Anda di halaman 1dari 37

BAB I PENDAHULUAN Transfusi darah merupakan tindakan pengobatan pada pasien (anak,bayi dan dewasa) yang diberikan atas

indikasi. Kesesuaian golongan darah antara resipien dan donor merupakan salah satu hal yang mutlak.1,2 Transfusi darah adalah suatu rangkaian proses pemindahan darah donor ke dalam sirkulasi darah resipien sebagai upaya pengobatan.2,3,4,5,7 Transfusi darah telah mulai dicoba dilakukan sejak abad ke 15 dan hingga pertengahan abad ke 17, namun berakhir dengan kegagalan, karena cara pemberiannya dan pada waktu itu dipakai sebagai sumber donornya adalah darah hewan. Melalui berbagai percobaan dan pengamatan kemudian disimpulkan bahwa manusia yang semestinya menjadi sumber darah. Namun demikian pada masa ini, karena masih banyaknya kegagalan yang berakibat kematian, transfusi darah sempat dilarang dilakukan. Pada masa ini, transfusi darah telah dikerjakan langsung dari arteri donor ke dalam vena resipien. 2 Pemikiran dasar pada transfusi adalah cairan intravaskuler dapat diganti atau disegarkan dengan cairan pengganti yang sesuai dari luar tubuh.3 Pada tahun 1901, Landsteiner menemukan golongan darah sistem ABO dan kemudian system antigen Rh (rhesus) ditemukan oleh Levine dan Stetson di tahun 1939. Kedua system ini menjadi dasar penting bagi transfusi darah modern. Meskipun kemudian ditemukan berbagai system antigen lain seperti Duffy, Kell dan lainlain, tetapi system- system tersebut kurang berpengaruh. Tata cara transfusi darah semakin berkembang dengan digunakannya antikoagulan pada tahun 1914 oleh Hustin (Belgia), Agote (Argentina), dan Lewisohn (1915). Sekitar tahun 1937 dimulailah sistem pengorganisasian bank darah yang terus berkembang sampai kini.2,3 Transfusi darah memang merupakan upaya untuk menyelamatkan kehidupan dalam banyak hal, dalam bidang anestesi misalnya dalam proses pembedahan besar. Dalam pembedahan, pasien dapat mengalami perdarahan dari yang paling ringan sampai perdarahan massif. Pada pasien dewasa dengan Hb

normal perdarahan sampai 20% volume darah total atau penurunan Hb sampai 910 g% volume darah total atau penurunan Hb masih dapat ditoleransi oleh tubuh. Namun transfusi bukanlah tanpa risiko, meskipun telah dilakukan berbagai upaya untuk memperlancar tindakan transfusi, namun efek samping, reaksi transfusi, atau infeksi akibat transfusi tetap mungkin terjadi. Maka bila diingat dan dipahami mengenai keamanannya, indikasinya perlu diperketat. Apabila memungkinkan, masih perlu dicari alternatif lain untuk mengurangi penggunaan transfusi darah. Pemberian komponen-komponen darah yang diperlukan saja lebih dibenarkan dibandingkan dengan pemberian darah lengkap (whole blood).1,3 Dengan alasan tersebut, maka dibuatlah refrat ini yang diharapkan dapat memberi informasi mengenai fisiologi normal cairan dan elektrolit, transfusi darah serta implikasi-implikasi anestesinya.

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Perdarahan Definisi dari perdarahan adalah kehilangan akut volume peredaran darah. Walau dapat bervariasi, volume darah orang dewasa normal adalah kira-kira 7% dari berat badan. Bila penderita gemuk maka volume darahnya diperkirakan berdasarkan berat badan idealnya karena bila kalklasi didasarkan berat badan yang sebenarnya, hasilnya mungkin jauh di atas volume yang sesungguhnya.

2.2 Efek Langsung Dari Perdarahan Perbedaan antara kelas-kelas syok hemoragik mungkin tidak jelas terlihat pada seseorang penderita, dan penggantian volume harus diarahkan pada respon terhadap terapi semula dan bukan dengan hanya mengandalkan klasifikasi awal saja. Sistem klasifikasi ini berguna untuk memastikan tandatanda dini dan patofisiologi keadaan syok. Perdarahan kelas I dicontohkan dengan seseorang yang menyumbang satu unit darah. Kelas II adalah perdarahan tanpa komplikasi, namun resusitasi cairan kristaloid diperlukan. Kelas III adalah keadaan perdarahan dengan komplikasi di mana harus diiberikan infus kristaloid dan mungkin penggantian darah. Perdarahan kelas IV harus dianggap sebagai kejadian preterminal, dan kalau tidak diambil tindakan yang sangat agresif, penderita akan meninggal dalam beberapa menit. Beberapa faktor akan sangat mengganggu penilaian respon hemodinamis terhadap perdarahan. Faktor-faktor ini meliputi usia, parahnya perdarahan, rentang waktu antara perdarahan dan permulaan terapi, terapi cairan sebelumnya, dan obat-obatan yang sebelumnya telah diberikan karena ada penyakit kronis. Berbahaya untuk menunggu sampai tanda-tanda syok jelas, dan baru setelah itu mulai pemulihan volume dengan agresif. Resusitasi cairan harus

dimulai bila tanda-tanda dan gejala kehilangan darah nampak atau diduga, bukan bila tekanan darah menurun atau sudah tidak terdeteksi. 1. Perdarahan Kelas I Kehilangan Volume darah sampai 15% Gejala klinis dari kehilangan volume ini adalah minimal. Bila tidak ada komplikasi, akan terjadi takikardi minimal. Tidak ada perubahan yang berarti dari tekanan darah, tekanan nadi, atau frekuensi pernafasan. Untuk penderitan yang dalam keadaan sehat, jumlah kehilangan darah ini tidak perlu diganti. Pengisian transkapiler dan mekanisme kompensasii lain akan memulihkan volume darah dalam 24 jam. Namun, bila ada kehilangan cairan karena sebab lain, kehilangan jumlah darah ini dapat mengakibatkan gejala-gejala klinis. Penggantian cairan primer akan memperbaiki keadaan sirkulasi. 2. Perdarahan Kelas II Kehilangan volume darah 15% sampai 30% Gejala-gejala klinis termasuk takikardi, takipnea, dan penurunan tekanan nadi. Penurunan tekanan nadi ini terutama berhubungan dengan paningkatan dalam komponen diiastolik karena bertambahnya katekolamin yang beredar. Zat inotropik ini menghasilkan peningkatan tonus dan resistensi pembuluh-pembuluh perifer. Tekanan sistolik hanya berubah sedikit pada syok yang dini kareni itu penting untuk lebih mengandalkan evaluasi tekanan nadi daripada tekanan sistolik. Penemuan klinis yang lain yang akan ditemukan pada tingkat kehilangan darah ini meliputi perubahan sistem saraf sentral yang tidak jelas (subtle) seperti cemas, ketakutan atau sikap permusuhan. Walau kehilangan darah dan perubahan kardiovaskuler besar, namun produksi urin hanya sedikit terpengaruh. Aliran urine biasanya 20-30ml/jam. 3. Perdarahan Kelas III Kehilangan volume darah 30% sampai 40% Akibat kehilangan darah sebanyak ini (sekitar 2000ml) dapat sangat parah. Penderitanya hampir selalu menunjukkan tanda klasik perfusi yang tidak adekuat, termasuk takikardi dan takipnea yang jelas, perubahan penting

dalam status mental, dan penurunan tekanan darah sistolik. Dalam keadaan yang tidak berkomplikasi, inilah jumlah kehilangan darah paling kecil yang selalu menyebabkan tekanan sistolik menurun. Penderita dengan kehilangan darah tingkat ini hampir selalu memerlukan transfusi darah. Keputusan untuk memberi transfusi darah didasarkan atas respon penderita terhadap resusitasi cairan semula dan perfusi dan oksigenasi organ yang adekuat. 4. Perdarahan Kelas IV Kehilangan volume darah lebih dari 40% Dengan kehilangan darah sebanyak ini, jiwa penderita terancam. Gejalagejalanya meliputi takikardi yang jelas, penurunan tekanan darah sistolik yang cukup besar, dan tekanan nadi yang sangat sempit (atau tekanan diastolik yang tidak teraba). Produksi urine hampir tidak ada, dan kesadaran jelas menurun. Kulitnya dingin dan pucat. Penderiita ini seringkali memerlukan transfusi cepat dan intervensi pembedahan segera. Keputusan tersebut diddasarkan atas respon terhadap resusitasi cairan yang diberikan. Kehilangan lebih dari 50% volume darah penderita mengakibatkan ketidaksadaran, kehilangan denyut nadi dan tekanan darah. Tabel 1. Kelas perdarahan

2.3 Penatalaksanaan Awal Dari Syok Hemoragik Diagnosis dan terapi syok harus dilakukan secara simultan. Untuuk hampir semua penderita trauma, penangannan dilakukan seolah-olah penderita menderita syok hipovolemi, kecuali bila ada bukti jelas bahwa keadaan syok disebabkan oleh suatu etiologi yang bukan hipovolemia. Prinsip pengelolaan dasar yang harus dipegangn ialah menghentikan perdarahan dan mengganti kehilangan volume. A. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik diarahkan kepada diagnosis cedera yang mengancam nyawa dan meliputi penilaian dari ABCDE. Mencatat tanda vital awal

penting untuk memantau respon penderita terhadap terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital, produksi urin, dan tingkat kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih rinci akan menyusul bila keadaan penderita mengijinkan. 1. Airway dan Breathing Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya pertukaran ventilasi dan oksigenisasi. Dapat diberikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95% 2. Sirkulasi-Kontrol Perdarahan Termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan perdarahan yang jelas terlihat, memperoleh akses intravena yang cukup, dan menilai perfusi jaringan. Perdarahhan dari luka luar biasanya dapat dikendalikan dengan tekanan langsung pada tempat perdarahan. PASG (Pneumatic Anti Shock Germent) dapat digunakan untuk megendalikan perdarahan dari patah tulang pelvis atau ekstremitas bawah, namun tidak boleh menggangu resusitasi cairan cepat. Cukupnya perfusi jaringan menentukan jumlah cairan yang diperlukan. Mungkin diperlukan operasi untuk dapat mengendalikan perdarahan internal 3. Disabiliti-Pemeriksaan neurologi Dilakukan pemeriksaan neurologi singkat untuk menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata dan respon pupil, fungsi motorik dan sensorik. Informasi ini bermanfaat dalam menilai perfusi otak, mengikuti perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan pemulihan. Perubahan fungsi sistem saraf sentral tidak selalu disebabkan cederea intrakranial tetapi mungkin mencerminkan perfusi otak yang kurang. Pemulihan perfusi dan oksigenasi otak harus dicapai sebelum penemuan tersebut dapat dianggap berasal dari cedera intrakranial

4. Exposure-Pemeriksaan Lengkap Setelah mengurus prioritas dan diperiksa dari ubun-ubun sampai ke jari kaki sebabai bagian dari mencari cedera. Bila menelanjangi penderita, sangat penting mencegah hipotermia. 5. Dilatasi Lambung-Dekompresi Dilatasi lambung seringkali terjadi pada penderita trauma, dapat mengakiibatkan hipotensi atau disritmia jantung yang tak dapat diterangkkan, biasanya berupa bradikardi. 2.3 Terapi Cairan I. Cairan Preoperatif Cairan yang diberikan pada pasien pasien yang akan mengalami tindakan operasi, dan juga merupakan cairan pengganti puasa. Pasien normohidrasi Pengganti puasa : 2 ml/kgBB/jam puasa (bedakan kebutuhan perhari: 30-35 ml/kgBB/hari) Cairan yang digunakan: Kristaloid Pemberian di bagi dalam 3 jam selama anaestesy: 50% dalam 1 jam pertama 25% dalam 1 jam kedua 25% dalam 1 jam ketiga II. Cairan Durante Operasi 1. Mengganti cairan maintenance operasi . Pemeliharaan: 2 ml/kgBB/jam Pedoman : Stres operasi : Ringan 4 cc/kgBB/Jam Sedang 6 cc/kgBB/Jam Berat 8 cc/kgBB/Jam Cairannya adalah ringer lactat. 2. Mengganti cairan akibat pedarahan. Pedoman : 1. Perdarahan yang tertampung.

Botol penampung dari suction Kasa atau sejenisnya Ceceram dilapangan operasi 3. EBV penderita dan prosentase perdarahan Cairan pengganti : - Kristaloid - Koloid - Darah Contoh menghitung cairan maintenance dan pedarahan; Seorang Pasien datang dengan diagnosa Fraktur Femur Dextra dan akan dilakukan operasi pleting femur dextra. BB. 70 kg, TD. 90/70 mmHg, Nadi. 100x/m. Contoh menghitung cairan durante maintenance operasi. Rumus : 70 x 6 = 420 cc / jam. Jika operasi selama 3 jam berarti kebutuhan cairan maintenance adalah 420 cc x 3 jam = 1260 cc selama 3 jam operasi. Contoh menghitung cairan pengganti perdarahan. Rumus EBV : kgBB x EBV = 70 x 70 = 4900 ml.EBV Perdarahan : 10% = 490 cc 20% = 980 cc 30% = 1470 cc 40% = 1960 cc - Jika perdarahan 10% berarti kita berikan cairan fristaloid yaitu 2 4 x pemberian. - Jika perdarahan > 20% kita berikan cairan koloid dan darah 1 x pemberian. - Apabila operasi selama 3 jam, perdarahan 40 % cara menghitung maintenance dan perdarahan adalah sebagai berikut: - Operasi sedang 70 x 6 = 420 cc/Jam x 3 jam = 1260 cc cairan RL/PZ

- Perdarahan 40% berikan koloid / dara 1 x pemberian jadi perdarah 1960cc. Berarti berikan koloid 1960cc atau darah 1960cc. Jadi cairan maintenance di tambah perdarahan selama berapa jam operasi yaitu 1260cc RL/PZ + 1960cc Coloid/darah. III. Cairan Post Operasi. Terapi cairan pasca bedah ditujukan untuk : a. Memenuhi kebutuhan air, elektrolit, nutrisi b. Mengganti kehilangan cairan pada masa paska bedah (cairan lambung, febris) c. Melanjutkan penggantian defisit pre operatif dan durante operatif d. Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan Pada penderita pasca operasi nutrisi diberikan bertahap (start low go slow). Penderita pasca operasi yang tidak mendapat nutrisi sama sekali akan kehilangan protein 75-125 gr/hari Hipoalbuminemia edema jaringan, infeksi, dehisensi luka operasi, penurunan enzym pencernaan. 1. a. BB 0-10 kg BB 10-20 kg BB > 20 kg b. Na+ K+ c. Pasien tidak puasa post operasi. Kebutuhan cairan (air) post operasi. Anak 1000 cc / 24 jam 1000 cc + 50 cc tiap > 1 kg 1500 cc + 20 cc tiap > 1 kg Dewasa 50 cc / kgbb/ 24 jam. Kebutuhan elektrolit anak dan dewasa 2-4 mEq / kgbb 1-2 mEq / kgbb Kebutuhan kalori basal Dewasa BB (kg) x 20-30 Anak berdasarkan umur

10

Umur (tahun) <1 1-3 4-6 7-10 11-18 2.

Kcal / kgbb / hari 80-95 75-90 65-75 55-75 45-55

Pasien tidak puasa post operasi. Pada pasien post op yang tidak puasa, pemberian cairan diberikan berupa cairan maintenance selama di ruang pulih sadar (RR). Apabila keluhan mual, muntah dan bising usus sudah ada maka pasien dicoba untuk minum sedikitsedikit. Setelah kondisi baik dan cairan peroral adekuat sesuai kebutuhan, maka secara perlahan pemberian cairan maintenance parenteral dikurangi. Apabila sudah cukup cairan hanya diberikan lewat oral saja.

Rumus Darrow BB (kg) Cairan (ml) 0-3 95 3-10 105 10-15 85 15-25 65 >25 50 Tetesan infus: Mikro: BBx darrow /96 Makro: BB x darrow/24

Melihat tanda-tanda pada pasien disesuaikan dengan prosentase EBV yang hilang: Tensi systole Nadi Perfusi Estimasi perdarahan Estimasi infus TANDANYA 120 mmhg 100 mmhg 80 x/mnt 100 x/mnt Hangat Pucat Minimal 600 ml Minimal 1-2 liter < 90 mmhg > 120 x/mnt Dingin 1200 ml 2-4 liter < 60-70 mmhg > 140 x/mnt Basah 2100 ml 4-8 liter

Melihat tanda klinis dan sesuaikan dengan prosentase defisit.

11

Tanda Defisit Hemodinamik

Ringan 3-5 % dari BB - Tachycardia

Sedang 6-8 % dari BB - Tachycardia Hipotensi ortostatik Nadi lemah Vena kolaps Lidah lunak Keriput Turgor menurun

Berat 10 % dari BB - Tachycardia. Cyanosis. Nadi diraba Akral dingin. Atonia, mata cowong Turgor sangat menurun sulit

Jaringan

Mukosa lidah kering Turgor kulit normal

Urine SSP

Pekat

Pekat, produksi /

oligouria Sangat menurun / coma

Tak ada kelainan

jumlah menurun - Apatis

Problem puasa a. Pada keadaan normal kehilangan cairan berupa Insesible water losses (IWL) Sensible water losses (SWL)

Pada orang dewasa kehilangan 2250 cc yang terdiri atas 1) 2) IWL 700 ml / 24 jam (suhu lingkungan 25 oC kelembaban 50-60 %, suhu badan 36-37 oC). SWL Urine 1 cc / kgbb / jam (24 cc / kg / bb / 24 jam) b. Kebutuhan elektrolit tidak terpenuhi Kebutuhan normal: Na+ 2-4 mEq / kgbb / 24 jam K+ 1-2 eEq / kgbb / 24 jam c. Kebutuhan kalori tidak terpenuhi Kebutuhan normal: 25 Kcal / kgbb / jam

12

d. Pada operasi elektif yang dipuasakan, penggantian cairan hanya untuk maintenance saja e. Pemberian cairan pre operasi adalah untuk mengganti bila ada 1) 2) 3) Kehilangan cairan akibat puasa. Kehilangan cairan akibat perdarahan. Kehilangan cairan akibat dehidrasi.

f. Pemberian darah pre operasi di dasarkan atas pertimbangan yang matang dan apabila perlu dilakukan pemeriksaan darah lebih dahulu. Cairan pengganti Kristaloid Koloid Darah (WB) 2-4 kali dari jumlah perdarahan. 1 kali dari jumlah perdarahan 1 kali dari jumlah perdarahan

2.4 Jenis Cairan Infus Berdasarkan Partikel dlm Cairan dibagi menjadi: I. KRISTALOID A. Cairan Hipotonik Osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (< 285 mOsmol/L) cairan ditarik dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya Digunakan pada keadaan sel mengalami dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi : kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intracranial Contoh NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.

B. Cairan isotonik osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari komponen darah) = 285 mOsmol/L, sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun).

13

Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contoh: Ringer-Laktat (RL), dan normal saline / larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%)

C. Cairan Hipertonik Osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum (> 285 mOsmol/L), sehingga menarik cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+RingerLactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin II. KOLOID Mempunyai partikel besar, yg agak sulit menembus membran semipermeabel/ dinding pembuluh darah. dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah. Contohnya adalah dextran, albumin dan steroid, HES (Hydroxy Etil Starch) Berdasar tekanan Onkotik-nya ada 2 mcm : Iso-Onkotik Hiper-Onkotik : Co/ Albumin 25% : Co/ Albumin 5%

Efek Pemberian Ci Infus terhadap Kompartemen Ci Tubuh : Dext 5% (Hipotonis) Vol.Intravask. Vol.Interstitiel Vol.Intrasel Kristaloid Isotonis Kristaloid hipertonis Koloid Iso-Onkotik Koloid Hiper-Onkotik

14

Beberapa Contoh Cairan Infus 1. Asering (Ringer Asetat/Asering) Keunggulan: Asetat dimetabolisme di otot aman bagi pasien dg gangguan liver Pd kasus bedah mempertahankan suhu tubuh Efek vasodilator Efektif mengatasi asidosis

Komposisi : Na+ = 130 Cl- = 108.7 K+ = 4 Ca++ = 2.7 Asetat = 28 2. KAEN 1B Komposisi : Mengandung elektrolit mEq/L Na+ = 38.5 Cl- = 38.5 Dekstrosa = 37.5 gr/L 3. KAEN 3A Komposisi : Mengandung elektrolit mEq/L Na+ = 60 Cl- = 50 K+ = 10 Laktat = 20 Dekstrosa = 27 gr/L 4. KA-EN 3B Mengandung elektrolit mEq/L Na+ = 50 Cl- = 50 K+ = 20

15

Laktat = 20 Dekstrosa = 27 gr/L indikasi: Kasus-kasus baru di mana status gizi tidak terlalu jelek, antara lain: 5. KA-EN 4A Mengandung elektrolit mEq/L Na+ = 30 Cl- = 20 Laktat = 10 Dekstrosa = 40 gr/L 6. KA-EN 4B Mengandung elektrolit mEq/L Na+ = 30 Cl- = 28 K+ = 8 Laktat = 10 Dekstrosa = 37.5 gr/L 7. Ringer Laktat Tiap 100 ml terdiri atas: NaCl NaLaktat KCl CaCl Osmolaritas: Na+ 131 0,6 g 0,312 g 0,04 g 0.027 g Pneumonia Pleural Effusion Ketoasidosis diabetik (setelah rehidrasi dg NaCl 0,9%) Observasi Tifoid Observasi demam yang belum diketahui penyebabnya Status asthmaticus Fase pemulihan dari DBD

16

K+ Ca2+ ClHCO3- (laktat)

5 2 111 29

8. NS (Normal Salin/ NaCl 0,9%) Tiap 500ml mengandung NaCl 4,5g Osmolaritas: Na+ Cl9. Glukosa 5% Tiap 500ml mengandung glukosa 25g Osmolaritas 280 mOsm/l setara dengan 800kJ/l atau 190kkal/l 10. Glukosa 10% Tiap 500ml mengandung glukosa 55g Osmolaritas 555 mOsm/l setara dengan 1680kJ/l atau 400kkal/l 11. D5 NS Tiap 500ml mengandung glukosa NaCl Na+ Cl11. D5 NS Tiap 500ml mengandung glukosa NaCl Na+ Cl12. HES 6% 27,5g 1,125g 38,5 38,5 25g 2,25g 77 77 154 154

Kandungan elektrolit

Setara dengan 840kJ/200kkal

Kandungan elektrolit

Setara dengan 840kJ/200kkal

17

Tiap 500 ml terdiri atas: HES NaCl NaLaktat KCl CaCl Na+ K+ Ca2+ ClHCO3- (laktat) pH: +6 2.5 Transfusi Darah Transfusi darah adalah proses pemindahan darah atau komponen darah dari donor ke sistem sirkulasi penerima melalui pembuluh darah vena. 1 Berdasarkan sumber darah atau komponen darah, transfusi darah dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu: 1. Homologous atau allogenic transfusion, yaitu transfusi menggunakan darah dari orang lain; 2. Autologous transfusion, yaitu transfusi dengan menggunakan darah resipien itu sendiri yang diambil sebelum transfusi dilakukan. 2.6 Darah sebagai Organ Darah yang semula dikategorikan sebagai jaringan tubuh, saat ini telah dimasukkan sebagai suatu organ tubuh terbesar yang beredar dalam system kardiovaskular, tersusun dari (1)komponen korpuskuler atau seluler, (2)komponen cairan. Komponen korpuskuler yaitu materi biologis yang hidup dan bersifat multiantigenik, terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan keping trombosit, yang kesemuanya dihasilkan dari sel induk yang senantiasa hidup dalam sumsum 30 g 3,45 g 2,24 g 0,15 g 0.11 g 138 5 3 125 20

Osmolaritas (mmol/l):

Osmolaritas berkisar 280 mOsm/l

18

tulang. Ketiga jenis sel darah ini memiliki masa hidup terbatas dan akan mati jika masa hidupnya berakhir. Agar fungsi organ darah tidak ikut mati, maka secara berkala pada waktu- waktu tertentu, ketiga butiran darah tersebut akan diganti, diperbaharui dengan sel sejenis yang baru. Komponen cair yang juga disebut plasma, menempati lebih dari 50 volume % organ darah, dengan bagian terbesar dari plasma (90%) adalah air, bagian kecilnya terdiri dari protein plasma dan elektrolit. Protein plasma yang penting diantaranya adalah albumin, berbagai fraksi globulin serta protein untuk factor pembekuan dan untuk fibrinolisis.2,3 Peran penting darah adalah (1)sebagai organ transportasi, khususnya oksigen(O2), yang dibawa dari paru- paru dan diedarkan ke seluruh tubuh dan kemudian mengangkut sisa pembakaran (CO2) dari jaringan untuk dibuang keluar melalui paru- paru. Fungsi pertukaran O2 dan CO2 ini dilakukan oleh hemoglobin, yang terkandung dalam sel darah merah. Protein plasma ikut berfungsi sebagai sarana transportasi dengan mengikat berbagai materi yang bebas dalam plasma, untuk metabolisme organ- organ tubuh.2,3 Selain itu, darah juga berfungsi (2)sebagai organ pertahanan tubuh(imunologik), khususnya dalam menahan invasi berbagai jenis mikroba patogen dan antigen asing. Mekanisme pertahanan ini dilakukan oleh leukosit (granulosit dan limfosit) serta protein plasma khusus (immunoglobulin).2,3 Fungsi lain yang tidak kalah penting yaitu (3)peranan darah dalam menghentikan perdarahan (mekanisme homeostasis) sebagai upaya untuk mempertahankan volume darah apabila terjadi kerusakan pada pembuluh darah. Fungsi ini dilakukan oleh mekanisme fibrinolisis, khususnya jika terjadi aktifitas homeostasis yang berlebihan.2,3 Apabila terjadi pengurangan darah yang cukup bermakna dari komponen darah korpuskuler maupun non korpuskuler akibat kelainan bawaan ataupun karena penyakit yang didapat, yang tidak dapat diatasi oleh mekanisme homeostasis tubuh dalam waktu singkat maka diperlukan penggantian dengan jalan transfusi darah, khususnya dari komponen yang diperlukan.2,3 2.7 Golongan Darah

19

Membran sel darah merah berisi sedikitnya 300 faktor penentu antigenik berbeda. Sedikitnya 20 antigen golongan darah terpisah dapat dikenal, tanda dari masing-masing adalah di bawah kontrol genetik dari kromosom loci. Kebetulan, hanya ABO dan Rh Sistem yang penting pada transfusi darah. Setiap orang biasanya menghasilkan antibody (alloantibodies). Antibodi bertanggung jawab untuk reaksi-reaksi dari transfusi. Antibodi dapat menjadi alami atau sebagai respon atas sensitisasi dari suatu kehamilan atau transfusi sebelumnya.10 2.7.1 Sistem ABO Kromosomal untuk sistem ABO ini menghasilkan dua allel: A dan B. Masing-masing merepresentasikan suatu enzim yang merupakan modifikasi dari suatu permukaan sel glycoprotein, menghasilkan antigen yang berbeda. (Sebenarnya, ada berbagai varian A dan B.) Hampir semua individu tidak mempunyai A atau B " natural" yang menghasilkan antibodi (sebagian besar immunoglobulin M) melawan antigens di dalam tahun pertama kehidupan. Antigen H adalah precursor dari system ABO tetapi diproduksi oleh suatu kromosom tempat berbeda. Tidak adanya antigen H (hh genotype, juga disebut Bombay pheno-type) mencegah munculny gen A atau B; individu dengan kondisi sangat jarang ini akan mempunyai anti-A, anti-B, dan anti-H antibodi.4,8 Bila sel darah merah (SDM) yang ditransfusikan tidak kompatibel, antibodi dalam plasma resipien akan mengikat reseptor khusus di dinding SDM donor. Hal ini akan mengaktifkan jalur komplemen yang akan menyebabkan lisis dinding SDM (intravaskular hemolisis). Jalur komplemen ini akan melepaskan anafilatoksin C3a dan C5a yang akan membebaskan sitokin seperti TNF, IL1 Dan IL8, dan menstimulasi degranulasi sel mast dengan mengsekresikan mediator vasoaktif. Semua substansi ini bisa menyebabkan inflamasi, peningkatan permeabilitas vaskular, dan hipotensi yang akan mengarah ke shock dan gagal ginjal. Mediator juga akan menyebabkan agregasi platelet, oedema paru peribronchial, dan kontraksi otot kecil. Tabel 1. Daftar Golongan Darah Golongan Antigen di Antibodi dalam Golongan donor yang

20

A B AB

RBC Antigen A Antigen B Antigen A &

plasma Anti-B Anti-A Tidak ada

kompatibel A, O B, O A, B, AB, O O

B O Tidak ada Anti- A & B Sumber: Kepustakaan No.2 2.7.2 Sistem Rh

Sistem Rh ditandai oleh dua gen yang menempati chromosome 1. Ada sekitar 46 Rh-berhubungan dengan antigen, tetapi secara klinis, ada lima antigen utama ( D, C, c, E, dan e) dan menyesuaikan dengan antibodi. Biasanya, ada atau tidak alel yang paling immunogenik dan umum, D antigen, dipertimbangkan. Kira-Kira 80-85% tentang populasi orang kulit putih mempunyai antigen D. Individu yang kekurangan alel ini disebut Rh-Negative dan biasanya antibodi akan melawan antigen D hanya setelah terpapar oleh ( RhPositive) transfusi sebelumnya atau kehamilan ( seorang Ibu Rh-Negative melahirkan bayi Rh-Positive). 2.7.3 Sistem Lain Sistem lain ini meliputi antigen Lewis, P, li, MNS, Kidd, Kell, Duffy, Lutheran, Xg, Sid, Cartright, YK, dan Chido Rodgers antigens. Kebetulan, dengan beberapa perkecualian ( Kell, Kidd, Duffy, Dan), alloantibodi melawan sistem ini jarang menyebabkan reaksi hemolytic serius. 2.8 Tes Kompatibilitas Tujuan tes ini adalah untuk memprediksi dan untuk mencegah reaksi antigen-antibody sebagai hasil transfusi sel darah merah. Donor dan penerima donor darah harus di periksa adanya antibody yang tidak baik.10 Tabel 2. Golongan darah ABO TIPE Insidensi* A anti B 45% Adanya antibodi dalam serum

21

B AB O * angka rata-rata
pada orang di Eropa

anti A anti A, antiB

8% 4% 43%

2.8.1 Tes ABO-Rh Reaksi Transfusi yang paling berat adalah yang berhubungan dengan inkompatibilitas ABO. antibodi yang didapat secara alami dapat bereaksi melawan antigen dari transfusi (asing), mengaktifkan komplemen, dan mengakibatkan hemolisis intravaskular. Sel darah merah pasien diuji dengan serum yang dikenal mempunyai antibody melawan A dan B untuk menentukan jenis darah. Oleh karena prevalensi secara umum antibodi ABO alami, konfirmasi jenis darah kemudian dibuat dengan menguji serum pasien melawan sel darah merah dengan antigen yang dikenal.4,8 Sel darah merah pasien juga diuji dengan antibody anti-D untuk menentukan Rh. Jika hasilnya adalah Rh-Negative, adanya antibodi anti-D d dapat diuji dengan mencampur serum pasien dengan sel darah merah Rh (+). Kemungkinan berkembangnya antibodi anti-D setelah paparan pertama pada antigen Rh adalah 50-70%. 2.8.2 Crossmatching Suatu crossmatch transfusi: sel donor dicampur dengan serum penerima. Crossmatch mempunyai tiga fungsi: ( 1) Konfirmasi jenis ABO dan Rh ( kurang dari 5 menit), ( 2) mendeteksi antibodi pada golongan darah lain , dan ( 3) mendeteksi antibody dengan titer rendah atau tidak terjadi aglutinasi mudah. Yang dua terakhir memerlukan sedikitnya 45 menit. 2.8.3 Screening Antibodi Tujuan tes ini adalah untuk mendeteksi dalam serum adanya antibodi yang biasanya dihubungkan dengan reaksi hemolitik non-ABO. Test ini ( dikenal juga Coombs Tes tidak langsung) memerlukan 45 menit dan dengan mencampur

22

serum pasien dengan sel darah merah dari antigen yang dikenal; jika ada antibodi spesifik, membran sel darah merah dilapisi, dan penambahan dari suatu antibodi antiglobulin menghasilkan aglutinasi sel darah. Screening ini rutin dilakukan pada seluruh donor darah dan dilakukan untuk penerima donor sebagai ganti dari crossmatch.4 2.8.4 Pemeriksaan lain terhadap infeksi. Tabel 3. Risiko transmisi agen-agen infeksi sehingga perlu dilakukan pemeriksaan rutin terhadap produk-produk darah 5,6,9

23

2.9 Komponen Darah 2.9.1 Whole blood Darah lengkap segar digunakan pada perdarahan akut, syok hemovolemik, dan bedah mayor dengan perdarahan >1500 mL. Darah lengkap segar hanya untuk 48 jam, baru untuk 6 hari, dan biasa untuk 35 hari. Sekarang produk ini sudah jarang digunakan, para klinisi lebih senang menggunakan produk komponen darah saja.10

2.9.2 Sel darah merah Biasa juga disebut PRC (packed red blood cells), mengandung konsentrat eritrosit dari whole blood yang disentrifugasi atau dengan metode apheresis. Kandungan yang terdapat dalam PRC: hematokrit sekitar 50-80%, +50 mL plasma, 42,5-80 hemoglobin (128-240 mL eritrosit murni), 147-dan 278 mg besi. Transfusi PRC mempunyai waktu paruh sekitar 30 hari.11 Dosis: pada dewasa tergantung kadar hemoglobin sekarang dan yang akan dicapai. Satu kantong akan menaikkan kadar hemoglobin resipien sekitar 1 g/dL. Pada neonatus, dosisnya 10-15 mL/kgBB akan meningkatkan kadar hemoglobin 3 g/dL. Kadar hemoglobin akhir dapat diperkirakan dengan rumus = volume darah x hematokrit x 0,91. Indikasi: hanya pada pasien dengan gejala klinis gangguan hemodinamik seperti hipoksia, transfusi pengganti misal pada bayi dengan penyakit hemolitik, thalasemia. Biasanya bila kadar hemoglobin kurang dari 6 g/dL dengan target akhir 10 g/dL.10 2.9.3 Platelet Merupakan derivat dari whole blood dengan kandungan >5,5 x 1010 platelet per kantong, dan 50 mL plasma. Dosis: pada kasus trombositopenia cukup 1 kantong, atau sesuai target kadar platelet biasanya 40.000-50.000/mm3. 1 kantong dapat meningkatkan platelet sekitar 50-100.000/mm3.

24

Indikasi: untuk mengatasi perdarahan karena kurangnya jumlah platelet, dan fungsi platelet resipien yang tidak normal dengan kadar platelet kurang dari 40.000 pada dewasa, dan kurang dari 100.000/mm3 pada neonatus.10 Kontraindikasi: trombositopeniapurpura. 2.9.4 Frozen plasma Biasa disebut fresh frozen plasma (FFP). 1 kantong berjumlah sekitar 250 mL yang dibekukan pada suhu -180C dalam 6-8 jam. FFP dalam 24 jam mengandung Faktor V dan Faktor VIII.10 Indikasi: perdarahan masif, setelah terapi warfarin dan kuagulopati pada penyakit hati, trombotik trombositopenia purpura. Dosis: 10-20 mL/kg. 2.9.5 Cryoprecipitated AHF Biasa disebut cryoprecipitated antihemophilic factor. Didapatkan dengan mencairkan FFP pada suhu 1-60C. Mengandung 150 mg fibrinogen, 80 IU faktor VIII:C, faktor VIII:vWF (von Willebrand factor), faktor XIII, fibronectin, dan 520 mL plasma. Dosis: kebutuhan fibrinogen : 250 fibrinogen/kantong. Biasanya sekitar 1 kantong per 7-10 kgBB. Indikasi: perdarahan karena defisiensi fibrinogen dan faktor XIII, pasien dengan hemofili A atau von Willebrands disease.10 2.9.5 Granulosit Transfusi Granulosit, yang dibuat dengan leukapheresis, diindikasikan pada pasien neutropenia dengan infeksi bakteri yang tidak respon dengan antibiotik. Transfusi granulosit mempunyai masa hidup dalam sirkulasi sangat pendek, sedemikian sehingga sehari-hari transfusi 1010 granulosit pada umumnya diperlukan. Iradiasi dari granulosit menurunkan insiden timbulnya reaksi graftversus-host , kerusakan endothelial berhubungan dengan paru-paru, dan lain permasalahan berhubungan dengan transfusi leukosit ( lihat di bawah), tetapi mempengaruhi fungsi granulosit. Ketersediaan filgrastim (granulocyte colonystimulating faktor, atau G-CSF) dan sargramostim ( granulocyte-macrophage colony-stimulating faktor, atau GM-CSF) telah sangat mengurangi penggunaan transfusi granulosit.4 autoimun trombositopenia, trombotik

25

2.10 Komplikasi Transfusi Darah 2.10.1 Reaksi Hemolisis Reaksi Hemolisis pada umumnya melibatkan destruksi spesifik dari sel darah merah yang ditransfusikan oleh antibodi resipien. Lebih sedikit biasanya, hemolisis sel darah merah resipien terjadi sebagai hasil transfusi antibodi sel darah merah. Trombosit konsentrat yang inkompatible, FFP, clotting factor, atau cryoprecipitate berisi sejumlah kecil plasma dengan anti-A atau anti-B (atau kedua-duanya) alloantibodi. Transfusi dalam jumlah besar dapat menyebabkan hemolisis intravaskular.4 Reaksi Hemolisis biasanya digolongkan delayed (extravascular).4 1. Reaksi hemolisis akut Hemolisis Intravascular akut pada umumnya berhubungan dengan Inkompatibilitas ABO dan frekwensi yang dilaporkan kira-kira 1:38,000 transfusi. Penyebab yang paling umum adalah misidentifikasi suatu pasien, spesimen darah, atau unit transfusi. Reaksi ini adalah yang terberat. Resiko suatu reaksi hemolytic fatal terjadi 1 dalam 100,000 transfusi. Pada pasien yang sadar, gejala meliputi rasa dingin, demam, nausea, dan sakit dada. Pada pasien yang dianestesi, manifestasi dari suatu reaksi hemolytic akut adalah suhu meningkat, tachycardia tak dapat dijelaskan, hypotensi, hemoglobinuria, dan oozing yang difus dari lapangan operasi. Disseminated Intravascular Coagulation, shock, dan penurunan fungsi ginjal dapat berkembang dengan cepat. Beratnya suatu reaksi seringkali tergantung pada berapa banyak darah yang inkompatibel yang sudah diberikan. Gejala yang berat dapat terjadi setelah transfusi 10 15 ml darah yang ABO inkompatibel. Manajemen reaksi hemolisis dapat simpulkan sebagai berikut; Jika dicurigai suatu reaksi hemolisis, transfusi harus dihentikan dengan segera. Darah harus di cek ulang dengan slip darah dan identitas pasien. Kateter urin dipasang , dan urin harus dicek adanya hemoglobin. akut ( intravascular) atau

26

Osmotic diuresis harus diaktifkan dengan mannitol dan cairan kedalam pembuluh darah. Jika ada perdarahan akut, indikasi pemberian platelets dan FFP Suatu reaksi hemolisis lambat biasanya disebut hemolisis extravaskular

2. Reaksi hemolisis lambat biasanya ringan dan disebabkan oleh antibodi non D antigen sistem Rh atau ke alel asing di sistem lain seperti Kell, Duffy, atau Kidd antigen. Berikut suatu transfusi ABO dan Rh D-kompatibel, pasien mempunyai 1-1.6% kesempatan membentuk antibody untuk melawan antigen asing. Pada saat itu sejumlah antibody ini sudah terbentuk ( beberapa minggu sampai beberapa bulan), tranfusi sel darah telah dibersihkan dari sirkulasi. Lebih dari itu, titer antibody menurun dan mungkin tidak terdeteksi. Terpapar kembali dengan antigen asing yang sama selama transfuse sel darah, dapat mencetuskan respon antibody melawan antigen asing. Peristiwa ini dilihat jelas dengan Sistem Kidd antigen. Reaksi hemolisis pada tipe lambat terjadi 2-21 hari setelah transfusi, dan gejala biasanya ringan, terdiri dari malaise, jaundice, dan demam. Hematokrit pasien tidak meningkat setelah transfusi dan tidak adanya perdarahan. Serum bilirubin unconjugated meningkat sebagai hasil pemecahan hemoglobin.4 Diagnosa antibodi-reaksi hemolisis lambat mungkin difasilitasi oleh antiglobulin (Coombs) Test. Coombs test mendeteksi adanya antibodi di membran sel darah. Test ini tidak bisa membedakan antara membran antibodi resipien pada sel darah merah dengan membran antibodi donor pada sel darah merah. Jadi, ini memerlukan suatu pemeriksaan ulang yang lebih terperinci pretransfusi pada kedua spesimen : pasien dan donor.4 Penanganan reaksi hemolisis lambat adalah suportif. Frekuensi reaksi transfusi hemolisis lambat diperkirakan kira-kira 1:12.000 transfusi. Kehamilan ( terpapar sel darah merah janin) dapat juga menyebabkan pembentukan alloantibodies pada seldarah merah. Manajemen: perlu dilakukan pemeriksaan darah rutin, blood film, LDH, direct antiglobulin test, renal profile, serum bilirubin, haptoglobin, dan urinalysis. Fungsi ginjal harus dimonitoring ketat. Terapi spesisfik sangat jarang dibutuhkan,

27

hanya saja pada transfusi selanjutnya perlu berhati-hati dengan melakukan screening golongan darah dan atibodi.4 3. Reaksi imun nonhemolisis Reaksi imun nonhemolisis adalah dalam kaitan dengan sensitisasi dari resipien ke donor lekosit, platelet, atau protein plasma.4 2.10.2 Reaksi Febris Sensitisasi leukosit atau platelet secara khas manifestasinya adalah reaksi febris. Reaksi ini umumnya 1-3% tentang episode transfusi dan ditandai oleh suatu peningkatan temperatur tanpa adanya hemolisis. Pasien dengan suatu riwayat febris berulang harus menerima tranfusi lekosit saja. Transfusi darah merah dapat dibuat leukositnya kurang dengan sentrifuge, filtrasi, atau teknik freeze-thaw.4 2.10.3 Reaksi Urtikaria Reaksi Urtikaria pada umumnya ditandai oleh eritema, penyakit gatal bintik merah dan bengkak, dan menimbulkan rasa gatal tanpa demam. Pada umumnya ( 1% tentang transfusi) dan dipikirkan berkaitan dengan sensitisasi pasien terhadap transfusi protein plasma. Reaksi urtikaria dapat diatasi dengan obat antihistamin ( H, dan mungkin H2 blockers) dan steroid.4 2.10.4 Reaksi Anafilaksis Reaksi Anafilaksis jarang terjadi (kurang lebih 1 dari 150,000 transfusi). Reaksi ini berat dan terjadi setelah hanya beberapa mililiter darah ditranfusi, secara khas pada IgA pasien dengan defisiensi anti-IgA yang menerima tranfusi darah yang berisi IgA. Prevalensi defisiensi IgA diperkirakan 1:600-800 pada populasi yang umum. Reaksi ini diatasi dengan pemberian epinefrin, cairan, kortikosteroid, H1, dan H2 bloker. Pasien dengan defisiensi IgA perlu menerima Washed Packed Red Cells, deglycerolized frozen red cells, atau IgA-Free blood Unit .4 Tandanya meliputi hipotensi, bronkospasme, periorbital dan laryngeal edema, mual & muntah, erythema, urtikaria, konjunctivitis, dyspnoea, nyeri dada, dan nyeri abdomen. Manajemen: hentikan transfusi sampai gejala menghilang selama 30 menit. Untuk menghilangkan gejala berikan antihistamin, misalnya

28

chlorpheniramine 10 mg. Berikan chlorpheniramine sebelum transfusi berikutnya dilakukan.4 2.10.5 Edema Pulmoner Nonkardiogenik Sindrom acute lung injury (Transfusion-Related Acute Lung Injury [TRALI]) merupakan komplikasi yang jarang terjadi(<1:10,000). Ini berkaitan dengan transfusi antileukositik atau anti-HLA antibodi yang saling berhubungan dan menyebabkan sel darah putih pasien teragregasi di sirkulasi pulmoner. Tranfusi sel darah putih dapat berinteraksi dengan leukoaglutinin. Perawatan Awal TRALI adalah sama dengan Acute Respiratory distress syndrome (ARDS), tetapi dapat sembuh dalam 12-48 jam dengan terapi suportif. Manajemen: atasi distres pernapasan dengan ventilator, dan berikan steroid. 2.10.6 Graft versus Host Disease Reaksi jenis ini dapat dilihat pada pasien immune-compromised. Produk sel darah berisi limfosit mampu mengaktifkan respon imun. Penggunaan filter leukosit khusus sendiri tidak dapat dipercaya mencegah penyakit graft-versushost. Iradiasi (1500-3000 cGy) sel darah merah, granulocyte, dan transfusi platelet secara efektif menginaktifasi limfosit tanpa mengubah efikasi dari transfusi.4 2.10.7 Purpura Posttransfusi Thrombositopenia jarang terjadi setelah transfusi darah dan ini berkaitan dengan berkembangnya aloantibodi trombosit. Karena alasan yang tidak jelas, antibodi menghancurkan trombosit. Hitung trombosit secara jelas menurun 1 minggu setelah tranfusi. Plasmapheresis dalam hal ini dianjurkan.4 2.10.8 Imunosupresi Transfusi leukosit merupakan produk darah dapat sebagai immunosuppressi. Ini adalah terlihat jelas pada penerima cangkok ginjal, di mana transfusi darah preoperatif nampak untuk meningkatkan survival dari graft. Beberapa studi menyatakan bahwa rekurensi dari pertumbuhan malignan mungkin lebih mirip pada pasien yang menerima transfusi darah selama pembedahan. Dari kejadian yang ada juga menyatakan bahwa tranfusi leukosit allogenik dapat mengaktifkan virus laten pada resipien. Pada akhirnya, transfusi

29

darah dapat meningkatkan timbulnya infeksi yang serius setelah pembedahan atau trauma.4 2.11 Komplikasi Infeksi 2.11.1 Infeksi Virus Hepatitis Sampai tes rutin untuk virus hepatitis telah diterapkan, insidensi timbulnya hepatitis setelah transfusi darah 7-10%. Sedikitnya 90% tentang kasus ini adalah dalam kaitan dengan hepatitis C virus. Timbulnya hepatitis posttransfusi antarab 1:63,000 dan 1:1,600,000, 75% tentang kasus ini adalah anikterik, dan sedikitnya 50% berkembang menjadi penyakit hati kronis. Lebih dari itu, tentang kelompok yang terakhir ini, sedikitnya 10-20% berkembang menjadi cirrhosis.4 2.11.2 Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) Virus yang bertanggung jawab untuk penyakit ini, HIV-1, ditularkan melalui transfusi darah. Semua darah dites untuk mengetahui adanya anti-HIV-1 dan - 2 antibodi. Dengan adanya FDA yang menguji asam nukleat memperkecil waktu kurang dari satu minggu dan menurunkan resiko dari penularan HIV melalui tranfusi 1:1.900.000 tranfusi.4 2.11.3 Infeksi Virus Lain Cytomegalovirus (CMV) dan Epstein-Barr Virus umumnya menyebabkan penyakit sistemik ringan atau asimptomatik. Yang kurang menguntungkan, pada beberapa individu menjadi pembawa infeksi asimptomatik; lekosit dalam darah dari donor dapat menularkan virus. Pasien immunosupresif dan Immunocompromise (misalnya, bayi prematur dan penerima transplantasi organ) peka terhadap infeksi CMV berat setelah tranfusi. Idealnya, pasien - pasien menerima hanya CMV negatif. Bagaimanapun, studi terbaru menunjukkan bahwa resiko transmisi CMV dari transfusi dari darah yang leukositnya berkurang sama dengan tes darah yang CMV negatif. Oleh karena itu, pemberian darah dengan leukosit yang dikurangi secara klinis cocok diberikan pada pasien seperti itu. Human T sel virus lymphotropic I dan II ( HTLV-1 dan HTLV-2) adalah leukemia dan lymphoma virus, kedua-duanya telah dilaporkan ditularkan melalui transfusi darah; leukemia dihubungkan dengan myelopathy. Penularan Parvovirus telah dilaporkan setelah

30

transfusi faktor pembekuan. dan dapat mengakibatkan krisis transient aplastic pada pasien immunocompromised. Penggunaan filter leukosit khusus nampaknya mengurangi tetapi tidak mengeliminasi timbulnya komplikasi di atas.4 2.11.4 Infeksi Parasit Penyakit parasit yang dapat ditularkan melalui transfusi seperti malaria, toxoplasmosis, dan Penyakit Chagas'. Namun kasus-kasus tersebut jarang terjadi.4 2.11.5 Infeksi Bakteri Kontaminasi bakteri adalah penyebab kedua kematian melalui transfusi. Prevalensi kultur positif dari kantong darah berkisar dari 1/2000 trombosit sampai 1/7000 untuk RBC. Prevalensi sepsis oleh karena transfusi darah berkisar dari 1/25,000 tromobosit sampai 1/250,000 untuk RBC. Angka-angka ini secara relatif besar dibandingkan ke resiko HIV atau hepatitis, yang adalah di sekitar 1/1-2 juta. Baik bakteri gram-positif (Staphylococus) dan bakteri gram-negatif (Yersinia dan Citrobacter) jarang mencemari transfusi darah dan menularkan penyakit. Untuk mencegah kemungkinan kontaminasi dari bakteri, darah harus berikan dalam waktu kurang dari 4 jam. Penyakit bakteri yang ditularkan melalui transfusi darah dari donor meliputi sifilis, brucellosis, salmonellosis, yersiniosis, dan berbagai macam rickettsia.4 Manajemen: penanganan kasus ini adalah dengan memberikan antibiotik sesuai bakteri penginfeksi. Bila jenis bakterinya tidak diketahui, kombinasi berikut dapat dipertimbangkan: Bakteri gram negatif: piperacillin 4,5 g tds iv; atau ceftriaxone 1 g 1x/hari; atau meropenem 1 g tds iv. Bakteri gram positif: teicoplain 400mg bd iv x2; atau vancomycin 1 g bd iv.10 Overload cairan terjadi bila transfusi dilakukan terlalu cepat. Gagal jantung ventrikel kiri akut sering terjadi disertai dyspnoe, tachypnoea, batuk kering, peningkatan JVP, ronki basal paru, hipertensi, dan takikardi.10 Manajemen: hentikan transfusi, dan berikan oksigen dan diuretik. 2.11.7 Iron Overload 2.11.6 Overload Cairan

31

Komplikasi ini sering terjadi pada resipien dengan kelainan yang hidupnya bergantung pada transfusi darah seperti talasemia dan sickle cell. Komplikasi ini terjadi bila transfusi sudah mencapai 10-50 kantong.10 Manajemen: dilakukan iron chelation therapy dengan desferoxamine 3050 mg subkutan atau infus lambat saat malam, minimal 5x/minggu.10 2.12 Transfusi Darah Masif Transfusi darah masif umumnya didefinisikan sebagai kebutuhan transfusi satu sampai dua kali volume darah pasien. Pada kebanyakan pasien dewasa, equivalent dengan 10-20 unit.4 2.12.1 Koagulopati Penyebab utama perdarahan setelah transfusi darah masif adalah dilutional thrombocytopenia. Secara klinis dilusi dari faktor koagulasi tidak biasa terjadi pada pasien normal. Pelajari koagulasi dan hitung trombosit, jika tersedia, idealnya menjadi acuan transfusi trombosit dan FFP. Analisa viskoelastis dari pembekuan darah (thromboelastography dan Sonoclot Analyze) juga bermanfaat.4 2.12.2 Keracunan Sitrat Kalsium berikatan dengan bahan pengawet sitrat secara teoritis dapat menjadi penting setelah transfusi darah dalam jumlah besar. Secara klinis hipokalsemia penting, karena menyebabkan depresi jantung, tidak terjadi pada pasien normal kecuali jika transfusi melebihi 1 U tiap-tiap 5 menit. Sebab metabolisme sitrat terutama di hepar, pasien dengan penyakit atau disfungsi hepar (dan kemungkinan pada pasien hipotermi) memerlukan infus kalsium selama transfusi masif.4 2.12.3 Hipotermia Transfusi Darah massif adalah merupakan indikasi mutlak untuk semua produk darah cairan intravena hangat ke temperatur badan normal. Aritmia Ventrikular dapat menjadi fibrilasi, sering terjadi pada temperatur sekitar 30C. Hypothermia dapat menghambat resusitasi jantung. Penggunaan alat infus cepat dengan pemindahan panas yang efisien sangat efisien telah sungguh mengurangi timbulnya insiden hipotermia yang terkait dengan transfuse.4 2.12.4 Kelainan Asam Basa

32

Walaupun darah yang disimpan adalah bersifat asam dalam kaitan dengan antikoagulan asam sitrat dan akumulasi dari metabolit sel darah merah (karbondioksida dan asam laktat), berkenaan dengan metabolisme asidosis metabolik yang berkaitan dengan transfusi tidaklah umum. Yang terbanyak dari kelainan asam basa setelah tranfusi darah masif adalah alkalosis metabolik postoperatif. Ketika perfusi normal diperbaiki, asidosis metabolik berakhir dan alkalosis metabolik progresif terjadi, sitrat dan laktat yang ada dalam tranfusi dan cairan resusitasi diubah menjadi bikarbonat oleh hepar.4 2.12.5 Perubahan Konsentrasi Kalium Serum Konsentrasi kalium ekstraselular dalam darah yang disimpan meningkat dengan waktu. Jumlah kalium ekstraselular yang transfusi pada unit masingmsaing kurang dari 4 mEq perunit. Hyperkalemia dapat berkembang dengan mengabaikan umur darah ketika transfusi melebihi 100 mL/min. Hypokalemia biasanya ditemui sesudah operasi, terutama sekali dihubungkan dengan alkalosis metabolik.4 2.13 Strategi Alternatif Penanganan Kehilangan Darah 2.13.1 Transfusi Autologus Pasien yang mengalami prosedur pembedahan elektif dengan suatu kemungkinan tinggi untuk transfusi dapat mendonorkan darah mereka sendiri untuk digunakan selama operasi. Darah ini dapat dikumpulkan mulai 4-5 minggu sebelum operasi. Pasien diperbolehkan untuk mendonorkan satu kantong darah sepanjang hematokrit kurang lebih 34% atau hemoglobin sekitar 11 g/dl. Kebutuhan pemakaian darah minimum 72 jam antara mendonorkan darah dan membuat volume plasma kembali normal. Dengan suplementasi besi dan terapi eritropoetin rekombinan ( 400 U perminggu), sedikitnya tiga atau empat unit pada umumnya dikumpulkan sebelum operasi.4 Beberapa studi menyatakan bahwa transfusi darah autologous tidak mempunyai efek tambahan yang mempengaruhi survival pada pasien yang mungkin mengalami operasi untuk kanker. Walaupun transfusi autologous

mengurangi resiko infeksi dan reaksi transfusi, mereka tidaklah dengan sepenuhnya bebas dari resiko. Resiko meliputi reaksi immunologi yang

33

berhubungan dengan kesalahan pekerjaan karyawan dalam pengumpulan dan label, pencemaran, dan gudang/penyimpanan yang tidak benar. Reaksi alergi dapat terjadi dalam kaitan dengan alergen (misalnya, ethylen oksida), dapat masuk kedalam darah dari tempat pengumpulan dan gudang penyimpanan. Pengumpulan darah preoperative berkurang.4 2.13.2 Penyimpanan Darah dan Pemberian Cairan Melalui Infus Berulang Teknik ini umumnya digunakan pada bedah jantung, vaskular dan bedah tulang. Darah di aspirasi intraoperatif bersama-sama dengan suatu pencegah pembekuan darah (heparin) ke dalam suatu reservoir. Setelah jumlah darah cukup dikumpulkan, sel darah yang merah di konsentratkan dan dicuci untuk dimurnikan dari kotoran dan zat pembeku kemudian di transfusikan kembali ke dalam pasien. Konsentrat darah tersebut umumnya mempunyai hematokrit 5060%. Untuk digunakan secara efektif, teknik ini memerlukan kehilangan darah lebih besar dari 1000-1500 mL. Kontrainidikasi meliputi pencemaran dari luka yang busuk dan tumor malignan, meskipun demikian kekhawatiran tentang kemungkinan reinfusi sel malignan via teknik ini tidak dibenarkan. Sistem lebih modern dan sederhana memungkinkan reinfusion darah tanpa centrifuge.4 2.13.3 Normovolemik Hemodilusi Hemodilution normovolemic akut bergantung pada pendapat bahwa jika konsentrasi sel darah merah dikurangi, total kehilangan sel darah merah dapat dikurangi apabila darah dalam jumlah besar ditumpahkan. Lebih dari itu, cardiac output tetap normal sebab volume intravaskular terkontrol. Darah umumnya dikeluarkan sebelum operasi melalui kateter intravena yang besar dan digantikan dengan cairan kristaloid dan koloid, supaya pasien tetap normovolemic tetapi dengan hematocrit 21-25%. Darah yang dikeluarkan disimpan dalam kantong CPD pada suhu sampai 6 jam untuk menjaga fungsi dari trombosit. Darah di transfusikan kembali ke pasien setelah kehilangan darah atau lebih cepat jika diperlukan.4 2.13.4 Donor Transfusi Langsung Pasien dapat meminta donor darah dari anggota keluarga atau teman yang mengandung ABO kompatibilitas. Kebanyakan bank darah tidak menyarankan autologous dilakukan dengan frekuensi

34

hal ini dan umumnya memerlukan donor kurang lebih 7 hari sebelum operasi untuk memproses darah dan mengkonfirmasikan kompatibilitas. Studi yang membandingkan keamanan dari pendonor-langsung dengan donor secara random tidak ada perbedaan, ataupun bank darah lebih aman.4

BAB III KESIMPULAN Transfusi darah memang merupakan upaya untuk menyelamatkan kehidupan dalam banyak hal, dalam bidang anestesi misalnya dalam proses pembedahan besar. Dalam pembedahan, pasien dapat mengalami perdarahan dari yang paling ringan sampai perdarahan massif. Penggantian darah dapat optimal apabila pemilihan jenis darah yang digantikan tepat dan sesuai kondisi pasien pada saat itu, dengan mempertimbangkan komplikasi yang dapat terjadi dalam reaksi transfusi darah penggantian darah ataupun komponen-komponen darah merupakan suatu tindakan yang sangat berarti bagi pasien sesuai dengan tujuan utama transfusi yaitu memelihara dan mempertahankan kesehatan donor, memelihara keadaan biologis darah atau komponen agar lebih bermanfaat, memelihara dan mempertahankan volume darah yang normal pada peredaran darah (stabilitas peredaran darah). mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah, meningkatkan oksigenasi jaringan, memperbaiki fungsi hemostatis.

35

DAFTAR PUSTAKA 1. Intravenous Fluids. Clinical Practice Guidelines. Royal Childrens Hospital Melbourne. http://www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cfm 2. C Waitt, P Waitt, M Pirmohamed. Intravenous Therapy. Postgrad. Med. J. 2004; 80; 1-6. 3. Latief AS, dkk. Petunjuk praktis anestesiologi: terapi cairan 2002 4. Banks JB, Meadows S. Intravenous Fluids for Children with Gastroenteritis. Clinical Inquiries, American Family Physician, January 1 2005. American Academy of Family Physicians. 5. D Payne J, Elliot E. Gastroenteritis in Children. Clin Evid 2004; 12: 1-3. BMJ Publishing Group Ltd 2004. 6. Eliason BC, Lewan RB. Gastroenteritis in Children: Principles of Diagnosis and Treatment. American Family Physician Nov 15 1998. American Academy of Family Physicians. 7. Morgan G.E, et al. Clinical Anesthesiology. Fourth edition. New York: Lange Medical Books McGraw Hill Companies. 2006: 662-689 pada pembedahan. Edisi Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI.

36

8.

Martin S. Intravenous Therapy. Nova Southeastern University PA Program.

9. Ellsbury DL, George CS. Dehydration. eMed J [serial online] 2006 Mar URL:http://www.emedicine.com/CHILD/topic925.htm. 10. McClelland, DBL. Handbook of transfusion medicine ed. 4. 2007. United kingdom blood service.

37

Anda mungkin juga menyukai