Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN MONITORING ICP DI RUANG 13 RSU Dr.

SAIFUL ANWAR MALANG

Oleh : Sucitra Dewi NIM. 0910720015 Kelompok 5

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Anatomi Fisiologi Cerebral

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu : 1. Dura mater Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).

2. Selaput Arakhnoid Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.

3. Pia mater Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membran ini membungkus saraf otak dan

menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.

Gambar 1. Lapisan Meningen

Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.

Gambar 2. Anatomi Otak

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan

direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial. Angka ratarata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari. B. Definisi ICP Tekanan intrakranial (TIK) didefiniskan sebagai tekanan dalam rongga kranial dan biasanya diukur sebagai tekanan dalam ventrikel lateral otak (Joanna Beeckler, 2006). Peningkatan tekanan intra kranial (TIK) akan menurunkan perfusi serebral dan menyebabkan komplikasi iskemia sekunder. Selain mempengaruhi Cerebral Perfusion Pressure (CPP), peningkatan tekanan intra kranial dapat menyebabkan terjadinya herniasi. Meskipum batasan yang pasti tidak ditemukan, tetapi peningkatan TIK > 30 mmHg berkaitan dengan peningkatan resiko herniasi trantentorial atau herniasi batang otak. Maka monitoring dengan pengukuran dan penanganan TIK adalah hal yang penting. Banyak Faktor yang dapat mempengaruhi tekanan intra kranial diantaranya : peningkatan volume jaringan didalammnya, peningkatan aliran darah ke otak, kelainan dari aliran cairan, dan penambahan efek massa.

C. Faktor Yang Mempengaruhi TIK Orang dewasa normal menghasilkan sekitar 500 mL cairan serebrospinal (CSF) dalam waktu 24 jam. Setiap saat, kira-kira 150 mL ada di dalam ruang intrakranial. Ruang intradural terdiri dari ruang intraspinal ditambah ruang intrakranial. Total volume ruang ini pada orang dewasa sekitar 1700 mL, dimana sekitar 8% adalah cairan serebrospinal, 12% volume darah, dan 80% jaringan otak dan medulla spinalis. Karena kantung dura tulang belakang tidak selalu penuh tegang, maka beberapa peningkatan volume ruang intradural dapat dicapai dengan kompresi terhadap pembuluh darah epidural tulang belakang . Setelah kantung dural sepenuhnya tegang, apapun penambahan volume selanjutnya akan meningkatkan salah satu komponen ruang intrakranial yang harus diimbangi dengan penurunan volume salah satu komponen yang lain. Konsep ini dikenal dengan fisiologi otak dari doktrin Monro-Kellie. Pertambahan volume dari suatu kompartemen hanya dapat terjadi jika terdapat penekanan (kompresi) pada kompartemen yang lain. Satu-satunya bagian yang memilik kapasitas dalam mengimbangi (buffer capacity) adalah terjadinya kompresi terhadap sinus venosus dan terjadi perpindahan LCS ke arah aksis lumbosakral. Ketika manifestasi di atas sudah maksimal maka terdapat kecenderungan terjadinya peningkatan volume pada

kompartemen (seperti pada massa di otak) akan menyebabkan peningkatan tekanan intracranial (ICP/TIK).

V CSF + V darah+ Votak = V konstan

Gambar 3. Mekanisme Pengaturan Kompensasi Cerebral

Jadi dengan peningkatan patologis pada satu komponen, sedikitnya salah satu dari yang lain harus turun untuk menjaga volume konstan. Jika komponen yang mengakomodasi penurunan volume sama dengan volume yang ditambah, maka tekanan tidak berubah Yang paling efektif dan yang merupakan kompensasi awal adalah perpindahan CSF dari ruang kranial ke dalam ruang spinal (terjadi kompresi vena epidural), diikuti oleh reabsorpsi CSF di vili arakhnoid (proses kompensasi ini tidak cepat). Saat ICP naik, tingkat produksi CSF mulai menurun,sehingga ikut membantu kompensasi. Kompensasi utama kedua adalah perpindahan volume darah intrakranial ke sinus-sinus vena. Kompensasi terakhir, otak itu sendiri dapat dikompresi untuk mengkompensasi peningkatan volume. Hal ini ditunjukkan pada kasus hidrosefalus akut, di mana otak dikompresi oleh CSF yang menyebabkan pembesaran ventrikel, atau pada kasus hematoma epidural akut, ketika otak secara akut dikompresi dan terdistorsi oleh massa hematoma.

Gambar 4. Hubungan antara penambahan isi dalam kepala dan tekanan di dalamnya D. Etiologi Peningkatan TIK Kenaikan tekanan intra kranial dapat diakibatkan berbagai sebab, diantaranya : Tabel1. Penyebab Peningkatan Tekanan Intrakranial Penyebab Peningkatan Tekanan Intra Kranial Intrakranial (primer) Tumor, Trauma (SDH,EDH,kontusio)

Perdarahan intraserebral non trauma Stroke iskhemik, hidrosephalus Idiopatik/benigna hipertensi intracranial

Lain-lain ( pseudomotor, pneumoencehpalus, abses) Ekstrakranial (sekunder) Obstruksi airway, hipoksia, hiperkarbia Hipertensi, batuk, nyeri, hipotensi Postur tubuh, hiperpireksia, kejang, obat-obatan Pasca operasi Mass lesion (hematoma, edema)

Vasodilatasi, gangguan aliran LCS E. Proses Terjadinya Peningkatan TIK Nilai normal TIK masih ada perbedaan diantara beberapa penulis, dan bervariasi sesuai dengan usia, angka 8-10 mmHg masih dianggap normal untuk bayi, nilai kurang dari 15 mmHg masih dianggap normal untuk anak dan dewasa, sedangkan bila lebih dari 20 mmHg dan sudah menetap dalam waktu lebih dari 20 menuit dikatakan sebagai hipertensi intra cranial. Tekanan intra kranial akan mempengaruhi tekanan perfusi cerebral (CPP / Cerebral perfusion pressure). CPP dapat dihitung sebagai selisih selisih antara rerata tekanan arterial (MAP) dan tekanan intracranial (ICP/TIK). CPP = MAP ICP atau MAP JVP

JVP = tekanan vena jugularis. Ini dipakai ketika cranium sedang terbuka (saat operasi) dan ICP-nya nol. Jadi perubahan pada tekanan intra cranial akan mempengaruhi tekanan perfusi cerebral, dimana ini akan berakibat terjadinya iskemia otak. Pada pasien dengan cedera medulla spinalis, tekanan perfusi pada medulla spinalis dapat dihitung dengan selisih antara MAP dan tekanan LCS. Meskipun sebagian besar pasien cedera medulla spinalis menunjukkan gambaran lesi komplit, gangguan anatomi jarang

ditemukan, dan menjaga perfusi tetap adekuat adalah penting untuk mempertahankan fungsi medulla spinalis pada daerah proksimal dari tempat cederanya.

Bila terjadi kenaikan yang relatif kecil dari volume otak, keadaan ini tidak akan cepat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Sebab volume yang meninggi ini dapat dikompensasi dengan memindahkan cairan serebrospinalis dari ronga tengkorak ke kanalis spinalis dan disamping itu volume darah intrakranial akan menurun oleh karena berkurangnya peregangan durameter. Hubungan antara tekanan dan volume ini dikenal dengan complience.

Jika otak, darah dan cairan serebrospinalis volumenya terus menerus meninggi, maka mekanisme penyesuaian ini akan gagal dan terjadilah tekanan tinggi intrakranial.

Pendapat lain dikatakan bahwa komplians intrakranial ditentukan dengan pengukuran perubahan TIK terhadap respon perubahan volume intrakranial. Normalnya, peningkatan volume pada awalnya terkompensasi baik. Sebuah batas secepatnya tercapai, namun, peningkatan yang berlanjut menyebabkan peningkatan TIK. Mekanisme kompensasi mayor yaitu (1) perpindahan awal CSS dari kranial ke kompartemen spinal, (2) peningkatan absorpsi CSS, (3) penurunan produksi CSS, (4) penurunan volume darah serebral total (terutama vena).

Gambar 6. Patofisiologi Peningkatan TIK F. Manifestasi Klinik Peningkatan TIK Kenaikan tekanan intra cranial sering memberikan gejala klinis yang dapat dilihat seperti : a. Nyeri Kepala Nyeri kepala terutama ditemukan pada orang dewasa dan kurang sering pada anak-anak. Nyeri kepala terutama terjadi pada waktu bangun tidur, karena selama tidur PCO2 arteri serebral meningkat sehingga mengakibatkan peningkatan dari serebral blood flow dan dengan demikian mempertinggi lagi tekanan intrakranial. Juga lonjakan tekanan intrakranial sejenak karena batuk, mengejan atau berbangkis akan memperberat nyeri kepala. Pada anak kurang dari 1012 tahun, nyeri kepala dapat hilang sementara .

b. Muntah Muntah dijumpai pada 1/3 penderita dengan gejala tumor otak dan biasanya disertai dengan nyeri kepala. Muntah tersering adalah akibat penekanan di fossa posterior. Muntah tersebut dapat bersifat proyektil atau tidak dan sering tidak disertai dengan perasaan mual serta dapat hilang untuk sementara waktu. c. Kejang Kejang umum/fokal merupakan gejala permulaan pada lesi supratentorial pada anak sebanyak 15%. d. Papil edema Papil edem juga merupakan salah satu gejala dari tekanan tinggi intrakranial. Karena tekanan tinggi intrakranial akan menyebabkan oklusi vena sentralis retina, sehingga terjadilah edem papil. e. Penurunan Kesadaran (GCS) f. Gejala lain yang ditemukan: False localizing sign: yaitu parese N.VI bilateral/unilateral, respons ekstensor yang bilateral, kelainann mental dan gangguan endokrin G. Indikasi, Kontraindikasi Monitoring TIK Pada umumnya, monitoring TIK diindikasikan pada semua pasien yang koma dengan cedera kepala , dan pada pasien dengan penurunan status neurologi dengan CT-Scan abnormal. Seperti yang telah disebutkan di atas, banyak pertimbangan dibutuhkannya monitoring TIK pada pasien cedera kepala sedang yang membutuhkan perpanjangan prosedur operasi di bawah pengaruh general anestesi. Sebagai tambahan, beberapa senter melakukan monitoring TIK post-operasi secara rutin mengikuti prosedur major neurosurgical. Satu-satunya kontraindikasi monitoring TIK adalah adanya koagulopati yang tidak terkoreksi. Terlepas dari alat monitoring ICP, terkait dengan jumlah alat maka pemeriksaan neurologis jangan pernah digantikan, bahkan ketika pemeriksaan tersebut terbatas akibat sesuatu misalnya koma atau sedasi. Tabel 2 : Indikasi monitoring tekanan intracranial Indikasi Trauma Kriteria dan Rasio GCS </= 8 Tidak mampu mengikuti pemeriksaan neurologis atau memerlukan sedasi atau anestesi

Perdarahan intracranial

Ketika

terjadi

ekspansi

perdarahan

akan

menyababkan

intervensi

pembedahan, monitoring dapat menyediakan informasi segera. Maanjemen ICP secara umum

Neoplasma intracranial Paska AVM

Pasien yang terjadi edema otak selama operasi reseksi atau penutupan, monitoring dapat berguna pada periode perioperatif

operasi Reseksi AVM menyebabkan redistribusi aliran darah dan sering edema paska operasi membutuhkan pemulihan yang bertahan dari anestesi dan sering sedasi paska operasi

Tabel 3: Kontraindikasi Monitoring Tekanan Intrakranial Kontraindikasi Koagulopati rasio/komentar

(platelet < 100.0000) atau INR > 1,2.

pasien sebaiknya dikoreksi koagulopatinya lebih dulu sebelum pemasangan monitor

Immunosupresi

lebih

tinggi

untuk

terjadinya

infeksi

sehingga

merupakan

kontraindikasi relatif

gambaran klinis yang tidak relevan tidak dapat bertahan (nonsurvivable)

H. Metode Invasif Monitoring TIK Monitoring dan pengobatan agresif pada peningkatan TIK dapat meminimalis iskemik sekunder dan meningkatkan outcome. Sehingga, penggunaan peralatan intrakranial untuk pengukuran TIK secara kontinyu menjadi praktek standar dalam merawat pasien neurologi yang mempunyai masalah dengan peningkatan TIK. Peralatan ini meliputi kateter intraventrikuler, subarachnoid

bolt, epidural systems dan peralatan fiberoptic intraparenchymal. Kateter ventrikulostomi umumnya dijadikan gold standard untuk monitoring ICP. Kateter jenis ini mempunyai kelebihan tambahan yaitu dapat menjadi drainage CSF untuk menurunkan ICP.

Gambar 7. Metode monitoring TIK

1. Ventrikulostomi Kateter intraventrikel yang selain digunakan untuk monitoring ICP juga berfungsi untuk terapi drainase CSF. Kateter intraventrikel merupakan metode standar emas monitoring ICP. Digunakan pertama kali tahun 1960. Sebuah kateter plastic dimasukkan ke ventrikel lateral dan dihubungkan dengan tranduser eksternal. Kateter intraventrikel mengukur ICP dan juga sebagai terapi drainase CSF. Hal ini direkomendasikan sebagai monitor awal, setelah terjadi trauma pada pasien untuk mengantisipasi peningkatan ICP. Pada kondisi trauma, ukuran ventrikel sering mengecil berbanding terbalik degan peningkatan ICP, menyebabkan insersi kateter ventrikel secara blind lebih sulit. Bila ventrikel tidak dapat dikanulasi pada usaha yang ketiga maka tehnik alternative monitoring ICP harus dicoba untuk mengurangi terjadinya komplikasi terkasit percobaan pemasangan berulang.

Gambar 8. Kateter Ventrikel

Potensi masalah akibat ventrikulostomi adalah sumbatan,salah meletakkan kateter ke dalam struktur yang menyebabkan kerusakan jaringan otak, hematoma intraserebral, perdarahan intraentrikuler, dan infeksi. Robabilitas akan tersumbatnya kateter ventrikel meningat bila kateter tersebut dibiarkan terbuka saat ventrikel dalam kondisi sedang kolaps. Pada kondisi ini tidak dapat digunakan untuk memonitor ICP ketika ventrikulostomi dibiarkan terbuka yang saat itu berfungsi sebagai drain. Pada kondisi trauma kami merekomendasikan satu sampai dua menit untuk mendrainase ketika ICP > 20 mmHg, kemudian kateter diklemp lagi bila sudah tidak digunakan sebagai drain. Hal ini memunkinkan CSF membentuk ventrikel serta dapat mengukur ICP. 2. Baut Richmond Baut Richmond (subdural-subarakhnoid) biasanya terdiri atas sekrup berongga yang ujungnya melewati dura dan masuk 1-2 mm dibawah lapisan dalam tengkorak dan menempati/menempel pada arakhnoid yang menutupi permukaan

otak. Jika baut terletak terlalu superficial, maak ada resiko salah posisi/longgar dan kehilangan tekanan. Tetapi bila terlalu dalam maka permuakan otak dapat penetrasi menuju kea rah herniasi masuk ke dalam sekrup berongga dan menyumbat proses sistem.

Gambar 9. Baut Richmoid

Keuntungan baut Richmond adalah kemudahan insersi dan penetrasi yang sedikit terhadap jaringan otak. Tetapi dilain sisi, baut Richmond tidak bias digunakan untuk menurunkan ICP dengan cara drainase, dapat menyebabkan infeksi, perdarqahan epidural, dan kejang fokal. Selain itu dapat terjadi penumbatan pada tubingnya, sehingga rekaman yang diperoleh berkurang atau hilang. Memang salah satu kelemahan baut Richmond adalah mudahnya tersumbat oleh debris luka, darah dan atau dura. 3. Monitor Tekanan Intrakranial Epidural Dua tipe monitor ICP epidural telah dikembangkan. Satu menggunakan sensivitas tekanan membran yang kontak dengan dura, sedang yang satu lagi menggunakan sensivitas perubahan tekanan udara yang merubah bentuk dura. Meskipun resiko infeksi otak lebih rendah karenapenempatannya di ekstradura, akan tetapi ada beberapa kerugian termasuk kesulitan tehnik, perdarahan, kalibrasi yang sulit setelah penempatan baut, dan ketidakmampuan untuk drainase CSF untuk terapi.

4. Monitor Tekanan Intrakranial Intraparenkim Alat intraparenkim misalnya monitor ICP Camino ( Camino Laboratories, San Diego, California USA) menggunakan kateter yang dimasukkan kedalam substansia grissea sehinga dapat mengukur secara langsung tekanan jaringan otak.

Sebagai perbandingan terhadap ventrikulostomi, monitor Camino lebih mudah dimasukkan dan probe intraparenkim mempunyai ukuran diameter lebih kecil, sehingga kerusakan neulorogis jarang terjadi. Keuntungan alat ini adalah infeksi minimal dan kebocoran serta sumbatan kateter tidak terjadi. Sebagai tambahan, kesalahan akibat salah posisi tranduser juga minimal. Kerugian utama alat ini adalah tidak dapat dikalibrasi ulang setelah alat ini dimasukkan, kemungkinan bergeser juga ada yang mengharuskan penggantian probe fiber optik dalam kondisi steril. Keterbatasan yang bermakna dari alat ini adalah tidak mampu digunakan sebagai terapi drainase CSF. Pada kondisi trauma, ketika ICP meningkat dan ventikel terdesak, hanya sebagian kecil jalan keluar CSF yang terlihat selama penempatan ventrikulostomi. Hal ini terjadi pada ventrikel sekitar kateter kolaps, dan bila tidak dikenali lagi, kateter mungkin saja tertarik. Bila terjadi maka tidak mungkin dilakukan rekanulasi ventrikel. Pada kondisi ini kateter dibiarkan ditempat dan monitor kedua misalnya Camino harus ditempatkan untuk memantau ICP. Ketika kateter itraventrikuler mulai mendrainase CSF yang bertumpuk dalam ventrikel, salah satu dari dua monitor tersebut dapat ditarik tergantng pada situasi klinis.9

Gambar 10. monitor Intraparenkim otak

Bentuk gelombang Tekanan Intrakranial Bentuk gelombang ICP yang normal adalah pulsatil dan sejalan dengan irama jantung. Tetapi nilai dasar akan naik turun sesuai dengan siklus pernapasan (seperti yang terjadi pada semua bentuk gelombang yang fisiologis). Fluktuasi normal gelombang ICP dikarakteristikan mempunyai tiga puncak tekanan. Yang

pertama, merupaakn puncak paling tinggi (P1) terjadi akibat pulsasi arteri yang ditransmisikan menuju parenkim otak dan CSF. Puncak yang kedua (P2) diterjemahkan sebagai gelombang tidal atau rebound dan komplien reflek intrakranial. Puncak ketiga (P3) yang hamper selalu lebih rendah dari P2, dan disebut gelombang dikrotik mewakili pulsasi vena yang ditransmisikan menuju otak. Pada kondisi komplien otak normal besarnya gelombang adalah kecil, sedangkan pada otak yang ketat, perubahan tekanan yang diikuti dengan perubahan volume adalah besar. Selain mempunyai karakter tiga puncak, gelombang ICP yang terjadi sesuai siklus jantung, perubahan tambahan pada semua nilai dasar yang terjadi akan mengubah komplien intrakranial. Lebih lanjut lagi, perubahan dasar terkait ventilasi adalah sebagai berikut: pada napas spontan, inhalasi menurunkan tekanan intrathorakal dan menaikkan drainase vena (menurunkan ICP). Dimana ekshalasi menyebabkan penurunan outflow vena dari cranium sehingga ICP meningkat. Sebaliknya akan terjadi bila digunakan ventilasi tekanan positif. Bila ICP meningkat dan komplien serebral menurun (dengan berbagai penyebab), komponen vena menghilang dan pulsasi arteri menjadi lebih jelas. Pada tahun 1960, lundberg melaporkan hasil monitoring ICP secara langsung dengan menggunakan ventrilkulotomi pada 143 pasien. Dia menyebutkan patofisiologi dan tanda klinis yang bermakna dari tiga gelomang patologis ICP yang ditandai dengan gelombang A, gelombang B, dan gelombang C. Gelombang Lundberg A, juga dikenal dengan gelombang plateu dicirikan dengan elevasi tajam ICP samapi >50 mmHg, setidaknya untuk 2 menit dampai 20 menit diikuti penurunan mendadak ke level ICP awal. Biasanya nilai dasar baru akabn sedikit lebih tinggi setelah timbul gelombang A. Gelombang A ini akan muncul lagi dengan meningkatkan frekuensi, durasi, dan amplitude dan sering terjadi pada peningkatan simultan dari tekanan arteri rerata. Lundberg mengenali gelombang ini sebagai pertanda ICP tidak terkontrol, yang mungkin dihasilkan dari sebuah kelelahan kapasitas buffering dan komplien intracranial. Gelombang Lundberg B juga dikenal pulsasi tekanan, dicirikan dengan peningkatan ICP 10 sampai 20 mmdalam waktu 30 detik sampai 2 menit. Gelombang ini bervariasi sesuai tipe periode napas dan lebih sering terlihat pada kondisi peningkatan ICP dan penurunan komplien

intracranial. Sebagai catatan bahwa hubunan ini tidak semuanya konsisten dan mewakili temuan kualitatif selama peningkatan ICP. Gelombang Lundberg C, merefleksikan gelombang arteri Traube-Hering yang ditandai peningkatan ICP berbagai variasi dengan frekuensi empat sampai delapan kali per menit. Gelombang ini mungkin saja mewakili status preterminal dan kadang

terlihat pada puncak gelombang plateu. Sama seperti gelombang B, mereka bersifat sugesti tapi bukan patognominis akan peningkatan ICP. Akhir-akhir ini ditekankan pada pengenalan dini serta pengobatan yang berhasil akan peningkatan ICP. Oleh karena itu, gelombang patologis Lundberg (A, B, C) jarang terlihat. Namun ketika mereka terlihat pada pasien yang telah diintervensi terapeutik, maka mereka diramalkan mempunyai outcome yang buruk.9 I. Metode Non Invasif Monitoring TIK Penurunan status neurologi klinis dipertimbangkan sebagai tanda peningkatan TIK, Bradikardi, peningkatan tekanan pulsasi, dilatasi pupil normalnya dianggap tanda peningkatan TIK. Transkranial dopler, pemindahan membran timpani, teknik ultrasound time of flight sedang dianjurkan. Beberapa peralatan digunakan untuk mengukur TIK melalui fontanel terbuka. Sistem serat optik digunakan ekstra kutaneus. Dengan manual merasakan pada tepi kraniotomi atau defek tengkorak jika ada fraktur.

J. Komplikasi Monitoring TIK Table 4: Komplikasi monitoring tekanan intracranial Komplikasi Rasio/komentar Infeksi

meningitis, ventrikulitis, dan abses otak. teter ventrikuler.

Perdarahan

intraventrikuler) atau overdrainase CSF (subdural) -100)

salah pengukuran kessalahan pengukuran dapat menyebabkan intervensi dan terapi yang tidak tepat.

K. Manajemen Peningkatan TIK Tabel 5 : Penanganan Konvensional Peningkatan TIK Penanganan konvensional 1. Elevasi kepala dan mencegah terjadinya obstruksi vena 2. Peningkatan MAP (jika perlu) 3. Pa CO2 3035 mmHg, atau 2530 mmHg jika terdapat tanda-tanda herniasi 4. Manitol 0,51,0 g/kg tiap 6 jam (jika perlu) dan furosemide 20 mg (jika perlu). Pertahankan osmolalitas serum <320. 5. Mempertahankan kondisi hipovolemia, awasi CVP jika memungkinkan. 6. Ventrikulostomi untuk drainase LCS, jika memungkinkan. 7. Pamberian obat sedasi dengan opiate, benzodiazepine dan/atau propofol 8. Penyesuaian kadar PEEP, jika memungkinkan 9. Mempertahankan normovolemia.

Penanganan agresif (pada pasien yang gagal dengan penanganan konvensional) 1. Induksi hipotermi pada 33-34 C 2. Supresi EEG maksimal dengan induksi koma propofol atau barbiturate 3. Hiperventilasi Pa CO2 20-25 mmHg (monitor SjvO2 atau PbrO2) 4. Pemberian larutan salin hipertonik (3% atau 7,5% 25-50 ml/jam); monitor kadar natrium serum

Penanganan ekstrim 1. Kraniektomi dekompresi 2. Eksisi jaringan infark lobektomi

Penurunan Volume Darah Serebral Elevasi Kepala Elevasi kepala pada tempat tidur dengan membentuk sudut 2030 menurunkan ICP dengan mengoptimalkan aliran balik vena (venous return). Akan tetapi, pada pasien hipovolemik, elevasi kepala dapat menyebabkan penurunan dari CPP. Jika keadaan normovolemi dipertahankan, elevasi sampai 30 telah terbukti menurunkan TIK tanpa mempengaruhi CPP atau CBF pada pasien cedera kepala. Perawatan seharusnya dilakukan untuk mencegah obstruksi pada venous return serebral dengan cervical collars atau memasang endotrakeal tube (ET) dan menjaga kepala tetap berada pada posisi netral. Pada pasien dengan autoregulasi serebralnya terjaga (stabil), peningkatan MAP akan menyebabkan vasokonstriksi kompensatorik dengan disertai penurunan ICP. Hiperventilasi Karena sensitivitas yang tinggi dari CBF terhadap PaCO2, hiperventilasi dapat menurunkan CBF dan disertai penurunan volume darah serebral (CBV), menyebabkan penurunan mendadak (akut) dari TIK. Meskipun penurunan mendadak TIK dan perbaikan CPP secara teoritis diharapkan, dan hiperventilasi telah dipakai sejak dahulu sebagai modalitas terapi, tetapi pada beberapa tahun terakhir ini kekhawatiran akan terjadinya iskemik serebral telah berkurang dengan penggunaan metode ini. Penelitian tentang CBF telah menunjukkan bahwa meskipun hiperventilasi sedang dapat meningkat pada regio otak dengan CBF dibawah ambang batas iskemik. Penurunan konsentrasi oksigen vena jugularis (SjvO2) dan jaringan otak PO2 (PbrO2) yang telah berulang kali dibuktikan pada penelitian terhadap pasien dengan cedera kepala. Kenaikan Tekanan Darah Pada pasien dengan autoregulasi yang intak dan penurunan compliance intrakranial, penurunan tekanan darah sistemik akan menyebabkan vasodilatasi kompensatorik dan peningkatan CBV. Hal ini akan semakin menurunkan CPP, dengan efek spiraling downhill dan penurunan progresif perfusi serebral. Hal sebaliknya, pasien dengan autoregulasi serebral yang terganggu dapat menunjukkan peningkatan TIK dengan peningkatan tekanan darah. Karena itulah tidak mungkin memprediksi ada atau tidaknya autoregulasi, tetapi penting untuk mendapat gambaran tentang respon TIK.

Reduksi Massa pada Otak Karena adaya sawar darah otak (blood-brain barrier), yang relatif impermiabel terhadap ion natrium dan klorida, perpindahan air keluar dan masuk sel otak terutama tergantung pada gradien osmotik. Obat diuretik osmotik yang efektif dipakai

untuk mengatasi peningkatan TIK adalah manitol 20%. Diberikan bolus 0,5-1.0 g/kg, bekerja dengan onset yang cepat, tetapi puncaknya didapat dalam 30 menit dan berakhir setelah 90 menit. Sedangkan diuretik loop yaitu furosemide akan meningkatkan kerja manitol, juga dapat memberikan efek langsung menurunkan TIK dan sering digunakan sebagai terapi adjuvant (tambahan). Efek manitol terhadap hemodinamik adalah kompleks dengan mereduksi resistensi vaskuler sistemik, lalu diikuti dengan ekspansi volume intravaskuler yang dapat disertai hipertensi sistemik. Pasien dengan fungsi jantung yang jelek dapat terjadi edema pulmo akut pada pemberian infus manitol. Dengan onset diuresis, penyusutan volume intravaskuler yang terjadi akan meyebabkan hipotensi jika pemberian cairan penggantinya tidak adekuat. Komplikasi dari terapi manitol adalah overload cairan, dehidrasi dan gagal ginjal. Reduksi Volume LCS Dua puluh lima persen pasien dengan perdarahan subaraknoid yang berasal dari rupture aneurisma akan berkembang menjadi hidrosefalus akut dengan peningkatan TIK. Insersi ventrikulostomi dengan drainase kontrol LCS merupakan terapi efektif peningkatan TIK. Beberapa pasien ini terkadang membutuhkan shunt ventrikulo-peritoneal (VP-shunt). Pemasangan drainase pada daerah subaraknoid lumbal juga dapat menurunkan LCS, tetapi dapat meningkatkan resiko herniasi otak. Hal ini kurang berguna pada pasien cedera kepala, karena ventrikel sering tertekan sehingga membuat drainase sulit masuk ke ventrikel dan menjadi kurang efektif. Sedasi dan Paralisis Sedasi yang adekuat adalah penting bagi semua pasien dengan peningkatan TIK untuk mengurangi agitasi (kondisi gelisah) dan gerakan-gerakan pasien serta untuk mempermudah toleransi terhadap ET (endotrakeal tube). Batuk atau sumbatan pada ET atau selama trakeobronkial suction dapat meningkatkan TIK. Paralisis neuromuskular secara efektif dapat dicegah dengan cara pemberian obat ini tetapi ini dapat menghambat pemeriksaan neurologik yang dilakukan untuk memonitor kondisi pasien. Sebagai tambahan, blokade farmakologi yang dilakukan terus menerus dapat menyebabkan miopati dan paralisis persisten. Pemberian obat penghambat neuromuscular (NBMs) hanya dipakai pada pasien yang mendapat sedasi adekuat dengan tujuan untuk mencegah paralisis saat pasien yang sadar. Dosis intermiten dan

pemberian secara periodik, disertai dengan monitoring seksama terhadap derajat blokade neuromuskuler, sebaiknya dilakukan untuk memungkinkan penilaian neurologic secara teratur. Pelumpuh otot non depolarisasi pankuronium dan vekuronium tidak mempengaruhi juga ADO, laju metabolism terhadap oksigen dan tekanan tekanan

intracranial. Pankuronium meningkatkan laju nadi dan tekanan darah sehingga tidak menguntungkan pada hipertensi cranial, sebaliknya vekuronium tidak menyebabkan histamine release, tidak menyebabkan peningkatan laju nadi dan tekanan darah. Sedang atracurarium mempunyai efek ADO, CMRO2, TIK dan hasil metabolismenya laudanosine akan melewati sawar otak dan dapat menyebabkan kejang. Propofol Obat sedasi yang menurunkan TIK melalui efek terhadap metabolisme serebral dan CBF seperti pada sebagian besar obat anestesi intravena lainnya kecuali ketamine. Semuanya memiliki efek depresan susunan saraf pusat, menyebabkan dosis ini berkaitan dengan penurunan tingkat kesadaran dan tingkat metabolisme. Kraniektomi Dekompresi Kraniektomi dekompresi (decompressive craniectomy) diindikasikan untuk pasien yang mempunyai peningkatan TIK dan sulit disembuhkan dengan pengobatan medikal. Pada pasien dengan pembengkakan unilateral yang mengikuti evakuasi hematoma atau reseksi tumor, hemikraniektomi atau pemindahan sejumlah besar flap cranial dengan penambalan duramater, telah sukses menurunkan ICP. Pada pasien dengan edema cerebral pada kedua himisfer, mungkin memerlukan bilateral kraniektomi. Jarang sekali, pengangkatan jaringan yang telah rusak atau lobektomi mungkin dilakukan sebagai usaha akhir untuk mengurangi isi intrakranial pada kebanyakan kasus berat hipertensi intrakranial. Prosedur ini tampak efektif untuk trauma cedera kepala, sebaik untuk pembengkakan sekunder pada stroke atau subarachnoid hemoragik. Sebuah percobaan multicenter dalam rangka menilai keuntungan kraniektomi dekompresi sebagai pengobatan awal untuk trauma cedera kepala akan menetapkan peran kraniektomi dekompresi di masa depan sebagai pengobatan definitif untuk hipertensi intrakranial.

Anda mungkin juga menyukai