Tohir meminta Bulog untuk menerapkan standar mutu yang ketat secara bertahap. Menurut Winarno, kendala peningkatan mutu gabah bukan karena budaya petani semata. Namun juga karena perlunya modal usaha tani yang besar, yang justru sulit didapatkan petani saat ini. Lihat saja, dukungan perbankan kita terhadap sektor pertanian, sangat minim, ujar Winarno. Ia mencontohkan, di saat musim hujan seperti saat ini di sejumlah sentra beras di Jawa, diperlukan alat pengering modern. Dan itu membutuhkan modal besar untuk pengadaannya. Jika pengeringan tidak maksimal, bagaimana petani bisa memenuhi mutu yang disayaratkan Bulog, ujarnya. Winarno berharap, persyaratan mutu diterapkan tidak dalam upaya mencari alasan untuk impor beras, karena dengan alasan rendahnya mutu beras petani. Namun itu dilakukan dalam upaya memperbaiki mutu gabah petani dan mengurangi tingkat kehilangan pascapanen. Menjawab hal itu, Musthafa mengatakan, Perum Bulog akan mengoptimalkan penggunaan alat pengering (dryer) untuk mempertahankan kualitas gabah petani pada saat panen raya, yang diperkirakan berlangsung sekitar Februari, Maret, dan April 2008. Upaya meningkatkan mutu gabah justru untuk mencegah harga beras jatuh. Dengan kondisi seperti itu, para spekulan mudah sekali mempermainkan harga, dan membuat petani kehilangan posisi tawar. Sementara itu, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian, Djoko Said Damarjati menjelaskan, gerakan penanganan pascapanen dan pemasaran dengan anggaran Rp 80 miliar, baru mampu mengamankan produksi gabah di lahan seluas 2 juta hektare. Anggaran sebesar itu, tambahnya, antara lain, untuk pengadaan alat-alat dan mesin pertanian pascapanen, seperti perontok dan pengering, terpal, sabit bergerigi. Djoko mengakui, upaya meningkatkan mutu gabah dan pengurangan kehilangan hasil, revitalisasi penggilingan padi, peningkatan kapasitas kelembagaan, dan pengembangan saat ini terkendala keterbatasan dana. Oleh karena itu, dia meminta pihak BUMN dan perbankan ikut terlibat dalam gerakan pascapanen ini. Djoko mengatakan, losses rata-rata nasional mencapai 21,5 persen. Dalam gerakan ini sasaran yang diharapkan adalah pengurangan losses sebesar 3 persen atau hanya tersisa 18,5 persen. [L11] Categories: Ekonomi Produksi Tagged: Padi, Produksi
http://agribisnis.net/Pustaka/makalah_terpalisasi-1.htm
Terpalisasi dalam Penanganan Pasca Panen Padi
Salah satu syarat untuk menstabilkan ketahanan pangan nasional adalah ketersediaan beras yang mencukupi. Kertersediaan beras tersebut dapat dipenuhi melalui produksi dalam negeri dan pengadaan luar negeri (impor). Pengadaan dalam negeri dilakukan dengan berbagai upaya seperti melalui peningkatan produksi padi yang telah mencapai swasembada pada tahun 1984. Namun dalam peningkatan produksi tersebut masih ditemukan permasalahan besar yang perlu perhatian khusus oleh semua pihak yaitu besarnya tingkat kehilangan hasil pada saat panen dan pasca panen serta mutu gabah/ beras yang relatif rendah dan variatif.
Data dari hasil pengukuran tingkat kehilangan hasil panen dan pasca panen padi oleh Biro Pusat Statistik (BPS) yang dilaksanakan 1995/1996 terhadap komoditi padi masih tinggi yaitu 20,51%. Tingkat kehilangan hasil tersebut terutama terjadi pada saat Hasil penelitian Litbang
pengukuran yang telah dilaksanakan dalam kurun waktu 2004 2006 menunjukkan bahwa tingkat kehilangan pasca panen padi antara 10,39 % hingga 15,26 %. Beberapa hasil survai bahkan menunjukkan bahwa angka kehilangan pasca panen tersebut berkisar antara 7,31 11,65 % di berbagai daerah. Angka yang berbeda dengan angka acuan tersebut dipandang cukup logis dari berbagai alasan. Selain disebabkan oleh adanya introduksi dan adopsi teknologi penekanan kehilangan hasil padi, pengenalan dan penataan kelembagaan pasca panen padi serta kebijakan yang dikembangkan Pemerintah Daerah secara bersama-sama juga telah memberikan dampak seperti diatas.
Tingginya kehilangan hasil ini disebabkan antara lain karena penanganan panen dan pasca panen hasil pertanian masih banyak ditangani secara tradisional dan relatif tertinggal jika dibandingkan kegiatan pra panen, hal ini antara lain ditandai dengan rendahnya penerapan sarana dan teknologi panen/pasca panen serta pengelolaan hasil panen yang belum optimal. Disamping itu waktu panen yang kurang tepat, terbatasnya peralatan pendukung, belum optimalnya pemanfaatan peralatan mesin pasca panen yang tersedia pada masyarakat tani, penempatan dan pengalokasian peralatan mesin pasca panen yang kurang tepat serta kemampuan dan pengetahuan petani dalam penanganan panen dan pasca panen masih terbatas juga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat kehilangan hasil padi serta rendahnya mutu gabah petani.
Padi setelah dipanen dan dirontok akan menghasilkan gabah yang mempunyai kadar air sekitar 20% sampai 25%. Gabah hasil panen tersebut baru dapat disimpan atau digiling dengan baik apabila kadar air diturunkan hingga mencapai kadar air optimum yaitu sekitar 14%.
Petani
padi
pada
umumnya
menjemur/mengeringkan
gabah
dengan
cara
menghamparkan gabah pada terpal plastik. Penjemuran/ pengeringan dengan alas terpal plastik merupakan cara konvensional pengeringan gabah yang paling popular di Indonesia, karena lebih murah dibandingkan pengeringan buatan (makanis atau semi mekanis) mengingat bahwa harga bahan bakar minyak (BBM) cenderung meningkat.
Menyadari tingginya kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan penanganan pasca panen tersebut perlu adanya upaya untuk menurunkan tingkat kehilangan hasil, baik pada saat panen dan pasca panen serta peningkatan mutu untuk meningkatkan nilai tambah dan pendapatan petani. Oleh karena itu salah satu alternatif yang efektif dan efisien dapat dilakukan melalui : Terpalisasi Penanganan Pasca Panen Padi
Terpal dalam penanganan pasca panen mutlak diperlukan karena terpal selain digunakan untuk alas penjemuran juga dapat digunakan untuk alas perontok. Selama ini petani menggunakan alas perontok yang tidak sesuai sehingga kehilangan hasil besar. Dengan menggunakan terpal berukuran 8 x 8 m2 dengan spesifikasi yang sesuai
Pelaksanaan penjemuran sangat tergantung cuaca. Gabah hasil panen yang tidak dapat dikeringkan segera dapat mengakibatkan gabah menjadi rusak, busuk, berjamur, berubah warna karena fermentasi, serta berkecambah. Hal ini banyak terjadi pada saat panen raya yang bertepatan jatuhnya musim penghujan. Kelemahan lain dari penjemuran adalah gabah mengalami deraan panas dan dingin silih berganti pada siang dan malam hari yang menimbulkan tegangan dalam sel gabah. Tegangan sel ini dapat mengakibatkan butir retak yang lebih lanjut lagi akan menimbulkan butir pecah pada saat digiling dan menurunkan rendeman beras.
Terpalisasi penanganan pasca panen padi adalah penggunaan terpal plastik untuk alas perontokan, penjemuran/ pengeringan gabah dan penutup/ pelindung gabah dari guyuran air hujan. Spesifikasi terpal plastik yang cocok digunakan adalah sebagai berikut :
Bahan plastik setebal 1 mm dan kedap air Warna gelap (hitam, biru atau coklat tua) Ukuran 8 x 8 meter2 Ada lubang di ujung dan tengah (min 8 buah lubang)
Mengurangi/ menekan kehilangan butiran gabah pada saat perontokan dan pengeringan.
Untuk dinding dan alas dalam upaya mencegah bercampurnya kotoran dengan gabah
Memudahkan pengumpulan gabah dan penutup gabah pada waktu hujan turun
Untuk
menghasilkan
penyebaran
panas
yang
merata
pada
saat
penjemuran/pengeringan.
Memudahkan penyelamatan gabah bila dalam masa penjemuran/ pengeringan hujan turun secara tibatiba, misalnya dengan cara memasang tali pengikat untuk memudahkan menggulung terpal/ lembaran plastik kemudian menutup/ melindungi gabah dari hujan dengan cepat.
Memudahkan pengumpulan untuk pengarungan gabah pada akhir perontokan dan penjemuran.
penjemuran gabah sangat besar pengaruhnya. Bila dipandang dari sudut kapasitas dan efisiensi, maka makin tebal padi yang di jemur makin tinggi kapasitas dan efisiensi penjemuran. Namun demikian, makin tebal padi yang di jemur makin besar pula
kemungkinan terjadi:
Pengeringan gabah tidak seragam, kadar air gabah pada lapisan bawah lebih tinggi dari lapisan atas.
Bila cuaca mendung atau berawan, penjemuran dapat berlangsung lama, lebih dari 7 (tujuh) hari. Penjemuran yang berlangsung terlalu lama dapat mengakibatkan
Hasil giling gabahnya dapat menimbulkan beras pecah/ patah dan menurunkan rendemen giling.
Untuk mengamankan panen raya MT. 2005/2006, Ditjen PPHP telah menghambat Dinas Pertanian Pertanian dan Kabupaten/Kota *) agar mengkampanyekan penyediaan plastik untuk alas perontokan, alas pengeringan dan pelindung gabah gabah guna mengurangi dan menekan kehilangan hasil sekaligus menjaga mutu gabah/beras. Pada akhirnya upaya ini diharapkan akan berdampak kepada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani padi.
http://www.sinartani.com/editorial/mutu-gabah-burukpun-perlu-diselamatkan1237182642.htm