Anda di halaman 1dari 4

Dua Puluh Tiga PEGANGAN pintu dari besi itu terasa dingin dalam cengkeraman Tara.

Butuh keberanian besar untuk masuk ke kamar rawat Tatsuya. Ia harus menguasai dirinya terlebih dahulu. Hari sudah sore ketika ia tiba kembali di rumah sakit. Ayahnya melihat kedatangannya dan segera memeluknya. Saat itu juga Tara tahu ia akan kehilangan Tatsuya. Papa sudah mencobanya, gumam ayahnya. Tara menatap ayahnya dan menyadari ayahnya habis menangis. Papa bahkan sudah meminta pendapat Laurent Delcour, tetapi hasilnya sama saja, lanjut ayahnya. Suaranya serak karena emosi. Papa sudah meminta pendapat Dr. Delcour.... Ternyata tetap tidak bisa membantu.... Kau mau menemuinya? tanya ayahnya sambil mengusap wajah. Tara menunduk dan tidak menyahut. Ia menghela napas tanpa suara dan akhirnya mengangguk. Dan di sinilah ia, berdiri dengan tegang di depan kamar rawat Tatsuya dengan tangan mencengkeram pegangan pintu. Ia memejamkan mata. Jangan menangis. Jangan menemui Tatsuya dengan wajah basah karena air mata. Tatsuya tidak akan senang melihatnya. Ia membuka pintu dan melangkah masuk. Bau rumah sakit tidak pernah menyenangkan. Tidak pernah membuat siapa pun tenang. Begitu menusuk... Dingin... Pertama-tama matanya melihat sosok Tatsuya yang terbaring tak bergerak di ranjang, lalu berbagai selang dan kabel yang menghubungkan tubuh Tatsuya ke semua mesin dan peralatan yang ada di sekitar ranjang. Dengan susah payah Tara mengalihkan pandangannya ke arah mesin-mesin yang menunjukkan kondisi vital Tatsuya. Ia tidak memahami sebagian besar mesin itu, hanya saja matanya terpaku pada mesin yang menunjukkan detak jantung Tatsuya. Monitor itu masih menampilkan garis tidak teratur. Jantung Tatsuya masih berdetak. Ia masih hidup.... Langkah Tara terasa berat ketika ia menghampiri sisi ranjang. Wajah Tatsuya

nyaris tidak terlihat jelas di balik semua perban dan masker oksigen. Mata Tatsuya terpejam. Terlihat tenang sekali. Seolah tidur. Tara harus mengatakan sesuatu. Diam saja juga tidak ada gunanya. Kalau ia bicara, apakah Tatsuya bisa mendengarnya? Apakah Tatsuya akan terbangun begitu mendengar suaranya? Apakah harapannya terlalu berlebihan? Apakah salah mengharapkan keajaiban? Tara menatap wajah Tatsuya dan bergumam pelan, Kau bukan Putri Tidur, kau tahu? Kenapa kau tidak bangun saja sebelum aku membuat keributan? Ia diam, mengharapkan jawaban yang ia tahu tidak akan diterimanya. Tatsuya tetap bergeming. Tara duduk di kursi yang disediakan di sisi ranjang. Ia menghela napas dan menunduk. Aku... tadi pergi ke apartemenmu, gumamnya. Suaranya lirih. Hanya sebesar itulah tenaga yang bisa dikerahkannya untuk bicara. Apartemenmu lumayan berantakan. Tempat tidur belum dibereskan.... Ia mengangkat wajah dan tersenyum singkat, lalu menunduk kembali ketika merasa matanya perih. Kuharap kau tidak keberatan aku melihat-lihat. Kau tahu aku sangat gampang penasaran. Aku ingin mendapat sedikit gambaran bagaimana hidupmu di Jepang. Tara mendesah pelan. Aku juga... Aku juga sudah melihat foto-foto itu. Ia mengamati wajah Tatsuya, berharap melihat sedikit reaksi. Tapi tidak ada sama sekali. Aku sama sekali tidak sadar kau memotretku. Bagaimana cara kau melakukannya? Kau mau tahu foto yang paling kusukai? Foto kita berdua di Disneyland. Kau terlihat konyol sekali dengan telinga Mickey Mouse.... Sebenarnya aku sendiri juga terlihat konyol. Ia meremas-remas tangannya sendiri. Saat itu aku sangat bahagia. Itu saat-saat yang menyenangkan. Tara kembali menunduk. Selain itu aku juga membaca e-mail-mu.... Kau tahu, email yang kaukirimkan kepada Sebastien. Juga e-mail Sebastien untukmu. Air matanya menetes ke kepalan tangan yang ditumpukan di kedua lututnya. Sial! Kenapa ia tidak bisa mengendalikan air matanya? Dengan cepat ia mengusap mata.

Selama ini kau tidak pernah menghubungiku. Ternyata kau masih berhubungan dengan Sebastien. Ia memaksa diri mengangkat wajah dan menatap wajah Tatsuya. Terima kasih. Suaranya gemetar. Tangannya juga. Terima kasih atas semua yang sudah kaulakukan untukku. Aku selalu senang bersamamu. Kau membuat segalanya menyenangkan. Saat-saat bersamamu adalah saat-saat paling membahagiakan. Aku selalu mengira saat itu bisa bertahan selamanya. Bolehkah ia bersikap egois sekarang? Bolehkah ia meminta Tatsuya agar tetap bersamanya? Ia menatap Tatsuya dan matanya melebar. Apakah ia salah lihat? Tidak... Sebelah mata Tatsuya yang tidak tertutup perban sepertinya basah. Tatsuya menangis...! Tatsuya bisa mendengarnya...! Air mata Tara semakin deras. Ia mencondongkan tubuhnya dan menyentuh lengan Tatsuya dengan perlahan. Tatsuya, panggilnya, lalu membekap mulutnya sendiri ketika ia mulai terisak. Kau bisa mendengarku? Kau mendengar semua kataku? Setetes air mata bergulir turun dari mata Tatsuya yang terpejam, namun Tatsuya sama sekali tidak bergerak. Tara mulai terisak. Jangan marah padaku kalau aku menangis sekarang. Ia menggeleng. Biarkan aku menangis. Hari ini saja. Ia menarik napas dengan susah payah. Dengarkan aku. Tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku akan baikbaik saja. Kau dengar aku, Tatsuya? Aku baik-baik saja. Mungkin butuh waktu, tapi aku akan baik-baik saja. Kau boleh lihat sendiri nanti. Kau akan lihat tidak lama lagi aku akan kembali bekerja, tertawa, dan mengoceh seperti biasa. Aku janji. Tara memegang lengan Tatsuya dengan sebelah tangan sementara tangan lainnya menutup mulut. Aku akan baik-baik saja, isaknya pelan. Aku akan selalu menyayangimu. Aku mencintaimu.... Aku mencintaimu.... Aku mencintaimu.... Lalu Tara mendengar bunyi panjang dan datar yang membuatnya bulu kuduknya meremang. Ia mengangkat kepala dan menatap monitor penunjuk detak jantung. Hanya ada garis lurus yang terlihat di sana. Dan bunyi panjang dan monoton itu....

Segalanya seakan berlangsung dalam gerakan lambat. Ia memutar kepala dan menatap Tatsuya. Wajah Tatsuya masih tenang seperti sebelumnya. Kepala Tara berputar kembali ke monitor yang menunjukkan garis lurus itu. Sebelum ia sempat berpikir, pintu kamar terbuka dan orang-orang berpakaian putih menerobos masuk. Ia tidak menyadari ayahnya menariknya menjauh dari ranjang dan memeluknya. Sosok Tatsuya menghilang ditelan kerumunan orang berbaju putih itu. Namun kenyataannya usaha dokter dan perawat yang mengelilingi ranjang Tatsuya tidak membuahkan hasil. Tara melihat mereka perlahan-lahan menjauh dari ranjang. Matanya beralih menatap monitor yang tetap menunjukkan garis lurus itu. Tidak berubah... Mereka gagal menyelamatkan Tatsuya. Ia merasa tubuh ayahnya gemetar. Ayahnya menangis. ia juga melihat Kenichi Fujisawa menangis sambil memeluk tubuh putranya. Tara membenamkan wajah di dada ayahnya dan menangis bersamanya. Jangan marah padaku kalau aku menangis.... Hari ini saja.... Kau boleh lihat sendiri nanti. Kau akan lihat tidak lama lagi aku akan kembali bekerja, tertawa, dan mengoceh seperti biasa.... Aku janji...

Anda mungkin juga menyukai