Anda di halaman 1dari 7

Indigenous Personality Indigenous Psychology adalah bidang psikologi yang berusaha memperluas batas dan substansi psikologi umum.

Meskipun indigenous psychology maupun psikologi umum berusaha mengungkapkan fakta-fakta universal, tetapi titik awal penelitiannya berbeda. Psikologi umum berusaha menemukan prinsip-prinsip yang terkondekstual, mekanis, universal, dan berasumsi bahwa teori-teori psikologi saat ini bersifat universal (Koch & Leary, 1985).

Kepribadian Yang Pribumi (Indigenous Personality) Kebanyakan teori kepribadian merupakan hasil dari tradisi keilmuan yang pribumi untuk budaya urban-industrial Barat, sehingga dapat menjadi pondasi psikolog bukanBarat dalam membuat kajian-kajian. Namun ada juga teori kepribadian yang bukan berdasar pada tradisi, melainkan merefleksikan keberadaan manusianya. Beberapa kepribadian merupakan hasil rekonstruksi berdasarkan budaya-budaya. Meski

demikian, kepribadian tersebut masih diwarnai oleh pengaruh-pengaruh Barat disamping wawasan-wawasan otentik penulisnya. Beberapa kepribadian tersebut antara lain: Kepribadian Afrika, Amae di Jepang dan Konsepsi India.

Kepribadian Afrika

Selama masa kolonial, psikiater Barat-lah yang mengungkapkan paparan kepribadian orang Afrika yang diwarnai oleh prasangka dan stereotip. Namun, gebrakan dari penulis Afrika sebagai reaksi melawan gambaran negatif pada tahun 1960-1970

mengungkapkan identitas lain orang Afrika yang dapat dipandang.

Senelegase, Sow (1997, 1978) yang merupakan seorang psikiater, mengungkapkan teori tentang kepribadian, psikopatologi dan terapi untuk orang Afrika yang berlandaskan argumen antropologis dan psikologis. Kepribadian ini digambarkan sebagai berikut

Keterangan:

Tubuh. Selubung badaniah seseorang. Asas vitalitas yang ditemukan pada manusia dan binatang. Sama dengan fungsi fisiologis. Asas vitalitas yang ditemukan hanya pada manusia. Asas Spiritual. Tak terjamah kematian, namun dapat meninggalkan tubuh selama tidur dan kesurupan (trance states) serta meninggalkan tubuh saat kematian. Asas ini tidak memberi kehidupan pada badan, namun memiliki eksistensi sendiri.

Sow juga melukiskan hubungan seseorang dengan dunia luar dengan tiga aksis acuan. Menurut Sow, penyakit dan gangguan mental disebabkan oleh

ketidakseimbangan salah satu aksis. Namun hal ini dapat ditangani berdasarkan aksis yang terganggu. Sow menambahkan penyakit tradisi Afrika selalu memiliki sebab eksternal berupa gangguan agresif dari dunia luar. Tiga aksis oleh Sow antara lain:

Aksis [1] (ancestors) menjelajah mulai dari kutub asas spiritual hingga kutub leluhur. Bila terjadi keterpecahan keseimbangan mengakibatkan psikotik kronis serius, namun tidak mengakibatkan kematian selama asas spiritual tidak dirusak oleh roh-roh halus. Dapat disembuhkan dengan menciptakan keadaan kesurupan sebagai teknik psikoterapeutik, untuk membantu memapankan kembali hubungan-hubungan dengan tradisi leluhur.

Aksis [2] (family lineage) menjelajah dari asas vitalitas psikologis hingga jalinan keluarga. Bila terjadi keterpecahan keseimbangan mengakibatkan penyakit organik, kecemasan akut, neurosis dan perasaan merana. Dapat menyebabkan kematian karena rusaknya asas vitalitas. Disebabkan oleh sihir dan dapat disembuhkan dengan sihir pula.

Aksis [3] (Community) menghubungkan komunitas luas, melewati selubung badaniah menuju asas vitalitas fisiologis. Bila terjadi keterpecahan keseimbangan mengakibatkan gangguan organik dan psikosomatik atau keadaan neurotik yang disebabkan serangan musuh. Dapat disembuhkan dengan jimat (fetihism) dan mensyaratkan resolusi konflik (dengan komunitas, keluarga, atau leluhur) dan restitusi yang konsekuen dan keseimbangan.

Amae di Jepang

Amae merupakan suatu bentuk cinta pasif atau dependensi. Pada anak kecil, ini seperti keinginan untuk menjalin kontak dengan ibu yang sifatnya universal, sementara pada orang dewasa lebih pada keinginan untuk membentuk hubungan baru. Amae merupakan ciri budaya Jepang. Psikiater Doi (1973. Dalam Psikologi Lintas Budaya, hlm. 183) menyatakan bahwa budaya dan bahasa saling berkaitan satu sama lain. Doi menambahkan pencarian dan penerimaan orang lain berlangsung bersamaan dengan amae menyingkap perbedaan antara pribadi dan kelompok sosial yang ditemukan di Barat dan menonjol dalam masyarakat Jepang.

Persoalan kesehatan mental yang disebabkan oleh simptom dan ketakutan akan penolakan orang lain digambarkan dalam amae. Namun bila hal tersebut berasal dari ilusi persekusi dan kebesaran (persecution and grandeur), maka keterlibatan amae hanya sebagian kecil. Masyarakat Jepang sangat mendambakan amae sehingga menjadikannya egoistik (self-centered).

Konsepsi India

Salah satu tokoh dalam konsepsi India adalah Paranjpe, yang menyatakan bahwa jiva dan kepribadian memiliki konsep yang sama. Gambaran diri seseorang, termasuk pengalaman dan tindakannya sepanjang daur kehidupan tergambar dalam konsep jiva. Ia menggambarkannya seperti konsep lingkaran (lihat gambar di bawah). Tampak bahwa lingkaran terluar merupakan badan, disusul lingkaran berikutnya yakni nafas

kehidupan, yang merujuk pada proses fisiologis. Lingkaran berikutnya adalah Indera dan pikiran yang bertugas mengkoordinasikan fungsi inderawi. Lingkaran keempat adalah Intelek dan aspek kognitif, termasuk citra diri dan representasi diri. Lingkaran terakhir adalah jiva, yang merupakan tempat berlangsungnya pengalaman

kebahagiaan.

Di dalam konsep jiva juga terdapat real self atau atman, yakni dasar hidup yang sifatnya permanen atau tak dapat diubah, namun dapat direalisasikan dengan maksud suatu pikiran yang terkendali. Diri yang terdalam (antar-atman) merupakan asas eternal, merupakan Yang Esa dan melibatkan pengalaman utuh dari kebahagiaan.

Kebahagiaan itu dapat diraih dengan keberadaan kesadaran tertentu.

Beberapa mahzab lain juga mengakui ulasan Paranjpe, namun terdapat perbedaan dalam keberadaan kesadaran, misalnya Patan-jahli yang memaparkan yoga. Menurutnya, cara untuk mencapai keberadaan kesadaran tertinggi adalah dengan penguasaan dan pengendalian pikiran, sehingga dapat fokus pada satu obyek, mengalihkan indera dari obyek kenikmatan (badaniah) dan bertahan dalam

penderitaan. Orang memiliki pengendalian yang rendah terhadap nafsu, yang menyebabkan diri tak berada dalam penyangkalan diri di tengah terpaan rangsang kekinian dan keserbaberubahan dalam hidup.

DIRI DAN KESADARAN

Konsepsi Tentang Diri

Diri merupakan sosok pribadi yang berasal dari hasil konstruksi budaya. Penelitian pada orang India di negara bagian Orissa menyatakan bahwa pribadi merupakan hal yang terjelma karena relasi sosial dan dilukiskan menurut relasi sosial pula.

Konsepsi Barat menyebutkan bahwa diri adalah individu yang terpisah, otonom, dan atomis (terbentuk dari seperangkat sifat, kemampuan, nilai dan motif yang pilah),

dengan mencari keterpisahan dan ketaktergantungan dari orang lain. Sementara dari Budaya Timur menggambarkan bahwa diri merupakan konsep yang selalu terkait dengan orang lain (merujuk pada konsep relasi, koneksi, dan ketergantungan).

Triandis (1989, dalam Psikologi Lintas Budaya, hlm. 189) menguji tiga aspek diri, yakni privat, publik dan kolektif yang ditampilkan dalam tiga mantra variasi budaya (individualisme-kolektivisme, keketatan-kelonggaran, dan kompleksitas budaya). Ia menarik kesimpulan bahwa makin individualistik suatu budaya, makin sering terjadi sampling (ketertujuan informasi yang relevan bagi diri) terhadap diri privat dan kurangnya sampling pada diri kolektif. Ia menambahkan bahwa makin kompleks suatu budaya, makin sering terjadi sampling terhadap diri privat maupun publik. Alasannya adalah pengasuhan anak, faktor ekologis, dan budaya lain. Wujud Kembar dari Kesadaran (Altered States of Consciusness [ASC])

ASC adalah nama lazim untuk fenomena-fenomena termasuk pengalaman mistik, meditasi, hipnosis, kerasukan (trance), dan kemasukan setan (possession). Kalangan Kristen Protestan dan beberapa ilmuwan menganggap bahwa ASC merupakan abnormalitas.

Ada empat kriterium pembeda ASC dari keberadaan kesadaran lain (tidur, mimpi, ngelindur). Kriterium tersebut adalah: Introspeksi. Misalnya pelaporan diri seseorang yang mengalami keberadaan kontemporer Pola perilaku motorik. Ciri-ciri pembeda ASC dengan keberadaan kesadaran normal oleh Ludwig (1969. Dalam Psikologi Lintas Budaya, hlm. 191) adalah: 1. Kelainan (alternation) berpikir 2. Penghayatan waktu terganggu 3. Kehilangan kendali 4. Perubahan dalam mengungkap emosi 5. Perubahan dalam pencitraan tubuh

6. Cemaran persepsi 7. Perubahan dalam pemaknaan dan pementingan (peningkatan kepentingan pengalaman subyektif) 8. Penghayatan pada hal-hal tak terlukiskan 9. Perasaan-perasaan peremajaan 10. Rentan terhadap pengaruh berlebihan (hipersuggestibility) 11. Induksi, melibatkan tiga teknik, yakni penggunaan hallucinogen, pengurangan stimulasi lingkungan dan tegangan fisik. 12. Ciri-ciri dalam pengukuran psikofisiologis selama pengalaman ASC.

Bourguignon (1976, 1979, dalam Psikologi Lintas Budaya, hlm. 193) menekankan pentingnya pembedaan di antara kerasukan (visionary trance) dan kemasukan roh (possession trance). Orang yang kerasukan dapat mengalami halusinasi, bahkan rohnya dapat meninggalkan tubuh dan mengembara ke tempat lain. Sementara orang yang kerasukan roh akan tampak seperti orang lain. Roh mereka telah diambil alih oleh roh lain yang mendiami tubuhnya. Ia tidak akan mengingat hal yang terjadi selama kerasukan. Bourguignon memandang kerasukan sebagai suatu pengalaman dan kinerja yang mensyaratkan seorang pendengar (Psikologi Lintas Budaya, hlm. 195).

Terdapat hubungan antara tipe ASC (kerasukan atau kemasukan roh) dan ubahubahan budaya menurut Bourguignon. Kerasukan merupakan sesuatu yang tipikal untuk lelaki, sedang kemasukan roh untuk perempuan (Psikologi Lintas Budaya, hlm. 195). Di beberapa daerah seperti Afrika, kemasukan roh lebih sering terjadi. Alasan yang mungkin adalah posisi inferior perempuan di kalangan penduduk daerah pertanian.

L. G. Peters dan Prince Williams (1983, dalam Psikologi Lintas Budaya, hlm. 197) menyebutkan bahwa pencarian makna dan pencerahan sangat mendasar bagi semua pengejawantahan budaya yang berbeda-beda dari ASC. Ia menambahkan teori

mekanisme fisiologis dari ASC telah dikembangkan dalam farmakologi, terutama yang berkaitan dengan neurotransmitter.

Daftar Pustaka

Berry W. J., dkk (1999). Psikologi Lintas Budaya: Riset dan Aplikasi. Jakarta: Gramedia. Segall, M.H., Dasen, P.R., Berry, J.W., & Portinga, Y.H. (1990). Human Behavior in Global Perspective: An Introduction to Cross-Cultural Psychology. NY: Pergamon Series.

Anda mungkin juga menyukai