Anda di halaman 1dari 37

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akhlak (akhlaq) diartikan sebagai tabiat, perangai, kebiasaan, bahkan agama.

Akhlak adalah tabiat atau sifat seseorang, yakni keadaan jiwa yang terlatih, sehingga dalam jiwa tersebut benar-benar telah melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan dan diangan-angankan lagi. Etika bisa diartikan sebagai usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik. Dari dua pengertian di atas dapat dipahami bahwa sesungguhnya dibutuhkan kerelevan antara akhlak dan etika dalam kehidupan sehari-hari. Akhlak dan etika juga harus diterapkan dalam segala bentuk aspek kehidupan termasuk dalam aspek berpakaian dan pergaulan. Zaman serba modern ini dengan perkembangan teknologi informasi mengenai cara berpakaian dapat mudah didapatkan mulai dari media elektronik, media internet maupun media cetak. Hal ini dapat mempengaruhi cara pandang manusia secara umum dalam berpakaian, begitu pula dengan cara manusia bergaul yang sering kali meniru tingkah dan sikap yang mereka lihat di media elektronik maupun media cetak. Hal ini memberikan pengaruh besar akan perubahan akhlak dan etika manusia terutama dalam berpakaian dan cara bergaul dengan lingkungan. Perubahan ini seringkali berdampak buruk untuk kehidupan manusia yang tentunya bertentangan dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam hal berpakaian yang baik dan benar serta tingkahlaku dalam pergaulan antar individu. Hendaknya manusia dapat berpakaian dan melakukan pergaulan sesuai dengan perintah Allah SAW seperti yang tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW dalam hadistnya. 1.2 Rumusan Masalah Dalam makalah ini akan di bahas mengenai:

1. Bagaimana pengertian akhlak dan etika dalam berpakaian dan pergaulan menurut perspektif Islam? 2. Bagaimana penerapan ajaran Islam mengenai akhlak dan etika berpakaian dan pergaulan di masyarakat masa kini? 1.3 Tujuan Makalah ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut: 1. Memberikan pengetahuan tentang akhlak dan etika dalam berpakaian dan pergaulan menurut pandangan Islam. 2. Menyadarkan masyarakat umum tentang keharusan berpakaian dan melakukan pergaulan sesuai perintah Allah SWT dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. 1.4 Batasan Masalah Untuk membatasi pembahasan dalam makalah ini: 1. Makalah ini hanya membahas masalah ahlaq dan etika mukmin dalam berpakaian dan pergaulan 2. Hanya menjelaskan secara umum ahlaq dan etika dalam berpakain dan pergaulan

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Akhlak Secara etimologi kata akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq ( )(dalam bentuk jama, sedang mufradnya adalah khuluq (). Selanjutnya makna akhlak secara etimologis akan dikupas lebih mendalam. Kata khuluq (bentuk mufrad dari akhlaq) ini berasal dari fiil madhi khalaqa yang dapat mempunyai bermacam-macam arti tergantung pada mashdar yang digunakan. Ada beberapa kata Arab yang seakar dengan kata al-khuluq ini dengan perbedaan makna. Namun karena ada kesamaan akar kata, maka berbagai makna tersebut tetap saling berhubungan. Diantaranya adalah kata al-khalq artinya ciptaan. Dalam bahasa Arab kata al-khalq artinya

menciptakan sesuatu tanpa didahului oleh sebuah contoh, atau dengan kata lain menciptakan sesuatu dari tiada, dan yang bisa melakukan hal ini hanyalah Allah, sehingga hanya Allah lah yang berhak berpredikat Al-Khaliq atau Al-Khallaq sebagaimana yang diungkapkan dalam QS. al-Hasyr ayat 24 dan QS. Yasin ayat 81. Di samping itu masih ada arti lain yaitu, pertama mereka-reka/merekayasa, misalnya dalam QS. Al-Muminun ayat 14 diartikan Maha Suci Allah Sang Perekayasa yang terbaik, dan QS. AlAnkabut ayat 17 diartikan dan kalian mereka-reka bohong. Kedua, al-din (agama) misalnya QS. Al-Nisa ayat 119 diartikan maka mereka benarbenar merubah ciptaan (agama) Allah (yang berupa hukum-hukum-Nya).[2] Ketiga, rusak, misalnya artinya memakaikan pakaian rusak.[3] Arti lain yang hampir mirip dengan al-khaliq adalah kata khalaqa yang artinya bergaul dengan orang lain, seperti ungkapan syair : (Artinya : Pergaulilah orang lain dengan pergaulan yang baik, Jangan seperti anjing yang menggonggongi orang). Kemudian kata al-khalaq yang diartikan bagian yang baik, seperti disebutkan dalam al-Quran QS. Al-Baqarah ayat 102 (diartikan : Dan tidak ada baginya bagian yang baik di akhirat (nanti). Arti-arti di atas mempunyai konsekuensi logis dalam penggunaan kata alkhuluq yang diartikan budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.[4] Sehingga dapat dijelaskan al-khuluq (budi pekerti) mengandung segi-segi penyesuaian dengan makna di atas. Oleh karena itu, al-khuluq itu sifatnya diciptakan oleh si pelaku itu sendiri, dan ini bisa bernilai baik (hasan) dan buruk (qabih) tergantung pada sifat perbuatan itu. Kemudian al-khuluq itu bisa dianggap baik dengan syarat memenuhi aturan-aturan agama. Sifat alkhuluq itu tidak hanya mengacu pada pola hubungan kepada Allah, namun juga mengacu pada pola hubungan dengan sesama manusia serta makhluk lainnya. Bila khuluq seseorang itu baik maka ia akan mendapatkan kebaikan (kebahagiaan) di akhirat nanti. Selanjutnya kata al-khuluq ini juga mengandung segi-segi penyesuaian dengan perkataan al-khalq yang berarti ciptaan serta erat hubungannya

dengan kata al-Khaliq yang berarti pencipta, dan perkataan makhluq yang berarti yang diciptakan. Perumusan pengertian tersebut timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluk dan antara makhluk dengan makhluk lainnya. Sehingga pola-pola hubungan ini menjadi pembahasan ruang lingkup akhlak. Inilah ciri khusus kata akhlak dalam bahasa Arab yang digunakan untuk menyebut perangai manusia dalam kajian bahasa (etimologi). Sementara itu dari sudut terminologi (istilah), ada banyak pendapat yang mengemukakan istilah akhlak. Diantaranya adalah yang dikemukakan AlGhazali [5] : Artinya : Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Maka bila sifat itu memunculkan perbuatan baik dan terpuji menurut akal dan syariat maka sifat itu disebut akhlak yang baik, dan bila yang muncul dari sifat itu perbuatan-perbuatan buruk maka disebut akhlak yang buruk. Pengertian di atas memberikan pemahaman bahwa al-khuluq disebut sebagai kondisi atau sifat yang terpatri dan meresap dalam jiwa, sehingga si pelaku perbuatan melakukan sesuatu itu secara sepontan dan mudah tanpa dibuatbuat, karena seandaianya ada orang yang mendermakan hartanya dalam keadaan yang jarang sekali untuk dilakukan (mungkin karena terpaksa atau mencari muka), maka bukanlah orang tersebut dianggap dermawan sebagai pantulan kepribadiannya. Sifat yang telah meresap dan terpatri dalam jiwa itu juga disyaratkan dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan lagi. Ibnu Maskawih memberikan definisi senada mengenai istilah khuluq sebagai berikut : 6] ]

Artinya: Khuluq ialah keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pemikiran. Dijelaskan pula oleh Ibnu Maskawaih bahwa keadaan gerak jiwa tersebut meliputi dua hal. Yang pertama, alamiah dan bertolak dari watak, seperti adanya orang yang mudah marah hanya karena masalah yang sangat sepele, atau tertawa berlebihan hanya karena suatu hal yang biasa saja, atau sedih berlebihan hanya karena mendengar berita yang tidak terlalu memprihatinkan. Yang kedua, tercipta melalui kebiasaan atau latihan. Pada awalnya keadaan tersebut terjadi karena dipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian menjadi karakter yang melekat tanpa dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa akhlak merupakan manifestasi iman, Islam, dan ihsan yang merupakan refleksi sifat dan jiwa secara spontan yang terpola pada diri seseorang sehingga dapat melahirkan perilaku secara konsisten dan tidak tergantung pada pertimbangan berdasar interes tertentu. Sifat dan jiwa yang melekat dalam diri seseorang menjadi pribadi yang utuh dan menyatu dalam diri orang tersebut sehingga akhirnya tercermin melalui tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari bahkan menjadi adat kebiasaan. Oleh karena itu secara singkat Ahmad Amin menyatakan: 7] ] Artinya: Khuluq ialah membiasakan kehendak. Yang dimaksud dengan adah ( )ialah perbuatan yang dilakukan berdasarkan kecenderungan hati yang selalu diulang-ulang tanpa pemikiran dan pertimbangan yang rumit; sedangkan yang melakukan dengan iradah ( )ialah menangnya keinginan untuk melakukan sesuatu setelah mengalami kebimbangan untuk menetapkan pilihan terbaik diantara beberapa alternatif. Apabila iradah sering terjadi pada diri seseorang, maka akan terbentuk pula pola yang baku, sehingga selanjutnya tidak perlu membuat pertimbangan-pertimbangan lagi, melainkan secara langsung melakukan tindakan yang sering dilaksanakan tersebut. Definisi yang terakhir ini mendukung dua definisi di atas dengan penjelasan secara rinci tentang pembiasaan kehendak. Di mana Zakki Mubarak menegaskan bahwa arti

kehendak itu adalah sesuatu yang membangkitkan hati pada apa yang ia ketahui yang sesuai dengan tujuan, baik itu tujuan sementara ataupun tujuan yang akan datang.[8] Kembali pada masalah akhlak yang dibatasi sebagai suatu kondisi atau sifat yang tertanam dalam jiwa manusia. Keadaan atau sifat ini bisa merupakan watak atau pembawaan sejak lahir, seperti pemarah, penakut, mudah risau, pemberani, dermawan dan sebagainya, dan biasanya merupakan hasil pembiasaan atau latihan yang kadang-kadang sumber asalnya dengan mempertimbangkan dan berpikir tentang perbuatan yang akn dilakukan kemudian berlangsung terus menerus sehingga sedikit demi sedikit sifat itu meresap dalam jiwa dan menjadi akhlak. Memang harus diakui bahwa manusia dilahirkan dengan membawa seperangkat watak, ada yang berwatak baik, berwatak buruk, dan ada pula yang berwatak di antara baik dan buruk. Watak-watak tersebut turut menentulan bentuk akhlak seseorang di samping faktor pembiasaan dan latihan tadi. Dalam pembahasan tentang akhlak sering muncul beberapa istilah yang bersinonim dengan akhlak, yakni istilah etika dan moral. Berikut ini akan dikupas pengertian etika dan moral. 2.1.1 Ahklak Dalam Berpakaian Pakaian sebagai kebutuhan dasar bagi setiap orang dalam berbagai zaman dan keadaan. Islam sebagai ajaran yang sempurna, telah mengajarkan kepada pemeluknya tntang bagaimana tata cara berpakaian. Berpakaian menurut Islam tidak hanya sebagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi setiap orang, tetapi berpakaian sebagai ibadah untuk mendapatkan ridha Allah. Oleh karena itu setiap orang muslim wajib berpakaian sesuai dengan ketentuan yang ditetap Allah. Untuk memberikan gambaran yang jelas tntang adab berpakaian dalam Islam, berikut ini akan dijelaskan pengertian adab berpakaian, bentuk akhlak berpakaian, nilai positif berpakaian dan cara membiasakan diri berpakaian sesuai ajaran Islam. Pengertian Akhlak Berpakaian

Pakaian (jawa : sandang) adalah kebutuhan pokok bagi setiap orang sesuai dengan situasi dan kondisi dimana seorang berada. Pakaian memiliki manfaat yang sangat besar bagi kehidupan seorang, guna melindungi tubuh dari semua kemungkinan yang merusak ataupun yang menimbulkan rasa sakit. Dalam Bahasa Arab pakaian disebut dengan kata "Libaasun-tsiyaabun". Dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonsia, pakaian diartikan sebagai "barang apa yang biasa dipakai oleh seorang baik berupa baju, jaket, celana, sarung, selendang, kerudung, jubah, surban dan lain sebagainya. Secara istilah, pakaian adalah segala sesuatu yang dikenakan seseoang dalam bebagai ukuran dan modenya berupa (baju, celana, sarung, jubah ataupun yang lain), yang disesuaikan dengan kebutuhan pemakainya untuk suatu tujuan yang bersifat khusus ataupun umum. Tujuan bersifat khusus artinya pakaian yang dikenakan lebih berorientasi pada nilai keindahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi pemakaian. Tujuan bersifat umum lebih berorientasi pada keperluan untuk menutup ataupun melindungi bagian tubuh yang perlu ditutup atau dilindungi, baik menurut kepatutan adat ataupun agama. Menurut kepatutan adat berarti sesuai mode ataupun batasan ukuran untuk mengenakan pakaian yang berlaku dalam suatu wilayah hukum adat yang berlaku. Sedangkan menurut ketentuan agama lebih mengarah pada keperluan menutup aurat sesuai ketentuan hukum syari'at dengan tujuan untuk berribadah dan mencari ridho Allah. (Roli A.Rahman, dan M, Khamzah, 2008 : 30). Bentuk Akhlak Berpakaian Dalam pandangan Islam pakaian dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu : pertama, pakaian untuk menutupi auot tubuh sebagai realisasi dai perintah Allah bagi wanita seluruh tubuhnya kecuali tangan dan wajah, dan bagi pria menutup di bawah lutut dan di atas pusar. Standar pakaian seperti ini dalam perkembangannya telah melahirkan kebudayaan berpakaian bersahaja sopan dan santun serta menghindarkan manusia dari gangguan dan eksploitasi aurat. Sedangkan yang kdua,

pakaian merupakan perhiasan yang menyatakan identitas diri sebagai konsekuensi perkmbangan peradaban manusia. Berpakaian dalam pengertian untuk menutup aurat, dalam Syari'at Islam mempunyai ketentuan yang jelas, baik ukuran aurat yang harus ditutup atau pun jenis pakaian yang digunakan untuk menutupnya. Bepakaian yang menutup aurat juga menjadi bagian intgral dalam menjalankan ibadah, terutama ibadah shalat atau pun haji dan umrah. Karena itu setiap orang beriman baik pria atau pun wanita memiliki kewajiban untuk berpakaian yang menutup aurat. Sedangkan pakaian yang berfungsi sebagai perhiasan yang menyatakan identitas diri, sesuai dengan adaptasi dan tradisi dalam berpakaian, merupakan kebutuhan manusia untuk menjaga dan mengaktualisasikan dirinya menurut tuntutan perkembangan zaman. Nilai keindahan dan kekhasan berpakaian menjadi tuntutan yang terus dikembangkan seiring dengan perkembangan zaman. Dalam kaitannya dengan pakaian sebagai pehiasan, maka setiap manusia memiliki kebebasan untuk mengekspresikan keinginan mengembangkan bebagai mode pakaian menurut fungsi dan momentumnya namun dalam agama harus tetap pada nilai-nilai dan koridor yang telah digaiskan dalam Islam. Pakaian yang berfungsi menutup aurat pada wanita diknal dengan istilah jilbab, dalam bahasa sehari-hari jilbab mengangkut segala macam jenis selendang atau kerudung yang menutupi kepala (kecuali muka), leher, punggung dan dada wanita. Dengan pengertian seperti itu selendang yang masih mmperlihatkan sebagian rambut atau leher tidaklah dinamai jilbab. Dalam kamus Bahasa Arab, Al-Mu'jam al-Wasith, jilbab di samping dipahami dalam arti di atas juga digunakan secara umum untuk segala jenis pakaian yang dalam (gamis, long dress, kebaya) dan pakaian wanita bagian luar yang menutupi semua tubuhnya seperti halnya mantel, jas panjang. Dengan pengertian seperti itu jilbab bisa diartikan dengan busana muslimah dalam hal ini secara khusus berarti selendang atau kerudung yang berfungsi menutupi aurat.

Karena itu hanya muka dan telapak tangan yang boleh diperlihatkan kepada umum. Selain itu haram diperrlihatkan kecuali kepada beberapa orang masuk kategori mahram atau maharim dan tentu saja kepada suaminya. Antara suami istri tidak ada batasan aurat sama sekali secara fiqih. Tetapi dengan maharim yang boleh terlihat hanyalah aurat kecil (leher ke atas, tangan dan lutut ke bawah). Busana muslimah haruslah memenuhi kriteria berikut ini : 1. Tidak jarang dan ketat 2. Tidak menyerupai pakaian laki-laki 3. Tidak menyerupai busana khusus non-muslim 4. Pantas dan sederhana (Roli A. Rahman, dan M. Khamzah, 2008 : 30) Nilai Positif Akhlak Berpakaian Setiap muslim diwajibkan untuk memakai pakaian, yang tidak hanya berfungsi sebagai menutup auat dan hiasan, akan tetapi harus dapat menjaga kesehatan lapisan terluar dari tubuh kita. Kulit befungsi sebagai pelindung dari krusakan-kerusakan fisik karena gesekan, penyinaran kuman-kuman, panas zat kimia dan lain-lain. Di daerah tropis dimana pancaran sinar ultra violet begitu kuat, maka pakaian ini menjadi sangat penting. Pancaran radiasi sinar ultra violet akan dapat menimbulkan terbakarnya kulit, penyakit kanker kulit dan lain-lain. Dalam kaitannya dengan penggunaan bahan, hendaknya pakaian terbuat darri bahan yang dapat menyerap keringat seperti katun, karena memudahkan terjadinya penguapan keringat, dan untuk menjaga suhu kestabilan tubuh agar tetap normal. Pakaian harus bersih dan secara rutin dicuci setelah dipakai supaya terbebas dari kuman, bakteri ataupun semua unsur yang merugikan bagi kesehatan tubuh manusia. Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar berpakaian yang baik, indah dan bagus, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dalam pengertian bahwa pakaian tersebut dapat memenuhi hajat tujuan berpakaian, yaitu menutupi aurat dan keindahan. Sehingga bila hendak menjalankan shalat dan seyogyanya pakaian yang kita pakai itu adalah

pakaian yang baik dan bersih (bukan berarti mewah). Hal ini sesuai fiman Allah dalam Surat al-A'raf/7 : 31. , Artinya : "Hak anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid makan, minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan (Q.S Al-A'raf/7 : 31) Islam mengajak manusia untuk hidup secaa wajar, berpakaian secara wajar, makan minum juga jangan kurang dan jangan berlebihan. Ketentuan dan kriteria busana muslimah menurut Al-Qur'an dan Sunnah memang lebih ketat dibanding ketentuan berbusana untuk kaum pria. Halhal yang tidak diatur oleh Al-Qur'an dan Sunnah diserahkan kepada pilihan masing-masing, misalnya masalah warna dan mode. Keduanya menyangkut selera dan budaya, pilihan warna dan mode akan selalu berubah sesuai dengan perkembangan peradaban umat manusia. Karena itu apapun model busanya, maka haruslah dapat mengantarkan menjadi hamba Allah yang bertaqwa (Roli A. Rahman, dan M. Khamzah, 2008 : 32) Membiasakan Akhlak Berpakaian Merujuk pada realita di lapangan, manusia dalam berbagai tingkat statifikasi dan levelnya tetap akan mengenakan pakaian sebagai kebutuhan untuk melindungi diri ataupun memperelok diri. Jenis pakaian yang dikenakan setiap orang mencerminkan identitas seorang sesuai dengan tingkat peradaban yang berkembang. Karena itu pakaian yang dikenakan setiap orang pada zaman modern cukup beragam baik bahan ataupun modenya. Agama Islam memerintahkan pemeluknya agar berpakaian yang baik dan bagus, sesuai dengan kemampuan masingmasing. Dalam pengertian bahwa pakaian tersebut dapat memenuhi hajat tujuan berpakaian, yaitu menutupi aurat dan keindahan. Terutama apabila kita akan melakukan ibadah shalat, maka seyogyanya pakaian yang kita pakai itu adalah pakaian yang baik dan bersih Islam mengajak manusia

untuk hidup secara wajar, berpakaian secara wajar, makan minum juga jangan kurang dan jangan berlebihan. Islam telah menggariskan aturan-aturan yang jelas dalam berpakaian yang harus ditaati yakni dalam apa yang disebut etika berbusana. Seorang muslim atau muslimah diwajibkan untuk memakai busana sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam aturan. Tidak dibenarkan seorang muslim atau muslimah memakai busana hanya berdasarkan kesenangan, mode atau adat yang berlaku di suatu masyarakat, sementara batasanbatasan yang sudah ditentukan agama ditinggalkan. Karena sesungguhnya hanya orang munafiq, yang suka meninggalkan ketentuan berpakaian yang sudah diatur agama yang diyakini kebenarannya, akibat mereka yang mengabaikan ketentuan akan mendapatkan azab di hadapan Allah kelak di akhirat. (Roli A. Rahman, dan M. Khamzah 2008 : 32) 2). AKHLAK BERHIAS Berhias adalah naluri yang dimiliki oleh setiap manusia. Berhias telah menjadi kebutuhan dasar manusia sesuai dengan tingkat peradaban, tingkat sosial di masyarakat. Berhias dalam ajaran Islam sebagai ibadah yang berorientasi untuk mndapatkan ridha Allah. Untuk memberikan uraian yang lebih detail tentang akhlak berhias, berikut akan dibahas tentang ; pengetian akhlak berhias, bentuk akhlak berhias, nilai positif akhlak berhias, membiasakan akhlak berhias dalam kehidupan sehari-hari, tentunya sesuai dengan nilai Islam. Pengetian Akhlak Berhias Dalam kehidupan masyarakat dewasa ini (modern), berhias adalah kebutuhan dasar untuk memperindah penampilan diri, baik di lingkungan rumah ataupun di luar rumah. Berhias adalah bentuk ekspesi personal, yang menegaskan jati diri dan menajdi kebanggaan seseorang. Berhias dalam Bahasa Arab disebut dengan kata "Zayyana-yazayyini (QS. AlNisa') 'Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berhias diarttikan : "Usaha memperelok diri dengan pakaian ataupun lainnya yang indahindah, berdandan dengan dandanan yang indah dan menarik"

Secara istilah berhias dapat dimaknai sebagai upaya setiap orang untuk memperindah diri dengan berbagai busana, asesoris ataupun yang lain dan dapat memperindah diri bagi pemakainya, sehingga memunculkan kesan indah bagi yang menyaksikan serta menambah rasa percaya diri penampilan untuk suatu tujuan tertentu. Berdasarkan ilustrasi di atas, maka dapat dipahami pada pada hakekat berhias itu dapat dikategorikan akhlak terpuji, sebagai perbuatan yang dibolehkan bahkan dianjurkan, selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam. (QS. Al-A'raf : 31). Dalam sebuah Hadist Nabi saw bersabda : ) ) Artinya : Sesungguhnya Allah itu Indah dan menyukai keindahan (HR. Muslim) Adapun tujuan berhias untuk memperindah diri sehingga lebih memantapkan pelakunya menjadi insane yang lebih baik (muttaqin). (Roli A. Rahman, dan M. Khamzah, 2008 : 33). Bentuk Akhlak Berhias Berhias merupakan perbuatan yang diperintahkan ajaran Islam. Mengenakan pakaian merupakan salah satu bentuk berhias yang diperintahkan. Pakaian dalam Islam memiliki fungsi hiasan yaitu untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak sekadar membutuhkan pakaian penutup aurat, tetapi juga busana yang memperelok pemakainya. Pada masyarakat yang sudah maju peradabannya, mode pakaian ataupun berdandan mmperoleh perhatian lebih besar. Jilbab, dalam konteks ini, menjalankan fungsinya sebagai hiasan bagi para muslimah. Mode jilbab dari waktu ke waktu terus mengalami perkembangan. Jilbab bukan hanya sebagai penutup aurat, namun juga memberikan keelokan dan keindahan bagi pemakainya untuk mempercantik dirinya. Berhias dalam ajaran Islam tidak sebatas pada penggunaan pakaian, tetapi mencakup keseluruhan piranti (alat) aksesoris yang lazim digunakan untuk mempercantik diri, mulai dari kalung, gelang, arloji, anting-anting, bross dan lainnya. Di samping itu dalam kehidupan modern, berhias juga

mencakup penggunaan bahan ataupun alat tertentu untuk melengkapi dandanan dan penampilan mulai dari bedak, make-up, semir rambut, parfum, wewangian dan sejenisnya. Agama Islam telah memberikan rambu-rambu yang tegas agar setiap muslim mengindahkan kaidah berhias yang meliputi : 1. Niat yang lurus, yaitu berhias hanya untuk beribadah, artinya segala bentuk kegiatan berhias diorientasikan sebagai bentuk nyata bersyukur atas nikmat dan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. 2. Dalam berhias tidak dibenarkan menggunakan bahan-bahan yang dilarang agama 3. Dilarang berhias dengan menggunakan simbol-simbol non muslim (salib dll) 4. Tidak berlebih-lebihan 5. Dilarang berhias seperti cara berhiasnya orang-orang jahiliyah 6. Berhias menurut kelaziman dan kepatutan dengan memperhatikan jenis kelamin 7. Dilarang berhias untuk keperluan berfoya-foya atau pun riya' Islam telah memberikan batasan-batasan yang jelas agar manusia tidak tertimpa bencana karena nalurinya yang cenderung mengikuti hawa nafsunya. Sebab seringkali naluri manusia berubah menjadi nafsu liar yang menyesatkan dan akan menimbulkan bencana bagi kehidupan manusia. Agama Islam memberi batasan dalam etika berhias, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah berikut : 23) ) 33. dan hendaklah kamu tetap di rumahmu (1215) dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu (1216) dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasulnya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait (1217)dan membersihkan kamu sebersihbesihnya. (QS. Al-ahzab/33 : 33)

(1215) Maksudnya : istri-istri Rasul agar tetap di rumah dan ke luar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara'. Perintah ini juga meliputi segenap mukminat. (1216) yang dimaksud Jahiliyah yang dahulu ialah Jahiliah kekafiran yang terdapat sebelum Nabi Muhammad saw dan yang dimaksud Jahiliyah sekarang ialah jahiliyah kemaksiatan, yang terjadi sesudah datangnya Islam. (1217) Ahlul bait disini, yaitu keluarga rumah tangga Rasulullah saw Larangan Allah dalam ayat tersebut di atas, secara khusus ditujukan kepada wanita-wanita muslimah, agar mereka tidak berpenampilan (tabarruj)seperti orang-orang jahiliyah zaman Nabi dahulu. Berangkat dari pengalaman sejarah masa lalu, maka seorang muslim harus berhatihati dalam berhias. Sebab jika seorang muslim sembarangan dalam berhias, maka akan terjebak dalam perangkat setan. Ketauhilah bahwa setan memasang perangkap di setiap sudut kehidupan manusa. Tujuannya tentu saja untuk menjebak manusia agar menjadi sahabat setianya. (Roli A. Rahman dan M. Khamzah, 2008 : 34) Nilai Positif Akhlak Berhias Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur manusia dalam segala aspeknya. Ajaran Islam bukannya hanya mengatur hubungan vertikal manusia (hablum minallah), tetapi juga hubungan horizontal dengan sesamanya (hablum minannas). Karena itulah antara lain Islam dikatakan sebagai yang sempurna, Islam mengajarkan kepada manusia mulai dari bagaimana cara makan, minum, tidur, sampai bagaimana cara mengabdi kepada sang khalik. Dalam masalah berhias, Islam menggariskan aturan-aturan yang harus ditaati yakni dalam apa yang disebut etika berhias (berdandan). Seorang muslim atau muslimah dituntut untuk berhias sesuai dengan apa yang digariskan dalam aturan. Tidak boleh misalnya, seorang muslim atau muslimah dalam berhias hanya mementingkan mode atau adat yang

berlaku di suatu masyarakat, sementara batasan-batasan yang sudah ditentukan agama ditinggalkan. Seorang muslim ataupun muslimah yang berhias (berdandan) sesuai ketentuan Islam, maka sesungguhnya telah menegaskan jati dirinya sebagai mukmin ataupun muslim. Mereka telah menampilkan diri sebagai sosok pribadi yang bersahaja dan berwibawa sebagai cermin diri yang konsisten dalam berhias secara syar'i. Di samping itu dengan dandannya yang telah mendapatkan jaminan halal secara hukum. Sehingga apa yang sudah dilakukan akan mnajdi motivasi untuk menghasilkan karya yang bermanfaat bagi sesamanya. Tidak mnimbulkan keangkuhan dan kesombongan karena dandanan (hiasan) yang dikenakan, karena keangkuhan dan kesombongan merupakan perangkap syaithon yang harus dihindari. Berhias secara Islami akan memberikan pengaruh positif dalam berbagai aspek kehidupan, karena berhias yang dilakukan diniatkan sebagai ibadah, maka segala aktivitas berhias yang dilakukan seorang muslim, akan menjadi jalan untuk mendapatkan barokah dan pahala dari alKholik. Namun sebaliknya apabila seseorang dalam berhias (berdandan) mengabaikan norma Islam maka segala hal yang dilakukan dalam berdandan, akan menjadi pendorong untuk melakukan kemaksiatan kemungkaran bahkan menjadi sarana memasuki perangkap syaithon yang menyesatkan. Adapun bentuk perangkap setan dalam hal berhias, dapat kita telusuri melalui kisah manusia pertama sebelum diturunkan di bumi. Ketika Adam dan Hawa masih tinggal di surga, setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya. Setan membujuk mereka untuk menampakkan auratnya dengan cara merayu mereka untuk memakan buah khuldi. Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata : "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi

malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)" (QS. Al-a'raf /7:20). Dari peristiwa Adam dan Hawa tersebut, kita dapat mengambil dua pelajaran, pertama, ide membuka aurat adalan idenya setan yang selalu hadir dalam lintasan pikiran manusia, Kedua, Adam dan Hawa diusir dari surga karena terjebak pada perangkap setan, maka derajat mereka turun dengan drastis. Begitulah siapapun yang mau dijebak setan akan mengalami nasib yang sama. (Roli A. Ahman, dan M. Khamzah, 2008 : 35) Membiasakan Akhlak Berhias Sejak awal agama Islam telah menanamkan kesadaran akan kewajiban pemeluknya untuk menjaga sopan santun dalam kaitannya dengan berhias ataupun berdandan, dengan cara menentukan bahan, bentukm ukuran dan batasan aurat baik bagi pria ataupun wanita. Berhias merupakan kebutuhan manusia untuk menjaga dan mengaktualisasikan dirinya menurut tuntutan perkembangan zaman. Nilai keindahan dan kekhasan dalam berhias menjadi tuntutan yang terus dikembangkan seiring dengan perkembangan zaman. Dalam kaitannya dengan kegiatan berhias atau berdandan, maka setiap manusia memiliki kebebasan untuk mengekspresikan keinginan mengembangkan berbagai model menurut fungsi dan momentumnya, sehingga berhias dapat menyatakan identitas diri seseorang. Dalam Islam diperintahkan untuk berhias yang baik, bagus, dan indah sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dalam pengertian bahwa, perhiasan tersebut dapat memenuhi hajat tujuan berhias, yaitu mempercantik atau memperelok diri dengan dandanan yang baik dan indah. Terutama apabila kita akan melakukan ibadah shalat, maka seyogyanya perhiasan yang kita pakai itu haruslah yang baik, bersih dan indah (bukan berarti mewah), karena mewah itu sudah memasuki wilayah berlebihan. Hal ini sesuai firman Allah :" Hak anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan, minumlah, dan janganlah

berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (Q.S. al-A'raf/7:31). Islam mengajak manusia untuk hidup secara wajar, berpakaian secara wajar, berhias secara lazim, jangan kurang dan jangan berlebihan. Karena itu setiap pribadi menyakinkan, tidak menyombongkan diri, tidak angkuh, tetapi tetap sederhana dan penuh kebersahajaan sebagai wujud konsistensi terhadap ajaran Islam. (Roli A. Rahman, dan M. Khamzah, 2008 : 36). 2.1.2 Akhlak Dalam Pergaulan Nabi Muhammad SAW memiliki kebiasaan untuk memberikan makanan kepada pengemis, beliau tidak pernah membeda-bedakan latar belakang, asal usul dan agama yang dipeluk oleh pengemis-pengemis tersebut. Suatu ketika, Rasul bertemu dengan seorang pengemis buta yang beragama yahudi. Pengemis tersebut selalu menasehati Rasul untuk untuk tidak mempercayai adanya Nabi Muhammad SAW. Mendengar hal tersebut, Rasul hanya diam dan terus memberi makan pengemis buta tersebut. Kebiasaan tersebut terus dilakukan oleh Rasul sampai beliau meninggal. Setelah Rasulullah meninggal, kebiasaan tersebut diteruskan oleh Abu Bakar yang saat itu menjadi mertua Rasul. Ketika memberi makanan, Abu Bakar terkejut karena pengemis yang selalu diberi makan oleh Rasul tau bahwa dia bukan orang yang setiap hari memberinya makan. Pengemis tersebut berkata bahwa orang sebelum Abu Bakar, dia selalu sabar dan ikhlas untuk menyuapi aku. Mendengar ucapan pengemis tersebut, Abu Bakar menangis dan menjelaskan bahwa selama ini orang yang setiap hari pengemis buta itu caci maki dan hina adalah Nabi Muhammad. Seketika itu, pengemis buta itu menagis dan langsung masuk islam. Ada banyak hikmah dan pelajaran yang bisa kita ambil dari cerita di atas, salah satunya adalah Akhlak. Sebagai orang yang mengaku muslim, dia harus memiliki akhlak yang baik karena akhlak bisa digunakan sebagai cermin keimanan dalam diri seorang muslim. Islam menempatkan akhlak dalam kedudukan yang tinggi karena akhlak adalah sebagai bukti

keimanan seseorang. Barang siapa yang akhlaknya baik, pasti imannya baik dan begitu juga sebaliknya. Dalam islam sendiri, akhlak dibedakan menjadi tiga. Ketiga akhlak tersebut adalah : 1. Akhlak kepada Allah Maksud dari akhlak kepada Allah yaitu apa saja yang kita lakukan harus sesuai dengan yang Allah perintahkan. Selain itu, kita harus senantiasa ingat dan mentauhidkan Allah dengan selalu berdzikir setiap waktu. Jangan sampai kita menyekutukan Allah karena Allah sangat membenci hal itu.

2. Akhlak Kepada Rasul Maksud dari akhlak kepada Rasul yaitu kita harus meneladani dan mencontoh semua sifat dan akhlak baik yang dimiliki oles Rasul. Menerapkan semua sifat Rasul dalam kehidupan sehari-hari adalah contoh konkrit kita memiliki akhlak kepada Rasul. 3. Akhlak kepada Sesama Akhlak kepada manusia mengatur bagaimana kita berperilaku kepada orang lain. Akhlak yang baik akan menciptakan suasana aman, damai, dan tentram di lingkungan masyarakat. Dalam hal ini, akhlak dibedakan lagi menjadi tiga, yaitu: a. Akhlak kepada yang Lebih Tua

Hal ini bisa diwujudkan dengan adanya semangat menghormati. b. Akhlak kepada yang Lebih Muda Hal ini bisa diwujudkan dengan semangat menyayangi. c. Akhlak kepada Teman Sebaya Hal ini bisa kita wujudkan dengan cara saling menghormati dan menyayangi. Sementara itu, yang dimaksud dengan pergaulan dalam islam adalah pergaulan yang didasari dengan niat dan tujuan yang ikhlas dan sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan oleh Allah. Aturan yang dibuat Allah adalah untuk mengatur pergaulan antar lawan jenis, hal ini dilakukan untuk selalu menjaga keseimbangan alam semesta ini. Beberapa aturan tersebut adalah : 1. Miminimalkan komunikasi secara langsung, hal ini dilakukan supaya antar lawan jenis tidak sampai Ikhtilat atau saling membaur dengan lawan jenis. 2. Selalu mewaspadai Cinta, hal ini perlu dilakukan karena bisa membawa kita pada perbuatan syirik yang tergolong syirik dahsyat. Itulah sedikit gambaran bagaimana akhlak dan cara bergaul kita sebagai umat muslim, jangan sampai akhlak kita rusak karena pergaulan yang salah dan jangan pula pergaulan kita membawa kepada dosa besar yakni Zina. Selalu dekatkan diri kepada Allah dan jadilah seorang muslim yang sejati, jangan hanya menjadi muslim yang ikut-ikutan dan jangan sampai jadi orang yang menyandang gelar islam KTP.

2.1.3

Akhlak Manusia Dalam Berpakaian dan Pergaulan Masa Sekarang

2.2 Pengertian Etika Islam merupakan salah satu agama samawi yang meletakan nilai-nilai kemanusia atau hubungan personal, interpersonal dan masyarakat secara agung dan luhur, tidak ada perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian yang mengikat semua aspek manusia. Karena Islam yang berakar pada kata salima dapat diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri manusia dan itu sifatnya fitrah. Kedamaian akan hadir, jika manuia itu sendiri menggunakan dorongan diri (drive) kearah bagaimana memanusiakan manusia dan atau memposisikan dirinya sebagai makhluk ciptaaan Tuhan yang bukan saja unik, tapi juga sempurna, namun jika sebaliknya manusia mengikuti nafsu dan tidak berjalan seiring fitrah, maka janji Tuhan adzab dan kehinaan akan datang. Fitrah kemanusiaan yang merupakan pemberian Tuhan (Given) memang tidak dapat ditawar, dia hadir sering tiupan ruh dalam janin manusia dan begitu manusia lahir dalam bentuk manusia punya mata, telinga, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya sangat tergantung pada wilayah, tempat, lingkungan dimana manusia itu dilahirkan. Anak yang dilahirkan dalam keluarga dan lingkungan muslim sudah barang tentu secara akidah akan mempunyai persepsi ketuhanan (iman) yang sama, begitu pun nasrani dan lain sebagainya. Inilah yang sering dikatakan sebagai sudut lahirnya keberagamanaan seorang manusia yang akan berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam wacana studi agama sering dikatakan bahwa fenomena keberagamaan manusia tidak hanya dapat dilihat dari berbagai sudut pandang normativitas melainkan juga dilihat dari historisitas. [1] Keberagamaan dalam Islam tentu saja harus dipandang secara konfrehenship dan seyogyanya harus diposisikan sbagai sebuah persfektif tanpa menapikan yang lain. Keberagamaan yang berbeda (defernsial) antara satu dengan yang

lainnya merupakan salah satu nilai luhur kemanusiaan itu sendiri. Karena Islam itu lahir dengan pondasi keimanan, syariat, muamalat dan ihsan, Keimanan adalah inti pemahaman manusia tehadap sang pencipta, syariat adalah jalan menuju penghambaan manusia kepada tuhannya, sedangkan muamalat dan Ihsan adalah keutamaan manusia memandang dirinya dan diri orang lain sebagai sebuah hubungan harmonis yang bermuara pada kesalehan sosial. Keberagamaan manusia yang berbeda inilah yang perlu diangkat sebagai sebuah momentum guna melihat sisi keunikan manusia sebagai ciptaan Tuhan itu sendiri. Persoalannya adalah apakah keberagamaan yang berbeda itu akan bermuara kearah yang sama? Kalau kita melihat secara seksama bahwa pada intinya keberagamaan manusia adalah pencarian terhadap kebenaran, baik kebenaran sosial hubungan antar manusia atau kebenaran transenden, yaitu cara pandang dan sikap manusia dalam menempatkan Tuhan dan makhluk ciptaan-Nya sebagai kebenaran absolut. Maka keberagamaan itu sendiri akan mengarah pada bagaimana kebenaran itu bisa diraih dalam rangka pendekatan diri kepada Tuhan sebagai manifestasi dari iman Dalam hubungannya dalam pencarian kebenaran dari sudut pandang keberagamaan manusia yang berbeda (hetrogenitas-religiusitas) tentu akan didapat adalah berbedaan cara pandang (persfektif) dan sangat tergantung dorongan dari manusia itu sendiri yang sudah dikatakan di atas sebagai fitrah mansia yang given akan mengarakan kepada kebenaran atau sebaliknya. Dilihat dalam kontek ini adalah bagaimana manusia memposisikan diri selain pemahaman terhadap kebenaran transenden, juga memahamkan dirinya pada kebenaran hubungan antar manusia yang dalam Islam masuk dalam kategori ihsan yang secara harfiah berarti kebaikan dan kebaikan. Dorongan ihsan itu sendiri akan melahirkan subuah prilaku, yaitu moral atau etika. B. Pembahasan1. Pengertian Etika

Dalam tradisi filsafat istilah etika lazim difahami sebagai suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika mengenai kritis. merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali

penyelenggaraan hidup yang baik. Persolan etika muncul ketika moralitas secara Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis yang difahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala disebut ethos. Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan manjadi dua:

obyektivisme dan subyektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Faham ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita senang melakukannya, atau masyarakat, karena sejalan dengan kehendak melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang

mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant, sedangkan dalam Islam pada batas tertentu ialah aliran Muitazilah. Aliran kedua ialah subyektifisme, berpandangan bahwa suatu tindakan disebut baik manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu. Subyek disini bisa saja berupa subyektifisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa saja subyek Tuhan. Faham subyektifisme etika ini terbagi kedalam beberapa aliran, sejak dari etika hedonismenya Thomas Hobbes sampai ke faham tradisionalismenya Asyariyah. Menurut faham Asyariyah, nilai kebaikan suatu tindakan bukannya terletak pada obyektivitas nilainya, melainkan pada ketaatannya pada kehendak Tuhan. Asyariyah berpandangan bahwa menusia itu bagaikan anak kecil yang

harus senantiasa dibimbing oleh wahyu karena tanpa wahyu manusia tidak mampu memahami mana yang baik dan mana yang buruk.[2] 2. Etika Dalam Pandangan Islam

Kalau kita sepakati bahwa etika ialah suatu kajian kritis rasional mengenai yang baik dan yang buruk, bagaimana halnya dengan teori etika dalam Islam. Sedangkan telah disebutkan di muka, kita menemukan dua faham, yaitu faham rasionalisme yang diwakili oleh Mutazilah dan faham tradisionalisme yang diwakili oleh Asyariyah. Munculnya perbedaan itu memang sulit diingkari baik karena pengaruh Filsafat Yunani ke dalam dunia Islam maupun karena narasi ayat-ayat al-Quran sendiri yang mendorong lahirnya perbedaan penafsiran. Di dalam al-Quran pesan etis selalu saja terselubungi oleh isyarat-isyarat yang menuntut penafsiran dan perenungan oleh manusia. Etika Islam memiliki antisipasi jauh ke depan dengan dua amat rasionalistik. Sekedar cirri utama.

Pertama, etika Islam tidak menentang fithrah manusia. Kedua, etika Islam sebagai perbandingan baiklah akan saya teori dan definisi mengenai kutipkan pendapat Alex Inkeles mengenai sikap-sikap modern. Setelah melakukan kajian terhadap berbagai modernisasi, Inkeles membuat rangkuman mengenai sikap-sikap modern sabagai berikut, yaitu: kegandrungan menerima gagasan-gagasan baru dan mencoba metode-metode baru; kesediaan buat menyatakan pendapat; kepekaan pada waktu dan lebih mementingkan waktu kini dan mendatang ketimbang waktu yang telah lampau; rasa ketepatan waktu yang lebih baik; keprihatinan yang lebih besar untuk merencanakan organisasi dan sebagai suatu yang bisa efisiensi; kecenderungan memandang dunia keadilan yang bias diratakan.

dihitung; menghargai kekuatan ilmu dan teknologi; dan keyakinan pada

Rasanya tidak perlu lagi dikemukakan di sini bahwa apa yang dikemukakan Inkeles dan diklaim sebagai sikap modern itu memang sejalan dengan etika al-Qur'an. Dalam diskusi tentang hubungan antara etika dan moral, problem yang seringkali muncul ialah bagaimana melihat peristiwa moral yang bersifat partikular dan individual dalam perspektif teori etika yang bersifat rasional dan universal. Islam yang mempunyai klaim universal ketika dihayati dan direalisasikan cenderung menjadi peristiwa partikular dan individual. Pendeknya, tindakan moral adalah tindakan konkrit yang bersifat pribadi dan subyektif. Tindakan moral ini akan menjadi pelik ketika dalam waktu dan subyek yang sama terjadi konflik nilai. Misalnya saja, nilai solidaritas kadangkala berbenturan dengan nilai keadilan dan kejujuran. Di sinilah letaknya kebebasan, kesadaran moral serta rasionalitas menjadi amat penting. Yakni bagaimana mempertanggungjawabkan suatu tindakan subyektif dalam kerangka nilai-nilai etika obyektif, tindakan mikro dalam kerangka etika makro, tindakan lahiriah dalam acuan sikap batin. Dalam persfektif psikologi, manusia terdiri dari tiga unsur penting yaitu, Id, Ego, dan Superego, sedangkan dalam pandangan Islam ketiganya sering dipadankan dengan nafs amarah, nafs lawwamah, dan nafs mutmaninah. Ketiganya merupakan unsur hidup yang ada dalam manusia yang akn tumbuh berkembang seiring perjalanan dan pengalaman hidup manusia. Maka untuk menjaga agar ketiganya berjalan dengan baik, diperlukan edukasi yang diberikan orang tua kepada anaknya dalam bentuk pemberian muatan etika yang menjadi ujung tombak dari ketiga unsur di atas.[3] Diantara pemberiaan edukasi etika kepada anak diarahkan kepada beberapa hal di bawah ini: 1. Pembiasaan kepada hal-hal yang baik dengan contoh dan perilaku orang

tua dan tidak banyak menggunakan bahasa verbal dalam mecari kebenaran dan sudah barang tentu sangat tergantung pada sisi historisitas seseorang dalam hidup dan kehidupan.

2.

Bila anak sudah mampu memahami dengan suatu kebiasaan, maka

dapat diberikan arahan lanjut dengan memberikan penjelasan apa dan mengapa dan yang berkaitan dengan hokum kausalitas (sebab akibat) Pada masa dewasa, anak juga tidak dilepas begtu saja, peran orang tua sebagai pengingat dan pengarah tidak harus putus, tanpa harus ada kesan otoriter, bahkan mengajak anak untuk diskusi tentang pemahaman keberagamaan. 3. Pada masa dewasa, anak juga tidak dilepas begtu saja, peran orang tua

sebagai pengingat dan pengarah tidak harus putus, tanpa harus ada kesan otoriter, bahkan mengajak anak untuk diskusi tentang pemahaman keberagamaan.Pembiasaan kepada hal-hal yang baik dengan contoh dan perilaku orang tua dan tidak banyak menggunakan bahasa verbal dalam menyampaikan baik dan buruk sesuatu, manfaat dan mudharatnya, sesat dan tidaknya. C. Penutup

Etika dalam islam adalah sebagai perangkat nilai yang tidak terhingga dan agung yang bukan saja beriskan sikap, prilaku secara normative, yaitu dalam bentuk hubungan manusia dengan tuhan (iman), melainkan wujud dari hubungan manusia terhadap Tuhan, Manusia dan alam semesta dari sudut pangan historisitas. Etika sebagai fitrah akan sangat tergantung pada pemahaman dan pengalaman keberagamaan seseorang. Maka Islam menganjurkan kepada manusia untuk menjungjung etika sebagai fitrah dengan menghadirkan kedamaian, kejujuran, dan keadilan. Etika dalam islam akan melahirkan konsep ihsan, yaitu cara pandang dan perilaku manusia dalam hubungan social hanya dan untuk mengabdi pada Tuhan, buka ada pamrih di dalamnya. Di sinilah pean orang tua dalam memberikan muatan moral kepada anak agar mampu memahami hidup dan menyikapinya dengan bijak dan damai sbagaimana Islam lahir ke bumi membawa kedamaian untuk semesta (rahmatan lilalamain)

2.2.1 2.2.2

Etika Dalam Berpakaian Pakaian dikenakan oleh seorang muslim maupun muslimah sebagai ungkapan ketaatan dan ketundukan kepada Allah, karena itu berpakaian bagi seorang muslim memiliki nilai ibadah. Karena itu dalam berpakaian ia pun mengikuti aturan yang ditetapkan Allah. Manusia dengan segala peradabannya memiliki naluri untuk mengembangkan apa yang ada, termasuk dalam perkembangan model pakaian. Tidak bisa dipungkiri lagi model pakaian yang ada di era globalisasi ini banyak menyadur dari dunia barat. Tapi umat Islam haruslah tetap bercermin terhadap syariat Islam yang Rasulullah lah yang menjadi suri tauladannya, tidak mengabaikan apa yang menjadi batasanbatasan berpakaian sesuai syariat Islam. Dalam hal ini akan dibahas lebih lanjut tentang segala yang berhubungan dengan tema MAKALAH ini yakni Pakaian. Adapun yang akan diuraikan adalah pengertian dari pakaian, syarat-syarat berpakaian menurut syariat Islam, fungsi dari pakaian,warna pakaian yang disukai Rasulullah serta etika dalam berpakaian. II. HADITS

: : 2]( ) , ] Artinya: Dari Ibnu Abbas R.A., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: pakailah pakaian berwarna putih. Karena pakaian putih adalah pakaian yang paling baik. Dan kafanilah orang yang meninggal dengan kain putih.(H.R Abu Daud dan Tirmidzi)[3] : , 4]( ) . ]

Artinya: Dari Abu Rimtsah Rifaah at-taimiy R.A. Ia berkata: saya pernah melihat Rasulullah SAW.memakai dua baju yang hijau(H.R Abu ]Daud dan Tirmidzi)[5 : ) (]6 ] Artinya: Dari Jabir R.A., ia berkata:ketika Rasulullah SAW. memasuki kota makkah pada hari penaklukannya, beliau memakai sorban ]hitam(H.R Abu Daud).[7 : ) ](]8 Artinya: Dari Abdul Aziz bin Abu Ruwad, dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, dari Nabi SAW bersabda: hendaknya dipanjangkaan sarung, baju, dan sorban, barang siapa memanjangkan sesuatu darinya karena sombong Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat. (H.R Abu )Daud : ) (]9 ] Artinya: Dari Al Barra bin Azib R.A., ia berkata: Tubuh Rasulullah SAW. berukuran sedang. Saya pernah melihat beliau mengenakan kain merah, dan belum pernah melihat orang yang lebih tampan dari ]beliau.(H.R Abu Daud)[10 : ) ] (]11 Artinya: dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda kalau kamu memakai sandal, pasang yang kanan terlebih dahulu tetapi kalau membukanya yang kiri buka dahulu, jadi yang kanan adalah

pertama dipasang dan yeng kiri terakhir dibuka.(HR Abu Daud dan Tirmidzi, dan Abu Isa berkata ini hadits hasan shahih). III. PEMBAHASAN

A.Pengertian Pakaian dan Aurat 1. Pengertian Pakaian Huruf lam ,ba dan sin adalah tiga huruf asli yang menunjuk pada pengertian tutup atau menutupi. Secara denotatif kata allibas berarti pakaian yang dikenakan. 2. Pengertian Aurat Aurat adalah bagian tubuh yang tidak boleh dibuka untuk diperlihatkan. [12]Karena aurat adalah sesuatu yang harus dijaga oleh setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan maka ini adalah sebuah tanggung jawab yang harus dijalankan oleh setiap umat Islam. Sesuatu yang baik akan tetap apik ketika dapat dijaga. B. Syarat-syarat berpakaian menurut syariat Islam Pakaian merupakan salah satu nikmat dan penghormatan yang diberikan Allah kepada anak cucu Adam. Barang siapa mensyukuri nikmat ini, maka dia telah berada dalam batas-batas aturan yang diperbolehkan kepadanya. Hukum berpakaian ada tiga yaitu wajib, sunnah dan haram. Hukumnya wajib jika untuk menutupi aurat, hukumnya sunnah jika dengan berpakaian itu menjadikannya lebih menarik dan indah dan haram hukumnya karena ada larangan dari Rasulullah. Pakaian ada dua macam, yaitu pakaian khusus perempuan dan pakaian khusus laki-laki. Pakaian perempuan Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam mengenakan pakaian bagi perempuan, yaitu 1. Menutupi seluruh anggota tubuh kecuali bagian-bagian tertentu yang boleh diperlihatkan.

2. 3. 4.

Pakaian itu tidak menjadi fitnah pada dirinya. Pakaian itu tebal dan tidak transparan sehingga bagian dalam tubuh Pakaian tersebut tidak ketat atau sempit sehingga tidak membentuk

tidak terlihat lekukan- lekukan tubuh yang dapat menimbulkan daya rangsang bagi laki-laki. 5. 6. 7. Tidak menyerupai pakaian laki-laki Tidak menyerupai pakaian orang kafir Tidak terlalu berlebihan atau mewah

Pakaian laki-laki Mengenai pakaian laki-laki juga ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu 1. 2. 3. 4. 5. Pakaian tidak terbuat dari sutera murni Tidak berlebihan atau mewah Tidak menyerupai pakaian wanita Tidak memberikan gambaran bentuk tubuh atau aurat dan tidak Hendaknya panjang pakaian tidak melebihi kedua mata kaki. [13]

perlu memperlihatkannya. C. Fungsi pakaian Untuk memahami kembali fungsi-fungsi busana, dapat diperjelas lagi ilustrasi berikut: 1. Busana Sebagai Penutup Aurat Aurat dalam al-Quran disebut sauat yang terambil dari kata saa, yasuu yang berarti buruk, tidak menyenangkan. Kata ini sama maknanya dengan aurat yang terambil dari kata ar yang berarti onar, aib, tercela. Keburukan yang dimaksud tidak harus dalam arti sesuatu yang pada dirinya buruk, tetapi bisa juga karena adanya faktor lain yang mengakibatkannya buruk. Tidak satu pun dari bagian tubuh yang buruk karena semuanya baik dan bermanfaat termasuk aurat. Tetapi bila dilihat orang, maka keterlihatan itulah yang buruk. 2. Fungsi Busana sebagai Perhiasan

Perhiasan

merupakan

sesuatu

yang

dipakai

untuk

memperelok

(memperindah). Tentunya pemakaiannya sendiri harus lebih dahulu menganggap bahwa perhiasan tersebut indah, kendati orang lain tidak menilai indah atau pada hakikatnya memang tidak indah. Al-Quran tidak menjelaskan apalagi merinci apa yang disebut perhiasan, atau sesuatu yang elok. Sebagian pakar menjelaskan bahwa sesuatu yang elok adalah yang menghasilkan kebebasan dan keserasian. Kebebasan haruslah disertai tanggung jawab, karena keindahan harus menghasilkan kebebasan yang bertanggung jawab. Tentu saja pendapat tersebut dapat diterima atau ditolak sekalipun keindahan merupakan dambaan manusia. Namun harus diingat pula bahwa keindahan sangat relatif, tergantung dari sudut pandang masing-masing penilai. Hakikat ini merupakan salah satu sebab mengapa al-Qurn tidak menjelaskan secara rinci apa yang dinilainya indah atau elok. Wahyu kedua yang dinilai oleh ulama sebagai ayat-ayat yang mengandung informasi pengangkatan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai Rasul antara lain menuntunnya agar menjaga dan terus-menerus meningkatkan kebersihan pakaiannya (Q.S. al-Mudatsir (74): 4). Memang salah satu unsur multak keindahan adalah kerbersihan. Itulah sebabnya mengapa Nabi Muhammad S.a.w. senang memakai pakaian putih, bukan saja karena warna ini lebih sesuai dengan iklim Jazirah Arab yang panas, melainkan juga karena warna putih segera menampakkan kotoran, sehinga pemakaiannya akan segera terdorong untuk mengenakan pakaian lain yang bersih.[14] D. Warna Pakaian yang Paling Disukai Nabi Warna pakaian yang disukai oleh Nabi saw adalah hijau karena warna ini merupakan warna pakaian disurga. Ada yang mengatakan bahwa memandang kehijauan dan air yang mengalir dapat menguatkan pengllihatan. Karena hasiatnya itulah, warna hijau menjadi warna yang paling dsukai oleh rasulullah. Ibnu Baththal menngatakan, Dengan Rasuliullah menyukainya saja sudah cukup bagi warna ini kemuliaan dan alasan disukai. Qatadah menuturkan, Suatu hari kami pergi bersama

Anas r.a kesuatu tempat. Lalu ketika kami sampai disana seseorang berujar, Betapa indah kehijauan ini. Maka ketika itu Anas berkata, kita sudah pernah membicarakan bahwa warna yang paling disukai oleh Nabi SAW. adalah hijau.[15] E. Etika berpakaian Etika berasal dari bahasa yunani yaitu ethos yang berarti karakter, atau adat kebiasaan yang mana etika berhubungan erat dengan konsep penilai kebenaran atau evaluasi terhadap sesuatu yang telah dilakukan. Dalam berpakaian ada beberapa etika yang harus diperhatikan oleh seorang muslim, diantaranya: 1. 2. 3. 4. Membaca doa Disunnahkan untuk mendahulukan anggota tubuh yang bagian Memakai pakaian yang rapi dan sopan yang sesuai dengan tempat Disunnahkan melepaskan pakaian dari sebelah kiri.

kanan dalam mengenakan pakaian

Jadi dalam mengenakan pakaian tidak hanya sekedar langsung memakai pakaian tersebut, melainkan ada beberapa aturan-aturan yang harus diperhatikan sebelumnya. Sangat dianjurkan memakai pakaian dari sebelah kanan lalu sebelah kiri, dan melepaskannya dari sebelah kiri lalu kanan. Dan sebenarnya tidak hanya dalam hal berpakaian saja tapi dalam mengerjakan semua hal sanagat dianjurkan melakukannya dengan yang kanan terlebih dahulu, seperti, makan, wudlu, hingga memakai sandal pun harus didahulukan yang kanan, sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi tentang tata cara mengenakan sandal. Bahwa itu merupakan mengarahkan segala sesuatunya, menuju ke yang sebelah kanan. Dimana sebelah kanan, merupakan perlambang dari "Ashabul yamin", golongan kanan, atau golongan yang baik. Dan sebelah kiri umumnya adalah perlambang dari "Ashabul shima", atau golongan kiri, atau golongan yang menjadi lawan dari baik. Pahamilah perlambang "KANAN" dan "KIRI" ini, bahwa itu merupakan pemahaman secara tersirat, bahwa semua tindakan kita, laku kita, akhlak

kita, haruslah diarahkan pada hal-hal yang baik, yaitu golongan orangorang yang mendapatkan petunjuk Allah dan mengerjakannya. 2.2.3 Etika Dalam Pergaulan Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al-Hujurat: 13). Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa selain mengemban misi ibadah (QS Adz-Dzariyat: 56) dan misi memakmurkan bumi (istimarul ardh, QS Hud: 61), tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengemban misi sosial (litaaarafu bainal insaan). Sengaja Allah Swt. menciptakan manusia dalam ragam suku dan bangsa, agar satu sama lain melakukan interaksi sosial, membangun silaturahim (persahabatan dan persaudaraan), dan melakukan kerjasama antarsuku dan atau antarbangsa. Sebagai makhluk sosial, tentu saja manusia tak ada dapat hidup tanpa berinteraksi dengan manusia lainnya. Menurut Kimball Young dan Raymond (1959), interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Interkasi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa interaksi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama (Gillin dan Gillin, Cultural Sociology, 1954). Di dalam Al-Qur`an al-Karim, Allah Swt. bahkan mengintegrasikan misi sosial ke dalam misi ibadah. Interaksi sosial, dalam arti dakwah (tadzkirah), menjadi prasyarat dan penyempurna bagi pelaksanaan misi ibadah. Simaklah firman Allah Swt. Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman. Dan Aku tidak menciptakan

jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS AdzDzariyat: 55-56). Ayat ini menegaskan bahwa misi ibadah akan sulit dilaksanakan tanpa adanya aktivitas dakwah, yaitu tadzkirah (saling mengingatkan dan menasehati dalam kebaikan) di antara sesama manusia. Banyak aktifitas ibadah yang tidak bisa atau kurang sempurna bila dilakukan tanpa melibatkan orang lain. Misalkan shalat Jumat dan shalat berjamaah. Begitu pula dengan pelaksanaan shaum (puasa) di bulan Ramadhan akan terasa berat bila tidak dilakukan secara serempak (berjamaah). Belum lagi pelaksanaan hudud dan jinayah (hukum pidana) tak bisa dilakukan tanpa adanya kesepakatan di antara umat Islam untuk melaksanakan hukum tersebut. Oleh karena itu, Allah Swt. menegaskan bahwa sebelum melaksanakan misi ibadah dalam arti luas, kita diperintahkan untuk melakukan misi sosial (interaksi sosial) dalam bentuk dakwah. Dalam terminologi Islam, interaksi sosial pada hakikatnya adalah dakwah itu sendiri. Setiap interaksi sosial selalu menimbulkan dampak baik atau buruk, suka atau tidak suka, diterima (accepted) atau ditolak (rejected). Karena pada hakikatnya interaksi sosial adalah proses saling mempengaruhi di antara manusia. Seperti dikatakan Bonner dalam bukunya Social Psychology (1953), interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, di mana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya. Bagi seorang Muslim, interaksi sosial kurang bermakna bila tidak menghasilkan interaksi dakwah. Oleh karena itu, Islam mengatur tentang hubungan antara orangtua dengan anak, suami dengan istri, yang lebih tua dengan yang lebih muda, hubungan bertetangga, hubungan kekerabatan, hubungan sesama Muslim, hubungan Muslim dengan non-Muslim, ulama dengan umara (pemerintah), pemerintah dengan rakyat, dan sebagainya. Semua itu diatur agar tercapai sebuah keharmonisan hidup. Sehingga

kehidupan yang penuh ujian dan fitnah bila diatur oleh nilai-nilai Islam, maka akan menghasilkan kehidupan yang lebih bermakna. Setiap orang yang melakukan interaksi sosial, terikat dengan etika pergaulan sesuai dengan kadar dan ikatan pergaulan tersebut. Ikatan itu bisa berupa kekeluargaan, kekerabatan, persahabatan, pertemanan, kolega, atau sahabat pena. Setiap orang tentu memiliki kekerabatan yang bertingkat-tingkat. Kekerabatan memiliki hak, akan tetapi hak kerabat mahram (orang yang haram dinikahi sebagaimana tercantum dalam QS An-Nisa`: 23) lebih kuat. Mahram punya hak, akan tetapi hak kedua orangtua lebih kuat. Demikian pula hak tetangga, berbeda-beda sesuai dengan jauh dan dekatnya rumah. Begitu pula dengan kenalan atau pertemanan. Hak orang yang dikenal dengan cara bertemu langsung tidak sama dengan teman yang dikenal lewat telepon, surat, atau chating. Secara garis besar, Dr. Said bin Muhammad Daib Hawwa yang lebih dikenal dengan Syeikh Said Hawwa dalam kitab Al-Mustakhlash fii Tazkiyatil Anfus memaparkan tentang etika interaksi sosial atau etika pergaulan. Beliau mengatakan, Bila anda menginginkan interaksi sosial yang baik, maka hadapilah teman dan orang-orang yang membenci anda dengan wajah ridha tanpa menghinakan diri dan takut kepada mereka, menghormati tanpa sombong, dan tawadhu tanpa kehinaan. Beliau menambahkan, bila anda berada di hadapan orang, janganlah menarik-narik jenggot, jangan memasukkan jari ke lubang hidung, dan jangan banyak menguap. Duduklah dengan tenang, berbicaralah dengan teratur dan dengarlah pembicaraan orang lain dengan baik tanpa menampakkan kekaguman yang berlebihan. Diamlah terhadap hal-hal yang mengundang tawa. Janganlah anda berbicara tentang kekaguman anda kepada anak anda, pembantu anda, tulisan anda, dan semua urusan pribadi anda. Buatlah mereka segan tanpa kekerasan. Bersikaplah lemah-lembut tanpa rasa lemah. Janganlah anda terlalu banyak bercanda dengan bawahan dan pembantu anda. Jika marah, hendaklah anda tetap menghargai dan

menjaga diri dari berbuat kebodohan dan menjauhi ketergesaan. Berbicaralah jika kemarahan anda telah reda. Bila memasuki sebuah majelis, berilah salam terlebih dahulu, tidak melangkahi orang yang telah duduk terlebih dahulu. Duduklah di tempat yang kosong, bersikap tawadhu, dan mengucapkan salam kepada orang yang paling dekat duduknya dengan anda. Janganlah anda duduk-duduk di pinggir jalan. Jika anda duduk di pinggir jalan, maka adabnya adalah menundukkan pandangan, membela orang yang teraniaya, menolong orang yang memerlukan pertolongan, membantu orang yang lemah, membimbing orang yang tersesat, menjawab salam, memberi orang yang meminta, memerintahkan yang maruf, mencegah yang munkar, tidak meludah ke arah kiblat atau ke sebelah kanan anda. Jika anda bergaul dengan para penguasa atau pejabat, janganlah menggunjing, jangan berdusta, dapat menjaga rahasia, mempersedikit keperluan, menghaluskan bahasa dan ungkapan, mengkaji akhlak para raja, tidak berambisi atau menjilat di hadapan mereka, dan tidak bertusuk gigi setelah makan di sisi mereka. Bila anda bergaul dengan orang awam, hendaknya tidak melibatkan diri terlalu jauh dengan pembicaraan mereka, melupakan ungkapan-ungkapan buruk mereka. Janganlah anda mencandai orang pintar atau orang bodoh. Karena orang pintar akan mendengki dan merendahkanmu, sedangkan orang bodoh akan berani kepadamu. Senda gurau yang berlebihan akan mengurangi wibawa, menjatuhkan air muka, menimbulkan kedengkian, menghilangkan kasih sayang, menjatuhkan kedudukan di hadapan orang bijak, dan tidak disukai orang-orang bertaqwa. Senda gurau yang melampaui batas etika Islam juga bisa mematikan hati, menjauhkan diri dari Allah, menyebabkan kelalaian, mengakibatkan kehinaan, mematikan imajinasi, memperbanyak aib dan dosa. Demikian, nasehat Said Hawwa. Setiap Muslim, apalagi juru dakwah, dituntut untuk bijak dalam menata pergaulannya. Di satu sisi, dalam mengemban misi dakwahnya, ia harus membuka kontak sosial seluas-luasnya dan bergaul dengan seluruh

lapisan masyarakat. Akan tetapi di sisi lain, ia harus tetap menjaga kelebihan dan keistimewaan dirinya sebagai seorang Muslim. Untuk melakonkan peran demikian, para ulama dakwah membuat prinsip, "nakhtalithuun walaakin natamayyazuun" (berbaur tetapi tidak melebur). Mewarnai, tetapi tidak diwarnai. Mempengaruhi, tetapi tidak dipengaruhi. Perinsip ini diajarkan oleh Rasulullah Saw. Aisyah ra. menceritakan, seorang lelaki meminta izin bertemu Rasulullah Saw. Beliau mengizinkannya sambil berkata, "Seburuk-buruk teman adalah dia". Akan tetapi, setelah orang itu masuk, Rasulullah Saw. memperlakukannya dengan sopan dan lemah lembut, bahkan menghormatinya. Setelah lelaki tersebut keluar, Aisyah ra. berkata, "Ketika orang itu akan masuk engkau memburukkannya. Tetapi engkau menerimanya dengan penuh penghormatan." Nabi Saw. lalu bersabda, "Wahai Aisyah, sesungguhnya seburuk-buruk kedudukan manusia di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang ditinggalkan manusia lantaran menghindari keburukannya" (HR Bukhari dan Muslim). Akan tetapi Umar ra. mengingatkan kita agar tidak terlalu longgar dalam pergaulan untuk menghindari terjadinya fitnah atau su`uzhzhan (prasangka buruk) dari orang lain. Beliau berkata, "Siapa yang menempatkan dirinya pada posisi yang mengundang tuduhan, janganlah mencela orang yang berprasangka buruk kepadanya." Sebuah atsar (perkataan shahabat, tabiin, tabiit tabiin, ulama salaf) menyebutkan, "Akrabilah manusia dengan amal perbuatan kalian, dan jauhilah mereka dengan hatimu." Wallahu a'lam bishshawab. 2.2.3 Etika Manusia Dalam Berpakaian dan Pergaulan Masa Sekarang

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai