Anda di halaman 1dari 5

Sawah Dalam Dilema Pembangunan

Oleh: Muhammad Yasar, S.TP, M.Sc

Pang ulee buet ibadat, pang ulee hareukat meugoe, demikian urgensitas turun ke sawah dibahasakan dalam sebuah hadist maja di Aceh. Kalau ditinjau dari kaca mata

ekonomi, barangkali meugoe atau bersawah sebagai sumber utama pendapatan (hareukat) sudah tidak relevan untuk masa sekarang. Rasio pulangan antara pengeluaran dan pendapatan yang tidak setanding dengan berbagai sumber pendapatan di sektor lain telah menyebabkan aktifitas mulia ini semakin kurang diminati terutama oleh generasi muda. Namun, peranan meugoe menjadi sangat strategis apabila dikaitkan dalam konteks penghasil utama bahan pangan sebagai kebutuhan dasar manusia. Bicara meugoe, maka terdapat dua aspek penting yang perlu diperhatikan yaitu sawah dan petani. Dalam tulisan ini penulis ingin memberi penekanan terhadap sawah yang pada era pembangunan dewasa ini semakin terancam eksistensinya akibat konversi atau alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian. Fenomena Global Fenomena konversi ini merupakan hal yang lazim terjadi di setiap negara yang sedang membangun sebagai konsekuensi logis kegiatan pembangunan. Negara industri yang agraris seperti Jepang telah kehilangan satu persen sawahnya setiap tahun selama tiga dekade terakhir (Hamamatsu, 2002). Trend serupa juga berlaku di Korea Selatan sejak 1970-an. Amerika Serikat kehilangan tanah pertaniannya 0,1 % hingga 0,3 % per tahun untuk pembangunan. Demikian juga negara-negara Eropa yang mencapai 1,2 1,5 % per tahun semenjak 1975 hingga 1995 (Xiangzheng, 2002).

Di Indonesia sendiri isu ini baru heboh diperbincangkan sejak 2002 setelah Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan mengeluarkan angka fantastis 160 juta Ha sawah nasional telah terkonversikan selama kurun waktu 1981 hingga 1999. Menurut Iswadi (2009) kegiatan ini akan terus meningkat dan diperkirakan mencapai 14 15 % per tahun. Maka kalau ini terus dibiarkan, tinggal menunggu waktu, sawah akan menjadi barang langka dan terancam punah. Konversi Lahan Sawah di Aceh Badan Ketahanan Pangan Provinsi Aceh pernah mempublikasikan bahwa konversi lahan sawah di Aceh mencapai 300 500 Ha per tahun (Serambi Indonesia, 16 Juli 2008). Bahkan ditingkat Kabupaten, Aceh Besar mengalami konversi 673 Ha selama tiga tahun terakhir (Waspada, 19 Mei 2011). Baru-baru ini Nagan Raya berhasil mengidentifikasi bahwa tiap tahun lahan sawahnya berkurang 20 hektar (Serambi Indonesia, 24 November 2011). Tentunya angka-angka ini tidak seberapa dibanding Jawa Barat yang mencapai 5.000 7.000 Ha per tahun atau Bali yang mencapai 700 1000 Ha per tahun, namun ancaman ini perlu diwaspadai. Aceh memiliki potensi konversi lahan sawah yang cukup besar, data statistik

menunjukkan 1.281 desa berpotensi konversi untuk keperluan perumahan, 34 desa untuk industri, 117 desa untuk pertokoan, 97 desa untuk perkantoran, dan 109 desa untuk kegunaan lainnya (BPS, 1998). Aceh Besar, Aceh Utara, dan Bireuen merupakan tiga kabupaten yang paling rentan dari 23 kabupaten yang lain. Tingkat keterancaman (vulnerability) juga sangat tinggi di kawasan-kawasan pemekaran seperti Pidie Jaya, Aceh Barat Daya, dan Nagan Raya. Hal ini seolah

membuktikan kekawatiran yang disampaikan Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian RI dalam Siswadi (2009) bahwa salah satu faktor pendorong konversi ialah akibat

era otonomi dimana setiap daerah berlomba-lomba untuk meningkatkan PAD dengan jalan pintas yaitu dengan mengundang para investor dan mengkonversikan sawah kepada penggunaan yang lebih menguntungkan tanpa berfikir tentang pengaruhnya terhadap ketahanan pangan. Masalah pangan dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti bencana alam (banjir dan kemarau), serangan hama dan penyakit, kerusakan infrastruktur pertanian (irigasi), pasar yang tidak stabil, dan konversi lahan sawah. Secara agronomis semua faktor tersebut memiliki sifat dan mekanisme yang berbeda dalam konteks ketahanan pangan. Namun dibanding faktor-faktor yang lain, sifat dan mekanisme konversi lahan secara umum adalah lebih merugikan. Hal ini disebabkan oleh dampak yang ditimbulkannya bersifat permanen sedangkan faktor yang lain bersifat sementara, dalam pengertian bahwa masalah yang ditimbulkan tersebut hanya muncul manakala peristiwa tersebut berlangsung. Tetapi pada kasus konversi lahan, masalah yang ditimbulkan akan tetap terasa dalam masa yang panjang walaupun hal tersebut sudah tidak berjalan lagi. Turunnya produksi beras yang disebabkan oleh konversi lahan tidak dapat dipulihkan dengan cepat seperti semula. Hal ini disebabkan oleh 4 faktor yaitu: Pertama, konversi lahan bersifat irreversible (tidak dapat balik), tidak pernah terjadi sawah yang telah berubah menjadi kawasan pembangunan dapat dikembalikan kepada fungsinya semula menjadi sawah (Agus & Syaukat, 2004). Kedua, mencetak sawah baru memerlukan waktu yang cukup lama. Menurut Asyik (1996), pemantapan ekosistem sawah baru memerlukan waktu yang lebih dari 10 tahun dan produktifitasnyapun biasanya rendah akibat kendala biofisik. Menurut Pasandaran (1988), tingkat produktifitas sawah baru hanya 1,5 3 ton/Ha. Ini bermakna bahwa diperlukan 4 5 Ha sawah baru untuk menggantikan satu hektar sawah produktif yang hilang.

Ketiga, sumber daya lahan yang dapat dijadikan sebagai sawah semakin terbatas. Berbeda dengan penggunaan tanah yang lain, menurut Iman (2008) untuk pertanian padi sawah diperlukan prasyarat yang khusus seperti tingkat kesuburan, kesesuaian iklim, ketersediaan air, dan topografi. Tanah yang sesuai untuk pertanian sudah pasti sesuai untuk yang lainnya, tapi belum tentu sebaliknya. Disamping itu mencetak sawah baru juga terkendala anggaran. Konversi itu sendiri telah menyebabkan pembaziran anggaran investasi. Betapa besar anggaran pemerintah yang telah dihabiskan untuk pembangunan infrastruktur pertanian khususnya irigasi, namun pada akhirnya menjadi sia-sia. Keempat, peningkatan kemampuan teknologi memang dapat dijadikan alternatif untuk meningkatkan produksi, namun inovasi teknologi pertanian kita akhir-akhir ini mengalami stagnasi. Menurut Apriantono (2007), peningkatan produktifitas padi kita sudah menunjukkan titik jenuh. Pencapaian tingkat produktifitas kita sudah mencapai level tertinggi yakni rata-rata 4,5 ton/Ha, tertinggi setelah Amerika dan China . Artinya, ke depan peningkatan produksi hanya dimungkinkan melalui perluasan areal atau ekstensifikasi. Tentunya usaha ekstensifikasi tidak akan memberi pengaruh apa-apa jika laju konversi tetap dibiarkan merajalela. Atas pertimbangan itulah kemudian muncul UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB) yang bermaksud untuk menekan laju konversi melalui pendekatan insentif dan disinsentif. Dalam amanah UU tersebut tanah pertanian dilarang untuk diubah fungsinya kecuali dalam kondisi darurat karena bencana atau untuk kepentingan umum yang memenuhi syarat kelayakan strategis, sesuai perencanaan, dan disediakan lahan pengganti. Lahan pengganti inipun harus sesuai dengan ketentuan berikut: untuk tanah beririgasi tiga kali lipat, tanah reklamasi pasang surut/lebak dua kali lipat, dan tanah tanpa irigasi satu kali lipat, dari luas tanah yang dikonversikan.

Namun sangat disayangkan, sudah dua tahun sejak diundangkan 14 Oktober 2009, implementasinya masih belum jelas. Kita berharap Pemerintah Aceh lebih sigap dan menjadi pioneer dalam melindungi sawah pertaniannya sehingga Aceh menjadi lumbung padi nasional yang handal atau kita tinggal menunggu sawah benar-benar termasuk kedalam kategori barang langka? Penulis adalah Dosen Teknik Pertanian Unsyiah, Mahasiswa S3 Universiti Kebangsaan Malaysia, Ketua Umum Ikateta Unsyiah. Artikel ini telah dimuat dan dipublikasi pada Buletin Tanah Rencong, Walhi Aceh, Edisi Jan-Feb 2012

Anda mungkin juga menyukai