Anda di halaman 1dari 5

DEFINISI Pemeriksaan urin/ Urinalisis merupakan pemeriksaan laboratorium yang penting bukan hanya untuk menilai adanya gangguan

ginjal dan saluran kemih tetapi juga sebagai biomarker terhadap kerusakan organ tubuh yang lain. Secara klinis Urinalisis terbagi menjadi dua yaitu Pemeriksaan urin rutin dan pemeriksaan urin khusus. Pemeriksaan urin rutin selain berfungsi dalam mengarahkan dan menegakkan diagnosis juga sering digunakan sebagai pemeriksaan screening sedangkan pemeriksaan urin rutin hanya bisa dilakukan jika ada indikasi-indikasi tertentu untuk dilakukan. Pemeriksaan urin yang dianggap rutin itu relatif tergantung tiap-tiap center kesehatan (Rumas Sakit) , namun biasanya yang mencakup pemeriksaan jumlah urin, berat jenis, warna, kejernihan, protein, glukosa, dan sedimen urin yang selanjutnya bisa dikelompokkan menjadi pemeriksaan makroskopis, kimiawi, dan mikroskopis. Sedangkan untuk pemeriksaan urin khusu yang biasa diperiksa adalah urobilin, urobilinogen, bilirubin, Hb samar, benda ketone dan Kalsium. Sampel urin yang digunakan tergantung tujuan dan pemeriksaan urin yang akan dilakukan ini.(Gandasoebrata, 2009). Ada berbagai jenis sampel urin yang biasa digunakan dalama pemeriksaan laboratorium klinik : 1. Urin Sewaktu Urin ini bisa diambil tanpa penetuan waktu khusus yang biasanya baik untuk dilakukan setelah pemeriksaan fisik terhadap penyakit tanpa adanya indikasi klinis tertentu yang mengharuskan jenis sampling lain (Gandasoebrata, 2009). 2. Urin Pagi Urin ini dikeluarkan setelah bangun tidur pada pagi hari dan memiliki viskositas lebih daripada pengambilan urin pada siang hari sehingga lumayan efektif untuk pemeriksaan unsur sediment urin, protein, dan hitung berat jenisnya serta efektif untuk tes kehamilan untuk mendeteksi hormon hCG pada urin

(Gandasoebrata, 2009).

3. Urin Postprandial Urin jenis ini dikumpulkan 1,5-3 jam setelah makan dan digunakan untuk pemeriksaan terhadap glukosuria (Gandasoebrata, 2009). 4. Urin 24 jam Pengumpulan urin pada waktu tertentu (dalam waktu 24 jam) efektif untuk mengukur tingkat metabolis yang terjadi di dalam tubuh (Gandasoebrata, 2009). 5. Urin 3 gelas dan 2 gelas pada lelaki Pengumpulan urin jenis seperti ini bisa untuk mendeteksi lokasi radang atau lesi lain pada tractus urinarius (Gandasoebrata, 2009). Pada prinsipnya urin yang sudah dikumpulkan harus segera diperiksan dan jika memang ada perihal tertentu baru boleh diawetkan sementara baik dengan menggunakan bahan kimia seperti toluena,thymol, formaldehida, asam sulfat pekat, natrium karbonat atau dengan menggunakan lemari es (Gandasoebrata, 2009). DASAR TEORI 1. Pemeriksaan Reduksi Glukosa (Metode Benedict) Pada dasarnya pemeriksaan glukosa dalam urin dengan prinsip menggunakan glukosa sebagai pereduksi zat yang ditambahkan ke urin yang diperiksa merupakan cara yang tidak spesifik namun memang lazim dan relatif mudah dilakukan. Pada peemriksaan seperti ini zat pereduksi (glukosa) akan mengubah warna reagen yang diberikan. Salah satu yang biasa dilakaukan adalah pemeriksaan metode benedict dengan

menggunakan reagen Benedict yang mengandung garam Cupri. Pada pemeriksaan ini yang perlu diingat adalah reagen benedict tidak hanya bisa direduksi oleh glukosa tapi juga oleh fruktosa, pentosa, laktosa bahkan oleh beebrapa zat yang bukan gula yaitu asam homogensitat dan alkapton. Jika ingin memastikan bahwa zat yang emruksi adalah benar glukosa maka dilakukan uji Fenilhidrazine atau uji glukosa-oxidase yang bisa menggambarkan ada tidaknya glukosa secara spesifik. Pemeriksaan

Benedict ini bersifat semikuantitatif sehingga perbandingan banyaknya

reagen dan urin yang digunakan dalam peemriksaan penentuan hasil (Gandasoebrata, 2009). 2. Pemeriksaan Protein

penting dalam

Bersama dengan pemeriksaan glukosa, pemeriksaan protein dalam urin juga merupakan pemeriksaan urin rutin yang sering dilakukan. Pada dasarnya ukuran membran filtrasi pada corpusculum renalis tidak bisa membiarkan protein lolos masuk ke cairan tubular lalu ke urin kecuali albumin yang merupakan protein terkecil itu juga dalam jumlah yang sangat kecil. Protein bisa saja lolos ke dalam urin disebabkan gangguan pada fungsi ginjal atau pada inflamasi saluran urinarius. Pemeriksaan rutin protein secara garis besar adalah melihat tingkat kekeruhan pada urin setelah uji kimiawi dilakukan. Karena itu pemeriksaan urin untuk protein harus benar-benar menggunakan sampel urin dan tabung reaksi yang

jernil sehingga tingkat dan besar kekeruhan yang muncul bisa jadi indikator tingginya kadar protein dalam urin dengan tepat. Pemeriksaan kimiawi untuk mendeteksi protein dalam urin biasanya yang sering dilakukan adalah metode sulfasalisilat dan metode rebus (asam asetat). Metode sulfosalisilat ini sangat sensitif namun tidak spesifik. Pemeriksaan metode ini bahkan bisa mendeteksi 0,002% protein sehingga jika hasil metode ini negatif maka sudah pasti tidak terjadi proteinuria

(Gandasoebrata, 2009). Metode lain yang bisa digunakan adalah metode rebus dengan menggunakan asam asetat sebagai reagen untuk mengidentifikasi protein pada tahap akhir. Pada prinsip pemeriksaannya, protein yang ada dalam urin jika dipanaskan menjadi presipitat dan menimbulkan gambaran keruh . Hasil pemeriksaan ini paling baik diperoleh pada urin yang sedikit asam dan tidak berasal dari urin encet yang memiliki berat jenis rendah (Gandasoebrata, 2009).

APLIKASI KLINIS 1. Pemeriksaan Reduksi Glukosa (Metode Benedict) a. Diabetes Mellitus Diabetes mellitus secara klasik ditandai oleh adanya keluahan klasik Diabetes Mellitus (Poliuria, polidipsi, polifagia) yang ditunjang oleh pemeriksaan gula darah yang sesuai. Kadar glukosa darah pasien Diabetes Mellitus yang sudah melebihi renal threshold akan muncul pada urin

sehingga terjadi glukosuria pada penderita Diabetes Mellitus (Sudoyo et al., 2009). b. Tirotoksikosis Pada keadaan tertentu, tirotoksikosis akan memberikan efek diabetogenik yang cukup ekstrim dengan kelebihan hormon tiroid akan menimbulkan glikogenolisis dan mempercepat absorbsi glukosa dari saluran cerna sehingga aka terjadi peningkatan glukosa yang jika melebihi ambang renal threshold juga akan menimbulkan glukosuria (Sudoyo et al., 2009). 2. Pemeriksaan Protein a. Gagal ginjal Kronik Gagal ginjal kronik merupakan suatu keadaan klinik yaitu berupa penurunan fungsi ginjal secara ireversibel yang ditandai dengan manifestasi kelainan patologis secara struktural dan juga fungsional ginjal termasuk abnormalitas pada komponen urin, darah dan pencitraan saluran kemih dengan atau tanpa penurunan LFG yang sudah berlangsung selama tiga bulan. Karena ketidakmampuan akibat sklerosis nefron maka fungsi filtrasi, absorbsi, dan sekresi untuk pembentukan urin juga terganggu sehingga bahkan protein bisa lolos dari membran filtrasi dan tidak bisa direabsorbsi kembali dan masuk ke dalam urin menimbulkan

proteinuria. (Sudoyo et al., 2009).

b. Sindroma Nefritik Sindroma nefrotik merupakan keadaan klinik yang dittandai Dengan adanya edema anasarka, proteinuria masif yang lebih dari 3,5 gr/hari, hipoalbuminemia (kurang dari 3,5 gr/hari), hiperkolesterolimia dan juga terjadi lipiduria Proteniuria masif menjadi ciri khas pada sindroma nefrotik ini yang secara umum disebabkan peningkatan

permebilitas kapiler terhadap protein karena sudah terdapat glomerulus. Pada kasus sindroma nefrotik penghalang ukuran dan penghalang listrik pada membran kapiler glomerulus yang mencegah protein untuk masuk ke tubulus renalis sudah rusak sehingga protein bisa mudah masuk ke dalam urin (Sudoyo et al., 2009).

DAFTAR PUSTAKA Gandasoebrata ,R. 2009. Penuntun Laboratorium Klinilk. Jakarta :Dian Rakyat Sudoyo , Aru W. et al. 2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta :InternaPublishing. Sudoyo , Aru W. et al. 2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Jakarta :InternaPublishing

Anda mungkin juga menyukai