Anda di halaman 1dari 12

TUGAS PENGENALAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

GAMBUT: EKOSISTEM AIR HITAM

Disusun oleh: Kelompok III LAILATUL ZUHRIA WINDA HAPSARY HARYO TEJO P. FAUZIAH RIRIN W. M. RIZQI DAROJAT SINTA ANANDA BUDI WIRAWAN ARIEF PAMBUDI ANDIK WIJAYANTO G34104015 G34104032 G34104033 G34104034 G34104046 G34104050 G34104055 G34104067 G34104068

DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

GAMBUT: EKOSISTEM AIR HITAM 1. Pendahuluan Indonesia merupakan negara kedua setelah Brazil yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara kepulauan yang dilalui oleh garis khatulistiwa, sehingga memiliki iklim tropis. Beragam ekosistem ada di Indonesia, salah satunya ekosistem gambut atau dikenal dengan Black water ecosystem. Kawasan Asia Tenggara memiliki luas areal gambut mencapai lebih dari 25 juta ha atau 69 % dari lahan gambut tropis di Dunia (Asean and Global Environment Centre). Secara Nasional, luas lahan gambut lebih dari 20,6 juta ha. Indonesia merupakan negara yang memiliki lahan gambut tropika terbesar di dunia. Walaupun tidak seluruh lahan ini bisa dikembangkan, tetapi diperkirakan masih mungkin untuk dimanfaatkan seluas 5,6 juta ha. Lahan gambut merupakan salah satu tipe lahan basah yang unik. Sayangnya walaupun memiliki potensi besar dalam mendukung kehidupan manusia dan kestabilan iklim global, lahan gambut seringkali dianggap dan diposisikan sebagai lahan marjinal dan kurang berguna, karena miskin akan unsur hara. Penilaian tersebut tidak sepenuhnya benar, karena para ahli dapat menunjukkan bahwa gambut juga ternyata memiliki fungsi dan manfaat lain yang nilainya dalam jangka panjang memiliki keuntungan yang diperoleh dari kegiatan pertanian. Bahkan, gambut juga sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian jika saja dilaksanakan dengan prinsip-prinsip ekologi yang benar serta sejalan dengan karakteristik gambut itu sendiri. Ekosistem tanah gambut merupakan ekosistem yang unik. Kawasan ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan ekosistem lain baik secara fisik maupun kimianya. Hal ini memungkinkan bahwa ekosistem ini dihuni oleh spesies-spesies endemik, baik tumbuhan maupun hewan. 2. Gambaran umum Gambut menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tanah yang lunak dan basah terdiri atas lumut dan bahan tanaman lain yang membusuk (biasanya

terbentuk di daerah rawa atau danau yang dangkal). Tanah ini merupakan tanah yang mudah terbakar, menghasilkan lebih banyak asap dan emisi karbon dibandingkan dengan jenis tanah yang lain. Lahan gambut yang telah mengering akan mengalami pelepasan senyawa oksidasi FeS (pirit) yang bersifat racun. Menurut Polak (1952), tanah gambut merupakan tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih dari 65% hingga kedalaman satu meter atau lebih. Sedangkan berdasarkan klasifikasi taksonomi komprehensif (USDA 1975), tanah gambut merupakan tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih dari 30% dengan ketebalan kumulatif 40 cm atau lebih. Bahan organik ini terdiri atas akumulasi sisa-sisa vegetasi yang telah mengalami humifikasi namun belum mengalami mineralisasi. Gambut akan terbentuk jika humifikasi lebih besar daripada mineralisasi (Darmawijaya 1997). Secara keseluruhan, lahan gambut dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, lahan gambut tropika, dan lahan gambut temperate. Bahan pembentuk gambut tropika umumnya berasal dari pohon-pohon berkayu yang memiliki kadar lignin yang tinggi, sementara gambut di negara-negara temperate terbentuk dari bahan yang lebih halus berupa rumput dan lumut yang memiliki kadar kandungan selulosa dan hemiselulosa yang lebih tinggi. Adanya perbedaan bahan pembentuk menyebabkan adanya perbedaan tingkat kandungan unsur hara, yang kemudian berpengaruh terhadap tingkat kesuburannya. Gambut tropika cenderung kurang subur dibandingkan gambut temperate karena kandungan lignin yang lebih tinggi. Berdasarkan taksonomi tanah komprehensif USDA tahun 1975, tanah gambut termasuk dalam ordo tanah histosol (berasal dari bahasa Yunani histos = jaringan, tanah yang kaya akan bahan organik yang terdekomposisi sebagian). Ordo histosol memiliki empat subordo, yaitu fibrist, folist, hemist, dan saprist (FitzPatrick 1980). Histosol fibrist merupakan tanah gambut (organik) yang sangat sedikit atau baru mulai terdekomposisi. Tanah ini tersusun atas beragaman vegetasi. Jenis ini cenderung memiliki kerapatan dan kandungan endapan yang rendah serta memiliki kapasitas menahan air yang tinggi. Histosol folist merupakan tanah organik yang tergenang dan sudah mulai terdekomposisi. Histosol hemist merupakan tanah organik yang sudah mengalami dekomposisi sebagian.

Sedangkan histosol saprist merupakan tanah organik yang telah mengalami dekomposisi sempurna. Tanah ini memiliki kerapatan yang relatif tinggi dan memiliki kapasitas menahan air yang rendah. Histosol jenis fibrist dan hemist akan melapuk menjadi saprist jika digenangi air. Tanah jenis histosol (gambut) terletak pada horison H pada formasi tanah. Horison H merupakan daerah yang terdiri dari bahan-bahan organik yang dideposit ke atas permukaan. Jika tanah terus tergenang secara terus-menerus, maka horison ini akan ada dalam kondisi anaerob (Buringh 1979).

Gambar 1 Profil Tanah Histosol (sumber www.nscss.org) Gambut terbentuk dari akumulasi bahan organik yang berasal dari sisa-sisa jaringan vegetasi alami pada masa lampau. Bahan organik tersebut tidak sempurna terdekomposisi dikarenakan kondisi hutan rawa gambut yang selalu digenangi oleh air. Ini disebabkan oleh sifat fisik tanah gambut yang berfungsi sebagai spons yaitu menyerap air secara vertikal. Pada situasi yang anaerob bahan organik yang tertimbun sulit untuk terdekomposisi karena bakteri pembusuk tidak dapat hidup pada situasi yang tidak terdapat oksigen. Tahapan pembentukan gambut (histosol) seperti terlihat pada Gambar 2. Awalnya terdapat genangan air menyerupai danau atau kolam di suatu tempat. Pada dasar kolam tersebut terjadi akumulasi senyawa organik dari tanamantanaman yang tumbuh di kolam atau sekitar kolam tersebut. Semakin lama, akumulasi bahan organik semakin tebal. Sehingga pada akhirnya membentuk seperti kubah yang kemudian diatasnya tumbuh berbagai macam vegetasi.

Gambar 2 Pembentukan Formasi Histosol (FitzPatrick 1980) Faktor pembentukan gambut di Indonesia, menurut Darmawijaya (1997) yang diacu dari Polak (1941) dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu gambut ombrogen, gambut topogen, dan gambut pegunungan. Gambut ombrogen merupakan gambut yang terbentuk karena pengaruh curah hujan yang airnya tergenang. Gambut ini terbentuk dari sisa-sisa hutan yang membusuk menjadi massa berwarna coklat berkerangka dahan dan batang dalam genangan air. Bahan gambut bersifat sangat asam dengan pH 3,0 - 4,5. Biasanya gambut ombrogen terjadi di daerah beriklim samudra dengan curah hujan tinggi sepanjang tahun, tanpa perbedaan musim yang mencolok. Di Indonesia, gambut ini meliputi hampir seperlima Sumatra, meluas sepanjang pantai Malaya, Kalimantan, dan Papua. Ketebalan gambut ombrogen antara 0,5 sampai 16 meter. Gambut topogen adalah gambut yang terbentuk dalam depresi topografik di daerah rawa, baik dataran rendah maupun dataran tinggi. Vegetasi utama dari

gambut topogen adalah jenis rumput, paku, semak belukar, hingga pohon. Di Indonesia, gambut topogen meluas di Rawa Lakbok, Pangandaran, Rawa Pening, Jatiroto, Tanah Payau Deli, dan danau-danau di Kalimantan Selatan. Gambut pegunungan merupakan gambut yang terbentuk karena depresi atau plateu di puncak pegunungan api yang sudah mati yang tidak menjadi telaga, namun hanya menjadi rawa-rawa. Diperlukan temperatur yang rendah dan udara yang lembab untuk terbentuknya gambut jenis ini. Di Indonesia, gambut pegunungan terdapat di plateu Dieng. Menurut Soepardi (1983) yang diacu dari Buckman & Brady (1982), berdasarkan batuan induk tanpa melihat tingkat dekomposisinya, gambut diklasifikasikan ke dalam tiga kategori. Antara lain gambut endapan, gambut berserat, dan gambut kayuan. Gambut endapan biasanya diakumulasikan di perairan dalam dan biasanya pada lapisan bawah dari suatu profil organik dan dibentuk dari bahan tanaman yang mudah dihumifikasi. Gambut jenis ini bersifat sangat koloidal, padat namun elastis, dan kelembabannya tinggi (empat sampai lima kali bobot keringnya) sehingga sangat sulit mengering. Gambut endapan ini tidak baik untuk ditanami. Namun karena letaknya di bagian bawah profil organik, hal ini tidak begitu berpengaruh. Gambut berserat dominan oleh rumput-rumputan, Sphagnum, Hypnum, Latifolia, Angustifolia, dan sebagainya. Gambut jenis ini mempunyai kapasitas menahan air yang sangat tinggi. Berbeda dengan gambut endapan yang terletak di bawah profil organik, gambut berserat biasanya terletak di atas permukaan akumulasi organik. Gambut kayuan ditemukan di atas permukaan akumulasi organik. Bila dalam keadaan basah, gambut jenis ini berwarna coklat atau hitam bergantung dari tingkat dekomposisinya. Kapasitas menahan air dari gambut berkayu lebih rendah dari gambut berserat. Gambut berkayu didominasi oleh vegetasi dari habitus pohon-pohonan yang umumnya homogen dan tumbuhan-tumbuhan bawahnya. Berdasarkan tingkat kesuburan alami, gambut dibagi dalam 3 kelompok yakni eutrofik (kandungan mineral tinggi, reaksi gambut netral atau alkalin), oligotrofik (kandungan mineral, terutama Ca rendah dan reaksi masam) dan

mesotrofik ( terletak diantara keduanya dengan pH sekitar 5, kandungan basa sedang). Berdasarkan ketebalannya, luas sebaran gambut dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebaran gambut dengan ketebalan antara 1-3 m, 3-5 m, dan 5-7 m. Ketebalan gambut rata-rata ialah ketebalan antara dua isopah yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu dua meter, empat meter, dan enam meter. Endapan organik (gambut setebal 1-7,6 m) terbentuk paling akhir pada dataran banjir. Pada bagian atas terdapat endapan gambut yang disisipi oleh bagian tumbuhan seperti ranting, daun, dan cabang yang telah membusuk yang kita sebut humus. Kondisi ini merupakan gejala yang umum dari endapan gambut. Pada bagian bawah endapan, unsur organik bercampur dengan unsur-unsur anorganik yaitu lempung (peatclay). Endapan dasar gambut umumnya terdiri dari lempung dan slit dengan kandungan partikel organik. Secara umum sifat kimia tanah gambut didominasi oleh asam-asam organik yang merupakan suatu hasil akumulasi sisa-sisa tanaman. Asam organik yang dihasilkan selama proses dekomposisi tersebut merupakan bahan yang bersifat toksik bagi tanaman, sehingga mengganggu proses metabolisme tanaman yang akan berakibat langsung terhadap produktifitasnya. Sementara itu secara fisik tanah gambut bersifat lebih berpori dibandingkan tanah mineral sehingga hal ini akan mengakibatkan cepatnya pergerakan air pada gambut yang belum terdekomposisi dengan sempurna sehingga jumlah air yang tersedia bagi tanaman sangat terbatas. Air gambut memiliki pH berkisar antara 3,7-4,7. Hal tersebut menyebabkan air gambut berwarna coklat tua sehingga sering kali disebut black water. Distribusi lahan gambut dunia didominasi oleh benua Amerika, yaitu sebesar 2.050.746 km2; disusul Asia sebesar 1.523.287 km2; Eropa sebesar 515.000 km2, Afrika sebesar 58.534 km2; dan terakhir Australia, Selandia Baru, Antartika, dan Asia Pasifik sebesar 8.009 km2 (www.peatlandsni.gov.uk).

Gambar 3 Distribusi Lahan Gambut Dunia (www.peatlandsni.gov.uk) Di Indonesia, penyebaran lahan gambut secara dominan terdapat di pantai timur pulau Sumatra, pantai barat dan selatan Kalimantan, dan pantai selatan dan utara pulau Papua (Gambar 4). Luas lahan rawa yang terdiri dari tanah gambut dan tanah mineral (non-gambut) di Indonesia diperkirakan seluas 39,4 39,5 juta hektar, yakni kurang lebih seperlima (19,8%) luas daratan Indonesia. Dari luasan tersebut, tanah gambut terdapat sekitar 13,5 18,4 juta hektar atau rata-rata 16,1 juta hektar (Chotimah 2002).

Gambar 4 Distribusi Lahan Gambut di Indonesia (www.balittra.net) Pemanfaatan gambut dan lahan gambut untuk pertanian dan usaha-usaha yang berkaitan dengan pertanian berkembang cukup pesat. Berbagai tanaman semusim dan tanaman tahunan dapat dibudidayakan pada lahan gambut tetapi yang paling berhasil atau menunjukkan harapan adalah tanaman sayuran, tanaman buah-buahan (seperti nanas, pepaya dan rambutan) dan tanaman perkebunan (terutama kelapa, kelapa sawit, kopi dan karet) (Chotimah 2002).

3. Peran dan Potensi a) Peran dan potensi positif Secara ekologis, lahan gambut berperan penting dalam tata air kawasan seperti spon penyerap kelebihan air di musim hujan sehingga dapat mencegah banjir. Lahan jenis ini memiliki kemampuan menyerap air sangat tinggi, dibantu oleh akar dari pepohonan di atasnya. Sementara itu, di musim kemarau air yang dimilikinya akan terlepas secara perlahan. Lahan gambut juga berperan penting

bagi seisi alam dalam kapasitasnya sebagai penyimpan karbon. Gangguan fungsi tersebut dapat menyebabkan lepasnya karbon ke atmosfer dan mendorong laju perubahan iklim. Sekitar 5% dari seluruh karbon bumi diperkirakan termasuk kawasan gambut tropis. Lahan gambut dapat digunakan sebagai lahan pertanian basah, seperti persawahan dan pertanian pasang surut. Lahan gambut dengan ketebalan kurang dari dua meter dapat digunakan sebagai lahan pertanian kering, seperti perkebunan karet dan kelapa sawit. Daerah bergambut dengan ketebalan antara 27 m dapat dipergunakan untuk bahan bakar tenaga uap dan diharapkan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi pembangkit tenaga listrik lokal, yang selama ini memakai bahan minyak solar. Selain itu, air pada lahan gambut juga dapat diminum namun diperlukan proses pengolahan terlebih dahulu. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan proses overdose bahan koagulan dengan menggunakan sistem dan alat pengolahan air secara konvensional yang banyak digunakan pada instalasi air minum. b) Peran dan Potensi Negatif Hutan-hutan rawa gambut dalam kondisi alamiahnya tidak akan mudah terbakar. Lahan gambut menjadi mudah terbakar karena adanya kegiatan penebangan liar, pembukaan lahan untuk pertanian, industri dan permukiman. Pembuatan parit atau kanal juga merupakan kegiatan yang kerap merusak lahan gambut. Aktivitas tadi berdampak pada pengeringan gambut, amblasnya lahan, dan intrusi air laut. Pengeringan lahan gambut yang berlebihan menyebabkan koloid gambut menjadi rusak dan terjadinya gejala kering tidak balik ( irreversible drying). Hal ini menyebabkan gambut berubah sifat seperti arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air. Kondisi tersebut membuat lahan gambut mudah terbakar di musim kemarau dan tidak dapat menampung air di musim hujan. Kebakaran lahan gambut mempunyai ciri tersendiri berbeda dengan kebakaran di areal mineral. Kebakaran lahan gambut tidak berada di atas permukaan yang pemadamannya relatif lebih mudah untuk dikelola. Meskipun

sumber pertama api tetap dari permukaan melalui sistem pembukaan lahan dengan cara membakar namun penyebaran api pada lahan gambut berada di bawah permukaan (ground fire). Api membakar bahan organik pembentuk gambut melalui pori-pori gambut secara tidak menyala ( smoldering) sehingga yang terlihat kepermukaan hanya kumpulan asap putih. Dengan karekteristik ini maka pemadaman api akan sangat sulit karena harus dilakukan dari dalam gambut itu sendiri dan dari atas, karena penyebaran api di lahan gambut bisa secara horizontal dan vertikal ke atas. Walaupun dikatakan pembukaan lahan gambut dengan melakukan pembakaran dapat dilakukan untuk membebaskan garam-garam yang dapat larut dan menaikkan pH, sehingga mendekati netral, namun cara ini ternyata sangat merugikan. Selain dapat menimbulkan kebakaran hutan yang akhirnya dapat menimbulkan kabut asap, pembakaran lahan gambut menyebabkan reaksi gambut yang kaya akan kapur menjadi alkalis, hilangnya gambut sehingga tanah bawah tersembul ke permukaan atas, lapisan bahan organik yang subur hilang terbakar, permukaan gambut menjadi rendah sehingga menyulitkan drainase, garam-garam yang basah akibat pembakaran akan dilarutkan dan dihanyutkan oleh air hujan, dan saat musim kemarau tingkat kandungan garam dalam air tanah akan sangat tinggi sehingga menghambat pertumbuhan tanaman (Darmawijaya 1997).

4.Biodiversitas Lahan Gambut Dari segi keanekaragaman hayati (biodiversitas) hutan-hutan rawa gambut sangat penting. Lahan gambut dapat dimanfaatkan untuk ditanami tanaman yang bersifat ekonomis seperti cabai, rotan, meranti, kayu putih ( Melaleuca leucadendra), jagung, kacang tanah, kedelai, kapur naga (Callophilium soulatri), kempas (Koompassia malcencis), ketiau (Ganua motleyana), mentibu (Dactyloclades stenostachys), nyatoh (Palaquium scholaris), rambutan hutan (Nephelium sp.) anggrek, punak (Tertamerista glabra), perepat (Combretocarpus rotundatus), pulai rawa (Alstonia pneumatophora), terentang (Campnosperma spp.), bungur (Logerstroengia speciosa), belangeran (Shorea balangeran), meranti rawa (Shorea pauciflora), rengas (Melanorrhaoea walichii), palem merah

(Cyrtoctachys lakka), ara hantu (Ploikilospermum suavalens), palas (Licuala paludosa), kantong semar (Nephentes mirabilis), liran (Pholidocarpus sumatranus), Flagellaria indica, akar elang (Uncaria schlerophylla), putat (Barringtonia racemosa), rasau (Pandanus helicopus), Pandanus atrocarpus, bakung (Hanguana malayana), Utricularia spp, jelutung (Dyera costulata), jelutung rawa (Dyera lowii), ramin (Gonystylus bancanus), dan gembor (Alseodaphne umbeliflora). Banyak dari jenis-jenis pohon tersebut sudah mulai langka seperti ramin dan gembor karena tingginya eksploitasi terhadap kedua jenis ini. Kayu putih dapat tumbuh di tanah tandus, tahan panas dan dapat bertunas kembali setelah terjadi kebakaran. Tanaman ini dapat ditemukan dari dataran rendah sampai 400 m dpi., dapat tumbuh di dekat pantai di belakang hutan bakau, di tanah berawa atau membentuk hutan kecil di tanah kering sampai basah. Ada beberapa varietas pohon kayu putih. Ada yang kayunya berwarna merah, dan ada yang kayunya berwarna putih. Rumphius membedakan kayu putih dalam varietas daun besar dan varietas daun kecil. Varietas yang berdaun kecil, yang digunakan untuk membuat minyak kayu putih. Daunnya, melalui proses penyulingan, akan menghasilkan minyak atsiri yang disebut minyak kayu putih, yang warnanya kekuning-kuningan sampai kehijau-hijauan. Perbanyakan dengan biji atau tunas akar (www.iptek.net). Ramin memiliki kayu teras berwarna putih sampai putih kekuningan, tekstur halus dan rata, berat jenis 540-750 kg/m3 (pada kadar air 15%). Kayu sangat sesuai untuk vencer dan plywood, berupa bahan bernilai tinggi untuk konstruksi ringan dan berbagai penggunaan, di mana kayu yang putih dan bersih diperlukan. Kayu digunakan untuk almari berdekorasi, furniture, hiasan interior, panel dinding, lantai, mainan anak, bubut, tangkai sapu, gagang berkekuatan ringan, korden model Venesia, bahan sambungan, penggaris, bingkai lukisan, dan meja gambar. Penggunaan konstruksi ringan meliputi rangka pintu dan jendela, moulding, langit-langit, dan dinding pemisah ruangan Penggunaan lain meliputi papan, bejana, dan papan kapal (www.dephut.go.id). Gembor biasanya hanya diambil kulitnya untuk dijadikan untuk bahan baku obat nyamuk bakar sedangkan

jelutung diambil lateksnya untuk dijadikan bahan-bahan industri, permen karet, dan bahan-bahan kosmetik (www.indobiogen.or.id) Sejumlah satwa langka seperti buaya senyulong dan harimau sumatra menjadikan lahan gambut sebagai tempat berlindung. Berbagai jenis fauna seperti mamalia, burung, dan ikan juga menghuni kawasan ini.

DAFTAR PUSTAKA Buckman HO, Brady NC. 1982. Ilmu Tanah. Jakarta : Bhratara Karya Aksara. Buringh P. Introduction to the Study of Soils in Tropical and Subtropical Regions. New Delhi : Oxford & IBH Publishing Co. Chotimah HENC. 2002. Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Tanaman Pertanian. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Bogor. Darmawijaya MI. 1997. Klasifikasi Tanah. Yogyakarta : UGM Press. FitzPatrick EA. Soils : Their Formation, Classification, and Distribution . New York : Longman, Inc. Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor : Departemen Ilmu Tanah Faperta IPB.

Anda mungkin juga menyukai