Anda di halaman 1dari 4

Al-Baqarah ayat 62

Muhammad Rusli Malik SURAT AL-BAQARAH (2) Ayat 62

[Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.] [Surely those who believe, and those who are Jews, and the Christians, and the Sabians, whoever believes

in Allah and the Last day and does good, they shall have their reward from their Lord, and there is no fear for them, nor shall they grieve.]

1). Ayat ini paling sering digunakan sebagai dalil untuk membela pandangan yang menilai bahwa semua agama benar. Ada dua ayat lagi yang isinya mirip dengan ayat ini. Pertama, Surat al-Maidah (5) ayat 69: Artinya: Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani,

siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Kedua, Surat al-Hajj (22) ayat 17: Artinya: Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang

Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.

2). Agar bisa memahami al-Quran secara komprehensif, ada beberapa catatan yang perlu disampaikan di sini. Pertama, yang disebut al-Quran itu ialah keseluruhan ayat-ayat dan surat-suratnya. Satu ayat dengan ayat yang lain tidak bisa dipisah-pisahkan pengertiannya. Karena satu ayat dengan ayat lain, satu surat dengan surat yang lain, membentuk satu bangunan pengertian yang holistik dan kokoh. Dan sesungguhnya Al Qur'an itu benar-benar kebenaran yang meyakinkan. (69:51) Kedua, antara satu ayat dengan ayat yang lain saling menjelaskan. Karenanya al-Quran sendiri menyebut dirinya sebagai bayn (penjelasan), udn (petunjuk), dan mauizhah (pelajaran), baik terhadap dirinya sendiri ataupun terhadap seluruh realitas kehidupan. Adalah suatu hal yang ganjil apabila al-Quran mampu menjelaskan seluk-beluk alam semesta mulai dari penciptaannya pertama kalai sampai kehancurannya kelak, tetapi tidak mampu memberi penjelasan terhadap dirinya sendiri. Penjelasan di sini bisa bermakna membuat defenisi (tarif), membangun argumentasi (hujjah), ataupun mendemonstrasikan bukti-bukti rasional (burhan). Penjelasan juga bisa bermakna deskripsi (taushil), persuasi (iqna) dan ekspresi (tabir). Pada saat membangun argumentasi (hujjah), deskripsi al-Quraan kadang mengambil analogi (khusus ke khusus, tamtsil), atau memperluas makna (khusus ke umum, istiqra) atau mempersempit makna (dari

umum ke khusus, qiyasdalam pengertian mantiq atau ilmu logika). Maka dalam kaitan ini, satu ayat tidak bisa dipisahkan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Juga tidak bisa memisahkan antara satu ayat di suatu surat dengan ayat lain di surat yang lain. (Al Qur'an) ini adalah penjelasan (bayn) bagi seluruh manusia, dan petunjuk (udn) serta pelajaran (mauizhah) bagi orang-orang yang bertakwa. (3:138) Ketiga, karena ayat-ayat dan surat-suratnya membentuk satu bangunan pengertian yang kokoh maka tentu tidak mungkin terjadi kontradiksi-kontradiksi diantara ayat-ayat dan surat-surat tersebut. Maka apakah mereka tidak mencermati Al Qur'an? (Bahwa) kalau sekiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (4:82)

3). Mari kita kembali ke ayat 62 ini. Potongan pertama ayat adalah bersifat umum untuk semua orang Islam, semua orang Yahudi, semua orang Nasrani, dan semua orang Shabiin. Setelah itu ada kata (man) yang bersifat maushlahyaitu man isim maushul (huruf man yang berfungsi sebagai kata sambung) yang mengandung makna (alladz)yang mendeskripsikan kata (atau kata-kata) benda sebelumnya (dalam hal ini orang Islam, orang Yahudi, orang Nashrani, d an orang shabiin); dan sekaligus bersifat syarthiyyahyang berfungsi membatasi (dengan suatu syarat) keumuman makna kata (atau kata-kata) sebelumnya. Maka anak kalimat (ayat) yang berbunyi ( man mana billahi wal yawmil akhiri wa amila shlihan, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah) bermakna: Siapa saja dari kalangan Islam, Yahudi, Nashrani, dan Shabiin yang benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhirat kemudian beramal saleh, maka Allah akan memberikan jaminan kepada mereka dalam bentuk imbalan atau pahal atas iman dan amal salehnya tersebut. Artinya, tidak semua orang Islam, orang Yahudi, orang Nashrani, dan orang Shabiin akan mendapatkan jaminan ini. Karena jaminan ini dibatasi keberlakuannya (oleh suatu syarat), yakni hanya kepada mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, benar-benar beriman kepada Hari Akhir, dan beramal saleh. Lalu apa yang dimaksud benar-benar beriman kepada Allah? Yaitu orang yang imannya dibuktikan dengan ketaatan kepada yang diimani, dalam hal ini kepada Allah swt. Tanpa ketaatan ini, iman hanyalah sebuah klaim hampa. Dan klaim hampa seperti ini tidak mempunyai kekuatan apapun dalam membangun sebuah argumentasi (hujjah). Di ayat 51 ketika Nabi Musa pergi selama 40 malam menjumpai Tuhannya di Gunung Tursina, dia menunjuk Harun sebagai penerus imamah dan risalah-nya. Tetapi Bani Israil tidak mau mengimani (dan karenanya juga tidak mentaati) Harun sebagai Nabi penerus Nabi Musa. Mereka beralasan, Nabi mereka ialah Musa dan bukan Harun, dan karenanya hanya mengalamatkan ketaatannya kepada Nabi Musa semata, dan tidak kepada Harun: Mereka menjawab: Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa kembali kepada kami. (20:91) Lalu bagaimana penilaian Tuhan terhadap penolakan mereka ini? Di ayat 51, Allah menyebut mereka melakukan kezaliman. Sementara kezaliman tidak pernah bersua dengan iman, karena kezaliman pada hakikatnya adalah perlawanan terhadap iman. (Ingat kembali pembahasan ayat 35). Dengan demikian pluralitas keberimanan yang dimaksud di ayat 62 ini bukan di suatu waktu yang sama, tetapi di waktu yang berbeda dan berurutan; bukan dalam pengertiannya yang paralel, tapi monorel. Dalam pengertian monorel ini: asumsi dasar diutusnya nabi pembawa risalah yang baru (belakangan) adalah karena risalah yang lama (sebelumnya) telah dirusak oleh umatnya sendiri. Sehingga apabila tetap menganut agama atau mengikuti risalah yang lama, selain melanggar azas ketaatan kepada pengirim risalah (al-mursil), juga sama dengan menganut agama atau risalah yang sudah rusak dan kadaluwarsa. Dalam pengertian monorel ini juga, nabi-nabi pembawa risalah hanya dibagi tiga macam: Nabi Pertama (Adam as), Nabi Terakhir (Muhammad saw), dan Nabi Antara (yang bertugas menyambungkan risalah antara Nabi sebelumnya dan Nabi sesudahnya). Dalam konteks inilah sehingga tiap Nabi Antara yang datang selalu mempertegas bahwa kedatangannya adalah dalam rangka menyempurnakan (pembawa)

risalah sebelumnya dan sekaligus mengabarkan akan datangnya (pembawa) risalah sesudahnya. Dan

(ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad). Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: Ini adalah sihir yang nyata. (61:6) Dengan begitu kontinuitas risalah selalu terjaga, dan sekaligus terhindar dari kemungkinan timbulnya pluralisme kebenaran. Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kalian Rasul Kami, menjelaskan (syari`at Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul, agar kalian tidak mengatakan: Tidak datang kepada kami baik seorang p embawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan. Sesungguhnya telah datang kepadamu (yaitu Muhammad sebagai) pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu . (5:19)
Hebatnya, ayat ini (5:19) adalah kelanjutan dari ayat-ayat sebelumya yang berbicara khusus kepada Yahudi dan Nashrani. Kepada kaum Nashrani, Allah berfirman: Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang

yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam". Katakanlah: "Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi semuanya?" Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (5:17) Itu sebabnya, bahkan setiap nabi dan
rasul yang Allah akan utuspun diambil sumpahnya terlebih dahulu agar tetap bersedia menjamin kontinuitas risalah tersebut. Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi: Sungguh,

apa saja yang Aku berikan (nanti) kepadamu berupa kitab dan hikmah, (tetapi) kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, (apakah) kalian akan sungguhsungguh beriman kepadanya dan menolongnya?. Allah mempertegas: Apakah kalian (bersedia) mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu? Mereka menjawab: Kami mengakui. Allah berfirman: Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku ( pun) menjadi saksi bersama kalian. (3:81)

4). Kalau kita memaknai ayat ini sebagai mensahihkan seluruh agama (samawi) yang ada sekarang, kita berhadapan dengan prinsip logika yang paling penting, yang disebut ashlut-thanqud (prinsip kontradiksi) yang diaminkan oleh al-Quran (4:82). Bagaimana mungkin menyebut iman kaum Nashrani benar melalui ayat ini, sementara ayat lain menyebut mereka kafir dan zalim serta mengancam mereka dengan Neraka Jahannam: Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: Sesungguhnya Allah

adalah Al Masih putera Maryam; padahal al-Masih (sendiri) berkata: Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga; padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. (5:72-73) Membenarkan keberimanan mereka melalui ayat 62
ini juga bertentangan dengan ayat-ayat yang berkenaan dengan validitas tunggal Islam paska berakhirnya masa berlaku risalah sebelumnya. Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.

Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (3:19) Sehingga Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agamanya itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (3:85)

5). Penutup ayat juga menjelaskan hal yang sama, yaitu mempertegas monorelitas risalah dan menolak kontradiksi di antara mereka. (wa l khawfun alaiim wa l um yahzanwn, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati). Menurut ayat lain, diantara orang yang memiliki kualitas ini ialah yang telah disebutkan di Surat al-Baqarah sebelumnya, yaitu di ayat 38: Kami

berfirman: Turunlah kalian semua dari surga itu! Kemudian jika datang kepadamu dari-Ku petunjuk, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Jadi diantara syaratnya ialah menerima atau mengimani PETU NJUK (Kitab
Suci); dan ini pasti gagal bagi mereka yang masih mengimani Kitab Suci yang lama seraya menolak Kitab Suci yang datang belakangan. Dan penolakan terhadap Kitab Suci sama dengan penolakan terhadap Tuhan sebagai pengirim (al-mursil) dari Kitab Suci tersebut. Dengan demikian, bagaimana bisa menyebut iman mereka benar dan sah. Dan mereka (Yahudi dan Nashrani) berkata: Sekali-kali tidak

akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nashrani. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kalian adalah orang yang benar. Yang benar ialah, barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (2:111-112)

AMALAN PRAKTIS Label agama bukan jaminan keselamatan (dunia dan akhirat). Jaminan keselamatan terletak pada iman dan amal saleh yang benar. Apabila Anda sungguh-sungguh beriman dan beramal saleh, niscaya Allah akan memberikan imbalan yang setimpal dan menghilangkan rasa khawatir dan sedih dari jiwa Anda.

Anda mungkin juga menyukai