Anda di halaman 1dari 20

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, selain penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi anamnesis dan pemeriksaan fisik umum serta neurologi harus segera dilakukan secara serentak agar dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.1 Setiap tahun, cedera kepala berkontribusi pada sejumlah besar kematian dan kasus-kasus cacat permanen. Bahkan, cedera kepala adalah satu faktor (30,5%) dari semua kematian terkait cedera di Amerika Serikat. Rata-rata, sekitar 1,7 juta orang menderita cedera kepala setiap tahunnya.2 Di Indonesia jumlah kecelakaan lalu lintas meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data Kantor Kepolisian Republik Indonesia (1992-2009) tahun 2007 terdapat 49553 orang dengan korban meninggal 16955 orang, luka berat 20181, luka ringan 46827. Tahun 2008 jumlah kecelakaan 59164, korban meninggal 20188, luka berat 23440 yang menderita luka ringan 55731 orang. Kematian sebagai akibat dari cedera kepala yang dari tahun ke tahun semakin bertambah, pertambahan angka kematian ini antara lain karena jumlah penderita cedera kepala yang bertambah dan penanganan yang kurang tepat atau sesuai dengan harapan kita angka kejadian cedera kepala (58%) laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi dikalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga kesalamatan di jalan masih rendah disamping penanganan penderita yang belum benar dan rujukan yang terlambat.1

Berdasarkan atas penurunan tingkat kesadaran serta ada tidaknya defisit neorologis fokal penderita cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, morfologi, dan keparahan cedera kepala. Berdasarkan mekanisme cedera kepala dikelompokkan menjadi 2, yaitu cedera kepala tertutup dan cedera kepala dengan penetrasi atau luka tembus. Berdasarkan atas morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi cedera kepala dengan fraktur tengkorak dan cedera kepala dengan lesi intrakranial. Berdasarkan atas derajat beratnya cedera kepala dikategorikan menjadi cedera kepala ringan, cedera kepala sedang, cedera kepala berat. Kualitas pertolongan pertama penderita cedera akan meningkatkan keberhasilan penanganan pada periode berikutnya.1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Cedera kepala dapat didefinisikan sebagai setiap perubahan dalam fungsi mental atau fisik yang berkaitan dengan trauma pada kepala. Kehilangan kesadaran tidak harus selalu terjadi. Tingkat keparahan cedera kepala ini sering diklasifikasikan berdasarkan skor Glasgow Coma Scale (GCS) skor, yang merupakan penjumlahan numeric dari mata, motorik, dan kemampuan verbal. Skor 13-15 menunjukkan cedera ringan, skor 9-12 menunjukkan cedera sedang, dan skor 8 atau kurang menunjukkan cedera parah.3 Dalam beberapa tahun terakhir, bagaimanapun, beberapa studi telah memasukkan pasien dengan skor 13 dalam kategori sedang, sementara hanya pasien dengan skor 14 atau 15 telah dimasukkan sebagai ringan.4 Tabel 1. Skala Koma Glasgow3

2.2 Etiologi Penyebab paling umum dari cedera kepala otak parah termasuk pukulan ke kepala, jatuh, penyerangan atau kekerasan lain, kecelakaan mobil, olahraga dan kegiatan rekreasi. Peristiwa ini dapat menyebabkan lesi atau massa, seperti hematoma dan kontusio.5

Gambar 1. Penyebab cedera kepala pada orang dewasa6

2.3 Insidensi Di Amerika serikat, 1,5 juta orang mengalami cedera kepala setiap tahunnya. Sedangkan menurut CDC, 50.000 orang meninggal setiap tahunnya di Amerika Serikat akibat cedera otak. Hampir dua kali dari angka ini mengalami kecacatan fisik akibat cedera otak. Laki-laki lebih banyak dirawat akibat cedera kepala dibandingkan dengan wanita dan hamper setengah dari jumlah pasien dengan cedera kepala berumur 24 tahun atau lebih muda.4

2.4 Patofisiologi Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis bergantung pada : 1. Besar dan kekuatan benturan 2. Arah dan tempat benturan 3. Sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturan

Sehubungan dengan berbagai aspek benturan tersebut maka dapat mengakibatkan lesi otak berupa : Lesi bentur (Coup) Lesi antara (akibat pergeseran tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan otak, peregangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-lain = lesi media) Lesi kontra (counter coup)7

Gambar 2. Lesi akibat Coup dan Counter coup6

Lesi benturan otak menimbulkan beberapa kejadian berupa : 1. Gangguan neurotransmitter sehingga terjadi blok depolarisasi pada sistem ARAS (Ascending Reticular Activating System yang bermula dari brain stem) 2. Retensi cairan dan elektrolit pada hari pertama kejadian 3. Peninggian tekanan intra kranial ( + edema serebri) 4. Perdarahan petechiae parenchym ataupun perdarahan besar 5. Kerusakan otak primer berupa cedera pada akson yang bisa merupakan peregangan ataupun sampai robeknya akson di substansia alba yang bisa meluas secara difus ke hemisfer sampai ke batang otak 6. Kerusakan otak sekunder akibat proses desak ruang yang meninggi dan komplikasi sistemik hipotensi, hipoksemia dan asidosis

Akibat adanya cedera otak maka pembuluh darah otak akan melepaskan serotonin bebas yang berperan akan melonggarkan hubungan antara endotel dinding pembuluh darah sehingga lebih perniabel, maka Blood Brain Barrier pun akan terganggu, dan terjadilah oedema otak regional atau diffus (vasogenik oedem serebri). Oedema serebri lokal akan terbentuk 30 menit sesudah mendapat trauma dan kemudian oedema akan menyebar membesar. Oedema otak lebih banyak melibatkan sel-sel glia, terutama pada sel astrosit (intraseluler) dan ekstraseluler di substansia alba. Dan ternyata oedema serebri itu meluas berturut-turut akan mengakibatkan tekanan intra kranial meninggi, kemudian terjadi kompresi dan hypoxic iskhemik hemisfer dan batang otak dan akibat selanjutnya bisa menimbulkan herniasi transtetorial ataupun serebellar yang berakibat fatal.7 Ada sekitar 60-80 % pasien yang meninggal dikarenakan menderita trantetorial herniasi dan kelainan batang otak tanpa adanya lesi primer akibat trauma langsung pada batang otak. Kerusakan yang hebat yang disertai dengan kerusakan batang otak akibata proses diatas mengakibatkan kelainan patologis nekroskortikal, demyelinisasi diffus, banyak neuron yang rusak dan proses gliosis, sehingga jika penderita tidal meninggal maka bisa terjadi suatu keadaan vegetatif dimana penderita hanya dapat membuka matanya tanpa ada daya apapun (akineticmutism/coma vigil, apallic state, locked in syndrome).7 Akinetic mutism coma vigil lesi terutama terjadi pada daerah basal frontal yang bilateral dan/atau daerah mesensefalon posterior. Locked in syndrome kerusakan terutama pada eferen motor pathway dan daerah depan pons. Apallic states kerusakan luas pada daerah korteks serebri. Sistem peredaran darah otak mempunyai sistem autoregulasi untuk mempertahankan Cerebral Blood Flow (CBF) yang optimal sehingga Tekanan Perfusi Otak (TPO) juga adekuat (TPO minimal adalah sekitar 40-50 mmHg untuk mensuplai seluruh daerah otak). Jika Tekanan Intra Kranial (TIK) meninggi maka menekan kapiler serebral sehingga terjadi serebral hipoksia diffus mengakibatkan kesadaran akan menurun.7 Peninggian TIK mengakibatkan CBF dan TPO menurun, maka akan terjadi kompensasi (Cushing respons), penekanan pada daerah medulla oblongata, hipoksia pusat vasomotor, sehingga mengakibatkan kompensasi vasokonstriksi perifer (peninggian tekanan darah sistemik) bradikardi,, pernafasan yang melambat

dan muntah-muntah. TIK yang meninggi mengakibatkan hypoxemia dan respiratori alkalosis (PO2 menurun dan PCO2 meninggi) akibatnya terjadi vasodilatasi kapiler serebral. Selama pembuluh darah tersebut masih sensitif terhadap tekanan CO2), maka CBF dan TPO akan tercukupi.

Gambar 3. Skema patofisiologi cedera kepala8

Jika kenaikan TIK terlalu cepat maka Cushing respons tidaklah bisa selalu terjadi. Demikian pula jika penurunan tekanan darah sistemik terlalu cepat dan terlalu rendah maka sistem autoregulasi tidak dapat berfungsi dan CBF pun akan menurun sehingga fungsi serebral terganggu. Selain yang tersebut diatas peninggian TIK juga dapat menyebabkan gangguan konduksi pada pusat respirasi dan pusat kardiovaskuler di batang otak. Akibatnya nadi berubah cepat dan lemah serta tekanan darah sistemik akan menurun secara drastis. Respirasi akan berubah irreguler, melambat dan steatorous. Pada cedera otak berat terjadi gangguan koordinasi di antara pusat pernafasan volunter di korteks dengan pusat pernafasan automatik di batang otak. Ternyata bahwa herniasi serebellar tonsil ke bawah yang melewati foramen magnum hanya mempunyai efek yang minimal terhadap sistem kecepatan dan ritme pernafasan, kecuali jika herniasinya memang sudah terlalu besar maka tiba-tiba saja bisa terjadi respiratory arrest.7

2.5 Klasifikasi Cedera kepala berat dibagi dibagi menjadi dua bagian, masing-masing dijelaskan di bawah ini oleh sebab-sebab yang terkait 1. Tertutup - cedera pada otak yang disebabkan oleh pergerakan otak di dalam tengkorak. Penyebab yang mungkin termasuk jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor, baik disambar atau bertabrakan langsung dengan obyek. 2. Menembus - cedera pada otak yang disebabkan oleh benda asing yang memasuki tengkorak. Penyebab mungkin termasuk cedera senjata api atau dipukul dengan benda tajam.2

2.6 Gejala Klinis Pasien dengan cedera kepala berat memiliki GCS kurang dari 8. Selain itu dapat disertai gejala ketidaksadaran, baik dalam waktu singkat (gegar otak) atau untuk jangka waktu yang lebih lama, kesulitan untuk tetap terjaga atau masih mengantuk beberapa jam setelah cedera, mengalami kejang, kesulitan berbicara (seperti bicara cadel), masalah penglihatan atau penglihatan ganda, kesulitan memahami apa yang dikatakan orang, masalah dalam membaca atau menulis, masalah keseimbangan atau kesulitan berjalan, hilangnya kontrol bagian tubuh,

seperti kelemahan pada lengan atau kaki, amnesia (seperti tidak bisa mengingat apa yang terjadi sebelum atau setelah cedera), cairan yang keluar dari hidung atau telinga (ini bisa saja cairan serebrospinal), memar sekitar mata (Racoons eyes), perdarahan dari satu atau kedua telinga, kehilangan pendengaran pada satu atau kedua telinga, memar di belakang salah satu atau kedua telinga (battles sign), sakit kepala yang berlangsung sejak cedera, muntah, apatis, pendarahan terbuka dll.

Gambar 4. Beberapa gambaran klinis cedera kepala berat9

Gambar 5. Racoon eyes dan battle sign10

Tabel 2. Skor dan penilaian Skala Koma Glasgow11

2.7 Penatalaksanaan Awal Penanganan yang cepat dan tepat sangat diperlukan pada pasien dengan cedera kepala berat, karena sedikit keterlambatan akan mmpunyai risiko terbesar berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas di sini dapat berakibat fatal.12 Penatalaksanaan kasus cedera kepala berat mencakup beberapa tahap: Stabilisasi kardiopulmuner mencakup prinsip-prinsip ABC (AirwayBreathing-Circulation). Keadaan hipoksemia, hipotensi dan anemia akan cenderung memperhebat peninggian tekanan intracranial dan menghasilkan prognosis yang lebih buruk. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau gangguan-gangguan di bagian tubuh lain. Pemeriksaan neurologis lain mencakup skala koma Glasgow, pemeriksaan pupil, reflex okulosefalik dan refrelks okulovestibuler. Penilaian neurologis kurang bermanfaat bila tekanan darah pnderita masih rendah. Penanganan cedera-cedera di bagian lain

10

Pemberian pengobatan seperti: antiedema serebri, antikejang, dan natrium karbonat Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti CT Scan kepala, MRI, angiografi dll.12

Gambar 6. Jalur klinis evaluasi pasien dengan cedera kepala berat13

11

1. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC) Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama adalah: a. Jalan nafas (Airway) Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi, kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan.14

Gambar 7. Posisi eksensi kepala (kiri)15, pipa orofaring (kanan)16

b. Pernafasan (Breathing) Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medulla oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation.14

Gambar 8. Pola nafas pada kelainan sentral17

12

Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai ventilator.14

c. Sirkulasi (Circulation) Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah yang hilang dengan plasma atau koloid,kristaloid, atau darah.

2. Pemeriksaan fisik Setalah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bias diartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.14

3.

Pemeriksaan radiologi Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada dan

abdomen dibuat atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematom intracranial. Menurut panduan SIGN (Scottish Intercollegiate Guidelines Network) tahun 2009, pasien yang harus segera dilakukan CT scan adalah pasien-pasien dengan gambaran klinis sebagai berikut: Mata membuka hanya dengan rangsangan nyeri atau tidak membuka sama sekali Dicurigai terdapat fraktur di dasar temgkorak atau kecurigaan terhadap luka tembus pada tengkorak Tanda baru dari kelainan neurologi fokal

13

Pasien sadar penuh dan tanpa fraktur namun memiliki gambaran klinis seperti sakit kepala berat dan terus-menerus, dua episode muntah Riwayat dari koagulopati dan riwayatt kehilangan kesadaran, amnesia atau gambaran lain dari neurologis3,14

4. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK) Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematomintrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut: Hiperventilasi Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas dgnmengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom.

Drainase Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka

pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus.

Terapi diuretik Dalam hal ini digunakan diuretik osmotik (manitol 20%). Manitol

merupakan osmosis diuretis. Efek ekspansi plasma, menghasilkan gradient osmotik dalam waktu yang cepat dalam beberapa menit. Memberikan efek optimalisasi reologi dengan menurunkan hematokrit, menurunkan viskositas darah,

meningkatkan aliran darah serebral, meningkatkan mikrosirkulasi dan tekanan perfusi serebral yang akan meningkatkan penghantaran oksigen dengan efek samping reboun peningkatan tekanan intrakranial pada disfungsi sawar darah otak

14

terjadi skuestrasi serebral, overload cairan, hiponatremi dilusi, takipilaksis dan gagal ginjal (bila osmolalitas >320 ml osmol/L. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan. Cara pemberiannya : Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm.14,18 Sedangkan yang disebutkan pada Neurologi Update 2008 manitol diberikan pada pasien koma, pupil reaktif kemudian menjadi dilatasi dengan atau tanpa gangguan motorik, pasien dengan pupil dilatasi bilateral non reaktif dengan hemodinamik normal dosis bolus 1 g/kgBB dilanjutkan dengan rumatan 0,25- 1 g/kgBB Usahakan pertahankan volume intravaskuler dengan mempertahankan osmolalitas serum < 320 ml osmol/L.18

Loop diuretik (Furosemid) Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan

cairan cerebrospinal

dan menarik cairan

interstitial pada edema sebri.

Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotic serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv.18

Terapi barbiturat (Fenobarbital) Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap semua

jenis terapi yang tersebut diatas. Cara pemberiannya: Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.14

Streroid Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi

menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala. Sumber lain juga menyebutkan bahwa

15

steroid tidak direkomendasikan penggunaannya untuk menurunkan tekanan intrakranial baik dengan methyl prednisolon maupun dexamethason. Dearden dan Lamb meneliti dengan dosis > 100 mg/hari tidak memberikan perbedaan signifikan pada tekanan intracranial dan setelah 1-6 bulan tidak ada perbedaan outcome yang signifikan. Efek samping yang dapat terjadi hiperglikemia (50%), perdarahan traktus gastrointestinal (85%).14,18

Posisi Tidur Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan

bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.14

Keseimbangan cairan elektrolit Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya

edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretic hormon (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar eletrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.14

Nutrisi Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali

normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah danakan

16

bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari.14 Sumber lain menyebutkan dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik, kehilangan kurang lebih 15% berat badan tubuh per minggu. Penurunan berat badan melebihi 30% akan meningkatkan mortalitas. diberikan kebutuhan metabolism istirahat dengan 140% kalori/ hari dengan formula berisi protein > 15% diberikan selama 7 hari. Pilihan enteral feeding dapat mencegah kejadian hiperglikemi, infeksi.18

Epilepsi/kejang Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early

epilepsi dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih sering timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik yang panjang. Pengobatan: Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik panjang

5. Sedasi dan Analgesia Sedasi dan analgesia diindikasikan untuk cedera kepala berat. Hipnotik seperti propofol dan midazolam adalah obat-obatan yang paling mungkin digunakan. Midazolam memiliki efek terkait dosis dan propofol dapat menyebabkan hipotensi bila diberikan secara bolus pada pasien hipovolemik. Intravena lidokain (1,5 mg / kg) berguna dalam menumpulkan peningkatan TIK

17

saat intubasi endotrakeal tetapi tidak ada penelitian menunjukkan bahwa hal ini adalah membantu membuat hasil pasien lebih baik. Fentanil atau morfin adalah obat yang paling banyak digunakan untuk analgesia. Relaksasi otot dapat digunakan untuk memfasilitasi intubasi endotrakeal; suxamethonium, rocuronium atau vecuronium adalah obat yang paling banyak digunakan untuk tujuan ini. Sedasi / analgesia harus dilanjutkan menggunakan obat yang short-acting sehingga penilaian neurologis dapat dibuat secara berkala di UGD. Obat perelaksasi otot harus dihindari jika mungkin.19

2.8 Komplikasi Infeksi Profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi seperti: pada fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis kranii.

Demam Kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan menambah

kerusakan sekunder, sehingga memperburuk prognosa. Oleh karena itu setiap kenaikan suhu harus diatasi dengan menghilangkan penyebabnya, disamping tindakan menurunkan suhu dengan kompres.

Gastrointestinal: Pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain,

10-14% diantaranya akan berdarah. Keadaan ini dapat dicegah dengan pemberian antasida atau bersamaan dengan H2 reseptor bloker.

Kelainan hematologi Kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia, hipo hiperagregasi trombosit,

hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut walaupun ada yang bersifat sementara perlu cepat ditanggulangi agar tidak memperparah kondisi pasien.`14

18

2.9 Neuroproteksi Adanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan timbulnya kerusakan jaringan saraf, memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektan. Manfaat obat-obat tersebut masih diteliti pada penderita cedera kepala berat antara lain, antagonis kalsium, antagonis glutama dan sitikolin. Tujuan utama dari pengobatan pada cedera kepala adalah menghilangkan atau meninimalkan kelainan sekunder, karena itu pengendalian klinis dan

penanggulannya sangat penting. Adanya jarak walaupun singkat antara proses primer dansekunder harus digunakan sebaik mungkin, waktu tersebut dinamakan jendela terapi.14,18

2.10 Prognosis Mortalitas pasien dengan peningkatan tekanan Intrakranial > 20 mmHg selama perawatan mencapai 47%, sedangkan TIK di bawah 20 mmhg kematiannya 39%. Tujuh belas persen pasien sakit cedera kepala berat mengalami gangguan kejang-kejang dalam dua tahun pertama post trauma. Lamanya koma berhubungan signifikan dengan pemulihan amnesia. Pemeriksaan penunjang preditor prognosis cedera kepala: Skor GCS: Penurunan kesadaran pada saat kejadian, penurunan kesadaran < 30 menit, penurunan kesadaran setelah 30 menit, amnesia < 24 jam.18 William, 2001 meneliti 215 cedera kepala : pasien-pasien cedera kepala sedang dengan komplikasi (CT Scan +) terdapat gangguan fungsi neuropsikiatri setelah 6 bulan. Rontgen tulang tidak direkomendasikan untuk evaluasi cedera kepala ringan dan sedang dan sensitifitasnya rendah terhadap adanya lesi intrakranial. Faktor-faktor yang dapat menjadikan Predictor outcome cedera

kepala adalah: lamanya koma, durasi amnesia post trauma, area kerusakan cedera pada otak mekanisme cedera dan umur.18

19

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Cedera kepala dapat didefinisikan sebagai setiap perubahan dalam fungsi mental atau fisik yang berkaitan dengan trauma pada kepala. Kehilangan kesadaran tidak harus selalu terjadi. Menurut CDC, 50.000 orang meninggal setiap tahunnya di Amerika Serikat akibat cedera otak. Hampir dua kali dari angka ini mengalami kecacatan fisik akibat cedera otak. Tingkat keparahan cedera kepala ini sering diklasifikasikan berdasarkan skor Glasgow Coma Scale (GCS) skor, yang merupakan penjumlahan numeric dari mata, motorik, dan kemampuan verbal. Skor 13-15 menunjukkan cedera ringan, skor 9-12 menunjukkan cedera sedang, dan skor 8 atau kurang menunjukkan cedera parah. Akibat adanya cedera otak, maka pembuluh darah otak akan melepaskan serotonin bebas yang berperan akan melonggarkan hubungan antara endotel dinding pembuluh darah sehingga lebih perniabel, maka Blood Brain Barrier pun akan terganggu, dan terjadilah oedema otak regional atau diffus (vasogenik oedem serebri). Penanganan yang cepat dan tepat sangat diperlukan karena sedikit keterlambatan akan mmpunyai risiko terbesar berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas di sini dapat berakibat fatal. Penatalaksanaan kasus cedera kepala berat mencakup beberapa tahap yaitu stabilisasi kardiopulmuner mencakup prinsipprinsip ABC, pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera, pemeriksaan neurologis lain, penanganan cedera-cedera di bagian lain, Pemberian pengobatan dan tindakan pemeriksaan diagnostik

20

Anda mungkin juga menyukai