Anda di halaman 1dari 13

4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 INDEKS MASSA TUBUH (IMT) Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Berat badan kurang dapat meningkatkan risiko terhadap penyakit infeksi, sedangkan berat badan berlebih akan meningkatkan risiko terhadap penyakit degenerative. Oleh sebab itu,

mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup yang lebih panjang (Depkes RI, 2000). Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah cara termudah untuk memperkirakan obesitas serta berkolerasi tinggi dengan massa lemak tubuh, selain itu juga penting untuk mengidentifikasi pasien obesitas yang mempunyai risiko mendapat komplikasi medis. IMT mempunyai keunggulan utama yakni menggambarkan lemak tubuh yang berlebihan, sederhana dan bias digunakan dalam penelitian berskala besar (Rippe et al., 2001). Pengukuran indeks massa tubuh hanya membutuhkan dua hal yaitu berat badan dan tinggi badan dengan perhitungan berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan kuadrat (m2), yang keduanya dapat dilakukan secara akurat oleh seseorang dengan sedikit latihan. Keterbatasannya adalah membutuhkan penilaian lain bila dipergunakan secara individual (Egger et al., 1996) Salah satu keterbatasan IMT adalah tidak bisa membedakan berat yang berasal dari lemak dan berat dari otot atau tulang. IMT juga tidak bisa mengidentifikasi distribusi lemak tubuh. Sehingga beberapa penelitian

menyatakan bahwa standar cut off point untuk mendefinisikan obesitas berdasarkan IMT mungkin tidak menggambarkan risiko yang sama untuk konsekuensi kesehatan pada semua rasa tau kelompok etnis (NIH, 2004). Kriteria status gizi pada orang dewasa di kawasan Asia menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2000 dibagi dalam beberapa kelompok IMT. IMT di bawah 18,5 dikategorikan underweight, sedangkan IMT lebih dari

23 sebagai berat badan berlebih overweight, dan IMT melebihi 25 sebagai obesitas. IMT yang ideal bagi orang dewasa adalah diantara 18,5 sampai 22,9. Obesitas dikategorikan pada dua tingkat: tingkat I (25-29,9) dan tingkat II (30).

Tabel 2.1 Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) Berdasarkan Kriteria WHO 2000 Kategori Underweight Normoweight Overweight Pre-obese Obese I Obese II IMT Asia (kg/m2) <18,5 18,5 22,9 23 23,0 24,9 25,0 29,9 30,0 Sumber: Bickley, 2007

2.2 LINGKAR LEHER Lingkar leher dapat menjadi metode pengukuran yang mudah dan murah untuk skreening individu dengan obesitas (Liubov et al., 2001). Lingkar leher sebagai indeks untuk obesitas tubuh bagian atas merupakan salah satu prediktor terjadinya penyakit kardiovaskuler (Sjostrom et al., 2001). The North Association for The Study of Obesity menyatakan bahwa dari uji statistic, koefisien korelasi pearson menunjukkan hubungan erat antara lingkar leher dengan IMT (laki-laki, r=0,83; perempuan r=0,71; masing-masing, p<0,0001 dan lingkar pinggang (lakilaki, r=0,86; perempuan, r=0,56; masing-masing p<0,0001). Lingkar leher 37 cm untuk laki-laki dan 34 cm untuk wanita merupakan cutt of point yang paling tepat untuk mengidentifikasi individu dengan IMT 25 kg/m2, lingkar leher 39,5 cm untuk laki-laki dan 36,5 cm untuk wanita adalah cut of point paling tepat untuk mengidentifikasi individu dengan obesitas (IMT 30 kg/m2). Berdasarkan validasi yang dilakukan pada kelompok yang berbeda, sebagai salah satu metode skreening obesitas lingkar leher memiliki sensitivitas 98%, spesifitas 89%, akurasi 94% untuk laki-laki dan 99% untuk perempuan (Liubov et al., 2001).

2.3 FISIOLOGI TIDUR Tidur adalah suatu periode istirahat bagi tubuh berdasarkan atas kemauan serta kesadaran dan secara utuh atau sebagian fungsi tubuh yang akan dihambat atau dikurangi. Perbedaan tidur dengan keadaan tidak sadar lainnya adalah pada keadaan tidur siklusnya dapat diprediksi dan kurang respon terhadap rangsangan eksternal. Otak berangsur-angsur menjadi kurang responsif terhadap rangsangan visual, auditori dan rangsangan lingkungan lainnya (Arifin et al., 2010). Sampai saat ini sistem klasifikasi untuk tingkatan tidur yang diterima adalah usulan dari Rechtschaffen dan Kales yaitu dengan pemeriksaan electroencephalogram (EEG), electrooculogram (EOG), dan electromyogram (EMG). Terdapat dua jenis tidur, yang ditandai oleh pola EEG yang berlainan dan perilaku yang berbeda: tidur gelombang lambat dengan gerakan mata tidak cepat (NREM; Non Rapid Eye Movement), dikenal juga sebagai tidur S, sinkron atau ortodoks dan tidur paradoksikal dengan gerakan mata cepat (REM; Rapid Eye Movement), dikenal juga sebagai tidur D atau desinkronisasi (Atmadja, 2002; Sherwood, 2001). Pada orang normal tidur NREM merupakan keadaan yang relatif terjaga. Kecepatan denyut jantung biasanya lebih lambat 5-10 denyut setiap menit dari tingkat terjaga penuh dan teratur, begitu juga dengan respirasi. Tekanan darah juga cendrung rendah, dengan sedikit variasi dari menit ke menit. Fase REM ditandai oleh atonia otot dan gerakan cepat dari mata, peningkatan denyut jantung, peningkatan laju pernafasan, dan peningkatan tekanan darah yang berfluktuasi secara luas (Kaplan et al., 2010).

Fase tidur pada manusia (Czeisler et al., 1995): 1. Fase NREM, dibagi menjadi empat stadium: a. Stadium 1 Merupakan transisi dari bangun dan ditandai oleh hilangnya pola alfa reguler dan munculnya amplitudo rendah, pola frekuensi campuran, terutama rentan teta (2-7 Hz) dan gerakan mata berputar lambat. b. Stadium 2

Ditetapkan melalui kejadian kompleks K dan kumparan tidur yang tumpang tindih pada aktivitas latar belakang yang serupa dengan stadium 1. Kompleks K adalah discharge negative (upward), amplitude tinggi, lambat dan diikuti segera dengan defleksi positif (downward). Rangakain tidur merupakan discharge frekuensi tinggi (12-14 Hz) yang berlangsung 0,5-2 detik dengan amplitudo menyusut-bertambah. Aktivitas gerakan mata cepat tidak ada, dan EMG serupa dengan stadium 1. c. Stadium 3 Merupakan delta tidur sekitar 20% tetapi kurang dari 50% aktivitas delta amplitudo tinggi (375V) delta (0,5-2 Hz). Kumparan tidur tetap ada, aktivitas gerakan mata tidak ada, dan aktivitas EMG menetap pada kadar rendah. d. Stadium 4 Pola stadium 3 EEG lambat, voltase tinggi terganggu sekitar 50% rekaman. NREM stadium 3 dan 4 disebut sebagai (secara kolektif) tidur dalam, delta, atau gelombang lambat.

2. Fase REM Tidur REM ditandai oleh EEG frekuensi campuran, amplitudo rendah yang serupa dengan NREM stadium 1. Ledakan aktivitas 3-5 Hz dengan defleksi negatif tajam sering bertumpang tindih pada pola ini. EOG memperlihatkan ledakan REM serupa dengan yang terlihat selama bangun mata terbuka. Aktivitas EMG tidak ada, yang merefleksikan atonia otot diperantarai batang otak lengkap yang karakteristik untuk keadaan ini.

Gambar 2.1: Stadium tidur manusia (Czeisler et al., 1995).

Tidur nokturnal normal pada dewasa muda umunya konstan. Setelah awitan tidur biasanya diawali dengan fase NREM stadium 1-4 dalam 45-60 menit. Tidur gelombang lambat menonjol pada sepertiga malam pertama dan terdiri dari 15-26% waktu tidur nokturnal total pada orang dewasa muda. Setelah episode tidur gelombang lambat pertama, perkembangan stadium NREM berbalik; tidur REM pertama terjadi setelah 80 menit onset tidur dan latensi REM memendek seiring bertambahnya usia (Czeisler et al., 1995). Seseorang secara klinis mengalami kedua jenis tidur berganti-ganti sepanjang malam. Dengan memanjangnya periode tidur, bagian setiap siklus terdiri dari penurunan tidur gelombang lambat dan tidur REM yang meningkat.

Keseluruhan, tidur REM adalah 20-25% tidur total, stadium NREM (1 dan 2) adalah 50-60% pada dewasa muda. Bayi mengahabiskan waktunya jauh lebih banyak pada tidur REM. Sebaliknya, pada orang usia lanjut tidur REM dan gelombang lambat stadium 4 berkurang (Sherwood, 2001).

2.4 SISTEM RESPIRASI SAAT TIDUR Saat ini diketahui bahwa pada keadaan tidur tubuh tidak seluruhnya beristirahat tetapi terdapat aktivitas pada fase-fase tidur. Sistem respirasi, esophagus, kardiovaskular dan fisiologi otak menunjukkan perubahan selama tidur. Pada orang normal sistem respirasi akan menurun selama tidur yaitu terjadi hipoventilasi alveolar. Frekuensi pernafasan dan ventilasi semenit akan menurun selama tidur NREM dan pada umumnya bertamabah cepat, dangkal, dan tak menentu pada tidur REM (Arifin et al., 2010). Otot faring bertanggung jawab untuk menjaga patensi jalan nafas saat bernafas. Saraf yang mengontrol otot-otot ini berasal dari daerah yang sama dari batang otak yang juga bertanggung jawab untuk mengendalikan otot-otot diafragma dan interkostal. Oleh sebab itu, otot-otot saluran pernafasan bagian atas bekerja seirama dengan pernafasan. Selama terjaga, otot ini memiliki tingkatan aktivitas tonus yang tinggi (Lapinsky et al., 1997). Penurunan fungsi respirasi selama tidur disebabkan karena kolapsnya sebagian saluran nafas atas yang disertai penurunan tonus otot interkostal dan genioglosus. Penurunan refleks batuk dan bersihan mukosilier selama kedua fase tidur akan menyebabkan retensi sputum. Keadaan ini kurang berpengaruh terhadap orang normal tetapi merupakan merupakan keadaan yang darurat mengancam jiwa pada penderita asma, PPOK, sleep apnea atau keadaan kelainan respirasi lain. Kontrol pernafasan selama tidur REM bukan melalui refleks vagal seperti pada fase terjaga dan pada tidur NREM. Fase REM dianggap berasal dari penghambatan homeostatic feedback regulation hypothalamus (Arifin et al., 2010). Kecepatan pernafasan dan ventilasi per menit menurun selama tidur NREM dan menjadi bervariasi selama tidur REM. Respon ventilasi terhadap

10

karbondioksida melemah selama tidur NREM, yang menyebabkan PCO2 lebih tinggi. Selama tidur REM, respon ventilasi terhadap hiperkapnea dan hipoksia memperlihatkan variabilitas yang nyata. Otot pernafasan yang bertanggung jawab untuk kelatenan jalan udara atas menjadi hipotonik sepanjang tidur dan selama tidur REM, hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan resistensi jalan nafas. Selain itu, refleks batuk berubah atau tidak ada selama tidur. Perubahan fungsi respiratori ini mungkin relevan terhadap patogenesis OSA (Czeisler et al., 1995). Saat mulai tidur gambaran EEG terlihat perlambatan gelombang serta penurunan ventilasi semenit. Pada pasien dengan obstructive Sleep Apnea (OSA) penurunan atau penghentian aliran udara disebabkan oleh kolaps jalan nafas atas yang progresif dan menyebabkan penurunan saturasi oksihemoglobin serta terjadi stimulasi kemoreseptor perifer carotid bodies. Stimulasi kemorefleks terjadi melalui sistem saraf pusat sehingga meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis yang ditandai dengan lonjakan microneurographic. Saat terbangun dari tidur, ventilasi dan saturasi oksihemoglobin akan kembali normal serta terjadi hambatan terhadap aktivitas sistem saraf simpatis oleh aferen yang berasal dari mekanoreseptor toraks yang bersinaps pada batang otak (Arifin et al., 2010).

2.5 MENDENGKUR Mendengkur (snoring) merupakan suara gaduh dari pernafasan yang terjadi selama proses tidur, akibat getaran yang dihasilkan oleh dinding orofaring. Hal ini merupakan salah satu gejala dari suatu kelainan pada saluran pernafasan bagian atas yang memiliki tingkatan keparahan. Bentuk yang paling ringan biasanya terjadi sesekali dan sering disebabkan karena posisi tidur terlentang, sedangkan mendengkur yang lebih berat biasanya terjadi setiap malam dan bisa saja berkaitan dengan obstructive apnea (Lapinsky et al., 1997). Ketika tidur, pernafasan akan melambat, otot-otot pernafasan akan rileks, dan saluran nafas akan menyempit, tetapi proses inspirasi dan ekspirasi terus berlangsung yang menyebabkan bergetarnya dinding orofaring dan menimbulkan bunyi (Eipstein et al., 2007).

11

Salah satu survei epidemiologi di Republik San Marino (Italia Utara) terhadap hapir 6000 orang, dilaporkan bahwa 40% pria dan 28% wanita mendengkur dengan prevalensi meningkat hingga dekade ketujuh. Dalam penelitian ini, lebih dari 60% pria dan 40% dari wanita yang berusia di atas 60 tahun dilaporkan mendengkur. Penelitian lain menunjukkan bahwa terjadi sedikit penurunan prevalensi dengan meningkatnya usia lebih dari 60 tahun. Studi pada wanita setengah baya menunjukkan prevalensi mendengkur sebesar 23% pada kelompok usia muda (40-44 tahun) dan meningkat menjadi 40% pada usia 50-59 tahun (Lapinsky et al., 1997).

2.5.1 Faktor anatomi Segala sesuatu yang menyebabkan penyempitan saluran nafas akan menimbulkan snoring. Beberapa pasien obstruksi jalan napas dikarenakan rahang kecil sehingga menghasilkan ruangan yang tidak cukup untuk lidah. Kelainan anatomi ini mengurangi luas penampang saluran udara bagian atas. Penurunan tonus otot saluran napas selama tidur dan penarikan oleh gaya gravitasi pada posisi terlentang akan mempersempit saluran nasaf, sehingga menghambat aliran udara selama respirasi (Victor, 1999). Suara mendengkur secara langsung berkaitan dengan getaran jaringan di orofaring. Jaringan tersebut antara lain mukosa dan otot-otot yang mendasari langit-langit lunak dan uvula, mukosa dan otot-otot yang mendasari pilar anterior dan posterior tonsil, tonsil itu sendiri dan mukosa hipofaring (Eipstein et al., 2007). Setiap faktor anatomis yang mempengaruhi resistensi aliran udara dapat memiliki efek sekunder pada mendengkur. Secara khusus, ketidakseimbangan proporsi orofaring dengan lidah yang besar dapat memberikan kontribusi peningkatan resistensi saluran nafas. Struktur berdekatan yang menyebabkan perubahan aliran udara seperti: deviasi septum hidung, polip hidung, massa nasofaring dan lainnya (Lapinsky et al., 1997). Obstruksi jalan nafas dapat terjadi dalam berbagai bidang orofaring, nasofaring dan hipofaring. Walaupun kontribusi polip hidung dan deviasi septum

12

untuk apnea tidur obstruktif masih kontroversial, beberapa peneliti percaya bahwa sumbatan hidung parsial atau total dapat menyebabkan hipopnea dan apnea (Victor, 1999). Penyempitan saluran pernafasan saat tidur dapat terjadi secara sederhana (simple snoring) maupun lengkap (complete). Selama penyempitan yang terjadi tidak mengancam nyawa, simple snoring tidak membutuhkan penanganan yang khusus, hanya saja suara dengkuran yang terjadi dapat mengganggu orang lain yang tidur di sebelahnya. Penyempitan komplit yang dikenal dengan Obstructive Sleep Apnea (OSA) dapat menimbulkan efek yang cukup serius bagi kesehatan dan kualitas hidup seseorang (Eipstein et al., 2007).

Gambar 2.2: saluran napas normal. Panjang dan ukuran total langit-langit lunak dan uvula normal. Lidah normal dalam ukuran dan sudut ke depan. Ukuran dan kontur saluran udara bagian atas di tingkat orofaring, nasofaring dan hipofaring adalah normal (Victor, 1999).

Gambar 2.3 : Abnormal saluran napas selama tidur. Beberapa tempat obstruksi sering terjadi pada pasien dengan apnea tidur obstruktif. langitlangit lunak memanjang dan membesar di saluran udara posterior pada tingkat nasofaring dan faring oral. Selain itu, rahang mendorong lidah yang mengusik ruang hypopharyngeal (Victor, 1999).

13

2.5.2 Patogenesis Mendengkur Patensi saluran nafas bagian atas ditentukan oleh keseimbangan antara tekanan di sekitar jalan nafas. Tekanan negatif dari intraluminal akan membuat saluran nafas menjadi kolaps. Hal ini akan mengakibatkan faring menjadi sempit dan menghalangi aliran udara masuk akibat tekanan negatif tadi, sedangkan kekakuan dari mukosa dapat memudahkan jalan nafas untuk terbuka kembali. Sejumlah faktor anatomi dan fisiologi mungkin bertanggung jawab atas kolapsnya saluran nafas, akan tetapi secara keseluruhan kelainan yang mendasarinya adalah peningkatan resistensi saluran nafas bagian atas (Lapinsky et al., 1997). Dengan meningkatnya resistensi saluran nafas, upaya inspirasi juga harus meningkat guna menjaga aliran udara. Tekanan negatif yang dihasilkan rongga toraks mengakibatkan kolapsnya dinding laringotrakheobronkial, memanjang dan menyempit pada orofaring. Dengan meningkatnya aliran udara akan mengurangi tekanan intrafaringeal. Tekanan negatif ini terjadi bersamaan dengan hipotonia otot faring karena tidur, sehingga getaran jaringan lunak di faring dianggap sebagai mendengkur (Czeisler et al., 1995).

Gambar 2.4: Faktor-faktor yang mempengaruhi resistensi jalan napas (Lapinsky et al., 1997).

14

Berbagai faktor dapat menyebabkan peningkatan resistensi jalan nafas pada setiap pasien. Struktur kelainan, termasuk kelainan faring dimana obstruksi jalan nafas bertanggung jawab atas mendengkur dan OSA. Gangguan fungsi otot saluran pernafasan bagian atas terjadi berhubungan dengan kondisi tidur. Faktorfaktor lain seperti obesitas, efek hormonal, dan obat-obatan, secara signifikan dapat mempengaruhi fungsi saluran nafas bagian atas (Lapinsky et al., 1997).

2.6 HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN MENDENGKUR Kelebihan berat badan merupakan prediktor utama untuk gangguan pernafasan tidur atau sleep disorder breathing (SDB). Pengamatan klinis dan studi populasi di seluruh Amerika Serikat, Eropa, Asia, dan Australia secara konsisten menunjukkan peningkatan dinilai dalam prevalensi SDB sebagai indeks massa tubuh, lingkar leher, atau tindakan lain meningkat habitus tubuh. Studi klinis berat badan dan populasi studi longitudinal memberikan dukungan yang kuat untuk sebuah hubungan sebab akibat. Peran kelebihan berat badan, faktor risiko yang dapat dimodifikasi, dengan SDB menimbulkan banyak pertanyaan yang relevan dengan praktek klinis dan kesehatan masyarakat (Young et al., 2005). Sebuah penelitian di Jakarta terhadap pengemudi taksi didapati 25% dari 280 responden berisiko OSA. Dimana prevalensi risiko OSA pada pengemudi taksi tersebut memiliki kaitan erat dengan IMT 25, memiliki riwayat mendengkur dalam keluarga, lingkar leher 40 cm, usia 36 tahun dan memiliki jadwal kerja yang padat (Wiadnyana et al., 2010).

2.7 HUBUNGAN LINGKAR LEHER DENGAN MENDENGKUR

Aspek yang paling penting dalam klasifikasi mendengkur adalah ada atau tidak adanya OSA yang merupakan bagian dari gangguan pernafasan tidur (SBD). Sementara definisi praktis dan klasifikasi mendengkur saat ini tidak ada. Sekali kriteria diagnostik yang lebih objektif telah ditetapkan, penelitian lebih lanjut akan diperlukan untuk membedakan mendengkur patologis dan non patologis (Lapinsky et al., 1997).

15

OSA disebabkan oleh obstruksi jalan nafas atas saat tidur yang berulang sebagai akibat penyempitan saluran pernapasan. Pasien dengan gangguan yang paling sering adalah yang memiliki kelebihan berat badan, dengan infiltrasi peripharyngeal terkait lemak dan/ atau ukuran yang meningkat dari langit-langit lunak dan lidah. Awalnya, dapat terjadi obstruksi parsial dan menyebabkan dengkuran (snoring). Jaringan yang kolaps lebih lanjut atau pasien berguling dan tidur dengan posisi terlentang mengakibatkan jalan napas menjadi benar-benar terhalang. Apakah obstruksi tidak lengkap (Hypopnea) atau total (apnea), pasien berjuang untuk bernapas dan terbangun dari tidur. Episode obstruktif sering dikaitkan dengan penurunan saturasi oksihemoglobin (Victor, 1999). Peristiwa ini sering diakhiri arousal dari tidur lebih dalam, dan fragmentasi tidur yang dihasilkan dapat menyebabkan kantuk di siang hari yang berlebihan, kurangnya perhatian, konsentrasi dan daya ingat terganggu. Banyak penderita OSA tidak merasa memiliki masalah dengan tidurnya dan datang ke dokter hanya karena teman tidur mengeluhkan suara mendengkur yang keras diselingi keadaan senyap yang bervariasi. Penyelidikan diagnostik standar emas untuk gangguan pernafasan saat tidur adalah polysomnography malam hari untuk mendeteksi kejadian apnea dan hipopnea dan menentukan apakah mereka obstruktif atau untuk mengontrol pernapasan abnormal. Ukuran yang umum digunakan untuk SDB adalah indeks apnea-hipopnea (AHI, jumlah kejadian apnea dan hipopnea per jam tidur) (Young et al., 2005; McNicholas, 2008).

2.8 KUESIONER BERLIN Gejala klinis yang sering muncul pada penderita OSA adalah mendengkur, kantuk yang berlebihan pada siang hari, rasa tercekik pada saar tidur, apnea, nokturia, sakit kepala pada pagi hari, penurunan libido sampai impotensi dan enuresis, mudah tersinggung, depresi, kelelahan yang luar biasa dan insomnia. Kebanyakan penderita mengeluhkan kantuk yang sangat mengganggu pada siang hari sehingga menimbulkan masalah pada pergaulan, pekerjaan dan meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas (Seragih, 2007).

16

OSA tidak mudah untuk diidentifikasi karena dibutuhkan teknik dan alatalat diagnostik yang tidak sederhana. Salah satu cara sederhana yang digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai riwayat tidur dan mengenali

gangguannya adalah melalui wawancara yang membutuhkan waktu dan pelatihan. Kuesioner Berlin, dikembangkan pada tahun 1996, berisi serangkaian pertanyaan mengenai factor risiko untuk OSA. Termasuk di dalamnya mengenai perilaku mendengkur, riwayat kelelahan, dan obesitas atau hipertensi (Netzer et al., 1999). Tabel 2.2 Kuesioner Berlin
Question Has your weight changed? Response Increase Decreased No change Yes No Do not know Loud as breathing Loud as talking Louder than talking Very loud Almost every day 3 to 4 times per week 1 to 2 times per week 1 to 2 times per month Never or almost never Yes No Almost every day 3 to 4 times per week 1 to 2 times per week 1 to 2 times per month Never or almost never Almost every day 3 to 4 times per week 1 to 2 times per week 1 to 2 times per month Never or almost never Almost every day 3 to 4 times per week 1 to 2 times per week 1 to 2 times per month Never or almost never Yes No Yes No Do not know

Do you snore?

Snoring loudness

Snoring frequency

Does your snoring bother other people? How often have your breathing pauses been noticed?

Are you tired after sleeping?

Are you tired during waketime?

Have you ever fallen asleep while driving? Do you have high blood pressure?

Sumber: Netzer et a.l, 1999

Anda mungkin juga menyukai