Anda di halaman 1dari 4

Penialaian nyeri pada anak Terdapat banyak protocol yang telah dipublikasikan untuk menilai dan mengatasi nyeri

pada pasien pediatri. Sangatlah penting untuk menyadari bahwa penilaian nyeri pediatrik yang adekuat harus dimulai dengan mendidik pelayan kesehatan dan pengawasnya untuk tidak hanya mengukur nyeri tetapi juga mencari factor spesifik lain yang terlibat pada nyeri. Supaya adekuat penialian nyeri pada pediatrik haruslah individual, komprehensif, terukur berkesinambunagn termonitor dan terdokumentasi. Nyeri pada dasarnya adalah pengalaman multifaktorial yang subyektif, dan harus dinilai satu persatu. Nyeri sangatlah unik untuk tiap individu, dan dipengaruhi oleh beberapa factor seperti umur, ras, jenis kelamin kultur, emosi kemampuan kognitif, dan pengalaman sebelumnya. Walalupun demikian, bukti saat ini menunjukkan kurangnya penilaian dan terapi nyeri oleh pelayan kesehatan. Bahkan ketika nyeri sudah dinilai,, kadang nyeri diabaikan oleh elayan kesehatan. Walaupun focus penilaian nyeri semakin baik terdokumentasi, namun tidak menghasilkan terapi yang lebih baik. Neyri merupakan hal yang kompleks dan multidimensional, tidak dapat dengan mudah dinilai dengan parameter sau dimensi, seperti tekanan darah ataupun nadi. Nyeri melibatkan psikologis, perilaku, fisiologis, dan emosi. Interaksi komponen ini menjelaskan kenapa ada variasi respon terhadp nyeri dan persepsi nyeri. Derajat kerusakan jaringan sendiri juga bukan cara yang efisien untuk menentukan derajat nyeri. Akhirnya banyak pasien pediatrik yang tidak dapat menunjukkan derajat nyerinya embuat entingnya untuk bergantung pada observasi erilaku dan fisiologi dan pengetahuan tentang roses patofisiologi yang terlibat. Beberapa skala satu dimensi yang telah divalidasi untuk pengukuran pediatri usia sekolah termasuk (kotak 1): 1. 2. 3. 4. 5. 6. Visual-Analog-Scale yang dimodifikasi Skala oucher Colored analog scale (CCAS) Faces pain scale Body outline tool Poker chip tool

Ada beberapa alat multidimensi untuk penilaian nyeri pediatri yang memasukkan pola perilaku dan tanda fisiologis utuk anak yang mempunyai kemunduran nonverbal atau kemampuan kognitif yang enurun. Ini tercakup dalam kotak 2.

Obat antiinflamasi non steroid (OAINS) OAINS berguna dalam tatalaksana nyeri derajat ringan hingga sedang. Obat golongan ini dapat digunakan secara tunggal maupun kombinasi dengan opioid. Keuntungan menggunakan OAINS adalah tidak menyebabkan depresi pernafasan atau sedasi. Mekanisme kerja AINS adalah melalui inhibisi ezim cyclooxygease (COX), yaitu enzim yang bertanggung jawab atas metabolisme asam

arakidonat. Pada saat asam arakidonat dilepaskan dari embran sel yang englami trauma, asam arakidonat tersebut akan dimetabolisme dangan batuan enzim COX emnjadi ppprostaglandin dan trombosan yang berperan dalam sesitisasi ujung saraf perifer da vasodilatasi pembuluh darah, sehingga mengakibatkan timbulnya nyeri, eritema, dan inflamasi. Ada dua jenis isoenzim COX, yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 terdapat pada seluruh sel tubuh. Prosttagandin dan tromboksan yang dibentuk dengan bantuan COX-1 berfungsi untuk proteksi mukosa lambung, pengaturan aliran darah ginjal, dan agregrasi trombosit. Keuntungan yang ditimbulkan oleh golongan OAINS berasal dari hambatan COX-2, sedangkan efek samping golongan ini timbul karena adanya hambatan pada enzim COX-1. Golongan OAINS yang terdahulu berfungsi dengan cara menghambat baik enzim COX-1 maupun COX-2 sehingga menimbulkan efek baik dan efek samping pula. Kelas OAINS terbaru merupakan penghambat spesifik enzim COX-2, sehingga menghasilkan dampak positif seperti golongan OAINS terdahulu tana banyak efek samping. Komplikasi yang potensial terjadi karena hambatan COX-1 adalah ulkus lambung, perdarahan, perubahan fungsi ginjal, dan bronkokonstriksi. COX-2 dinamakan juga inducible COX dan timbul hanya bila sel yang mengalami trauma atau inflamasi jaringan. Sebagian besar OAINS bersifat nonselektif COX-inhibitor. COX-2 inhibitor selektif banyak digunakan pada dewasa dan penggunaan Rofecoxib (COX-2 inhibitor selektif) telah dipelaajari pada anak-anak. Sayangnya penggunaan inhibitor COX-2 sedang diteliti secara intensif oleh karena meningkatnya kasus morbiditas kardiovaskuat pada dewasa bila obat golongan ini digunakan dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan apda anak-anak, kasus tersebut belum jelas ditemukan. Asam asetilsalisilat (Aspirin) merupakan OAINS yang tertua. Oelh karena berhubungan dengan Sindrom Reye, sekarang aspirin hanya digunakan pada pasien pediatrik dengan kondisi rheumatologik. Ibuprofen Ibuprofen sama seperti naproxen, fenoprofen dan ketoprofen merupakan derivate asam propionate nonsteroid. Golongan obat ini memiliki efek antiinflamasi oleh karena hambatan pada sintesis prostaglandin. Efek samping obat ini termasuk iritasi/ ulserasi gastrointestinal, disfungsi trombosit disfungi tenal, supresi hematopoietic, dan baru-baru ini dikatakan potensial menghambat penyembuhan luka dan pembentukan tulang baru.

Ketorolak Ketorolak merupakan OAINS dengan analgesia yang poten dan memiliki efek antiinflamasi derajat menengah. Obat ini biasanya digunakan secara kombinasi dengan opioid untuk meningkatkan efek analgesia dan meminimalisasi efek samping opioid. Ketorolak menghambat sintesis prostaglandin, menghambat agregasi trombosit, memperpanjang masa perdarahan, dan dapat menyebabkn insufisiensi renal. Penggunaan toradol 30 mg intravena ama efektifnya dengan fentanyl 50 mcg untuk tatalaksan nyeri postoperative. Studi lain menyatakan dosis ketorolak 0,9 mg/kg sama efektifnya dengan morfin 0,1 mg/kg dengan kejadian mual-muntah post operasi yang lebih jarang.

Oleh karena obat ini menurunkan agregasi trmbisit, ketorolac sebaiknya tidak digunakan pada anakanak dengan resiko komplikasi perdarahan dan penggunaannya tidak boleh lebih dari 5 hari. Ketorolak juga dikatakan berhubungan dengan aktivitas osteoklas dan mencegah penyembuhan tulang setelah operasi osteotomi atau fusi spinal.

Opioid

Opioid merupakan analgetik yang paling lama dikenal dan telah diteliti secara ekstensif. Reseptor opioid termasuk ke tiga familia utama; , dan serta reseptor nosisepsi. Reseptor -reseptor dan molekul-molekul opioid ditemukan di lamina I dan II pada medula spinalis, nukleus trigeminalis spinal dan periaqueductal gray. Tempat lain yang kaya dengan reseptor opioid termasuk amygdala, thalamus, cortex dan locuz caeruleus (modulasi sifat affektif) globus palidus, caudate, putamen (kontrol motorik), medula dan median eminence . Opioid eksogen secara berlawanan mempunyai potensi menghasilkan hiperalgesia melalui efek sensitisasi SSP. Aktivasi persisten terhadap reseptor opioid akan mengakibatkan aktivasi protein kinase C (PKC). Hal ini dibuktikan melalui eksperimen terhadap hewan dalam tujuh hari pemberian opioid. PKC akan mengurai rangkaian protein-G dari kanal kalium selanjutnya mengurangi efek analgesia (toleransi), memfosforilasi reseptor NMDA, mempertingkatkan influks kalsium pada respon terhadap pelepasan glutamat dan menghasilkan sensitisasi neuron-neuron second-order. Hal ini belum diketahui secara jelas seberapa seringnya terjadi di klinis namun terdapat banyak bukti pada pasien bahwa opioid dapat menyebabkan hiperalgesia, khususnya pada pasien dengan penggunaan opioid dosis tinggi. Contohnya, terjadi pengurangan bermakna pada ambang nyeri yang dapat diperhatikan pada pasien-pasien dengan program pemeliharaan methadone . Mekanisme lain terjadinya hiperalgesia pada penggunaan opioid adalah melalui aktivasi sel glial. Aktivasi mikroglial dan astrosit terjadi pada respon terhadap administrasi opioid di tikus, walaupun tanpa inflamasi atau cedera saraf. Respon ini akan berlebihan pada hewan dengan cedera saraf. Aktivasi glial akan mengakibatkan meningkatnya produksi dan pelepasan sitokin-sitokin proinflamasi dan NO diikuti dengan sesitisasi neuron pada medula spinalis dan ganglia akar dorsal. Efektifitas obat berhubung dengan jumlah reseptor-reseptor yang perlu diikat untuk menghasilkan efek yang diinginkan. Opioid dengan aktivitas tinggi intrinsik menghasilkan analgesia substansial dengan pengisian reseptor lebih rendah. Opioid dengan efek yang kuat dapat menghasilkan efek analgesia dengan 20% pengisian reseptor sedangkan opioid lemah memerlukan sekitar 70% pengisian untuk menghasilkan efek analgesia yang sama. Seiring dengan meningkatnya intensitas rangsangan berbahaya, obat dengan aktivitas intrinsik yang tinggi dapat memberikan analgesia dengan sedikit peningkatan dosis, namun pada agen yang lebih lemah memerlukan beberapa kelipatan peningkatan dosis untuk mengatasi nyeri yang lebih intens ini. Prinsip ini sama dengan individu yang telah toleran terhadap obat tersebut. Secara umum, obat yang lebih poten seperti fentanil dan sufentanil, cenderung lebih efektif dibanding dengan obatobat yang kurang poten seperti kodein dan meperidin pada terapi nyeri kronik .

Assetaminofen Asetaminofen merupakan OAINS yang paling sering digunakan, baik sebagai antipiretik maupun analgetik dengan cara menghambat sintesis prostaglandin. Obat ini dibedakan dengan OAINS lain, karena tidak menghambat COX perifer. Hal tersebut menyebabkan kurangnya efek samping yang mungkin ditimbulkan oleh golongan OAINS lainnya. Asetaminofen tidak menyebabkan iritasi lambung atau penurunan fungsi trombosit. Efek obat ini diperantarai inhibisi COX sentral. Asetaminofen dapat diberikan per oral atau rectal, meskipun dosis inisial pemberian per rectal lebih tinggi unuk memperoleh kadar yang cukup dalam darah. Pemakaian dosis harus diperhatikan. Asetaminofen dimetabolisme di hepar secara prier melalui proses glukoronidasi dan sulfasi. Pada keadaan overdosis asetaminofen, proses oksidasi oleh sitokrom P-450 berubah, menghasilkan metabolit N-asetil-p-benzorinon-imin yang hepatotoksis sehingga dapat menyebabkan nekrosis hepar, yang akhirnya daoat menyebabkan gagal fungsi hepar. Kadar asetaminofen dalam plasma yang efektif untuk mengatasi demam dan sebagai analgetik adalah 10-20 ug/mL. Dosis oral yang idanjurkan 10-15 mg/kgBB tiap 4 jam. Pemberian secara rectal menghasilkan uptake yang terlambat da bervariasi secara individual. Dosis tunggal 35-45 mg/kgBB umumnya menghasilkan kadar terapetik dalam plasma dengan bersihan yang memanjang. Dosis per rectal selanjutnya harus lebih kecil dari dosis pertama, dan diantar dosis berikutnya diberikan secara interval 6-8 jam. Dosis tunggal per rectal 20 mg/kgBB menghasilkan kadar plasma yang cukup aman pada neonates premature. Dosis kumulatif asetaminofen per oral atau per rectal per hari tidak boleh melebihi 100 mg/kgBB untuk anak, 75 mg/kgBB untuk bayu, 60 mg/kgBB untuk neonates cukup bulan maupun premature di atas 32 minggu usia konsepsi dan 40 mg/kgBB untuk neonates premature usia 28-32 minggu post konsepsi. Regimen per rectal untuk neonates premature usia 30 minggu sebaiknya 20mg/kgBB tiap 12 jam. Dosis yang berlebihan dapat menyebabkan gagal fungs hepar pada pasien bayi dan anak

Farmakokinetik dan farmakodinamik obat analgetik berubah selama masa pertumbuhan. Walaupun terdapat kekurangan studio bat-obatan pada anak-aak dibandingkan dewasa, namun ada peningkatan penggunaan analgetik pada anak-aanak berdasarkan prinsip farmakologi dan fisiologi pediatrik. Kebanyakan analgetik adalah substansi lipofilik dan membutuhkan transformasi menjadi substansi larut air supaya tubuh bisa mengekskresikannya dalam bentuk urin atau empedu. Perbedaan farmakokinetik pada anak sangatlah signifikan dan mempunyai impllikasi pada dosis dan interval pemberian analgetik. Metabolisme obat intrahepatik melibatkan reaksi fase 1 (oksidase, reduksi hidroksilasi, dan hidrolisis), ataupun reaksi fase 2 (proses

Anda mungkin juga menyukai