PENDAHULUAN Latar Belakang Sindroma Guillain-Barre (SGB) mempunyai banyak sinonim, antara lain polyneuritis akut pasca-infeksi, polineuritis akut toksik, polyneuritis febril, poli radikulopati dan acute ascending paralysis. Ditandai dengan kelemahan motorik progresif dan arefleksia. Biasanya juga disertai dengan abnormalitas fungsi sensorik otonom dan batang otak. Gejala-gejala tersebut biasanya adalah gejala yang mengikuti demam dan atau penyakit yang disebabkan oleh virus. Penjelasan mengenai suatu penyakit ini pertama kali dipublikasikan oleh Landry pada tahun 1859. Oster menguraikannya lebih detil dengan apa yang ia sebut sebagai febril polyneuritis pada tahun 1892. Pada tahun 1916, Guillain, Barre, dan Strohl memperluas deskripsi klinis SGB dan pertama sekali mengemukakan penilaian melalui cairan serebrospinal (CSF), disosiasi albinositologik (peningkatan protein CSF terhadap hitung sel CSF normal ). Penilaian CSF digabungkan dengan gejalagejala klinis tertentu, akan mengarah kepada poliradiopati demielinisasi yang membedakannya dengan poliomyelitis dan neuropati lainnya. Epidemiologi Di Amerika Serikat : insiden SGB per tahun berkisar antara 0,4 2,0 per
100.000 orang, tidak diketahui jumlah kasus terbanyak menurut musim yang ada di Amerika Serikat
Internasional
per tahun di seluruh dunia untuk semua iklim dan sesama suku bangsa, kecuali di China yang dihubungkan dengan musim dan infeksi
Campylobacter memiliki predileksi pada musim panas. Dapat mengenai pada semua usia, terutama puncaknya pada usia dewasa muda. Dapat juga terjadi pada usia tua, yang diyakini disebabkan oleh penurunan mekanisme imunosupresor. Perbandingan antara pria dan wanita adalah 1,25 : 1 Berkaitan dengan faktor resiko genetik yaitu FcRIIa-H131 dan alel homozigot (vs R131)
I. Definisi Sindroma Guillain Barre, adalah polineuropati yang menyeluruh , dapat berlangsung akut atau subakut, mungkin terjadi secara spontan atau sesudah suatu infeksi. Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita penyakit ini dan pada pemeriksaan patologis tidak ditemukan tanda radang.
II. Etiologi Dahulu, sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus. Tetapi akhir-akhir ini terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang adalah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune responde maupun immune mediated process.
Sindrom terlihat dicetuskan oleh infeksi virus atau bakteri akut, seperti infeksi saluran pernapasan atau infeksi saluran gastrointestinal yang muncul 1 atau 3 minggu sebelumnya. Antibodi yang dihasilkan pada saat infeksi menyerang selubung myelin yang melapisi sel-sel neuron dan kemudian menyebabkan paralysis, kelemahan otot dan kelemahan fungsi sensoris. Sindrom ini dapat pula didahului oleh vaksinasi, kehamilan, atau setelah pembedahan pada bulan sebelum terjadinya sindrom.
III. Patofisiologi Terjadi reaksi inflamasi (infiltrat) dan edema pada saraf yang terganggu. Infiltrat terdiri dari atas sel mononuclear. Sel-sel infiltrate terutama terdiri dari sel limfosit berukuran kecil, sedang, dan tampak pula mikrofag serta sel
polimorfonuklear pada permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel plasma dan sel mast. Seranut saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal. Kerusakan pada radiks ventralis (dan dorsalis) yang reversible dan menyeluruh dapat terjadi. Kerusakan itu merupakam perwujudan reaksi
imunopatologik walaupun segenap radiks terkena, namun yang berada di intumesensia servikalis dan lumbosakralis paling berat mengalami kerusakan keadaan patologik itu dikenal sebagai poliradikulopatia atau polyneuritis post infeksiosa. Atau lebih dikenal sebagai Sindroma Gullain Barre.
IV. Gambaran Klinis Tanda dan gejala kelemahan motorik terjadi dengan cepat, tetapi progresifitasnya akan berhenti setelah berjalan selama 4 minggu, lebih kurang 50%
akan terjadi kelemahan menjelang 2 minggu, 80% menjelang 3 minggu, dan lebih dari 90% selama 4 minggu. Pasien dengan SGB dijumpai adanya kelemahan disertai dengan diestesia, perasaan kebas, geli pada ekstremitas, kelemahan ini terutama pada otot-otot proksimal, kaki lebih sering terkena dibandingkan lengan. Parestesia terjadi menjalar secara proksimal tetapi jarang meluas melewati pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Refleks tendon melemah, bahkan bisa menghilang dalam beberapa hari perjalanan penyakit. Kelumpuhan terjadi secara simetris lebih dari satu anggota gerak, jarang yang asimetris. Kelumpuhan dapat ringan dan terbatas pada kedua tungkai saja dan dapat pula terjadi paralysis total keempat anggota gerak terjadii secara cepat, dalam waktu kurang dari 72 jam. Keadaan ini disebut sebagai ascending paralysis. Gejala motorik biasanya timbul lebih awal daripada gangguan sensorik Biasanya terdapat gangguan sensasi perifer dengan distribusi sarung tangan dan kaus kaki, tetapi kadang-kadang gangguan tampak segmental, otot-otot proksimal dan distal terganggu dan reflek tendon menghilang. Nyeri bahu dan punggung biasanya ditemukan. Nervi kraniales dapat terkena. Kelemahan otot wajah terjadi pada 50% kasus dan sering bilateral. Saraf kranialis lainnya dapat pula terkena,khususnya yang mengurus lidah, otot-otot menelan, dan otot-otot motorik ekstra ocular. Terlibatnya nervi kraniles dapat merupakan awal sindrom Guillain-Barre.
Fungsi saraf autonom dapat pula terganggu. Takikardia, aritmia jantung, hipotensi postural, hipertensi, atau gejala gangguan vasomotor dapat melengkapi gejala dan tanda klinik sindrom ini. Proses penyembuhan biasanya dimulai setelah 2-4 minggu terhentinya progesifitas klinik. Namun demikian, proses penyembuhan bisa tertunda selama 4 bulan. Secara klinis banyak penderita yang bisa sembuh secara fungsional.
V. Diagnosa 1. Diagnosa ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang terdiri dari kelemahan motorik (terutama bagian proksimal) yang meluas ke atas, arefleksia, gangguan sensorik bagian distal yang ringan, dan kelemahan otot wajah bilatelar (merupakan petunjuk penting). 2. Punksi lumbal biasanya menunjukkan peningkatan protein dalam cairan serebrospinal tanpa disertai peningkatan jumlah leukosit yang bermakna. Pada saat awal, protein dalam cairan serebrospinal dapat normal tetapi meningkat dalam beberapa hari. Dijumpai peningkatan protein > 0,55 g/dL, tanpa pleositosis ( jumlah sel-sel abnormal dari CSF). 3. Pengobatan beratnya kelemahan motorik pada SGB tidak dapat dipastikan pada awal penyakit. Oleh karena itu, dokter harus mengenal penderita polyneuritis inflamatorik akut dan melakukan pemantauan fungsi pernafasan dengan teliti, termasuk analisa gas darah serta kapasitas vital paru hungga kelemahan motorik mencapai titik terendah (menetap). Hal ini merupakan hal yang penting.
4. Elektrodiagnostik (EMG) memberikan tanda-tanda demielinisasi yabg terlihat dari masa laten yang memanjang, penurunan kecepatan hantaran saraf, blok hantar saraf (conduction blok) atau disperse temporal, dan gelombang F (Fwave) yang hilang atau memanjang. Kelainan hantar saraf paling dini tampak setelah 3 10 hari dan terdiri dari F-wave yang melambat karena terkenanya radiks , didikuti kemudian oleh adanya tempat-tempat yang cenderung terkena kompresi yang menyebabkan terjadinya suatu blok hantar saraf (conduction blok) dan lalu mengenai badan sarafnya sendiri yang terlihat dari penurunan kecepatan hantar saraf yang menunjukkan adanya suatu demielinisasi.
VI. Diagnosa Banding Peradangan akut/kronis demielinisasi poliradikuloneuropati Sindrom, Kauda Equina Sindrom Konus Medullaris HIV-1 dengan peradangan kronis demielinisasi poliradikulopati HIV-1 dengan nyeri polineuropati sensorimotor distal HIV-1 dengan mononeuropati multiple HIV-1 dengan komplikasi neuromuscular HIV-1 dengan poliradikulopati progresif HIV-1 dengan mielopati Penyakit Lynne Myastenia Gravis
VII. Pemeriksaan 1. Diagnosa didasarkan atas adanya gejala kelemahan ascenden dengan arefleksi. Pemeriksaan punksi lumbal, elektrodiagnosis, atau kadang MRI hanya sebagai pendukung diagnosis 2. Khas pada pemeriksaan punksi lumbal atas dugaan demielinisasi ( yakni peningkatan protein) tanpa disertai adanya tanda infeksi aktif (kurangnya pleositosis LCS), merupakan temuan Guillain Barre. Nilai NCS bisa saja normal dalam 2 minggu ke atas sejak adanya gejala, dan kadang proteinnya bisa jadi tidak bertambah tinggi dalam 1 minggu. Sebagian besar pasien memiliki leukosit di bawah 10 per cc, tapi kadang ditemukan sedikit meningkat (10-50 per cc). 3. Kriteria terjadinya kegagalan nafas pada SGB : Kapasitas vital < 1L ; diperlukan observasi di ICU 33% memerlukan intubasi Indikasi intubasi:
Inspirasi paksa negative ; 25 cmH2O Hipoxemia ; PaO2 80mmHg Kesulitan sekresi Waktu onset ; 7 hari
VIII. Terapi Pengobatan SGB terdiri dari 2 komponen, yaitu pengobatan secara suportif dan terapi khusus. Pengobatan secara suportif tetap merupakan terapi yang utama, jika pasien sebelumnya melewati fase akut pada penyakit, kebanyakannya akan mengalami kesembuhan. Bagaimanapun, neuropati dapat memburuk dengan cepat dan diperlukan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik dalam 24 jam selama onset gejala. Oleh karena itu, semua pasien SGB harus diterima di Rumah Sakit untuk diobservasi tertutup untuk kedaruratan system respirasi pasien, disfungsi kranialis, dan ketidakstabilan system autonom. Disfungsi system saraf autonom dapat bermanfestasi ; tekanan darah yang berubah-ubah, disritmia, psudoobstruktif gastrointestinal dan retensi urin. Profilaksis untuk trombosis vena dalam harus tersedia karena pasien seringkali tidak dapat bergerak selama beberapa minggu.
Pada depresi otot pernafasan harus dipertimbangkan persiapan intubasi. Pasien tidak sanggup untuk menunjukkan fungsi minimal paru memerlukan intubasi. Penilaian ulang frekuensi pernafasan dengan tes fungsi paru untuk progresi yang cepat sangat diperlukan. Perkiraan tambahan untuk ventilasi mekanik selanjutnya adalah : Waktu dari onset SGB sampai masuk RS kurang dari 7 hari Ketidaksanggupan untuk mengangkat siku atau kepala dari tampat tidur Tidak sanggup berdiri Peninggian kadar enzim hati Nyeri dan stress psikologi juga harus diobati. Terapi psikologis termasuk memijat dengan lembut, latihan pergerakan secara pasif dan sering merubah posisi dapat meringankan nyeri. Karbamazepin (tegretol) dan Gabapentin (nerontin) telah digunakan sebagai tambahan untuk menghilangkan nyeri pada SGB. Pada pasien dengan paralysis memiliki jiwa yang was-was dan takut. Menenangkan pasien dan diskusi tentang fase penyakit dan perbaikan dapat membantu mengurangi stress psikologi. Belum ada drug of choice yan tepat untuk SGB. Yang diperlukan adalah kewaspadaan terhadap kemungkinan memburuknya situasi sebagai akibat perjalanan klinik yang memberat sehingga mengancam otot-otot pernafasan. Pasien yang tidak mampu bergerak atau dengan berbagai derajat disfungsi otot-otot respirasi harus mendapatkan terapi aktif dengan plasmapharesis atau immunoglobulin secara intravena (IVIg). Plasmapharesis menggunakan suatu plasma
exchange lebih kurang 20 L (200-250 mL/Kg selama beberapa hari) secara bermakna menurunkan lama dan beratnya disability pada pasien SGB, namun beberapa
penyelidikan terbaru juga memperlihatkan keuntungan dari IVIg. The Dutch Guillain-Barre Study Group mengemukakan pengobatan dengan IVIg (400mg/KgBB selama 5 hari) sama atau malahan lebih superior dibandingkan dengan plasma exchange. Penyelidikan-penyelidikan yang lain kurang meyakinkan dan mengemukakan kemungkinan terjadinya relaps pada pasien dengan pemberian IVIg dibandingkan plasma exchange. IVIg merupakan pengobatan lini pertama yang lebih praktis yang tidak diragukan lagi kemanjurannya dengan komplikasi yang rendah, dan mudah digunakan, namun sangat mahal biayanya. Plasma exchange memerlukan tenaga yang terlatih dan peralatan yang tidak selalu dapat tersedia dengan biaya yang juga mahal, namun lebih murah dibandingkan dengan IVIg. Tidak ada studi tentang keuntungan menggabungkan penggunaan IVIg dan plasma exchange, sehingga hanya salah satu terapi saja yang digunakan. Kerugian plasmapharesis termasuk komplikasinya jarang ditemukan, seperti sepsis yang diyakini dapat menyebabkan penipisan immunoglobulin. Jika plasma beku digunakan sebagai cairan pengganti, beresiko untuk mendapatkan virus seperti hepatitis dan HIV. IVIg memiliki efek samping dari terapi. IVIg memperluas volume plasma juga dapat memicu terjadinya Congestif Heart Failure (CHF) dan Renal Insuffiensi. Pasien-pasien dapat menjadi demam, myalgia, sakit kepala, mual, dan muntah, tetapi gejalaseperti influenza dapat sembuh dengan sendirinya. Pasien juga dapat
10
mnegalami meningitis aseptic, nutropenia, dan hipertensi. Riwayat alergi sebelumnya terhadap penggunaan IVIg merupakan kontra indikasi pengobatan. Manfaat kortikosteroid untuk SGB masih controversial. Namun demikian, apabila keadaan menjadi gawat akibat terjadinya paralysis otot-otot respirasi maka kortikosteroid dosis tinggi dapat diberikan. Pemberian kortikosteroid harus diiringi dengan kewaspadaan terhadap efek samping yang mungkin terjadi. Penggunaan ventilator mekanik menjadi suatu keharusan apabila diduga telah terjadi paralysis otot-otot respirasi. Diperlukan rawatan intensif apabila didapati keadaan seperti ini. Apabila terjadi kelumpuhan otot-otot wajah dan menelan, maka perlu dipasang pipa hidung-lambung (NGT) untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan dan cairan. Latihan dan fisioterapi sangat diperlukan untuk mempercepat proses pemulihan.
IX. Prognosis Prognosis akan lebih baik apabila penderita berusia muda, selama sakit tidak memerlukan pernafasan bantuan, perjalanan penyakit yang lebih lambat, dan tidak terjadi kelumpuhan total. Sekitar 85% pasien dengan SGB berhasil sembuh dengan penyembuhan fungsi dalam 6-12 bulan. Penyembuhan maksimal dalam 18 bulan setelah onset, bagimanapun pada beberapa pasien memiliki kelemahan yang menetap, arefleksia, dan parestesia. Sekitar 7-15% pasien memiliki gejala neurologist sisa yang menetap
11
disestesia. Angka kematian <5% pada pengobatan yang professional. Penyebab kematian biasanya berupa sindrom distress pernafasan, sepsis, emboli paru, dan henti jantung. Faktor-faktor yang memperberat selama fase akut dari penyakit dapat memperburuk proses penyembuhan. Faktor-faktor ini yaitu, usia > 60 tahun, berat, memerlukan pernafasan bantuan. Pada umunya, prognosis yang jelek secara langsung berhubungan dengan beratnya episode akut dan lambatnya onset pada pengobatan spesifik.
X. Kesimpulan Pada pasien yang diduga SGB, pemeriksaan terkait harus segera dilakukan untuk menegakkan diagnosa. Pemantauan pasien secara kontinu diperlukan untuk memberikan terapi lebih intensif apabila diduga telah mengalami paralysis otot-otot respirasi.Latihan dan fisioterapi sangat diperlukan untuk mempercepat proses pemulihan.
12
BAB 2 LAPORAN KASUS Seorang pasien laki-laki umur 19 tahun dirawat di bangsal Neurologi RS. DR. M. Djamil Padang tanggal 2011 : Keluhan utama : Kejang sejak 2 hari yang lalu. Riwayat Penyakit Sekarang : Kejang sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, terjadi saat pasien sedang duduk di rumah. Kejang berupa kaku di seluruh tubuh dan mata melirik ke atas. Kejang terjadi 2x/hari. Lama kejang 30 detik. Saat kejang pasien tidak sadar dan sadar kembali setelah kejang berhenti. Demam tidak ada Mual dan muntah tidak ada Oleh keluarga pasien dibawa ke RSUD Lubuk Basung. Karena tidak ada perbaikan dirujuk ke RSUP Padang. Di IGD pasien terlihat gelisah, ingin mencabut selang infus dan berjalan.
13
1 bulan yang lalu pasien dirawat di RSUP dr. m djamil dengan keluhan kelumpuhan keempat anggota gerak Riwayat menderita tekanan darah tinggi sejak kurang lebih 5 tahun yang lalu, namun tidak kontrol secara teratur ke dokter. Riwayat sakit gula, sakit jantung tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada keluarga yang menderita penyakit seperti ini sebelumnya. Tidak ada keluarga yang menderita sakit gula, tekanan darah tinggi dan jantung. Riwayat Pekerjaan dan Sosio Ekonomi Pasien seorang pensiunan TNI dan tinggal bersama istri serta anaknya. Riwayat merokok 12 batang/hari selama kurang lebih 40 tahun. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran Tekanan darah Nadi Napas Suhu Status Internus Rambut Kulit dan kuku KGB Keadaan regional Kepala Mata Hidung Telinga Leher : tidak ditemukan kelainan : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik : tak ditemukan kelainan : tidak ditemukan kelainan : JVP 5-2 cmH2O : hitam tidak mudah dicabut. : tidak ditemukan sianosis : tidak ditemukan pembesaran : GCS 15 (E4 M6 V5) : 160/70 mmHg : 50 x/menit : 18x/menit : 36,2 oC
14
PARU Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi JANTUNG Inspeksi Palpasi Perkusi : ictus tidak terlihat : ictus teraba 1 jari medial LCMS RIC V : Kiri Kanan Atas Auskultasi ABDOMEN Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Status Neurologis Kesadaran kompos mentis tidak kooperatif, GCS 15 (E4 M6 V5) Status Neurologis 1. Tanda Rangsangan Selaput Otak Kaku kuduk Brudzinski I Brudzinski II : (-) : (-) : (-) : tak tampak membuncit : hepar dan lien tak teraba : timpani : bising usus (+) Normal : 1 jari medial LMCS RIC V : linea sternalis dextra : RIC II : normochest, simetris kiri=kanan : fremitus kanan=kiri : sonor : vesikuler, ronkhi(-), wheezing(-)
15
2. Tanda Peningkatan Tekanan Intrakranial Pupil : Isokor, 3mm/3 mm, Refleks cahaya +/+
Muntah proyektil (-) sakit kepala progresif (-) 3. Pemeriksaan Nervus Kranialis
N.I (Olfaktorius) Penciuman Subjektif Objektif (dengan bahan) Kanan Sukar dinilai Sukar dinilai Kiri Sukar dinilai Sukar dinilai
N.II (Optikus) Penglihatan Tajam Penglihatan Lapangan Pandang Melihat warna Funduskopi Kanan Sukar dinilai Sukar dinilai Sukar dinilai Tidak diperiksa Kiri Sukar dinilai Sukar dinilai Sukar dinilai Tidak diperiksa
N.III (Okulomotorius) Kanan Kiri Bulat Bulat Doll eyes movement bergerak Bulat, isokor Bulat, isokor
Bola Mata Ptosis Gerakan Bulbus Strabismus Nistagmus Ekso/Endopthalmus Pupil Bentuk
16
N.IV (Troklearis) Kanan Baik Ortho Sukar dinilai Kiri Baik Ortho Sukar dinilai
N.VI (Abdusens) Kanan Baik Ortho Sukar dinilai Kiri Baik Ortho Sukar dinilai
N.V (Trigeminus) Kanan Motorik Membuka mulut Menggerakan rahang Menggigit Mengunyah Sensorik -Divisi Oftlamika Refleks Kornea Sensibilitas -Divisi Maksila Refleks Masseter Sensibilitas -Divisi Mandibula Sensibilitas N.VII (Fasialis) Kanan Kiri (+) (+) (+) (+) (+) Sukar dinilai (+) Sukar dinilai Sukar dinilai Kiri (+) (+) (+) (+) (+) Sukar dinilai (+) Sukar dinilai Sukar dinilai
17
Raut wajah Sekresi air mata Fisura palpebra Menggerakan dahi Menutup mata Mencibir/bersiul Memperlihatkan gigi Sensasi lidah 2/3 belakang Hiperakusis Plika nasolabialis
Simetris (+) Baik Baik Baik (+) Baik Baik (-) simetris
N.VIII (Vestibularis) Kanan Sukar dinilai Sukar dinilai Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Kiri Sukar dinilai Sukar dinilai
Suara berbisik Detik Arloji Rinne test Webber test Scwabach test Memanjang Memendek Nistagmus Pendular Vertical Siklikal Pengaruh posisi kepala
(-)
(-)
(-)
(-)
N.IX (Glosofaringeus) Kanan Sukar dinilai (+) Kiri Sukar dinilai (+)
18
Baik
Menoleh kekanan Menoleh kekiri Mengangkat bahu kanan Mengangkat bahu kiri
N.XII (Hipoglosus) Kanan Deviasi ke kiri Deviasi ke kanan (-) (-) (-) Kiri (-) (-) (-)
Pemeriksaan Koordinasi Cara Berjalan Romberg test Ataksia Rebound Phenomen Tes Tumit Lutut Sukar dinilai Sukar dinilai Sukar dinilai (-) Sukar dinilai Disatria Disgrafia Supinasi-Pronasi Tes Jari Hidung Tes Hidung Jari Sukar dinilai Sukar dinilai Sukar dinilai Sukar dinilai Sukar dinilai
Pemeriksaan Fungsi Motorik A. Badan B.Berdiri berjalan Tremor (-) (-) Respirasi Duduk dan Gerakan spontan Teratur Dapat dilakukan (-)
(-)
19
Pemeriksaan Sensibilitas Sensibilitas taktil Sensibilitas nyeri Sensibilitas termis Sensibilitas kortikal Stereognosis Pengenalan 2 titik Pengenalan rabaan Sukar dinilai Sukar dinilai Sukar dinilai Sukar dinilai Sukar dinilai Sukar dinilai Sukar dinilai
Sistem Refleks A. Fisiologis Kornea Berbangkis Laring Masseter Dinding Perut Atas Tengah Bawah B. Patologis Lengan Kana n (+) Kir i (+) Biseps Triseps KPR APR Bulbokavernos a Creamaster Sfingter Kana n Kir i Tungkai Kana n Kiri Kana n (++) (++) (++) (++) Kiri (++) (++) (++) (++)
20
Hofmann Tromner
(-)
(-)
Fungsi Otonom Miksi : baik, uninhibited bladder tidak ada Defikasi : baik Keringat : baik
Fungsi Luhur Kesadaran Reaksi bicara reaksi intelek Reaksi emosi Tanda Demensia Baik Refleks glabela Terganggu Refleks Snout Terganggu Refleks Menghisap Refleks Memegang Refleks palmomental Mini Mental State Examination : Sulit dilakukan Skor iskemik Hachinski : 12 Pemeriksaan Laboratorium Hb Leukosit GDR Ureum Kreatinin Na : 10,7 g/dl : 7.600/mm3 : 85 gr% : 20 g/dl : 1,2 g/dl : 141 mEq/L
21
Siriraj Stroke Score : (2,5 x 0) + (2x0) + (2x0) + (0,1x 70) (3x0) -12 = -5 Kesan : infark Diagnosis Klinis Diagnosis Topik Diagnosis Etiologi Diagnosis Sekunder : Hemiparese dextra+ parese n XII dextra tipe sentral + gangguan kognitif : Korteks serebri hemisfer sinistra : Trombosis serebri : Hipertensi Stage II Demensia vaskular Pemeriksaan Anjuran : Rontgen thorax Brain CT Scan EKG, EEG Konsul neurobehavior Penatalaksanaan : 1. Manajemen Umum : 2. Khusus Diet MB RG II 3x600 Kkal IVFD RL 12 jam/kolf : Piracetam 4x3 gr IV Ascardia 1x80 mg po Haloperidol 1x1/2tab po HLP 2x0.5 mg po THP 2x1 mg po
Terapi yang dianjurkan untuk demensia Program harian yang sistematis dan teratur
22
Orientasi realitas
FOLLOW UP 27-12-2010 S/ - Lemah anggota gerak kanan, terlihat gelisah Pf/ KU Sdg Kes
CMtdkkooperatif
TD
Nd
Nf 20
T 36,2C
130/80 60
SI : dalam batas normal SN: GCS 15, TRM (-), TIK (-) Nn Cranialis : Pupil Isokor, Diameter 3 mm, Refleks Cahaya +/+ Deviasi lidah ke kanan saat dijulurkan Motorik : 444 555 444 555 Sensorik : Baik Otonom : Baik Rf ++/++ A/ , Rp -/: Hemiparese dextra+ parese n XII dextra tipe sentral + gangguan kognitif Diagnosis Topik Diagnosis Etiologi Diagnosis Sekunder : korteks serebri hemisfer sinistra : Trombosis serebri : Hipertensi Stage II Demensia vaskular Penatalaksanaan 1. Manajemen Umum : Diet MB RG II 3x600 Kkal IVFD RL 12 jam/kolf Diagnosis Klinis
23
2. Khusus 28-12-2010
: Piracetam 4x3 gr IV Ascardia 1x80 po Haloperidol 1x1/2tab po HLP 2x0.5 mg po THP 2x1 mg po
TD
Nd
Nf 18
T 36,2C
140/70 48
SI : dalam batas normal SN: GCS 15, TRM (-), TIK (-) Nn Cranialis : Pupil Isokor, Diameter 3 mm, Refleks Cahaya +/+ Deviasi lidah ke kanan saat dijulurkan Motorik : 444 555 444 555 Sensorik : Baik Otonom : Baik Rf ++/++ A/ , Rp -/: Hemiparese dextra + parese n XII dextra tipe sentral : korteks serebri hemisfer sinistra : Trombosis serebri : Hipertensi Stage II Demensia vaskular Penatalaksanaan 1. Manajemen Umum : Diet MB RG II 3x600 Kkal IVFD RL 12 jam/kolf Diagnosis Klinis + gangguan kognitif Diagnosis Topik Diagnosis Etiologi Diagnosis Sekunder
24
2. Khusus RESEP
: Piracetam 4x3 gr IV Ascardia 1x80 po Haloperidol 1x1 mg po HLP 2x0.5 mg po THP 2x1 mg po Simvastatin 1x10 Risperidon 2x2 mg po
Dr. Rila Rivanda Praktek Umum SIP : 1234567 Praktek tiap hari kerja pukul 16.00-21.00 Jl. Aru Indah no. 20 Padang Padang, 26 Desember 2010
R/ R/ R/ R/ R/
Piracetam inj 3 gr No. XII S 4dd1 Ascardia tab 80 mg No. III S 1dd tab 1 Haloperidol tab 2 mg No.II S 1dd tab HLP tab 0.5 mg No. VI S 2dd tab 1 THP tab 1 mg No. VI
25
S 2dd tab 1
BAB 3 DISKUSI Telah diperiksa seorang pria berumur 67 tahun yang dirawat di bangsal Neurologi RS DR M Djamil Padang dengan diagnosis klinik hemiparese dextra + parese n XII dextra tipe sentral + gangguan kognitif , diagnosis topik korteks Serebri Hemisfer sinistra dan diagnosis etiologi trombosis serebri dan diagnosis sekunder Hipertensi stage II dan demensia vaskular. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis diketahui pasien menderita lemah anggota gerak kanan saat pasien beraktivitas ringan, yang tidak disertai penurunan kesadaran, muntah dan sakit kepala. Tekanan darah 160/70. Dari pemeriksaan fisik ditemukan kelemahan pada anggota gerak kanan. Demensia ditegakkan berdasarkan anamnesis bahwa pasien berusia 67 tahun, sering dan mudah lupa sejak 5 tahun ini baik berupa waktu, nama-nama orang baik yang baru dan yang telah lama dikenal, alamat, peristiwa yang baru dan telah lama terjadi yang menunjukkan bahwa pasien mengalami gangguan memori jangka pendek dan jangka panjang. Dari pemeriksaan fisik, ditemukan refleks glabella, grasp dan
26
hisap yang menunjukkan adanya regresi, serta skor iskemik hachinski menunjukkan suatu demensia vaskular. Pada kasus ini, demensia kemungkinan disebabkan oleh proses degenerasi otak dan hipertensi yang merupakan salah satu faktor resiko demensia karena menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah otak. Setelah pasien mengalami stroke, tidak menutup kemungkinan bahwa gejala yang dialami, menjadi bertambah berat, sesuai dengan teori bahwa demensia berhubungan dengan infark pembuluh darah otak. Penatalaksanaan umum pada pasien ini yaitu MB RG II. Untuk terapi khusus pasien diberikan IVFD RL 12 jam / kolf, Asam Asetil Salisilat yang berfungsi sebagai anti agregasi serta sebagai disease modifying agent pada demensia dengan dosis 2x80 mg, Metabolic activator citicolin yang mempunyai efek memperbaiki aliran darah otak serta metebolisme regional di daerah iskemia otak dengan dosis 2x500 mg.
DAFTAR KEPUSTAKAAN 1. PDSSI, Editor : Harsono, Buku Ajar Neurologi Klinis, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005
2. Mack, KJ, Sindrom Guillain-Barre, http://www.emedicine.com, 2004 3. Howard, L. Werner, Lowrence P. Levitt, Buku Saku Neurologi, Edisi ke V, EGC, Jakarta, 2001 4. Asnawi C. Margono, Neuropati, Kapita Selekta, Edisi TI, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1996 5. Mardjono M, Sidharta P, Neurologi Klinis Dasar, Edisi VIII, Dian Rakyat, Jakarta, 2000
27
6. Newswanger Dana L., Warren Charles R., Guillain-Barre Syndrome, http://www.americanfamilyphysician.com, May 2004
28