Anda di halaman 1dari 4

TINJAUAN PUSTAKA

Neuralgia Pascaherpetika
Regina, Lorettha Wijaya
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran/RS Atma Jaya, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK Neuralgia pascaherpetika adalah komplikasi tersering herpes zoster; didefinisikan sebagai nyeri yang terus berlangsung selama 3 bulan setelah lesi herpes zoster sembuh. Komplikasi ini dapat berlangsung terus-menerus selama bertahun-tahun sehingga mengganggu kualitas hidup pasien. Neuralgia pascaherpetika dapat diprediksi kejadiannya, sehingga dapat dilakukan pencegahan agar nyeri dapat diminimalkan. Neuralgia pascaherpetika termasuk jenis nyeri neuropatik yang bermanifestasi dalam bentuk alodinia, hiperalgesia, maupun nyeri spontan. Faktor risiko utama neuralgia pascaherpetika antara lain usia tua, lesi kulit yang hebat, nyeri akut yang berat, dan adanya nyeri prodromal pada dermatom sebelum munculnya ruam. Untuk mencegah reaktivasi virus herpes zoster dapat diberikan vaksinasi atau pemberian kombinasi obat antiviral dan analgetik yang adekuat jika reaktivasi virus telah terjadi. Antikonvulsan, antidepresan trisiklik, atau opioid dapat diberikan sebagai obat pilihan jika neuralgia pascaherpetika telah terjadi, dan dapat diberikan secara topikal maupun invasif. Kata kunci: neuralgia pascaherpetika, herpes zoster, reaktivasi, antiviral

ABSTRACT
Postherpetic neuralgia is the most common complication of herpes zoster; defined as pain that persists for 3 months after the lesions heal. These complications can persist for many years that it influence to the quality of life of patients. Post herpetic neuralgia was predictable, so it can to prevent for minimized of the pain. Postherpetic neurlagia one of type of neuropathic pain that manifests in the form allodynia, hyperalgesia, and spontaneous pain. The main risk factors of postherpetic neuralgia include older age, severe skin lesions, severe acute pain, and the presence of prodromal pain in the dermatome before the appearance of the rash. To prevent reactivation of herpes zoster virus can be vaccinated or antiviral drug cocktails and an adequate analgesic if reactivation of the virus has occurred. Anticonvulsants, tricyclic antidepressants, or opioids may be administered as a drug of choice if postaherpetic neuralgia has occurred, and can be administered as topically or invasive. Regina, Lorettha Wijaya. Postherpetic Neuralgia. Key words: postherpetic neuralgia, herpes zoster, reactivation, antiviral

PENDAHULUAN Neuralgia pascaherpetika didefinisikan sebagai nyeri yang terus berlangsung selama 3 bulan setelah lesi herpes zoster sembuh, atau nyeri yang terus berlangsung selama 120 hari sejak timbulnya lesi herpes zoster. Dari data yang ada, disimpulkan bahwa 10-25% pasien herpes zoster akan mengalami neuralgia pascaherpetika dan kebanyakan pada pasien berusia lanjut.1,2 Neuralgia pascaherpetika dapat berlangsung terus-menerus selama bertahun-tahun dan dapat sangat mengganggu kualitas hidup, antara lain mengganggu tidur dan kegiatan seharihari sehingga mengganggu produktivitas pasien. Banyak penelitian menyimpulkan bahwa neuralgia pascaherpetika dapat diprediksi, sehingga dapat dicegah agar nyeri dapat diminimalkan atau tidak terjadi. Tulisan ini membahas patogenesis neuralgia pascaherpetika, faktor-faktor yang mempengaruhi kejadiannya, cara pencegahan, dan terapi yang tersedia untuk memperbaiki kualitas hidup pasien.

HERPES ZOSTER Patofisiologi Seseorang mengalami herpes zoster karena reaktivasi virus Varicella zoster yang dorman di ganglion posterior medula spinalis atau saraf kranialis yang biasanya disebabkan oleh penurunan sistem imun. Lesi kulit timbul berupa vesikel yang bergerombol dengan dasar eritema, biasanya berlokasi sesuai dermatom persarafan tempat virus tersebut teraktivasi dan unilateral. Virus dapat pula menyerang ganglion anterior sehingga gejalanya berupa gangguan motorik. Masa aktif penyakitnya berlangsung selama 2-3 minggu pada orang muda, dan dapat mencapai 6 minggu pada orang tua atau pasien dengan penurunan sistem imun.1,3 Gambaran Klinis Beberapa hari sebelum lesi kulit timbul, pasien biasanya merasa nyeri di lokasi yang terkena. Lesi kulit dapat juga muncul tanpa didahului rasa nyeri, atau bahkan tidak disertai rasa nye-

ri. Pada keadaan tertentu dapat juga terjadi nyeri tanpa lesi kulit di tempat tersebut.3,5 Pada awalnya erupsi berupa papul dan plak eritem yang dalam beberapa jam akan menjadi vesikel. Vesikel-vesikel baru terus terbentuk selama beberapa hari, biasanya 1-5 hari, dipengaruhi usia pasien, beratnya penyakit, dan imunitas pasien. Vesikel baru menandakan aktivitas replikasi virus. Vesikel selanjutnya dapat berubah menjadi bula, vesikel hemoragik, pustul, krusta, lalu menyembuh.3,5 NEURALGIA PASCAHERPETIKA Neuralgia pascaherpetika adalah komplikasi tersering herpes zoster. Kurang dari seperempat pasien masih merasakan nyeri 6 bulan setelah lesi herpes zoster muncul, bahkan ada yang masih merasakan nyeri setelah 1 tahun. Pasien mengeluhkan nyeri seperti terbakar atau nyeri tumpul yang terus menerus dengan atau tanpa nyeri tajam (seperti disayat) paroksismal. Keduanya dapat muncul

416
CDK-194_vol39_no6_th2012 ok.indd 416

CDK-194/ vol. 39 no. 6, th. 2012

6/8/2012 2:33:37 PM

TINJAUAN PUSTAKA
pusat, sehingga terjadi letupan potensial aksi spontan, ambang aktivasi saraf yang menurun, dan peningkatan respon terhadap stimulus.8,9 Mekanisme terjadinya neuralgia pascaherpetika dapat berlainan pada setiap individu sehingga manifestasi nyeri yang berhubungan dengan neuralgia pascaherpetika juga berlainan. Replikasi virus di dalam ganglion dorsalis menyebabkan respon inflamasi berupa pembengkakan, perdarahan, nekrosis dan kematian sel neuron. Kemudian virus akan menyebar secara sentrifugal sepanjang saraf menuju ke kulit, menyebabkan inflamasi dan kerusakan saraf perifer. Kadang-kadang virus menyebar secara sentripetal ke arah medula spinalis (mengenai area sensorik dan motorik) serta batang otak. Hal ini menyebabkan sensitisasi ataupun deaferenisasi elemen saraf perifer dan sentral.1,6 Sensitisasi saraf perifer terutama terjadi pada nosiseptor serabut saraf C yang halus dan tidak bermyelin. Sensitisasi ini menyebabkan ambang sensoris terhadap suhu menurun, menimbulkan heat hyperalgesia, yakni nyeri seperti terbakar. Selain itu juga terjadi letupan ektopik dari nosiseptor C yang rusak sehingga timbul alodinia, yakni rasa nyeri akibat stimulus yang pada keadaan normal tidak menimbulkan rasa nyeri. Sebagai respon atas menghilangnya sebagian besar input serabut saraf C karena kerusakan tersebut, terbentuk tunas-tunas serabut saraf A yang menerima rangsang non-noksius mekanoseptor di lapisan superfisial kornu dorsalis medula spinalis. Pertunasan ini menyebabkan hubungan antara serabut saraf A yang tidak menghantarkan nyeri dengan serabut saraf C, sehingga stimulus yang tidak menyebabkan nyeri (raba halus) dipersepsikan sebagai nyeri.1,5,8 Selain sensitisasi perifer dapat juga terjadi sensitisasi sentral yang menyebabkan terjadinya nyeri spontan maupun nyeri yang diprovokasi, berupa alodinia dan hiperalgesia. Sensitisasi sentral disebabkan oleh aktivitas ektopik dari serabut saraf aferen. Neurotransmiter eksitatorik utama di medula spinalis adalah glutamat yang berikatan dengan reseptor N-Metil-D-Aspartat (NMDA). Glutamat diproduksi oleh serabut saraf aferen primer di kornu dorsalis. Pada keadaan istirahat glutamat akan mengaktivasi reseptor ionotropik -amino-3-hidroksi-5-metil-4-isoksazol propionat (AMPA), reseptor kainat, dan reseptor metabotropik glutamat (mGluRs), sedangkan

Gambar 1 Lesi kulit pada herpes zoster 4

spontan dan dapat diperberat hanya dengan sentuhan ringan seperti kontak kulit dengan pakaian atau seprai atau karena terkena hembusan angin. Aktivitas fisik, perubahan suhu dan emosi dapat mengeksaserbasi nyeri. Kualitas hidup pasien dapat sangat terpengaruh sampai mengalami depresi. 6 Pada autopsi pasien dengan neuralgia pascaherpetika, terdapat atrofi kornu dorsalis medula spinalis ipsilateral, sedangkan pada pasien pernah menderita herpes zoster yang tidak mengalami neuralgia pascaherpetika tidak didapatkan atrofi tersebut. Pada biopsi kulit, di tempat yang mengalami neuralgia pascaherpetika terdapat penurunan densitas persarafan sensorium epidermal dibandingkan dengan sisi kontralateralnya yang tidak mengalami neuralgia pascaherpetika.1,2 Patofisiologi Pada keadaan fisiologis, stimulus nosiseptif diterima oleh 3 macam reseptor saraf, yakni mekanoseptor, termoreseptor, dan nosisepTabel 1 Tipe serabut saraf pada sistem saraf mamalia10 Fiber type Function

tor polimodal. Mekanoseptor diaktivasi oleh stimulus mekanis, kemudian ditransmisikan oleh serabut saraf A dan C, sedangkan termoreseptor diaktivasi oleh stimulus termal yang kebanyakan ditransmisikan oleh serabut saraf C. Serabut saraf A dan C merupakan serabut saraf aferen pada akson distal dari neuron sensoris primer. Serabut saraf C sangat halus, tidak bermyelin, mengalirkan stimulus secara lambat. Serabut saraf C adalah serabut saraf polimodal dan mentransmisikan nyeri tumpul atau seperti terbakar. Serabut saraf A bermyelin tipis dan mengalirkan stimulus dengan cepat. Serabut saraf A merespons sentuhan ringan, suhu, tekanan, serta nyeri bersifat tajam dan dapat meletupkan potensial aksi sesuai dengan proporsi intensitas stimulus yang diterimanya.7 Neuralgia pascaherpetika termasuk nyeri neuropatik, yakni nyeri yang disebabkan oleh kerusakan atau disfungsi primer pada sistem saraf. Pada nyeri neuropatik terjadi kerusakan saraf perifer dan perubahan sinyal sistem saraf

Fiber diameter (um) 12-20 5-12 3-6 2-5 <3

Conduction velocity (m/s) 70-120 30-70 15-30 12-30 3-15

Spike duration (ms)

Absolute refractory period (ms)

A B C Dorsal root Sympathetic

Proprioception, somatic, motor Touch, pressure Motor to muscle spindles Pain, cold, touch Preganglionic autonomic

0.4 0.5

0.4 - 1

1.2

1.2

Pain, temperature, some mechano-reception Postganglionic sympathetic

0.4 1.2 0.3 1.3

0.5 2 0.7 2.3

2 2

2 2

A and B fibers are myelinated ; C fibers are unmyelinated

CDK-194/ vol. 39 no. 6, th. 2012

417
6/8/2012 2:33:38 PM

CDK-194_vol39_no6_th2012 ok.indd 417

TINJAUAN PUSTAKA
reseptor NMDA diblok oleh ion magnesium sehingga mencegah masuknya ion natrium dan kalsium yang akan terjadi saat glutamat berikatan dengan reseptor NMDA tersebut. Aktivasi pascasinap yang berulang akan menyebabkan sumasi potensial sinaptik dan depolarisasi membran yang progresif. Hal ini menyebabkan reseptor NMDA terbebas dari blok ion magnesium yang selanjutnya menyebabkan influks kation-kation ke dalam sel dan depolarisasi membran makin progresif.5,9 Neuralgia pascaherpetika juga dapat terjadi akibat proses deaferenisasi, yakni hilangnya serabut saraf aferen sensoris baik yang berdiameter besar maupun kecil. Lesi pada serabut saraf perifer maupun sentral dapat memacu terjadinya remodeling dan hipereksitabilitas membran sel. Lesi yang masih terhubung dengan badan sel akan membentuk tunas-tunas baru. Tunastunas baru ini ada yang mencapai organ target, sedangkan yang tidak mencapai organ target akan membentuk neuroma, di neuroma ini akan terakumulasi berbagai kanal ion, terutama kanal ion natrium, molekul-molekul transduser dan reseptor-reseptor baru, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya letupan ektopik, mekanosensitivitas abnormal, sensitivitas terhadap suhu dan kimia. Letupan ektopik dan sensitisasi berbagai reseptor akan menyebabkan timbulnya nyeri spontan dan nyeri yang diprovokasi. Letupan spontan pada neuron sentral yang terdeaferenisasi akan menyebabkan terjadinya nyeri konstan pada area tersebut.1,8 Prediksi dan Pencegahan Kemungkinan menderita neuralgia pascaherpetika dapat diprediksi dari beberapa faktor risiko pasien tersebut. Faktor risiko utama untuk terjadinya neuralgia pascaherpetika antara lain usia tua, lesi kulit yang hebat, nyeri akut yang berat, dan nyeri prodromal pada dermatom sebelum munculnya ruam. Kurang lebih 20% pasien berusia lebih dari 50 tahun mengalami nyeri sampai 6 bulan sejak awitan ruam kulit walaupun telah mendapatkan terapi antiviral. Pada orangtua terjadi polineuropati subklinis sehingga hanya dibutuhkan jumlah virus yang lebih sedikit untuk menyebabkan neuralgia pascaherpetika dibandingkan pada pasien muda.1 Pencegahan neuralgia pascaherpetika dapat diusahakan dengan kombinasi agen antiviral dan usaha agresif mengurangi nyeri akut pada pasien herpes zoster. Kombinasi ini diharapkan akan mengurangi kerusakan saraf dan nyeri akut. Terapi antiviral harus dimulai segera setelah diagnosis ditegakkan, dan lebih baik jika dimulai pada tiga atau empat hari pertama. Terapi antiviral diharapkan dapat menghentikan replikasi virus, sehingga durasi penyakit akan lebih singkat, dan menurunkan kejadian neuralgia pascaherpetika. Antiviral yang dapat digunakan adalah asiklovir, valasiklovir, atau famsiklovir. Terapi analgetika akan mengurangi nyeri yang merupakan faktor risiko utama neuralgia pascaherpetika.5,8 Selain itu, telah dikembangkan vaksin pencegahan herpes zoster yang direkomendasikan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) bagi mereka yang berusia 60 tahun atau lebih. Dalam penelitian klinis yang melibatkan ribuan lansia berusia 60 tahun atau lebih, vaksin ini mengurangi risiko herpes zoster sebesar 51% dan risiko neuralgia pascaherpetika sebesar 67%. Efek proteksi vaksin ini dilaporkan dapat mencapai 6 tahun atau bahkan lebih.12 Penatalaksanaan Terdapat beberapa pilihan untuk penatalaksanaan neuralgia pascaherpetika. Obat yang sering digunakan adalah antikonvulsan gabapentin dan pregabalin. Gabapentin dan pregabalin bekerja di subunit 2 yang terdapat pada kanal kalsium untuk menurunkan influks kalsium, sehingga menginhibisi keluarnya neurotransmiter eksitatorik termasuk glutamat yang merupakan neurotransmiter utama yang memelihara sensitisasi sentral. Dosis awal gabapentin 300 mg pada hari pertama, 2 x 300 mg pada hari ke dua, 3 x 300 mg pada hari ke tiga. Titrasi lalu diperlambat sampai mencapai 3 x 600 mg dalam 2 minggu. Dosisnya harus dibagi 3-4 kali sehari karena waktu paruhnya pendek. Dosis pregabalin 150-600 mg perhari, dibagi 2 dosis. Gabapentin dan pregabalin akan mengurangi nyeri sehingga akan memperbaiki tidur, mood, dan kualitas hidup. Pregabalin sendiri memiliki efek antiansietas. Kedua obat ini memiliki insiden efek samping yang rendah, dan biasanya bersifat ringan sehingga sering disarankan sebagai obat lini pertama. Efek samping yang dapat dialami pasien antara lain somnolen, pusing, edema perifer, dan gangguan keseimbangan.1,6,8 Selain gabapentin dan pregabalin, dapat juga digunakan antidepresan trisiklik yang bekerja menginhibisi ambilan kembali norepinefrin dan serotonin, memblok kanal natrium, kalsium, dan reseptor NMDA. Amitriptilin diindikasikan untuk pasien neuralgia pascaherpetika yang mengalami insomnia karena obat ini memiliki efek sedasi. Pemberian antidepresan trisiklik harus lebih hati-hati pada pasien dengan kelainan jantung karena dapat menyebabkan takiaritmia dan perpanjangan interval QT, sehingga harus dilakukan pemeriksaan gelombang EKG dasar sebelum pengobatan. Selain efek samping pada jantung, obat golongan ini dapat menyebabkan mulut kering, pusing, peningkatan berat badan, sedasi, konstipasi, retensi urin, impotensi, dan hipotensi ortostatik. Efek samping dapat dikurangi dengan memulai terapi dengan dosis rendah, titrasi lambat, dan diberikan pada malam hari. Dosisnya dapat dimulai dengan 10-20 mg pada malam hari dititrasi sampai 75100 mg/ hari, sekali sehari. Selain amitriptilin, obat golongan antidepresan trisiklik lain yang

Gambar 2 Sensitisasi dan deaferenisasi11

418
CDK-194_vol39_no6_th2012 ok.indd 418

CDK-194/ vol. 39 no. 6, th. 2012

6/8/2012 2:33:39 PM

TINJAUAN PUSTAKA
dapat digunakan antara lain desipramin dan nortriptilin.1,6 Opioid hanya diindikasikan pada pasien dengan nyeri sangat berat, sebagai terapi lini ke dua atau ke tiga. Opioid dapat mengurangi alodinia dan nyeri spontan. Namun obat golongan ini memiliki efek samping konstipasi, mual, muntah, sedasi, ketergantungan, serta risiko penyalahgunaan obat dan dapat terjadi toleransi. Sediaan yang dapat diberikan antara lain oksikodon, morfin (rata-rata 91 mg/hari) atau metadon (rata-rata 15 mg/hari). Pada penggunaan opioid jangka panjang, diperlukan pemantauan supresi imunitas serta hipogonadisme yang mungkin terjadi.1,6 Rekomendasi penggunaan opioid adalah sebagai berikut. Berikan dosis efektif sekecil mungkin, dimulai dengan opioid kerja singkat, misalnya 5-10 mg oksikodon atau 10-15 mg morfin setiap 4 jam. Jika pasien telah menunjukkan toleransi terhadap terapi inisial ini, konversi terapi ke opioid kerja panjang. Jika tidak memuaskan, terapi opioid harus dikurangi secara bertahap sampai akhirnya berhenti sama sekali untuk menghindari terjadinya withdrawal symptoms.1 Obat lain adalah tramadol yang memiliki efek agonis pada reseptor dan menginhibisi ambilan kembali serotonin dan norepinefrin. Tramadol diberikan dengan dosis 50-100 mg tiap 4 jam, tidak lebih dari 400 mg per hari. Dosis harus dikurangi pada pasien usia lanjut dan pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Efek sampingnya antara lain mual, muntah, konstipasi, retensi urin, somnolen, nyeri kepala, dan pusing.1 Selain obat oral, dapat juga menggunakan terapi topikal. Keuntungan pemakaian topikal
REFERENSI 1. Thakur R, Kent JL, Dworkin RH. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia. in: Fishman SM, Ballantyne JC, Rathmell JP, eds. Bonicas Management of Pain. 4 ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2010; p. 348-55. 2. 3. 4. 5. 6. Scadding JW, Koltzenburg M. Painful Peripheral Neuropathies. in: McMahon SB, Koltzenburg M, eds. Wall and Melzacks Textbook of Pain. 5 ed. Philadelphia: Elsevier, 2006; p. 992-4. Handoko RP. Penyakit Virus. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, eds. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006; hal 110-2. Rash from Herpes Zoster. http://www.drugs.com/cg/herpes-zoster.html. (Cited 2011 Oct 23) James DW, Berger TG, Elston DM. Andrews Diseases of The Skin Clinical Dermatology. 10 ed. Philadelphia: Elsevier, 2006; p. 367-420. Cruciani R, Jabati S. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia. Dalam: Johnson RT, Griffin JW, McArthur JC. eds. Current Therapy in Neurologic Disease. Philadelphia: Mosby Inc, 2006; p. 83-6. 7. 8. 9. Ropper AH, Samuels MA. Adams and Victors Principles of Neurology. Ed. 7. USA: McGraw-Hill Co, 2009; p. 125-6 Meliala L, Suryamiharja A, Wirawan RB, Sadeli HA, Amir D. Nyeri Neuropatik. ed. 2. Yogyakarta: Medikagama Press, 2008; p. 1-75. Scholz J, Woolf CJ. Mechanisms of Neuropathic Pain. Dalam: Pappagallo M, ed. The Neurological Basis of Pain. USA: McGraw-Hill Companies, 2005; p. 84-5.

Gambar 3 Mekanisme pengobatan neuralgia pascaherpetika11

adalah efek sistemik minimal karena absorpsi sistemik yang minimal. Terapi topikal misalnya lidokain patch 5% yang efeknya dapat terlihat mulai 2-3 minggu setelah pemakaian dimulai. Tiga buah patch dapat digunakan dalam satu waktu pemberian. Caranya adalah 12 jam digunakan, kemudian dilepaskan selama 12 jam. Lidokain topikal yang dikombinasikan dengan gabapentin terbukti lebih efektif daripada pemberian 2 agen tersebut secara terpisah. Krim kapsaisin 0,025 dan 0.075% dapat digunakan 3-4 kali sehari, namun harus diberitahu kepada pasien bahwa akan terasa sensasi terbakar pada awal pemakaian.1,6 Selain modalitas terapi oral dan topikal, dapat digunakan juga terapi invasif seperti blok saraf simpatis, penyuntikan metilprednisolon intratekal dan epidural, serta stimulasi medula spinalis.1 SIMPULAN Neuralgia pascaherpetika adalah komplikasi

tersering herpes zoster yang disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster, paling sering pada pasien usia lanjut. Neuralgia pascaherpetika termasuk nyeri neuropatik, yakni nyeri yang disebabkan oleh kerusakan atau disfungsi primer sistem saraf. Mekanisme terjadinya kerusakan saraf ini dapat melalui proses sensitisasi saraf perifer, saraf sentral ataupun proses deaferenisasi serabut saraf. Kerusakan saraf yang terjadi akan menyebabkan pasien mengalami hiperalgesia, alodinia, atau nyeri spontan yang konstan. Neuralgia pascaherpetika mungkin dapat dicegah dengan terapi optimal fase akut herpes zoster dengan antiviral dan analgetik dari berbagai golongan obat, atau dengan mencegah terjadinya herpes zoster melalui vaksinasi. Jika neuralgia pascaherpetika telah terjadi, terapi dapat berupa obat oral dari golongan antikonvulsan, antidepresan trisiklik, sampai golongan opioid. Dapat juga diberi terapi topikal, atau bahkan terapi invasif.

10. Barret KE, Barman SM, Boitano S, Brooks HL. Ganongs Review of Medical Physiology. 23 ed.. USA: McGraw-Hill, 2010; p. 89. 11. Clinical Manifestations and Treatment Options for Diabetic Neuropathies: Treatment [internet]. 2007 http://www.medscape.com/viewarticle/565795_4. (Cited 2011 Oct 23). 12. Vaccines and Preventable Diseases: Shingles Vaccination: What You Need to Know [internet]. 10 Januari 2011 http://www.cdc.gov/vaccines/vpd-vac/shingles/vacc-need-know.htm. Diperbaharui 9 September 2011; (Cited 2011 Oct 23).

CDK-194/ vol. 39 no. 6, th. 2012

419
6/8/2012 2:33:40 PM

CDK-194_vol39_no6_th2012 ok.indd 419

Anda mungkin juga menyukai