Anda di halaman 1dari 13

Mengetahui Jenis dan Penyebab Demam serta Karateristik Penyakit Malaria

Hendrikus Hendra Suseno 102011381 B6 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat hendrikushendrasuseno@yahoo.co.id

Pendahuluan Penyakit merupakan suatu hal yang tidak bisa lepas dari kehidupan kita. Selama kita hidup tentunya pernah mengalami terserang oleh suatu penyakit, apakah itu penyakit yang ringan atau yang berat. Salah satu penyakit yang sering atau kebanyakan orang banyak mengalaminya adalah demam. Demam ini juga banyak jenis-jenisnya, seperti demam malaria, demam tifoid, demam berdarah dengue (DBD) dan masih banyak jenis yang lainnya lagi. Dalam makalah ini, akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan demam, baik itu penyebabnya, jenis nyamuknya, proses penularannya hingga mengetahui jenis demam apa yang dialami oleh pasien (pada skenario) dari gejala-gejala klinik yang didapatkan.

Pembahasan Di dalam proses penelusuran suatu penyakit, kita harus mempunyai pengetahuan mengenai keluhan-keluhan yang dialami pasien serta langkah-langkah dalam mendiagnosa suatu penyakit. A. Anamnesa Dalam proses anamnesa dilakukan komunikasi dengan pasien yang berkaitan dengan kondisi kesehatannya. Misalnya sesuai dengan skenario kita, maka kita menanyakan kepada pasien apa keluhannya, sejak kapan, bagaimana pola demamnya, apakah ada penyakit penyerta, dan asal penderita serta riwayat bepergian apakah ada pergi ke daerah endemik.1 (2819) Pada skenario, kita dapatkan bahwa pasien mengeluh demam sejak 2 hari yang lalu. Pola demam pada pasien, demamnya sempat menghilang lalu kemudian naik lagi dan gejala penyertanya menggigil, berkeringat, sakit kepala, dan mual-mual. Asal pasien dari Jakarta tapi pindah ke Papua sudah 1 bulan. B. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik, ditemukan hal-hal sebagai berikut. Tanda-tanda vital didapatkan suhu pasien 39oC, pernapasan 18 kali/menit, denyut nadi 98 kali/menit dan tekanan darah 120/80 mmHg (pada skenario). Pada pemeriksaan fisik abdomen, yaitu pembesaran limpa (splenomegali) yang sering dijumpai pada penderita malaria dimana limpa akan teraba setelah 3 hari dari serangan infeksi akut. Limpa menjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Limpa merupakan organ yang penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria, penelitian pada binatang percobaan limpa menghapuskan eritrosit yang terinfeksi.1(2817)

C. Diagnosis Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, pasien didiagnosa menderita penyakit malaria. Tetapi, ada juga diagnosa banding atau penyakit lain yang mempunyai gejala hampir sama, seperti demam tifoid, demam berdarah dengue (DBD), juga leptospirosis. Oleh karena itu, untuk menegakkan diagnosa dan mengesampingkan diagnosa penyakit lain, dilakukan pemeriksaan penunjang.

D. Pemeriksaan Penunjang Berikut adalah pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis penyakit malaria:1(2819-20) 1. Pemeriksaan Tetes Darah untuk Malaria Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan adanya parasit malaria sangat penting untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan satu kali dengan hasil negatif, tidak mengesampingkan diagnosa malaria. Pemeriksaan 3 kali darah tepi dengan hasil negatif maka diagnosa malaria dapat dikesampingkan. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan oleh tenaga laboratorik yang berpengalaman dalam pemeriksaan parasit malaria. Pemeriksaan pada saat penderita demam atau panas dapat meningkatkan kemungkinan ditemukannya parasit. Adapun pemeriksaan darah tepi dapat dilakukan melalui: Tetesan preparat darah tebal. Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria karena tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Sediaan mudah dibuat khususnya untuk studi di lapangan. Ketebalan dalam membuat sediaan perlu untuk menudahkan indetifikasi parasit. Pemeriksaan parasit dilakukan selama 5 menit (diperkirakan 100 lapang pandang dengan pembesaran kuat). Preparat dinaytakan negatif bila setelah diperiksa 200 lapang pandangan dengan pembesaran kuat 700-1000 kali tidak ditemukan parasit. Tetesan darah tepi. Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium karena bila dilakukan dengan preparat darah tebal, sulit ditrntukan. Kepadatan parasit dinyatakan sebagai hitung parasit (parasit count), dapat dilakukan berdasar jumlah eritrosit yang mengandung parasit per 1000 sel darah merah. Bila jumlah parasit > 100.000 per mikro liter darah menandakan infeksi yang berat. Hitung parasit penting untuk menentukan prognosa penderita malaria, walaupun komplikasi juga dapat timbuk dengan jumlah parasit yang minimal. Pengecatab dilakukan dengan cat Giemsa, Leishmans, Fields, atau Romanowsk. Tetapi, yang biasa digunakan adalah pengecatan Giemsa karena mudah dipakai dengan hasil yang cukup baik.

2. Tes Antigen Yaitu mendeteksi antigen dari P. Falciparum (Histidin Rich Protein II). Deteksi ini sangat cepat, hanya 3-5 menit, tidak memerlukan latihan khusus, sensitivitasnya baik, dan tidak memerlukan alat khusus. Deteksi untuk antigen vivaks sudah beredar dipasaran yaitu dengan metode ICT. Tes sejenis dengan mendeteksi laktat dehidrogenase dari plasmodium (pLDH) dengan cara immunochromatographic, telah dipasarkan dengan nama tes OPTIMAL. Optimal dapat mendeteksi dari 0-200 parasit per mikri liter darah dan dapat membedakan apakah infeksi P. Falciparum atau P. Vivax. 3. Tes Serologi Mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai tekhnik indirect fluorescent antibody test. Tes ini berguna untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap malaria atau keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang bermanfaat sebagai alat diagnostik sebab antibodi baru terjadi setelah beberapa hari parasitemia. Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji saring donor darah. Titer > 1:200 dianggap sebagai infeksi baru dan test > 1:20 dinyatakan positif. 4. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan teknologoi amplikasi DNA, waktu yang dipakai cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi. Keunggukan dari tes ini walaupaun jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan hasil positif. Tetapi, tes ini baru dipakai sebagai sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin.

E. Gejala Klinik Berikut akan dijelaskan beberapa gejala klinik dari deferensial diagnosis:1(2775,
2809, 2817),2 2798,

1. Malaria Dikenal ada 4 jenis plasmodium (P) pada malaria, yaitu P. Vivax, merupakan infeksi yang paling sering dan menyebabkan malaria tertiana, P. Falciparum, memberikan banyak komplikasi dan mempunyai perlangsungan yang cukup ganas, mudah resisten dengan pengobatan dan menyebabkan malaria tropika, P. Malariae, cukup jarang namun dapat menimbulkan sindroma nefrotik dan menyebabkan malaria quartana, dan P. Ovale dijumpai 4

pada daerah Afrika dan dan Pasifik Barat, memberikan infeksi yang paling ringandan serimh sembuh spontan tanpa pengobatan, menyababkan malaria ovale. Manifestasi umum malaria Malaria mempunyai gambaran karakteristik demam periodik, anemia, dan splenomegali. Masa inkubasi bervariasi pada masingmasing plasmodium. Keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam berupa kelesuan, malaise, sakit kepala, sakit belakang, merasa dingin di punggung, nyeri sendi dan tulang, demam ringab, anoreksia, perut tak enak, diare ringan dan kadang-kadang dingin. Keluha prodromal sering terjadi pada P. Vivax dan P. Ovale. Sedangkan pada P. Falciparum dan P. Malariae keluhan prodromal tidak jelas bahkan gejala dapat mendadak. Gejala yang klasik yaitu terjadinya Trias Malaria, secara berurutan terbagi menjadi periode-periode berikut ini: I. Periode dingin (15-60 menit), mulai menggigil, penderita sering membungkus diri dengan selimut atau sarung dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi-gigi saling terantuk, diikuti dengan meningkatnya temperatur. II. Periode panas, pada periode ini penderita mukanya merah, nadi cepat, dan panas badan tetap tinggi dalam beberapa jam, lalu diikuti dengan keadaan berkeringat. III. Periode berkeringat, penderita berkeringat banyak dan

temperatur turun, dan penderita merasa sehat. Trias malaria lebih sering terjadi pada infeksi P. Vivax, dan P. Falciparum menggigil dapat berlangsung berat ataupun tidak ada. Anemia merupakan gejala yang sangat sering dijumpai pada infeksi malaria. Beberapa mekanisme terjadinya anemia: pengrusakan eritrosit oleh parasit, hambatan eritropoiesis sementara, hemolisis oleh karena proses complement mediated immune complex,

eritrofagositosis, penghambatan pengeluaran retikulosit, dan pengaruh sitokin. Pembesaran limpa (splenomegali) sering dijumpai pada penderita malaria, limpa akan teraba setelah 3 hari dari serangan infeksi akut, limpa menjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. 5

2. Demam Berdarah Dengue (DBD) Manifestasi klinik infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dnegue atau sindrom syok dengue (SSD). Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini, pasien sudah tidak demam, akan tetapai mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan adekuat. 3. Demam Tifoid Masa tunas demem tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis timbul sangat bervariasi, dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian. Pada minggu pertama, gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demem, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, ostipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistakis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas, bradikardia relatif (adalah peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung lidah berwarna merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis, dan roseolae (jarang ditemukan di Indonesia). Uji yang biasa dilakukan dalam pemeriksaan demam tifoid ini adalah uji Widal. Uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid, yaitu aglutinin O (dari tubuh kuman), B. Aglutinin H (flagela kuman), dan C. Aglutinin Vi (simpai kuman). Dari ketiga aglutinin tersebut, hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid dengan ditandai semakin tinggi titernya, semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. 4. Leptospirosis Masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari, rata-rata 10 hari. Gambaran klinisnya terbagi menjadi 2, yaitu yang sering dan yang jarang. Yang sering terjadi, seperti demam, menggigil, sakit kepala, meningimus, 6

anoreksia, mialgia, conjuctival suffusion, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam kulit, dan fotopobi. Sedangkan yang jarang adalah pneumonitis, hemaptoe, delirium, perdarahan, diare, edema, splenomegali, artralgia, gagal ginjal, proferal neuritis, pankretitis, parotitis, epididimitis, hematemesis, asites, dan mikarditis. Jadi, dari keempat gejala klinik di atas, yang sesuai dengan kondisi pasien pada skenario adalah malaria. Untuk itu akan dibahas mengenai penyakit malaria, sebagai berikut:1(2813-14),
3,4

A. Definisi Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia, dan splenomegali. Dapat berlangsung akut ataupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi ataupun mengalami kompliksi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat. B. Etiologi Penyebab infeksi malaria ialah plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga menginfeksi binatang seperti golongan burung, reftil, dan mamalia. Termasuk genus plasmodium dari famili plasmodidae. Plasmodium ini pada mnusia menginfeksi eritrosit (sel darah merah) dan mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan eritrosit. Pembiakan seksual terjadi di tubuh nyamuk yaitu anopheles betina. Secara keseluruhan ada lebih dari 100 plasmodium yang menginfeksi binatang (82 pada jenis burung dan reftil, dan 22 pada binatang primata. Parasit malaria yang terdapat di Indonesia, yang sering dijumpai adalah plasmodium vivax yang menyebabkan malaria tertiana (benign malaria) dan plasmodium falciparum yang menyebabkan malaria tropika (malignan malaria). P. Malariae pernah juga dijumpai tetapi sangat jarang. Sedangkan P. Ovale pernah dilaporkan dijumpai di Irian Jaya, pulau Timor, pulau Owi (utara Irian Jaya). C. Epidemiologi Infeksi malaria tersebar pada lebih dari 100 negara di benua Afrika, Asia, Amerika (bagian selatan), dan daerah Oeceania, serta kepulauan Caribia. Namun terdapat juga daerah yang bebas malaria yaitu Amerika Serikat, Canada, negara di Eropa (kecuali Rusia), Israel, Singapura, Hongkong, Jepang, Taiwan, Korea, Brunai dan Australia. Negara tersebut terhindar dari malaria karena vektor kontrolnya yang 7

baik. Walupun demikian di negara tersebut makin banyak dijumpai kasus malaria yang diimport karena pendatang dari negara malaria atau penduduknya berkunjung ke daerah-daerah malaria. P. Falciparum dan P. Malariae umumnya dijumpai pada semua negara dengan malaria, seperti di Afrika, Haiti dan Papua Nugini, umumnya P. Falciparum. P. Vivax banyak di Amerika Latin. Di Amerika Selatan, Asia Tenggara, negara Oceania dan India umumnya P. Falciparum dan P. Vivax. P. Ovale biasanya hanya di Afrika. Di Indonesia kawasan Timur mulai dari Kalimantan, Sulawesi Tengah sampai ke Utara, Maluku, Irian Jaya dan dari Lombor sampai Nusa Tenggara Timur serta Timor Timur merupakan daerah endemis malaria dengan P. Falciparum dan P. Vivax. Beberaoa di daerah Sumatra, mulai dari lampung, Riau, Jambi, dan Batam kasus malaria cenderung meningkat. D. Patofisiologi (daur hidup parasit malaria) Infeksi parasit malaria mulai bila nyamuk anopheles betina menggigit manusia dan nyamuk akan melepaskan sporozoitnya ke dalam pembuluh darah dimana sebagian besar dalam waktu 45 menit akan menuju ke hati dan sebagian kecil sisanya akan mati di darah. Di dalam sel parenkim hati mulailah perkembangan aseksual. Perkembangan ini memerlukan waktu 5,5 hari untuk P. Falciparum dan 15 hari untuk P. Malariae. Setelah sel parenkim hati terinfeksi, terbentuk skizon hati yang apabila pecah aan banyak mengeluarkan merozoit ke sirkulasi darah. Pada P. Vivax dan P. Ovale, sebagian parasit di dalam sel hati membentuk hipnozoit yang dapat bertahan sampai bertahun-tahun dan bentuk ini yang akan menyebabkan terjadinya relaps pada malaria. Setelah berada dalam sirkulasi darah, merozoit akan menyerang eritrosit dan masuk melalui reseptor permukaan eritrosit. Pada P. Vivax reseptor ini berhubungan dengan faltor antigen duffy Fya atau Fyb. Hal ini menyebabkan individu dengan golongan darah duffy negatif tidak terinfeksi penyakit malaria vivax. Dalam waktu kurang dari 12 jam, parasit berubah menjadi bentuk rings. Pada P. Falciparum menjadi bentuk stereo-headphones, yang mengandung kromatin dalam intinya dikelilingi sitoplasma. Parasit tumbuh setelah memakan hemoglobin dan dalam metabolismenya membentuk pigmen yang disebut hemozoin yang dapat dilihat secara mikroskopik. Eritrosit yang berparasit menjadi lebih elastik dan dinding berubah menjadi lonjong. Setelah 36 jam invasi ke dalam eritrosit, parasit berubah menjadi sizont, dan bila sizont pecah akan mengeluaran 6-36 merozoit dan siap menginfeksi 8

eritrosit yang lain. Siklus aseksual ini pada P. Falciparum, P. Vivax, P. Ovale adalah 48 jam dan pada P. Malariae adalah 72 jam. Di dalam darah sebagian parasit akan membentuk gamet jantan dan betina. Bila nyamuk menghisap darah manusia yang sakit, akan terjadi siklus seksual dalam tubuh nyamuk. Setelah terjadi perkawinan akan terbentuk zygote dan menjadi lebih bergerak menjadi ookinet yang menembus dinding perut nyamuk dan akhirnya menjadi bentuk ookista yang akan menjadi masak dan mengeluarkan sporozoit yang akan bermigrasi ke kelenjar ludah nyamuk dan siap untuk menginfeksi manusia.

Lalu bagaimana dengan faktor imunitas terhadap infeksi parasit malaria ini. Imunitas terhadap infeksi parasit malaria dibagi berdasarkan stadium siklus hidup parasit, yaitu:1(2816-7) Imunitas pada stadium eksoeritrositer, terbagi menjadi eksoeritrositer ekstrahepatal (stadium sporozoit) dan eksoeritrositer intrahepatik (stadium hepatozit). Respon imun pada stadium sporozoit yaitu antibodi yang menghambat masuknya sporozoit ke hepatozit, misalnya salah satu imunitasnya adalah sirkumsporozoid protein (CSP). Respon imum pada stadium hepatozit yaitu mengasilkan antibodi pada stadium hepatozit, salah satunya ialah limfosit T sitotoksik CD8+. Imunitas pada stadium aseksual, berupa antibodi yang mengaglutinasi merozoit, merupakan antibodi yang menghambat pelepasan atau menetralkan toksin-toksin parasit, contohnya antibodinya adalah merozoit surface antigen. Imunitas pada stadium seksual, berupa antibodi yang membunuh gametosit, antibodi yang menghambat fertilisasi dan menghambat transformasi zigot menjadi ookinet, misalnya Pf-230 (transmission blocking antibody).

Penatalaksanaan Pengobatan penderita malaria dapat dengan memakai ACT (Artemisinin base Combination Therapy), dengan obat-obat non-ACT atau dengan penggunaan obat kombinasi Non-ACT. Berikut penjelasannya:1(2823-24),4 Secara global WHO telah menetapkan dipakainya pengobatan malaria dengan memakai obat ACT. Golongan artemisinin telah dipilih sebagai obat utama karena efektif dalam mengatasi plasmodium yang resisten dengan pengobatan. Selain itu artemisinin juga bekerja dalam membunuh plasmodium dalam semua stadium termasuk gametosit juga efektif terhadap spesies (plasmodium-plasmodium pada

malaria). Laporan kegagalan terhadap ART belum ada pada sat ini. Obat ini dapat diberi dengan cara oral, parenteral/injeksi dan suppositoria. Catatan: Untuk pemakaian obat golongan artemisinin, harus disertai bukti dengan pemeriksaan parasit yang positif, setidak-tidaknya dengan tes cepat antigen yang positif. Bila malaria klinis/tidak ada hasil pemeriksaan parasitologik, tetap menggunakan obat non-ACT. Obat non-ACT Walaupun resistensi terhadap obat-obat standar golongan non-ACT telah dilaporkan dari seluruh propinsi di Indonesia, beberapa daerah masih cukup efektif terhadap klorokuin maupun sulfadoksin pirimetamin (kegagalan masih kurang 25%). Di beberapa daerah pengobatan menggunakan obat standar seperti klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin masih dapat digunakan dengan pengawasan terhadap respon pengobatan. Jenis-jenis obat non-ACT adalah klorokuin difosfat/sulfat, sulfadoksin-pirimetamin (SP), kina sulfat, dan primakuin. Penggunaan obat kombinasi non-ACT Apabila pola resistensi masih rendah dan belum tejadi multiresistensi dan belum tersedianya obat golongan artemisinin, dapat menggunakan obat standar yang dikombinasikan. Contoh kombinasi ini adalah sebagai berikut:1 Kombinasi klorokuin + sulfadoksin pirimetamin. Kombinasi SP + kina. Kombinasi klotokuin + doksisiklin/tetrasiklin. Kombinasi kina + doksisiklin/tetrasiklin. Kombinasi kina + klindasimin.

Faktor Resiko Pada penderita malaria, jika tidak mendapat penanganan atau dibiarkan begitu saja, resiko membahayakan dapat terjadi dengan komplikasi-komplikasi yang beragam. Komplikasi yang timbul dari penderita malaria jika tidak ditangani adalah pasien dapat mengalami penyakit yang disebut dengan malaria berat. Komplikasi malaria berat ini umumnya disebabkan karena P. Falciparum dan sering disebut pernicious manifestations.1(2826)

10

Penderita malaria dengan komplikasi umumnya digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi P. Falciparum dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut:1(2826) Malaria serebral (coma), yang tidak disebabkan oleh penyakit lain atau lebih dari 30 menit setelah serangan kejang. Derajat penurunan kesadaran harus dilakukan penilaian berdasarkan GCS (Glasgow Coma Scale). Gangguan kesadaran ringan (GCS < 15). Acidemia/acidosis: pH darah < 7,25 atau plasma bicarbonate < 15 mmol/L, kadar laktat vena < atau > 5 mmol/L, klinis pernapasan dalam/respiratory distress. Anemia berat (Hb < 5 g/dl atau hematokrit < 15%) pada keadaan parasit < 10.000 per mikro-liter-darah. Gagal ginjal akut (urin < 400 ml/24 jam pada orang dewasa atau 12 ml/Kg BB pada anak-anak) sete;lah dilakukan rehidrasi, disertai kretainin > 3mg/dl. Hipoglikemi, merupakan keadaan dimana gula darah < 40 mg/dl.

Pencegahan dan Vaksin Malaria Tindakan pencegahan`infeksi malaria sangat penting untuk setiap individu, apalagi individu yang imunitasnya rendah. Oleh karena itu, masih sangat dianjurkan untuk memperhatikan tindakan pencegahan untuk menghindari diri dari gigitan nyamuk, yaitu dengan cara:1(2825) 1) Tidur dengan kelambu, sebaiknya dengan kelambu impregnated (dicelup peptisida; pemethrin atau deltamethrin. 2) Menggunakan obat pembunuh nyamuk (gosok, spray, asap, atau elektrik. 3) Mencegah berada di alam bebas dimana nyakum dapat menggigit atau memakai baju lengan panjang, kaus/stocking. 4) Memproteksi tempat tinggal/kamar tidur dari nyamuk dengan kawat anti nyamuk. Dengan cara promotif juga dapat dilakukan pencegahan, yaitu dengan melakukan penyuluhan gerakan 3M. Gerakan 3M adalah sebagi berikut:5 Menguras bak mandi. Menguras bak mandi harus dilakukan sesering mungkin. Tujuannya adalah supaya nyamuk tidak bertelur di bak mandi. Menutup tampungan air. Tujuannya agar nyamuk tidak dapat masuk. Menimbun barang-barang bekas, seperti kaleng, botol bekas dan plastik. Tujuannya agar tidak menjadi tempat bersarangnya nyamuk.

11

Selain itu, pencegahan juga dapat dilakukan dengan fogging, jumantik, dan abatisasi. Berikut penjelasannya:5 a) Fogging, yaitu upaya yang dilakukan dengan pengasapan. Pengasapan ini dilakukan di lokasi-lokasi yang tinggi jumlah peningkatan kasus DBD-nya agar penyebaran penyakit dapat segera dikendalikan lewat pemberantasan vektor nyamuk Aedes aegypti dewasa bersama-sama masyarakat dan sektor swasta. Fogging dilakukan di daerah fokus-fokus penularan. b) Jumantik adalah singkatan dari Juru Pemantau Jumantik, bertugas untuk melaksanakn Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). PSN ini diintensifkan lewat kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) dengan merekrut Juru Pemantau Jentik (Jumentik). c) Abatisasi adalah menggunakan sejenis insektisida dengan merek dagang Abate. Kegunaannya untuk mencegah larva berkembang menjadi nyamuk dewasa.

Sementara itu, vaksin terhadap malaria masih tetap dalam pengembangan. Hal yang menyulitkan adalah banyaknya antigen yang terdapat dalam plasmodium selain pada masingmasing bentuk atdium pada daur plasmodium. Oleh karena yang berbahaya adalah P. Falciparum, sekarang baru ditujukan pada pembuatan vaksin untuk proteksi terhadap p. Falciparum. Pada dasarnya, ada 3 jenis vaksin yang dikembangkan, yaitu sebagai berikut:1(2825) Vaksin sporozoit (bentuk intra hepatik). Vaksin terhadap bentuk aseksual. Vaksin transmission blocking (untuk melawan bentuk gametosit).

Prognosis Telah kita ketahui sebelumnya, bahwa dikenal ada 4 jenis plasmodium pada malraia. Keempat jenis plasmodium ini memiliki masing-masing prognosis. Sebagai berikut:1(2818-19) P. Vivax (baik, tidak menyebabkan kematian). P. Malariae (tanpa pengobatan dapat menimbulkan relaps 30-50 tahun). P. Ovale (baik). P. Falciparum (banyak komplikasi, menyebabkan malaria berat, juga kematian).

12

Kesimpulan Jadi, dari gejala klinik keempat penyakit yang dapat menyebabkan demam di atas, disimpulkan bahwa, laki-laki 30 tahun yang mengeluh demam sejak 2 hari yang lalu dengan sifat demam yang sempat menghilang kemudian naik lagi disertai menggigil, berkeringat, sakit kepala dan mual, menderita penyakit malaria.

Daftar Pustaka 1. Suhendro, Nainggolan L, Pohan HT, Widodo J, Zein U, Harijanto PN. Demam berdarah dengue, demam tifoid, leptospirosis, malaria, malaria berat. Dalam: Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4 (Jilid 3). Jakarta: InternaPublishing,2009.h.

2775.2798.2809.2813-25.2826. 2. Staf Pengajar FKUI. Manifestasi klinik leptospira. Dalam: Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Binarupa Aksara,1994.h.219. 3. Staf Pengajar Departemen FKUI. Parasit malaria. Dalam: Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,2008.h.189-94. 4. Syarif A, Zunilda DS. Siklus hidup plasmodium dan obat malaria. Dalam: Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI,2011.h.556-67. 5. Suharmiati, Handayani L. Promotif dan preventif. Dalam: Demam berdarah dengue. Jakarta: PT AgroMedia Pustaka Redaksi, 2007.h.13-5.

13

Anda mungkin juga menyukai