Anda di halaman 1dari 15

Euthanasia Dalam Aspek Hukum, HAM, Agama & Kode Etik Kedokteran

Euthanasia

Terdiri dari dua kata dari bahasa Yunani eu (baik) dan thnatos (kematian). Pengertian o secara harafiah mati yang layak atau mati yang baik (good death). Beberapa kata lain yang berdasar pada gabungan dua kata tersebut misalnya: Euthanatio: aku menjalani kematian yang layak, atau euthanatos (kata sifat) yang berarti mati dengan mudah, mati dengan baik. Secara etimologis Euthanasia di zaman kuno berarti kematian yang tenang tanpa penderitaan yang hebat.

Euthanasia dalam aspek hukum


Dalam aspek hukum, Undang undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang.

Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasalpasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana. Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia antara lain 338, 340, 344, 345, dan 359. Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal 338, 340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan dimasukkannya unsur dengan rencana lebih dahulu, karenanya biasa dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana.

Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut concursus idealis yang diatur dalam pasal 63 KUHP, yang

menyebutkan bahwa:
1. Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

2. Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan

pidana yang umum diatur pula dalam aturan pidana


yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.

Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, antara lain pasal 1313, 1314,

1315, dan 1319 KUH Perdata[11].


Secara formal tindakan euthanasia di Indonesia

belum memiliki dasar hukum sehingga selalu terbuka


kemungkinan terjadinya penuntutan hukum terhadap euthanasia yang dilakukan.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif dalam menghadapi perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai Pernyataan Dokter Indonesia tentang Informed Consent. Disebutkan di sana, manusia dewasa & sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien itu sendiri.

Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti: 1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan. 2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang. 3. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri & keluarganya.

Pengetahuan

kedokteran

dapat

memperkirakan

kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien.

Apabila

secara

ilmu

kedokteran

hampir

tidak

ada

kemungkinan

untuk

mendapatkan

kesembuhan

ataupun

pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.

Aspek Hak Azasi


Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai, & sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis

dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya


hak untuk hidup layak & sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai

untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau


lebih jelas lagi dari segala penderitaan yang hebat.

Aspek Agama
Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22:66; 2:243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS 2:195), dan dalam ayat lain disebutkan, Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri, (QS 4:29).

Euthanasia dalam ajaran Islam disebut qatl arrahmah atau taisir al-maut (euthanasia), yaitu tindakan yang memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya euthanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.

Islam membedakan dua macam euthanasia, yaitu: a. Euthanasia positif

Yang dimaksud taisir al-maut al-faal (euthanasia positif)


ialah tindakan memudahkan kematian si sakit karena kasih sayang yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat). Euthanasia positif dilarang sebab tujuan tindakan adalah pembunuhan atau mempercepat kematian. Tindakan ini dikategorikan sebagai pembunuhan dan dosa besar. .

b. Euthanasia negatif Euthanasia negatif disebut taisir al-maut al-munfail. Pada

euthanasia

negatif

tidak

dipergunakan

alat-alat

atau

langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan. Pasien dibiarkan begitu saja karena pengobatan tidak berguna lagi dan tidak memberikan harapan apa-apa kepada pasien. Pasien dibiarkan mengikuti saja hukum sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat

Anda mungkin juga menyukai