Anda di halaman 1dari 5

Konsep pendidikan dalam persepektif ikhwan al-shafa

A.

Biografi Ikwan Al-Shafa Ikhwan al-shafa merupakan perkumpulan rahasia yang bergerak dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Organisasi ini didirikan pada abad ke-4 H/10 M. di kota basrah . di sebut juga brethen of purity, khulan ai wafa, ahl al-adl, abna al-hamdi atau dengan sebutan singkat ikhwanuna, atau juga aulia ALLAH. Asas utama perkumpulan ini adalah persaudaraan yang di lakukan secara tulus akhlas, kesetiakawanan yang suci murni, dan saling menasehati antara sesama anggota menuju ridho Ilahi. Secara umum, kemunculan ikhhwan al shafa di latar belakangi oleh keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran islam yang telah tercemar oleh ajaran dari luar islam danuntuk membangkitkan kembali rasa cinta pada ilmu pengetahuan di kalangan ummat islam. Mereka berhasil meninggalkan karya ensiklopedis tentang ilmu pengetahuan dan filsafat, yang di kenal dengan judul Rasail ikhwan al shafa, terdiri dari 52 risalah, yang dapat di bagi ke dalam empat kelopok, yaitu kelompok risalah dalam bidang matematika, kelompok risalah dalam bidang fisika, kelompok risalah yang berbicara tentang jiwa manusia, dan kelompok risalah yang mengkaji masalah matafisika. Latarbelakang penulisan rasail ikhwan al-shafa di sebabkan karena ketidak puasan terhadap pendidikan dan gaya hidup ummat islam ketika itu. Karenanya, program rekonstruksi ikhwan al-shafa di arahkan pada dua aspek; Memperkenalkan ide-ide pemilihan dari semua sumber yang ada terhadap segala sesuatu dan berguna memilih maksud dari semua pengetahuan yang di peroleh Merancang manfaat atas semua pengetahuan, baik untuk diri sendiri, lingkungan, dan alam semesta, sehingga setiap individu akan mempunyai kesempatan untuk berbuat dalam rangka meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat

B. Pemikiran tentang Pendidikan Pemikiran dalam dunia pendidikan yang dikemukakan dalam buku pendidikan islam dalam persepektif filosof yang di karang bapak siswanto ini menyebutkan dapat di ketahui dari pendapatnya yang bersifat penalaran dan bukan dalam hal yang berkaitandengan cara memperoleh ilmu pengetahuan,

keutamaan akal berfikir serta metode pendidikan ahklak, 1 dalam hal ini penyusun sependapat karna dalam buku filsafat pendidikan islam yang dikemukakan oleh abuddin nata yang mengumpamakan orang yang belum dididik dengan ilmu akidah, ibarat kertas yang masih putih bersih, belum ternoda apapun, 2.apabila kertas ini sudah kotor maka kertas tersebut sudah memiliki bekas yang tidak mudah di hoilangkan. Jadi peserta didik di sini di bawa pada sebuah alam berfikir secara sistematis. Teori ini di dasarkan pada gagasan filsafat yunani yang mengatakan setiap anak lahir dengan membawa sejumlah bakat (potensi) yang perlu di aktualisasikan, sejalan dengan teori ini dalam bukunya ahmad muhaimin azzet mengatakan setiap manusia yang di lahirkan ke dunia ini sudah di bekali dengan satu triliun sel neuton yang terdiri dari seratus miliar sel aktif dan sembilan ratus miliar sel pendukung yang kesemuanya berkumpul di otak,3 dengan demikian pendidik tidak boleh menjejali otak peserta didik dengan ide-ide atau keinginannya sendiri, akan tetapi dengan cara apa pendidik bisa memberikan pengalamannya pada peserta didik? Nah dari sini pendidik hendaknya mengangkat potensi laten yang terdapat dalam diri peserta didik. Karna pada empat tahun pertama, anak secara tidak sadar menyerap semua ide-ide dan perasaan yang dari lingkungan sosial,4 dan anak bisa meniru dengan demikian karena si anak bisa menggunakan panca indra yang sudah ada pada diri anak pandangan yang seperti ini di hasilkan pada penafsirannya terhadap ayat yang berbunyi;


Artinya; Dan Allah telah melahirkan kamu dari perut ibumu dalam keadanaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersukur5 Maka dari sinilah para pendidik dan orang tua dituntut untuk memberikan contoh yang baik dalam setiap tutur kata dan tindakannya.

2 3

4 5

Siswanto, Pendidikan Islam Dalam Prespektif Filosofis, (Pamekasan: Stain Pameksan Pers, 2013), hlm. 66 Abuddin nata, Filsafat Poendidikan Islam, (jakata: pratama, 2005), hlm. 232 Muhaimin Azzet, mengembangkan kecardasan spiritual bagi anak, (jogjkarta: katahati, 2010), hlm. 15 Siswanto, Pendidikan Islam Dalam Prespektif Filosofis, hlm. 66 Abuddin nata, Filsafat Poendidikan Islam, hlm. 233

Berbicara tentang pengetahuan yang akan dicapai oleh anak, maka Ikhwan Al Shafa membagi pengetahuan itu pada tiga kelompok, yaitu; Pengetahuan adab atau sastra Pengetahuan syariat Pengetahuan filsafat Adapun cara-cara untuk mendapatkan pengetahuan, dapat dibagi menjadi 3 cara seperti yang telah dikemukakan oleh Ikhwan Al-Syafa, yaitu; Dengan menggunakan panca indra untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang ada pada setiap zaman dan tempat; Dengan cara mendengarkan dan menyimak imformasi; Dengan cara menulis dan membaca; Dengan demikian, kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan pada ilmu agama saja, namun manusia disini juga memerlukan ilmu umum, sehingga ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri tanpa bekerja sama dengan ilmu umum terutama ilmu keamalan dan filsafat,6 memang benar ketika kembali di baca tentang pendapat di atas maka penyusun sependapat karena dalam dunia kemasyarakatan ini sebuah keja sama ini emang perlu di lakukan karna kita hidup tidak sendiri melainkan hidup secara bermasyarakat yang tentunya mebutuhkan kerja sama yang kompak. Selanjutnya ikhwan al-shafa menyampaikan persyaratan pendidik dalam menyampaikan inspirasi pada peserta didiknya yang di situ berbagai macam ilmu pengetahuan dan ma,rifat, di sana pendidik di syaratkan agar berpegang teguh dengan aliran madzhabnya. Ikhwan al-shafa menganggap bahwa pendidik di sini sama dengan menjalankan bapak atau ibu kedua, karena pedidik merupakan pemelihara perkembangan jiwa sebagaimana halnyan orang tua adalah pembentuk rupa biologis maka guru disni adalah pembentuk rupa mental rohaniah. Sebab guru sudah menyuapi beragam ilmu pengetahuan naha disni lagi-lagi setuju dengan apa yang di paparkan karena para ulamak berpendapat orang tua ke dua manusia itu adalah guru namun ada juga yang tidak sependapat seperti para tokoooh modern yang sudah terhipnotis deeengan ilmuan barat yang di kemukakan oleh Abuddin Hatta yang memposisikan guru pada tingkatan no tiga.

Siswanto, Pendidikan Islam Dalam Prespektif Filosofis, hlm. 68

Berkaitan dengan pengajaran, peserta didik hendaknya di biasakan untuk belajar di kuttab, karena kesempurnaan pesetadidik di lakukan dengan cara menghafal, bukan dengan pemahaman dan pesertdidik hendaknya mulai menghafal dasar-dasar ilmu dan tidak merasa cukup sesudah itu.

C. Kesimpulan Dalam uraian yang sudah dipaparkan di atas ini sudah jelas sekali bahwasanya tipe pendidikan yang di anut oleh ikhwan al-shafa menititik beratkan pada pendidik tidak boleh menjejali otak peserta didik dengan ide-ide atau keinginannya sendiri, akan tetapi dengan cara apa pendidik bisa memberikan pengalamannya pada peserta didik D. Kritik dan Saran Kritik Menurut kami, buku ini sangatlah bagus dan kompleksibel. Namun, setiap perkara itu pastilah terdapat kekurangan, jadi menurut kami, kekurangannya adalah buku ini tidak menyebutkan ayat Al-Quran ataupun al-Hadist sebagai sandaran dalam pembahasan ini. Saran Jika boleh kami mengajukan saran, alangkah lebih baik lagi jika buku ini juga dilengkapi dengan dalil-dalil naqli dari ayat atau hadist.

Anda mungkin juga menyukai