Anda di halaman 1dari 31

BAB II LANDASAN TEORI

A. Remaja 1. Masa Remaja Masa remaja sering disebut sebagai adolesensi atau adolescence (inggris), dan berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh ke arah kematangan (Sarwono, 1990). Menurut Sarwono (1990) kematangan yang dimaksud meliputi kematangan fisik, psikis dan sosial. Masa remaja juga sering diartikan sebagai masa peralihan dari masa anakanak ke masa dewasa. Dalam masa peralihan ini teijadi perubahan-perubahan yang sangat berarti dalam perkembangan manusia seperti adanya perubahan tersebut, tentu saja akan menimbulkan berbagai macam permasalahan yang dialami oleh remaja, baik secara fisik, psikis maupun sosial ( Thornburg, 1982 ). Masa remaja merupakan suatu masa di dalam tahap perkembangan manusia. Pada umumnya banyak para ahli menentukan masa tersebut dengan berpedoman pada umur, namun pada kenyataannya tidak dapat digunakan secara universal, hal tersebut dikarenakan bahwa tahap perkembangan remaja untuk satu negara berbeda dengan negara lain. Berbagai ahli melontarkan pendapat yang berbeda mengenai pengertian masa remaja. Gunarsa dan Gunarsa (1981) berpendapat bahwa masa remaja merupakan mas^ peralihan dan masa anak ke masa dewasa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa, yang meliputi segala

11

12

perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Hurlock (1986) mengatakan bahwa masa remaja merupakan suatu periode dalam kehidupan individu yang sedang mengalami kemasakan biologis, psikologis, sosial dan emosi. Sarwono (1997) mengatakan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa, bukan hanya dalam artian psikologis tetapi juga fisik. Bahkan perubahan-perubahan fisik yang teijadi itulah yang merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja, sedangkan perubahan-perubahan psikologis muncul antara lain sebagai akibat dari perubahan-perubahan fisik itu. Seorang ahli bernama Baltus (1983) mengemukakan bahwa masa remaja adalah suatu masa di mana terjadi perubahan-perubahan dari anak-anak ke masa muda. Masa ini merupakan periode perkembangan atau perubahan fisik dan psikologis dan pada masa ini individu mencapai tingkat yang baru di dalam hal kemandirian dan kemampuan. Monks, dkk. (1994) berpendapat bahwa masa remaja merupakan tahap perkembangan ketika individu sedang mengalami suatu peralihan dari dunia anak-anak menuju dunia orang dewasa. Ahli lain White dan Speisman (1997) berpendapat bahwa masa remaja adalah masa transisi antara masa anak-anak menuju masa dewasa. Dalam masa ini individu sering dihadapkan pada sekumpulan peran dan harapan yang sering tidak searah dan sejalan dengan peran dan kehidupan di masa lalu. Jersild (1978) membatasi masa remaja sebagai masa yang diawali dengan adanya tanda-tanda akil baligh sampai terjadinya kemasakan seksual,

pertumbuhan jasmani yang maksimal dan pertumbuhan mental. Kemudian Rais (dalam Gunarsa dan Gunarsa, 1991) mengemukakan bahwa masa remaja, seperti

13

banyak anggapan yang ada, adalah merupakan saat-saat yang dipenuhi dengan berbagai macam perubahan dan terkadang tampil sebagai masa yang tersulit dalam kehidupannya sebelum ia kemudian memasuki dunia kedewasaan. Pendapat lain dikemukakan oleh Smart dan Smart (1972) bahwa masa remaja merupakan suatu tahap perkembangan di mana remaja mengalami perubahan psikis, fisik maupun sosial. Secara psikologis, pada masa remaja mulai terjadi usaha pencarian jati diri yang termanifestasikan dalam bentuk keinginan untuk berada di dalam kelompok, mencari tokoh-tokoh ideal, yang biasanya meniru atau diarahkan pada kehidupan orang dewasa. Dengan demikian, masa remaja yang berada di dalam posisi marginal adalah suatu masa yang penuh dengan ketegangan, konflik dengan orang-tua, dan adanya hubungan pribadi yang meningkat (Hurlock, 1976). Walaupun begitu, Monks, dkk., (1994) melontarkan bahwa masa peralihan ini merupakan titik tolak perkembangan semua aspek perkembangan yang ada pada remaja. Maka perubahan yang terjadi meliputi aspek fisik, psikis dan sosial. Sifat perkembangan aspek-aspek tersebut sangat menonjol dibanding dengan masa sebelumnya atau masa anak-anak. Maka masa remaja menurut penulis merupakan suatu masa peralihan dari kehidupan anak-anak menuju dunia kedewasaan, di mana dalam masa tersebut terjadi perubahan aspek fisik, psikis dan sosial yang berakibat pada munculnya ketegangan, perkembangan fisik yang menonjol serta berubahnya gerak sosial dari keluarga menuju teman sebaya.

14

2. Batasan Usia Remaja Jersild, dkk., (1978) tidak memberikan batasan yang pasti mengenai usia remaja. Secara kasarnya masa remaja dapat ditinjau sejak dimulainya seseorang menunjukkan tanda-tanda pubertas dan berlanjut hingga mencapai kematangan seksual, mencapai tinggi badan secara maksimum dan pertumbuhan mental yang penuh. Masa kesempurnaan remaja menurut Rousseau (dalam Sarwono, 1997), berkisar antara usia 15-20 tahun. Hurlock (1986) membatasi usia 13/14 tahun sampai 17 tahun, dan remaja akhir 17 sampai 21 tahun. Ahli lain Hall (Sarwono, 1997) membatasi usia remaja antara 12-25 tahun. Selanjutnya seorang ahli bernama Sidarta (1982) berpendapat bahwa masa remaja dimulai kira-kira pada usia 12 tahun bagi anak gadis dan 14 tahun bagi anak laki-laki dan biasanya berlangsung 6-9 tahun. Perbedaan waktu tersebut disebabkan oleh perbedaan waktu kemasakan seksual antara gadis dan anak lakilaki. Masa remaja berakhir pada usia 18-21 tahun. Bigot, dkk., (dalam Mappiare, 1982) membatasi masa pubertas dan masa remaja adalah dalam usia 15-21 tahun. Penetapan umur remaja yang banyak variasinya dan batasan-batasan tersebut di atas tidaklah mutlak, karena sesungguhnya pada masing-masing tahap tidak terdapat batas yang jelas (Monks, dkk., 1994). Dari beberapa pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa masa remaja berada pada usia antara 12-20 tahun. Alasan tersebut disebabkan bahwa usia 21-24 tahun adalah sudah masuk dalam masa dewasa awal (Monks, dkk., 1994). Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah remaja siswa SMU yang berusia 1 6 - 1 8 tahun.

15

3. Perkembangan Remaja Perkembangan yang terjadi pada remaja telah banyak dipaparkan di atas, yaitu meliputi perkembangan aspek psikis, fisik dan sosial. Seorang ahli bernama Thornburg (1982) mengatakan bahwa konsekwensi dari adanya ketiga

perkembangan yang dialami dimasa remaja menyebabkan perilaku remaja sering dianggap kurang dewasa. a. Perkembangan fisik Perubahan-perubahan fisik yang terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (yaitu badan menjadi panjang dan tinggi), mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan adanya tanda-tanda seksual sekunder. Adanya perubahan fisik menyebabkan kecanggungan bagi remaja. Hal tersebut dikarenakan remaja harus menyesuaikan diri dengan perubahanperubahan yang terjadi. Pertumbuhan badan yang mencolok misalnya, atau pembesaran payudara yang cepat, membuat remaja merasa tersisih dari temantemannya. Demikian pula dalam menghadapi haid dan ejakulasi pertama, remaja perlu mengadakan penyesuaian-penyesuaian tingkah laku yang tidak selalu bisa dilakukan dengan mulus, dan terutama apabila tidak mendapat dukungan dari orang tua (Sarwono, 1997). b. Perkembangan Psikologis Perkembangan psikologis meliputi perkembangan kepribadian dan emosi, perkembangan kognitif dan perkembangan penalaran moral serta religi

( Thornburg, 1982 ).

16

Pada

perkembangan

kematangan

kepribadian

dan

emosi,

remaja

memerlukan status, kemandirian, prestasi dan falsafah hidup yang memuaskan. Emosi atau perasaan meliputi rasa senang-tak senang, rasa benci-sayang, suka-tak suka dan sebagainya, dan semua itu relatif cepat berubah di dalam masa ini. Bentuk-bentuk emosi yang cepat berubah di dalam masa ini. Bentuk-bentuk emosi yang sering nampak pada masa remaja adalah marah, takut, cemas, malu, irihati, cemburu, sedih, gembira, kasih sayang, dan ingin tahu (Mappiare, 1982). Menurut Mulyono (1986) keadaan emosi remaja bersifat belum mapan dan hal tersebut membawa remaja dalam kegelisahan batin dengan disertai perasaan tertekan, kesal, canggung, ingin marah dan mudah tersinggung. Dalam perkembangan kognitif, Fuhrmann (1990) mengatakan bahwa dalam masa ini remaja diharapkan sudah siap menjalankan tahap akhir perkembangan kognitifnya, yaitu sudah mampu mengembangkan kemampuan penalaran, penggunaan logika dan berpikir secara abstrak. Dengan demikian remaja dianggap dapat berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan teijadi, dapat menentukan sebab-akibat dan menggunakan berbagai macam pandangan dalam mencapai cita-cita. Grinder (1978), remaja diharapkan sudah dapat meninggalkan cara-cara berpikir yang konkrit dan memiliki kemampuan berpikir abstrak yaitu dapat menggunakan prinsip-prinsip logika dan mampu menggeneralisasikan hal-hal yang bersifat konseptif. Gunarsa dan Gunarsa (1981) mengemukakan bahwa pada masa remaja, kemampuan mengatasi masalah yang majemuk akan bertambah. Kemudian Piaget (dalam Gunarsa dan Gunarsa, 1981) mengatakan bahwa usia 12 tahun pada remaja mulai beikembang bentuk pikiran

17

formal, yaitu pikiran mengenai hal-hal yang tidak kelihatan atau peristiwa yang tidak dialami secara langsung. Moral merupakan bagian yang penting pada masa remaja. Begitu juga religi atau agama. Religi berisi tentang aturan tingkah laku baik-buruk, termasuk moral. Moral berisi tentang sopan santun, tata krama dan norma-norma masyarakat yang lain. Bagi remaja mores atau moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri baginya,karena saat itu mereka sedang membutuhkan pedoman dalam mencari jalan hidupnya. Hurlock (1976) mengatakan bahwa remaja membutuhkan suatu kepercayaan, hal itu disebabkan karena remaja sedang berada dalam suatu periode yang penuh ketegangan dan merasa kurang aman, maka remaja membutuhkan keyakinan di dalam hidupnya dan dapat memberikan perasaan aman. c. Perkembangan Sosial Pada perkembangan sosial remaja terjadi dua macam gerak pada remaja. Gerak tersebut berupa gerak memisahkan diri dari orang tua dan gerak menuju teman sebaya mereka mencari teman sebaya. Mereka mencari teman sebaya, karena mereka berada pada nasib yang sama, yaitu berada dalam keadaan interim atau sementara. Sebagian besar kehidupan sosial remaja dengan orang tua ditinggalkan dan bergabung dengan sebaya atau anggota kelompok lain dalam usaha untuk mencari nilai-mlai baru. Remaja mulai meragukan kewibawan dan kebijaksanaan orang tua, maupun norma-norma yang ada (Mulyono, 1995). Masa remaja merupakan tahap kehidupan penting karena merupakan masa transisi

18

antara dua kehidupan yaitu pandangan sosial yang berubah dari klasik atau keluarga menjadi lebih besar. Dengan demikian maka tugas perkembangan remaja menurut Havighurst (dalam Mulyati, 1998) adalah sebagai berikut: 1. Menjalin hubungan yang baru dan lebih matang dengan teman sebaya. 2. Menerima kondisi fisiknya dan dapat menggunakannya secara efektif. 3. Mampu berperan secara sosial sesuai dengan peran jenisnya. 4. Mandiri secara emosi onal. 5. Mempersiapkan suatu pekeijaan 6. Mempersiapkan kehidupan perkawinan dan keluarga. 7. Melakukan tanggung jawab sosial terhadap komunitasnya. 8. Mempunyai serangkaian nilai dan etika sebagai pemandu perilaku.

B. Asertivitas 1. Pengertian Asertivitas Kata asertivitas berasal dari bahasa inggris to assert yang diartikan sebagai suatu ungkapan yang menyatakan suatu sikap positif di mana ungkapan sikap positif tersebut dinyatakan dengan tegas atau berterus terang (Fensterheim dan Baer, 1980). Berbagai ahli melontarkan pengertian tentang asertivitas. Menurut Bower dan Bower (1985), asertivitas adalah kemampuan untuk mengekspresikan perasaan, memilih cara untuk bertindak, mengungkapkan hak-hak pada saat yang

19

tepat, menyatakan ketidaksetujuan pada saat yang dianggap penting, serta merencanakan untuk mengubah perilaku diri sendiri dan meminta orang lain untuk mengubah perilaku tanpa menyerang mereka. Rees dan Graham (1991), mengatakan bahwa asertivitas adalah

kemampuan mengekspresikan diri secara jelas, langsung dan tepat, menilai apa yang dipikirkan dan dirasakan serta mengenal kemampuan dan keterbatasan yang dimilikinya. Dengan demikian kata kuncinya adalah kejujuran, di mana akan sangat sulit untuk bersikap asertif apabila seseorang tidak jujur terhadap diri sendiri tentang apa yang dipikirkan dan dirasakan. Lewinston (1980) memberikan batasan perilaku asertif sebagai

kemampuan untuk mengekspresikan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan tanpa memaksa kepada individu lain atau membuat individu lain merasa tidak enak. Menurut Lazarus (dalam Walker dkk, 1981), perilaku asertif mencakup empat jenis respon, yaitu (a) kemampuan untuk memulai, melanjutkan dan mengakhiri dengan sukses suatu pembicaraan, (b) kemampuan untuk berkata tidak, (c) kemampuan untuk mengajukan permintaan atau bantuan kepada orang lain dan (d) kemampuan untuk menyatakan perasaan, baik perasaan yang positif maupun yang negatif, tanpa rasa takut, bersalah atau cemas. Menurut Towned (1992), asertivitas adalah perilaku kontinum yang berada di antara perilaku agresif dan perilaku pasif. Perilaku agresif merupakan perilaku yang ekpresif tetapi umumnya bersifat deffensive, bermusuhan serta merusak diri dan orang lain yang sering berakhir dengan rasa frustrasi dan kesepian. Perilaku pasif adalah perilaku atau sikap menghindari konflik dengan orang lain, dengan

20

cara menempatkan keinginan-keinginannya sendiri di bawah keinginan-keinginan orang lain serta mengorbankan keinginan sendiri karena perasaan takut dan kurang percaya diri. Walker dkk, (1981) mengatakan bahwa perilaku asertif adalah ekspresi yang tepat dari beberapa emosi selain kecemasan kepada orang lain. Rathus (1986), menyatakan bahwa orang yang asertif mengekspresikan perasaanperasaan mereka, berdiri pada pendirian mereka dan menolak hal-hal yang tidak sesuai dengan dirinya tetapi tanpa mengesampingkan, menyakiti ataupun mengecilkan arti orang lain, dan orang yang asertif juga tak malu untuk bertemu dan membangun hubungan dengan orang baru dan mampu mengekspresikan perasaan-perasaan positif mereka dengan baik. Ahli lain, Lazarus (dalam Fensterheim, 1980), menyatakan bahwa tingkah laku asertif adalah perilaku yang penuh ketegasan, yang timbul akibat kebebasan emosi dari setiap usaha untuk membela hak-haknya serta adanya keadaan efektif yang mendukung. Pendapat lain dikemukakan oleh Wolpe (1973), bahwa asertivitas adalah pernyataan yang tepat dan dapat diterima oleh lingkungan sosial, tetapi juga

mengandung emosi yang tanpa kecemasan dan tetap memikirkan orang lain. Rich dan Schroeder (dalam Walker dkk., kemampuan 1981) memaknai asertivitas sebagai

untuk mencari, mempertahankan atau meningkatkan penguat

(reinforce) dalam suatu situasi interpersonal melalui pengekspresian perasaanperasaan dirinya. Meskipun pada saat pengekspresian perasaannya tersebut ada resiko kehilangan penguat atau akan mendapat hukuman.

21

Asertivitas juga berkaitan dengan kepereayaan pada diri sendiri, memiliki sikap yang positif pada diri sendiri, memiliki sikap yang positif pada diri sendiri dan orang lain, dan berperilaku terhadap orang lain yang langsung dan jujur. (Towned, 1992). Bersikap jujur dan menaruh hormat pada diri sendiri dan terhadap orang lain secara positif berarti semakin akan meningkatkan asertivitas diri dan orang lain. Selanjutnya (Taubman, 1976) menyatakan bahwa asertif merupakan

ekspresi dari perasaan, keinginan dan kebutuhan. Ekspresi tersebut diwujudkan dalam bentuk tindakan yang didasarkan pada perasaan, keinginan, dan kebutuhan sambil tetap memperhatikan perasaan, keinginan dan kebutuhan orang-orang di sekitarnya. Rimm dan Masters (1974) berpendapat bahwa asertif adalah perilaku interpersonal dari seseorang yang berupa pernyataan mengenai perasaannya, di mana hal itu dikemukakan dengan jujur, langsung dan tidak berbelit-belit. Davis (1981) mengatakan bahwa orang yang asertif adalah orang yang langsung mengarah pada tujuan, jujur dan terbuka serta mempunyai pendirian yang teguh. Pendapat lain mengatakan bahwa seseorang yang asertif adalah orang yang dapat mengenali dirinya sendiri dengan baik, bukan karena pengaruh orang lain, dan mengerti akan hal-hal yang diinginkan serta mengetahui apa yang menjadi tujuan hidupnya (Bloom, dkk, 1985). Ahli lain yaitu Albert dan Emmons (dalam Wolpe, 1973) menyimpulkan bahwa orang yang memiliki perilaku asertif adalah mereka yang menilai bahwa orang berpendapat dengan orientasi dari dalam dan biasanya memperhatikan dengan sungguh-sungguh hak orang lain.

22

Lloyd (1991) berpendapat bahwa asertivitas seseorang secara tak langsung akan membuat orang lain merasa dituntut untuk tidak meremehkan atau menghargai keberadaannya. Hal itu disebabkan dengan bersikap asertif, seseorang akan memandang keinginan, kebutuhan dan hak-haknya sama dengan keinginan, kebutuhan dan hak-hak orang lain. Menurut Spiegler (1983) bahwa perilaku asertif tak selalu tepat atau adaptif. Dalam beberapa situasi, seseorang harus mengukur potensi konsekuensi yang ada, baik untuk diri sendiri maupun orang lain atas perilaku asertifnya.. Di dalam perilaku asertif, komunikasi terjadi secara langsung dan terbuka, sedangkan dalam perilaku agresif komunikasi terjadi untuk mendominasi, mendapatkan apa yang diinginkan dan melakukan sesuatu dengan mengorbankan orang lain. Dengan demikian, orang yang asertif berbeda dengan orang yang tidak asertif. Orang yang tidak asertif terlalu mudah mengalah, mudah merasa tersinggung, cemas, kurang percaya diri dan sukar menyatakan hal yang diinginkan (Fensterheim, 1980). Secara umum orang yang tidak asertif akan terlihat terlalu menekankan kewajiban sosial serta mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi. Bloom, dkk ( 1995) menyatakan bahwa

perilaku yang tidak asertif merupakan perilaku yang tidak menyatakan perasaanperasaan, kebutuhan-kebutuhan serta gagasan dengan tepat serta mengabaikan hak-haknya dan membiarkan orang lain melanggar hak-haknya. Goddard (1981) mengatakan bahwa orang yang tidak asertif mempunyai perasaan bahwa apabila ia mengemukakan hal-hal yang ingin diekspresikan, maka orang lain akan

23

membencinya. Maka perilaku tidak asertif adalah bersifat emosional, tak jujur, terhambat dan terdapat penolakan diri. Berdasarkan beberapa pandangan mengenai perilaku asertif yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa asertivitas adalah suatu hubungan interpersonal yang di dalamnya terdapat pernyataan atau ekspresi dari seseorang mengenai keinginan, perasaan, gagasan, pikiran dan kebutuhan yang dinyatakan secara spontan, langsung, jujur, percaya diri, dan dapat diterima orang lain dengan enak tanpa tekanan tapi tak mengabaikan kepentingan dan perasaan pihak lain serta komunikasi yang teijadi menarik baik secara verbal maupun non verbal.

2. Ciri-ciri Asertivitas Berikut ini akan diberikan beberapa pandangan mengenai ciri-ciri asertivitas. Menurut Goldstein dan Kanfer (1975) ciri-ciri orang yang asertif adalah dapat menguasai diri, dapat merespon hal-hal yang sangat disukainya dengan wajar dan dapat menyatakan kasih sayang dan cintanya kepada orang lain. Perilaku asertif juga dapat muncul dalam bentuk bahasa tubuh. Sependapat dengan hal itu, Rees dan Graham (1991) melontarkan bahwa bahasa tubuh adalah cara berkomunikasi dengan orang lain dengan menggunakan tubuh. Berbahasa tubuh secara asertif dilakukan dengan menyadari apa yang dikatakan dengan tubuh sama halnya dengan menerima pesan dari orang lain.

24

Ahli lain, Albert dan Emmons (dalam Walker dkk., 1981), mengatakan ada beberapa ciri dari perilaku asertif dalam bentuk bahasa tubuh selain verbal, yaitu melakukan kontak mata, postur tubuh yang tegak, gerakan tubuh yang dinamis (gesture), ekspresi wajah yang sesuai dengan apa yang disampaikan, tekanan suara yang mantap, menyatakan sesuatu secara tepat sesuai dengan waktu dan tempat serta penggunaan kata-kata secara tepat. Menurut Woolfolk (dalam Mc. Campbell dan Ruback, 1985) orang yang asertif bersikap fleksibel sehingga dapat tetap menjalin dan menjaga hubungan dengan orang sekitarnya tetap hangat. Mereka juga dapat membantu seseorang supaya mau menerima kekurangankekurangan, membentuk keyakinan diri dan dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya secara baik (Morgan dan Paul, 1980). Bloom (1985) mengatakan bahwa ciri-ciri perilaku asertif adalah adanya kemampuan berkomunikasi yang enak dengan seseorang. Komunikasi tersebut terdiri dari komunikasi verbal (komunikasi yang diungkap secara langsung) dan komunikasi non-verbal yaitu body language seperti mimik, gerakan tubuh, posture, nada dan intonasi dan tertawa dalam intonasi yang relevan. Menurut Rathus (1980) cara berjalan merupakan ciri perilaku asertif, yaitu cara berjalan tegap atau menatap langsung mata lawan bicara. Sedangkan Lazarus (dalam Walker dkk., 1981) orang yang asertif memiliki empat respon yaitu (1) kemampuan untuk memulai, melangsungkan dan menyesuaikan suatu

pembicaraan, (2) kemampuan untuk mengatakan tidak, (3) kemampuan untuk membuat permohonan atau permintaan tolong, (4) kemampuan untuk mengatakan

25

perasaan-perasaan baik yang positif maupun negatif tanpa rasa takut, malu, atau bersalah. Ahli lainnya, Fensterheim dan Baer (1980) mengemukakan empat ciri prinsip perilaku asertif yaitu: a. Merasa bebas untuk menyatakan dirinya sendiri yaitu melalui perkataan dan tindakan, dipikirkan, serta sadar sepenuhnya siapa dirinya. b. Dapat berkomunikasi dengan orang lain dalam semua tingkat dengan cara yang enak dan menyenangkan baik orang itu sudah dikenal sebelumnya atau belum dikenal, komunikasi tersebut berlangsung terbuka, jujur dan langsung. c. Memiliki suatu pandangan yang aktif tentang hidup, tidak pasif dengan kata lain berusaha keras agar keinginan-keinginannya tercapai. d. Bertindak dengan cara terhormat, sopan, tenang dalam mencapai tujuan. Berhasil atau gagal merasa harga dirinya tidak hilang dan tetap memiliki keyakinan diri. Dari ciri-ciri perilaku asertif yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa asertivitas meliputi aspek-aspek (1) Dapat menguasai diri, yaitu dapat bersikap bebas dan menyenangkan,(2) Dapat merespon hal-hal yang disukainya dengan wajar,(3) Berani mengekspresikan perasaan yang

sesungguhnya secara langsung,(4) Bebas menyatakan pendapat, berani menolak permintaan yang tidak beralasan, (5) Berani membela hak-haknya yang sah, (6) Dapat berkomunikasi dengan orang lain dari semua tingkatan secara terbuka, jujur, dan langsung sesuai dengan situasi, (7) Tidak menjauhkan diridari pertemuain-pertemuan, (8) Berani menjalin hubungan dengan orang-orang baru,

26

(9) Mempunyai pandangan yang aktif tentang hidup, (10) Bertindak dengan cara yang dihormatinya sendiri.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi asertivitas Menurut Lloyd (1991), meskipun asertivitas bersifat alamiah, ia bukan sekedar perilaku alamiah. Perilaku tersebut perlu dipelajari dan dikembangkan. Hal itu dikarenakan asertivitas seseorang bisa dipengaruhi oleh berbagai hal. Beberapa ahli mengatakan hal yang berbeda tentang faktor yang mempengaruhi asertivitas. Seorang ahli bernama Haris (1973) berpendapat bahwa asertivitas dipengaruhi oleh pengalaman masa kanak-kanak, yaitu berupa interaksi dengan orang tua maupun anggota keluarga yang akan menentukan pola respon seseorang dalam menghadapi berbagai masalah ketika dewasa nanti. Apabila seorang anak pada masa kanak-kanak selalu mendapat larangan setiap akan melakukan sesuatu, maka hal itu akan membuatnya takut untuk mencoba berbuat hal yang lain. Larangan yang dilakukan terus menerus akan menimbulkan anak yang terlalu berhati-hati dan tidak spontan di dalam mengemukakan perasaannya. Kiecolt dan Mc.Garth (1979) mengatakan bahwa jenis pekerjaan berpengaruh dalam perkembangan asertivitas seseorang. Jenis pekerjaan yang banyak melibatkan individu dengan orang lain akan berpengaruh positif terhadap kemampuan seseorang dalam berperilaku asertif. Hal tersebut dikarenakan oleh banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukan.

27

Ahli yang lain,

Sue dkk.,

(1983) mengatakan bahwa asertivitas

dipengaruhi oleh latar belakang kebudayaan. Penelitian oleh Sue dkk. (1983) tersebut mengatakan bahwa mahasiswa Amerika keturunan Asia umumnya lebih Introvert, tidak asertif dan pasif jika dibandingkan dengan mahasiswa Amerika keturunan Eropa. Schartz dan Gottman (1976) berpendapat bahwa asertivitas juga

dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi dan inteligensi, yaitu individu dengan status sosial ekonomi dan inteligensi tinggi, umumnya akan memiliki nilai yang tinggi juga dalam asertivitas. Faktor lain yang mempengaruhi asertivitas adalah usia. Menurut Baer ( 1976 ) asertivitas berkembang sepanjang hidup manusia. Semakin bertambahnya usia maka pengalaman seseorang juga akan terus berkembang, sehingga dengan semakin kompleksnya pengalaman, seseorang akan dapat belajar mengenai halhal yang positif bagi dirinya. Menurut Firth dan Snyder, (dalam Prabana, 1997) perkembangan asertivitas seseorang dipengaruhi oleh umur dan pendidikan. Hal lain yang merupakan faktor yang mempengaruhi asertivitas adalah harga diri. Bloom (1985) mengatakan bahwa individu dengan harga diri tinggi akan mampu berperilaku asertif dan kemampuannya dalam berperilaku asertif akan meningkatkan harga dirinya. Senada dengan pendapat tersebut, Wolpe (1973) mengatakan bahwa untuk dapat berperilaku asertif, harus ada penerimaan dan penghargaan yang menyangkut harga diri dalam individu yang bersangkutan. Menurut Kimble (dalam Riyanti, 1987) berpendapat bahwa asertivitas dipengaruhi oleh jenis kelamin, di mana di dalam kelompok heterogen pria lebih

28

asertif daripada wanita. Dalam kelompok homogen wanita sama asertifnya dengan laki-laki. Selain itu Bee (1981) mengatakan bahwa laki-laki cenderung terampil, asertif, dan tak mudah terpengaruh, sedangkan pada wanita memiliki sifat hangat, tertahan, bijaksana, lemah lembut, mengerti perasaan orang lain, tergantung dan tidak logis. Massong dkk., (1982) berpendapat bahwa inteligensi merupakan faktor yang mempengaruhi asertivitas. Seseorang yang memiliki cara pandang real, logis, obyektif terhadap berbagai permasalahan dikatakan sebagai orang yang berintelegensi baik dan orang yang asertif umumnya memiliki kriteria yang disebutkan di atas. Dengan demikian, orang yang asertif lebih adaptasi dan menggunakan mekanisme pertahanan diri yang efektif (Massong, dkk., 1982). Sependapat dengan hal itu Mill (dalam Riyanti, 1987) dalam penelitiannya menghasilkan bahwa semakin tinggi inteligensi seseorang, dalam berkomunikasi ia makin asertif. Selanjutnya Fensterheim dan Baer (1980) mengatakan tentang kepribadian sebagai faktor yang mempengaruhi asertivitas. Mereka berpendapat bahwa orang dengan kepribadian ekstrovert lebih asertif dari orang dengan kepribadian introvert. Karena di dalam kepribadian ekstrovert, seseorang lebih bebas dalam mengemukakan pendapatnya dan mudah melakukan hubungan dengan orang lain dan itu merupakan ciri-ciri orang yang asertif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi asertivitas adalah pengalaman masa kanak-kanak, respon orang tua

29

terhadap anak, usia, jenis kelamin, jenis pekeijaan, harga diri, pendidikan, inteligensi, faktor sosial ekonomi, latar belakang kebudayaan serta kepribadian.

4. Manfaat Asertivitas. Perilaku asertif berkaitan erat dengan mekanisme pertahanan diri seseorang. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Massong dkk. (1982) tentang perbedaan mekanisme pertahanan diri antara individu yang asertif dengan individu yang tidak asertif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam menghadapi stres dan konflik, individu yang asertif menggunakan mekanisme pertahanan diri yang asertif dan adaptif yaitu sejalan dengan rasionalisasi dan intelektualisasi. Sedangkan individu yang tidak asertif cenderung menggunakan mekanisme pertahanan diri yang permisif, tidak adaptif dan tidak efektif serta gampang melakukan sesuatu pengrusakan bahkan terhadap diri sendiri. Rimm dan Masters (1974) mengatakan bahwa perilaku asertif dapat menambah perasaan sehat dan memungkinkan seseorang untuk memperoleh penghargaan sosial serta merasa senang, seperti apabila ia menerima penghargaan berupa materi. Sehingga hal ini dapat membantu seseorang untuk memperoleh kepuasan hidup yang lebih besar. Perilaku asertif juga bermanfaat di dalam menjalin hubungan yang baik dengan orang lain. Karena setiap orang menginginkan pribadi sehat yang " welladjusted " lepas dari perasaan cemas dalam pergaulan dengan orang lain. Menurut Goddard (1981) perilaku asertif dapat membantu seseorang di dalam memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, karena dalam aktualisasi diri

30

kebutuhan keterbukaan, kesadaran diri, kemampuan adaptasi dan perhatian terhadap hak-hak orang lain. Pada umumnya penelitian menunjukkan adanya hubungan antara perilaku asertif dengan gangguan psikologis. Lewinston (1980) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa semakin tinggi kemampuan seseorang dalam berperilaku asertif, maka seseorang tersebut tidak mudah terbawa ke dalam situasi depresi. Menurut ahli lain wolpe ( dalam Fensterheim dan Baer, 1990) bahwa perilaku asertif dikatakan sangat mirip dengan relaksasi otot, sehingga hal itu dapat mengurangi kecemasan. Selain itu, kemampuan berperilaku asertif dapat

menurunkan tingkat agresivitas seseorang. Perilaku asertif berkorelasi dengan masalah-masalah psikologis. Keane, dkk., (1982) mengatakan bahwa asertivitas dapat mengurangi kemungkinan seseorang terserang hipertensi atau tekanan darah tinggi. Menurut Rathus (1980) bahwa perilaku yang tidak asertif dapat membuat perilaku menjadi terhambat dan mengandung kecemasan. Sehingga hal tersebut mendukung pendapat Rimm dan Masters (1974) bahwa perilaku asertif dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kesehatan. Sanchez dan Lewinsohn (1980) berpendapat bahwa perilaku asertif juga akan menghindarkan seseorang dari depresi. Mac Neilage serta Adams (1982) berpendapat bahwa adanya perilaku asertif akan dapat membawa seseorang untuk mengembangkan diri. Dengan demikian maka perilaku asertif dapat memungkinkan seseorang untuk mencapai kepuasan hidup yang lebih tinggi.

31

Perilaku asertif menurut Wolpe (1973) dapat dilatih, dan memiliki dua manfaat pokok dari adanya latihan perilaku asertif. Manfaat yang pertama adalah dapat memberi arti yang positif dan adaptif, sehingga akan dapat terhindar dari timbulnya perasaan cemas dan dari adanya latihan asertif maka seseorang akan tertolong dalam menghadapi kecemasan. Manfaat yang kedua adalah dapat untuk meningkatkan rasa percaya diri, dengan demikian akan tumbuh suatu pandangan hidup yang optimis dalam diri seseorang dan mampu mengendalikan diri dengan baik. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa perilaku asertif sangat berperan dalam tercapainya hubungan yang harmonis dengan orang lain. Perilaku asertif membentuk seseorang ke dalam kondisi mental yang sehat dan memungkinkan seseorang dapat mengungkapkan perasaan-perasaan, keinginan tanpa adanya keraguan sehingga tidak akan dapat menimbulkan kecemasan dalam dirinya ataupun gangguan lainnya.

C. POLAASUH Dalam suatu rentang kehidupan manusia, diperlukan orang lain untuk dapat bertahan hidup. Sebagai mahluk sosial, ia memerlukan orang lain sebagai pembimbing baginya, pemberi tauladan, dan seseorang yang kiranya dapat diandalkan ketika ia mengalami kesulitan. Orang tua di dalam sebuah keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, merupakan lingkungan pertama yang dikenal oleh anak. Mereka memiliki hubungan yang erat satu dengan yang lain dan hubungan tersebut akan berjalan terus selama mereka hidup. Konsekuensi yang timbul dari

32

adanya hubungan itu adalah pola asuhan orang tua. Sebagai lingkungan awal yang dikenal oleh anak, interaksi di antara mereka akan berpengaruh dalam proses perkembangan seseorang dan sebagai pengasuh anak, orang tua sangat berperan di dalam meletakkan dasar keperibadian pada anak. Perlakuan dan sikap yang diberikan orang-tua selama periode

perkembangan tidak sama pada setiap orang. Setiap orang akan mempraktekkan ciri-ciri pengasuhan yang berbeda dan tentunya juga akan memunculkan perbedaan karakteristik anaknya kelak. Ciri-ciri yang berbeda yang terdapat dalam gaya pengasuhan orang tua menjadi faktor penting yang membedakan bentuk kepribadian maupun perilaku pada remaja di kemudian hari. Suatu kegiatan pengasuhan anak, tak hanya diartikan bagaimana orang tua memperlakukan seorang anak, namun di dalamnya termasuk bagaimana cara mendidik, membimbing, mendisiplinkan dan melindungi anak sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat, sehingga anak akan dapat mencapai tahap perkembangannya.

1. Pengertian Pola Asuh Berbagai ahli melontarkan pendapat yang berbeda tentang pengertian pola asuh. Menurut Baumrind (1971), pola asuh merupakan Parental Control, artinya pola asuh adalah cara orang tua memberikan asuhan dengan mengontrol anak atau pola asuh adalah kontrol dari orang tua terhadap anak dalam berperilaku. Menurut Kohn (1971) pola asuh merupakan cara orang tua berinteraksi dengan anaknya yang meliputi pemberian aturari, hadiah, hukuman, perhatian serta tanggapan

33

terhadap anaknya. Disini sangat jelas terlihat bahwa orang tua memiliki peran yang sangat besar terhadap anak dalam masa perkembanganya. Sejalan dengan itu, Haditono (1979) mengatakan bahwa peranan dan bantuan orang tua terhadap anak tercermin dalam pola asuhannya. Mouly (1982) berpendapat bahwa pola asuh orang tua merupakan hal yang sangat penting dalam pembentukan pribadi anak, sehingga seseorang akan besar ketergantungan bergantung pada pola asuh orang-tua. Seorang ahli lain Hurlock (1973), mengatakan bahwa tujuan dari pola asuh adalah mendidik anak agar dapat menyesuaikan diri terhadap pengharapan sosial dalam tingkatan yang layak atau dapat diterima oleh masyarakat. Dari berbagai macam pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah kontrol dari orang tua terhadap anak dalam berperilaku dan suatu pola interaksi antara orang tua dengan anak yang meliputi pemberian aturan, mekanisme hadiah dan hukuman, perhatian serta tanggapan terhadap anaknya dalam usaha mencapai kedewasaan sesuai dengan norma sosial yang ada. Dalam penelitian ini pola asuh dibedakan menjadi tiga, yaitu pola asuh otoriter, demokratis dan permisif.

2. Macam-macam Pola Asuh Para ahli memiliki pendapat yang beragam mengenai macam-macam

pola asuh. Mamburger (dalam Haditono, 1979) membedakan pola asuh menjadi dua tipe. Tipe yang pertama mementingkan penguatan atau reinforcement yang

34

mencerminkan pola asuh suportif yang bercirikan sikap orang tua yang senantiasa memberikan dukungan, hadiah dan pujian kepada anak. Tipe yang kedua

menekankan pada soal hukuman. Ini mencerminkan pola asuh bertipe keras dengan ciri-ciri orang tua yang suka memberikan kritik, menghukum dan mencela terhadap anak. La Fore (dalam Jersild, 1975) membedakan pola asuh orang tua menjadi empat model. Pertama adalah Dictators, yang memiliki ciri orang tua mengikuti pendekatan secara diktator, menekankan adanya kewajiban dan sikap hormat. Kedua, adalah Cooperators, berciri orang tua bersikap ramah, perlakuan terhadap anak atas dasar saling menghormati dan mementingkan adanya keterbukaan. Ketiga adalah Temporizers, dengan ciri pendekatan orang tua lebih bersifat situasional, orang tua tidak mengikuti pola asuh yang konstan. Jika situasinya menyenangkan, maka juga menjadi menyenangkan. Namun jika situasinya sulit di atasi, maka mereka bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Terakhir adalah Appeasers, dengan ciri orang tua bersifat damai dan tampaknya takut pada anak. Orang tua cenderung menjauhi dari persoalan yang dihadapi. Pendapat lain dikemukakan oleh Hurlock (1976). Ia menyebutkan ada tiga model pola asuh ; pola asuh yang pertama adalah otoriter, yang berciri anak harus selalu patuh dan tunduk, orang tua memaksakan kehendaknya, pengontrolan tingkah laku anak sangat ketat dan sering menghukum. Model yang kedua adalah demokratis, yang memiliki ciri anak diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan diri, keberadaan anak diakui oleh orang tuanya ikut dilibatkan

35

dalam setiap pengambilan keputusan, anak menetapkan segala peraturan kehidupannya sendiri. Model yang ketiga adalah permisif, dengan ciri adanya orang tua yang bersikap longgar, kurang kontrol, orang tua terlalu memberi kebebasan, dan orang tua sangat kurang dalam membimbing anak. Baumrind (1971) membedakan pola asuh menjadi tiga. Pertama, otoritatif, yang mempunyai ciri orang tua mengontrol dan menuntut tetapi dengan sikap yang hangat, ada komunikasi timbal balik antara orang tua dengan anak yang dilakukan secara rasional. Pola asuh ini merupakan gabungan dari adanya kontrol yang kuat dan dorongan yang positif. Kedua, otoriter, bercirikan orang tua suka mendikte dan mengontrol anak dengan keras dan kaku, selalu menuntut kepatuhan anak dan hubungan dengan anak kurang hangat. Orang tua tidak mendorong anak untuk mandiri. Ketiga, permisif, yang memiliki ciri orang tua tidak pernah menghukum, keinginan-keinginan dan sikap serta perilaku anak selalu diterima dan disetujui, orang tua tidak menuntut anak untuk bertanggung jawab terhadap urusan rumah tangga. Kehadiran orang tua merupakan sumber bagi tercapainya keinginan anak, orang tua kurang mendorong atau melatih anak untuk menaati aturan-aturan yang berlaku. Orang tua bukan merupakan tokoh yang aktif dan kurang bertanggung jawab terhadap perilaku anak saat ini dan saat depannya. Dengan demikian ciri-ciri pola asuh otoriter dan permisif yang

dikemukakan oleh Baumrind (1971) tidak jauh berbeda dengan ciri-ciri pola asuh otoriter dan permisif yang dikemukakan oleh Hurlock (1973). Sedangkan pola asuh authoritative memiliki ciri-ciri yang hampir serupa dengan pola asuh demokratis, yaitu orang tua memberikan arah kepada anak, memberikan

36

penjelasan rasional tentang kebijakan yang diambilnya, memberikan otonomi kepada anak tetapi dengan disiplin, memberi kebebasan dan mengontrol anak dan yang terakhir adalah adanya saling memberi dan menerima antara orang tua dan anak. Bentuk pola asuh-pola asuh di atas, dapat dipakai orang tua untuk

membantu anak mengembangkan kontrol diri sehingga anak dapat mengambil keputusan-keputusan secara tepat di dalam berperilaku. Dalam penelitian ini, yang penulis gunakan adalah model pola asuh dari Hurlock, karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua yang bersifat otoriter, demokratis dan permisif dengan asertivitas pada remaja. Selain itu masih dalam rentang tahun yang tidak terlalu jauh yaitu tahun 1991 sampai saat ini.

D. Hubungan Antara Pola Asuh Dengan Asertivitas Remaja Pola asuh orang tua sebagai sikap orang tua dalam berhubungan dengan anak-anak dalam memberi peraturan, cara memberikan hadiah dengan hukuman serta cara orang tua memberikan perhatian atau tanggung jawab terhadap keinginan anak akan sangat berperan dalam menentukan pembentukan penalaran kesadaran, sikap dan perilaku di masa mendatang, termasuk di dalamnya perilaku asertif. Hal tersebut sependapat dengan Hurlock (1973) bahwa keluarga mendasari pembentukan sikap dan pola perilaku remaja. Pola asuh dalam keluarga dibagi tiga yaitu otoriter, demokratis dan permisif (Hurlock, 1973). Pola asuh demokratis merupakan kondisi yang sangat

37

efektif dalam menolong individu dan mencapai pembentukan identitas diri (Becker, dalam Santhoso dan Indati, 1990). Dengan pola asuh ini remaja dapat menemukan jati dirinya dan mencapai proses tumbuh kembang yang optimal, termasuk didalamnya asertivitas. Pada pola asuh demokratis orang tua cenderung memberikan dorongan pada perilaku dalam berperilaku. Remaja diberi hak untuk mengetahui alasan kenapa suatu aturan diterapkan. Orang tua memberi

kesempatan pada remaja untuk menjelaskan perilakunya, bahkan ketika seorang remaja telah melanggar aturan orang tua dengan pola asuh ini sebelum hukuman _ dijatuhkan masih memberi reward pada perilaku remaja. Remaja dengan pola asuh demokratis akan nampak lebih percaya diri, mampu mengekspresikan -emosinya dengan baik, mampu berinteraksi dengan orang lain, merasa lebih aman bergaul dengan teman sebaya, bertanggung jawab dan mandiri, remaja mampu membicarakan masalahnya dengan orang tua sehingga ia mendapat arahan dan bimbingan yang benar. Remaja dengan tipe pola asuh ini akan lebih bersikap asertif dalam menyingkapi persoalan hidup. Pola asuh demokratis orang tua

memberikan sumbangan terhadap asertivitas remaja. Pada pola asuh permisif orang tua cenderung membebaskan remaja untuk berbuat sesuai keinginan sehingga remaja cenderung mengalami kebingungan ketika berperilaku. Akibatnya perilaku yang timbul hanya mengikuti orang lain atau yang dianggap figur yang terkadang kurang bisa dipertanggungjawabkan. Orang tua tidak memberikan aturan tertentu, hukuman jarang diberikan dan remaja dianggap sebagai hadiah. Pola asuh ini menghasilkan remaja yang bebas, segala perbuatan dibenarkan, kurang bertanggung jawab, tidak matang, sukar

38

dikendalikan dan suka menentang norma dan aturan orang tua. Pola asuh ini akan menghasilkan remaja yang tidak asertif. Pola asuh orang tua secara permisif menghambat terbentuknya asertivitas remaja, di mana remaja tidak diberikan disiplin sebagai upaya menuju terbentuknya perilaku asertif pada remaja. Pada pola asuh otoriter, orang tua cenderung membatasi setiap perilaku dengan aturan yang keras dan tegas sehingga remaja tertekan dalam berperilaku dan menjadi kurang berani, ragu-ragu dalam menentukan sikap dan perilaku. Hukuman selalu diterapkan, terkadang keras, kejam dan tak ada kesempatan untuk menerangkan kesalahan yang terjadi dan tak ada penghargaan bagi remaja walaupun melakukan perilaku yang baik. Dengan pola asuh ini, remaja akan tampak kurang percaya diri, kurang mampu mengekpresikan emosi, menarik diri dari pergaulan dengan teman sebaya. Kontrol ketat dari orang tua menyebabkan remaja takut untuk berbuat sesuatu termasuk juga takut untuk berperilaku. Gaya pola asuh ini akan menghasilkan remaja yang kurang asertif. Pengasuhan orotiter dari orang tua menghambat remaja untuk mengekspresikan perasaan dan keinginan dan kebutuhan dirinya untuk dapat terus berkembang. Menurut Hurlock (1973) hubungan orang tua dengan anaknya yang kemudian disebut pola asuh mempengaruhi perilaku remaja, sikap terhadap orang lain dan motivasi untuk berusaha menyesuaikan diri dengan harapan sosial. Pengaruh yang kuat dari orang tua mengakibatkan remaja tergantung, kurang percaya diri, lemah konsep diri dan kurang berkemampuan untuk berinteraksi atau berinisiatif Baumrind (1971).

39

Pada perkembangan emosi remaja yang belum matang membawa remaja pada kegelisahan batin, perasaan tertekan, kesal, canggung, ingin marah dan mudah tersinggung ( Mulyono, 1986 ). Maka diperlukan pemahaman dari orang tua terhadap kondisi remaja, diantaranya dengan memahami perasaan remaja, mendiskusikan masalah yang sedang dialami remaja. Dalam perkembangan sosial remaja terjadi dua macam gerak, yaitu gerak menuju teman sebaya dan gerak menjauhi orang tua. Pada hubungannya dengan asertivitas, orang tua hendaknya tetap memberikan kesempatan yang luas bagi remaja walaupun remaja pada saat ini lebih dekat dengan teman sebaya,yaitu dengan pengasuhan yang demokratis. Penelitian yang dilakukan oleh Afiatin, dkk. ( 1994 ) menunjukkan bahwa remaja yang mengalami masalah dengan kepercayaan diri lebih banyak emnyampaikan permasalahan yang dialami kepada teman sekolahnya daripada menyampaikan pada guru, orang tua, atau masyarakat lainnya. Maccoby (dalam Arini, 1996) mengatakan bahwa disiplin yang terlalu kaku akan menyebabkan remaja menjadi terlalu penurut, mudah disugesti, penakut, kurang tekun, suka bertengkar, menentang dan agresif. Orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis akan memberikan contoh pada remaja berpartisipasi, diskusi, mendukung dan menerapkan logika dalam berargumentasi, hangat, membebaskan dalam batas-batas tertentu, Baumrind (1971). Pola asuh demokratis diduga juga menumbuhkan remaja yang dapat mengendalikan diri atau perilakunya sendiri. (Baumrind, dalam Sukadji dan Badingah, 1994). Menurut Hetherington dan Parke (1970) pola asuh demokratis membentuk inisiatif dan rasa

40

tanggung jawab yang besar pada remaja. Baldwin (dalam Arini,

1996)

berpendapat bahwa pola asuh demokratis menghasilkan remaja yang mampu menjalin interaksi sosial, yaitu mampu menggunakan persuasi verbal maupun kekuatan fisik secara efektif untuk mencapai tujuan mereka dan remaja menjadi tidak mudah terpengaruh. Remaja dari keluarga demokratis memiliki sikap yang aktif tidak takut bersaing, kreatif, mudah menyesuaikan diri, dan cenderung agresif. Sikap dari orang tua yang hangat, menerima dan menghargai remaja. Mendorong remaja untuk memiliki kepercayaan diri dan dapat memandang lingkungannya secara positif, (Baldwin, dalam Mussen, 1979). Ahli lainnya, yaitu Symonds ( dalam Mouly, 1968) bahwa remaja dari keluarga demokratis memiliki sikap yang hangat, berpikir positif dan mudah bergaul. Menurut Hetherington dan Parke (1970) pada pola asuh permisif akan membentuk remaja yang kurang bertanggung jawab, sukar dikendalikan, suka menentang aturan orang tua dan norma masyarakat. Pada penelitian yang dilakukan oleh Winder dan Ran (dalam Bee, 1983) menunjukkan bahwa pola asuh otoriter memiliki hubungan yang positif dengan ketergantungan anak. Hurlock (1978) berpendapat bahwa remaja dengan pola asuh otoriter cenderung agresif pada yang lemah, menyangkal pendapat orang lain dan memiliki fantasi yang negatif terhadap orang lain. Smith (dalam Tilker, 1975) mengungkapkan bahwa adanya sikap dari orang tua yang menolak dan memusuhi remaja akan meningkatkan sikap tergantung pada laki-laki. Asertivitas remaja sebagai kemampuan remaja untuk mengekpresikan perasaan, memilih cara untuk bertindak, mengungkapkan hak-haknya pada saat

41

yang tepat, menyatakan ketidaksetujuannya pada orang lain pada saat yang penting dan mampu meminta orang lain untuk mengubah perilakunya tanpa melukai perasaannya tersebut, maka kesemuanya itu dipengaruhi oleh

pengalamannya di masa lalu, yaitu pengalaman kanak-kanak. Pada saat itu anak sebagai yang diasuh oleh orang tua akan mendapatkan asuhannya dari orang tua. Pola asuhannya berbeda dari satu orang tua dengan orang tua lainnya yang akan membawa anak pada bentuk perilaku yang berbeda sesuai dengan pola yang diberikan oleh orang tuanya. Dengan demikian, remaja dengan pola asuh orang tua memakai tipe demokratis akan bersikap lebih asertif dibanding dengan remaja yang mendapat pola asuh dari orang tua secara otoriter atau permisif. Asumsi tersebut diperoleh dari adanya akibat perilaku bagi remaja yang disebabkan oleh pola asuhan dari orang tua.

E. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara pola asuh demokratis orang tua dengan asertivitas remaja. Semakin tinggi pola asuh demokratis orang tua semakin tinggi asertivitas. Semakin rendah pola asuh demokratis orang tua semakin rendah asertivitas.

Anda mungkin juga menyukai