Abstrak
Makalah ini secara khusus akan memperbincangkan sosok kiai desa, KH. Noer Alie,
yang pada tahun 2006 lalu dianugrahkan sebagai pahlawan nasional. Sebagai sosok kiai
yang terkemuka, beliau mengerti betul akan makna pentingnya pendidikan, tidak hanya
bagi laki-laki, namun juga perempuan. Sejak tahun 1965, beliau telah mendirikan sebuah
lembaga pendidikan khusus perempuan, bernama Pondok Pesantren Attaqwa Putri.
Kebijakan beliau untuk membuat sebuah lembaga pendidikan bagi perempuan adalah
sebuah terobosan tersendiri, terutama jika melihat konteks masa itu. Model
kepemimpinan beliau, disadari atau tidak, mengusung semangat dan perspektif gender.
Beliau menyadari sepenuhnya fungsi pendidikan dan pengaruh pendidikan bagi setiap
orang, terutama perempuan. Menjelang setengah abad usia pendirian pesantren tersebut,
banyak hal telah terjadi, tidak hanya di lingkungan pesantren, namun juga bagi
masyarakat luas. Keberadaan dan pengaruh pesantren tersebut, tentunya tidak terlepas
dari keberadaan sosok KH. Noer Alie, telah membawa sebuah konstelasi baru dalam
dunia sosial budaya di wilayah Bekasi, sebuah perubahan besar yang dimulai dari suatu
langkah sederhana: pendidikan bagi perempuan, dan membawa implikasi yang sangat
luas: perubahan sosial di masyarakat.
KH. Noer Alie, dilahirkan di Ujungharapan pada 15 Juni 1913 dari lingkungan
keluarga desa, dari keluarga Anwar bin Layu dan Maimunah binti Tarbin. Memiliki istri
Rahmah binti K.H. Mughni (guru dari KH. Noer Alie), dan memiliki sepuluh orang anak
yang hampir semuanya merupakan elite agama penting di wilayah Bekasi dan
sekitarnya. Desa Ujungharapan sendiri terletak di wilayah Kecamatan Babelan,
1
Makalah ini disampaikan dalam Seminar Nasional Kepemimpinan yang Berperspektif
Gender, Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 18 Juni 2009.
2
Koordinator Kajian Sejarah dan Sosial, Social and Cultural Research Center Nuruttaqwa
Foundation, Bekasi. Anda dapat menghubungi saya di umam_noer@yahoo.com.
1
Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Pada awal abad ke-20, perkampungan ini masuk dalam
wilayah Order District Babelan, Distrik Bekasi, Regentschap (Kabupaten) Meester
Cornelis, Residensi Batavia (Anwar, 2006:1). Desa ini terletak dipesisir utara pulau Jawa
bagian barat, membujur antara 1060 48' 79 LU dan 070 77'29 BT dengan cuaca yang
cenderung panas dan kering (Huda 2001).
Di desa ini KH. Noer Alie mendirikan sebuah yayasan yang menaungi hampir
semua lembaga pendidikan di wilayah Kecamatan Babelan dan wilayah-wilayah lain.
Pada awalnya, KH. Noer Alie hanya membuat sebuah pesantren kecil, tidak jauh dari
rumahnya. Pesantren kecil tersebut didirikan setelah kepulangannya dari menuntut ilmu
di Mekkah pada 1940. Pesantren kecil tersebut lebih banyak memfokuskan pada
pengajaran cara membaca al Quran yang baik dan benar bagi para penduduk sekitar.
Pada tahun 1950, KH. Noer Alie mendirikan Madrasah Ibtidaiyah dan disusul dengan
pendirian Pesantren Islam Bahagia yang setingkat dengan Madrasah Tsanawiyah. Pada
tahun 1956, didirikan sebuah yayasan yang bertujuan untuk menaungi seluruh kegiatan
belajar mengajar yang sedang berlangsung bernama Yayasan Pembangunan,
Pemeliharaan dan Pertolongan Islam (YP3I) yang terdaftar dalam Akte Notaris Eliza
Pondang SH. Pada tahun 1962, didirikan Madrasah Menengah Attaqwa (MMA) yang
merupakan perubahan sistem dari Pesantren Islam Bahagia, dengan lama pendidikan
selama 6 tahun; dan pada tahun 1964 didirikan pesantren putri Albaqiyyatussalihat yang
menjadi cikal-bakal Pondok Pesantren Attaqwa Putri (Anwar 2006, Yayasan Attaqwa,
1994.:4-5).
2
Noer Alie telah memiliki lebih dari 150 cabang sekolah dengan lebih dari 30.000 murid
dan tenaga pengajar yang tersebar di wilayah Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, dan
Kabupaten Karawang (Anwar 2006, Yayasan Attaqwa 1994:5-9).
Salah satu peninggalan KH. Noer Alie yang paling besar adalah sebuah lembaga
pendidikan yang ditujukan secara khusus bagi perempuan dan masih terus bertahan,
bahkan terus berkembang hingga saat ini, sebuah lembaga pendidikan bernama Pondok
Pesantren Attaqwa Putri. Pondok Pesantren Attaqwa Putri, semula bernama Pesantren
Albaqiyatussalihat, didirikan pada tahun 1964 dan diresmikan satu tahun sesudahnya,
yakni pada tahun 1965. Pada awalnya, Pesantren al Baqiyatussalihat berada di bawah
naungan Yayasan Pembangunan, Pemeliharaan, dan Pertolongan Islam (YP3I). Pada 17
Desember 1986, Yayasan Pembangunan, Pemeliharaan, dan Pertolongan Islam berganti
nama menjadi Yayasan Attaqwa, maka Pesantren al Baqiyatussalihat pun berganti nama
menjadi Pondok Pesantren Attaqwa Putri (Pondok Pesantren Attaqwa Putri, t.t:2).
Pondok Pesantren Attaqwa Putri merupakan sekolah swasta dengan akta notaris
Soedirja, S.H di Bekasi No.16/17 Desember 1986. Pondok ini terdiri dari Madrasah
Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah, pada tahun 1986, didirikanlah jenjang yang lebih
tinggi, yakni Pesantren Tinggi Attaqwa Putri (Huda, 2001:5). Pondok ini memiliki
struktur organisasi yang lengkap dan terpisah dari Pondok Pesantren Attaqwa Putra.
Dipimpin oleh seorang Pimpinan Pondok sebagai pemimpin utama, dan diperbantukan
oleh Kepala Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Kepala Madrasah Aliyah (MA). Baik
Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah memiliki struktur yang berbeda, namun
kedua struktur tersebut bertanggungjawab langsung pada pimpinan pondok.
Sejak awal pendirian, pondok ini telah mengalami lima kali pergantian pimpinan
pondok sejak didirikan pada tahun 1964, K.H. Ahmad Tadjuddin (1964-1969), Drs. H.
Mas'ud Abdullah (1969-1977), H.A. Madrais Hajar, Lc (1977-1980), K.H. M. Amin
Noer, Lc (1980-1986), dan Hj. Atiqoh Noer Alie, MA (1986-sekarang). Seluruh staff
3
personalia pondok ini merupakan perempuan, demikian pula tenaga pengajarnya.
Hampir 85% tenaga pengajar pondok ini perempuan dan kebanyakan dari mereka adalah
alumni yang mengajar setelah menyelesaikan studi di berbagai universitas, baik di dalam
maupun di luar negeri (Huda, 2001:25-26)
Lembaga pendidikan ini memiliki visi dan misi, sebagaimana telah ditetapkan
oleh KH. Noer Alie, adalah menciptakan santri yang berilmu amaliah beramal ilmiah
dengan landasan al Quran dan sunnah Rasul SAW yang diformulasikan dalam kalimat
singkat: ikhlas, berzikir, berpikir, dan beramal. Pondok ini memiliki misi membentuk
insan sholehah yang mampu menegakkan ajaran Islam dalam aspek kehidupannya, insan
yang berzikir dan berfikir, yang mampu menerima dan memberi nasehat, tidak otoriter
dan tidak pula rendah diri (Ponpes Attaqwa Putri, t.t.:2-3). Dalam bentuk konkretnya,
tujuan pendidikan di pondok ini adalah membentuk muslimah yang: (1) cerdas, yakni
santri yang mempunyai kecerdasan untuk memahami dan menerima Islam secara kaffah
dan mempunyai kesanggupan untuk menggali ilmu dengan ikhlas, (2) benar, yakni santri
yang mempunyai aqidah yang benar, melakukan ibadah yang baik dan memiliki akhlak
yang karimah (terpuji), (3) terampil, yakni santri yang mempunyai kemampuan untuk
membaktikan ilmunya ditengah masyarakat dan mempunyai kesanggupan untuk
berusaha, dan (4) disiplin, yakni santri yang mempunyai kedisiplinan yang tinggi untuk
mengatur waktu dan kehidupannya.
4
bernaung di bawah Yayasan Attaqwa, dan (3) Mencetak pemimpin-pemimpin Islam yang
mempunyai visi dan misi yang istiqamah sebagai iqamatuddin (Huda, 2001:8-9).
Kebijakan yang diambil oleh KH. Noer Alie untuk membuat sebuah lembaga
pendidikan yang dikhususkan bagi perempuan merupakan terobosan penting di
masyarakat pada masanya. Secara historis, pada awal abad 20 memang telah banyak
muncul gerakan perempuan yang memfokuskan pada pengadaan pendidikan bagi
perempuan (lihat Vreede-de Stuers 2008), namun secara pribadi saya meragukan
keputusan yang diambil oleh KH. Noer Alie memiliki kaitan erat dengan gerakan-
gerakan tersebut. Keputusan untuk mendirikan sekolah yang menyelenggarakan bagi
perempuan pada masa awal pengembangan pendidikan nampaknya terdorong karena dua
hal: pertama, boleh jadi hal ini merupakan pengaruh dari gerakan kebangkitan
nasionalisme yang salah satu ide dasar yang muncul adalah pendidikan, termasuk
pendidikan bagi perempuan (lihat Martyn 2005), dan boleh jadi sentimen nasionalisme
ini juga bergerak tidak hanya di Indonesia, namun juga di negara lain di mana pelajar
Indonesia berada, termasuk di Mekkah. Hal ini tentu saja mungkin terjadi mengingat
adanya hubungan genealogis keilmuan antara para ulama Haramayn dengan ulama-
ulama di Nusantara (Azra 2004), meskipun secara spesifik tentu saja membutuhkan
penelitian tersendiri. Kedua, hal ini boleh jadi didorong oleh semangat agama Islam
yang menyatakan secara jelas bahwa Allah SWT memperlakukan sama antara laki-laki
dan perempuan dalam kewajiban untuk menuntut ilmu.
Berdasarkan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan oleh pendiri pondok ini, nampak
jelas bahwa tujuan utama pendirian pondok ini adalah menyediakan akses pendidikan
bagi setiap perempuan. Hal ini tentu saja tidak selalu berjalan mulus, sebab pada masa
itu, pendidikan bagi perempuan bukan lah sesuatu yang dianggap penting. Pendidikan
utamanya hanya diberikan bagi laki-laki, sedangkan perempuan mendapatkan
pendidikan hanya dari orang tua mereka, dan juga dari kebaikan hati saudara laki-laki
mereka untuk memberikan pengetahuan yang mereka dapatkan kepada saudara
5
perempuan mereka (Anwar 2006). Penyediaan pendidikan bagi perempuan dengan
demikian tidak lah dianggap penting dan mendesak, sebab perempuan lebih ditempatkan
sebagai subordinat bagi laki-laki di rumah tangga tanpa pernah mendapatkan kesempatan
dan akses yang sama dengan yang dimiliki oleh laki-laki.
Salah satu kesulitan terbesar pada awal pendirian sekolah ini adalah resistansi,
dan dalam beberapa hal berupa penolakan dari masyarakat. Hal ini dapat dilihat dengan
masih kuat dan mengakarnya budaya untuk mengawinkan seorang perempuan segera
setelah ia mendapatkan menarche. Adanya tekanan budaya yang kuat terhadap keluarga
yang mengirimkan anaknya untuk belajar di sekolah yang didirikan oleh KH. Noer Alie
menyebabkan mereka menarik kembali anak perempuan mereka karena khawatir disebut
sebagai ‘perawan tua yang tidak laku’ (Ponpes Attaqwa Putri, t.t.:8). Kondisi ini memicu
KH. Noer Alie untuk mengambil sebuah kebijakan besar: setiap anak yang dikirim untuk
belajar tidak boleh diambil kembali kecuali setelah menyelesaikan pendidikan mereka
selama empat tahun dan dinyatakan lulus (Huda, 2001:7).
Dampak yang paling luas justru terletak pada poin pertama, yakni upaya
pendidikan sebagai sarana pencegahan pernikahan dini bagi anak perempuan. hal ini
dapat dilihat dengan meningkatnya jumlah santri perempuan yang belajar di pondok ini
tahun demi tahun. Angkatan pertama yang lulus dari sekolah ini berjumlah tujuh orang,
dan terus meningkat pada angkatan-angkatan selanjutnya. Sejak awal pendirian,
6
terutama sejak angkatan pertama lulus pada tahun 1971, hingga saat ini, pondok ini telah
mencetak lebih dari 3000 orang lulusan, itu pun hanya mereka yang tercatat menamatkan
pendidikan di Madrasah Aliyah. Jumlah ini akan semakin bertambah jika mereka yang
hanya menamatkan di Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah juga dihitung,
bahkan akan jauh lebih besar jika mereka yang tidak menamatkan sekolah juga turut
dihitung.
Persoalan pokok bukan lah pada angka yang terus bertambah, namun lebih pada
tradisi yang perlahan berubah. Jika pada tahun 1971 hanya tujuh orang yang lulus, maka
pada tahun 1981 jumlah tersebut bertambah menjadi 32 orang atau hampir lima kali
lipat, pada tahun 1991 jumlah tersebut bertambah menjadi 102 orang atau bertambah
lebih dari lima belas kali lipat hanya dalam kurun waktu 20 tahun. Hal ini boleh jadi
menandakan sebuah perubahan penting di masyarakat, bahwa pendidikan bagi
perempuan perlahan dilihat sebagai suatu kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Kondisi ini dapat dilihat dengan semakin bertambahnya jumlah santri perempuan yang
belajar, bahkan di awal-awal pengembangan pendidikan.
7
Berkembangnya berbagai lembaga pendidikan yang formal bagi perempuan juga
diimbangi oleh berkembangnya lembaga pendidikan non formal, atau dalam hal ini
adalah majelis taklim bagi perempuan. Di wilayah Ujungharapan sendiri, hingga saat ini
tercatat tidak kurang dari 26 majelis taklim perempuan yang tersebar di berbagai
wilayah. Jumlah ini tentu saja akan semakin banyak bertambah jika majelis taklim
perempuan lain di wilayah-wilayah lain juga dihitung. Keberadaan majelis taklim
bahkan memiliki induk organisasi tersendiri, yang juga memiliki kaitan historis dengan
Pondok Pesantren Attaqwa Putri: Rusydatul Ummah. Sebagai organisasi induk,
Rusydatul Ummah menaungi hampir seluruh majelis taklim di wilayah Bekasi, dan
memiliki cabang di wilayah Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, dan wilayah Jakarta Barat
dan Jakarta Timur.
Majelis taklim perempuan tentu saja terkait dengan berbagai bidang, tidak hanya
dalam bidang pengajaran agama Islam, namun juga dalam bidang politik. Meskipun
demikian, terdapat satu kaitan paling penting yang muncul dalam majelis taklim: adanya
ustazah atau tenaga pengajar perempuan. Tenaga pengajar perempuan, baik mereka yang
bekecimpung di lembaga formal seperti Pondok Pesantren Attaqwa Putri dan sekolah-
sekolah lain, maupun lembaga non formal seperti majelis taklim, tentu saja adalah hasil
nyata dari adanya pendidikan bagi perempuan. Dalam konteks yang lebih luas,
keberadaan para ‘perempuan yang berpendidikan’ ini memberikan warna tersendiri di
masyarakat, terutama dalam konteks proses belajar mengajar di majelis taklim, di mana
kemampuan keilmuan mereka menjadikan mereka sebagai sosok ustazah, guru agama
perempuan, yang diperhitungkan. Posisi ini menjadikan mereka sejajar dengan para
tenaga pengajar laki-laki, bahkan bagi para ustazah senior, posisi mereka sejajar dengan
para kiai yang ada. Kondisi ini membawa pada konsekuensi yang lebih besar: bahwa
pendidikan memberikan kepada mereka akses terhadap pengajaran ilmu-ilmua agama di
masyarakat.
8
Kebijakan pendidikan yang diambil oleh KH. Noer Alie membawa implikasi
yang sangat luas: perubahan sosial di masyarakat. Hal ini barangkali sesuai dengan cita-
cita besar KH. Noer Alie, yaitu terciptanya masyarakat yang Islami dan berkeadilan
gender. Cita-cita tersebut tentu saja hanya dapat terlaksana melalui terbukanya akses
pendidikan bagi setiap orang tanpa memandang status dan jenis kelamin, dan terbukti
bahwa kebijakan tersebut membawa pengaruh yang luar biasa di masyarakat. Sejak
awal, KH. Noer Alie telah membayangkan sebuah masyarakat yang terbuka dan
berkeadilan, sebuah masyarakat yang terbentuk sesuai dengan cita-cita agama Islam.
Dalam konteks ini, kebijakan yang diambil oleh KH. Noer Alie secara tegas mengambil
perspektif gender dalam pengambilan keputusan.
9
masyarakat. Saat ini misalnya, di mana pendidikan bagi perempuan tersedia di setiap
tingkat, membuka kesempatan bagi setiap perempuan untuk memperoleh akses terhadap
pendidikan. Pendidikan bagi perempuan juga menciptakan sebuah konstelasi baru dalam
dunia sosial, yakni munculnya perempuan-perempuan berpendidikan yang memiliki
pengaruh luas di masyarakat. Pendidikan bagi perempuan juga membawa hal lain, tidak
hanya kelompok elite perempuan, namun juga perempuan-perempuan berpendidikan
yang mampu mengambil setiap kesempatan yang ada dan tersedia bagi mereka.
Pendidikan menyediakan banyak hal, dalam konteks ini, pendidikan membawa angin
perubahan berhembus kencang ke segala arah, dan angin tersebut dimulai dari sebuah
tiupan kecil di wilayah pedesaan terpencil, sebuah keputusan untuk menyediakan
pendidikan bagi perempuan.
Kepustakaan:
Anwar, Ali. 2006. Ulama Pejuang, Biografi KH. Noer Alie. Bekasi: Yayasan Attaqwa
Azra, Azyumardi. 2004. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
ke-XVII & XVIII, Akar Pembaruan Islam Indonesia. Edisi revisi. Jakarta:
Kencana
Huda, Ade Nailul. 2001. Telaah Historis Pondok Pesantren Attaqwa Putri. Karya tulis
tidak dipublikasikan. Bekasi: Pondok Pesantren Attaqwa Putri
Martyn, Elizabeth. 2005. The Women’s Movement in Post-colonial Indonesia, Gender
and Nation in a New Democracy. London: RoutledgeCurzon
Pondok Pesantren Attaqwa Putri. t.t. Sejarah Singkat Pondok Pesantren Attaqwa Putri.
Bekasi: Pondok Pesantren Attaqwa Putri
Vrede-de Stuers, Cora. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian.
Jakarta: Komunitas Bambu
Yayasan Attaqwa. 1994. Sejarah Ringkas Yayasan Attaqwa. Bekasi: Sekretariat Yayasan
Attaqwa
10