Anda di halaman 1dari 20

PENDAHULUAN

Pada umumnya prevalensi cacing tambang berkisar antara 30 50% di berbagai daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan seperti di perkebunan karet di Sukabumi, Jawa Barat (93,1%) dan di perkebunan kopi di Jawa Timur (80,69%). Prevalensi infeksi cacing tambang cenderung meningkat dengan meningkatnya umur. Tingginya prevalensi juga dipengaruhi oleh sifat pekerjaan sekelompok karyawan atau penduduk. Sebagai contoh dapat dikemukakan sebagai berikut : kelompok karyawan wanita maupun pria yang menolah tanah di perkebunan teh atau karet, akan terus menerus terpapar terhadap kontaminasi. Beberapa spesies cacing tambang yang penting, diantaranya : 1. Necator americanus 2. Ancylostoma duodenale 3. Ancylostoma braziliense 4. Ancylostoma ceylanicum 5. Ancylostoma caninum Cacing ini memerlukan tanah pasir yang gembur, tercampur humus dan terlindung dari sinar matahari langsung. Telur cacing tambang menetas menjadi larva rabditiform dalam waktu 24-36 jam untuk kemudian pada hari ke 5 8 menjadi bentuk filariform yang infektif. Suhu optimum bagi N.americanus adalah 28C 32 C dan untuk A.duodenale adalah sedikit lebih rendah 23C 25 C. Ini salah satu sebab mengapa N.americanus lebih banyak ditemukan di Indonesia daripada A.duodenale. Larva filariform cacing tambang dapat bertahan 7 8 minggu di tanah dan harus masuk menembus kulit manusia untuk meneruskan lingakaran hidupnya. Larva cacing tambang ini memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya, oleh karena itu olahan tanah dalam bentuk apapun di lahan pertanian dan perkebunan akan menguntungkan pertumbuhan larva. Pencegahan dan Pemberantasan Pencegahan dan pemberantasan cacing-cacing ini adalah dengan : 1. Memutuskan rantai daun hidup dengan cara : a. Berdefekasi di kakus

b. Menjaga kebersihan, cukup air bersih di kakus, mandi dan cuci tangan secara teratur. c. Pengobatan masal dengan antelmintik yang efektif, terutama pada golongan rawan. 2. Pemberian penyuluhan kepada masyarakat mengenai sanitasi lingkungan yang baik dan cara menghindari infeksi cacing-cacing ini. Pengalaman membuktikan, bahwa ketentuan-ketentuan yang tertera di atas sangat sulit diterapkan di suatu masyarakat yang sedang berkembang. Pengertian sanitasi lingkungan yang baik sulit dikembangkan dalam masyarakat yang mempunyai keadaan sosio-ekonomi rendah, dengna keadaan seperti berikut : Rumah-rumah berhimpitan di daerah kumuh (slum area) di kota-kota besar yang mempunyai sanitasi lingkungan buruk, khususnya tempat anak balita tumbuh. Di daerah pedesaan anak berdefekasi dekat rumah dan orang dewasa di pinggir kali, di lading dan perkebunan tempat ia bekerja. Penggunaan tinja yang mengandung telur hidup untuk pupuk di kebun sayuran. Pengolah tanah pertanian/perkebunan dan pertambangan dengan tangan dan kaki telanjang, tidak terlindung. Pengobatan masal meskipun ada obat yang mapuh, sulit dilaksanakan, karena harus dilakukan 3 4 kali setahun dan harga obat tidak terjangkau. Maka penyuluhan kepada masyarakat menjadi penting sekali dan dititik beratkan pada perubahan perilaku yang mempertinggi prevalensi infeksi cacing dan mengembangkan sanitasi lingkungan yang baik. Dengan demikian keadaan endemic dapat dikurangi dan angka kesakitan (morbiditas) yang tinggi dapat diturunkan dalam masyarakat.

Infeksi Cacing Tambang


Peter J. Hotez, MD, Ph.D., Simon Brooker, D.Phil., Maria Elena Bottazzi, Ph.D., Alex Loukas, Ph.D., dan Shuhua Xiao MD Infeksi cacing tambang pada manusia disebabkan oleh infeksi cacing nematode parasit Necator americanus dan Ancylostoma duodenale dan ditularkan melalui kontak dengan tanah yang terkontaminasi. Infeksi cacing tambang adalah salah satu infeksi kronis yang paling umum, dengan perkiraan 740 kasus di daerah pedesaan miskin di daerah tropis dan subtropis. Karena infeksi cacing tambang terjadi kebanyakan di kalangan orang-orang yang paling miskin di dunia, infeksi cacing menduduki tempat yang unik dalam sejarah modern. Yakni, reputasi China pra-1949 sebagai orang sakit dari Asia adalah sebagian hasil dari prevalensi tinggi dan intensitas infeksi cacing tambang. Mohandas Ghandi terjangkit infeksi cacing tambang di akhir hidupnya. Cacing tambang juga merupakan faktor yang memberikan kontribusi dalam memperlambat perkembangan ekonomi selama awal abad 20 di bagian barat Amerika Serikat. Sekarang, infeksi cacing tambang adalah di antara penyakit tropis yang paling penting pada manusia; penggunaan tahun-tahun kehidupan yang disesuaikan kecacatan sebagai sebuah ukuran kuantitatif dari beban penyakit memperlihatkan bahwa infeksi ini mempunyai tingkat yang lebih tinggi dari trypanosomiasis Afrika, demam berdarah, penyakit Chagas, schistosomiasis dan leprosy. Jumlah terbesar kasus cacing tambang terjadi di Asia, diikuti oleh sub-Sahara Afrika. Di China saja, sekitar 190 juta orang terinfeksi cacing tambang, sebuah perkiraan yang didasarkan pada sebuah studi/penelitian nasional yang melibatkan pemeriksaan spesimen kotoran yang diambil dari hampir 1.5 juta orang antara 1988 dan 1992. N.Americanus adalah cacing tambang yang paling umum di seluruh dunia, sementara A. duodenale lebih terbatas secara geografis. Berbeda dengan spesies anthropophilic utama ini, tiga spesies cacing tambang zoonotis adalah penyebab minor penyakit pada manusia. A. ceylanicum menginfeksi anjing dan kucing dan juga bisa menginfeksi manusia tetapi tidak dianggap sebagai pathogen penting. Cacing tambang anjing A. caninum menyebabkan manusia enteritis eosinopholik di timur laut Australia, dan A. braziliense menyebabkan cutaneous larva migrans.

Patofisiologi dan Klinis Penya kit

Invasi Larva Pada Jaringan Beberapa rata-rata tertinggi dari penularan cacing tambang terjadi di daerah pantai dunia, di mana tahap ketiga larva yang bisa menginfeksi dapat bermigrasi secara bebas pada tanah berpasir di mana temperatur dan kelembaban cukup optimal untuk kelangsungan hidup larva. Di wilayah-wilayah ini, terpapar yang terjadi berulang-ulang oleh tahap ketiga larva N. americanus atau A. duodenale menyebabkan pruritis local, erythematous, papular local yang dikenal sebagai ground itch. Walaupun seluruh permukaan tubuh rentan, ground itchi lebih sering muncul di tangan dan kaki, yang merupakan tempat utama masuk untuk tahap ketiga larva. Berbeda dengan ground itch, kulit yang diinvasi oleh zoonotik A. braziliense tahap ketiga larva menghasilkan larva migrans cutaneous, atau creeping eruption, sebuah kondisi dermatologis yang self-limited yang ditandai oleh lubang serpiginous, 1 5 cm panjangnya. Disebabkan oleh tahap ketiga larva yang bermigrasi pada epidermis, lubang mucul pada kaki di 39 persen kasus (Gambar 1), pada bokong sebanyak 18 persen, dan pada abdomen sebanyak 16 persen; dalam kasus yang lain, lubang kebanyakan muncul dibagian bawah kaki, lengan dan wajah. Di Amerika Serikat, larva migrans cutaneous umumnya terlihat pada personel militer, pada pelancong yang pulang dari tempat berlibur yang memiliki pantai berpasir, dan pada penduduk Florida dan Gulf Coast; larva migrans ini berhasil ditangani dengan sukses dengan penggunaan pengobatan oral jangka pendek dengan albendazole atau ivermectin.

Gambar 1. Larva migrans cutaneous disebabkan oleh Ancylostoma braziliense.

Sementara di tanah, tahap ketiga larva berada dalam keadaan pemberhentian perkembangan; perkembangan mulai kembali sesudah larva masuk ke dalam host. Pada manusia, jalan masuk melalui kulit diikuti dalam waktu 10 hari oleh migrasi larva ke dalam paru-paru (Gambar 2), menyebabkan batuk dan sakit tenggorokan. Infeksi cacing tambang

paru-paru menyerupai sindrom Lffler karena hubungannya dengan eosinophilia dalam paruparu. Dalam kasus yang jarang, pneumonitis menyertai larva migrans cutaneous. Cacing tambang pneumonitis biasanya tidak parah, walaupun mungkin akan bertahan selama lebih dari sebulan, sampai larva meninggalkan paru-paru dan masuk ke saluran percernaan. Hal ini tidak dikenali secara umum bahwa A. duodenale tahap ketiga larva menginfeksi manusia melalui mulut dan kulit. Ketika infeksi oleh A. duodenale terjadi melalui mulut, migrasi awal dari tahap ketiga larva menyebabkan sebuah sindrom yang dikenal dengan penyakit Wakana, yang ditandai dengan mual, muntah, iritasi pharyngeal, batuk, kesulitan bernafas, dan suara serak. Peningkatan tingkat sirkulasi IgE terjadi sebagai respon pada migrasi larva tingkat tiga di paru-paru dan usus.

Gambar 2. Siklus kehidupan Necator americanus dan Ancylostoma duodenale Keterangan Gambar 2 : Manusia mendapatkan cacing tambang ketika tahap ketiga larva yang bersifat infektif berada di tanah menembus kulit (seperti halnya juga N. americanus and A. duodenale ) atau ketika

larva tersebut tertelan (hanya A. duodenale ). Larva masing-masing panjangnya kira-kira 600 m dan terhenti secara perkembangan. Setelah memasuki host, larva menerima signal yang berasal dari host yang menyebabkan mereka kembali berkembang. Larva kemudian migrasi melalui pembuluh darah dan tersapu oleh sirkulasi aferen ke sisi kanan jantung dan kemudian ke pembuluh darah paru-paru. Dari kapiler paru-paru, larva pecah dan memasuki parenkim, di mana mereka naik ke alveoli, bronchioles, bronkus dan trakea. Setelah terbatukan dan tertelan, larva memasuki saluran perncernaan, di mana mereka berganti kulit dua kali dan berkembang menjadi dewasa. Kira-kira enam atau delapan minggu berlalu dari saat pertama larva menginfeksi manusia sampai mereka mencapai kematangan seksual dan berpasangan. Tiap cacing tambang betina menghasilkan ribuan telur tiap harinya. Kehilangan darah usus pada host inang dimulai tepat sebelum produksi telur dan pelepasan dan berlanjut untuk kehidupan cacing tambang. Cacing tambang ke luar dari tubuh melalui tinja. Ketika tersimpan dalam tanah, dengan kehangatan yang memadai, keteduhan, dan kelembaban, telur menetas dalam waktu 24 48 jam dan berkembang menjadi larva tahap pertama. Larva-larva ini berganti kulit dua kali ketika mereka berkembang menjadi tahap tiga. Larva adalah organism yang tidak diberi makan/nonfeeding yang dapat hidup untuk beberapa minggu dalam tanah, sampai mereka menghabiskan penggunaan cadangan metabolis lipid mereka. Penularan cacing tambang yang paling dominan di daerah-daerah di mana ada kelembaban yang tinggi dan kondisi tanah yang sesuai. Tanah berpasir yang mengandung lumpur (contohnya, lempung pasir) adalah yang paling disukai dan menjadi satu-satunya faktor prevalensi tinggi infeksi cacing tambang di daerah-daerah pantai. (Diadaptasi/disadur dari Despommier et al.8)

Klinis Penyakit
Cacing tambang utama yang berhubungan dengan cedera pada manusia terjadi ketika parasit dewasa menyebabkan kehilangan darah pada interstitial
14,15,16

. Istilah penyakit

cacing tambang merujuk utamanya pada anemia karena kekurangan zat besi yang merupakan akibat dari infeksi yang yang sedang atau berat. Kehilangan darah terjadi ketika cacing-cacing tersebut menggunakan alat pemotong untuk menempelkan mereka pada mucosa dan submucosa intestinal/usus dan mengerutkan esophagi otot mereka untuk menciptakan tekanan negative, yang menghisap potongan jaringan kedalam kapsul buccal mereka (Gambar 3). Kapiler dan arteriol pecah bukan hanya secara mekanis tetapi juga secara kimiawi, melalui aksi dari enzim hidrolitis. Untuk memastikan aliran darah, cacing tambang

dewasa mengeluarkan agen/unsure anticlotting. 17,18 (Salah satunya, sebuah faktor VIIa/faktor inhibitor jaringan, yang sedang dikembangkan sebagai sebuah unsure terapetis untuk memblokir coagulopathy dari infeksi fulminant dikarenakan virus Ebola.19) Cacing tambang mencerna sebagian dari darah extravasasi. Beberapa sel darah merah mengalami lisis,

sehingga melepaskan hemoglobin, yang dicerna oleh sebuah kaskade hemoglobinases yang menandai usus parasit.

Gambar 3. Patogenesis dan Sequelae Klinis dari Penyakit Cacing Tambang. Panel A memperlihatkan sebuah pemindai mikrograf electron Necator americanus. Capsul buccal ditandai dengan

memotong plat yang memungkinkan parasit dewasa untuk memakan mucosa intestinal, submucosa dan darah. Tiap cacing tambang panjangnya berkisar dari 5 sampai 13 mm dan menyebabkan kehilangan darah 0,3 ml per hari. (Foto oleh David Scharf; dicetak ulang dari Despommier et al.8 dengan izin dari penerbit.) Panel B memperlihatkan seekor cacing tambang dewasa memakan mucosa intestinal dan submucosa (hematoxylin dan Eosin). (Foto courtesy Dr. Bernard Zook, Departemen Patologi, George Washington University Medical Center.)

Manifestasi klinis utama dari penyakit cacing tambang adalah konsekuensi dari kehilangan darah interstinal yang kronis. Anemia karena kekurangan zat besi terjadi dan hypoalbuminemia berkembang ketika kehilangan darah melebihi asupan dan cadangan zat besi host dan protein.15 Bergantung pada status zat besi host, beban cacing tambang (yakni, intensitas infeksi, atau jumlah cacing per orang) dari 40 sampai 160 cacing diasosiasikan dengan tingkat hemoglobin di bawah 11g per desiliter.21,22 Namun, studi lain telah memperlihakan bahwa anemia bisa terjadi dengan beban cacing tambang yang lebih ringan.23

Karena infeksi oleh A.duodenale menyebabkan kehilangan darah yang lebih hebat dibandingkan terinfeksi oleh N. americanus, tingkatan anemia karena kekurangan zat besi yang disebabkan oleh cacing tambang bergantung pada spesies.16 Contohnya, di Zanzibar, di antara anak-anak yang terinfeksi hanya dengan cacing tambang N. americanus, prevalensi hypoferritinemia (tingkat ferritin, <12 g per liter) adalah 33.1 persen, sementara pada anakanak yang terinfeksi oleh cacing tambang A. duodenale, prevalensinya adalah 58.9 persen.24 Ketika cadangan zat besi di host menjadi habis/berkurang, ada sebuah korelasi langsung antara intensitas infeksi cacing tambang (biasanya diukur dengan total jumlah telur kuntitatif) dan penurunan pada hemoglobin, serum ferritin, dan tingkat protoporphyrin (Gambar 4).15,24

Gambar 4. Hubungan antara Berat Cacing Tambang dan Anemia. Keterangan Gambar 4 : Total jumlah telur kuantitatif berfungsi sebagai ukuran tidak langsung dari berat cacing tambang dewasa (yakni, jumlah cacing per pasien). Tingkat hemoglobin turun dalam proporsi terhadap infeksi. (Data dari Albonico et al.16)

Kebanyakan tanda fisik dari infeksi cacing tambang kronis mencerminkan adanya anemia karena kekurangan zat besi. Selain itu, anasarca dari plasma hypoproteinemia yang luas diasosiasikan dengan edema di wajah dan anggota tubuh bagian bawah dan dengan perut gendut. Kulit menjadi licin dan memperoleh warna kekuningan yang tidak sehat (sebuah fitur chlorosis tropis). Cacing tambang dapat menyebabkan hypothermia yang cukup

parah untuk mengurangi demam yang disebabkan oleh malaria.25 Selain dari anemia microcytic hypochromic, penemuan laboratorium yang paling menonjol adalah eosinophilia. Eosinophilia mencapai puncaknya pada lima sampai Sembilan minggu setelah awal infeksi, sebuah periode yang bertepatan dengan kemunculan cacing tambang dewasa dalam usus.13 Pasien dengan beban cacing tambang yang lebih ringan biasanya asympthomatis/tanpa gejala; namun, beberapa pasien melaporkan perbaikan klinis subjektif setelah diobati.25 Beban cacing tambang yang sedang atau berat mengakibatkan rasa sakit epigastris dan fisik yang lemah, mual, exertional dyspnea, rasa sakit ekstremitis pada bagian bawah, palpitasi, nyeri sendi dan sternum, sakit kepala, kelelahan dan impotensi.27,28 Pada orang dewasa, kapasitas untuk bekerja mungkin akan terpengaruh secara berbeda-beda, dan banyak orang melaporkan ketidakmampuan bekerja.26,29 Penyakit Cacing Tambang pada Para Ibu dan Anak-anak Keseluruhan prevalensi dan intensitas infeksi cacing tambang lebih tinggi pada lakilaki dibandingkan dengan perempuan, sebagian karena lelaki kemungkinan terpapar yang lebih besar terhadap infeksi. Namun, wanita dan anak-anak kecil memiliki cadangan zat besi yang paling sedikit dan sehingga sangat rentan terhadap kehilangan darah kronis sebagai akibat dari infeksi cacing tambang.15,24 Pada anak-anak, penyakit cacing tambang kronis menghambat pertumbuhan fisik,
30

yang kadang-kadang lebih menjadi jelas saat pubertas.

Kira-kira 80 tahun yang lalu, sebuah korelasi terbalik diamati antara jumlah cacing tambang dan kecerdasan anak.31 Bukti yang lebih terbaru menunjukan bahwa infeksi cacing tambang juga tidak jelas tetapi efek berbahaya yang mendalam pada ingatan, kemampuan penalaran, dan pemahaman bacaan di masa kanak-kanak.32 Sebagian besar efek ini kemungkinan dapat memberikan kontribusi terhadap adanya anemia karena kekurangan zat besi. Bayi dan anak anak pra-sekolah khususnya, mereka rentan terhadap kekurangan perkembangan dan perilaku yang disebabkan oleh anemia karena kurang zat besi, 33 dan dua analisis mengindikasikan bahwa infeksi cacing tambang tetap menjadi kontributor penting bagi anemia pada kelompok usia ini. Infeksi cacing tambang pada anak-anak bisa mengurangi kehadiran di sekolah, dengan efek berikutnya pada produktifitas dan potensi pendapatan penghasilan pada masa kedewasaan.4,29 Infeksi cacing tambang dianggap sebagai ancaman kesehatan yang utama bagi remaja putri dan wanita pada usia produktif, dengan efek negative/berbahaya pada hasil kehamilannya.22,36,37 Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa dikarenakan

kebutuhan fisiologis yang meningkat untuk zat besi selama kehamilan dikombinasikan dengan kekurangan gizi, lebih dari setengah wanita hamil di negara berkembang memiliki masalah yang berhubungan dengan anemia karena kekurangan zat besi.37 Anemia karena kekurangan zat besi yang parah saat kehamilan telah dihubungkan pada angka kematian ibu, laktasi cacat, dan premature dan berat badan lahir yang rendah.37 Diperkirakan 44 juta wanita hamil terinfeksi oleh cacing tambang di seluruh dunia, dengan 7.5 juta di Sub-Sahara saja.22,38 Pada tahun 1929 A.C. Chandler pertamakali menyebutkan bahwa kehamilan adalah faktor yang kuat dalam menekankan efek dari penyakit cacing tambang, atau mungkin akan lebih akurat untuk menyebutkan sebaliknya.39 Diperkirakan di Kenya dan Nepal menunjukan bahwa infeksi cacing tambang menyebabkan 30 persen dan 41 persen, masing-masing, kasus yang sedang atau parah dari anemia di antara wanita hamil (tingkat hemoglobin, <9 g per desiliter).15 Hubungan antara infeksi cacing tambang dan anemia sangat besar dalam multigravidas.40,41 Telah diperkirakan bahwa di Cina dan di wilayah lain di mana terjadi A. duodenale, infeksi cacing tambang selama kehamilan dapat mengakibatkan penularan vertical pada neonates, kemungkinan melalui menelan tahap ketiga larva A. duodenale dalam susu atau kolostrum.42 Di banyak daerah sub-Sahara Afrika, penyakit cacing tambang bertumpang tindih secara geografis dengan malaria falciparum. Dikarenakan banyak dari morbiditas diasosiasikan dengan kedua penyakit yang diakibatkan oleh anemia 14,15,43 ada kemungkinan bahwa penyakit cacing tambang memperparah anemia malaria dan sebaliknya. Sebuah jalan potensial yang menjanjikan dari penelitian adalah pemeriksaan lebih lanjut infeksi coendemis, seperti infeksi cacing tambang, malaria dan infeksi HIV, di mana morbiditas sangat besar disebakan atau setidaknya sebagian dikarenakan anemia 15,43,44 Diagnosa pada Para Pelancong yang Pulang dan I migran Manifestasi cutaneous infeksi cacing tambang harus dibedakan dari dermatitis cercarial (swimmers itch) dan creeping eruption dari penyebab yang lain, seperti gnathostomiasis, strongyloidiasis, dan infeksi karena larva lalat. Manifestasi paru -paru biasanya tidak cukup spesifik untuk menghubungkan mereka khususnya pada cacing tambang. Eosinophilia yang kuat pada para pengungsi, khususnya mereka yang berasal dari Asia Tenggara, umumnya dihubungkan dengan infeksi cacing tambang aktif.45 Kelemahan abdominal atau adanya anemia karena kekurangan zat besi pada para imigran dari daerah -daerah di mana cacing tambang adalah investigasi penyelidikan endemik untuk infeksi.27 Pemeriksaan mikroskopis

kotoran yang tidak terkonsentrasi cukup untuk mengindentifikasi telur-telur cacing tambang dan untuk mendiagnosa secara klinis infeksi penting. Beberapa teknik kuantitatif yang tersedia untuk memperkirakan hasil produksi telur cacing tambang; teknik-teknik ini bermanfaat untuk studi epidemiologis karena mereka memberikan pengukuran yang tidak langsung dari beban cacing. Telur A. duodenale dan N. americanus tidak dapat dibedakan, walaupun reaksi rantai polymerase dan pemeriksaan morfologis tahap ketiga larva yang dibiakan dapat membedakan dua spesies tersebut.46 Infeksi cacing tambang Zoonotis tidak menyebabkan infeksi yang berisi telur pada manusia

Epidemiologi, Pengobatan, dan Prospek untu k Pengendalian


Penyebaran yang berlebihan dari dan Kecenderungan pada Infeksi Cacing Tambang Di semua daerah di mana cacing tambang merupakan endemik, variasi dalam beban cacing di antara orang-orang yang terinfeksi cukup besar. Infeksi intensitas tinggi dan intensitas rendah telah dicatat di antara orang-orang yang tinggal di kondisi yang sama yang terpapar oleh parasit. Distribusi beban cacing di antara host manusia yang berbeda penyebaran yang berlebihan cukup tinggi sehingga sering hanya 10 persen dari populasi yang terinfeksi membawa 70 persen cacing.47 Karena kebanyakan cacing tidak bereplikasi pada manusia, rata-rata morbiditas dari infeksi oleh cacing umumnya tertinggi di antara pasien pasien dengan beban cacing terberat. Ada bukti bahwa beberapa orang cenderung memiliki beban cacing tambang yang berat (atau ringan) dikarenakan oleh baik genetik maupun faktor terpapar.48,49 Cacing Tanah dan Umur Bagi banyak infeksi cacing yang umum, termasuk ascariasis, trichuriasis, dan schistosomiasis, intensitas infeksi biasanya memuncak saat masa kanak-kanak dan remaja (Gambar 5).47 Sebaliknya, ada variasi yang penting/banyak pada umur-profil intensitas infeksi cacing tambang. Walaupun beban cacing tambang mungkin berat pada anak-anak, khususnya mereka di sub-Sahara Afrika,30,34 pola yang paling umum dikenali adalah peningkatan yang stabil pada intesitas infeksi saat anak-anak, dan baik dengan puncak atau dataran tinggi/penurunan pada masa kedewasaan. Di Cina, umur berpengaruh sebanyak 27 persen dari variasi intensitas infeksi cacing tambang, dengan intensitas tertinggi di antara orang-

50 orang setengah baya, atau bahkan pada mereka yang berumur lebih dari 60 tahun. Pola

infeksi seperti itu memiliki implikasi terhadap populasi lansia dunia yang meluas.

Gambar 5. Pola Infeksi Cacing Tambang Berdasarkan Umur. Keterangan Gambar 5 : Beban cacing tambang meningkat dengan usia, berbeda dengan beban cacing yang ditransmisikan oleh tanah (contohnya, Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura), yang jumlahnya sangat tinggi pada anak-anak. Beban cacing diperlihatkan dalam unit arbitrary untuk menekankan bentuk relative kurva.

Pengamatan bahwa intensitas infeksi cacing tambang meningkat dengan usia telah mengarah pada pernyataane bahwa cacing tambang bisa menghindar atau juga menekan respon kekebalan tubuh inang.51,52 Untuk memahami bagaimana hal ini terjadi, beberapa para peneliti telah menggambarkan atau mengisolasi anti-inflammatory/anti peradangan dan molekul immunomudulatory dari cacing tambang dewasa, termasuk faktor T-sell apoptotis, antagonis integrin host CD11b dan CD18, protein yang mengikat retinol, lectin tipe C, penghambat jaringan metalloproteases, protein sekretori yang kaya cysteine, dan faktor yang merusak eotaxin.53 Polypeptides bioaktif ini juga bisa memiliki efek yang mencakup seluruh sistem yang menurunkan respon host terhadap infeksi lain. Dalam proses penggalian genum

cacing tambang,54 para peneliti cenderung untuk menemukan molekul tambahan.55 Studi lebih lanjut tentang molekul immunomodulating berasal dari parasit yang mungkin menjelaskan kemunculan kontroversi tentang pertanyaan apakah cacing tambang seperti halnya cacing yang lain memberikan kontribusi untuk kerentanan terhadap infeksi HIV, Pengurangan Cacing - Berbasis Sekolah Meskipun sanitasi yang layak dan alas kaki sering dianggap penting untuk pengendalian cacing tambang, efek dari sanitasi dan alas kaki terhadap transmisi ini sering baik tidak penting atau jelas hanya sesudah beberapa decade.50,53,58 Pilihan pengobatan tertentu untuk menghilangkan cacing tambang dari usus adalah satu dosis benzimidazole anthelmintic, baik albendazole (400mg) ataupun mebendazole (50mg).59 unsur manapun biasanya mengurangi beban cacing tambang sampai pada tingkat di bawah ambang batas yang dapat menyebabkan penyakit, dan kedua unsur tersebut tersedia secara generik dengan biaya rendah. Dikarenakan hal ini, sebuah resolusi diajukan pada Majelis Kesehatan Dunia tahun 2001 memaksa negara-negara untuk mengendalikan schistosomiasis dan cacing yang ditransmisikan lewat tanah ascariasis, trichuriasis, dan infeksi cacing tambang. Target global adalah pada tahun 2010 untuk menyediakan pengobatan rutin setidaknya 75 persen dari semua anak-anak usia sekolah yang beresiko terkena infeksi, menggunakan benzimidazole anthelmintic saja atau bersama dengan praziquantel.37 Pada waktunya, hal ini menjadi program kesehatan public terbesar yang pernah dicoba.
60

Dasar pemikiran untuk

memfokuskan pada sekolah-sekolah adalah bahwa anak-anak usia sekolah memiliki intensitas tingi terhadap infeksi ascaris, trichuris, dan schistosome dari kelompok usia manapun, dan sekolah-sekolah anthelmintics.
37,61

menyediakan cara biaya efektif untuk memberikan

Benzimidazole anthelmintic manapun dapat diberikan sebagai satu tablet

kepada semua anak, terlepas dari ukuran dan usia. Dalam masyarakat di mana infeksi adalah hal yang umum, dokter dapat menawarkan pengobatan kepada semua anak tanpa perlu untuk memeriksa tiap anak untuk keberadaan cacing. Dengan dukungan dari sistem kesehatan local,
37,69 para guru dapat dengan aman memberikan benzimidazole anthelmintics dan praziquantel.

Pengurangan cacing - berbasis Sekolah menawarkan sejumlah yang berhubungan dengan kesehatan dan keuntungan lainnya bagi anak-anak, termasuk perbaikan dalam status zat besi dan hemoglobin,62,63 dalam pertumbuhan fisik,30,63 dalam kognitif, dalam pencapaian pendidikan, dan dalam absensi kehadiran,63,64 juga sebagai keuntungan utama bagi seluruh masyarakat, termasuk mengurangi transmisi cacing melalui tanah dan beban penyakit rendah,

khususnya untuk ascariasis dan trichuriasis.61,63,65 Namun kurang begitu jelas apakah efek pengurangan cacing berbasis sekolah akan terus mengurangi beban penyakit cacing tambang dalam sebuah masyarakat. Karena beban penyakit sering terkonsentrasi di antara populasi dewasa (termasuk para wanita dan usia reproduktif), dan karena anak-anak pra-sekolah khususnya rentan terhadap efek dari kekurangan zat besi,
33,34

dalam beberapa program

komunitas berbasis sekolah melewatkan populasi penting yang rentan yang beresiko terkena cacing tambang. Berbeda dengan infeksi oleh ascaris dan trichuris, kemungkinan bahwa pengurangan cacing berbasis sekolah akan mengurangi transmisi cacing tambang.66 Namun, di daerah-daerah di mana cacing tambang adalah endemik, terinfeksi ulang sering terjadi hanya dalam beberapa bulan setelah pengurangan cacing dengan menggunakan benzimidazole anthelmintic.67 Dalam beberapa kasus, pengobatan diperlukan tiga kali setahun untuk meningkatkan status zat besi host.63,68 Data tambahan mengindikasikan bahwa kemanjuran pengobatan dengan benzimidazole anthelmintics berkurang setelah periode terapi.69 Masalah-masalah ini, dibarengi dengan kepedulian teoritis tentang kemunculan resistensi terhadap benzimidazole anthelmintics,70 telah mengarah pada usaha di antara para peneliti untuk mengidentifikasi alat-alat yang baru untuk mengontrol cacing tambang. Untuk dicatat, pengurangan kemiskinan dan perkembangan ekonomi yang meningkat telah lebih banyak menghilangkan infeksi cacing tambang di negara-negara industry dibandingkan faktor lainnya, termasuk sanitasi, penggunaan anthelmintics, penggunaan alas kaki, dan pendidikan kesehatan.2 sampai reformasi sosioekonomis seperti itu menjadi tersebar luas, implementasi resolusi Majelis Kesehatan Dunia untuk mengurangi infeksi dan mengembangkan vaksin mungkin bisa menolong pengendalian infeksi cacing tambang.

References
1. de Silva NR, Brooker S, Hotez PJ, Montresor A, Engels D, Savioli L. Soil-transmitted helminth infections: updating the global picture. Trends Parasitol 2003;19:547551. [CrossRef][Web of Science][Medline] 2. Hotez PJ. China's hookworms. China Q 2002;172:1029-1041. 3. Wolpert S. Gandhi's passion: the life and legacy of Mahatma Gandhi. New York: Oxford University Press, 2001:214. 4. Bleakley H. Disease and development: evidence from the American South. J Eur Econ Assoc 2003;1:376-86. 5. Hotez PJ, Zhan B, Bethony JM, et al. Progress in the development of a recombinant vaccine for human hookworm disease: the Human Hookworm Vaccine Initiative. Int J Parasitol 2003;33:1245-1258. [CrossRef][Web of Science][Medline] 6. Prociv P, Croese J. Human enteric infection with Ancylostoma caninum: hookworms reappraised in the light of a "new" zoonosis. Acta Trop 1996;62:2344. [CrossRef][Medline] 7. Mabaso MLH, Appleton CC, Hughes JC, Gouws E. The effect of soil type and climate on hookworm (Necator americanus) distribution in KwaZulu-Natal, South Africa. Trop Med Int Health 2003;8:722-727. [CrossRef][Web of Science][Medline] 8. Despommier DD, Gwadz RW, Hotez PJ, Knirsch C. Parasitic diseases. 4th ed. New York: Apple Tree Productions, 2000. 9. Blackwell V, Vega-Lopez F. Cutaneous larva migrans: clinical features and management of 44 cases presenting in the returning traveler. Br J Dermatol 2001;145:434-437. [CrossRef][Web of Science][Medline] 10. Caumes E, Ly F, Bricaire F. Cutaneous larva migrans with folliculitis: report of seven cases and review of the literature. Br J Dermatol 2002;146:314316. [CrossRef][Medline] 11. Albanese G, Venturi C. Albendazole: a new drug for human parasitoses. Dermatol Clin 2003;21:283-290. [Medline] 12. Hawdon JM, Hotez PJ. Hookworm: developmental biology of the infectious process. Curr Opin Genet Dev 1996;6:618-623. [CrossRef][Medline] 13. Maxwell C, Hussain R, Nutman TB, et al. The clinical and immunologic responses of normal human volunteers to low dose hookworm (Necator americanus) infection. Am J Trop Med Hyg 1987;37:126-134. [Free Full Text] 14. Hotez PJ, Pritchard DI. Hookworm infection. Sci Am 1995;272:68-74. [Web of Science][Medline]

15. Stoltzfus RJ, Dreyfuss ML, Chwaya HM, Albonico M. Hookworm control as a strategy to prevent iron deficiency. Nutr Rev 1997;55:223-232. [Web of Science][Medline] 16. Albonico M, Stoltzfus RJ, Savioli L, et al. Epidemiological evidence for a differential effect of hookworm species, Ancylostoma duodenale or Necator americanus, on iron status of children. Int J Epidemiol 1998;27:530-537. [Free Full Text] 17. Stanssens P, Bergum PW, Gansemans Y, et al. Anticoagulant repertoire of the hookworm Ancylostoma caninum. Proc Natl Acad Sci U S A 1996;93:21492154. [Free Full Text] 18. Del Valle A, Jones BF, Harrison LM, Chadderdon RC, Cappello M. Isolation and molecular cloning of a secreted hookworm platelet inhibitor from adult Ancylostoma caninum. Mol Biochem Parasitol 2003;129:167-177. [CrossRef][Medline] 19. Geisbert TW, Hensley LE, Jahrling PB, et al. Treatment of Ebola virus infection with a recombinant inhibitor of factor VIIa/tissue factor: a study in rhesus monkeys. Lancet 2003;362:1953-1958. [CrossRef][Web of Science][Medline] 20. Williamson AL, Brindley PJ, Knox DP, Hotez PJ, Loukas A. Digestive proteases of blood-feeding nematodes. Trends Parasitol 2003;19:417-423. [CrossRef][Medline] 21. Lwambo NJ, Bundy DA, Medley GF. A new approach to morbidity risk assessment in hookworm endemic communities. Epidemiol Infect 1992;108:469-481. [Medline] 22. Bundy DA, Chan MS, Savioli L. Hookworm infection in pregnancy. Trans R Soc Trop Med Hyg 1995;89:521-522. [CrossRef][Web of Science][Medline] 23. Olsen A, Magnussen P, Ouma JH, Andreassen J, Friis H. The contribution of hookworm and other parasitic infections to haemoglobin and iron status among children and adults in western Kenya. Trans R Soc Trop Med Hyg 1998;92:643649. [CrossRef][Web of Science][Medline] 24. Stoltzfus RJ, Chwaya HM, Tielsch JM, Schulze KJ, Albonico M, Savioli L. Epidemiology of iron deficiency anemia in Zanzibari schoolchildren: the importance of hookworms. Am J Clin Nutr 1997;65:153-159. [Free Full Text] 25. Nacher M, Singhasivanon P, Traore B, et al. Short report: hookworm infection is associated with decreased body temperature during mild Plasmodium falciparum malaria. Am J Trop Med Hyg 2001;65:136-137. [Abstract] 26. Dock G, Bass CC. Hookworm disease. St. Louis: C.V. Mosby, 1910:115-54. 27. Anyaeze CM. Reducing burden of hookworm disease in the management of upper abdominal pain in the tropics. Trop Doct 2003;33:174-175. [Medline] 28. Gilles HM, Williams EJ, Ball PA. Hookworm infection and anaemia: an epidemiological, clinical, and laboratory study. Q J Med 1964;331:1-24.

29. Guyatt H. Do intestinal nematodes affect productivity in adulthood? Parasitol Today 2000;16:153-158. [CrossRef][Web of Science][Medline] 30. Stephenson LS, Latham MC, Kurz KM, Kinoti SN, Brigham H. Treatment with a single dose of albendazole improves growth of Kenyan schoolchildren with hookworm, Trichuris trichiura, and Ascaris lumbricoides infection. Am J Trop Med Hyg 1989;41:78-87. [Free Full Text] 31. Smillie WG, Spencer CR. Mental retardation in school children infested with hookworms. J Educ Psychol 1926;17:314-321. [Web of Science] 32. Sakti H, Nokes C, Hertanto WS, et al. Evidence for an association between hookworm infection and cognitive function in Indonesian school children. Trop Med Int Health 1999;4:322-334. [CrossRef][Web of Science][Medline] 33. Lozoff B, Jimenez E, Hagen J, Mollen E, Wolf AW. Poorer behavioral and developmental outcome more than 10 years after treatment for iron deficiency in infancy. Pediatrics 2000;105:E51. (Web only.) (Accessed July 26, 2004, at http://pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/105/4/e51.) 34. Brooker S, Peshu N, Warn PA, et al. Epidemiology of hookworm infection and its contribution to anaemia among pre-school children on the Kenyan coast. Trans R Soc Trop Med Hyg 1999;93:240-246. [CrossRef][Web of Science][Medline] 35. Stoltzfus RJ, Chwaya HM, Montresor A, Albonico M, Savioli L, Tielsch JM. Malaria hookworms and recent fever are related to anemia and iron status indicators in 0- to 5year old Zanzibari children and these relationships change with age. J Nutr 2000;130:1724-1733. [Free Full Text] 36. Sampathkumar V, Rajaratnam A. Prevalence of anaemia and hookworm infestation among adolescent girls in one rural block of TamilNadu. Indian J Matern Child Health 1997;8:73-75. [Medline] 37. Prevention and control of schistosomiasis and soil-transmitted helminthiasis. World Health Organ Tech Rep Ser 2002;912:1-57. 38. Crompton DWT. The public health importance of hookworm disease. Parasitology 2000;121:Suppl:S39 -S50. 39. Chandler AC. Hookworm disease: its distribution, biology, epidemiology, pathology, diagnosis, treatment and control. New York: Macmillan, 1929:277. 40. Guyatt HL, Brooker S, Peshu N, Shulman CE. Hookworm and anaemia prevalence. Lancet 2000;356:2101-2101. [Medline] 41. Shulman CE, Graham WJ, Jilo H, et al. Malaria is an important cause of anaemia in primigravidae: evidence from a district hospital in coastal Kenya. Trans R Soc Trop Med Hyg 1996;90:535-539. [CrossRef][Web of Science][Medline]

42. Yu SH, Jian ZX, Xu LQ. Infantile hookworm disease in China: a review. Acta Trop 1995;59:265-270. [CrossRef][Medline] 43. Guyatt HL, Snow RW. The epidemiology and burden of Plasmodium falciparumrelated anemia among pregnant women in sub-Saharan Africa. Am J Trop Med Hyg 2001;64:Suppl:36-44. [Free Full Text] 44. Belperio PS, Rhew DC. Prevalence and outcomes of anemia in individuals with human immunodeficiency virus: a systematic review of the literature. Am J Med 2004;116:Suppl 7A:27S -43S. 45. Nutman TB, Ottesen EA, Ieng S, et al. Eosinophila in Southeast Asian refugees: evaluation at a referral center. J Infect Dis 1987;155:309-313. [Web of Science][Medline] 46. Hawdon JM. Differentiation between the human hookworms Ancylostoma duodenale and Necator americanus using PCR-RFLP. J Parasitol 1996;82:642-647. [Medline] 47. Bundy DAP. Epidemiology and transmission of intestinal helminths. In: Farthing MJG, Keusch GT, Wakelin D, eds. Enteric infection 2: intestinal helminths. New York: Chapman & Hall Medical, 1995:5-24. 48. Quinnell RJ, Griffin J, Nowell MA, Raiko A, Pritchard DI. Predisposition to hookworm infection in Papua New Guinea. Trans R Soc Trop Med Hyg 2001;95:139142. [CrossRef][Web of Science][Medline] 49. Williams-Blangero S, Blangero J, Bradley M. Quantitative genetic analysis of susceptibility to hookworm infection in a population from rural Zimbabwe. Hum Biol 1997;69:201-208. [Web of Science][Medline] 50. Bethony J, Chen JZ, Lin SX, et al. Emerging patterns of hookworm infection: influence of aging on the intensity of Necator infection in Hainan Province, People's Republic of China. Clin Infect Dis 2002;35:1336-1344. [CrossRef][Web of Science][Medline] 51. Olatunde BO, Onyemelukwe GC. Immunosuppression in Nigerians with hookworm infection. Afr J Med Med Sci 1994;23:221-225. [Medline] 52. Loukas A, Prociv P. Immune responses in hookworm infections. Clin Microbiol Rev 2001;14:689-703. [Free Full Text] 53. Brooker S, Bethony J, Hotez PJ. Human hookworm infection in the 21st century. Adv Parasitol (in press). 54. Genome Sequencing Center. Parasitic nematode sequencing project. (Accessed July 26, 2004, at http://www.nematode.net.) 55. Parkinson J, Mitreva M, Hall N, Blaxter M, McCarter JP. 400000 Nematode ESTs on the Net. Trends Parasitol 2003;19:283-286. [CrossRef][Web of Science][Medline]

56. Fincham JE, Markus MB, Adams VJ. Could control of soil-transmitted helminthic infection influence the HIV/AIDS pandemic? Acta Trop 2003;86:315333. [CrossRef][Web of Science][Medline] 57. Nacher M, Singhasivanon P, Yimsamran S, et al. Intestinal helminth infections are associated with increased incidence of Plasmodium falciparum malaria in Thailand. J Parasitol 2002;88:55-58. [CrossRef][Medline] 58. Asaolu SO, Ofoezie IE. The role of health education and sanitation in the control of helminth infections. Acta Trop 2003;86:283-294. [CrossRef][Web of Science][Medline] 59. Drugs for parasitic infections. (Accessed July 26, 2004, at http://www.medicalletter.com/freedocs/parasitic.pdf.) 60. Horton J. Global anthelmintic chemotherapy programs: learning from history. Trends Parasitol 2003;19:405-409. [CrossRef][Web of Science][Medline] 61. School deworming at a glance. Washington, D.C.: World Bank, 2003. (Accessed July 26, 2004, at http://www.worldbank.org.) 62. Guyatt HL, Brooker S, Kihamia CM, Hall A, Bundy DA. Evaluation of efficacy of school-based anthelmintic treatments against anaemia in children in the United Republic of Tanzania. Bull World Health Organ 2001;79:695-703. [Web of Science][Medline] 63. de Silva NR. Impact of mass chemotherapy on the morbidity due to soil-transmitted nematodes. Acta Trop 2003;86:197-214. [CrossRef][Web of Science][Medline] 64. Miguel E, Kremer M. Worms: identifying impacts on education and health in the presence of treatment externalities. (Accessed July 26, 2004, at http://post.economics.harvard.edu/faculty/kremer/webpapers/Worms_Identifying_Imp acts.pdf.) 65. Bundy DAP, Wong MS, Lewis LL, Horton J. Control of geohelminths by delivery of targeted chemotherapy through schools. Trans R Soc Trop Med Hyg 1990;84:115120. [CrossRef][Web of Science][Medline] 66. Chan MS, Bradley M, Bundy DAP. Transmission patterns and the epidemiology of hookworm infection. Int J Epidemiol 1997;26:1392 -1400. [Free Full Text] 67. Albonico M, Smith PG, Ercole E, et al. Rate of reinfection with intestinal nematodes after treatment of children with mebendazole or albendazole in a highly endemic area. Trans R Soc Trop Med Hyg 1995;89:538-541. [CrossRef][Web of Science][Medline] 68. Stoltzfus RJ, Albonico M, Chwaya HM, Tielsch JM, Schulze KJ, Savioli L. Effects of the Zanzibar school-based deworming program on iron status of children. Am J Clin Nutr 1998;68:179-186. [Abstract]

69. Albonico M, Bickle Q, Ramsan M, Montresor A, Savioli L, Taylor M. Efficacy of mebendazole and levamisole alone or in combination against intestinal nematode infections after repeated targeted mebendazole treatment in Zanzibar. Bull World Health Organ 2003;81:343-352. [Web of Science][Medline] 70. Albonico M. Methods to sustain drug efficacy in helminth control programmes. Acta Trop 2003;86:233-242. [CrossRef][Web of Science][Medline]

Anda mungkin juga menyukai