sang tokoh. Apalagi karya Ibnu Ishaq ini, yakni Sirat Rasul Allah Biografi Sang Utusan Allah tidak bertahan dalam bentuk aslinya. Apa yang datang pada kita hanyalah versi yang lebih ringkas (walaupun tetap saja cukup panjang) yang dikompilasi dikemudian hari oleh seorang sarjana Islam, Ibnu Hisham, yang meninggal di tahun 834, atau 60 tahun setelah kematian Ibnu Ishaq, juga beberapa fragmen yang dikutip oleh para penulis Muslim awal lainnya, termasuk sejarawan Muhammad Ibnu Jarir at-Tabari (839-923). Keterlambatan bahan ini tidak dengan sendirinya berarti bahwa ia tidak dapat diandalkan. Sejarawan umumnya cenderung mendukung sumber-sumber yang lebih awal ketimbang yang kemudian, tetapi sebuah sumber awal tidak selalu lebih dapat dipercaya daripada yang datang kemudian. Sebuah biografi seorang politisi yang ditulis terburu-buru untuk segera masuk percetakan beberapa minggu setelah kematiannya, misalnya, mungkin tidak akan memiliki nilai lebih besar dari catatan yang lebih teliti yang diterbitkan beberapa tahun kemudian, setelah melewati penelitian mendalam. Namun dalam kecenderungan yang sedang merajalela waktu itu untuk membentuk materimateri tentang ucapan dan perbuatan Muhammad, dan cara berbagai faksi di abad kedelapan dan kesembilan menggunakan apa yang konon katanya menjadi ucapan dan tindakan Muhammad untuk mendukung posisi mereka, penulis biografi pertama Muhammad akan menghadapi tantangan yang luar biasa dalam menyaring bahan-bahan dari pemalsuan dan rekayasa. Lagipula Ibnu Hisham mengklaim bahwa versinya lebih handal. Ia mengatakan bahwa ia tidak menyertakan, hal-hal yang menjijikan untuk dibahas, hal-hal yang akan memusingkan beberapa orang; dan semacam laporan-laporan yang al-Bakkai [murid dari Ibnu Ishaq, yang mengedit karyanya] katakan kepadaku yang ia tak bisa terima sebagai layak dipercaya.[1] Abdallah Ibnu Numayr, seorang pengumpul hadits yang meninggal tahun 814, mengeluhkan bahwa walaupun

karya Ibnu Ishaq berisikan apa yang otentik, materi otentik itu bercampur dengan ucapanucapan tak berarti yang bulan Ishaq dapatkan dari orang-orang tak dikenal. [2] Seorang spesialis hadits terkenal, Ahmad Ibnu Hanbal (w. 855), tidak menganggap Ibnu Ishaq sebagai sumber terpercaya untuk hukum Islam. [3] Karena banyak korpus hukum Islam yang didasarkan pada contoh teladan apa yang Muhammad ucapkan, lakukan, biasa lakukan, dan bahkan yang ia hindari yang sangat siginifikan: kecenderungan Ibnu Hanbal dalam hal ini menyiratkan bahwa ia menganggap sebagian besar apa yang Ibnu Ishaq laporkan tentang Muhammad tidak dapat diandalkan. Namun, pada kesempatan lain, Ibnu Hanbal menjelaskan pandangannya, dengan menyatakan bahwa sementara ia tidak percaya Ibnu Ishaq bisa dipercaya mengenai masalahmasalah hukum, ia melihat karya Ibnu Ishaq dapat diandalkan sebagai materi biografis Muhammad yang lebih murni, seperti misalnya kisah-kisah pertempuran. Sebuah pandangan yang kurang menyenangkan datang dari ahli fiqh lain, Malik Ibnu Anas (w. 795), yang menyebut Ibnu Ishaq sebagai salah satu dajjal. [4] Sementara tokoh lainnya hanya menyebutnya sebagai pembohong. [5]

Membela Ibnu Ishaq Ibnu Ishaq memiliki para pembelanya juga. Para penulis Muslim awal yang mengumpulkan semua laporan yang tidak menguntungkan tentang Ibnu Ishaq, dan banyak lainnya juga, akhirnya menepis kritik dan menegaskan kepercayaan pada karya penulisan biografi Ibnu Ishaq. Dan memang, banyak dari mereka yang keberatan kepada karya Ibnu Ishaq karena ia memiliki kecenderungan Syiah, atau menegaskan kehendak bebas manusia, yang banyak Muslim anggap sebagai ajaran sesat. Beberapa percaya bahwa tulisan Ibnu Ishaq terlalu menguntungkan suku-suku Yahudi di Arab. Tak satupun dari kritik ini benar-benar berkenaan pada kebenaran dari apa yang Ibnu Ishaq laporkan, dan banyak Muslim awal menegaskan kebenaran itu. Seorang muslim abad kedelapan, Shuba, menjuluki Ibnu Ishaq sebagai pemimpin para tradisionalis (yakni, seorang spesialis hadist) karena kemampuan memorinya yang luar biasa. Seorang penulis abad sembilan akhir, Abu Zura, mengatakan bahwa karya Ibnu Ishaq telah diteliti akurasinya dan lulus uji. Seorang ahli hukum abad Sembilan awal, Abu-Syafi'i, mengatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah sumber yang sangat diperlukan untuk kisah-kisah pertempuran Sang Nabi, dan bahkan menyerukan bahwa pengetahuan akan tetap ada di antara manusia sepanjang Ibnu Ishaq hidup. [6] Pandangan-pandangan yang sangat beragam ini mungkin disebabkan fakta bahwa citra Muhammad yang muncul dari biografi Ibnu Ishaq bukanlah apa yang bisa diharapkan dari seorang pendiri salah satu agama besar di dunia. Citra Muhammad yang Ibnu Ishaq tampilkan bukanlah seorang guru damai kasih Allah dan persaudaraan manusia, melainkan seorang panglima perang yang berjuang di berbagai pertempuran dan memerintahkan pembunuhan musuh-musuhnya. Seorang sejarawan abad dua puluh, David Margoliouth, mengatakan Karakter yang dikaitkan kepada Muhammad dalam biografi karya Ibnu Ishaq benar-benar sangat tidak menguntungkan. Untuk mencapai tujuannya, ia mengambil langkah-langkah tidak bijaksana, dan ia menyetujui keserampangan serupa pada para pengikutnya, apabila itu dilakukan demi kepentingannya. [7]

Namun peperangan Muhammad yang begitu banyak tidak mempermalukan Muslim modern di Barat. Peperangan-peperangan yang mereka sematkan kepada nabi mereka di tempat dan waktu tertentu justru tidak mengabaikan statusnya sebagai panutan sempurna (QS 33:21) bagi muslim di sepanjang zaman dan di seluruh tempat. Yang lebih sulit untuk dijelaskan adalah episode ayat-ayat setan yang memalukan: Muhammad menerima wahyu yang menyatakan bahwa tiga dewi kaum pagan Qurays adalah anak-anak perempuan Allah, dan layak dimuliakan juga. Namun ketika sang nabi Islam ini menyadari dia telah mengkompromikan pesan monoteistiknya, ia mengklaim bahwa Setan telah menginspirasikan ayat-ayat tersebut, dan bahwa Setan memang selalu mengganggu pesan pewahyuan kepada semua nabi (lih. QS 22:52). Muhammad segera membatalkan ayat-ayat yang akan mengganggu itu. Ibn Ishaq bercerita tentang kejadian ini, yang mana para penulis sejarah awal Islam lainnya tidak sertakan ke dalam catatan mereka. Ibnu Ishaq juga menceritakan kisah mengerikan dari Kinana bin ar-Rabi, seorang pemimpin Yahudi di oasis Khaybar, yang Muhammad serbu dan taklukan. Karena berpikir bahwa Kinana tahu di mana kaum Yahudi Khaybar telah menyembunyikan harta mereka, maka nabi memerintahkan kepada anak buahnya: Siksa dia sampai kalian mengambil apa yang ia miliki. Kaum Muslim kemudian menyalakan api di dada Kinana, dan ketika Kinana masih belum mau memberitahu mereka di mana harta karun itu, mereka memenggal kepalanya. [8] Seorang apologis Islam modern bernama Ehteshaam Gulam, seorang penulis muda di website Answering Christian Claims, dengan mudahnya memberikan keberatan Islam yang khas untuk cerita ini ketika ia menolaknya karena kurang jelasnya isnad atau rantai periwayat: Ibn Ishaq tidak nama sumbernya. Gulam juga mengatakan bahwa cerita tersebut tidak mungkin benar karena Muhammad tidak akan bertindak dengan cara-cara seperti itu: Bahwa seorang pria harus disiksa dengan luka bakar di dadanya oleh percikan batu adalah perbuatan yang terlalu keji bagi sang Nabi (semoga berkah dan damai Allah turun atasnya) yang telah memperoleh gelar untuk dirinya sebagai Rahma'lil Alamin (rahmat bagi seluruh alam). [9] Dengan entengnya dia menyarankan bahwa orang-orang Yahudi-lah yang mungkin telah mengarang cerita tersebut dan meneruskannya kepada Ibnu Ishaq yang mudah percaya.

Keandalan Ibnu Ishaq Jadi, apakah semua ini hanyalah ucapan tak berharga yang Ibnu Ishaq terima dari orangorang tak dikenal? Mungkin saja. Namun masih tersisa apa yang tidak bisa dijelaskan dalam kritik ini adalah motif dari Ibn Ishaq. Jika memang ada orang-orang Yahudi musuh-musuh Islam (karena mereka generasi demi generasi selalu saja ditetapkan sebagai musuh Islam sesuai dengan QS 5:82) dan memberi Ibnu Ishaq informasi palsu tentang Muhammad untuk mendiskreditkan Islam, motif mereka relatif jelas, namun tidak demikian dengan Ibn Ishaq. Margoliouth mengatakan bahwa Ibnu Ishaq melukiskan gambaran yang tidak menyenangkan bagi sang pendiri agama, tetapi gambaran ini tidak dapat dianggap sebagai gambaran yang diambil dari pihak musuh. [10]

Bahkan jika penggambaran tentang Muhammad dari Ibnu Ishaq dianggap lebih cocok sebagai oranbg kejam dari pada sebagai orang suci, justru penghormat sang penulis biografi ini untuk tokoh sentral yang ia tulis sungguh jelas dan tak habis-habisnya. Jelas Ibn Ishaq tidak memiliki kepentingan dalam menggambarkan Muhammad dalam perspektif yang tidak menguntungkan. Lagi pula, Ibnu Ishaq mengakui Muhammad sebagai kompas moralnya, sama seperti peran Muhammad begitu banyak umat Islam saat ini. Ibn Ishaq tampaknya tidak terganggu oleh implikasi moral dari cerita-cerita yang ia tuturkan, atau untuk menganggap bahwa kejadiankejadian tersebut menempatkan Muhammad dalam cahaya yang negatif. Cerita tersebut tidak dapat ditolak sebagai tidak historis hanya karena muslim modern percaya kejadian-kejadian tersebut tidak pernah terjadi. Sumber-sumber Islam menyebutkan beberapa sejarawan sebelumnya, namun karya-karya mereka tidak bertahan sampai ke kita, dan apa yang kita ketahui tentang karya-karya mereka tidaklah pasti. Sebagai contoh, Urwah bin Az-Zubair bin Al-Awwam, pria yang secara umum diakui sebagai bapak pendiri sejarah Islam, yang menurut tradisi Islam adalah sepupu Muhammad dan keponakan dari Aisha yang meninggal pada 712. Ibnu Ishaq, Tabari, dan seorang sejarawan Islam Awal lainnya, Ibnu Sa'ad, banyak merujuk pada namanya dalam banyaka kisah tradisi, tetapi jika benar Urwa bin Az-Zubair bin Al-Awwam pernah menulis apaapa, itu tidak sampai kepada kita. [11] Tidak ada cara untuk mengevaluasi kebenaran berbagai rekening Ibn Ishaq Muhammad. Material yang beredar secara lisan untuk sebanyak 125 tahun, di tengah lingkungan di mana pemalsuan materi tersebut merajalela, sangat tidak mungkin untuk mempertahankan setiap tingkat signifkan keandalan historisnya. Terlebih lagi, sebagaimana Johannes JG Jansen, seorang akademisi kajian-kajian Islam dari Belanda, mengamati: Tidak satupun dari kisah-kisah dalam karya Ibnu Ishaq yang dapat dikonfirmasi oleh prasasti atau temuan arkeologi lainnya. Kita tidak mendapati kesaksian sejaman dengan kejadiankejadian yang digambarkan dalam cerita-cerita tersebut dari pihak non-Muslim. Sumber-sumber berbahasa Yunani, Armenia, Syriak dan sumber lainnya tentang asal-usul Islam di jaman itu sangat sulit dilacak, namun tidak satupun dari mereka yang secara meyakinkan sejaman dengan Sang Nabi Islam. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada karya biografi yang bisa dianggap sebagai karya ilmiah dalam pemahaman modern, bahkan tidak pula dengan bantuan Ibn Ishaq yang serba maha tahu. [12]

DID MUHAMMAD EXIST? Bab 4. MENYALAKAN TERANG SEJARAH YANG SESUNGGUHNYA (Bag. 2)
29 Agustus 2013 pukul 20:26

Tambal Sulam Sejarah Para penulis biografi yang terkemudian bahkan lebih mengetahui dan sering menyulam catatancatatan Ibnu Ishaq. Sejarawan Patricia Crone mengemukakan salah satu contoh yang sangat

mengerikan. Menurut catatan Ibnu Ishaq, serangan dari Kharrar tampaknya tidak pernah terjadi dalam hidup Muhammad: "Sementara Rasul Allah telah mengutus Saad b. Abi Waqqas yang ditemani oleh delapan orang dari kalangan Muhajirun tersebut. Dia pergi sejauh Kharrar di Hijaz, kemudian dia kembali tanpa pernah bentrokan dengan musuh. "13 Dua generasi kemudian, al-Waqidi (wafat 822), dalam Kitab Sejarah dan Penyerangan, sebuah kisah pertempuran Muhammad, menghiasi catatan catatan kecil di atas: Kemudian Rasulullah (semoga Allah memberkatinya dan memberinya kedamaian) menunjuk Sa'ad b. Abi Waqqas untuk mengomandoi penyerangan terhadap bani Kharrar. Kharrar adalah bagian dari Juhfa dekat Khum-in Dhu'l-Qa'da, delapan belas bulan setelah hijrah sang Rasulullah (semoga Allah memberkatinya dan memberinya damai). Abu Bakr b. Ismail b. Muhammad mengatakan, atas nama otoritas ayahnya, pada Amir b. Sa'ad atas wewenang ayahnya [yakni Saad b. Abi Waqqas]: Rasul Allah (semoga Allah memberkatinya dan memberinya kedamaian) berkata, Wahai Sa'ad, pergi ke Kharrar, sebab serombongan kafilah milik Quraisy akan melewatinya. Jadi aku pergi keluar dengan dua puluh atau dua puluh satu laki-laki, dengan berjalan kaki. Kami bersembunyi pada siang hari dan berjalan di malam hari sampai kami tiba di sana pada pagi hari kelima. Kami menemukan bahwa kafilah telah melewati hari sebelumnya. Sang Utusan telah memerintahkan kami untuk tidak pergi melampaui Kharrar. Seandainya kita tidak melakukannya, kami pasti akan mengejar ketinggalan itu. [14] Anehnya, Al-Waqidi tahu lebih banyak tentang ekspedisi ini daripada Ibn Ishaq, dan sebagaimana Crone paparkan, dia tahu semua ini dengan sempurna atas nama pemimpin ekspedisi sendiri! Bagaimana mungkin jika Ibnu Ishaq sendiri menghindari penggambaran kejadian dengan rincian yang mendetil, namun al-Waqidi sekitar lima puluh tahun kemudian mampu menghadirkannya? Meskipun mungkin saja jika al-Waqidi memiliki akses ke tradisi lisan yang telah diwariskan dari orang yang dekat dengan Muhammad yang lolos dari pengamatan Ibn Ishaq, namun lebih mungkin bahwa rincian ini adalah elaborasi legendaris yang dikembangkan untuk tujuan mendramatisir cerita-cerita tersebut. [15]

Elaborasi legendaris Seorang sarjana Islam, Gregor Schoeler, berpendapat bahwa materi Tradisi Islam tentang kehidupan & karya Muhammad secara substansial dapat diandalkan. Dia menunjukkan bahwa meskipun karya Urwah bin Az-Zubair, penulis biografi pertama Muhammad, hilang, Ibn Ishaq dan penulis Muslim awal lainnya mengutip secara ekstensif. Karena Urwah meninggal pada tahun 712 dan mengumpulkan sebagian besar cerita tentang Muhammad dari tahun 660an sampai dengan 690an, dia memiliki banyak kesempatan untuk mengumpulkan informasi yang dapat dipercaya. Urwah, kata Schoeler, masih memiliki kesempatan untuk berkonsultasi dengan para saksi mata dan orang-orang sezaman dari banyak peristiwa yang jadi persoalan - terlepas dari apakah ia menyebutkan informannya dalam isnad atau tidak. Untuk alasan ini, sangat mungkin jika ia meminta bibinya Aisha tentang banyak peristiwa ia saksikan .... Selain itu, ia mampu mengumpulkan laporan langsung pada berbagai insiden yang terjadi (sedikit) sebelum, selama dan setelahhijrah, misalnya hijrah itu sendiri (termasuk 'pertama hijrah' ke Abyssinia dan keadaan dan peristiwa yang mengarah ke hijrah ke Madinah), Pertempuran Parit dan al-Hudaibiya.[16]

Semua ini adalah peristiwa penting dalam hidup Muhammad: Hijrah adalah pindahnya umat Islam dari Mekkah ke Madinah pada tahun 622, ketika Muhammad menjadi untuk pertama kalinya seorang pemimpin militer dan politik serta rohani. Sebelum itu, beberapa Muslim telah melarikan diri ke Abyssinia (Ethiopia) untuk menghindari penganiayaan dari suku Quraish Mekkah. Pertempuran Parit, tahun 627, adalah pengepungan Madinah oleh pagan Arab Mekah pengepungan yang akhirnya membuat Muslim pecah, dengan konsekuensi penting bagi semua pihak. Perjanjian Hudaibiya adalah gencatan senjata yang Muhammad capai dengan Quraish sekitar tahun 628, lewat perjanjian ini umat Muslim diizinkan untuk melakukan ziarah ke Mekah. Perjanjian ini menetapkan standar dalam hukum Islam untuk semua perjanjian antara Muslim dan non-Muslim. Jika memang Urwah benar-benar mampu mengumpulkan dan mengirimkan informasi yang dapat dipercaya tentang semua ini dari bibinya Aisyah dan lain-lain saksi mata peristiwa tersebut, maka biografi Muhammad dalam rekening Islam standar pada dasarnya dapat dipercaya. Klaim Schoeler, bagaimanapun, terputus-putus jika dilakukan perbandingan dengan catatan Ibn Ishaq dan al-Waqidi tentang peristiwa di Kharrar yang tidak pernah kejadian. Jika materi-materi kejadian itu rentan terkena begitu banyak elaborasi legendaris dalam beberapa dekade, apa yang mencegah cerita-cerita tersebut dari versi Urwah yang kemudian berubah secara substansial? Apakah mereka melakukannya di dasarkan pada bahan lain yang telah mereka terima dari sumber yang berbeda, atau berfungsi sebagai perhitungan dalam untung rugi politik, atau keluar dari suatu kepentingan saleh untuk melebih-lebihkan kebaikan Muhammad, atau kombinasi motif tersebut? Bahkan, proses ini elaborasi legendaris sudah terjadi ketika Ibn Ishaq menyusun catatan-catatannya. Bukti paling jelas berasal dari asumsi Al-Qur'an yang berulang-ulang menyatakan bahwa utusan yang menerima wahyu bukanlah pembuat mukjizat. Orang-orang kafir menuntut keajaiban: Dan mereka yang tidak mengetahui berkata: Mengapa Allah tidak berbicara dengan kami atau datang dengan tanda-tanda kekuasaannya kepada kami (2:118, lihat juga QS 6:37, 10:20, 13:07, 13:27). Allah memberitahu utusan-Nya bahwa bahkan sekalipun nabi memang datang kepada kaum kafir dengan keajaiban, mereka tetap akan menolaknya: Dan sesungguhnya telah Kami buat dalam Al Qur'an ini segala macam perumpamaan untuk manusia. Dan sesungguhnya jika kamu membawa kepada mereka suatu ayat, pastilah orang-orang yang kafir itu akan berkata,Kamu tidak lain hanyalah orang-orang yang membuat kepalsuan belaka. (QS 30:58). Di tempat lain dalam Al Qur'an, Allah memberikan pesan serupa: Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang yang diberi Kitab, semua ayat, mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim. (2:145). Pengulangan tema ini menunjukkan bahwa salah satu kritik utama kaum penentang sang Nabi Arab ini diajukan karena tidak ada mukjizat yang ia buat, AlQur'an dimaksudkan untuk menjadi tanda yang cukup dalam dirinya sendiri: Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Kitab sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orangorang yang beriman. (QS 29:51).

Namun Muhammad dalam biografi Ibnu Ishaq digambarkan sebagai pembuat mukjizat. Ibnu Ishaq menceritakan bahwa selama penggalian parit yang akhirnya berhasil menggagalkan pengepungan kaum Mekkah terhadap kaum muslim di Madinah, salah satu sahabat Muhammad mempersiapkan domba betina kecil yang belum gemuk dan mengundang Nabi untuk makan malam. Muhammad ternyata mengejutkan sang tuan rumah dengan mengundang semua orang yang sedang menggali parit untuk makan di rumah pria itu. Nabi Islam memecahkan masalah seperti Yesus dalam Injil, yakni melipatgandakan roti dan ikan: Ketika kami duduk kami mempersiapkan makanan dan ia memberkati dan memanggil nama Allah atasnya. Lalu ia makan seperti semua yang lain. Segera setelah satu nampan habis, nampan berikutnya datang sampai para penggali kekenyangan. [17] Pada kesempatan lain Ibn Ishaq menulis, salah satu sahabat terluka parah matanya, sehingga bola matanya hampir lepas dari tempatnya, Muhammad mengembalikan bola matanya ke tempatnya dengan tangannya dan menjadikan matanya lebih baik dan lebih tajam dari sebelumnya. [18] Dalam cerita-cerita lainnya, Muhammad menimba air dari sumur yang kering dan mendatangkan hukan dengan doanya. [19] Ada banyak, banyak sekali cerita dalam karya Ibnu Ishaq. Jika salah satu dari mereka telah diketahui pada saat Al Qur'an ditulis, sungguh sukar dijelaskan bahwa Muhammad sendiri tidak pernah menggambarkannya dalam Quran sebagai seorang nabi dengan sebuah kitab saja tanpa ada mukjizat pendukung.Sungguh luar biasa bahwa seorang pria yang bisa menyembuhkan orang sakit, memperbanyak makanan, mengambil air dari sumur kering, dan mengeluarkan petir dari hantaman linggisnya tetap digambarkan sebagai seorang nabi yang pesannya tidak didukung oleh tanda-tanda ajaib. Ibn Ishaq juga memasukan cerita-cerita tentang bagaimana Muhammad berulang kali diramalkan sebagai seorang nabi masa depan ketika ia masih seorang kanak-kanak belaka. Dalam satu kesempatan, Muhammad dibawa ke Syria ketika ia masih kecil, di mana seorang pendeta Kristen bernama Bahira mengamatinya, melihat tubuhnya dan menemukan jejak deskripsi (dalam kitab-kitab Kristen). Ibnu Ishaq menegaskan bahwa Bahira meramakjan anaj ini akan menjadi penegak monoteisme, meskipun kaumnya menganut politeisme, Muhammad belia mengatakan kepada sang biarawan, Demi Allah, tiada yang lebih ku benci dari pada Al-Lat dan al-Uzza, dua dewi Quraisy. Bahira juga melihat punggung anak itu dan melihat segel kenabian di antara bahunya, di tempat yang sangat dijelaskan dalam bukunya. Oleh karena itu sang biarawan memperingatkan pamannya Muhammad, atau meramalkan, apa yang nantinya motif mengiblis-ibliskan kaum Yahudi: Bawalah keponakanmu ke negerinya, dan jaga-jagalah dia dair kaum Yahudi. Sebab demi Allah! Jika mereka melihat dia dan tahu apa yang aku tahu, mereka akan menjahati dia; masa depan yang besar ada di depan mata keponakanmu ini, jadi bawalah dia pulang segera. [20] Johannes Jansen menjelaskan motivasi di balik kisah-kisah semacam ini: Para pendongeng bermaksudkan untuk meyakinkan publik bahwa Muhammad memang seorang nabi dari Tuhan. Untuk melakukannya, mereka meyakinkan publik mereka yang sudah Kristen, bahkan para biarawan pun telah mengakui Muhamamd demikian. Mereka tidak memiliki memori nyata dari peristiwa semacam itu, tetapi mereka ingin meyakinkan masyarakat bahwa mengakui Muhammad sebagai nabi Allah adalah hal yang baik. Jika memang suatu otoritas Kristen yang netral telah mengakui Muhammad, mereka harus memaparkan argumen mereka, begitu pula otoritas kristen lainnya!

Dalam hal ini, para pendongeng hanya bisa menyampaikan pesan mereka jika mereka bisa memanggungkan cerita seakan-akan Muhammad telah benar-benar bertemu seorang biarawan. Oleh karena itu, mereka menceritakan beberapa cerita tentang bagaimana Muhammad sebagai seorang anak pergi ke Suriah, bersama dengan salah satu pamannya. Di sana ia bertemu biarawan, dan biarawan itu mengenalinya. Banyak cerita tentang perjalanan Muhammad ke Syria bukanlah produk memori sejarah yang sebenarnya, namun samar-samar, tetapi penciptaan yang seperti itu diperlukan untuk kebutuhan teologis sehingga Muhammad diakui sebagai nabi oleh orang Kristen, bahkan oleh seorang biarawan. Cerita tentang pertemuan Muhammad dan sang biarawan adalah mustahil. Cerita ini muncul dalam berbagai versi yang bertentangan, namun ternyata mencapai tujuannya. [21] Cerita tersebut juga aneh jika dilihat dalam pemahaman pihak oposisi, dalam hal ini pihak Quraish yang Muhammad hadapi setelah dia menyatakan dirinya sebagai nabi; jika dia benarbenar memenuhi nubuatan dari nabi yang akan datang, mengapa orang Quraisy begitu lambat dan keras kepala menyadarinya? Dalam hal ini kehidupan Muhammad menyerupai kehidupan Yesus, dimana Injil Matius khususnya menggambarkan pemenuhan nubuat Mesias yang akan datang namun ditolak oleh para pemimpin agama yang paling akrab dengan nubuatnubuat. Kemiripan yang begitu dekat mengindikasikan bahwa kisah-kisah Muhammad yang diidentifikasikan sebagai nabi di masa mudanya memiliki skenario tipologis dan legendaris. Sifat legenda dalam catatan-catatan ini benar-benar tidak cocok dengan tradisi Islam tentang bagaimana terkejutnya dan ketakutannya Muhammad ketika dikunjungi oleh Jibril untuk pertama kalinya. Ibnu Ishaq sendiri melaporkan bahwa pertemuan ini meninggalkan suatu agitasi ekstrim pada diri Muhammad sehingga ia berkata kepada istrinya: Celakalah aku jika aku seorang pelihat [yakni, seorang yang menerima visi gembira dan mungkin gila] atau kesurupan.[22] Jika Muhammad telah berulang kali diidentifikasi sebagai nabi ketika ia masih anak-anak dan remaja, kita harusnya memahami bahwa suatu saat hal ini akan terjadi. Atas dasar ini saja, keandalan kesejarahan dari karya Ibnu Ishaq sudah benar-benar dikompromikan. Materi-materi yang ia masukan dalam biografinya pastilah telah muncul lama setelah pengumpulan Al-Qur'an. Bahkan dalam kasus ini, adalah sungguh ane bahwa ia memasukkan begitu banyak bahan yang secara jelas bertentangan dengan kesaksian Al Qur'an, sebuah buku dengan yang Ibn Ishaq akrab, setidaknya dalam beberapa bentuk, karena ia sering mengutip ayat-ayat yang muncul dalam Quran. Jika biografi Muhammad karya Ibnu Ishaq sebagian besar atau bahkan seluruhnya benar-benar fiksi, maka semua informasi tentang Muhammad yang umumnya dianggap sebagai sejarah sekarang menguap sudah. Niat menyeluruh Ibnu Ishaq adalah untuk menunjukkan kepada para pembacanya bahwa Muhammad memang seorang nabi. Tapi dalam melakukannya, ia menceritakan begitu banyak legenda yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari fiksi. Tidak ada cara yang dapat diandalkan untuk membedakan elemen-elemen mukjizati di catatan-catatan Ibnu Ishaq dari apa yang tampaknya sejarah yang sebenar-benarnya terjadi. Jansen menantang setiap klaim bahwa karya biografi Ibn Ishaq berbasis sejarah. Dia menunjukkan bahwa untuk setiap peristiwa yang berlangsung dalam kehidupan Muhammad, Ibn Ishaq dengan cermat dalam siratnya mencatat di bulan mana suatu kejadian itu terjadi, dan

sistem penanggalan sistematis berdasarkan bulan yang Ibn Ishaq lakukan tentu saja dianggap salah satu alasan utama mengapa sejarawan Barat mengklasifikasikan bukunya sebagai historiografi dalam arti sebenarnya kata itu. Namun pencatatan rinci semacam ini ternyata benar-benar tidak sejalan dengan kalender Arab. Sistem kalender Arab Pra-Islam, seperti halnya kalender Islam saat ini, memakai penghitungan bulan, yang satu tahunnya terdiri dari 354 hari, bukan 365 hari berdasarkan kalender matahari. Untuk menyesuaikan perbedaan ini, bangsa Arab menambahkan satu bulan tambahan untuk setiap tiga tahun surya. Namun mereka menghentikan praktek ini di tahun 629 M, Al-Qur'an benar-benar melarang penambahan bulan lompatan (QS 9:36-37). Saat itu, Muhammad, jika memang sosok ini pernah benar-benar ada, telah bertindak sebagai nabi selama hampir dua puluh tahun, menurut catatan standar Islam. Namun bagaimana kemudian, dari begitu banyak kejadian yang Ibnu Ishaq jelaskan dan berikan tanggal yang akurat, namun tidak pernah ada yang ia catat terjadi dalam bulan-bulan tambahan? tanya Jansen. Jika narasi tentang kehidupan Muhammad didasarkan pada sejarah dan kenangan pada peristiwa nyata, namun terdistorsi, namun masih diingat oleh orang-orang nyata, bagaimana bisa setengah tahun matahari (atau lebih) tetap tidak disebutkan dan telah menghilang dari catatan? Jansen mengamati bahwa Biografi karya Ibnu Ishaq hanya dapat menelusuri waktu hanya pada periode di mana orang sudah lupa bahwa dulu pernah ada bulan lompatan. [23] Periode itu pastilah terjadi jauh sesudah Muhammad konon dikabarkan pernah hidup. Jansen menyimpulkan, Cerita-cerita yang ditulis oleh Ibnu Ishaq ini tidak mencoba untuk menjelaskan ingatan akan peristiwa yang pernah terjadi dimasa lalu, namun suatu usaha bahwa mereka ingin meyakinkan pembaca bahwa tokoh utama, Muhammad, adalah utusan Allah.

DID MUHAMMAD EXIST? Bab 4. MENYALAKAN TERANG SEJARAH YANG SESUNGGUHNYA (Bag 3 selesai)
1 September 2013 pukul 22:00

Memahami Segalanya Tentang Ibnu Ishaq Meskipun demikian, cendekiawan kajian Islam abad 20, W. Montgomery Watt (1909-2006) mengajukan untuk memisahkan sejarah dari legendaris Ibnu Ishaq dalam bukunya dua jilid biografi nabi Islam, Muhammad di Mekah dan Muhammad di Medina. Dia melakukannya hanya dengan mengabaikan cerita-cerita yang memuat keajaiban dari karya Ibnu Ishaq dan menyajikan sisanya sebagai akurat secara historis akurat, sebuah prosedur yang, dalam analisis akhir, benar-benar sewenang-wenang: Tidak ada alasan untuk lebih mempercayai cerita-cerita tanpa unsur mukjizat sebagai kejadian faktual dari pada cerita-cerita dengan unsur mukjizat dalam karya biografi Ibnu Ishaq ini. Baik cerita-cerita tanpa unsur mukjizat maupun dengan unsur mukjizat harus dibuktikan oleh sumber-sumber sejaman lainnya, atau sumber yang lebih dekat ke masa Muhammad yang sebenarnya. Patricia Crone menjelaskan sebagian dari apa yang salah dengan metodologi Watt: "Dia menerima sesuatu sebagai benar secara historis klaim bahwa Muhammad berdagang di Suriah sebagai agen Khadijah, meskipun satu-satunya cerita di mana kita diberitahu selama ini -

sebenarnya banyak yang fiktif. Hal serupa terjadi pada Waat, ia menganggap bahwa kisah Abd al-Muthalib menggali sumur Zamzam di Mekah sebagai fakta historis, meskipun informasi tersebut juga berasal dari cerita-cerita mukjizat. [24] Watt menginformasikan pembacanya dengan mengesankan bahwa pengepungan Madinah, dikenal umat Islam sebagai ekspedisi Khandaq atau Pertempuran Parit, dimulai pada tanggal 31 Maret 627 (8/xi/5) dan berlangsung sekitar dua minggu. [25] Namun di sisi lain ia tidak mengatakan apa-apa tentang petir yang keluar dari linggis Muhammad ketika ia sedang menggali parit. Juga Watt tidak mengatakan bahwa sumber tentang tanggal pengepungan itu berasal dari al-Waqidi, yang catatn-catatannya dikenal sebagai elaborasi ahistoris atas karya karya Ibnu Ishaq yang bersifat legenda sebagaimana yang kita telah lihat. Mengapa Watt percaya tanggal saat memulai pengepungan sebagai sesuatu yang historis, tetapi ia tidak percaya tentang petir yang menakjubkan yang keluar dari linggis Muhammad? Ia tidak menjelaskan apa-apa tentangnya. Baik Watt maupun sejarawan lain yang bergantung pada Ibn Ishaq untuk pengetahuan mereka tentang Muhammad dapat memiliki kedua-duanya. Dan jika Ibn Ishaq tidak dapat diandalkan sebagai sumber sejarah yang dapat dipercaya, tidak ada yang lain. Pada dasarnya setiap biografi Muhammad sampai hari ini tergantung setidaknya pada tingkat tertentu pada Ibn Ishaq. Johannes Jansen mengamati: "buku-buku tentang Muhammad Kemudian pada dasarnya membatasi diri untuk menceritakan kembali kisah Ibnu Ishaq. Kadang-kadang mereka sedikit lebih rinci dari Ibn Ishaq, tapi rincian tambahan mereka menyediakan tidak menginspirasi banyak keyakinan dalam skeptis modern. Biografi Barat modern Muhammad, juga, semua benar-benar tergantung pada Ibn Ishaq. Sama, semua artikel ensiklopedia tentang Muhammad, apakah populer atau akademik, hanyalah ringkasan narasi Ibn Ishaq. [26] Jadi jika Ibnu Ishaq bukanlah sumber historis yang dapat dipercaya, apa yang tersisa dari kehidupan Muhammad? Jika tidak ada satupun yang pasti yang dapat diketahui tentang dirinya, maka pembentukan Islam-lah yang menyebabkan penciptaan tokoh legenda Muhammad (bukan sebaliknya bahwa dari Muhammadlah Islam lahir). Jika memang tidak ada sang nabi pemimpin perang yang mengajarkan jihad terhadap kaum tak percaya dan ajaran yang dipercaya sebagai firman yang abadi dan sempurna dari satu-satunya Tuhan, lalu bagaimana dan mengapa para petinggi kaum Arab Penakluk di abad 7 dan sesudahnya menciptakannya? Apa kekuatan yang berada di belakang mereka, jika mereka sebenarnya tidak terinspirasi oleh janji seorang nabi yang berapi-api tentang pahala di dunia ini dan di dunia yang akan datang untuk para pejuangnya? Jika Islam tidak berkembang sebagaimana Muslim percayai dan sebagaimana sumber-sumber Islam awal kisahkan, maka sebenarnya bagaimana dan mengapa hal itu berkembang? Sebuah petunjuk untuk hal ini datang dari anomali-anomali yang mengitari panggung Arab Islam.

Muhammad: Sang Nabi Arab? Muhammad adalah seorang utusan dari tanah Arab, lahir di Mekkah, berbahasa Arab, dan membawa pesan dari Allah kepada orang-orang Arab (lih. Qur'an 41:44) dan dari situ melebar ke dunia luas.

Setiap elemen dari kalimat di atas terdengar wajar sehingga baik kaum Muslim dan non-Muslim mempercayainya begitu saja; namun setiap elemen , ketika diselidiki lebih dekat , ternyata mulai goyah. Dari catatan sejarah yang masih ada, sama sekali tidak jelas bahwa ada seorang nabi Arab bernama Muhammad di sekitar Mekkah, yang membawa sejenis pesan kepada dunia. Atau setidaknya, catatan-catatan menunjukkan bahwa jika memang ada Muhammad, dia tidak hidup di Mekah dan tidak memberitakan sesuatu yang mirip Islam sampai lama setelah kematiannya, ketika biografinya dan kitab suci seperti yang kita tahu mereka mulai dibangun. Sentralitas Arab dan bahasa Arab dalam ajaran Islam Islam tidak dapat dilebihlebihkan. Meskipun Islam diklaim hadir sebagai agama universal bagi semua insane di bumi, namun ia memiliki karakter jelas Arab. Berpindak keyakinan pada Islam, apapun kebangsaan mereka, biasanya mengambil nama Arab. Dimanapun mereka berada di dunia, dan apa pun bahasa asli mereka, umat Islam harus berdoa dalam bahasa Arab dan membaca Qur'an dalam bahasa Arab. Banyak mualaf di negara-negara non-Muslim mengadopsi pakaian tradisional Arab. Kebudayaan Arab memiliki tempat kebanggaan di dunia Islam yang sering menimbulkan ketegangan antara Muslim Arab dan non-Arab. Supremasi Arab baru-baru ini di jaman kita sendiri menelurkan peperangan terhadap Muslim non-Arab di wilayah Darfur, Sudan. Konflik tersebut adalah fitur yang terus berulang dalam sejarah Islam. [27] Dan yang menjadi pisat dari ajaran Islam, karena itu, adalah kisah tradisional bagaimana Muhammad, seorang pedagang Arab , menerima Al Quran melalui malaikat Jibril dari Allah, pertama di Mekkah dan kemudian di Madinah. Menurut catatan-catatan kanonik Islam, karena dipersenjatai dengan pesan ilahi, Muhammad menyatukan seluruh Semenanjung Arab di bawah bendera Islam pada saat kematiannya pada tahun 632. Itu bukan tugas yang mudah, menurut sumber-sumber Islam standar. Nabi dan agama barunya menghadapi perlawanan keras dari sukunya sendiri, Quraish, yang kafir dan musyrik. , Menurut cerita asal-usul agama Islam, suku Quraish tinggal di Mekah, yang merupakan pusat perdagangan dan haji, sehingga orang pergi ke sana dari seluruh tanah Arab dan di luar Arab juga. Dan menurut sumber-sumber Islam juga, suku Quraish mendapatkan keuntungan dari orang-orang yang melakukan ziarah ke Ka'bah (kuil berbentuk kubus di Mekah) untuk menyembah banyak berhalanya. Mekkah, menurut tradisi Islam, adalah titik pusat baik agama maupun perdagangan di wilayah itu juga. Catatan kanonik tentang asal-usul Islam meyakini bahwa suku Quraish pada awalnya menolak klaim kenabian Muhammad lebih karena alasan ekonomi dari pada spiritual. Montgomery Watt mencatat bahwa pada akhir abad 6 M, kaum Quraish telah menguasai sebagian besar perdagangan dari Yaman ke Suriah sebuah jalur penting di mana Barat mendapat barang mewah India sedangkan bangsa Arab Selatan mendapat kemenyan. [28] Sebagian besar perdagangan ini bergantung pada orang-orang Arab yang datang ke Mekkah sebagai peziarah. Dengan orang-orang Arab pagan yang bepergian dari seluruh Jazirah Arab untuk menyembah dewa-dewi mereka di Ka'bah, suatu proklamasi bahwa semua dewa-dewi itu tidak hanyalah sebentuk setan apapun tepatnya yang Muhammad khotbahkan dengan monoteisme yang tanpa kompromi tidak hanya akan mengakibatkan bisnis ziarah kaum Quraish merugi, tetapi juga usaha kepentingan usaha perdagangan mereka terancam.

Konon, selama dua belas tahun menetap di Mekah, Muhammad menarik beberapa pengikut tetapi membangkitkan antagonisme terhadapa suku Quraisy. Antagonisme yang dikobarkobarkan itu ditujukan pada para berhala di Ka'bah dan bisnis kafilah Quraisy. Ibn Ishaq mengatakan bahwa ketika Muhammad bermigrasi ke Madinah dua belas tahun dalam karir kenabiannya, ia memerintahkan umat Islam untuk menyerang kafilah Quraisy yang kembali dari Suriah yang sarat dengan barang. Nabi sendiri memimpin banyak penyerangan ini, yang membuat pergerakan Islam semakin berkembang . Meskipun didorong oleh kebutuhan ekonomi, penjarahan menjadi elemen tertentu dari teologi Islam , menurut tradisi Islam. Dalam satu insiden terkenal, sekelompok Muslim menyerang kafilah Quraish dalam salah satu dari empat bulan suci dalam kalender Arab pra-Islam. Ini adalah bulan di mana pertempuran dilarang, berarti bahwa perampok Muslim telah melanggar prinsip-prinsip suci. Tetapi Qur'an mengatakan bahwa Allah mengijinkan kaum Muslim untuk melanggar bulan suci jika mereka dianiaya-dengan kata lain, untuk menyisihkan prinsip moral demi kebaikan umat Islam: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram (suci). Katakanlah Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar, tetapi menghalangi dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjid il Haram dan mengusir penduduk sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. (QS 2:217). Masjidil Haram atau Masjid Suci menurut tradisi Islam merujuk ke Kabbah. Kejadian ini menjadi kunci untuk pengembangan etika Islam, yakni menetapkan bahwa sesuatu itu baik jika memberi manfaat bagi Islam, dan apa pun dianggap jahat jika merugikan Islam. Hal ini juga menjadi code of conduct dalam mengatur hubungan antara muslim dan Quraisy dalam hal peperangan. Pertempuran mereka, sesuai dengan kisah-kisah standar Islam, menjadi kesempatan bagi Allah untuk mengungkapkan kepada Muhammad banyak ayat-ayat Al-Qur'an kunci mengenai perang melawan kafir. Oleh karena itu, dibuatnya Arab Hejaz sebagai panggung bagi Al-Qur'an dan antagonisme dari Quraisy terhadap pesan Muhammad menjadi sangat penting untuk sejarah dan teologi Islam. Ini adalah konteks di mana beberapa ajaran Islam yang paling penting tidak bisa ditawar-tawar. Tradisi Islam menetapkan bahwa pada akarnya, Quraisy menentang pesan kenabian Muhammad karena bisa mengakhiri ziarah ke Mekah dan mengganggu bisnis mereka. Sama seperti identitas Arab merupakan pusat Islam, kota paling suci dalam Islam, Mekkah, adalah pusat identitas Islam. Namun anehnya, sekalipun sebagai pusat bagi Islam, Mekkah disebutkan namanya hanya sekali dalam Al-Qur'an: Dan Dialah yang menahan tangan mereka dari kamu, dan tangan kamu dari mereka, di lembah Mekah, sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka, dan adalah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (QS 48:24). Namun terhadap kejadian apa ayat ini rujuk - seperti yang sering terjadi dalam Qur'an- benarbenar tidak jelas. Komentator Quran abad pertengahan, Ibnu Katsir, menjelaskan ayat dengan cara ini: Imam Ahmad mencatat bahwa Anas bin Malik berkata, Pada hari Hudaibiya, delapan puluh orang bersenjata dari Makkah turun lembah yang berasal dari Gunung At-Tan'im untuk menyergap Rasulullah saw. Rasulullah meminta Allah untuk mengalahkan mereka, dan musuh itupun dibawa sebagai tahanan. Affan menambahkan, 'Rasulullah mengampuni mereka, dan

kemudian ayah ini [tanda, atau ayat Al-Qur'an] diturunkan. [29] Tetapi Qur'an sendiri tidak mengatakan apa-apa tentang Hudaibiya dalam ayat yang dipersoalkan tersebut. Terlebih lagi, sekalipun Perjanjian Hudaibiya dijadikan sebagai doktrin Islam tentang perjanjian dan gencatan senjata dengan pasukan non-Muslim, faktanya tidak ada catatan di luar sumber-sumber Islam yang memverifikasi bahwa perjanjian itu pernah terjadi sama sekali ! Inilah yang terjadi di banyak bagian dalam sejarah asal-usul Islam, yakni semakin jauh kita mencari sumber-sumber yang relevan tentang pentingnya kota Mekkah di Arab pada masa Muhammad, semakin sukar kita menemukannya. Jika Watt benar bahwa Mekah mengendalikan kerajaan perdagangan penting yang termasuk rute dari Eropa ke India, maka seharusnya kita sudah menemukan beberapa indikasi dalam sastra jaman itu. Sebagaimana Crone katakan, "Sudah jelas bahwa jika Mekah memang berfungsi sebagai perantara dalam perdagangan jarak jauh beberapa jenis barang seperti yang diuraikan dalam literature-literatur sekunder (yaitu, karya-karya Watt dan sejarawan lain yang begitu saja percaya akan kisah-kisah tradisional Islam), maka seharusnya sudah ada beberapa catatan yang menyebutkan kota Mekkah dalam catatan perdagangan mereka. Lagian, para penulis dalam bahasa Yunani dan Latin telah banyak menulis tentang Arabia Selatan yang menyuplai mereka dengan barang-barang aromatik di masa lalu, yang memberikan catatan tentang kota-kota mereka, suku-suku mereka, organisasi politik dan kafilah-kafilah mereka. [30] Tetapi dari semua sumber tersebut, yang ada hanya keheningan. Tidak pernah ada penyebutan tentang Mekah, tentang penampilan kotanya, tentang natur dari bisnis yang dilakukan di sana, tentang sikap umum kaum Quraish suatu detil umum yang kita akan temukan dalam tulisantulisan sejarah para pelancong dan pedagang dari jaman klasik hingga Abad Pertengahan. Sebaliknya, ada kesenjangan yang lebar. Para penulis Muslim sering menyangkut-nyangkutkan Ptolemy, seorang matematikawan dan astrologer, yang pernah menyebutkan suatu tempat di Arabia yang disebut Macoraba, tapi bahkan jika hal ini merujuk ke Mekah (yang mana Crone sendiri menyangsikannya), Ptolemy sendiri meninggal di tahun 168 SM. [31] Hal ini sama naifnya dengan mengambil catatan seorang pelancong di kota Konstantinopel di tahun 1400an sebagai bukti bahwa kota itu merupakan pusat kekristenan yg berkembang di pertengahan abad 19 ! Sehingga orang akan enggan menganggap tulisan Ptolemy tentang Makaroba sebagai Mekkah dan sebagai bukti bahwa kota itu adalah pusat perdagangan yang berkembang hampir lima abad setelah kematiannya. Sebaliknya, Procopius Kaisarea (w. 565), sejarawan terkemuka dari abad keenam, tidak menyebutkan Mekah- suatu hal yang sangat aneh memang jika Mekkah benar-benar menjadi pusat perdagangan di Arabia dan antara Barat dan India pada masa Muhammad , yang diduga lahir hanya lima tahun setelah kematian Procopius itu. [32] Padahal pusat-pusat perdagangan tidak bertumbuh secara instan. Tidak ada sejarawan non-Muslim yang pernah menyebutkan Mekkah dalam catatan-catatan tentang perdagangan pada abad keenam dan ketujuh. (Juga, dalam hal ini, pernah dilakukan oleh sejarawan Muslim: Tidak ada catatan Islam yang bertahan berkenaan dengan perdagangan sebelum abad kedelapan.) Crone mencatat: Kepentingan politik dan Gerejawi akan jazirah Arab di abad 6 begitu mencolok sehingga perhatian penuh diberikan terhadap urusan-urusan dunia

Arab, namun tidak pernah ada penyebutan tentang suku Quraish dan perdagangan mereka baik itu dalam bahasa Yunani, Latin, Syriak, Aramaik, Koptik, atau sastra lainnya di luar Arabia sebelum serangkaian penaklukan Arab. Hal ini sangat mencolok dan signifikan. [33] Secara khusus, Crone menyebutkan, Tidak pernah ada dikatakan tentang Qurash, atau raja-raja Arab seandainyapun orang-orang pernah menyuplai barang dagangan ini-itu untuk tujuan wilayah iniitu; hanyalah Muhammad sendiri saja yang dikenal sebagai seorang pedagang. [34] Dan itu pun hanya diketahui dari sumber-sumber yang ditulis lama setelah kematiannya. Ada lagi aspek lainnya. Lokasi Mekkah pun salah jika tempat itu berfungsi sebagai pusat perdagangan. Mekkah terletak di bagian barat Arab, sehingga, dalam kata-kata sejarawan Richard Bulliet, hanya dengan pembacaan peta yang dipaksakan saja Mekkah bisa di gambarkan sebagai persimpangan antara rute utara-selatan dan timur-barat. [35] Montgomery Watt membayangkan bahwa para pelancong sepanjang rute antara Yaman dan Suriah, mungkin punya alasan untuk berhenti di Mekah, tapi anggapan Watt bahwa Mekkah adalah pusat jalur penting dimana Barat mendapat barang mewah dari India serta Arab Selatan mendapat kemenyan adalah tidak didukung oleh bukti kontemporer dan mungkin secara geografis. Hal yang sama berlaku untuk gagasan Mekah sebagai tempat ziarah utama di awal abad ketujuh. Bukti kontemporer menunjukkan bahwa ziarah dilakukan untuk setidaknya di tiga lokasi di Arabia, yakni: Ukaz, Dhu'l-Majaz, dan Majanna-tapi tidak ke Mekah. [36] Crone juga mencatat bahwa Mekah berbeda dari situs-situs lain karena menjadi sebuah kota berpenduduk, sedangkan tempat yang didirikan untuk di Arabia tidak berpenghuni kecuali selama masa peziarahan. Dia menambahkan, Ibadah haji adalah ritual yang dilakukan pada waktu dan tempat di mana setiap orang meletakan senjata dan tak seorang pun berada dalam control. Suatu tempat ibadah yang dimiliki oleh suku tertentu, yakni Quraish tidak termasuk dalam kerangka ini. [37] Signifikansi dari hal ini sangatlah besar. Jika Mekah hanyalah pusat perdagangan skala kecil lokal dan sebuah peziarahan lokal di awal abad ketujuh, maka kisah kanonik seluruh asal-usul Islam jatuh dalam keraguan. Jika suku Quraisy tidak keberatan dengan pesan Muhammad dengan alasan bahwa hal itu akan membahayakan perdagangan dan bisnis haji, atas dasar apa yang mereka keberatan dengan pesannya? Jika Muhammad tidak menemui perlawanan keras dari suku Quraish selama dua belas tahun pertama karir kenabiannya, yang memberitakan pesannya tauhid kepada audiens Mekkah yang menutup diri, lalu apa yang terjadi? Tanpa Mekkah sebagai pusat perdagangan dan ziarah, tidak ada dasar bagi cerita tentang pertentangan antara Muhammad dan Quraish di Mekah. Juga tidak ada dasar bagi kisah Muhammad yang nantinya bermigrasi ke Madinah dan berperang melawan kaum Quraish. Demikian juga betapa tidak berdasarnya kisah tentang bagaimana ia mengalahkan suku Quraish, kembali ke Mekah menjelang akhir hidupnya, dan mengubah Ka'bah menjadi tempat suci bagi kaum Muslim, suatu pusat yang tadinya situs milik kaum pagan dan ritual ziarah mereka, menjadi pusat Islam untuk selama-lamanya. Saat ini, banyak peziarah Muslim berduyun-duyun ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, seperti yang telah dilakukan selama berabad-abad. Namun ternyata seluruh kisah asal-usul Islam yang berakar di Mekah ternyata berdiri di atas fondasi goyah. Meskipun ada bukti bahwa sejenis pernah ada di Mekah, namun tampaknya tidak pernah menjadi yang utama. [38] Entah

Muhammad atau kaum Muslim di kemudian hari mengubah kuil tersebut menjadi pusat peziarahan Islam seperti saat ini. Dalam melakukannya, mereka meninggikan posisi Mekkah sehingga menjadi begitu penting seperti saat ini, bahkan nampaknya pada saat Muhammad dianggap pernah hidup, jika kita benar-benar meneliti perkembangannya. Islam semakin berkurang elemen bahasa Arab (Arabik) dan budaya Arabnya (Arabian) dari menit ke menit. Seperti yang telah kita lihat, Quran mengandung unsur-unsur non-Arabik yang signifikan. Sekarang telah nyata bahwa salah satu bagian kunci untuk menyatukan kepingankepingan asal-usul Islam di tanah Arabia, yakni interaksi Muhammad yang semakin antagonistik dengan suku Quraish karena cemburu dengan hak prerogatif dalam bidang agama dan ekonomi, ternyata tampak semakin tidak didukung oleh bukti-bukti historis. Jika itu yang sebenarnya terjadi, bagaimana kisah Muhammad bisa muncul, dan untuk alasan apa? Mengapa kisah-kisah awal Islam tampaknya dilemparkan asal-usulnya ke tanah Arabia yang bukan tanah air bagi suku pagannya dan juga bukan pusat perdagangan dan bisnis peziarah yang berkembang subur, begitu telitikah kisah-kisah yang diceritakan dalam teks-teks Islam?

1 Alfred Guillaume, Ibn Hisham's Notes, in Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 691. 2 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, xxxvi. 3 Ibid. 4 Ibid., xxxvii. 5 Ibid., xxxvii. 6 Ibid., xxxv. 7 Arthur Jeffery, The Quest of the Historical Muhammad, in Ibn Warraq, The Quest for the Historical Muhammad, 340. 8 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 515. 9 Ehteshaam Gulam, The Problems with Ibn Ishaq's Sirat Rasoul Allah (Arabic for The Life of Messenger of Allah) and Other Early Sources of Islam and Prophet Muhammad (2009), Answering Christian Claims,http://www.answering-christian-claims.com/TheProblems-With-Ibn-Ishaq.html. The Arabic for mercy for all the worlds is more properly transliterated as Rahmatan lil Alamin. 10 Jeffery, The Quest of the Historical Muhammad, 340. 11 Ibn Warraq, Studies on Muhammad and the Rise of Islam: A Critical Survey, in Ibn Warraq, The Quest for the Historical Muhammad, 25. 12 Johannes J. G. Jansen, The Gospel According to Ibn Ishaq (d. 773), paper for the Skepticism and Scripture Conference, Center for Inquiry, Davis, California, January 2007. 13 Patricia Crone, Meccan Trade and the Rise of Islam (Princeton: Princeton University Press, 1987), 223. 14 Ibid., 224. 15 For a related phenomenon, see Daniel Pipes, Slave Soldiers and Islam (New Haven: Yale University Press, 1981), 20514. Note how the origins of military slavery, a secular event that

took place two hundred years after Muhammad's supposed life, is variously handled in forty-four different Arabic and Persian sources. In this case, new information kept turning up many centuries after the events took placeabout a political event in the early ninth century. How much more easily, then, could such a process unfold regarding religious events in the seventh century that were far more central to the lives of the believers? 16 Gregor Schoeler, The Biography of Muhammad: Nature and Authenticity (New York: Routledge, 2010), 16. 17 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 452. I am indebted to Jansen's Gospel According to Ibn Ishaq for this discussion. 18 Ibid. 381. 19 Ibid., 501, 605. 20 Ibid., 81. 21 Johannes J. G. Jansen, The Historicity of Muhammad, Aisha and Who Knows Who Else, Tidsskriftet Sappho, May 16, 2011,http://www.sappho.dk/blog/335/The-historicity-of-MuhammadAisha-and-who-knows-who-else.htm. 22 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, 106. 23 Jansen, The Gospel According to Ibn Ishaq (d. 773). 24 Crone, Meccan Trade, 220. 25 W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina (Oxford: Oxford University Press, 1956), 3536. 26 Jansen, The Gospel According to Ibn Ishaq. 27 The Sunni-Shiite conflict has in many instances evolved into a conflict between Arabs and non-Arabs: Sunni Arabs versus Shiite Persians (although there are, to be sure, many Shiite Arabs). This came to a head in modern times in the violence between Shiite Iranian pilgrims and Sunni Saudi security forces in Mecca during the hajj in 1987. 28 Quoted in Crone, Meccan Trade, 7. 29 Ibn Kathir, Tafsir Ibn Kathir (abridged), vol. 9 (Riyadh: Darussalam, 2000), 15354. 30 Crone, Meccan Trade, 134. 31 Crone disputes the identification by pointing out that the two words actually have quite different roots and that the location Ptolemy gives for Macoraba does not correspond to the site of Mecca. (See Crone, Meccan Trade, 13536.) 32 Crone, Meccan Trade, 137. 33 Ibid., 134. 34 Ibid., 137. 35 Richard W. Bulliet, The Camel and the Wheel (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 105 (quoted in Crone, Meccan Trade, 6). 36 Crone notes that according to the medieval Islamic historian al-Azraqi (d. 1072), trade was conducted in pre-Islamic Arabic at pilgrim stations including Mina, Arafa, Ukaz, Majanna, and Dhul-Majaz. That Mecca itself is supposed to have been a pilgrim station, Crone observes, is here totally forgotten (Crone, Meccan Trade, 175). 37 Crone, Meccan Trade, 174. 38 See Ibid., 17276. She notes that Mecca was added by way of afterthought only in alAzraqi's account of pilgrimages in pre- Islamic Arabia. She declares, It is thus reasonable to conclude with [biblical scholar Julius] Wellhausen that Mecca was not an object of pilgrimage in pre-Islamic times (Crone, Meccan Trade, 176).

Anda mungkin juga menyukai