Anda di halaman 1dari 8

A.

PENGERTIAN

Tetanus berasal dari kata tetanos (Yunani) yang berarti peregangan.


Tetanus Neonatorum : Penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda
klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi hidup, menangis dan menyusu secara
normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh yang ditandai
dengan kesulitan membuka mulut dan menetek, disusul dengan kejang–kejang
(WHO, 1989).
Kejang yang sering di jumpai pada BBL, yang bukan karena trauma kelahiran
atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal, yang antara lain
terjadi sebagai akibat pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak bersih
Ngastijah, 1997).

B. ETIOLOGI

Penyebab tetanus neonatorum adalah clostridium tetani yang merupakan


kuman gram positif, anaerob, bentuk batang dan ramping. Kuman tersebut terdapat
ditanah, saluran pencernaan manusia dan hewan. Kuman clostridium tetani membuat
spora yang tahan lama dan menghasilkan 2 toksin utama yaitu tetanospasmin dan
tetanolysin.

C. PATOFISIOLOGI
Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi
bentuk vegetatif dan berbiak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang
anaerobic ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya
tekanan oxigen jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium yang
dapat diionisasi. Secara intra axonal toxin disalurkan ke sel saraf (cel body) yang
memakan waktu sesuai dengan panjang axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum
terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel saraf walaupun toksin telah terkumpul
dalam sel. Dalam sungsum belakang toksin menjalar dari sel saraf lower motorneuron
ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin. Pada
daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter dan
menimbulkan kekakuan.
Efek Toxin pada :
1. Ganglion pra sumsum tulang belakang :
Memblok sinaps jalur antagonist, mengubah keseimbangan dan koordinasi
impuls sehingga tonus ototnya meningkat dan otot menjadi kaku. Terjadi
penekanan pada hiperpolarisasi membran dari neurons yang merupakan
mekanisme yang umum terjadi bila jalur penghambat terangsang. Depolarisasi
yang berkaitan dengan jalur rangsangan tidak terganggu. Toksin menyebabkan
hambatan pengeluaran inhibitory transmitter dan menekan pengaruh bahan ini
pada membran neuron motorik.
2. Otak :
Toxin yang menempel pada cerebral gangliosides diduga menyebabkan gejala
kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus. Hambatan antidromik akibat
rangsangan kortikal menurun.
3. Saraf otonom :
Terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat yang
berlebihan, hiperthermia, hypotensi, hypertensi, arytmia cardiac block atau
takhikardia. Sekalipun otot yang terkena adalah otot bergaris terutama otot
penampang dan penggerak tubuh yang besar-besar, pada tetanus berat otot
polos juga ikut terkena, sehingga timbul manifestasi klinik seperti disebutkan
diatas.

C. MANIFESTASI

Gejala klinik pada tetanus neonatorum sangat khas sehingga masyarakat yang
primitifpun mampu mengenalinya sebagai “penyakit hari kedelapan” (Jaffari, Pandit
dan Ismail 1966). Anak yang semula menangis, menetek dan hidup normal, mulai hari
ketiga menunjukan gejala klinik yang bervariasi mulai dari kekakuan mulut dan
kesulitan menetek, risus sardonicus sampai opistotonus. Trismus pada tetanus
neonatorum tidak sejelas pada penderita anak atau dewasa, karena kekakuan otot leher
lebih kuat dari otot masseter, sehingga rahang bawah tertarik dan mulut justru agak
membuka dan kaku (Athvale, dan Pai, 1965, Marshall, 1968). Bentukan mulut
menjadi mecucu (Jw) seperti mulut ikan karper. Bayi yang semula kembali lemas
setelah kejang dengan cepat menjadi lebih kaku dan frekuensi kejang-kejang menjadi
makin sering dengan tanda-tanda klinik kegagalan nafas (Irwantono, Ismudijanto dan
MF Kaspan 1987). Kekakuan pada tetanus sangat khusus : fleksi pada tangan,
ekstensi pada tungkai namun fleksi plantar pada jari kaki tidak tampak sejelas pada
penderita anak.
Kekakuan dimulai pada otot-otot setempat atau trismus kemudian menjalar ke
seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Seluruh tubuh bayi menjadi kaku,
bengkok (flexi) pada siku dengan tangan dikepal keras keras. Hipertoni menjadi
semakin tinggi, sehingga bayi dapat diangkat bagaikan sepotong kayu. Leher yang
kaku seringkali menyebabkan kepala dalam posisi menengadah.

D. Gambaran Umum pada Tetanus

1. Trismus (lock-jaw, clench teeth)


Adalah mengatupnya rahang dan terkuncinya dua baris gigi akibat kekakuan
otot mengunyah (masseter) sehingga penderita sukar membuka mulut. Untuk
menilai kemajuan dan kesembuhan secara klinik, lebar bukaan mulut diukur
tiap hari. Trismus pada neonati tidak sejelas pada anak, karena kekakuan pada
leher lebih kuat dan akan menarik mulut kebawah, sehingga mulut agak
menganga. Keadaan ini menyebabkan mulut “mecucu” seperti mulut ikan
tetapi terdapat kekakuan mulut sehingga bayi tak dapat menetek.
2. Risus Sardonicus (Sardonic grin)
Terjadi akibat kekakuan otot-otot mimic dahi mengkerut mata agak tertutup
sudut mulut keluar dan kebawah manggambarkan wajah penuh ejekan sambil
menahan kesakitan atau emosi yang dalam.
3. Opisthotonus
Kekakuan otot-otot yang menunjang tubuh : otot punggung, otot leher, trunk
muscle dan sebagainya. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh
melengkung seperti busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Secara
klinik dapat dikenali dengan mudahnya tangan pemeriksa masuk pada
lengkungan busur tersebut.
Pada era sebelum diazepam, sering terjadi komplikasi compression fracture
pada tulang vertebra.
4. Otot dinding perut kaku, sehingga dinding perut seperti papan. Selain otot di
dinding perut, otot penyangga rongga dada juga kaku, sehingga penderita merasakan
keterbatasan untuk bernafas atau batuk. Setelah hari kelima perlu diwaspadai
timbulnya perdarahan paru (pada neonatus) atau bronchopneumonia.
5. Bila kekakuan makin berat, akan timbul kejang-kejang umum, mula-mula hanya
terjadi setelah penderita menerima rangsangan misalnya dicubit, digerakkan secara
kasar, terpapar sinar yang kuat dan sebagainya, lambat laun “masa istirahat” kejang
makin pendek sehingga anak jatuh dalam status convulsivus.
6. Pada tetanus yang berat akan terjadi :
Gangguan pernafasan akibat kejang yang terus-menerus atau oleh karena spasme
otot larynx yang bila berat menimbulkan anoxia dan kematian.
Pengaruh toksin pada saraf otonom akan menyebabkan gangguan sirkulasi (akibat
gangguan irama jantung misalnya block, bradycardi, tachycardia, atau kelainan
pembuluh darah/hipertensi), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi
(hiperpireksia) atau berkeringat banyak hiperhidrosis).
Kekakuan otot sphincter dan otot polos lain seringkali menimbulkan retentio alvi
atau retention urinae.
Patah tulang panjang (tulang paha) dan fraktur kompresi tulang belakang.

E. DIAGNOSIS, DIAGNOSA BANDING DAN KOMPLIKASI

1. Diagnosa
Pemeriksaan laboratorium : Liquor Cerebri normal, hitung leukosit normal atau
sedikit meningkat. Pemeriksaan kadar elektrolit darah terutama kalsium dan
magnesium, analisa gas darah dan gula darah sewaktu penting untuk dilakukan.
Pemeriksaan radiologi : Foto rontgen thorax setelah hari ke-5.
2. Diagnosa Banding
Meningitis
Meningoenchepalitis
Enchepalitis
Tetani karena hipocalsemia atau hipomagnesemia
Trismus karena process lokal
3. Komplikasi
Bronkhopneumonia
Asfiksia
Sepsis Neonatorum

F. FAKTOR RESIKO DAN PENCEGAHAN

1. Faktor resiko
Tetanus neonatorum terjadi pada masa perinatal, antara umur 0 sampai 28 hari,
terutama pada saat luka puntung tali pusat belum kering, sehingga spora C. tetani
dapat mencemari dan berbiak menjadi kuman vegetatif.
Menurut Foster, (1983) serta Sub Dinas PPM Propinsi Jawa Timur, (1989)
terdapat 5 faktor resiko pokok tetanus neonatorum yaitu : (a) faktor resiko
pencemaran lingkungan fisik dan biologik, (b) faktor cara pemotongan tali pusat, (c)
faktor cara perawatan tali pusat, (d) faktor kebersihan pelayanan persalinan dan (e)
faktor kekebalan ibu hamil.
* Faktor Risiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik
Merupakan faktor yang menentukan kepadatan kuman dan tingginya tingkat
pencemaran spora di lingkungannya. Risiko akan hilang bila lahan pertanian dan
peternakan diubah penggunaannya.
* Faktor Cara Pemotongan Tali Pusat
Penggunaan sembilu, pisau cukur atau silet untuk memotong tali pusat
tergantung pada pengertian masyarakat akan sterilitas. Setelah dipotong, tali pusat
dapat disimpul erat-erat atau diikat dengan benang. Penolong persalinan biasanya
lebih memusatkan perhatian pada ”kelahiran” plasenta dan perdarahan ibu.
* Faktor Cara Perawatan Tali Pusat
Tata cara perawatan perinatal sangat berkaitan erat dengan hasil interaksi
antara tingkat pengetahuan, budaya, ekonomi masyarakat dan adanya pelayanan
kesehatan di lingkungan sekitarnya. Masyarakat di banyak daerah masih
menggunakan daun-daun, ramuan, serbuk abu dan kopi untuk pengobatan luika
puntung tali pusat. Kebiasaan ini tidak dapat dihilangkan hanya dengan pendidikan
dukun bayi saja.
* Faktor Kebersihan Pelayanan Persalinan
Merupakan interaksi antara kondisi setempat dengan tersedianya pelayanan
kesehatan yang baik di daerah tersebut yang menentukan subyek penolong persalinan
dan kebersihan persalinan. Untuk daerah terpencil yang belum terjangkau oleh
pelayanan persalinan yang higienis maupun daerah perkotaan yang biaya
persalinannya tak terjangkau oleh masarakat, peranan dukun bayi (terlatih atau tidak)
maupun penolong lain sangatlah besar. Pelatihan dukun bayi dapat menurunkan
kematian perinatal namun tidak berpengaruh pada kejadian tetanus neonatorum.
Masih banyak ibu yang tidak memeriksakan kehamilannya (25 sampai 60%)
dan lebih banyak lagi yang persalinannya tidak ditolong oleh tenaga medis (70%)
sehingga resiko tetanus neonatorum bagi bayi lahir di Indonesia besar.
* Faktor Kekebalan Ibu Hamil
Merupakan faktor yang sangat penting. Antibodi antitetanus dalam darah ibu
hamil yang dapat disalurkan pada bayinya dapat mencegah manifestasi klinik infeksi
dengan kuman C. tetani (Suri, dkk,1964). Suntikan tetanus toksoid 1 kalipun dapat
mengurangi kematian tetanus neonatorum dari 70-78 per 1000 kelahiran hidup
menjadi 40 per 1000 kelahiran hidup (Newell, 1966, Black, 1980, Rahman, 1982).

2. Pencegahan
Tindakan pencegahan bahkan eliminasi terutama bersandar pada tindakan
menurunkan atau menghilangkan factor-faktor resiko. Meskipun banyak faktor resiko
yang telah dikenali dan diketahui cara kerjanya, namun tidak semua dapat
dihilangkan, misalnya lingkungan fisik dan biologik. Menekan kejadian tetanus
neonatorum dengan mengubah lingkungan fisik dan biologik tidaklah mudah karena
manusia memerlukan daerah pertanian dan peternakan untuk produksi pangan
mereka.
Pendekatan pengendalian lingkungan dapat dilakukan dengan mengupayakan
kebersihan lingkungan yang maksimal agar tidak terjadi pencemaran spora pada
proses persalinan, pemotongan dan perawatan tali pusat. Mengingat sebagian besar
persalinan masih ditolong oleh dukun, maka praktek 3 bersih, yaitu bersih tangan, alat
pemotong tali pusat dan alas tempat tidur ibu (Dep. Kesehatan, 1992), serta perawatan
tali pusat yang benar sangat penting dalam kurikulum pendidikan dukun bayi.
Bilamana attack rate tak dapat diturunkan dan penurunan faktor risiko persalinan serta
perawatan tali pusat memerlukan waktu yang lama, maka imunisasi ibu hamil
merupakan salah satu jalan pintas yang memungkinkan untuk ditempuh.
Pemberian tokoid tetanus kepada ibu hamil 3 kali berturut-turut pada trimester
ketiga dikatakan sangat bermanfaat untuk mencegah tetanus neonatorum. Pemotongan
tali pusat harus menggunakan alat yang steril dan perawatan tali pusat selanjutnya.
G. TATA LAKSANA

* Medik
Empat pokok dasar tata laksana medik : debridement, pemberian antibiotik,
menghentikan kejang, serta imunisasi pasif dan aktif, yang dapat dijabarkan sebagai
berikut :
1. Diberikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan NaCl fisiologis
dalam perbandingan 4 : 1 selama 48-72 jam selanjutnya IVFD hanya untuk
memasukan obat. Jika pasien telah dirawat lebih dari 24 jam atau pasien sering kejang
atau apnea, diberikan larutan glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1,5% dalam
perbandingan 4 : 1 (jika fasilitas ada lebih baik periksa analisa gas darah dahulu). Bila
setelah 72 jam bayi belum mungkin diberi minum peroral/sonde, melalui infus
diberikan tambahan protein dan kalium.
2. Diazepam dosis awal 2,5 mg intravena perlahan-lahan selama 2-3 menit,
kemudian diberikan dosis rumat 8-10 mg/kgBB/hari melalui IVFD (diazepam
dimasukan ke dalam cairan infus dan diganti setiap 6 jam). Bila kejang masih sering
timbul, boleh ditambah diazepam lagi 2,5 mg secara intravena perlahan-lahan dan
dalam 24 jam berikutnya boleh diberikan tembahan diazepam 5 mg/kgBB/hari
sehingga dosis diazepam keseluruhannya menjadi 15 mg/kgBB/hari. Setelah keadaan
klinis membaik, diazepam diberikan peroral dan diurunkan secara bertahap. Pada
pasien dengan hiperbilirubinemia berat atau bila makin berat, diazepam diberikan per
oral dan setelah bilirubin turun boleh diberikan secara intravena.
3. ATS 10.000 U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan IM.
Perinfus diberikan 20.000 U sekaligus.
4. Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis, intravena selama 10 hari.
Bila pasien menjadi sepsis pengobatan seperti pasien lainnya. Bila pungsi lumbal
tidak dapat dilakukan pengobatan seperti yang diberikan pada pasien meningitis
bakterialis.
5. Tali pusat dibersihkan/kompres dengan alcohol 70%/Betadine 10%.
6. Perhatikan jalan napas, diuresis, dan tanda vital. Lendir sering dihisap.

* Keperawatan
Perawatan intensif terutama ditujukan untuk mencukupi kebutuhan cairan dan
nutrisi, menjaga saluran nafas tetap bebas, mempertahankan oksignasi yang adekuat,
dan mencegah hipotermi. Perawatan puntung tali pusat sangat penting untuk
membuang jaringan yang telah tercemar spora dan mengubah keadaan anaerob
jaringan yang rusak, agar oksigenasi bertambah dan pertumbuhan bentuk vegetatif
maupun spora dapat dihambat. setelah puntung tali pusat dibersihkan dengan
perhydrol, dibutuhkan povidon 10% dan dirawat secara terbuka. Perawatan puntung
tali pusat dilakukan minimal 3 kali sehari.

Anda mungkin juga menyukai