Anda di halaman 1dari 21

0

PENDEKATAN HERMENEUTIKA;
SEBUAH PARADIGMA DAN KERANGKA METODOLOGI

MAKALAH
Pendekatan ilmu-ilmuKeislaman Disusun Oleh: Akmal Bashori

PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2013

PENDEKATAN HERMENEUTIKA;
SEBUAH PARADIGMA DAN KERANGKA METODOLOGI I. PENDAHULUAN Hermeneutik dapat didefinisikan secara longgar sebagai suatu teori atau filsafat interpretasi makna. Baru-baru ini hermeneutika telah muncul sebagai topic utama dalam filsafat ilmu sosial, filsafat seni dan bahasa, dan dalam kritik sastra, meski asal usul modernnya bermula dari awal abad Sembilan belas. Hidup manusia sangat berseluk beluk. Masih banyak hal belum jelas benar. Pikiran masih harus lebih berpikir, suara dan artikulasi dari kenyataan (das-sein) masih perlu di dengar dan dipatuhi dan lebih seksama, berbagai hubungan masih harus senantiasa ditemukan, diintegrasikan, ditinjau kembali dan lain seterusnya. Manusia pendek kata harus senantiasa menafsirkan dan membuat interpretasi. (Poespoprodjo, tth: 1) Pemahaman penafsiran terhadap teks tidak hanya menjadi perhatian ilmu pengetahuan, tetapi jelas merupakan bagian dari seluruh pengalaman manusia tentang dunia. Dalam memahami tradisi tidak hanya memahami teks-teks, tetapi wawasan juga harus diperoleh dan kebenaran-kebenaran harus diakui. Dihadapan ilmu pengetahuan modern yang mempunyai posisi dominan dalam penjelasan dan pembenaran terhadap konsep pengetahuan. (Gadamer, 1975: V) Sebagai sebuah pendekatan, akhir-akhir ini hermeneutika semakin di gandrungi oleh para peneliti akademis, kritikus sastra, sosiolog, sejarawan, antropolog, filosof, maupun teolog, khususnya untuk mengkaji, memahami, dan menafsirkan teks (scripture), misalnya: Injil atau Al-Quran. Lebih lanjut, Fahruddin Faiz menyatakan bahwa term khusus yang digunakan dalam pengertian kegiatan interpretasi dalam wacana keilmuan Islam adalah tafsir bahasa Arab fassara atau fasara ini digunakan secara teknis dalam pengertian eksegesis di kalangan orang Islam dari abad ke-5 hingga sekarang. Sedangkan Amin Abdullah menyebut hermeneutika sebagai fiqhtafsir wat tawil. Banyak filofos yang mengkaji hermeneutika diantaranya; Schleiermacher, Wihelm Dilthey, Martin Heideger, H. g. Gadamer, Jurgen Habermas, Paul Ricoeur, Jacques Derrida. Namun didalam makalah ini penulis membatasi pembahasan hanya pada hermeneutika sebagai salah satu pendekatan studi ilmu-ilmu keislaman.

II. PEMBAHASAN 1. Pengertian dan Sejarah Hermeneutika Disepanjang sejarahnya, hermeneutik secara sporadis muncul dan berkembang sebagai teori interpretasi saat ia di perlukan untuk menerjemahkan literatur otoritatif di bawah kondisi-kondisi yang tidak mengijinkan akses kepadanya, karena alasan ruang dan waktu atau pada perbedaan bahasa. Dalam hal ini sebuah teks dapat diperdebatkan atau tetap tersembunyi sehingga memerlukan perjelasan interpretasi agar membuatnya trasparan. (Josef Bleicher, 2003: 5-6) Hermeneutik adalah studi pemahaman, khususnya tugas pemahaman teks. Kajian hermeneutik berkembang sebagai sebuah usaha untuk menggambarkan pemahaman teks, lebih spesifik pemahaman historis dan humanistik. Dengan demikian, hermeneutik mencakup dalam dua fokus perhatian yang berbeda dan saling berinteraksi yaitu; 1) peristiwa pemahaman teks 2) persoalan yang mengarah mengenai apa pemahaman interpretasi itu. (Palmer, 1969: 8) Secara etimologi kata hermeneutika (hermeneutic) berasal dari Yunani, hermeneuein yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan. ia merupakan sebuah proses mengubah sesuatu dari situasi ketidak tahuan menjadi mengerti. Oleh sebab itu, tugas pokok hermeneutika adalah sebagaimana menafsirkan sebuah teks klasik dan asing menjadi milik kita yang hidup di zaman dan tempat berbeda. (Umiarso, 2011: 193). Istilah hermeneutika juga kerap dihubungkan dengan tokoh mitologis Yunani, Hermes, yang bertugas menyampaikan tugas Yupiter kepada manusia. Mitos ini menjelaskan tugas seorang hermes yang begitu penting, yang bila keliru dapat berakibat fatal. Hermes adalah seorang duta yang dibebani misi menyampaikan pesan sang dewa. Berhasil atau tidaknya misi menyampaikan pesan tersebut tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan. Dengan demikian, hermeneutika secara sederhana diartikan sebagai proses mengubah ketidaktahuan menjadi tahu. (Sumaryono, 2003: 24-25) Pada walanya hermeneutika digunakan oleh para kalangan agamawan. Melihat hermeneutika dapat menyuguhkan makna dalam teks klasik, maka abad ke-17 kalangan gereja menerapkan telaah hermeneutis untuk membongkar makna teks Injil. Ketika menemukan kesulitan dalam memahami bahasa dan pesan kitab suci itu, mereka berkesimpulan bahwa kesulitan itu akan membantu

pemecahannya oleh hermeneutik. Karena itu dalam posisi ini hermeneutik dianggap sebagai metode untuk memehami teks kitab suci. Fakta ini di nisbatkan sebagai langkah awal dalam pertumbuhan hermeneutika adalah gerakan interpretasi atau eksegesis diawal perkembangannya. (Sibawaihi, 2007: 7) Jean Grodin (1994: 20) menjelaskan bahwa dalam sejarahnya

hermeneutika sebagai metode penafsiran dapat dilacak kemunculannya paling tidak sejak periode pratistik, jika bukan pada filsafat Stoik yang mengembangkan filsafat aligoris terhadap mitos atau bahkan pada tradisi sastra kuno Yunani. Meskipun demikian, hermeneutika sebagai metode penafsiran, baru pada abad tersebut (ke-17). Namun sebelum abad ke-17 belum memperkenalkan istilah hermeneutika secara definitf dan belum bercorak filosofis. Tentang istilah hermeneutika sendiri secara historis baru muncul pertama kali dalam karya Johann Konrad Dannhauer, seorang teolog Jerman, yang

berjudul Hermeneutika Sacra, Shive methodus Exponendarums Sacrarum yang ditulis pada tahun 1654. Sebagai seorang teolog, hermeneutika yang dibahas masih terbatas dalam penafsiran teks-teks Bibel. (Rahardjo, 2008: 54) Memasuki abad ke-20, kajian hermeneutika semakin berkembang. Schleiermacher, filusuf yang kelak digelari Bapak hermeneutik modern, memperluas cakupan hermeneutika tidak hanya dalam bidang sastra dan kitab suci. Ia melihat bahwa sebagai metode interpretasi, hermeneutika sangat besar artinya bagi keilmuan dan bisa diadopsi oleh semua kalangan. Hingga akhir abad ke-20. 2. Konsep Dasar Hermeneutika Pada dasarnya, hermeneutika berusaha memahami apa yang dikatakan dengan kembali pada motivasinya atau kepada konteksnya, diperlukan konsep kuno yang bernama kata batin inner word. Hermenetika, yang dalam bahasa Inggrisnya adalah hermeneutics, berasal dari kata Yunani hermeneutine dan hermeneia yang masing-masing berarti menafsirkan dan penafsiran. Istilah tersebut dapat dapat dibaca dalam literatur Yunani kuno berjudul Peri

Hermeneias (Tentang Penafsiran). Hermeneutica juga bermuatan pandangan hidup (worldview) dari penggagasnya. Dalam tradisi Yunani, istilah hermeneutika diasosiasikan dengan Hermes (Hermeios), seorang utusan dewa dalam mitologi Yunani kuno yang bertugas

menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewa ke dalam bahasa manusia. Menurut mitos itu, Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata (Orakel) dengan bantuan kata-kata manusia. Dengan demikian, fungsi Hermes sangat penting, sebab bila terjadi kesalah pahaman tentang pesan dewa, maka akan menjadi sangat fatal bagi kehidupan manusia, untuk itu hermes harus mampu menginterpretasikan pesan Tuhan kepada bahasa pendengarnya (Bleicher, 19980: 11). Ebeling (dalam Mudjia, 2012: 28) membuat interpretasi yang dapat dikutip mengenai proses penerjemahan yang dilakukan Hermes. Menurutnya proses tersebut mengandung tiga makna hermeneutik yang mendasar; a. Mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih dalam pikiran melalui kata-kata sebagai medium penyampaian. b. Menjelaskan secara rasional sesuatu sebelum masih samar- samar sehingga maknanya dapat dimengerti c. Menerjemahkan suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa lain yang lebih dikuasai pembaca. Tigapengertian tersebut terangkum dalam pengertian menafsirkan

(interpreting, understanding). Dengan demikian hermeneutika merupakan proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Definisi lain, hermeneutika metode atau cara untuk menafsirkan simbol berupa teks untuk dicari arti dan maknanya, metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudia di bawa ke masa depan. Maka dapat dikatakan bahwa hermeneutika merupakan proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. (Sumaryono, 1999: 24) Menurut Carl Braathen hermeneutika adalah ilmu yang merefleksikan bagaimana satu kata atau satu peristiwa di masa dan kondisi yang lalu bisa dipahami dan menjadi bermakna di masa sekarang sekaligus mengandung aturanaturan metodologis untuk diaplikasikan dalam penafsiran dan asumsi-asumsi metodologis dari aktivitas pemahaman. (Raharjo, 2012: 30) Semula hermeneutika berkembang di kalangan gereja dan dikenal sebagai gerakan eksegegis dan kemudian berkembang menjadi filsafat penafsiran. Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai

komponen pokok dalam kegiatan penafsiran kontekstualisasi.

yakni teks,

konteks dan

Dengan demikian setidaknya terdapat tiga pemahaman mengenai hermeneutika yakni : 1. Sebagai teknik praksis pemahaman atau penafsiran, dekat dengan eksegegis, yakni kegiatan memberi pemahaman tentang sesuatu atau kegiatan untuk mengungkapkan makna tentang sesuatu agar dapat dipahami. 2. Sebagai sebuah metode penafsiran, tentang the conditions of possibility sebuah penafsiran. Hal-hal apa yang dibutuhkan atau langkah-langkah bagaimana harus dilakukan untuk menghindari pemahaman yang keliru terhadap teks. 3. Sebagai penafsiran filsafat. Dalam pemahaman ini hermeneutika menyoroti secara kritis bagaimana bekerjanya pola pemahaman manusia dan bagaimana hasil pemahaman manusia tersebut diajukan, dibenarkan dan bahkan disanggah. (Raharjo, 2012: 32) 3. Hermeneutika dalam Pendekatan Ilmu-ilmu Ke-Islaman A). Bahasa Sebagai pusat Kajian Bagi banyak kalangan, kajian kritis keagamaan lewat pendekatan hermeneutik tidak begitu populer dan untuk kalangan tertentu justru cenderung dihindari. Jangankan menggunakan dan menerapkannya dalam kajian-kajian akademik tentang kehidupan sosial-keagamaan, mendengar istilah hermenutik pun orang sudah antipati. Macam-macam konotasi yang dilekatkan orang terhadap hermeneutik. Yang paling mudah diingat adalah predikat relativisme atau istilah yang populer digunakan di tanah air adalah pendangkalan akidah. Sebagian lain dikaitkan dengan pengaruh kajian Biblical Studies di lingkungan Kristen yang hendak diterapkan dalam kajian al-Quran di lingkungan Islam. (Abdullah, 2010: 272-273) Persoalan penafsiran nash-nash keagamaan (al-Quran dan hadis) ini dijadikan penulis sebagai dasar pijakan untuk menyelami dan mendalami lebih lanjut bagaimana sesungguhnya mekanisme penafsiran, pemahaman, perumusan, pemilihan, pengambilan kesimpulan dan pengambil keputusan yang dilakukan oleh seseorang, keluarga, kelompok, organisasi dan institusi keagamaan yang membidangi pemikiran hukum Islam. Dari sini persoalan pelik muncul.

Pertanyaan mendesak seperti diungkap di depan yang dikemukakan oleh pendekatan hermeneutik adalah: Mengapa dalam dunia modern sekarang ini terdapat gejala umum yang mudah sekali ditangkap diberbagai tempat adanya kecenderungan yang kuat oleh umat beragama, khususnya, Islam untuk mengambilalih begitu saja kekuasaan (otoritas) Pengarang (Author), dalam hal ini adalah otoritas Ketuhanan, untuk membenarkan tindakan sewenang-wenang yang absolut (despotism) yang dilakukan oleh Pembaca (Reader) teks-teks atau nas-nas keagamaan? Dengan mengklaim bahwa pemahaman yang paling relevan dan paling benar hanyalah keinginan Pengarang (the Will of Author), maka dengan mudah para Pembaca (Reader) menggantikan posisi Pengarang (Author) dan menempatkan dirinya atau lembaganya sebagai satu-satunya pemilik absolut sumber otoritas kebenaran. Disini lalu terjadi proses perubahan secara instan yang sangat cepat dan menyolok, yaitu metamorfosis atau menyatunya Pembaca (The Reader) dan Pengarang (The Author), dalam arti bahwa Pembaca tanpa peduli dengan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri dan institusinya menjadi Tuhan (Author) yang tidak terbatas. (Abdullah, 2010: 276-277) Objek utama hermeneutika adalah teks dan teks adalah hasil atau produk praksis berbahasa, maka antara hermeneutika dengan bahasa akan terjalin hubungan sangat dekat. Dalam Gadamers Philoshopical hermeneutics

dinyatakan, Gadamer places language at the core of understanding. (Raharjo, 2012: 33) Pentingnya keberadaan bahasa bagi kehidupan manusia, sehingga manusia tidak mungkin berbuat apa-apa tanpa bahasa. Menurut Gadamer, bahasa bukan dipandang sebagai sesuatu yang mengalami perubahan, malainkan sesuatu yang memiliki ketertujuan didalam dirinya. Maksudnya, kata-kata atau ungkapan tidak pernah tidak bermakna. Kata atau ungkapan selalu mempunyai tujuan (telos). Tanpa kita sadari seringkali kita menghirup berbagai macam bahasa seperti; bahasa puisi, hukum, dsb. Di sinilah letak perbedaan antara pemakaian bahasa sebagai bahasa ibu dengan seorang yang berusaha untuk dapat berebicara dengan bahsa yang sama. (Sumaryono, 1999: 27) Hermeneutika merupakan ilmu untuk memahami atau mengerti makna tersebut. Oleh karena itu menurut Gademer memahami itu artinya memahami melalui bahasa (Rahardjo, 2012: 35). Dengan begitu tampaknya bahasa

memiliki realitas obyektif tersendiri, karena maknanya tidak dapat ditentukan secara efektif dan sepihak, baik oleh author (pengarang) maupun oleh pembaca (reader). Ketika seorang atau kelompok menggunakan perantara bahasa sebagai media komunikasi, dialog untuk menuangkan buah pikiran, secara otomatis mereka harus memahami keterbatasan-keterbatasan yang melekat di dalamnya. Keterbatasan-keterbatasan tersebut dibuat secara alami oleh pengguna bahasa itu sendiri, baik oleh pengalaman-pengalaman pendengar secara sosial maupun kulturan. Oleh karena kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh masyarakat penentu makna, maka pemahaman teks tidak dapat ditentukan oleh kelompok yang manapun, baik oleh pengarang maupun oleh pembaca secara sepihak. Pemahaman teks seharusnya merupakan produk interaksi yang hidup antara pengarang (author), teks (text) dan pembaca (reader). Ijtihad sebenarnya terkandung arti adanya peran aktif dan interaksi yang hidup dan dinamis antara ketiganya elemen pelaku tersebut. (Abdullah, 2010: 278)

B). Langkah Paradigmatis dan Metotologis Pemakaian istilah hermeneutika dalam kajian interpretasi pada dunia Islam adalah sesuatu yang baru dan tidak terbiasa dalam kesarjanaan tradisional. Tidak adanya istilah yang definitif bagi hermeneutika dalam disiplin Islam klasik dan tidak digunakannya dalam skala yang berarti dalam kajian al-Quran tidak berarti bahwa paham hermeneutika yang definitive atau pemberlakuaanya dalam kajian al-Quran yang tradisional atau disiplin yang lainnya itu tidak ada. (Hasyim, 2008:142)Dalam tradisi pemikiran Islam, intensitas perbincangan mengenai problem hermeneutika dalam Islam tidak se-semarak dalam tradisi Kristen dan Yahudi. Kenyataan ini khususnya berlaku pada masa Nabi dan sahabat. Pada masa itu pemahaman dan pengalaman agama atas dasar pijakan hermeneutika belum sepenuhnya di kenal. Setidaknya ada dua factor utama yang menyebabkan keringnya diskursus hermeneutis dalam pemikiran Islam klasik, khususnya periode Nabi dan Sahabat. Pertama factor otoritas Nabi. Pada masa nabi dan Sahabat, persoalan penafsiran al-Quran sangat terkait dengan kenabian Muhammad. Dalam, posisi ini Muhammad tidak hanya berfungsi menyampaikan pesan Tuhan yang berwujud alQuran, namun ia berfungsi sabagai penafsir otoritatif dengan al-hadis sebagai

bentuk formalnya. Kedua; factor kesadaran umat Islam saat itu yang masih kental dengan argument-argumen dogmatis ketimbang penalaran kritis. Mereka mempercayai sakralitas al-Quran yang secara literal berasal dari Allah dank arena itu membacanya merupakan ibadah. Implikasinya penafsiran literal terhadap ayatayat al-Quran merupakan langkah popular yang dilakukan umat Islam dalam memahami kandungan al-Quran dan mereka memerlukan perangkat metodologis hermeneutika dalam memahami al-Quran. (Supena, 2008: 29-30) Adalah Hasan Hanafi-lah yang pertama kali memperkenalkan

Hermeneutika pada dunia pemikiran Islam dalam bukunya yang berjudul: Les Methodes dExeges, Essai sur La Science des Fordements de la Comprehesion, Ilm Usul al-Fiqh pada tahun 1965(Muzairi, 2003: 60). Selain di Mesir, seperti Hasan Hanafi, Muhammad Abduh dan Nashr Hamid Abu Zayd sendiri, tokoh Islam yang menggeluti kajian Hermeneutika antara lain; di India, Ahmad Khan, Amir Ali dan Ghulam Ahmad Parves, yang berusaha melakukan demitologisasi konsep-konsep dalam Al-Quran yang dianggap bersifat mitologis. di Aljazair muncul Mohammed Arkoun yang menelorkan ide cara baca semiotik terhadap AlQuran. Lalu Fazlurrahman yang merumuskan Hermeneutika semantik terhadap Al-Quran, dan kemudian dikenal sebagai double movement.(Faiz, 2005: 14-15) Di Indonesia, antara lain M. Amin Abdullah, seorang profesor di Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta yang dikenal cukup gigih dan rajin memperjuangkan penggunaan Hermeneutika dalam penafsiran Al-Quran. Ia banyak menulis kata pengantar dalam buku-buku Hermeneutika Al-Quran, antara lain Hermeneutika Pembebasan, Hermeneutika Al-Quran, Tema-tema Kontroversial, dan Hermeneutika Al-Quran, mazhab Yogya. Ia menyatakan bahwa Hermeneutika adalah sebuah kebenaran yang harus disampaikan kepada dunia Islam, meskipun banyak yang mengkritiknya. Ia-pun banyak mengkritisi metode tafsir klasik. (Faiz, 2005: XV) Lebih lanjut, Farid Esack ingin memperlihatkan Hermeneutika yang identik dengan konsep tafsir klasik, dalam tiga hal: 1) penafsir yang manusiawi, yang membawa muatan-muatan kemanusiaan masing-masing, dan pada akhirnya memproduksi komentar-komentar subjektif terhadap penafsirannya, 2) penafsiran yang tidak dapat lepas dari bahasa, budaya dan tradisi, dan 3) teks yang bernuansa sosio-historis, sehingga tidak lagi unik. Faiz (2005: 16-20) yang

mengutip perspektif ini menyimpulkan bahwa penafsiran dengan teori ini dapat dinilai merupakan representasi dari model Hermeneutika filosofis murni Gadamerian.Yang terbagi dalam tiga titik pusat dalam hermeneutika Gadamer, yakni pengarang (author), teks (text), dan pembaca (reader). (Silverman, 199: 18). Ketiga horizon inilah yang nantinya akan di gunakan untuk berdialog sehingga dapat memahami (menafsirkan) sebuah teks; 1. Horizon Teks Abu Zaid (1990: 9) mengatakan bahwa peradaban mesir kuno adalah metafisika, peradaban Yunani adalah Nalar Sejarah peradaban arab Islam adalah sejarah peradaban teks (Khadarat al-nash) artinya, itu merupakan peradaban yang dasar-dasar keilmuan dan peradabannya muncul dan berdiri atas prinsip yang tidak memungkinkan untuk melupakan sentralitas teks. Oleh karena itu dalam pendekatan hermeneutika bahasa sangat penting bagi kehidupan manusia. Manusia dapat melakukan aktivitas seperti menulis, membaca dan berfikir tidak lepas dari bahasa. Demikian juga dengan alQuran, bahasa (teks) menjadi salah satu factor penting dalam memahami alQuran maupun hadis, sebab bahasa (teks) merupakan satu-satunya yang digunakan untuk menyapa pembacanya. Al-Quran maupun sendiri

menggunakan bahasa arab sebagai alat komunikasi yang di pakainya. Menyadari pentingnya teks ini, maka langkah pertama dalam menafsirkan alQuran adalah memahami teksnya yang berbahasa arab. Dengan memahami bahasa arab, seorang penafsir akan memiliki bekal awal untuk memahami makna, hikmah maupun hokum al-Quran secara tepat. Oleh karena itu dari sudut teks ini terdapat tiga aspek yang harus di pahami, yakni; pertama, dalam teks maksudnya, ide dan maksud teks tersebut lepas dari pengarang.Kedua, di belakang teks, teks merupakan hasil kristalisasi linguistik dari realitas yang mengitarinya.Ketiga, di depan teks, makna baru yang tercipta setelah pembaca dengan horizon yang dimilikinya untuk memahami teks tersebut. 2. Horizon Pengaran Ketika pengarang (Author) al-Quran adalah Tuhan yang transenden dan ahistoris maka ia diwakili oleh Muhammad saw. Yang diyakini umat Islam sebagai penafsir otoritatif atas al-Quran. Relasi Muhammad dan al-Quran dengan relasi historis ini dapat dilihat beberapa hal berikut. Pertama tema-

10

tema yang diusung al-Quran seperti doktrin monoteisme, keadilan social, ekonomi, merupakan bagian pengalaman religious Muhammad yang orisinil.Kedua reformasi yang dilakukan nabi selalu dimulai dengan mempersiapkan dahulu landasan yang kuat sebelum memperkenalkan suatu tindakan atau perubahan yang besar. Ketika Nabi masih tinggal di Makkah, Nabi belum memiliki kekuasaan untuk bertindak dalam sector legislasi umum. Setelah tinggal di Madinah dan memiliki wewenang administrasi dan politik nabi baru membuat hokum-hukum.Ketiga a al-Quran selalu mempunyai konteks social (asbab al-nuzul). Karena Muhammad hidup dan berinteraksi dengan masyarkat Arab, maka menjadi keharusan bagi penafsir yang ingin memahami al-Quran untuk memahami pula dimensi historis-sosiologis yang menyertai masyarakat arab itu. Dengan demikian, untuk menangkap makna alQuran secara komprehensif, maka seluruh aktivitas Muhammad yang merupakan penjabaran al-Quran pada tingkat actual harus dipahami secara utuh. Dari narasi tersebut ada proses terciptanya sebuah teks; a) tahapan pengalaman atau gagasan yang belum termasukkan (Prafigurasi), b) ketika author mulai menciptakan gagasannya (konfigurasi), c) tahap teks yang sudah di ciptakan dan di tafsiri banyak orang (Transfigurasi).

3. Horizon Pembaca Selain situasi social pada masa Nabi, situasi social masyarakat kontemporer , yang mempengaruhi horizon pembaca, juga merupakan hal yang penting untuk dipahami penafsir. Pemahaman ini akan menjadi dasar untuk menerapkan prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan tujuan al-Quran dalam kasus actual secara tepat. Penafsir harus mengusasai dimensi yang membentuk situasi masyarakat kontemporer tersebut, baik ekonomi, politik, kebudayaan maupun yang lain, lalu menilainya dengan mengubahnya sejauh yang diperlukan baru kemudian menentukan prioritas-prioritas baru untuk biasa menerapkan al-Quran secara baru pula. Asumsinya, kehidupan masyarakat dewasa ini sudah sangat berbeda di bandingkan dengan masyarakat Arab di zaman Nabi, lebih-lebih setelah arus modernism yang dihembuskan masyarakat barat setelah memasuki dunia Islam. Saat ini, umat manusia hidup dalam sebua desa benua yang terdiri dari

11

berbagai bangsa yang berhubungan erat satu dengan yang lainnya. Perubahan politik ekonomi, dan budaya disuatu Negara atau bangsa yang lain. Perkembangan modernism yang berlangsung didunia barat yang mengusung tema-tema seperti demokrasi, pluralism, kebebasan, emansipasi, hak asasi manusia (HAM), dan sebagainya. Mau tidak mau akan mempengaruhi styledan pola piker masyarakat Islam. Akibatnya dalam masyarakat Islam sendiri terjadi transformasi social, baik dalam aspek social, budaya, ekonomi maupun system nilai. Dari contoh tersebut dapat dipahamiada oleh penafsir untuk memahami teks, yakni; pre-understanding, explanation dan

understanding.(Supena, 2008: 141-146) Khaled berulangkali menjelaskan bahwa penggantian secara halus dan lebih-lebih jika dilakukan secara kasar, kekuasaan atau otoritas Tuhan (Author) oleh Pembaca (Reader) adalah merupakan tindakan dispotisme dan sekaligus merupakan bentuk penyelewengan (corruption) yang nyata dari logika hukum Islam yang tidak bisa dibenarkan begitu saja, tanpa kritik yang tajam dari community of interpreters (masyarakat penafsir) yang ada disekitarnya.Jadi pada hermeneutika menempatkan teks sebagai obyek kajiannya 2) menjadikan teks sebagai bahan perantara untuk mendapatkan makna yang sebenarnya dibalik teks. 3) mempertimbangkan faktor-faktor yang ada diluar teks sebagai unsur yang memegang peran penting dalam menafsirkan sebuah teks. (Hasyim, 2008: 137) Bagan Hermeneutika HERMENEUTIC APPROACH

Teks

Hermeneutika Approach

Author

Reader

12

Pendekatan hermeneutika, umumnya membahas pola hubungan segitiga (triadic) antara teks, si pembuat teks, dan pembaca (penafsir teks). Dalam hermeneutika, seorang penafsir (hermeneut) dalam memahami sebuah teks, baik itu teks kitab suci maupun teks umum dituntut untuk tidak sekedar melihat apa yang ada pada teks, tetapi lebih kepada apa yang ada dibalik teks. (www.yusdani.com) Dalam perkembangannya, banyak para pembaca teks (penafsir) terjebak dalam lingkaran author. Sikap ini nampak ketika dalam diri mereka ada klaimklaim kebenaran (truth claim) dan menafikan pembaca/pembacaan teks yang lain. Menurut Khaled, sikap tersebut disebut authoritarianisme. (Khaled, 2003: 210) Paling tidak hermeneutika dapat dipilih dalam tiga katagori: sabagai filsafat, sebagai kritik, dan sebagai teori. Pertama Hermeneutika Teoritis. Adalah bentuk hermeneutika yang menitik beratkan kajiaanya pada problem

pemahaman yakni bagaimana memahami dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki teks. Oleh karena itu tujuannya memahami secara obyektif maksud penggagas, makna hermeneutika model ini dianggap juga hermeneutika romantic yang bertujuan untuk merekonstruksi makna. Kedua filsafat., hermeneutika tumbuh sebagai aliran pemikiran yang menempati lahan-lahan strategis dalam diskursus filsafat. Problem utamanya adalah bagaimana tindakan memahami itu sendiri. Hermeneutika ini di gagas oleh Gadamer, menurut Gadamer hermeneutika berbicara tentang watak interpretasi, bukan teori interpretasi. Ketiga kritik, hermeneutika memberi reaksi keras terhadap berbagai asumsi idealis yang menolak pertimbangan ekstralinguistik sebagai faktor penentu konteks pikiran dan aksi. Ini dimotori oleh Habermas. Sebagai teori, hermeneutika berfokus pada problem di teori interpretasi; bagaimana menghasilkan interpretasi dan standarisasinya. Asumsinya adalah bahwa sebagai pembaca, orang tidak punya akses pada pembuat teks karena perbedaan ruang dan waktu, sehingga diperlukan hermeneutika. (Kurdi, 2010: 105-106) Khaled (2003: 206) menggambarkan bagaimana proses seorang pembaca teks sehingga jatuh dalam sikap otoriter seperti ini, ketika pembaca bergelut dengan teks dan menarik sebuah hukum dari teks, resiko yang dihadapi adalah bahwa pembaca menyatu dengan teks, atau penetapan pembaca akan menjadi

13

perwujudan ekslusif teks tersebut. Akibatnya, teks dan konstruksi pembaca akan menjadi satu dan serupa. Dalam proses ini, teks tunduk kepada pembaca dan secara efektif pembaca menjadi pengganti teks. Jika seorang pembaca memilih sebuah cara baca tertentu atas teks dan mengklaim bahwa tidak ada lagi pembacaan lain, teks tersebut larut ke dalam karakter pembaca. Jika pembaca melampaui dan menyelewengkan teks, bahaya yang akan dihadapi adalah pembaca akan menjadi tidak efektif, tidak tersentuh, melangit dan otoriter. Bagan di atas menjadi seperti ini.

Teks

Hermeneutik Approach Author Reader

Sang Author (awalnya reader/pembaca teks) menafikan penafsir/reader lain. Bila muncul reader-reader yang lain, maka terjadilah perdebatan hingga sikap-sikap otoriter, seperti: halal darahnya, murtad, kafir, wajib dibunuh, diusir dan lain-lain. Pada zaman sekarang, readers baru biasanya diwakili oleh para peneliti, akademisi, dosen, mahasiswa, ulama, para aktivis muslim yang mencoba memaknai teks dengan pemahaman yang baru. Contohnya; Khaled M. Abuo alFadl, Fazlur Rahman, Arkoun, Farid Essac, Nasr Hamid, Al-Jabiri, Hasan Hanafi, Amina Wadud, Fatima Mernisi, Laila Ahmad, dan lain-lain. Di Indonesia, ada Abdurrahman Wahid, Harun Nasution, Nurcholis Majid, Amin Abdullah, JIL, Ahmadiyah, Syiah, dan lain-lain.

III.

ANALISIS Hermeneutika mengalami perluasan dan pergeseran makna, dari yang semula merupakan istilah dalam kajian teologi (khusus dalam protestanisme)

14

menjadi kian luas hingga meliputi berbagai disiplin humaniora, seperti sejarah, sosiologi, antropologi, estetika, kritik sastra dan lainnya. Dalam kajian hermeneutika, kata-kata yang diucapkan seorang

sesungguhnya merupakan simbol dari pengalaman mentalnya dan kalimat-kalimat yang dia tulis merupakan simbol dari kata-kata yang sesungguhnya diinginkan untuk diucapkan. Ungkapan bahasa lisan orang yang satu dengan yang lainnya tidak pernah sama. Sekalipun sejumlah individu yang menyaksikan peristiwa empirik atau memiliki pengalaman mental yang sama, namun ekspresi bahasa lisan yang asli dan otentik yang digunakan untuk mengungkapkan pengalamannya itu tidaklah pernah sama. Hal itu terjadi dalam ekspresi gagasan, ide dan perasaan setiap manusia. Bila ekspresi lisan diungkapkan lagi dalam bahasa tulisan, akan timbul komplikasi dan keruwetan lagi. Transformasi dari pengalaman ke dalam kata-kata yang diucapkan dan ditulis memiliki kecenderungan dasar untuk menyusut. Pengalaman mental ide, konsep, atau gambaran dalam pikiran seseorang sesungguhnya amat kaya dengan corak, warna serta nuansa yang beraneka ragam berdasarkan subjektivitas pribadi masing-masing. (Huda, 2007:129) Kekayaan warna dan nuansa tersebut tidak mungkin tercakup seluruhnya oleh ungkapan kata-kata, baik lisan atau tulisan, sekalipun ungkapan tersebut telah dibuat sesempurna mungkin. Hal itu karena setiap ungkapan lisan atau tulisan telah membawa makna-makna definitif dan khas sesuai dengan lingkup jangkauannya berdasarkan konvensi sosial. Jika prinsip ini diterapkan dalam teksteks sumber ajaran syariat, misalnya ayat al-Quran atau redaksi hadist maka akan dapat dikatakan bahwa makna harfiah ayat al-Quran atau hadis jauh lebih sempit lingkungannya dari pada keseluruhan pesan dan visi ideal yang terkandung didalamnya, seperti yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Pesan-pesan ideal sesungguhnya terkandung didalam ungkapan verbal alQuran atau hadist itu (the ideas behind the text)adalah jauh lebih luas dari pada makna harfiahnya. Keluasan makna itu tidak mungkin ditangkap oleh mufassir dan mujtahid manapun. Oleh karena itu konsep pemahaman al-Quran maupun hadis tidak pernah dianggap final dan memiliki kebenaran mutlak. Teks- teks syariat tersebut senantiasa terbuka untuk dibaca dan di tafsikan kembali guna

15

mendapatkan konsep pemahaman yang lebih baik sesuai dengan cita-cita sosiomoral dan kebutuhan historisnya.

IV.

KESIMPULAN Ada tiga (triadik) hal yang dalam hermeneutik yaitu author (pencipta), text(teks) dan pembaca(reader), terdapat peran aktif dan interaksi yang hidup dinamis antar ketiganya elemen pelaku tersebut. Dengan demikian ada proses penyeimbangan diantara berbagai muatan kepentingan yang dibawa oleh masingmasing pihak dan terjadi proses negosiasi yang terus menerus, tak kenal henti, antara ketiga pihak. Setiap aktor harus dihormati dan peranmasing-masing pihak harus dipertimbangkan secara sungguh-sungguh. Hermeneutika merupakan ilmu untuk memahami atau mengerti makna tersebut. Oleh karena itu memahami itu artinya memahami melalui bahasa. Bahasa dilihat sebagai faktor fundamental dalam eksistensi manusia dalam menghayati keberadaannya di dunia. Dengan bahasa manusia bisa menjelaskan, memahami, dan menggambarkan realitas dunianya. Bahasa menjadi medium untuk hal-hal ini. Bahasa mengandung unsur keterbukaan untuk berdialog dengan tradisi dan dapat membuka cakrawala pemahaman yang lebih luas. Manusia dapat mencapai puncak krativitasnya melalui bahasa, antara lain dengan menulis dan membaca. Penulisan suatu suatu teks inilah yang nantinya mengantarkan pada pencipta karya satra, dimana di dalam karya tersebut mengandung banyak pengalaman dan tanda-tanda yang di tuliskan sang penulis. Untuk memahaminya, bukan berarti si pembaca harus kembali pada masa lampau, melainkan harus memiliki keterlibatan masa kini atas apa yang tertulis.

V.

PENUTUP Demikian makalah yang dapat penulis sajikan, kritik dan saran yang konstruktif sangatlah penulis harapkan demi tercapainya suatu makalah yang baik. Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua dan dapat memperkaya khazanah Intelektual kita.

16

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Islamic studies di Perguruan Tinggi pendekatan IntegratifInterkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Bertens, K, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia, 2002. El Fadl, Khaled M. Abou, Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, and Women. Terj.Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
2004.

Faiz, Fahruddi, Hermeneutika Al-Quran, tema-tema kontroversial, elSAQ, 2005. Hery, Musnur et al, Richard E. Palmer, Interpretation Theory in Scheimacher, Dilthey, Heidger dan Gadamer, terj. Hermeneutika teori baru mengenai interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Hasyim, Syafiq, et all, Modul Islam dan Pluralisme, Jakarta: ICIP (International Center for Islamic and Pluralism), cet I, 2008. Huda Miftahul, Membaca Teks Hadis; antara Makna Literal dan Makna Utama, Dalam Jurnal ULUMUNA Vol. XI tahun 2007. Muzairi, Hermeneutika dalam Pemikiran Islam, sebuah makalah dalam buku Hermeneutika Al-Quran Mazhab Yogya. Islamika, 2003. Newton, K. M. Twentieth Century Literary Theory. St. Martins Press, Oxford, 1997. Permata, Ahmad Norma, Josef Blaicher, Hermeneutika Kontemporer, Hermeneutika sebagai metode, filsafat, dan kritik, Yogyakarta: fajar Pustaka Baru, 2003. Raharjo, Mudjia, Dasar-dasar hermeneutika Antara intensionalisme dan Gadamerian, Jogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012. Sahidah, Ahmad, Hans Georg Gadamer, Truth and method, terj. Kebenaran dan Metode, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Silverman, Hugh J, Gadamer and Hermeneutics, Routledge Publishing New York, 1991. Sumaryono, E, Hermeneutika sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: kanisius, 1999. Sibawaihi, Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman, Yogyakarta: jalasutra 2007. Supena, Ilyas, Desain Ilmu-ilmu Keislaman; dalam Pemikiran Hermeneutika fazlur Rahman, Semarang: Walisongo Press, 2008.

17

Umiarso, Hasan Hanfi; Pendekatan Hermeneutik dalam Menghidupkan TUHAN, Sebuah bunga Rampai, Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2011. Zaid, Nasr Hamid Abu, Mafhum al-Nash, Beirut: al-Markaz al-Tsiqafi al-Araby, 1990.

REVIEW
Judul Penulis Terbit Penerbit : HERMENEUTIKA TAFSIR AL-IBRIZ (Study pemikiran KH. Bisri Mustafa Dalam Tafsir Al-Ibriz) : Abu Rokhmad : Oktober 2004 : Pusat Penelitian IAIN Walisongo

I.

Deskripsi Naskah Al-Quran dalam studi ini lebih dipahami dalam dimensi relasionalnya pada sebagai satu fenomena atau kategori keagamaan yang absolut. Pemahaman yang lebih tepat dan berguna terhadap kitab suci adalah pemahaman yang disertai kesadaran bahwa kitab suci bukan sekedar teks. Ia lalu berhubungan dengan satu tradisi yang sedang berjalan. Focus kajian ini adalah untuk mengungkapkan metode karakteristik dan hermeneutika dalam tafsir al-ibriz karya KH. Bisri Mustafa. Untuk itu dalam melakukan penelitian ini sang penulis menggunakan pendekatan historis dan Hermeneutika. Sebagaimana disinggung diatas, hermeneutika merupakan salah satu metode penafsiran yang berangkat dari analisa bahasa yang kemudian melangkah kepada analisa psikologis, histiris serta sosiologis. Jika pendekatan ini dipertemukan dengan kajian teks al-Quran, maka persoalan pokok dan persoalan teks al-Quran yang dihadapi adalah bagaimana teks al-Quran hadir ditengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan dan didialogkan dalam rangka menghadapi realitas social. Adalah KH. Bisri Mustofa lahir dari pasangan H. Zaenal Mustafa dan Chadijah di desa Sawahan Rembang. Pada tahun 1915. Dengan nama kecil Mashadi. Setelah naik haji yang pertama kalinya namanya diganti seperti saat sekarang ini. Pendidikan pertama Bisri di HIS (Hollands Inlands Scholl) di rembang dengan uang sekolah Rp. 3-7. Setelah itu pada bulan puasa 1925 Bisri diantar ke pondok Kajen pimpinan K. chasbullah. Bisri juga pernah ikut pengajian kataman kitab Bukhari Muslim kepada KH. Hasyim Asyari di Jombang. Selama setahun KH. Bisri Mustafa belajar di tempat kelahiran Islam dan beliau berguru kepada K. Bakir, Syaikh Hamdan al-magriby, Syekh Maliki, sayyid Amin, Syekch Hasan Masyath, Sayyid Alawie dan K. abdul Muhaimin. Pada tahun 1937 Bisri bersama kedua kawannya kembali ke Rembang. KH. Bisri Mustafa meninggal pada hari Rabu tanggal 17 Pebruari 1977 (27 Shoffar 1397 H). Aspek hermeneutic dalam kitab al-Ibriz makna kata perkata disusun dengan system makna gundul, sedang penjelasannya (tafsirnya) diletakkan di bagian luarnya. Dengan cara ini, kedudukan dan fungsi kalimatnya dijelaskan detail, sehingga siapapun yang membacanya akan mengetahui bahwa lafad ini kedudukannya sebagai fiil, fail, maful dan sebagainya. Dalam konteks hermeneutika, makna gandul ini parallel dengan analisis

18

bahasa sangat penting dalam mengungkap setruktur bahasa yang menjebak. Kelalaian arti sisi ini mengakibatkan lahirnya tafsir yang misleading karena tidak memahami anatomi bahasa yang ditafsirkan padahal dibalik makna ada maksud yang diterkandung yang diinginkan penafsir. Didalamnya kepentingan ekonomi, social dan politik seorang penafsir. Tekhnik tafsir ini ada dua kata perkata atau keseluruhan ayat. Berdasarkan pandangan ini. Tafsir al-ibriz menggunakan metode yang pertama, yaiti kata perkata, setelah itu baru dijelaskan keseluruhan makna satu ayat baik dengan keterangan panjang maupun pendek. Aliran bentuk tafsir al-ibriz masuk dalam kategori tradisional. Kategori tradisional merujuk pada sikap setia terhadap doktrin-doktrin Islam, normative sejalan dengan pemikiran mainstream. Al-ibriz juga tergolong dalam katagori tafsir bil maksur. Dalam bentuknya yang sederhana. Pendekatan corak tafsir al-ibriz tidak memiliki kecenderungan dominan pada satu corak tertentu. Al-ibriz cenderung bercorak kombinasi antara fiqhi, social kemasyarakatan dan sufi. Dalam arti, penafsir akan memberikan tekanan khusus pada ayat-ayat tertentu yang bernuansa hokum, tasyawuf atau social kemasyarakatan. Contoh Dalam tafsir kesetaraan gender KH. Bisri Mustafa menjelaskan tentang penciptaan hawa seperti QS 4: 1, 7: 189, dan 39: 6. Pada tafsir QS, 4: 1 .sira kabeh pada takwa marang pangeran kang hanitahake saking wong siji iya iku nabi adam lan nitahake garwane (ibu Hawa) uga saking nabi Adam pada 7: 189 iya Allah taala dzat kang nitahake sira kabeh saking bibit menungso siji, iya iku bapak Adamnuli saking Allah taala nitahake garwane iya iku Ibu Hawa di ayat 39: 6 penafsir mengatakan Allah taala nitahake sira kabeh saking awak-awakan kang siji (iya iku nabi Adam) nuli Allah taala dadiake saking awak awakan mau (Nabi Adam) rupa bojo (yaiku Hawa) dari ketiga ayat ini tidak memberikan paparan tambahan misalnya dengan mengutip hadis nabi yang implisit mengatakan: ..mereka (perempuan) diciptakan dari tulang rusuk (HR. Bukhari Muslim). Dengan demikian al-Ibriz masih bisa didiskusikan apakah pro-pendapat feminism yang menolak penciptaan hawa dari tulang rusuk, atau sebaliknya. Dalam kajian ini di temukan ditemukan bahwa pertama tafsir al-ibriz disusun dengan menggunakan metode tahlili, yakni suatu metode yang menjelaskan al-Quran secara kata perkata sesuai tertib susunan ayat al-Quran. Makna kata per kata disusun dengan system makna gandul, sedangkan penjelasan tafsirnya diletakkan bagian luarnya. Makna gandul ini parallel dengan analisa bahasa yang sangat penting untuk mengungkap struktur bahasa yang menjebak. Dari sisi karakteristik, tafsir al-Ibriz sangat sederhana dalam menjelaskan kandungan ayat al-Quran. Pendekatan atau corak tafsirnya tidak memiliki kecenderungan dominan pada satu corak tertentu. Ia merupakan kombinasi berbagai corak tafsir tergantung isi tekstualnya. Dari segi aliran dan bentuk tafsir, tafsir al-Ibriz termasuk aliran tradisional dan matsur dalam artian yang sederhana. Kedua kesederhanaan tafsir al-Ibriz adalah bukti telah terjadi jalinan dialog antara penefsir, konteks dan teks kitab suci. Penafsir yang berpendidikan murni tradisional memiliki preferensi tertentu saat menafsirkan ayat-ayat al-quran, metode yang digunakan dan kepada siapa tafsir itu ditujukan. Karena sebagian besar audiennya adalah santri yang

19

tinggal di desa, pilihan dan metode yang digunakan penafsir saat menafsirkan al-Quran adalah kontekstual menurut zamannya itu juga dapat dilihat dari ideology penafsir terkait soal gender dan ekologi dan pluralitas agama. Tidak di temukan kapan tafsir mulai disusun. Namun tafsir al-Ibriz final disusun pada saat situasi dimana kehidupan penafsirnya cukup mapan, baik social ekonomi maupun politik. II. Kajian Kritis a. Ketimpangan Penelitian Penelitian ini cenderung masih berat sebelah. Maksudnya penelitian masih terbatas pada teks belaka. Akibatnya, hasil penelitian cenderung bersifat deskriptif. Di beberapa sentral penelitian, hasil penelitian pada umumnya masih berkutat pada hal-hal yang sifatnya teoritik. Orientasi semacam ini kami anggap kurang lengkap, karena karya tersebut sebenarnya belum berdialog antara pengarang dengan pembaca. Pemakaian metode ini sekurang-kurangnya akan mampu mengungkap seberapa jauh tanggapan pembaca, sebab pembaca merupakan bagian penting dalam rangka pengembangan penelitian ke depan. Tanpa memperhatikan aspek pembaca, tentunya penelitian akan semakin kurang bermakna. b. Kerancuan pendekatan Dalam penelitian ini sering disejajarkan dengan kajian, telaah, studi dan kritik. Hanya saja yang sedikit berbeda adalah kritik teks. Sedangkan kajian, telaah dan studi kurang lebih memiliki tujuan yang sama yaitu memahami makna dalam tafsir al-Ibriz. Dalam tafsir penelitian ini terdapat kerancuan dalam menggunkan pendekatan (historis dan hermeneutis), menurut kami itu menjadi rancu ketika dua pendekatan tersebut digunakan, harusnya cukup dengan menggunakan satu pendekatan yaitu pendekatan hermeneutic karena dalam pendekatan hermeneutic juga melihat sisi historis dari suatu fenomena, jadi pendekatan historis sudah include di dalamnya. c. Persoalan Metode, Teknik Karya Abu Rokhmad ini adalah fenomena unik. Ia juga fenomena organik. Di dalamnya penuh serangkaian makna dan fungsi. Namun Makna dan fungsi ini sering kabur dan tak jelas. Oleh karena, penelitian al-Ibriz memang syarat dengan imajinasi. Itulah sebabnya, Tugas demikian, akan menjadi bagus apabila peneliti memulai kerjanya atas dasar masalah. Tanpa masalah yang jelas dari karya tafsir al-Ibriz yang dihadapi tentu kerja penelitian juga akan menjadi kabur. Manakala penelitian kabur dan penelitian itu sendiri sebagai fenomena yang kabur, tentu hasilnya tidak akan optimal. Itulah sebabnya kepekaan peneliti tafsir al-Ibriz dengan menggunakan pendekatan hermeneutic untuk mengangkat sebuah persoalan menjadi penting. d. Kelebihan penelitian Kelebihan dari penelitian tersebut adalah bahwa dalam penelian tersebut menggunakan aspek bahasa sehingga lebih komprehensip, kaitannya dengan

20

metodologi tafsir. oleh kerenanya dalam penelitian tersebut menjadi lebih menantang karena bahasa yang di gunakan adalah bahasa yang sebenarnya di tujukan untuk para santri dan masyarakat domestic. contoh Rohkmad dapat mengungkap tiga aspek dalam tafsir al-Ibriz, yakni; yang berkaitan dengan ekologi, kesetaraan Gender, dan Pluralisme agama rakhmad mengemukakan dalam penelitiannya bahwa dalam tafsir al-Ibriz sering kali penafsiran dalam kitab tersebut mengarah kepada teologi, dan jarang menggunakan hadis sebagai penguat dan penjelas tambahan.

Anda mungkin juga menyukai