Anda di halaman 1dari 35

Ringkasan Disertasi

PENGEMBANGAN AGROWISATA BERKELANJUTAN BERBASIS KOMUNITAS DI KOTA BATU, JAWA TIMUR

Oleh Sri Endah Nurhidayati 05/1673/PS

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2012

INTISARI Community Based Tourism (CBT) atau pariwisata berbasis komunitas/masyarakat merupakan strategi pembangunan yang menggunakan pariwisata sebagai alat untuk memperkuat komunitas lokal. Penelitian ini bertujuan sebagai berikut mengaji penerapan prinsip-prinsip Community Based Tourism (CBT) dalam pengembangan agrowisata di Kota Batu dan mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi penerapan prinsip CBT Penelitian ini menggunakan kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Lokasi penelitian ditetapkan secara purposive di Kota Batu, Jawa Timur. Unit analisis penelitian ini dua spektrum individu dan institusi (kelembagaan). Pengumpulan data primer dengan wawancara, wawancara mendalam, dan observasi. Data sekunder dikumpulkan dari data yang terdapat di stakeholder terkait (SKPD dan Pemerintah kecamatan/Desa). Analisis data dalam penelitian adalah analisis kuantitatif (statistik) dan kualitatif (analisis konten dan interaktif). Penerapan prinsip ekonomi CBT dalam pengembangan agrowisata berkaitan dengan terciptanya pekerjaan yang menyerap tenaga kerja lokal, pengembangan usaha sektor pariwisata, dan peningkatan pendapatan komunitas yang berasal dari belanja wisata. Penerapan prinsip sosial CBT dalam pengembangan agrowisata ditandai dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat dapat diukur dari persepsi komunitas tentang pengembangan agrowisata yang merefleksikan peningkatan kualitas hidup, kepuasan komunitas, serta keterlibatan individu dan organisasi/kelembagaan setempat. Pengembangan agrowisata berdampak pada perubahan nilai sosial tentang tamu, nilai menyambut tamu, perlakuan terhadap tamu, dan filosofi tentang penerimaan tamu. Dari aspek gender agrowisata menghasilkan segregasi kerja sektor pariwisata, pelabelan (stereotype) dan beban kerja ganda pada perempuan. Penerapan prinsip budaya CBT mengindikasi pengembangan agrowisata tidak menguatkan seluruh aspek sosial kapital. Interaksi wisatawan dan komunitas menghasilkan kontak dan pertukaran nilai budaya, menghasilkan pengetahuan baru bagi komunitas dan penerimaan simbol modernitas dari luar komunitas. Penerapan prinsip politik CBT dalam pengembangan agrowisata menunjukkan adanya penguatan peran dan fungsi kelembagaan lokal serta peningkatan kekuasaan oleh komunitas. Penerapan prinsip lingkungan CBT berkaitan dengan berkembangnya konsep daya dukung komunitas. Faktor yang memengaruhi penerapan prinsip ekonomi CBT adalah struktur perekonomian Kota Batu, dan peran pemerintah Faktor yang memengaruhi penerapan prinsip sosial adalah status kekhususan Kota Batu, kekayaan sumber daya alam, dan kekuatan budaya setempat. Faktor yang memengaruhi penerapan prinsip budaya adalah berkembangnya budaya multikultur, keterbukaan terhadap informasi, dan etos kerja lokal. Faktor-faktor yang memengaruhi penerapan prinsip lingkungan CBT adalah kondisi lingkungan global dan kearifan lokal komunitas. Kata kunci: pariwisata berbasis komunitas, agrowisata, partisipasi, komunitas.

BAB I : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata berkembang. merupakan industri yang banyak dikembangkan oleh negara

Pengembangan pariwisata

di suatu negara terkait dengan dampak Pariwisata berdampak positif, antara lain meningkatkan pendapatan

positif dan dampak negatif yang timbul. masyarakat, dan perolehan devisa

menghasilkan perluasan kesempatan kerja/usaha,

Sedangkan dampak negatif pariwisata antara

lain komersialisasi budaya, kebocoran devisa, kerusakan lingkungan, pergeseran sistem nilai, norma, dan pranata sosial, serta terjadinya bentuk-bentuk penjajahan baru (new imperialism) yang timbul di destinasi wisata. Menurut laporan Bank Dunia (1996) angka kebocoran devisa industri Penyebab

pariwisata di negara yang sedang berkembang mencapai 55% - 60%.

kebocoran devisa antara lain (1) investasi asing di bidang perhotelan dan sektor lainnya di industri pariwisata, (2) management fees, (3) franchise fees, (4) bantuan teknologi, (5) barang impor, dan (6) biaya promosi ke seluruh dunia (Mathieson dan Wall, 1990). Dalam upaya meminimalisasi berbagai dampak negatif dan mengoptimalkan dampak positif pariwisata lahirlah pemikiran untuk mengembangkan pariwisata yang lebih berpihak pada masyarakat di sekitar objek wisata, yang kemudian dikenal dengan istilah Community Based Tourism (CBT) atau pariwisata berbasis komunitas/masyarakat. Di Indonesia, penerapan CBT tercantum dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pada Bab III pasal 5 yaitu Prinsip Penyelenggaraan Kepariwisataan setempat. pengembangan pariwisata Indonesia adalah harus memberdayakan masyarakat kepentingan Dengan demikian, Undang-Undang telah mengamanatkan bahwa mempertimbangkan

masyarakat setempat (lokal). Terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 memberikan perubahan penting dalam hal pendekatan pembangunan pariwisata menjadi berbasis masyarakat. Pariwisata berbasis masyarakat (CBT) terkait erat dengan pembangunan pariwisata berkelanjutan. Beberapa ahli pariwisata seperti Murphy (1985:39) dan Woodley (1993:137) menegaskan bahwa pendekatan pembangunan yang berbasis masyarakat (CBT) merupakan syarat menuju keberlanjutan pariwisata. Inskeep
1

(1994:8) berpendapat bahwa pada

pembangunan pariwisata berkelanjutan menekankan

aspek komunitas (pariwisata berbasis komunitas). Suansri (2003:22)

menggarisbawahi bahwa CBT merupakan wujud terlaksananya pariwisata yang berkelanjutan. Pariwisata berbasis komunitas (CBT) memiliki berbagai kelebihan, baik dari aspek pengembangan masyarakat maupun industri pariwisata. Namun, penerapkan model CBT sangat tergantung pada karakteristik dan kondisi masyarakat/komunitas di destinasi wisata sehingga model pelaksanaan CBT di wilayah satu dengan lainnya bisa berbeda. Oleh karena itu, studi yang berkaitan dengan penerapan CBT dibutuhkan sebagai bagian dari strategi mewujudkan model CBT yang didasari oleh kerangka pemikiran akademik dan lebih aplikatif.

1.2 Permasalahan Penelitian Agrowisata merupakan bentuk wisata yang lebih menguntungkan dan

melibatkan masyarakat sebagai pelaku langsung pariwisata. Pengembangan agrowisata dianggap mencerminkan prinsip-prinsip penerapan CBT. Untuk itu, perlu diteliti apakah pengembangan agrowisata memang mengacu pada prinsip-prinsip pengembangan pariwisata yang berbasis komunitas (CBT). Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Bagaimana penerapan prinsip-prinsip Community Based Tourism (CBT) dalam pengembangan agrowisata di Kota Batu ? (2) Faktor-faktor apakah yang memengaruhi penerapan prinsip-prinsip Community Based Tourism (CBT) 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini ingin mencapai beberapa tujuan berikut. 1. Mengkaji prinsip-prinsip Community Based Tourism (CBT) yang diterapkan di Kota Batu dalam pengembangan agrowisata. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi penerapan prinsip-prinsip Community Based Tourism (CBT) di Kota Batu. 3. Merumuskan model pengembangan agrowisata yang berkelanjutan dengan mengacu pada prinsin-prinsip Community Based Tourism (CBT). di Kota Batu .

Secara teoretis penelitian ini tidak hanya menghasilkan temuan tentang penerapan prinsip-prinsip CBT di agrowisata, namun juga menemukan indikatorindikator baru berkenaan dengan penerapan prinsip CBT sebagai kritik atas prinsip CBT yang digunakan selama ini. Dengan demikian, temuan tersebut merupakan bagian penting dari pengembangan teori-teori pembangunan pariwisata dengan menggunakan pendekatan Platform. Dari hasil analisis teoritis berkelanjutan dapat disusun model normatif agrowisata dengan mengacu pada prinsin-prinsip Community Based Tourism kombinasi Adaptacy Platform dan Knowledge-Base

(CBT) sebagai acuan bagi pemangku kepentingan industri pariwisata. BAB II: KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Jafari (Gartner, mendasari pembangunan (advocacy platform), pariwisata sebagai 1996: 23--27) menganalisis empat pendekatan yang

pariwisata (tourism platform) yaitu pendekatan advocacy cautionary (cautionary platform), Adaptacy platform, dan

knowledge-base platform. Advocacy platform menekankan pada dampak ekonomi dasar pijakan. Pendekatan cautionary merupakan kritik dari pendekatan advocacy menyoroti berbagai dampak negative yang dihasilkan industry pariwisata. Pariwisata tidak selalu baik atau jelek, tergantung pada respons masyarakat lokal terhadap kebutuhannya. Menurut pendekatan ini pembangunan pariwisata harus terfokus pada masyarakat, agar dapat memberikan dampak yang adil pada masyarakat setempat, melindungi atau meningkatkan budaya dan lingkungan di daerah tujuan wisata dan meningkatkan pertukaran sosial antara tuan rumah dan tamu. Spillane (1994: 28) menguatkan dengan argumentasi bahwa pengaruh negatif pariwisata bisa dikontrol dengan mencari bentuk lain pengembangan wisata (bentukbentuk wisata alternatif). Pengembangannya disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat. Knowledge-base platform adalah pendekatan yang menekankan pentingnya pendekatan pariwisata secara holistic. Pendekatan pembangunan pariwisata harus menggunakan model yang multidisiplin atau pendekatan yang interdisiplin. Berbagai dampak negatif yang timbul dalam pengembangan pariwisata yang menggunakan pendekatan advocacy pendekatan adaptacy, dan cautionary. Untuk mengantisipasi hal tersebut, mulai dikembangkan wacana pembangunan pariwisata dengan menggunakan indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan
3

pembangunan pariwisata lebih bersifat mikro menekankan pada bentuk pariwisata

yang lebih tertata, berkesinambungan dan menguntungkan masyarakat lokal. Pendekatan adaptacy yang lebih menempatkan pembangunan pariwisata sebagai instrument untuk mencapai kesejahteraan masyarakat atau pendekatan Mill dan Morison,1985, Pearce et al. , 1998, Sandmeyer, 2005; Beeton, 2006). Secara konseptual CBT diartikan sebagai pendekatan alternative (Patin dan Francis, 2005) atau mainstream (AIPES-RISPO, 2006) yang menekankan pada partisipasi/keterlibatan komunitas (Housler, 2005; Mann, 2000) s serta merupakan alat pemberdayaan ekonomi komunitas (Patin dan Francis, 2005). CBT juga berkaitan erat dengan pariwisata berkelanjutan yaitu sebagai syarat pengembangan pariwisata berkelanjutan (Murphy, 1985; Woodley, 1993), alat mencapai pariwisata berkelanjutan (Asker, 2010) dan sebagai wujud pariwisata berkelanjutan (Suansri, 2003). Penerapan CBT mensyaratkan terpenuhinya beberapa prinsip yang dapat ditampilkan rinkas sebagai berikut. Tabel 2.1 Prinsip CBT menurut Para Ahli
NO 1 NAMA UNEP dan WTO PRINSIP Sosial INDIKATOR Mengikutsertakan anggota komunitas dalam memulai setiap aspek. Mengembangkan kebanggaan komunitas. Mengembangkan kualitas hidup komunitas. Mengakui, mendukung dan mengembangkan kepemilikan komunitas dalam industri pariwisata. Mendistribusikan keuntungan secara adil kepada anggota komunitas . Mempertahankan keunikan karakter dan budaya di area lokal . Membantu berkembangnya pembelajaran tentang pertukaran budaya pada komunitas. Menghargai perbedaan budaya dan martabat manusia. Menjamin keberlanjutan lingkungan. Berperan dalam menentukan persentase pendapatan (pendistribusian pendapatan). Sebagian besar kegiatan pariwisata dibangun dan dioperasikan, didukung, dan diizinkan oleh komunitas lokal. Pembagian keuntungan dapat dipertanggungjawabkan. Menghargai budaya lokal, heritage , dan tradisi. Peranan pemerintah lokal dan regional. Ekonomi yang berkelanjutan. Keberlanjutan ekologi. Kelembagaan yang bersatu. Keadilan pada distribusi biaya dan keuntungan pada seluruh komunitas. Terciptanya lapangan pekerjaan sektor pariwisata . Timbulnya pendapatan masyarakat lokal. Timbulnya dana komunitas. 4

bentuk

pariwisata berbasis masyarakat mendapat rekomendasi banyak ahli (Murphy, 1985;

Ekonomi

Budaya

Lingkungan Politik 2 Hatton Sosial Ekonomi Budaya Politik Ekonomi Lingkungan Politik Sosial Ekonomi

SNV

Suansri

Peningkatan kualitas hidup. Peningkatan kebanggaan komunitas. Pembagian peran yang adil (gender, usia). Mekanisme penguatan organisasi komunitas. Budaya Mendorong masyarakat menghormati budaya lain. Mendorong pertukaran budaya. Budaya pembangunan. Politik Peningkatan partisipasi penduduk lokal. Peningkatan kekuasaan komunitas yang lebih luas. Mekanisme yang menjamin hak masyarakat lokal dalam pengelolaan SDA. Lingkungan Pengembangan carrying capacity. Sistem pembuangan sampah yang ramah lingkungan. Kepedulian pada konservasi. Sumber: Hatton (1999); Suansri (2003) ; Yaman dan Mohd (2004); SNV (2005), dan UNEP dan WTO (2005),

Sosial

Salah satu manfaat yang digarapkan dari pengembangan pariwisata di negara berkembang adalah penciptaan lapangan pekerjaan dan penyerapan tenaga kerja (Gray,1974:395; McCloy, 1975:49; Mathieson dan Walls, 1982:43;). Peluang kerja yang timbul dari industri pariwisata menurut Janata (dalam Warpani: 1997: 88) dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu sektor dinamik dan sektor static. Partisipasi ekonomi komunitas dalam dunia usaha pariwisata baik di hulu maupun di hilir menurut Nickerson (2001: 24) berkaitan dengan motivasinya. Untuk meningkatkan motif dan selanjutnya dapat mendorong partisipasi ekonomi, komunitas harus mendapat dukungan dan bantuan untuk mengembangkan kewirausahaan dari luar yaitu pemerintah/NGO/lembaga donor lainnya (Getz dan Page, 1997:196). Aspek ekonomi pariwisata tidak lepas dari pengeluaran wisata (tourist expenditure) yaitu uang yang dibelanjakan wisatawan di daerah tujuan wisata (DTW) untuk memenuhi bermacam-macam kebutuhan selama berkunjung di suatu negara/daerah tujuan wisata. Uang yang dibelanjakan wisatawan dalam ekonomi pariwisata disebut sebagai uang baru (new money) yang berdampak positif terhadap perekonomian negara/daerah yang dikunjungi (Oka, 2008:187). Perhitungan pengeluaran wisata penting untuk menunjukkan secara nyata nilai pariwisata bagi suatu daerah. Hal itu juga penting untuk menggambarkan dampak spesifik pariwisata bagi ekonomi lokal seperti rumah tangga, usaha masyarakat lokal, perekonomian daerah dan sebagainya, serta sebagai dasar merencanakan fasilitas atau atraksi wisata baru, menggambarkan dampak pariwisata terhadap penerimaan ekonomi seperti gaji/upah, pekerjaan, dan yang lebih (Goldman, 1994: 1).

Penerapan prinsip social berkaitan erat dengan adanya interaksi tuan rumah dan tamu/wisatawan. hubungan antara tuan rumah (masyarakat lokal) dengan pengujung/wisatawan di daerah tujuan wisata sangat tergantung pada durasi waktu, intensitas, dan sifat kunjungan. Kedalaman hubungan inilah yang menentukan dampak atau manfaat yang dapat diterima masyarakat di daerah destinasi wisata (Murphy, 1985:117). Page dan Hall (1999:122) merangkum dampak sosial-budaya pariwisata, sebagai berikut. Pengembangan pariwisata membawa dampak positif pada aspek sosial budaya antara lain: meningkatnya partsisipasi serta minat komunitas terhadap kegiatan bersama dan menguatkan nilai tradisi setempat. Sedangkan dampak negatif yang timbul, adalah komersialisasi aktivitas individu, modifikasi kegiatan dan aktivitas sesuai dengan tuntutan pariwisata, peningkatan angka kejahatan, perubahan struktur komunitas, dan kerusakan sosial. Mathiason dan Wall (1982:143) mencatat dampak sosial-budaya yang secara umum timbul dari pengembangan pariwisata adalah efek demontrasi (demonstration effect). Prinsip politik CBT terkait erat dengan partisipasi komunitas lokal, peningkatan kekuasaan komunitas, dan mekanisme yang menjamin hak komunitas dalam mengelola sumberdaya alam (Timothy, 1999; Yaman dan Mohd, 2004). Penerapan prinsip lingkungan antara lain dapat diukur dari penerapan daya dukung lingkungan yaitu kemampuan sumber daya rekreasi untuk mempertahankan fungsi dan kualitasnya guna memberikan pengalaman rekreasi yang diinginkan (Clawson dan Knetsch, 1996:113).

BAB III: METODOLOGI DAN LOKASI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan gabungan kuantitatif dan kualitatif. Terminologi penelitian gabungan menurut istilah Burgess disebut strategi penelitian ganda, atau menurut Denzin adalah triangulasi (dalam Brannen, 2005: 20). Lokasi penelitian ditetapkan secara purposive satu ikon agrowisata di Kota Batu, Jawa Timur. Ada beberapa alasan dipilihnya lokasi penelitian yaitu (1) Kota Batu merupakan salah di Jawa Timur ; (2) Di Kota Batu terdapat pengembangan agrowisata yang bervariatif terutama dari aspek pengelolaan, dan (3) Kebijakan pemerintah Kota Batu mengembangkan diri sebagai kota tujuan wisata berbasis masyarakat.
6

Unit analisis penelitian ini mencakup dua spektrum: (1) individu yang terdiri dari individu anggota komunitas di destinasi wisata agrowisata, petani yang mengembangkan agrowisata dan wisatawan yang melakukan aktivitas agrowisata; dan (2) institusi (kelembagaan). Pengumpulan data primer dilakukan dengan nterview/wawancara terstruktur dengan menggunakan questionaires, wawancara mendalam (in-depth interview) dengan menggunakan perangkat pedoman wawancara (guide interview), dan observasi. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalaui SKPD terkait, Data profil Kecamatan/Desa dan data sekunder dan berbagai usaha pariwisata. Untuk mengolah data primer yang bersifat kuantitatif digunakan program SPSS yang secara statistik akan membantu melakukan uji korelasi dan regresi. Data empiris yang bersifat kualitatif (hasil observasi, hasil wawancara mendalam, dan dokumen/data sekunder) akan diolah dengan mengetik transkrip wawancara, menyusun catatan lapangan dari pengamatan, melakukan pengelompokan, dan pengorganisasian data lapangan. Secara umum analisis data dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi 2 analisis kuantitatif (statistik) dan kualitatif (analisis konten dan interaktif). Analisis statistik yang digunakan adalah analisis korelasi, korelasi parsial dan analisis regresi. BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penerapan prinsip-prinsip Community Based Tourism (CBT) dalam pengembangan agrowisata di Kota Batu 4.1.1 Prinsip Ekonomi Industri pariwisata di Kota Batu menunjukkan perkembangan cukup pesat jika dilihat dari tumbuhnya usaha produktif sektor pariwisata yang mampu menyerap tenaga kerja. Pada umumnya tenaga kerja lokal terserap ke pekerjaan bagian teknis, berada di jabatan staf, dan kurang memerlukan keterampilan khusus atau jika menuntut berketrampilan, keterampilan itu bisa dipelajari secara otodidak. Pekerjaan di industri pariwisata di Kota Batu secara kuantitatif besar, namun secara kualitatif kurang menjanjikan. Tingkat karir cenderung tetap dan mereka rentan diPHK-kan. Ada perbedaan penyerapan tenaga kerja lokal dari setiap usaha atau jenis industri. Pada usaha agrowisata, rumah makan, hotel melati, vila, industri kerajinan, travel agen, dan toko oleh-oleh penyerapan tenaga kerja dari komunitas lokal cukup
7

tinggi. Namun, di hotel berbintang lebih

rendah daripada hotel non-bintang.

Penyerapan tenaga kerja lokal dipengaruhi kepemilikan usaha, Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa sebanyak 72,7% responden memiliki usaha mandiri di sektor pariwisata dan hanya sebanyak 27,3% responden tidak memiliki usaha mandiri. usaha pariwisata memberikan peluang yang lebih besar kepada komunitas lokal untuk mengembangkan usaha ekonomi mandiri di sektor pariwisata meskipun mereka berlatar belakang ketrampilan rendah, bertingkat pendidikan sedang, tidak memiliki latar belakang keluarga wirausahawan. Kewirausahaan itu dapat dijalaninya dengan cara otodidak. Dari hasil analisis jenis dan besar pengeluaran wisata diperoleh gambaran pola belanja wisata dan besaran pendapatan komunitas. Dari perhitungan diperoleh angka pengeluaran wisata per kelompok/grup adalah Rp 2.200.367,00 dengan rerata jumlah kelompok adalah 9 orang. Dengan demikian, rerata pengeluaran wisata per orang sebesar Rp 245.942,00. Rata-rata pengeluaran wisata untuk agrowisata (tiket masuk dan pembelian apel di lokasi agrowisata) sebesar Rp 35.372,00 per orang atau setara dengan satu tiket masuk (Rp 20.000,00) dan 1,5 kg apel. Rata-rata pendapatan yang diperoleh komunitas dari belanja wisata adalah Rp 553.425,00 per kelompok atau rata-rata komunitas memperoleh pendapatan Rp 61.858,00 dari setiap wisatawan yang datang. Di Kota Batu konsep tentang dana komunitas tidak ditemukan di lapangan. Pada saat ditanyakan kepada wisatawan, apakah mereka bersedia menyumbang untuk pengembangan masyarakat di destinasi wisata, semua responden menjawab tidak menyumbang. 4.1.2 Prinsip Sosial Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat (CBT) berdasar prinsip sosial harus memberikan peningkatan kualitas hidup (quality of life/QoL)komunitas. Salah satu pengukuran QoL disampaikan oleh Allen, Long, Perdue, dan Keiselbach persepsi penduduk tentang pengaruh (Andereck dan Nyaupane, 2011:95) yaitu komunitas dalam pengembangan pariwisata. Persepsi individu menunjukkan mayoritas (83,6%) responden persetujuan tentang pengembangan agrowisata, 88,4% responden setuju dengan kedatangan wisatawan, 79% menganggap pengembangan agrowisata berdampak terhadap
8

pengembangan pariwisata terhadap dimensi kehidupan komunitas dan keterlibatan

kesejahteraan masyarakat, hanya 40,9% responden yang menyatakan jika pengembangan agrowisata menyerap tenaga kerja, 34% menyatakan jika agrowisata dapat mendorong timbulnya usaha lokal, 54,8% responden menyatakan jika agrowisata berpeluang untuk dijadikan pekerjaan tetap, 63,4% responden menyatakan jika agrowisata mendorong peran organisasi lokal, sebanyak 59,6% menyatakan partisipasi individu dalam agrowisata, 57,8% menganggap agrowisata berperan dalam mendukung budaya dan seni lokal, dan 62,1% menyatakan jika pengembangan agrowisata dapat meningkatan keamanan setempat. Persepsi individu tentang pengembangan agrowisata terkait dengan keuntungan ekonomi yang diperolehnya, yaitu (1) peningkatan kesejahteraan, (2) penyerapan tenaga kerja, dan (3) pendorong tumbuhnya usaha mandiri. Pengembangan agrowisata juga menumbuhkan rasa bangga seseorang sebagai warga Kota Batu, yang diungkapkan oelh sebanyak 83,6% responden. Alasannya adalah kedatangan wisatawan menunjukkan bahwa Kota Batu merupakan wilayah yang memiliki kelebihan. Pengembangan agrowisata menghasilkan pembagian kerja gender yaitu perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam usaha pariwisata, pelabelan berkaitan dengan kesesuaian antara karakteristik laki-laki dan peremuan denga pekerjaan bidang pariwisata, dan menghasilkan beban kerja ganda pada perempuan. 4.1.3 Prinsip Budaya Wisatawan ketika beraktivitas pariwisata memiliki kebutuhan hidup yang harus dipenuhi di destinasi wisata. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan wisatawan selama berada di destinasi wisata tersebut, terjadi interaksi wisatawan dengan penduduk setempat yang memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan. Dalam proses interaksi yang saling menguntungkan tersebut terjadi komunikasi antara wisatawan dan komunitas lokal, yang masing-masing akan saling bertukar informasi. Proses pertukaran informasi antamereka berefek pada pertukaran budaya berupa ide/gagasan, aktivitas, dan benda. Mayoritas (59,3%) wisatawan berasal dari daerah-daerah di sekitar Jawa Timur (Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Tuban, Lamongan, Madura, dan Banyuwangi). Sebanyak 20% wisatawan berasal dari sekitar Malang Raya yaitu Pasuruhan dan Kabupaten/Kota Malang dan sebanyak 12% responden lainnya berasal dari sekitar Jawa-Bali (Yogyakarta, Magelang, Jakarta, Bandung, dan Bali). Sementara itu
9

sebanyak 8,7% responden datang dari luar Jawa (Samarinda, Makasar dan Riau). Interaksi budaya yang terjadi kompleks karena melibatkan budaya dan sub-budaya yang beragam dengan sistem nilai, adat-istiadat, dan budaya fisik yang melekat pada masing-masing. Interaksi mereka pengetahuan baru bagi wisatawan, misalnya tentang cara hidup petani yang berbeda dengannya. Pengetahuan tentang teknologi bertani setempat, cara membudidayakan tanaman apel, dan lain-lain merupakan bagian dari kearifan lokal masyarakat Batu. Kearifan lokal ini diadopsi wisatawan meningkatkan kemampuan kognitifnya. Akibatnya wisatawan dapat berbagi pengetahuan yang sama dengan orang lain pada lain kesempatan. Wisatawan juga mendapat pembelajaran dari komunitas berupa pandangan hidup masyarakat petani yang sederhana, tidak bersikap hidup ngoyo, pasrah, banyak merasa bersyukur. Aspek lain yang dipertukarkan saat terjadi interaksi wisatawan-komunitas berkaitan dengan penggunaan bahasa termasuk istilah, dialek, tempo dan nada suara yang digunakan saat berkomunikasi. Pertukaran unsur budaya fisik atau artefak antara lain adanya perubahan cara menggunakan, memilih model berpakaian, memilih penampilan wajah/rambut masyarakat lokal khususnya generasi muda mengikuti gaya/cara/model wisatawan yang dianggap lebih up to date namun kurang memperhitungkan kondisi setempat atau kurang didukung budaya setempat. Dengan melihat barang yang dikenakan wisatawan anggota komunitas local terdorong untuk mengikuti/ mencontoh gaya dan penampilan wisatawan (demontration effeck) misalnya menggunakan pakaian ketat, pakaian

mini, celana pendek atau celana jeans yang sengaja diberi robekan yang bukan merupakan kebiasaan masyarakat setempat. 4.1.4 Prinsip Politik Aspek politik berkaitan erat dengan akses, kontrol, dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan agrowisata. Melalui akse-akses itu, masyarakat berkesempatan terlibat sehingga berandil pula dalam proses pengambilan keputusan yang terkait dengan pengembangan agrowisata. Partisipasi politik berorganisasi lokal cukup tinggi. keikutsertaan masyarakat dalam organisasi setempat/lokal mencapai 65,4% dan sisanya tidak ikut serta dalam organisasi setempat, yang benar-benar aktif dalam organisasi hanya berkisar 36,4% saja Hal ini menggambarkan : (1) adanya kesadaran atas kepentingan bersama yang harus dikelola bersama, (2) adanya kesadaran atas pentingnya aspek kelembagaan
10

untuk mencapai tujuan bersama yaitu pengembangan agrowisata, dan (3) adanya kesadaran atas hak masyarakat dalam pengambilan keputusan. Kekuasaan komunitas berkaitan erat dengan proses pengambilan keputusan di desa terkait dengan stratifikasi sosial anggotanya. Di Kota Batu struktur masyarakat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu struktur formal dan informal. Struktur formal adalah pelapisan masyarakat berdasar kekuasaan formal dalam pemerintahan. Struktur informal adalah pelapisan masyarakat berdasar penguasaan sumber daya (khususnya sumber daya lahan). Di tingkat desa, kepala desa/lurah merupakan pemegang kekuasaan tertinggi secara formal. Selain itu, kepala dusun dan perangkat desa juga memiliki kekuasaan tersendiri dalam masyarakat. Selain melayani masyarakat, kepala desa dan perangkat desa merupakan pusat informasi bagi anggota masyarakat. Struktur masyarakat informal terkait dengan kepemilikan sumber daya lahan pertanian. Kebanyakan tokoh masyarakat dari Kota Batu adalah petani pemilik lahan seluas 1 hektar. Selain kepemilikan, penentu lain adalah profesi dan tingkat pendidikan, seperti guru dan kiai. Terdapat empat jenis pengelolaan agrowisata yang memiliki perbedaan karakteristik dan sistem pengambilan keputusan di dalamnya, sebagai berikut. (1) Pengelolaan oleh wadah khusus di tingkat des, contoh di Desa Bumiaji, pengelolaan agrowisata berada di bawah Wisata Bukit Apel (WBA).(2) Pengelolaan agrowisata melalui kelompok tani. Contoh, di Desa Tulungrejo pengelolaan agrowisata berada di bawah Kelompok Tani Makmur Abadi. secara individual (3) Pengelolaan agrowisata oleh perusahaan swasta (PT). (4) Pengelolaan agrowisata oleh petani yang biasanya ada dihampir semua desa yang dikembangkan sebagai lahan agrowisata. Model pengelolaan berkaitan dengan proses pengambilan keputusan dalam pengembangan agrowisata dimulai dengan merencanakan, memasarkan, mengelola, dan membagi keuntungan. Dalam proses pengambilan keputusan tersebut terdapat pola kekuasaan yang berbeda dari tiap model pengelolaan agrowisata. Pengelolaan dalam wadah khusus yang bersifat komunal (WBA dan Kelompok Tani) memberikan kekuasaan penuh pada komunitas dalam mengambil keputusan. Pada model pengelolaan oleh perusahaan swasta kekuasaan berada pada pemilik modal atau sekelompok individu yang tidak berkaitan dengan komunitas. Model pengelolaan individo memberikan kekuasaan pada petani. Pengelolaan agrowisata oleh WBA atau
11

kelompok tani ideal dalam memberikan kekuasaan kepada komunitas, dibandingkan dengan model pengelolaan oleh swasta dan individu. 4.1.5 Prinsip Lingkungan Secara teoretis daya dukung lingkungan di agrowisata ialah jumlah maksimal wisatawan agrowisata masih bisa ditoleransi sebanyak 84.000 orang per tahun dengan asumsi bahwa wisatawan di agrowisata rata-rata membutuhkan space range seluas 25 m2 per orang. Saat ini rata-rata jumlah wisatawan yang datang ke agrowisata masih jauh dari batas toleransi, yaitu rata-rata 500 orang per bulan dan pada liburan panjang mencapai 1.000 orang. Berkaitan dengan penetapan daya dukung, komunitas lokal mengembangkan perhitungan sendiri. Tterdapat ada tiga cara penetapan jumlah maksimal wisatawan agrowisata yang masih bisa ditoleransi yang dikembangkan oleh masyarakat di agrowisata Kota Batu, yaitu (1) berdasar kapasitas pohon, (2) berdasar kapasitas lahan, dan (3) berdasar minat pasar. Cara pertama, penetapan batas maksimal atau jumlah wisatawan yang ditoleransi berdasar kapasitas pohon berkaitan dengan kepuasan wisatawan. Rata-rata setiap pohon apel yang berbuah lebat dapat dipetik oleh 25 orang wisatawan. Jika lebih dari angka tersebut, wisatawan tidak merasa puas ketika memetik apel ataupun menikmatinya di lahan. Dalam keadaan normal, seorang wisatawan dapat memetik 26 butir apel untuk dikonsumsi di lahan. Namun, jika wisatawan bermaksud memetik apel untuk dibawa pulang, sebatang pohon cukup untuk dipetik dua wisatawan saja, dengan rata-rata hasil petik yang bisa dibawa pulang tersebut 3 - 4 kilogram per orang. 4.2 Faktor-faktor yang memengaruhi penerapan prinsip-prinsip Community Based Tourism (CBT) di Kota Batu.

Penyerapan tenaga kerja komunitas yang cukup tinggi dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar komunitas, yaitu struktur perekonomian Kota Batu dan kebijakan pemerintah. Faktor internal adalah faktor-faktor yang karakteristik tenaga kerja komunitas. yang berasal dalam komunitas, yaitu

12

Struktur perekonomian Kota Batu memiliki karakter mayoritas berskala kecil dan menengah. Beberapa karakter industri kecil di Kota Batu adalah : (1) Manajemen usaha bersifat informal, (2) kepemilikan usaha oleh individu anggota komunitas, dan (3) lokasi usaha yang berdekatan dengan tempat tinggal pemilik dan tenaga kerja. Hasil uji korelasi menunjukkan variabel pendidikan (x) berpengaruh terhadap variabel partisipasi sebagai tenaga kerja sektor pariwisata (y). Faktor lain yang memengaruhi terciptanya lapangan pekerjaan sektor pariwisata di Kota Batu adalah struktur perekonomian Kota Batu dan peran pemerintah melalui kebijakan/program/kegiatan kepariwisataan. Struktur perekonomian Kota Batu lebih menumbuhkan usaha berskala kecil dan menengah dengan pola seleksi tenaga kerja menguntungkan tenaga kerja komunitas. Dari hasil uji korelasi diperoleh kesimpulan tingkat pendidikan (X1) dan motivasi usaha(X2) memengaruhi kepemilikan usaha pariwisata (Y). Kepemilikan usaha menghasilkan pola kerja berbasis kedekatan hubungan, kerja dekat sehingga turn over tenaga kerja rendah, dan persaingan usaha tidak sehat. Motivasi usaha sebagai pintu masuk pengembangan usaha mandiri pariwisata berciri khas yaitu didukung mekanisme pembelajaran usaha oleh komunitas. Dari hasil uji regresi dapat disimpulkan bahwa pendapatan wisata adalah hasil kontribusi dari pengeluaran wisata dan pengeluaran agrowisata yang membentuk persamaan linier Y = 46298,469 + 0,475 x1 + 0,547 x2 dimana x1 adalah variabel pengeluaran agrowisata dan x2 adalah variabel pengeluaran wisata. Model regresi ini dapat dipakai untuk memprediksi pendapatan masyarakat. Besarnya pendapatan yang diperoleh komunitas tidak hanya tergantung pada besar pendapatan, tetapi juga berkaitan dengan faktor-faktor yang dapat memengaruhi pendapatan mereka yaitu pola penggunaan produk lokal dalam industri pariwisata, kecenderungan pasar terhadap agrowisata, dan proporsi pengeluaran di agrowisata dalam belanja wisata secara keseluruhan. Pendapatan komunitas yang diperoleh dari pariwisata tidak sepenuhnya dinikmati karena besaran belanja wisatawan tersebut masih harus digunakan untuk membayar bahan baku usaha. Jika bahan baku usaha berasal dari sekitar komunitas, pengeluaran untuk pembelian bahan baku akan bermanfaat bagi komunitas yang lain. Namun, jika bahan baku usaha yang digunakan berasal dari luar komunitas/import, akan menimbulkan kebocoran pendapatan atau mengalirnya uang keluar yang dapat mengurangi pendapatan komunitas
13

Selain aspek produksi, yang tidak kalah penting adalah aspek pasar agrowisata. Persepsi wisatawan tentang agrowisata bisa menjadi indikator apakah agrowisata merupakan atraksi yang cukup diminati konsumen dan berprospek baik ke depan. Secara umum persepsi wisatawan tentang akses, sikap komunitas, pelayanan, atraksi, harga tiket, dan harga apel di agrowisata positif. Beberapa kondisi yang memengaruhi timbulnya kebanggaan komunitas di Kota Batu adalah: (1) sejarah perjalanan Kota Batu dari satu kecamatan di Kabupaten Malang hingga menjadi Kota; (2) Kekhususan Kota Batu berupa kekayaan alam, yaitu pemandangan, iklim, kontur wilayah dan keanekaragaman flora-fauna yang dapat dikembangkan menjadi atraksi wisata; (3) Seni dan budaya yang beragam sebagai bagian dari budaya Malang Raya; dan (4) Peran serta pemerintah ialah mendorong komunitas untuk mengembangkan sumber daya alam, sumber daya manusia, dan organisasi. Pemerintah berperan besar dalam pengembangan kegiatankegiatam dan kampanye budaya di Kota Batu. Upaya mengintegrasikan program pengembangan seni budaya dan pariwisata merupakan pendekatan yang tepat. Di tingkat teknis, secara tidak langsung pemerintah ikut andil dalam mengampanyekan seni budaya kota Batu melalui kegiatan yang digelar. Pemerintah dibantu sesepuh lainnya juga ikut berperan membuat branding bagi Kota Batu yaitu sebagai Kota Wisata Batu, yang berarti Kota Batu sebagai surga wisata di Jawa Timur. Pengembangan agrowisata telah mendorong kepedulian komunitas pada penguatan modal sosial. Agrowisata berperan dalam mendukung pengembangan pariwisata dengan memaksimalkan peran individu dalam jaringan organisasi, aspek resiprositas dalam komunitas, peningkatan trust, pemerkuatan nilai dan norma sosial, dan peningkatan networking. Faktor-faktor yang berperan dalam pengembangan modal sosial antara lain, adalah kekuatan internal berwujud motivasi internal dan kepedulian tokoh masyarakat/agama dan adanya Peran pemerintah dalam menyediakan kelembagaan yang mengakomodasi kepentingan bersama wilayahwilayah pengembang agrowisata, seperti Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) Apel, atau Asosiasi Petani Agrowisata akan meredam konflik yang timbul karena kepentingan yang sama dalam pengembangan agrowisata. Faktor yang memengaruhi proses pertukaran budaya adalah berkembangnya budaya multikultur (keragaman etnis, agama, dan budaya) dan adanya kepentingan komunitas dari proses pertukaran budaya. Budaya Kota Batu sejak lama sudah
14

mengenal konsep multukultur sehingga lebih bersifat terbuka dan apresiatif. Sejarah

panjang kota Batu yang membentuk sikap keterbukaan komunitas untuk menerima budaya lain dalam interaksi industri pariwisata Kepentingan komunitas atas terjadinya proses kontak pertukaran budaya menjadi dorongan tersendiri. Nilai-nilai budaya luar yang dianggap positif dan bermanfaat menjadi salah satu faktor pendorong untuk berkontak budaya. Nilai kewirausahaan, pengetahuan modern, pengembangan usaha, gaya hidup dan budaya fisik (artefak) merupakan bagian unsur budaya luar yang dianggap komunitas dapat memperkaya budaya setempat. Faktor-Faktor yang memengaruhi partisipasi penduduk lokal dalam proses pengambilan keputusan adalah (1) struktur kelembagaan masyarakat yang menyiratkan pembangian peran dalam masyarakat; (2) peran aktif aktor komunitas sebagai social change agent di dalam komunitas; (3) sistem pelapisan social yang bersifat formal dan informal, menjaga harmoni komunitas, mencegah terjadinya dominasi individu, dan meningkatkan partisipasi secara merata; (4) model pengelolaan agrowisata yang bersifat komunal; dan (5) Penguasaan lahan agrowisata oleh komunitas Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan prinsip lingkungan CBT adalah Kondisi lingkungan global , Kekayaan komunitas berupa kearifan lokal dalam menentukan daya dukung lingkungan, Pengembangan teknologi pengelolaan sampah yang ramah lingkungan oleh pemerintah dan komunitas. 4.3 Temuan baru 4.3.1 Temuan teori 1. Community Based Tourism (CBT) yang diterapkan di destinasi agrowisata. 2. Prinsip Community Based Tourism (CBT) plus, terdiri dari prinsip ekonomi, prinsip sosial, prinsip budaya, prinsip politik, prinsip lingkungan dan prinsip teknologi. 3. Indikator prinsip ekonomi CBT Plus adalah (1) terciptanya peluang kerja dan peluang usaha sektor pariwisata, (2) akses dan partisipasi komunitas pada peluang kerja dan peluang usaha sektor pariwisata, (3) peningkatan pendapatan komunitas, (4) pengembangan lembaga pengelola pariwisata berbasis komunitas (5) distribusi dampak ekonomi kepada seluruh
15

Plus adalah wujud agrowisata

berkelanjutan merupakan modifikasi konsep Pariwisata Berbasis Komunitas

komunitas melalui pembentukan lembaga ekonomi bersama, misalnya koperasi, atau semacamnya. 4. Indikator prinsip sosial adalah: (1) peningkatan persepsi positif masyarakat terhadap pengembangan pariwisata, (2) peningkatan kebanggaan komunitas, dan (3) penguatan sosial kapital komunitas. 5. Indikator prinsip budaya adalah: (1) pertukaran budaya yang berdampak positif bagi komunitas, (2) penguatan budaya komunitas, (3) penghargaan pada budaya yang berbeda dengan komunitas, dan (4) pengembangan budaya pembangunan. 6. Indikator prinsip lingkungan adalah: (1) pengembangan daya dukung lingkungan berbasis konservasi lingkungan. 7. Indikator prinsip teknologi: (1) penggunaan teknologi operasional pariwisata ; dan (2) penggunaan teknologi dalam fungsi manajerial agrowisata. komunitas , dan (2) partisipasi komunitas dalam

16

4.3.2

Modifikasi model

AGROWISATA

COMMUNITY BASED TOURISM (CBT)

AKSES (KEBERLANJU TAN POLITIK)

KONTROL DAN PARTISIPASI (KEBERLANJUTAN SOSBUD DAN LING)

MANFAAT (KEBERLANJUTAN EKONOMI)

SKALA USAHA KECIL

KEPEMILIKAN LAHAN AGROWISATA

MODAL SOSIAL

PERAN LEMBAGA LOKAL

KETAHAN BUDAYA

KEARI FAN LOKAL

PENYERAP AN TENAGA KERJA LOKAL

PENGEMBANG AN USAHA MANDIRI

KEUNGGULAN KOMUNITAS

TEKNOLOGI

AGROWISATA BERKELANJUTAN

PENDAPATAN KOMUNITAS

Model Agrowisata Berkelanjutan (CBT PLUS) Agrowisata merupakan bentuk pariwisata yang berpotensi untuk diterapkan penerapan prinsip-prinsip Community Based Tourism (CBT). Secara garis besar prinsip CBT dapat dibagi menjadi 3 aspek yaitu berkaitan dengan akses, control dan manfaat pengembangan agrowisata bagi komunitas. Aspek akses berkaitan dengan kemampuan komunitas menjangkau/terlibat/bersentuhan dengan pengembangan

17

agrowisata. Akses dapat diperoleh komunitas melalui kepemilikan lahan dan adanya usaha kecil yang dimiliki/dikembangkan komunitas. Aspek kontrol berkaitan erat dengan keterlibatan komunitas dalam proses pengambilan keputusan, sebagai indikator adanya kekuasaan dan daya tawar secara politis pada komunitas. Kontrol atas pengembangan agrowisata dapat dikembangkan melalaui mekanisme pemeliharaan modal sosial, berperannya lembaga lokal, ketahanan budaya dan kearifan lokal. Modal sosial adalah sumber daya internal, yang diperkuat melalaui peran lembaga lokal sebagai simbol kekuasaan. Ketahanan budaya adalah modal untuk beradaptasi dengan perubahan yang timbul dari kedatangan wisatawan. Kearifan lokal merupakan instrument komunitas untuk beradaptasi dengan perubahan namun tetap mempertahankan karakteristik lokal. Aspek manfaat adalah output yang diharapkan dari pengembangan agrowisata dimana komunitas yang lebih banyak menerima hasil kedatangan wisatawan. Indikator manfaat yang dirasakan komunitas adalah partisipasi komunitas dalam lapangan kerja dan lapangan usaha baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Agar akses dan manfaat yang diperoleh dari kegiatan agrowisata sustainable komunitas perlu mengintegrasikan teknologi dalam kegiatan operasional maupun manajerial usaha. BAB V: SIMPULAN, REKOMENDASI, DAN IMPLIKASI 5.1 SIMPULAN Penerapan prinsip ekonomi CBT dalam pengembangan agrowisata di Kota Batu ditandai dengan peningkatan usaha sektor pariwisata berskala kecil yang menyerap tenaga kerja lokal lebih besar didukung kepemilikan usaha dan mekanisme perekrutan tenaga kerja lokal. Karakteristik pekerjaan yang menyerap tenaga kerja lokal umumnya berupa pekerjaan teknis, berada di level staf, kurang membutuhkan skill, dan bergaji rendah di bawah UMR. Model pengelolaan agrowisata oleh komunitas menumbuhkan usaha primer, sekunder, dan tersier, yang lebih berdampak luas pada perekonomian komunitas. Agrowisata yang dikelola swasta menumbuhkan usaha primer dan sekunder, yang kurang berdampak luas pada peningkatan pendapatan komunitas. Penerapan prinsip sosial CBT dalam pengembangan agrowisata telah menghasilkan peningkatan kualitas hidup komunitas yang dapat diukur dari persepsi positif komunitas yang mencerminkan preferensi terhadap pengembangan agrowisata,
18

keterbukaan komunitas sebagai host, dan derasnya arus informasi yang diterima individu dalam komunitas. Pengembangan agrowisata berdampak pada perubahan nilai sosial tentang tamu, nilai menyambut tamu, perlakuan terhadap tamu, dan filosofi tentang penerimaan tamu, dari yang bernilai sosial menjadi bernilai ekonomi atau terjadi komersialisasi nilai sosial. Pengembangan agrowisata menghasilkan diskriminasi Kekuatan sosial capital dapat terancam nteraksi wisatawan dan gender berupa segregasi tenaga kerja sektor pariwisata, pelabelan (stereotype), dan beban kerja ganda pada perempuan. kejegannya dengan adanya pengembangan agrowisata. Penerapan prinsip sosial CBT dapat diukur dari komunitas yang menghasilkan kontak budaya serta berdampak positif maupun negatif, yaitu menghasilkan pengetahuan kognitif tentang pengembangan manajemen usaha agrowisata, kepuasan standar produk dan pelayanan agrowisata, dan pengetahuan tentang teknologi peningkatan (gadget), konsumen, komunikasi

peningkatan kreativitas dalam berpenampilan, dan nilai budaya baru (keterbukaan, kemandirian, semangat, jiwa wirausaha, motivasi untuk berkembang). Nilai baru tersebut merupakan bagian penting untuk membangun budaya pembangunan yaitu nilai budaya setempat yang dapat digunakan sebagai modal dasar pengembangan agrowisata. Pertukaran nilai budaya yang berdampak negatif ialah meniru perilaku negatif wisatawan, dan masuknya simbol-simbol medernitas yang mendorong komunitas menjadi lebih konsumtif. Penerapan prinsip budaya CBT dapat diukur dari terjadinya pertukaran budaya yang berdampak positif bagi komunitas, mendorong penghormatan budaya yang berbeda dengan komunitas, dan berkembangnya budaya pembangunan. Penerapan prinsip CBT politik dapat dilihat dari (1) adanya kesadaran komunitas terhadap kepentingan bersama yang harus dikelola bersama, (2) adanya kesadaran komunitas akan pentingnya aspek kelembagaan untuk mencapai tujuan bersama yaitu pengembangan agrowisata, dan (3) adanya kesadaran komunitas akan hak masyarakat dalam pengambilan keputusan. Penerapan prinsip lingkungan ditandai dengan adanya pengembangan tiga model/cara penetapan jumlah maksimal wisatawan agrowisata yang bisa ditoleransi, sesuai dengan daya dukung lahan yang dikembangkan komunitas di agrowisata Kota Batu yaitu: (1) berdasar kapasitas pohon, (2) berdasar kapasitas lahan, berdasar minat pasar. dan (3)
19

Penerapan prinsip lingkungan CBT dapat diukur dari

pengembangan daya dukung oleh komunitas lokal dan pengembangan konservasi dengan memperhitungkan perubahan iklim lokal. Hasil uji korelasi menunjukkan variabel pendidikan (x) berpengaruh terhadap variabel partisipasi sebagai tenaga kerja sektor pariwisata (y). Faktor lain yang memengaruhi terciptanya lapangan pekerjaan sektor pariwisata di Kota Batu adalah struktur perekonomian Kota Batu dan peran pemerintah melalui kebijakan/program/kegiatan kepariwisataan. Struktur perekonomian Kota Batu lebih menumbuhkan usaha berskala kecil dan menengah dengan pola seleksi tenaga kerja menguntungkan tenaga kerja komunitas. Dari hasil uji korelasi diperoleh kesimpulan tingkat pendidikan dan Kepemilikan usaha motivasi usaha memengaruhi kepemilikan usaha pariwisata.

menghasilkan pola kerja berbasis kedekatan hubungan, kerja dekat sehingga turn over tenaga kerja rendah, dan persaingan usaha tidak sehat. Motivasi usaha sebagai pintu masuk pengembangan usaha mandiri pariwisata berciri khas yaitu didukung mekanisme pembelajaran usaha oleh komunitas. Dari hasil uji regresi dapat disimpulkan bahwa pendapatan wisata adalah hasil kontribusi dari pengeluaran wisata dan pengeluaran agrowisata yang membentuk persamaan linier Y = 46298,469 + 0,475 x1+0,547 x2 dimana x1 adalah variabel pengeluaran agrowisata dan x2 adalah variabel pengeluaran wisata. Model regresi ini dapat dipakai untuk memprediksi pendapatan masyarakat. Besarnya pendapatan yang diperoleh komunitas tidak hanya tergantung pada besar pendapatan, tetapi juga berkaitan dengan pola penggunaan produk lokal dalam industri pariwisata, kecenderungan pasar terhadap agrowisata, dan proporsi pengeluaran agrowisata dalam belanja wisata secara keseluruhan. Faktor-faktor yang berperan dalam pengembangan modal sosial, antara lain, adalah kekuatan internal. Kekuatan internal ini yang berwujud motivasi, kepedulian tokoh masyarakat/agama, dan peran pemerintah dalam menyediakan kelembagaan yang mengakomodasi kepentingan bersama wilayah-wilayah yang mengembangkan agrowisata. Faktor yang memengaruhi proses pertukaran budaya adalah berkembangnya budaya multikultur, yaitu keragaman etnis, agama, dan budaya) dan adanya kepentingan komunitas atas terjadinya proses kontak budaya.Faktor yang memengaruhi budaya pembangunan adalah kemandirian lokal, keterbukaan terhadap informasi, dan etos kerja komunitas setempat. Faktor-faktor yang memengaruhi
20

partisipasi komunitas lokal dalam proses pengambilan keputusan adalah struktur kelembagaan masyarakat, peran aktor komunitas, sistem pelapisan sosial, model pengelolaan agrowisata yang bersifat komunal, dan kepemilikan lahan agrowisata oleh komunitas . Faktor-faktor yang memengaruhi penerapan prinsip lingkungan CBT adalah kondisi lingkungan global, berkembangnya konsep daya dukung lingkungan berbasis komunitas, yaitu kearifan lokal, sebagai patokan bagi komunitas untuk menyambut kedatangan wisatawan, intervensi pemerintah dalam program pembangunan yang bertujuan meminimalisasi efek negatif iklim global yang dapat menurunkan kualitas lingkungan, pengembangan teknologi pengelolaan sampah yang ramah lingkungan, dan pengembangan teknologi konservasi lahan. 5.2 REKOMENDASI 1. Perlu dilakukan studi implementatif dalam rangka menguji model CBT. 2. Dalam pengembangan CBT sebagai mainstream pembangunan di Indonesia tidak bisa mengadopsi model CBT dari negara lain. Perlu dikembangkan penelitian dengan latar belakang beberapa jenis karakter masyarakat dan produk agrowisata yang berbeda sebagai control, untuk memperoleh model CBT yang lebih variatif. 3. Dalam pengembangan CBT perlu melibatkan akademisi, swasta dan LSM dalam rangka memperkuat skill komunitas merancang tujuan internal. Peran akademisi, swasta dan LSM mendampingi dan memberikan penguatan (capacity building). 4. CBT sebagai mainstream pariwisata dapat dikembangkan kepada bentuk wisata lainnya selain agrowisata. Oleh karena itu perlu sosialisasi pentingnya pengembangan CBT bagi kesejahteraan masyarakat di destinasi wisata. 5. CBT sebagai mainstream pembangunan pariwisata perlu mendapat perhatian khusus dengan cara mengakomodir konsep CBT ke dalam dokumen-dokumen pembangunan sebagainya). 6. CBT sebagai paradigm pembangunan masih terbuka untuk dikaji dalam berbagai studi yang melibatkan akademisi multidisiplin.
21

(RTRW,

Master

Plan

pembangunan

pariwisata,

dan

7. Mengingat cakupan CBT yang luas terbuka peluang untuk dalam program studi/ minat studi secara khusus. 5.3 IMPLIKASI 1. Pembangunan pariwisata memerlukan

dikembangkan

revitalisasi kebijakan yang lebih

memihak pada komuntas sebagai bentuk investasi jangka panjang. CBT dapat menjadi jalan alternatif bagi upaya menyejahterakan masyarakat serta mencegah dan mengatasi permasalahan kemiskinan. 2. Untuk mengembangkan CBT sebagai mainstream diperlukan niat baik (political will) para pemangku kepentingan (legislatif dan eksekutif) dalam bentuk kebijakan yang secara eksplisit menetapkan CBT sebagai arus utama pembangunan pariwisata. 3. CBT sebagai bentuk pengembangan pariwisata yang lebih meyejahterakan masyarakat dapat menjadi acuan utama dan terintegrasi dalam berbagai Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dapat merancang dokumen perencanaan program/kegiatan/proyek pembangunan pariwisata. 4. Melalui Kementrian dokumen teknis tentang bagaimana penerapan CBT di Destinasi yang ada di Propinsi/Kabupaten/Kota dalam bentuk petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan . 5. CBT dapat diintegrasikan dengan program kerja SKPD di luar pariwisata seperti Pemberdayaan Perempuan, Bapemas, Pemuda dan Olah Raga, Pendidikan dan Kebudayaan, dan Sosial.

22

DAFTAR PUSTAKA Afandhi, A. 2001. Pengembangan dan Pembangunan Kawasan Agrowisata.Jakarta : Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Makalah. Tidak diterbitkan. Agusta, I. 2003. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Kualitatif. Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan Metode Kualitatif di Pusat penelitian Sosial Litbang Pertanian Bogor, 27 Februari 2003. Andereck, K.L. and Nyaupane, G.P. 2011. Exploring the nature of tourism and quality of life perceptions among residents. Journal of Travel Research, 50: 248-260. Andereck, K.L. and Vogt, C. A., 2000, The Relation Between Resident Attitute Toward Tourism and Tourism Development Option, Journal of Travel Research , 27(1), 16 21 Anstrand, M. 2006. Community-Based Tourism and Socio-Culture Aspects Relating to Tourism a Case Study of a Swedish Student Excursion to Babati (Tanzania). Laporan. Tidak diterbitkan. Arahi, Y. 2005. Rural Tourism in Japan: The Regeneration of Rural Communities. Naskah diskusi dalam The Development of Rural Tourism. Archer, B.H. 1989. Tourism and Island Economies: Impact Analysis. pp 125-134 in Cooper, C.P. and Lockwood, A. (eds). Progress in Tourism, Recreation and Hospitality Management. Vol. 1. London: Belhaven Press. Aronsson, L. 2000, The Development of Sustainable Tourism, New York: Continuum. Augustyn, M. National Strategies for Rural Tourism Development and Sustainability: The Polish Experience, Journal of Sustainable Tourism, 6(3): 191 - 209. Bahaire, T. and Martin E.W. 1999. Community Participation in Tourism Planning an Development in the Historic City of York, England dalam Currennt Issues in Tourism ( 2&3):243 - 265. Barklin, D. 2003. Ecotourism: A Tool for Sustainable Development dalam www. Planeta.Com. Barry, J.J., and D. Hellerstain. . 2004. Chapter 9: Farm Recreation. In: Outdoor Recreation for 21st Century America A Report to the Nation: The National Survey on Recreation and the Environment . pp.149-167. USA: Venture Publishing, Inc. State College, PA. Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta. Beeton, S. 2006. Community Development Through Tourism. Australia: Landlinks Press.
23

Bengen, G.D., 2002, Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Pesisir dan Lautan IPB Bogor. Blackstock, K. 2005. A Critical Look at Community Based Tourism Cummunity Development Journal 40 (1): 39 - 48. dalam

Binns, T. dan Etienne N. 2002. Tourism as a Local Development Strategy in South Africa dalam The Geographical Journal, 168(3): 235 - 247. Broadbent, J. 1988. State as Process: The Effect of Party and Class on Citizen Participation in Japanese Local Government. Social Problem, 35 (2): 131 144. Brscic, K. 2006. The Impact of Agritourism on Agricultural Production dalam Proceeding from the First International Conference on Agriculture and Rural Development, Topusko-Croatia, 23 - 25 November 2006 Bungin, B. 2004. Metodologi penelitian Kuantitatif. Surabaya: Kencana. Buttler, R. W. 1991. Tourism, Environment, and Sustainable Development. dalam Environmental Conservation: 18(3) :201 - 209. Canizares, S.S, Guzman T.J.L., Reis, H, 2011, Education of Human Capital as a Source of Competitiveness in Tourist Destinations, dalam Tourism Economics Impact Analysis, Matias, Alvaro, Nijkamp, P., Sarmento, M., New York: Physica-Verlag A Springer Company., 11 - 30. Campbell, L.M. 1999. Ecotourism in Rural Developing Communities dalam Annuals of Tourism 26 ( 3): 534 - 553. Carpio, C., Wohlgenant, M.K., dan Boonsaeng. T., 2008, The Demand For Agritourism in the United States Journal of Agriculture and Resources Economic, 33(2): 254 - 269). Chalik, A. 2008. Nahdlatul Ulama Pasca Orde Baru Studi Partisipasi Politik Elite Nahdlatul Ulama Jawa Timur. Ringkasan Disertasi. dalam http://eprints.sunan-ampel.ac.id/195/1/Abdul_Chalik.pdf diakses pada 12 Januari 2012. Cheung C (2001) Determinants of Tourism hotel expenditure in Hong Kong. International Journal of Contemporary Hospitality Management 13(3): 151 158. Choi, C. H. dan Sirakaya, E. 2006. Sustainability Indicator for Managing Community Tourism, dalam Tourism Management. (27) 1274 - 1289. Clawson, M. and Knetsch, L. J. (1966). Economics of Outdoor Recreation. Baltimore: The Johns Hopkins University Press.
24

Cox, L.J. dan Fox, M., 1999. Agriculturally Based Leisure Attraction dalam The Journal of Tourism Studies, 14 (1): 49 - 58. DAmore, L. 1983. Guideline to Planning in Harmoni with the Host Community In P.E. Murphy (Ed.) Tourism in Canada: Selected Issue and Option (pp. 135 159). Victoria, BC: University of Victoria, Departemen of Geography. Dedina, S., and E. Young. 1995. Conservation as Communication: Local People and Graywhale Tourism in Baja California Sur, Mexico. Whalewatcher. Fall/winter: 8 - 13. De Kadt. 1979. Tourism Passport to Development ?. New York: Oxford University Press. Denzin, N.K. dan Lincoln Y. 2009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Departemen Pertanian RI . 2004. Direktori Profil Agrowisata. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian RI. ------------------------ 2005. Strategi Pengembangan Wisata Agro Indonesia dalam www. Database. Deptan. go.id. --------------------------. 2005. Agrowisata Meningkatkan Pendapatan Petani. dalam www. Database. Deptan. go.id. Douglas, N. and Douglas, N. (1996) "Tourism in the Pacific: Historical factors" dalam Hall, C.M. and Page, S.J. (eds.) Tourism in the Pacific: Issues and Cases. London: Thomson Learning. Downward, P., Lumsdon, L. and Weston, R . 2009. Visitor Expenditure: The Case of Cycle Recreation and Tourism, Journal of Sport & Tourism 14(1), pp.2542 http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/14775080902847397 Eadington, W.R., 1991, Economic and Tourism dalam Annals of Tourism Research (8) 41 - 56. Eadington, W.R., & Smith, V. L. 1992. Introduction: The Emergence of alternative form of tourism. In. V.L. Smith & W.R. Eadington (Eds.) Tourism Alternatives: Potential and Problems in the Development of Tourism. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. ESCAP. 1996. The Economic Impact of Tourism in The Asian Region. New York: United Nations. Fandeli, C. (Eds). 1995. Dasar-Dasar Kepariwisataan Alam. Yogyakarta: Liberty. Fandeli, C. dan Suyanto, A. 1999. Kajian Daya Dukung Lingkungan Objek Dan Daya Tarik Wisata Taman Wisata Grojogan Sewu, Tawangmangu. Manusia dan Lingkungan. 19 (tahun VII) 3247. Fandeli, C. dan Mukhlison.(Eds.). 2000. Pengusahaan Ekowisata. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
25

------------------.2002. Perencanaan Kepariwisataan Alam. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Faulkenberry, L.V., John M. C, Kenneth Backman, dan Sheila B. 2000. A Culture of Servitude: The Impact of Tourism and Development on South Carolinas Coast dalam Human Organization 59(1): 86 - 95. Fletcher, J., 1989, Input-Output Analysis and Tourism Impact Studies, Annals of Tourism Research (16) 514 - 529. Garrod, B. 2001. Local Participation in the Planning and Management of Ecotourism: A Revised Model Approach. Laporan Penelitian. Bristol: University of the West of England. Gartner, W. 1996. Tourism Development Principles, Processes, and Policies. New York: Van Nostrand Reinhold. Getz, D, 1986, Model in Tourism Planning dalam Tourism Management . Maret. 21-32. Gold, S. M. 1980. Recreation Planning and Design, New York: McGraw-Hill. Goldman G, Nakazawa A, Taylor D 1994 Impact of Visitor Expenditures on Local Revenues. Alaska:WRDC. http://www.uaf.edu/ces/publications/freepubs/WREP-145.html [diakses pada 1 Juni 2011]. Goodwin, H. 2000.Pro-Poor Tourism, Opportunities for Sustainable local Development Development and Cooperation 5:12 4 Gray, H.P. 1974. Toward an Economic Analysis of Tourism Policy. Social and Economic Studies. 23: 386-397. Page , S,J., dan Getz, Don (Ed).1997. The Business of Rural Tourism International Perspectives. Oxford: The Alden Press Hall, M.C. Dan Page J. 1999. The Geography of Tourism and Recreation Environment, Place and Space. London: Routledge. Hasan, I. 2002. Pokok-Pokok Materi Statistik 2 (Statistik Inferensif). Jakarta: Bumi Aksara. Hasbullah, J. 2006. Social Capital (menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). Jakarta: MR-United Press Jakarta.

26

Hatton, M.J. 1948, Community Based Tourism in the Asia-Pacific, Canada: School of Media Studies a at Humber College. Hausler, N. 2005. Definition of Community Based Tourism Tourism Forum International at the Reisepavillon. Hanover 6 Pebruari 2005. Hidayati, D., Mujiyani, L.R., dan Andi, Z. 2003. Ekowisata Pembelajaran dari Kalimantan Timur. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan bekerja sama dengan LIPI. Iftikhar, A. 1997. Sustainable Utilization of Natural resources: A Community-based Conservation Effort in Bar Valley. Gilgit Pakistan. Recoft Report No. 15, RAP Publication: 1997:42. Indecon. 2003. Ekowisata, Prinsip, dan Kriteria. Jakarta: Ecotourism Indonesia. Inskeep, E. 1991. Tourism Planning: An Integrated and Sustainable Development Approach. New York: Van Nostrand Reinhold. Irawanto, R.2005. Konstruksi Nilai Sosial Budaya Arek dan Mataraman pada Positioning Iklan Lokal di Jawa Timur. Laporan Penelitian. Tidak diterbitkan. Khan, H. 1990. Tourism Effect on Singapore dalam Annals of Tourism Research. (17) : 408 418. Knudson, D.M. 1980. Outdoor Recreation. New York: Macmillan. Koentjaraningrat . 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru . Kokko, J. and Guerrier, Y. 1994. Over Education, Underemployment, and Job Satisfaction Hotel Recepsionist. International Journal Hospitality Management. 13 (4): 375-386. Kontogeorgopoulos, N. 2005. Community-Based Ecotourism in Phuket and Ao Phangnga, Thailand: Partial Victories ad Bittersweet Remedies dalam Journal of Sustainable Tourism 13 (1): Kusmayadi dan, Sugianto, E. 2000. Metodologi Penelitian Dalam Bidang Kepariwisataan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Laimer, P, Wei, J. (2006) Data sources on tourism expenditure The Austrian experiences taking into account the TBop requirement. In. International Workshop on Tourism Statistics, 17-20 July 2006, Madrid: UNWTO. Lane, B. 1994. What is Rrural Tourism?. Journal of Sustainable Tourism. 2 (1): 7-21. Leiper, N. 1990. Tourist Attraction System. Annals of Tourism Research. 17: 376384.

27

Li, Y. 2002. The Impact of Tourism in China on Lokal Communities dalam Asian Studies Review 26 (4): 471-486. Linberg, K. 1996. The Economic Impact of Ecotourism. www. unepie.org. Lobo, R.E., G.E. Goldman, D.A. Jolly, B.D. Wallace, W.L. Schrader and S.A. Parker. (1999) "Agricultural Tourism Benefits Agriculture in San Diego County." California Agriculture. Volume 53 (6) 20-24. Lobo, R. E. 2005. Definition of Agricultural Tourism. California Agriculture, University of California. Lopez, E.P., dan Garcia F.J.C.. 2006 Agrotourism, Sustainable Tourism and Ultraperipheral Area: The Case of Canary Island dalam Pasos Revista de Tourismo Patrimonio Cultural, Vol. 4 No. 1 page 85 97. Mcgehee, N.G., dan Andereck, K.L., Factors Predicting Rural Tourism Resisdents Support of Tourism dalam Journal of Travel Research, Vol. 43, November 2004, 131 - 140. Mantra, I.B. 2001. Langkah-Langkah Penelitian Survai Usulan Penelitian dan Laporan Penelitian. Yogyakarta: BPFG-UGM. Mathieson, A. dan Wall, G. 1982. Tourism: Economic, Physical and Sosial Impacts. London and New York: Longman. McCloy,D.B. 1975. Employment Research in the Canadian Travel Industry, Proceedings of the Travel Research Association. 6th Annual Conference San Diego: 49-51. Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP. 2000. Agenda 21 Sektoral Agenda Pariwisata untuk Pengembangan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan. Jakarta: Proyek Agenda 21 Sektoral Kerja sama Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP. Miles, M.B. dan Huberman M. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI-Press. Mill, R.C. and Morrison, A.M.. 1985. The Tourism System an Introductory Text. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Mann, Mark, 2000, The Community Tourism Guide, For Tourism Exciting Holidays for Responsible Travellers. UK: Eartscan Publications ltd. Morris, M.D. 1979. "The Physical Quality of Life Index (PQLI)". Development Digest 1: 95 109 Moscardini, L. M, dan Lawler K., 2011. Using System Dynamics to analyse the Economic Impact of Tourism Multipliers. procceding document, tidak dipublikasikan.

28

Mowforth, M., dan I. Munt. 1998. Tourism and Sustainability New Tourism in the World. London and New York: Routledge. Murphy, P.E. 1983. Tourism as a Community Industry. Tourism Management. 4: 180-193. Murphy, P.E. 1985. Tourism A Community Approach. London and New York: Longman Nainggolan, K. 2005. Pertanian Indonesia Kini dan Esok. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Nickerson, N.P., Rita B., and Stephen F. M. Agrotourism: Motivation Behind Farm/Ranch Business Diversification dalam Journal of Travel Research Vol. 40 Agustus 2001. Nicolau J.L, Ms F.J. (2005) Heckit modeling of tourist expenditure: evidence from Spain. International Journal of Service Industry Management 16(3): 271-293. Nurhidayati, S. E. 2005. Persepsi Masyarakat pada Peluang kerja dan peluang Usaha dalam Pengusahaan Agrowisata Wonosari Malang. Tesis. Tidak diterbitkan. Olson, D.H (ed). 1992. Familiy Inventories (Manual) : Family Social Science. USA: University Of Minnessota. Pantin, D dan Francis, J. 2005. Community Based Sustainable Tourism. UK: UWISEDU. Patilima, H. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alafabeta. Paul D, Lumsdon L, Weston R (2009) Visitor Expenditure: The Case Of Cycle Recreation And Tourism. Journal of Sport & Tourism 14(1): 25 - 42. Pearce, P.L., Moscardo, G. & Ross, G.F., 1991, Tourism impact and community perceptions : An equity-social representational perspective, Australian Psychologist, 26(3): 147 - 152. Perez, E.A., and Sampol, C.J. 2000. Tourist expenditure for mass tourism markets Annals of Tourism Research, 27(3): 624637. Picarrd, M. 2006. Bali: Tourisme Culturel et Culture Touristique diterjemahkan oleh Jean Couteau dan Warih Wisatsana, dengan judul Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Pitana, I. G. 2004, Pariwisata dan kebudayaan: Antara Paratisme dan Simbiosis Mutualisme. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Internasional Kebudayaan: Minangkabau Mulltikultural 24 Agustus 2004. Poon, A. 1993. Tourism, Technology, and Competitive Strategies. USA: CAB International.
29

Ramsey M., and Nathan A. Schaumleffel, 2006. Agritourism and Rural Economic Development , Indiana Business Review, 81 (3): 27-42. Riduwan dan Akdon. 2010. Rumus dan Data dalam Analisis Statistika. Bandung: Alfabeta. Roberts, L. dan Hall, D. 2001. Rural Tourism and Recreation Principles to Practice, UK: CABI Publishing. Sandmeyer, A.E. 2005. Community Based Ecotourism and Sustainable Community Development: Exploring the Relationship. Tesis. Dalhousie University Halifax, Nova Scotia. Tidak diterbitkan. Saptutyningsih, E.. 2003. Dampak perubahan pengeluaran wisatawan terhadap pendapatan rumah tangga di Indonesia Pendekatan Structural Path Analysis (SPA) dalam SNSE Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan 8(1): 1--18. Scheyvens, R. 1999. Ecotourism and the Empowerment of Lokal Communities dalam Tourism Management (20): 245 - 249. Sempol C.J, Perez E.A. 2000. Tourist Expenditure Determinants in a Cross-Section Data Model. Annuals of Tourism Research.27(3): 1-9. Setia, T.H. 1999. Peraturan Perundang-Undangan Kepariwisataan di Indonesia. Jakarta: Harvarindo. Sharpe, A. 1999. A Survey of Indicators of Economic and Social Well-being. Paper. tidak diterbitkan. Sharpley, R. 2000. Tourism and Sustainable Development: Exploring the Theoretical Divice..Journal Of Sustainable Tourism.8 (1): 1 - 19. Shelson, P. J. 1997. Tourism Information Technology. USA: Cabi International. Siagian, S.P. 1994. Administrasi Pembangunan. Jakarta : Gunung Agung. Sinclair, M.T. 1997. Gender, Work, and Tourism. London and new York: Routledge. Siregar, L. 2002. Antropologi dan Konsep kebudayaan. Papua Journal of Sosial and Cultural Antropology. 1(1): 1-12. Soba, H. 2003. Membidik Agrowisata Suara Pembaharuan, 6 Februari: 4. Spillane, J. 1994. Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan prospeknya.Yogyakarta: Kanisius. Suansri, P. 2003. Community Based Tourism Handbook. Thailand: REST Project Sugiyono. 2003. Statistika untuk Penelitian.Bandung: CV. Alvabeta. Sulaiman, W. 2002. Jalan Pintas Menguasai SPSS 10. Yogyakarta. Penerbit Andi.
30

-------------------. 2003. Analisis Regresi Menggunakan SPSS : Contoh kasus dan Pemecahannya. Yogyakarta: Penerbit Andi. Suhandi, A.S. Ekowisata, Harapan dan Tantangan dalam Sinar Harapan. 02 Oktober 2003. Sumarwoto, J. 1990. Pengembangan Agrowisata: Potensi dan Prospek. Makalah dalam Seminar Nasional: Pembangunan Pertanian & Pedesaan Sumatera. Berastagi, 5-8 Maret. Sutjipta, I.N. 2001. Agrowisata. Diktat kuliah di Agribisnis:Universitas Udayana. Tidak diterbitkan. Magister Manajemen

Suwandi. 2005. Agropolitan Merentas Jalan menuju Harapan. Jakarta: Duta Karya Swasta . Strauss, A., dan Juliet , C. 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif (terjemahan dari Basic Of Qualitative Research Grounded Theory Procedure and Techniques), Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Swain, N. B. 1995. Gender in Tourism Annals of Tourism Research. 22 (2): 247266. Taylor, S.J. dan Bogdan, R,. 1990. Quality of Life and the individuals Perception in L.R. Schlock (Ed.) Quality of Life: Perspective and Issue. USA: American Assosiasion on mental Retardation, special Publication. Timothy, D.J. 1999. Participatory Planning: a View of Tourism in Indonesia Annals of Tourism Research . 26 (2): 27-40. Tosun, C. dan Timothy D.J. 2003. Arguments for Community Participation in The Tourism Development Process The Journal of Tourism Studies 14 (2): 2 15. Utama, I.G.B.Rai, 2009. Agrowisata Sebagai Pariwisata Alternatif. dalam http://www.gdnet.org/CMS/fulltext/1164925881_Buku_Agrowisata.doc.) diakses tanggal 10 Januari 2010 UNEP and WTO . 2005. Making Tourism More Sustainable: a Guide for Policy Makers, tidak diterbitkan. UNCTAD. 2007, Trade and Development Implications of International Tourism for Developing Countries: Issues Note for Discussion www.unctad.org/ sections/ ditc_tncdb_comdip0017_en.pdf. diakses tanggal 12 Desember 2011. Wall, G. dan Mathieson, A. 2006. Tourism, Change, Impact and Opportunities. London: Pearson Prentice Hall.

31

Warpani, S.P., dan Warpani, I. 2007, Pariwisata dalam Tata Ruang Wilayah, Bandung: Penerbit ITB. Weaning, S, and Neil, J. 2000. Ecotourism: Impact, Potential, and Possibilities. London: Butterworth Heinemann. Windia, W., Wiratha, M. dan Suambi, K., 2003, Model Pengembangan Agrowisata di Bali, dalam http//:ejurnal.unud.ac.id diakses tanggal 10 Februari, 2008. Wood, M.E. 2002. Ecotourism, Principless, Practice, and Policies. USA: United Nation Publication. (www.unepie.org). Worldbank. 1999. The Initiative On Defining, Monitoring And Measuring Social Capital, Working Paper. http://www.worldbank.org/socialdevelopment. Yaman, A.R. dan Abdullah, M. 2004. Community-based Ecotourism: New Proposition for Sustainable Development and Environment Conservation in Malaysia Journal of Applied Sciences 4 (4):583 - 589. Yoeti. O.A. 2008. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata, Bandung: Pradnya Paramita. --------------. 2008. Ekonomi Pariwisata: Introduksi, Informasi, dan Aplikasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. --------------. 2010. Dasar-dasar Pengertian Hopitaliti dan Pariwisata. Bandung: Alumni. Young, E. 1999a. Balancing Conservation with Development in Small-scale Fisheries : Is Ecotourism an Empty Promise?. J. Human Ecology :27(4):581620. -----------. 1999b. Local People and Conservation in Mexicos El Vizcaino Biosphere Reserve. The Geographical Review :89(3):364 - 390. INTERNET: http://wwwuwex.edu/ces/ag/sus/html diakses pada 31 Desember 2005 http://www.choike.org diakses pada Januari 2006 http://sfc.ucdavis.edu/agritourism/factsheets/what.html diakses pada 27 Juni 2006 http://www.wwf.no/pdf/tourism guidelines.pdf diakses pada 25 Juli 2006 http://www.panda.org diakses pada 25 Juli 2006 http://www.planeta.com diakses pada 29 Juli 2006 http://www.livinglands.org.hk/archive/c-b_tourism_for_Lantau.pdf diakses pada Juli 2007 http://www.farmstop.com/aboutagritourism.asp, diakses pada 14 Februari 2008 http://www.bahanamahasiswa.com, diakses pada 14 Desember 2011. http://yasinta-sari.blogspot.com, diakses pada 22 Desember 2011 http://www.undp.org.sa , diakses pada 5 Desember 2011 http://perypatayat.wordpress.com diakses pada 6 Februari 2012
32

http://id.wikipedia.org/wiki/Konservasi diakses pada 10 Desember 2011 http://www.biology-online.org/dictionary diakses pada 11 Desember 2011 http://www.batukota.go.id diakses pada 11 Maret 2011 http://lintascafe.com diakses tanggal 12 Februari 2012
http://infocsr.net diakses tanggal 15 Maret 2012.

33

Anda mungkin juga menyukai