Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS INTEGRASI DEMAM REMATIK, PENYAKIT JANTUNG REMATIK, DAN ENDOKARDITIS INFEKTIF

30 Desember 2011

Pembimbing : dr. Aminah Noor, Sp.JP Presentan : Disca Ariella Rucita Hilda Fakhrani Fardiani Muhammad Jauharil Wafi
Kepaniteraan Klinik RSUP Fatmawati Stase Kardiologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta 2011
KATA PENGANTAR

Alhamdullilah puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan kasus integrasi ini. Shalawat dan salam senantiasa kami junjungkan ke hadirat Nabi Muhammad SAW, semoga rahmat dan hidayahnya selalu tercurah kepada kita selaku umatnya. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pengajar di SMF kardiologi khususnya dr.Aminah Noor, Sp.JP atas bimbingan dan perhatian selama berlangsungnya pendidikan di kepaniteraan klinik ini, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan ini tepat pada waktunya. Sebagai manusia kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan dan bagi kelompok-kelompok selanjutnya. Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Maka bila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya kepada tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Q.S. Al Insyirah:6-7).

Jakarta, 30 Desember 2011

Penyusun

DAFTAR ISI
COVER1 KATA PENGANTAR 2 DAFTAR ISI ..3 BAB I. Laporan Kasus ...4 BAB II Tinjauan Pustaka........18 Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik....18 Endokarditis Infektif ...37 DAFTAR PUSTAKA .42

BAB I LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien a. Nama b. Usia c. Jenis kelamin d. Agama e. Alamat f. Pendidikan terakhir g. Pekerjaan h. Status pernikahan i. Suku j. Bangsa 1.2 Anamnesis a. Keluhan Utama : Lemas 1 minggu yang lalu b. Riwayat penyakit sekarang : Pasien lemas 1 minggu yang lalu. Lemas semakin memberat SMRS. Nafsu makan baik, ada mual dan muntah. Demam, nyeri dada, sakit kepala, pusing di sangkal oleh pasien. Pasien merasa sesak yang semakin memberat. Pasien mengeluh mata nya mulai menguning. Dan pasien tampak pucat. Tidak ada batuk dan pilek. BAK pekat seperti air the dan BAB normal. c. Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien sebelumnya tidak pernah seperti ini Riwayat hipertensi : (-) Riwayat DM : (-) Riwayat penyakit jantung : (-) Riwayat penyakit ginjal : (-) Riwayat sakit kuning : (-) Riwayat anemia : (-) : Tn. A : 25 tahun : Laki-laki : Islam : GG Masjid, Depok : SMA : Pedagang : Belum Menikah : : Indonesia

Riwayat sakit batuk lama dengan konsumsi obat dalam waktu panjang : (-) Riwayat asma : (-) Dikeluarga pasien tidak ada keluhan yang sama seperti pasien Kakak kandung pasien memiliki sakit anemia dan sering transfusi darah Riwayat hipertensi : (-) Riwayat DM : (-) Riwayat penyakit jantung : (-) Riwayat sakit batuk lama dengan konsumsi obat dalam waktu panjang : (-) Riwayat asma: (-) Kebiasaan merokok (-) Kebiasaan minum kopi (-) Kebiasaan minum alkohol (-) Kebiasaan mengkonsumsi makanan berlemak (-)

d. Riwayat Penyakit Keluarga:

Riwayat sosial :

1.3 Pemeriksaan Fisik A. Status generalis a. Keadaan umum b. Kesadaran c. Tinggi badan d. Berat bada e. BMI f. Status gizi B. Tanda vital a. Tekanan darah b. Frekuensi nadi c. Frekuensi napas d. Suhu C. Kulit a. Warna : sawo matang : 100/60 mmHg : 96 x/menit : 24 x/menit : afebris : Tampak sakit sedang : CM :: :: kurang

b. Jaringan parut c. Pigmentasi d. Suhu raba e. Lembab/kering f. Turgor g. Ikterus h. Edema D. Kepala E. Mata Pemeriksaan Konjungtiva anemis Sklera ikterik F. Hidung G. Tenggorokan H. Leher

: (-) : (-) : baik : lembab : (-) : (+) : (-) : Normochepali, Chipmunk face (+) / facies cooley : Kanan Kiri (+) (+) (+) (+) : Deformitas (-), sekret (-), septum deviasi (-) : ph tenang T1-T1 : Tekanan vena jugularis 5+0 mmH2O, KGB tidak teraba membesar dan nyeri tekan (-), penggunaan otot bantu napas (-)

(+) , deformitas (-), benjolan (-), rambut hitam, tidak mudah dicabut.

I. Paru Pemeriksaan Inspeksi depan Inspeksi belakang Palpasi depan Palpasi belakang Perkusi depan Perkusi belakang Auskultasi depan Kanan Tidak terdapat kelainan Tidak terdapat kelainan Fokal fremitus teraba sama Fokal fremitus teraba sama Sonor Sonor Suara napas vesikuler Rhonki (-) Kiri Tidak terdapat kelainan Tidak terdapat kelainan Fokal fremitus teraba sama Fokal fremitus teraba sama Sonor Sonor Suara napas vesikuler Rhonki (-) Wheezing (-) Suara napas vesikuler

Wheezing (-) Auskultasi belakang Suara napas vesikuler J. Jantung a. Inspeksi midclavicula b. Palpasi

: Iktus kordis tampak di ICS 5 dari linea : Iktus kordis tampak di ICS 5 linea midclavicula
6

c. Perkusi

: Batas kiri jantung ICS 5 linea midclavicula kiri. Batas kanan jantung dan pinggang jantung dalam batas normal

d. Auskultasi K. Abdomen a. Inspeksi b. Palpasi

: BJ I-II regular, murmur murmur (+) holosistolik

2/6 semua katup, gallop (-) : Datar : Supel, nyeri tekan (-), hepar dekstra : teraba 4 jari di bawah arcus costae dan hepar sinistra : 2 jari dibawah px. Tepi tumpul, kenyal dan rata. Lien s.4. c. Perkusi d. Auskultasi L. Ekstremitas Pemeriksaan Atas Kanan Akral hangat Clubbing finger (-) Edema pitting (-) Akral hangat Edema pitting (-) Kiri Akral hangat Clubbing finger (-) Edema pitting (-) Akral hangat Edema pitting (-) : Timpani, shifting dullness (-) : Bising usus (+) normal

Bawah

1.4 Pemeriksaan Penunjang B. Pemeriksaan rontgent thorax infiltrate +/+, CTR > 50% C. Pemeriksaan EKG SR, QRS rate 100x/menit, P wave + normal, QRS complex 0,08s, ST change -, LVH -, RVH -, BBB II.6 Resume 1. Anamnesis

HEMATOLOGI (25-12-11) HEMATOLOGI 17-0409 Hemoglobin Hematokrit Leukosit Trombosit Eritrosit VER/HER/KHER/RDW VER HER KHER RDW 6,3 g/dl 21 % 6,4 ribu/ul 73 ribu/ul 2,71 juta/ul 78,4 fl 23,3 pg 29,7 g/dl 27,4 % 11,7-15,5 g/dl 33-45% 5-10 ribu/ul 150-440 ribu/ul 4,40-5,90juta/ul 80-100 fl 26-34 pg 32-36 g/dl 11,5-14,5 %
8

Riwayat penyakit sekarang : Pasien lemas 1 minggu yang lalu. Lemas semakin memberat SMRS. Nafsu makan baik, ada mual dan muntah. Demam, nyeri dada, sakit kepala, pusing di sangkal oleh pasien. Pasien merasa sesak yang semakin memberat. Pasien mengeluh mata nya mulai menguning. Dan pasien tampak pucat. Tidak ada batuk dan pilek. BAK pekat seperti air the dan BAB normal 2. Pemeriksaan Fisik B. Status generalis a. Keadaan umum b. Kesadaran c. Tinggi badan d. Berat bada e. BMI f. Status gizi C. Tanda vital e. Tekanan darah f. Frekuensi nadi g. Frekuensi napas h. Suhu D. Kulit i. Warna j. Jaringan parut k. Pigmentasi l. Suhu raba m. Lembab/kering n. Turgor o. Ikterus p. Edema E. Kepala F. Mata Pemeriksaan : sawo matang : (-) : (-) : baik : lembab : (-) : (+) : (-) : Normochepali, Chipmunk face (+) / facies cooley : Kanan Kiri : 100/60 mmHg : 96 x/menit : 24 x/menit : afebris : Tampak sakit sedang : CM :: :: kurang

(+) , deformitas (-), benjolan (-), rambut hitam, tidak mudah dicabut.

Konjungtiva anemis Sklera ikterik G. Hidung H. Tenggorokan I. Leher

(+) (+) (+) (+) : Deformitas (-), sekret (-), septum deviasi (-) : ph tenang T1-T1 : Tekanan vena jugularis 5+0 mmH2O, KGB tidak teraba membesar dan nyeri tekan (-), penggunaan otot bantu napas (-)

J. Paru Pemeriksaan Inspeksi depan Inspeksi belakang Palpasi depan Palpasi belakang Perkusi depan Perkusi belakang Auskultasi depan Kanan Tidak terdapat kelainan Tidak terdapat kelainan Fokal fremitus teraba sama Fokal fremitus teraba sama Sonor Sonor Suara napas vesikuler Rhonki (-) Kiri Tidak terdapat kelainan Tidak terdapat kelainan Fokal fremitus teraba sama Fokal fremitus teraba sama Sonor Sonor Suara napas vesikuler Rhonki (-) Wheezing (-) Suara napas vesikuler

Wheezing (-) Auskultasi belakang Suara napas vesikuler K. Jantung e. Inspeksi midclavicula f. Palpasi g. Perkusi

: Iktus kordis tampak di ICS 5 dari linea : Iktus kordis tampak di ICS 5 linea midclavicula : Batas kiri jantung ICS 5 linea midclavicula kiri. Batas kanan jantung dan pinggang jantung dalam batas normal

h. Auskultasi L. Abdomen a. Inspeksi b. Palpasi

: BJ I-II regular, murmur murmur (+) holosistolik

2/6 semua katup, gallop (-) : Datar : Supel, nyeri tekan (-), hepar dekstra : teraba 4 jari di bawah arcus costae dan hepar sinistra : 2 jari

10

dibawah px. Tepi tumpul, kenyal dan rata. Lien s.4. c. Perkusi d. Auskultasi M. Ekstremitas Pemeriksaan Atas Kanan Akral hangat Clubbing finger (-) Edema pitting (-) Akral hangat Edema pitting (-) Kiri Akral hangat Clubbing finger (-) Edema pitting (-) Akral hangat Edema pitting (-) : Timpani, shifting dullness (-) : Bising usus (+) normal

Bawah

3. Pemeriksaan Penunjang A. Pemeriksaan rontgent thorax


infiltrate +/+, CTR > 50%

B. Pemeriksaan EKG
SR, QRS rate 100x/menit, P wave + normal, QRS complex 0,08s, ST change -, LVH -, RVH -, BBB

II.6 Diagnosis kerja Anemia gravis pada Thallasemia dengan hipersplenism Susp CLD dengan peningkatan transaminase, trombositopenia, pemanjangan PT Ikterus destruktif dd/parenkimatosa CAP dd/ TB paru CHF Fc.I-II ec HHD Acute Kidney Insufficiency susp. Prerenal dengan hiperurisemia II.7 Pemeriksaan Anjuran a. b. c. d. Elektroforesis Hb, LDH, ANA, ds-DNA, C3, HBs Ag Albumin, globulin, UL, kultur sputum MoR dan BTA 3x USG abdomen Konsul jantung - Ekokardiogram
11

II.8 Penatalaksanaan A. Non medikamentosa o O2 4 L/menit o Diet lunak 1800 kkal/hari B. Medikamentosa o IVFD Venflon o Transfuse PRC bertahap (s/d hb > 8 g/dl), premed: o lasik 1 amp o dexa 1 amp o ca glukonas 1 amp o difen 1 amp o lasik 1x2amp iv (jika TD: > 100mmHg) o AF 1x3/ B12 3x1/ Branat 3x1 o Allopurinol 1x100 mg o Curcuma 3x200 mg o Hp-pro 3x2 o Vit.K 3x10 mg o Ceftriaxone 1x2 gr o Azithromycin 1x 500mg II.9 Prognosis A. Ad vitam B. Ad fungtionam C. Ad sanationam : Dubia ad malam : malam : Dubia ad malam FOLLOW UP Follow Up (22-12-2011) Subjective Objective Sesak napas berkurang a. Keadaan Umum : Sakit sedang

12

b. Kesadaran c. Tanda vital

: compos mentis

TD : 100/60 mmHg Nadi : 100 kali / menit Pernapasan : 22 kali / menit Suhu : afebris

d. Mata : CA +/+, SI +/+ e. Leher : KGB tidak teraba membesar JVP meningkat f. Cor : S I, II regular, murmur (+) ejeksi sistolik, Gallop (-) g. Pulmo : suara napas vesikuler, wheezing (-), rhonki (-/-) h. Abdomen : datar, supel, nyeri tekan (-), hepar dekstra teraba 4 jari di bawah arcus costae dan hepar kiri 2 jari dibawah arcus costae. Lien di S.IV i. Ekstremitas Akral hangat : + Assessment Edema : Anemia gravis pada Thallasemia dengan hipersplenism Susp CLD dengan peningkatan transaminase, trombositopenia, pemanjangan PT Ikterus destruktif dd/parenkimatosa CAP dd/ TB paru CHF Fc.I-II ec HHD Acute Kidney Insufficiency susp. Prerenal dengan hiperurisemia Planning Non medikamentosa O2 4 L/menit Diet lunak 1800 kkal/hari

Medikamentosa

13

o IVFD Venflon o Transfuse PRC bertahap (s/d hb > 8 g/dl), premed: lasik 1 amp dexa 1 amp ca glukonas 1 amp difen 1 amp o lasik 1x2amp iv (jika TD: > 100mmHg) o AF 1x3/ B12 3x1/ Branat 3x1 o Allopurinol 1x100 mg o Curcuma 3x200 mg o Hp-pro 3x2 o Vit.K 3x10 mg o Ceftriaxone 1x2 gr o Azithromycin 1x 500mg

Follow Up (23-12-2011) Subjective Objective Lemas (+), sesak berkurang a. Keadaan Umum : Sakit sedang b. Kesadaran : compos mentis c. Tanda vital TD : 100/60 mmHg Nadi : 102 kali / menit Pernapasan : 22 kali / menit Suhu : Afebris d. Mata : CA +/+, SI +/+ e. Leher : KGB tidak teraba membesar JVP meningkat

14

f. Cor : S I, II regular, murmur (+) ejeksi sistolik, Gallop (-) g. Pulmo : suara napas vesikuler, wheezing (-), rhonki (-/-) h. Abdomen : datar, supel, nyeri tekan (-), hepar dekstra teraba 4 jari di bawah arcus costae dan hepar kiri 2 jari dibawah arcus costae. Lien di S.IV i. Ekstremitas Akral hangat : + Edema : Assessment Anemia gravis pada Thallasemia dengan hipersplenism Susp CLD dengan peningkatan transaminase, trombositopenia, pemanjangan PT Ikterus destruktif dd/parenkimatosa CAP dd/ TB paru CHF Fc.I-II ec HHD Acute Kidney Insufficiency susp. Prerenal dengan hiperurisemia Planning Non medikamentosa O2 4 L/menit Diet lunak 1800 kkal/hari

Medikamentosa o IVFD Venflon o Transfuse PRC bertahap (s/d hb > 8 g/dl), premed: lasik 1 amp dexa 1 amp ca glukonas 1 amp difen 1 amp o lasik 1x2amp iv (jika TD: > 100mmHg) o AF 1x3/ B12 3x1/ Branat 3x1 o Allopurinol 1x100 mg

15

o Curcuma 3x200 mg o Hp-pro 3x2 o Vit.K 3x10 mg o Ceftriaxone 1x2 gr o Azithromycin 1x 500mg

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENYAKIT JANTUNG REMATIK

Latar Belakang Penyakit jantung reumatik (PJR) merupakan penyakit jantung sebagai akibat adanya sisa (sekuele) dari demam reumatik yang ditandai dengan cacatnya katup jantung. Demam rematik merupakan suatu penyakit sistemik yang dapat bersifat akut, subakut, kronik, atau fulminan, dan dapat terjadi setelah infeksi Streptococcus beta hemolyticus group A pada saluran pernafasan bagian atas. Demam reumatik terjadi sebagai sekuele lambat radang non supuratif sistemik yang dapat melibatkan sendi, jantung, susunan saraf pusat, jaringan subkutan, dan kulit dengan frekuensi yang bervariasi. bPuncak insiden demam rematik terdapat pada kelompok usia 5-15 tahun, penyakit ini jarang dijumpai pada anak dibawah usia 4 tahun dan penduduk di atas 50 tahun. Saat ini telah banyak kemajuan yang didapat dalam bidang kardiologi, tetapi demam reumatik dan penyakit jantung reumatik masih merupakan problem karena merupakan penyebab kelainan katup yang terbanyak terutama pada anak. Sampai saat ini demam reumatik masih belum dapat dihapuskan, walaupun kemajuan dalam bidang penelitian dan penggunaan antibiotika terhadap penyakit infeksi begitu maju. Demam reumatik dan penyakit jantung reumatik masih merupakan penyebab penyakit kardiovaskuler yang signifikan di dunia, termasuk

16

Indonesia. Di Negara maju dalam lima tahun terakhir ini terlihat insidens demam reumatik dan prevalensi penyakit jantung reumatik menurun, tetapi sampai saat ini masih tetap merupakan problem medik dan public health di dunia karena mengenai anak-anak dan dewasa muda pada usia yang produktif. Sekuele demam reumatik pada katup jantung yang menimbulkan kerusakan katup jantung menghabiskan biaya yang sangat besar. Untuk penanganannya memerlukan sarana, prasarana dan tenaga terampil yang handal sehingga memerlukan biaya yang sangat besar. Penanganan yang tidak sempurna dapat menyebabkan angka kesakitan dan angka kematian bagi penderitanya, dan penanganan yang sempurna memerlukan biaya yang besar dan waktu yang terus menerus sepanjang usia penderitanya. Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober1 November 2001 yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per 100.000 penduduk di Negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara berkembang di daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000 penduduk. Diperkirakan sekitar 2.000-332.000 penduduk yang meninggal diseluruh dunia akibat penyakit tersebut. Angka disabilitas pertahun (The disability- adjusted life years (DALYs)1 lost) akibat PJR diperkirakan sekitar 27,4 per 100.000 di negara maju hingga 173,4 per 100.000 di negara berkembang yang secara ekonomis sangat merugikan. Data insidens DR yang dapat dipercaya sangat sedikit sekali. Pada beberapa negara data yang diperoleh hanya berupa data lokal yang terdapat pada anak sekolah. Insidens pertahunnya cenderung menurun di negara maju, tetapi di negara berkembang tercatat berkisar antara 1 di Amerika Tengah 150 per 100.000 di Cina. Sayangnya dalam laporan WHO yang diterbitkan tahun 2004 data mengenai DR dan PJR Indonesia tidak dinyatakan. Definisi Penyakit jantung reumatik (Reumatic Heart Disease) merupakan penyakit jantung didapat yang sering ditemukan pada anak. Penyakit jantung reumatik merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat demam reumatik akut sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung reumatik dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau keduanya. Etiologi
17

Etiologi terpenting dari penyakit jantung reumatik adalah demam reumatik. Demam reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem yang terjadi setelah infeksi Streptococcus grup A pada individu yang mempunyai faktor predisposisi. Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh inflamasi endokardium dan miokardium melalui suatu proses autoimunne yang menyebabkan kerusakan jaringan. Inflamasi yang berat dapat melibatkan perikardium. Valvulitis merupakan tanda utama reumatik karditis yang paling banyak mengenai katup mitral (76%), katup aorta (13%) dan katup mitral dan katup aorta (97%). Insidens tertinggi ditemukan pada anak berumur 5-15 tahun. Manifestasi klinis demam reumatik akut (DRA) didahului dengan infeksi tenggorokan akut (faringitis akut) sekitar 20 hari sebelumnya. Masa tersebut merupakan periode laten yang asimtomatis. Rata-rata onset sekitar 3 minggu sebelum timbul gejala. Manifestasi klinis dapat dikelompokkan menjadi kriteria mayor (5), kriteria minor (4) dan bukti didahului oleh infeksi kuman streptococcus.

Patofisiologi Demam reumatik merupakan kelanjutan dari infeksi faring yang disebabkan Streptokokus beta hemolitik grup A. Reaksi autoimun terhadap infeksi Streptokokus secara hipotetif akan menyebabkan kerusakan jaringan atau manifestasi demam reumatik, sebagai berikut (1) Streptokokus grup A akan menyebabkan infeksi faring, (2) Antigen Streptokokus akan menyebabkan pembentukan antibody pada hospes yang hiperimun, (3) antibody akan bereaksi dengan antigen Streptokokus, dan dengan jaringan hospes yang secara antigenic sama seperti Streptokokus ( dengan kata lain antibody tidak dapat membedakan antara antigen Streptokokus dengan antigen jaringan jantung), (4) autoantibody tesebut bereaksi dengan jaringan hospes sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.

18

Adapun kerusakan jaringan ini akan menyebabkan peradangan pada lapisan jantung khususnya mengenai endotel katup, yang mengakibatkan pembengkakan daun katup dan erosi pinggir daun katup. Hal ini mengakibatkan tidak sempurnanya daun katup mitral menutup pada saat systole sehingga mengakibatkan penurunan suplai darah ke aorta dan aliran darah balik dari ventrikel kiri ke atrium kiri, hal ini mengakibatkan penurunan curah sekuncup ventrikel sehingga jantung berkompensasi dengan dilatasi ventrikel kiri, peningkatan kontraksi miokardium, hipertrofi dinding ventrikel dan dinding atrium sehingga terjadi penurunan kemampuan atrium kiri untuk memompa darah hal ini mengakibatkan kongesti vena pulmonalis dan darah kembali ke paru-paru mengakibatkan terjadi edema intertisial paru, hipertensi arteri pulmonalis, hipertensi ventrikel kanan sehingga dapat mengakibatkan gagal jantung kanan.

19

Diagnosis Diagnosis demam rematik lazim didasarkan pada suatu kriteria yang untuk pertama kali diajukan oleh T. Duchett Jones oleh karena itu kemudian dikenal sebagai kriteria Jones Kriteria Jones memuat kelompok kriteria mayor dan minor yang pada dasarnya merupakan manifestasi klinik dan laboratorik demam rematik. Pada perkembangan selanjutnya, criteria ini kemudian diperbaiki oleh American Heart Association dengan menambahkan bukti adanya infeksi Streptokokus sebelumnya Apabila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor, ditambah dengan bukti adanya infeksi Streptokokus sebelumnya, kemungkinan besar menandakan adanya demam rematik. Tanpa didukung bukti adanya infeksi Streptokokus, maka diagnosis demam rematik harus selalu diragukan, kecuali pada kasus demam rematik dengan manifestasi mayor tunggal berupa korea Syndenham atau karditis derajat ringan, yang biasanya terjadi jika demam rernatik baru muncul setelah masa laten yang lama dan infeksi Streptokokus. Perlu diingat bahwa kriteria Jones tidak bersifat mutlak, tetapi hanya sebagai suatu pedoman dalam menentukan diagnosis demam rematik. Kriteria ini bermanfaat untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis.

20

Kriteria Mayor
1. Karditis merupakan manifestasi klinik demam rematik yang paling berat karena

merupakan satu-satunya manifestasi yang dapat mengakibatkan kematian penderita pada fase akut dan dapat menyebabkan kelainan katup sehingga terjadi penyakit jantung rematik. Diagnosis karditis rematik dapat ditegakkan secara klinik berdasarkan adanya salah satu tanda berikut: (a) bising baru atau perubahan sifat bising organik, (b) kardiomegali, (c) perikarditis, dan gagal jantung kongestif. Bising jantung merupakan manifestasi karditis rematik yang seringkali muncul pertama kali, sementara tanda dan gejala perikarditis serta gagal jantung kongestif biasanya baru timbul pada keadaan yang lebih berat. Bising pada karditis rematik dapat berupa bising pansistol di daerah apeks (regurgitasi mitral), bising awal diastol di daerah basal (regurgitasi aorta), dan bising mid-diastol pada apeks (bising Carey-Coombs) yang timbul akibat adanya dilatasi ventrikel kiri.
2. Poliartritis, ditandai oleh adanya nyeri, pembengkakan, kemerahan, teraba panas,

dan keterbatasan gerak aktif pada dua sendi atau lebih. Artritis pada demam rematik paling sering mengenai sendi-sendi besar anggota gerak bawah. Kelainan ini hanya berlangsung beberapa hari sampai seminggu pada satu sendi dan kemudian berpindah, sehingga dapat ditemukan artritis yang saling tumpang tindih pada beberapa sendi pada waktu yang sama; sementara tanda-tanda radang mereda pada satu sendi, sendi yang lain mulai terlibat. Perlu diingat bahwa artritis yang hanya mengenai satu sendi (monoartritis) tidak dapat dijadikan sebagai suatu criteria mayor. Selain itu, agar dapat digunakan sebagai suatu kriteria mayor, poliartritis harus disertai sekurang-kurangnya dua kriteria minor, seperti demam dan kenaikan laju endap darah, serta harus didukung oleh adanya titer ASTO atau antibodi antiStreptokokus lainnya yang tinggi.
3. Korea secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak bertujuan

yang berlangsung cepat dan umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat juga hanya mengenai satu sisi tubuh. Manifestasi demam rematik ini lazim disertai kelemahan otot dan ketidak-stabilan emosi. Korea jarang dijumpai pada penderita di bawah usia

21

3 tahun atau setelah masa pubertas dan lazim terjadi pada perempuan. Korea Syndenham merupakan satu-satunya tanda mayor yang sedemikian penting sehingga dapat dianggap sebagai pertanda adanya demam rematik meskipun tidak ditemukan kriteria yang lain. Korea merupakan manifestasi demam rematik yang muncul secara lambat, sehingga tanda dan gej ala lain kemungkinan sudah tidak ditemukan lagi pada saat korea mulai timbul.
4. Eritema marginatum merupakan wujud kelainan kulit yang khas pada demam

rematik dan tampak sebagai makula yang berwarna merah, pucat di bagian tengah, tidak terasa gatal, berbentuk bulat atau dengan tepi yang bergelombang dan meluas secara sentrifugal. Eritema marginatum juga dikenal sebagai eritema anulare rematikum dan terutama timbul di daerah badan, pantat, anggota gerak bagian proksimal, tetapi tidak pernah ditemukan di daerah wajah. Kelainan ini dapat bersifat sementara atau menetap, berpindah-pindah dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain, dapat dicetuskan oleh pemberian panas, dan memucat jika ditekan. Tanda mayor demam rematik ini hanya ditemukan pada kasus yang berat.
5. Nodulus subkutan pada umumnya hanya dijumpai pada kasus yang berat dan

terdapat di daerah ekstensor persendian, pada kulit kepala serta kolumna vertebralis. Nodul ini berupa massa yang padat, tidak terasa nyeri, mudah digerakkan dari kulit di atasnya, dengan diameter dan beberapa milimeter sampai sekitar 2 cm. Tanda ini pada umumnya tidak akan ditemukan jika tidak terdapat karditis.

Kriteria Minor
1. Riwayar demam rematik sebelumnya dapat digunakan sebagai salah satu kriteria

minor apabila tercatat dengan baik sebagai suatu diagnosis yang didasarkan pada kriteria obyektif yang sama. Akan tetapi, riwayat demam rematik atau penyakit jantung rematik inaktif yang pernah diidap seorang penderita seringkali tidak tercatat secara baik sehingga sulit dipastikan kebenarannya, atau bahkan tidak terdiagnosis.
2. Artralgia adalah rasa nyeri pada satu sendi atau lebih tanpa disertai peradangan atau

keterbatasan gerak sendi. Gejala minor ini harus dibedakan dengan nyeri pada otot atau jaringan periartikular lainnya, atau dengan nyeri sendi malam hari yang lazim

22

terjadi pada anak-anak normal. Artralgia tidak dapat digunakan sebagai kriteria minor apabila poliartritis sudah dipakai sebagai kriteria mayor.
3. Demam pada demam rematik biasanya ringan, meskipun adakalanya mencapai 39C,

terutama jika terdapat karditis. Manifestasi ini lazim berlangsung sebagai suatu demam derajat ringan selama beberapa minggu. Demam merupakan pertanda infeksi yang tidak spesifik, dan karena dapat dijumpai pada begitu banyak penyakit lain, kriteria minor ini tidak memiliki arti diagnosis banding yang bermakna.
4. Peningkatan kadar reaktan fase akut berupa kenaikan laju endap darah, kadar

protein C reaktif, serta leukositosis merupakan indikator nonspesifik dan peradangan atau infeksi. Ketiga tanda reaksi fase akut ini hampir selalu ditemukan pada demam rematik, kecuali jika korea merupakan satu-satunya manifestasi mayor yang ditemukan. Perlu diingat bahwa laju endap darah juga meningkat pada kasus anemia dan gagal jantung kongestif. Adapun protein C reaktif tidak meningkat pada anemia, akan tetapi mengalami kenaikan pada gagal jantung kongestif. Laju endap darah dan kadar protein C reaktif dapat meningkat pada semua kasus infeksi, namun apabila protein C reaktif tidak bertambah, maka kemungkinan adanya infeksi Streptokokus akut dapat dipertanyakan.
5. Interval P-R yang memanjang biasanya menunjukkan adanya keterlambatan

abnormal sistem konduksi pada nodus atrioventrikel dan meskipun sering dijumpai pada demam rematik, perubahan gambaran EKG ini tidak spesifik untuk demam rematik. Selain itu, interval P-R yang memanjang juga bukan merupakan pertanda yang memadai akan adanya karditis rematik. Bukti yang Mendukung Titer antistreptolisin O (ASTO) merupakan pemeriksaan diagnostik standar untuk demam rematik, sebagai salah satu bukti yang mendukung adanya infeksi Streptokokus. Titer ASTO dianggap meningkat apabila mencapai 250 unit Todd pada orang dewasa atau 333 unit Todd pada anak-anak di atas usia 5 tahun, dan dapat dijumpai pada sekitar 70% sampai 80% kasus demam rematik akut. Infeksi Streptokokus juga dapat dibuktikan dengan melakukan biakan usapan tenggorokan. Biakan positif pada sekitar 50% kasus demam rematik akut. Bagaimanapun, biakan

23

yang negatif tidak dapat mengesampingkan kemungkinan adanya infeksi Streptokokus akut.

Pemeriksaan Anamnesis Pemeriksaan fisis: Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi pada ekspirasi 2. Bunyi jantung I lemah karena katup tidak menutup sempurna 3. Bunyi jantung II yang jelas karena pengisian yang cepat dari atrium ke ventrikel pada saat distol. Pemeriksaan penunjang : Elektrokardiogram : 1. Menilai derajat insufisiensi, lamanya, ada/tidaknya penyakit penyerta 2. Gambaran P mitral dengan aksis dan kompleks QRS yang normal 3. Aksis yang bergeser ke kiri dan adanya hipertrofi ventrikel kiri 4. Ekstra sistol atrium Foto Toraks :

: bentuk tubuh, pola pernapasan, emosi/perasaan : suhu dan kelembaban kulit, edema, denyut dan tekanan arteri : batas-batas organ jantung dengan sekitarnya. :

1. Bising pansistolik yang bersifat meniup (blowing) di apeks, menjalar ke aksila dan mengeras

Ukuran jantung biasanya normal Pada kasus yang berat dapat terlihat pembesaran jantung Bendungan paru Perkapuran pada anulus mitral

Ekokardiogram : menilai gerakan katup, ketebalan dan perkapuran serta menilai derajat regurgitasi insufisiensi mitral Laboratorium : mengetahui ada/tidaknya reuma aktif/reaktivasi.

24

PENATALAKSANAAN PENATALAKSANAAN PENYAKIT JANTUNG REUMATIK Terapi demam reumatik akut dapat dibagi menjadi lima pendekatan: 1. Pengobatan Kausal

Pengobatan kausal dilakukan dengan cara eradikasi kuman Streptokokus pada saat serangan akut dan pencegahan sekunder demam rematik. Cara pemusnahan Streptokokus dari tonsil dan faring sama dengan pengobatan faringitis Streptokokus, yakni pemberian penisilin benzatin intramuskuler dengan dosis 1,2 juta unit untuk pasien dengan berat badan > 30 kg atau 600.000 samapi 900.000 unit untuk pasien dengan berat badan < 30 kg. Penisilin oral 400.000 unit (250 mg) diberikan 4 kali sehari selama 10 hari dapat digunakan sebagai alternatif. Eritromisin 50 mg/kgBB sehari dibagi 4 dosis yang sama, dengan maksimum 250 mg 4 kali sehari selama 10 hari dianjurkan untuk pasien yang alergi penisiin. Obat lain seperti sefalosforin yang diberikan dua kali sehari selama 10 hari juga efektif untuk pengobatan faringitis streptokokus, seperti pada tabel di bawah ini : Pengobatan eradikasi kuman Streptokokus Pemberian Intramuskuler Jenis antibiotik Penisilin Benzatin Dosis BB > 30 kg 1,2 juta BB< 30 kg 600.000 400.000/250 mg 50 mg/kgBB/hari sepertiDosis bervariasi Frekuensi Satu kali

Oral

-Penisilin V -Eritromisin -Yang lain

4 x/hari selama 10 hari 4x/hari selama 10 hari

Sefalosporin, Klindamisin,

25

Nafsilin, Amoksisilin Cara pencegahan sekunder yang diajukan The American Heart Association dan WHO yaitu dengan pemberian suntikan penisilin berdaya lama setiap bulan. Pada keadaan-keadaan khusus, atau pada pasien resiko tinggi, suntikan diberikan setiap 3 minggu. Meskipun nyeri suntikan dapat berlangsung lama, tetapi pasien lebih suka dengan cara ini karena dapat dengan mudah dan teratur melakukannya satu kali setiap 3 atau 4 minggu, dibandingkan dengan tablet penisilin oral setiap hari. Preparat sulfa yang tidak efektif untuk pencegahan primer terbukti lebih efektif dari pada penisilin oral untuk pencegahan sekunder. Dapat juga digunakan sulfadiazin yang harganya lebih murah daripada eritromisisn, seperti tertera pada tabel dibawah ini. Pencegahan sekunder demam reumatik Pemberian Intramuskuler Jenis Antibiotik Penisilin Benzatin Dosis BB>30 kg 1,2 juta BB<30 kg 600.000 250 mg 250 mg BB > 30 kg 1gr BB< 30 kg 0,5 gr Frekuensi Setiap 3-4 minggu Oral Penisilin V Eritromisin Sulfadiazin 2 kali sehari 2 kali sehari Sekali sehari Sekali sehari

Lama pemberian pencegahan sekunder sangat bervariasi, bergantung pada berbagai faktor, termasuk waktu serangan dan serangan ulang, umur pasien dan keadaan lingkungan. Makin muda saat serangan, makin besar kemungkinan untuk kumat, setelah pubertas kemungkinan kumat cenderung menurun. Sebagian besar kumat terjadi dalam 5 tahun pertama sesudah serangan terakhir. Dengan mengingat faktor-faktor tersebut, maka lama pencegahan sekunder disesuaikan secara individual. Pasien tanpa karditis pada serangan sebelumnya diberikan profilaksis minimum lima tahun sesudah serangan terakhir, sekurangnya sampai berumur 18 tahun.

26

Pencegahan sekunder harus dilanjutkan selama pasien hamil, akan tetapi sebaiknya tidak dipakai sulfadiazin karena mendatangkan risiko terhadap janin. Remaja biasanya mempunyai masalah khusus terutama dalam ketaan minum obat, sehingga perlu upaya khusus terutama dalam ketaatannya minum obat, sehingga perlu upaya khusus mengingat risiko terjadinya kumat cukup besar. Untuk pasien penyakit jantung reumatik kronik, pencegahan sekunder untuk masa yang lama, bahkan seumur hidup dapat diperlukan, terutama pada kasus yang berat. Beberapa prinsip umum dapat dikemukakan pada tabel berikut. Tabel 2.3 Durasi pencegahan sekunder demam reumatik Kategori Durasi Demam rematik dengan karditis10 tahun sejak episode terakhir sampai dan kelainan menetap

usia 40 tahun. Kadang seumur hidup

Demam rematik dengan karditis10 tahun atau sampai berusia 25 tahun tanpa menetap kelainan katub yang

Demam rematik tanpa karditis

5 tahun atau sampai berusia 18 tahun

2. Pengobatan suportif 2.1 Tirah Baring Semua pasien demam reumatik akut harus tirah baring, jika mungkin di rumah sakit. Tirah baring di rumah sakit untuk pasien demam reumatik derajat 1 , 2, 3 dan 4 berturut-turut 2, 4, 6,12 minggu. Serta lama rawat jalan untuk pasien demam reumatik derajat 1,2,3 dan 4 berturut-turut 2, 4, 6, 12 minggu. Karditis hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak dari awal serangan, hingga pengamatan yang ketat harus dilakukan selama masa tersebut. Sesudah itu lama dan tingkat tirah baring bervariasi. Tabel berikut merupakan pedoman umum untuk mendukung rekomendasi tersebut. 7,8

27

Pedoman umum tirah baring dan rawat jalan pada pasien demam reumatik Status karditis Derajat 1 (tanpa karditis) Penatalaksanaan Tirah baring selama 2 minggu dan sedikit demi sedikit rawat jalan selama 2 minggu dengan salisilat Tirah baring selama 4 minggu dan sedikit Derajat 2(Karditis tanpa kardiomegali) demi sedikit rawat jalan selama 4 minggu Tirah baring selama 6 minggu dan sedikit demi sedikit rawat jalan selama 6 minggu Derajat 3(Karditis dengan kardiomegali) Tirah baring ketat selama masih ada Derajat 4(Karditis dengan gagal jantung) gejala gagal jantung dan sedikit demi sedikit rawat jalan selama 12 minggu 2.2 Diet Tujuan diet pada penyakit jantung adalah memberikan makanan secukupnya tanpa memberatkan kerja jantung, mencegah atau menghilangkan penimbunan garam atau air. Syarat-syarat diet penyakit jantung antara lain: energi yang cukup untuk mencapai dan mempertahankan berat badan normal, protein yang cukup yaitu 0,8 gram/kgBB, lemak sedang yaitu 25-30% dari kebutuhan energi total (10% berasal dari lemak jenuh dan 15% lemak tidak jenuh), Vitamin dan mineral cukup, diet rendah garam 2-3 gram perhari, makanan mudah cerna dan tidakmenimbulkan gas, serat cukup untuk menghindari konstipasi, cairan cukup 2 liter perhari. Bila kebutuhan gizi tidak dapat dipenuhi melalui makanan dapat diberikan tambahan berupa makanan enteral, parenteral atau sulemen gizi.3. Pengobatan simptomatis

28

Pengobatan anti radang amat efektif dalam menekan manifestasi radang akut demam reumatik, sedemikian baiknya sehingga respon yang cepat dari artritis terhadap salisilat dapat membantu diagnosis. Pengobatan anti radang yang lebih kuat seperti steroid amat bermanfaat untuk mengendalikan perikarditis dan gagal jantung pada karditis akut, tetapi tidak berpengaruh terhadap sekuelejangka lama demam reumatik aktif, yaitu insiden penyakit jantung reumatik. Respon yang baik terhadap steroid tidak berarti memperkuat diagnosis demam reumatik karena kebanyakan artritis, termasuk artritis septik, berespon baik terhadap steroid, setidaknya pada stadium awal. Obat anti radang seperti salisilat dan steroid harus ditangguhkan bila atralgia atau artritis yang meragukan merupakan satu-satunya manifestasi, terutama apabila diagnosis belum pasti. Analgesik murni, seperti asetaminofen dapat digunakan karena dapat mengendalikan demam dan membuat pasien merasa enak namun tidak sepenuhnya mengganggua perkembangan poliartritis migrans. Munculnya poliartritis migrans yang khas dapat menyelesaikan masalah diagnosis. Pasien dengan artritis yang pasti harus diobati dengan aspirin dalam dosis terbagi 2 minggu, dan 75 mg/kgBB/hari selama 2 samapi 6 minggu berikutnya. Kadang diperlukan dosis yang lebih besar. Pada pasien karditis, terutama jika ada kardiomegali atau gagal jantung, aspirin seringkali tidak cukup mengendalikan demam, rasa tidak enak serta takikardi. Pasien ini harus ditangani dengan steroid, prednison adalah steroid terpilih, mulai dengan dosis 2 mg/kgBB/hari dengan dosis terbagi, maksimum 80 mg/hari. Pada kasus yang sangat akut dan parah, tetapi harus dimulai dengan metil prednisolon intravena (10 sampai 40 mg), diikuti dengan prednison oral. Sesudah 2 sampai 3 minggu prednison dapat dikurangi bertahap dengan pengurangan dosis harian sebanyak 5 mg setiap 2 samapi 3 hari. Bila penurunan ini dimulai, aspirin dengan dosis 75 mg/kgBB/hari harus ditambahkan dan dilanjutkan selama 6 minggu setelah prednison dihentikan. Terapi tumpang tindih ini dapat mengurangi insiden rebound klinis pasca terapi, yaitu munculnya kembali manifestasi klinis segera setelah terapi dihentikan.Berikut merupakan terapi anti radang yang dianjurkan untuk mengendalikan manifestasi demam rematik. Obat anti radang yang dianjurkan pada demam reumatik

29

Manifestasi Pengobatan Artralgia Artritis, dan/atau karditis tanpa kardiomegali

Indikasi dan dosis obat antiradang Salisilat saja Salisilat 100 mg/kg/hari selama 2 minggu, kemudian diturunkan menjadi 75 mg/kg/hari selama 4-6 minggu.

Karditis dengan kardiomegali atau gagal jantung

Prednison 2 mg/kg/hari (maksimum dosis: 80mg/hari) selama 2 minggu, kemudian diturunkan 1 mg/kg/hari sampai habis selama 2 minggu, ditambah dengan salisilat 75 mg/kg/hari mulai minggu ke 3 selama 6 minggu.

Penatalaksanaan demam reumatik dan reaktivasi penyakit jantung reumatik seperti pada tabel di bawah ini : Tatalaksana demam reumatik dengan reaktivasi penyakit jantung reumatik Manifestasi Klinis Artritis Tanpa Karditis Tirah baring Total : 2 Minggu Obat anti inflamasi Kegiatan Asetosal Masuk sekolah setelah 4 minggu, bebas berolah raga

Mobilisasi bertahap100 mg/kgBB 2 Minggu selama 2 minggu 75mg/kgBB selama 4minggu

Artritis + Karditis tanpaTotal 4 Minggu Kardiomegali

berikutnya Asetosal

Masuk sekolah setelah 2 minggu, bebas berolah raga.

Mobilisasi bertahap100 mg/kgBB 4 minggu

30

selama 2 minggu 75mg/kgBB 4mgg berikutnya Prednison

Artritis+kardiomegali

Total 6 minggu

Masuk sekolah setelah

12 Minggu, jangan Mobilisasi bertahap2mg/kgBB selama 2 olah raga berat atau 6 minggu minggu, tap off selama 2 kompetitif minggu Asetosal 75 mg/kgBB Mulai awal minggu ke 3 Artritis+Kardiomegali+ Total Dekomp. Kordis dekomp. selama 6 minggu. selamaPrednison Kordis 2mg/kgBB minggu Asetosal 75 mg/kgBB Mulai awal minggu ke 3 selama 6 minggu. 5 tahun Pengobatan Karditis selama 2 minggu, tap off selama 2 Masuk sekolah setelah 12 Minggu, dekom 17 teratasi raga. selama

mobilisasi bertahap

minggu dilarang olah

31

Pengobatan karditis masih kontroversial, terutama untuk pemilihan pengobatan pasien dengan aspirin atau harus steroid. Digitalis diberikan pada pasien dengan karditis yang berat dan gagal jantung. Dosis digitalisasi total adalah 0,04-0,06 mg/kg dengan dosis maksimum 1,5 mg. Dosis rumatnya adalah antara sepertiga sampai seperlima dosis digitalisasi total, diberikan dua kali sehari. Pengobatan obat jantung alternatif dipertimbangkan bila pasien tidak berespon terhadap digitalis. Pengobatan Korea Pada kasus korea yang ringan pada umumnya hanya memerlukan tirah baring. Pada kasus berat, obat antikonvulsan mungkin dapat mengendalikan korea. Obat yang sering dipergunakan adalah fenobarbital dan haloperidol. Keberhasilan obat ini bervariasi. Fenobarbital diberikan dalam dosis 15 sampai 30 mg tiap 6 sampai 8 jam, bergantung pada respon klinis. Pada kasus berat, kadang diperlukan 0,5 mg setiap 8 jam. Obat antiradang tidak diperlukan pada korea, kecuali pada kasus yang sangat berat, dapat diberikan steroid. 2.4. Pengobatan Rehabilitatif Pengobatan rehabilitatif untuk pasien demam reumatik sesuai dengan derajat penyakitnya. Untuk pasien demam reumatik derajat 1, kegiatan olahraga dapat dilakukan setelah 4 minggu pulang perawatan di rumah sakit. Untuk derajat 2, kegiatan olahraga bukan kompetisi dapat dilakukan setelah 8 minggu pulang perawatan di rumah sakit. Untuk derajat 3, kegiatan olahraga bukan kompetisi dapat dilakukan setelah 12 minggu pulang dari rumah sakit. Sedangkan untuk derajat 4 tidak boleh melakukan kegiatan olahraga. 2.5. Pengobatan operatif a. Mitral stenosis Prinsip dasar pengelolaan adalah melebarkan lubang katup mitral yang menyempit, tetapi indikasi intervensi ini hanya untuk penderita kelas fungsional III ke atas. Intervensi dapat bersifat bedah (valvulotomi, rekonstruksi aparat sub valvular, kommisurotomi atau penggantian katup. b. Insufisiensi Mitral
32

Penentuan waktu yang tepat untuk melakukan pembedahan katup pada penderita insufisiensi mitral masih banyak diperdebatkan. Namun kebanyakan ahli sepakat bahwa tindakan bedah hendaknya dilakukan sebelum timbul disfungsi ventrikel kiri. Jika mobilitas katup masih baik, mungkin bisa dilakukan perbaikan katup (valvuloplasti, anuloplasti). Bila daun katup kaku dan terdapat kalsifikasi mungkin diperlukan penggantian katup (mitral valve replacement). Katup biologik (bioprotese) digunakan terutama digunakan untuk anak dibawah umur 20 tahun, wanita muda yang masih menginginkan kehamilan dan penderita dengan kontra indiksi pemakaian obatobat antikoagulan. Katup mekanik misalnya Byork Shiley, St.Judge dan lain-lain, digunakan untuk penderita lainnya dan diperlukan antikoagula untuk selamanya. c. Stenosis Aorta Pasien dengan gejala-gejala akibat stenosis aorta membutuhkan tindakan operatif. Pasien tanpa gejala membutuhkan penanganan yang sangat hati-hati serta follow up untuk menentukan kapan tindakan bedah dilakukan. Penanganan stenosis dengan pelebaran katup aorta memakai balon mai diteliti. Pasien-pasien yang dipilih adalah pasien yang tidak memungkinkan dilakukan penggantian katup karena usia, adanya penyakit lain yang berat, atau menunjukkan gejala yang berat. Pasien-pasien dengan gradien sistolik 75 mmHg harus dioperasi walaupun tanpa gejala. Pasien tanpa gejala tetapi perbedaan tekanan sistolik kurang dari 75 mmhg harus dikontrol setiap 6 bulan. Tindakan operatif harus dilaksanakan bila pasien menunjukkan gejala terjadi pembesaran jantung, peningkatan tekanan sistolik aorta yang diukur denagn teknik doppler. Pada pasien muda bisa dilakukan valvulotomi aorta sedangkan pada pasien tua membutuhkan penggantian katup. Risiko operasi valvulotomi sangat kecil, 2% pada penggantian atup dan risiko meningkat menjadi 4% bila disertai bedah pintas koroner. Pada pembesaran jantung dengan gaga jantung, risiko naik jadi 4 sampai 8%. Pada pasien muda yang tidak bisa dilakukan valvulotomi penggantian katup perlu dilakukan memakai katup sintetis. Ahli bedah bisa menggunakan katup jaringan (Porsin/pericardial) untuk pasien-pasien lebih tua. Keuntungan katup jaringan ini adalah kemungkinan tromboemboli jarang, tidak diperlukan antikoagulan, dan perburukan biasanya lebih lambat bila dibandingkan dengan memakai katup sintetis. d. Insufisiensi Aorta

33

Pilihan utuk katup buatan ditentukan berdasarkan umur, kebutuhan, kontra indikasi untuk koagulan, serta lamanya umur katup. Penderita dengan katup jaringan, baik porsin atau miokardial mungkin tidak membutuhkan penggunaan antikoagulan jangka panjang. Risiko operasi kurang lebih 2% pada penderita insufisiensi kronik sedang dengan arteri koroner normal. Sedangkan risiko operasi pada penderita insufisiensi berta dengan gagal jantung, dan pada penderita penyakit arteri, bervariasi antara 4 sampai 10%. Penderita dengan katup buatan mekanis harus mendapat terapi antikoagulan jangka panjang

Prognosis DR/PJR Demam rematik tidak akan kambuh jika infeksi streptococcus diatasi. Prognosis sangat baik jika karditis sembuh pada saat permulaan serangan akut demam rematik. Selama 5 tahun pertama perjalanan penyakit demam rematik dan PJR tidak membaik bila bising organik di katup tidak menghilang (Feinstein, 1964). Prognosis memburuk jika gejala karditis lebih berat, dan ternyata DR akut dengan payah jantung akan sembuh 30% pada 5 tahun pertama, dan 40% setelah 10 tahun. Dari data, penyembuhan ini akan bertambah bila pengobatan pencegahan sekunder dilakukan secara baik.

Kekambuhan Serangan pertama DR biasanya terjadi pada daerah wabah faringitis streptococcus yaitu sebanyak 3%, sedangkan pasien yang telah mendapat serangan DR akut sebelumnya akan didapatkan 15%. Dari AHA 1988 melaporkan bahwa serangan rematik pada tiap infeksi streptococcus pada anak-anak menurun sebanyak 23% menjadi 11% selama 1-5 tahun sesudah serangan pertama DR. kekambuhan akan berkurang tergantung pada lamanya serangan terakhir. Factor yang mendasar yang menyebabkan meningkatnya serangan rematik juga tergantung pada gejala sisa dari PJR.

34

2.2 ENDOKARDITIS INFEKTIF DEFINISI Endokarditis Infektif adalah infeksi pada endokardium (selaput jantung) dan katup jantung. Endokarditis infektif dapat terjadi secara tiba-tiba dan dalam beberapa hari bisa berakibat fatal (endokarditis infektif akut); atau bisa terjadi secara bertahap dan tersamar dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan (endokarditis infektif subakut). Bakteri penyebab endokarditis bakterialis akut kadang-kadang cukup kuat untuk menginfeksi katup jantung yang normal; bakteri penyebab endokarditis bakterialis subakut hampir selalu menginfeksi katup abnormal maupun katup yang rusak. PENYEBAB Bakteri (atau jamur) yang terdapat di dalam aliran darah atau yang mencemari jantung selama pembedahan jantung, dapat tersangkut pada katup jantung dan menginfeksi endokardium. Yang paling mudah terkena infeksi adalah katup yang abnormal atau katup yang rusak tetapi katup yang normalpun dapat terinfeksi oleh bakteri yang agresif, terutama jika jumlahnya sangat banyak. Timbunan bakteri dan bekuan darah pada katup ( vegetasi) dapat terlepas dan berpindah ke organ vital, dimana mereka menyebabkan penyumbatan pada aliran darah arteri. Penyumbatan seperti ini sangat serius, karena bisa menyebabkan stroke, serangan jantung dan infeksi, juga merusak daerah tempat terbentuknya penyumbatan. Faktor resiko terjadinya endokarditis infektif: Cedera pada kulit, lapisan mulut atau gusi (karena mengunyah atau menggosok gigi), yang memungkinkan masuknya sejumlah kecil bakteri ke dalam aliran darah Gingivitis (infeksi dan peradangan pada gusi), infeksi kecil pada kulit dan infeksi

35

pada bagian tubuh lainnya, bisa bertindak sebagai jalan masuk bakteri ke dalam aliran darah. Pembedahan tertentu, prosedur gigi dan beberapa prosedur medik juga dapat mempermudah bakteri untuk masuk ke dalam aliran darah. Contohnya adalah penggunaan infus intravena untuk memasukkan cairan, makanan atau obat-obatan; sitoskopi (memasukkan selang untuk memeriksa kandung kemih) dan kolonoskopi (memasukkan selang untuk memeriksa usus besar). Katup jantung yang telah mengalami kerusakan. Pada orang yang memiliki katup jantung normal, sel darah putih pada tubuh akan menghancurkan bakteri-bakteri ini. Tetapi katup jantung yang telah mengalami kerusakan bisa menyebabkan bakteri tersangkut dan berkembangbiak disana. Katup jantung buatan. Pada katup jantung buatan, bakteri juga bisa masuk dan bakteri ini lebih kebal terhadap pemberian antibiotik. Kelainan bawaan atau kelainan yang memungkinkan terjadinya kebocoran darah dari satu bagian jantung ke bagian jantung lainnya Septikemia. Bakteremia (adanya bakteri di dalam darah) yang sifatnya ringan mungkin tidak segera menimbulkan gejala, tetapi bakteremia bisa berkembang menjadi septikemia. Septikemia adalah infeksi berat pada darah, yang sering menyebabkan demam tinggi, menggigil, gemetar dan menurunnya tekanan darah. Pemakai obat-obat suntik, karena mereka sering menggunakan jarum atau larutan yang kotor. Pada pemakai obat suntik dan penderita endokarditis karena penggunaan kateter berkepanjangan, katup yang sering terinfeksi adalah katup yang menuju ke ventrikel kanan (katup trikuspidalis). Pada sebagian besar kasus lainnya, yang terinfeksi adalah katup yang menuju ke ventrikel kiri ( katup mitralis) atau katup yang keluar dari ventrikel kiri (katup aorta). Pada pengguna katup buatan, resiko terbesar terjadinya endokarditis adalah selama 1 tahun setelah pembedahan; setelah itu resikonya berkurang, tetapi tetap lebih tinggi dari normal. Untuk alasan yang tidak diketahui, resiko selalu lebih tinggi pada katup aorta buatan dibandingkan dengan katup mitral buatan; dan resiko pada katup mekanis lebih tinggi dibandingkan dengan katup babi.

36

GEJALA Endokarditis bakterialis akut biasanya dimulai secara tiba-tiba dengan demam tinggi (38,9-40,9 Celsius), denyut jantung yang cepat, kelelahan dan kerusakan katup jantung yang cepat dan luas.Vegetasi endokardial (emboli) yang terlepas bisa berpindah dan menyebabkan infeksi tambahan di tempat lain. Penimbunan nanah (abses) dapat terjadi di dasar katup jantung yang terinfeksi atau di tempat tersangkutnya emboli yang terinfeksi. Katup jantung bisa mengalami perforasi (perlubangan) dan dalam waktu beberapa hari bisa terjadi kebocoran besar. Beberapa penderita mengalami syok; ginjal dan organ lainnya berhenti berfungsi (sindroma sepsis). Infeksi arteri dapat memperlemah dinding pembuluh darah dan meyebabkan robeknya pembuluh darah. Robekan ini dapat berakibat fatal, terutama bila terjadi di otak atau dekatdenganjantung. Endokarditis bakterialis subakut bisa menimbulkan gejala beberapa bulan sebelum katup jantung rusak atau sebelum terbentuknya emboli. Gejalanya berupa kelelahan, demam ringan (37,2-39,2 Celsius), penurunan berat badan, berkeringat dan anemia. Diduga suatu endokarditis jika seseorang mengalami demam tanpa sumber infeksi yang jelas, jika juga ditemukan di murmur jantung yang baru atau atau jika murmur kuku yang jari lama telah mengalamiperubahan. Limpa bisa membesar. Pada kulit timbul binti-bintik yang sangat kecil, bagian putih mata dibawah tangan. Bintik-bintik ini merupakan perdarahan yang sangat kecil yang disebabkan oleh emboli kecil yang lepas dari katup jantung. Emboli yang lebih besar dapat menyebabkan nyeri perut, penyumbatan mendadak pada arteri lengan atau tungkai, serangan jantung atau stroke. Gejala lainnya dari endokarditis bakterialis akut dan subakut adalah: menggigil

37

nyeri sendi kulit pucat denyut jantung yang cepat kebingungan adanya darah dalam air kemih.

Endokarditis pada katup jantung buatan dapat bersifat akut maupun subakut. Dibandingkan dengan infeksi pada katup yang asli, infeksi pada katup buatan lebih mudah menyebar ke otot jantung di dasar katup dan melonggarkan katup. Perlu segera dilakukan pembedahan untuk mengganti katup karena gagal jantung yang disebabkan oleh kebocoran katup yang berat bisa berakibat fatal. Atau bisa terjadi gangguan pada sistem konduksi listrik jantung yang mengakibatkan melambatnya denyut jantung dan menyebabkan penurunan kesadaran secara mendadak atau bahkan kematian. DIAGNOSA Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya, terutama pada orang-orang yang memiliki kecenderungan untuk menderita penyakit ini. Pada ekokardiografi (penggambaran jantung menggunakan gelombang suara) bisa ditemukan adanya vegetasi dan kerusakan katup jantung. Pembiakan darah dilakukan untuk menentukan bakteri penyebabnya.

Pemeriksaan darah dilakukan 3-4 kali pada waktu yang berbeda, karena bakteri hanya terdapat di dalam darah pada waktu-waktu tertentu. PENGOBATAN Penderita dirawat di rumah sakit dan mendapatkan antibiotik intravena dosis tinggi selama minimal 2 minggu.

38

Pemberian antibiotik saja tidak cukup pada infeksi katup buatan. Mungkin perlu dilakukan pembedahan jantung untuk memperbaiki atau mengganti katup yang rusak dan membuang vegetasi. Sebagai tindakan pencegahan, kepada penderita kelainan katup jantung, setiap akan menjalani tindakan gigi maupun pembedahan sebaiknya diberikan antibiotik.

39

DAFTAR PUSTAKA 1. Robbins. Buku Ajar Patologi. Ed.7. Jakarta : EGC. 2007. 2. Tim FKUI. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Ed.4. Jakarta: Dept. IPD FKUI, 2007 3. Gerber MA, Baltimore RS, Eaton CB. Prevention of Rheumatic Fever and Diagnosis and Treatment of Acute Streptococcal Pharyngitis . Journal of the American Heart Association. 2009; 11(2): 1540 51. 4. WHO Technical Report of Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease; Geneva, 2004 5. Kaplan,Edward L. Rheumatic Fever in Harison`s principle of internal medicine.16 th ed. Saunders : 2005.p1977-9

40

Anda mungkin juga menyukai