Anda di halaman 1dari 32

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan nasional di Indonesia bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Masyarakat yang adil dan makmur tersebut diartikan tidak hanya cukup pangan, sandang dan perumahan saja, tetapi justru harus diartikan sebagai cara bersama mewujudkan masa depan tersebut. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pembangunan perumahan dan pemukiman (papan) merupakan kebutuhan dasar manusia. Dengan demikian, ia berperan sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Perumahan dan pemukiman tidak dapat hanya dilihat sebagai sarana kebutuhan hidup, tetapi lebih dari itu, yaitu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan tatanan hidup untuk masyarakat dan dirinya dalam menempatkan jati dirinya.1 Dalam rangka pelaksanaan visi dan misi Presiden dalam Pemilu tahun 2009, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) II 2010-2014, dimana salah satu permasalahan dan agenda pentingnya adalah upaya percepatan
1

Penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman.

1
Universitas Sumatera Utara

pembangunan infra struktur, termasuk di dalamnya masalah pembangunan perumahan dan pemukiman guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan papan yang layak dalam lingkungan yang sehat. Dalam rangka mewujudkan visi dan misi presiden tersebut dilakukan pembangunan ribuan unit rumah sederhana (RS) dan rumah sangat sederhana (RSS) termasuk pula pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) sebanyak 50 ribu unit dan Rumah Susun Milik (Rusunami) sebanyak 25 ribu unit bagi kebutuhan masyarakat berpenghasilan menengah kebawah, dengan tingkat penghasilan di bawah Rp. 4.500.000 per bulan, melalui peran serta swasta atau kerjasama pemerintah dan swasta (Public Private Partnership).2 Guna menindak lanjuti Perpres nomor 6 tahun 2010 tersebut, pemerintah telah menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 22 Tahun 2010 tentang percepatan pembangunan rumah susun di kawasan perkotaan, khususnya pembangunan Rusunawa dan Rusunami sebanyak seribu Tower Apartemen Murah untuk Rakyat (Pro Populis) sampai dengan tahun 2015 dengan mendapatkan subsidi dan insentif dari Pemerintah/Pemda. Pembangunan Rusuna ini diprioritaskan di kawasan perkotaan dengan jumlah penduduknya di atas 1,5 juta jiwa. Kebijakan percepatan pembangunan perumahan dan pemukiman serta Rumah Susun tersebut sangat bijaksana, mengingat kebutuhan perumahan yang layak huni tersebut terus meningkat. Meningkatnya kebutuhan akan perumahan dan pemukiman

Perumnas, Pengembangan Penyelenggaraan Rumah Susun Sederhana Perum Perumnas Divisi Usaha, Edisi Kedua, 18 Maret 2009, hlm. 15.

Universitas Sumatera Utara

sangat erat kaitannya dengan kependudukan seperti jumlah penduduk, laju pertumbuhannya, dan perubahan rata-rata jumlah jiwa per keluarga. Hal tersebut merupakan masalah yang dihadapi, terutama di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan Semarang. Menurut AP Parlindungan, pembangunan Rumah Susun, terutama di wilayah perkotaan merupakan suatu keharusan, sebagai akibat terbatasnya tanah untuk perumahan tersebut dan permintaan akan papan yang semakin tinggi.3 Hal ini berkaitan pula dengan kecenderungan berpindahnya rakyat ke perkotaan akibat urbanisasi. Diperkirakan sekitar 50 persen penduduk Indonesia dalam tahun 2020 akan bertempat tinggal di perkotaan, atau kurang lebih sekitar 120 juta jiwa. Menurut Arie. S. Hutagalung, kelima kota besar di Indonesia akan memerlukan tanah sekitar 8000 Hektar tiap tahunnya4 Menurut Perpres Nomor 6 Tahun 2010 tentang RPJM tersebut di atas, jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah tinggal sebanyak 4.338.864 di tahun 2010. Menurut Majalah Legal Review, ada sekitar enam juta keluarga di Indonesia yang belum sejahtera papan, ditambah 800 ribu keluarga per tahun yang membutuhkan rumah.5 Rumah Susun dibangun sebagai upaya pemerintah guna memenuhi masyarakat perkotaan akan papan yang layak dalam lingkungan yang sehat. Selain itu, hal ini juga dijadikan sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah pengadaan
AP. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman dan Undang-Undang Rumah Susun, Mandar Maju Bandung, 2001, hlm. 91. 4 Arie. S. Hutagalung, Condominium dan Permasalahannya, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 1998, hlm. 2. 5 Majalah Legal Review, Edisi Februari 2010, hlm.20.
3

Universitas Sumatera Utara

lahan yang sangat sulit didapat di wilayah-wilayah kota-kota besar di negara berkembang, seperti Indonesia yang sangat padat penduduknya akibat urbanisasi seperti yang terjadi di Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang dan Medan. Di samping itu, pembangunan Rumah Susun juga dapat menjadi solusi bagi penataan kawasan kumuh. Menurut lampiran Perpres Nomor 6 Tahun 2010 tersebut di atas menyebutkan bahwa di wilayah perkotaan telah meningkat luas pemukiman kumuh dari 40.053 hektar pada tahun 1996, menjadi 67.500 hektar pada tahun 2010. Pembangunan Rumah Susun juga akan membantu mengatasi kemacetan lalu lintas dan dapat menekan serta menghemat biaya transportasi yang pada akhirnya dapat menekan unefisiensi (high cost economy) di dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Guna memenuhi kebutuhan penting masyarakat perkotaan tersebut di atas dibentuklah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (UURS). Pembangunan Rumah Susun adalah untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya dan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan pemukiman yang lengkap, serasi dan seimbang.6 Perumahan yang layak adalah perumahan yang memenuhi syarat-syarat teknik, kesehatan, keamanan, keselamatan dan norma-norma sosial budaya. Dalam sejarah pembangunan Rumah Susun di Indonesia, penyelenggara pembangunan rumah (developer) Perumnas (BUMN) telah membangun Rumah
6

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun.

Universitas Sumatera Utara

Susun Sederhana (Rusuna) dalam rangka peremajaan kota melalui pendekatan membangun tanpa menggusur di sepuluh propinsi sejak tahun 1999 sebanyak 16.870 unit Rusuna jual dan Rusuna sewa telah dibangun antara lain di Propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Hal ini dilakukan Perumnas dalam rangka mengantisipasi kecenderungan meningkatnya arus urbanisasi ke kota, terutama dari golongan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah serta sulitnya mendapatkan lahan murah di perkotaan sebagai kewajiban pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan taraf hidup serta kehidupan masyarakat secara utuh melalui pemerataan penyediaan perumahan yang layak huni dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat seperti yang tercantum dalam Propenas 2000-2010 (sudah dicabut dengan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.7 Menurut Suli Suwarni, penyelenggara pembangunan rumah susun milik swasta (developer) yang tergabung dalam Real Estate Indonesia (REI) di Jakarta pada tahun 2008 terdapat 4000 unit SRS mewah/condominium/apartemen yang sedang dipasarkan (dijual/disewakan) dan disusul dengan 4000-5000 unit Satuan Rumah Susun (SRS) mewah/condominium/apartemen yang sedang dibangun.8 Menyadari kenyataan seperti itu perlu adanya jaminan kepastian hukum atas kepemilikan hak

Sumber : Perumnas, Pengembangan, Penyelenggaraan Rumah Susun Sederhana Perum Perumnas, Divisi Usaha, Edisi Pertama, 18 Juli 2003, hlm. 9-10. 8 Suli Suwarni, Hak Kepemilikan Atas Satuan Rumah Susun Bagi Orang-orang Dihubungkan Dengan UUPA, Tesis S2 UNPAD, Bandung, 2004, hlm. 5.

Universitas Sumatera Utara

atas tanah SRS, bagi kepentingan pembeli/investor Rusuna/condominium/apartemen tersebut, termasuk bagi kepentingan investor asing. Besarnya minat pihak developer/pengembang swasta untuk berpartisipasi membangun rumah susun didorong oleh beberapa faktor.9 Pertama, adanya kepastian hukum setelah pemerintah mengesahkan UURS yang antara lain mengatur kepemilikan SRS. Kedua, pemerintah mengkampanyekan agar masyarakat mau tinggal di rumah susun. Ketiga, besarnya jumlah orang asing (ekspatriat) yang menginap di hotel berbintang dalam jangka panjang (long stay guest). Rumah susun dalam hukum Indonesia dewasa ini merupakan rumah yang dibentuk dengan sistem condominium sebagaimana ditemukan dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 1988 tentang rumah susun yang menyebutkan : sistem pemilikan perseorangan dan hak bersama (condominium). Dengan sistem condiminium ini terdapat pemilikan individual dan juga pemilikan bersama.10 Dalam sistem condominium ini terdapat pemilikan individual atas satuan rumah susun yang merupakan hak penghuni. Di samping itu terdapat hak pemilikan bersama atas tanah dimana bangunan tersebut terletak (common areas), hak milik bersama atas saranasarana bangunan (common elements) misalnya corridor, lift, instalasi listrik, kebun, tempat rekreasi, kolam renang, lobi, garasi dan lain sebagainya yang dapat digunakan bersama oleh para penghuni.

Dewan Pengkajian Masalah Perumahan dan Pemukiman Real Estate Indonesia, Era Baru Bisnis Real Estate, Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 20. 10 Pasal 1 ayat (4), (5) dan (6) UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.

Universitas Sumatera Utara

Dengan sistem kondominium ini, jelas sulit sekali memisahkan bangunan rumah susun dengan tanahnya. Oleh karena itu rumah susun termasuk dalam jenis benda bukan tanah yang sifatnya tetap. Adapun sarana rumah susun yang melekat pada setiap satuan rumah susun, disini berlaku asas aksesi, sehingga tidak ada satuan rumah susun tanpa hak atas sarana bersama. UURS juga telah memperkenalkan suatu lembaga pemilikan baru sebagai suatu hak kebendaan, yaitu Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) yang terdiri dari Hak Perseorangan Atas Unit Satuan Rumah Susun yang terdiri dari Hak Perorangan Atas Unit Satuan Rumah Susun (SRS) dan hak bersama atas tanah, benda dan bagian bersama yang kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan-satuan yang bersangkutan. Konsep pemisahan hak atas tanah dalam UUPA mengakomodasikan asas pemisahan horizontal yang memisahkan hak kepemilikan atas tanah dengan bendabenda yang berada di atasnya. Dengan kata lain dimungkinkan pemegang hak atas tanah berbeda dengan pemegang hak atas bangunan atau benda-benda yang berada di atasnya. Hal ini berbeda dengan asas pelekatan (accessie) sebagaimana yang dimaksud Pasal 571 KUH Perdata mengatur tentang Hukum Benda, yang menyatakan hak kepemilikan atas tanah beserta benda-benda yang melekat di atasnya adalah juga pemegang hak atas benda-benda yang berada di atas tanah tersebut. Dengan demikian kepemilikan hak atas tanah SRS sebagaimana diatur dalam UURS tidak konsisten atau bertentangan dengan semangat UUPA.11

11

Pasal 1 Ayat (1) dan (2) jo. Pasal 8 UU Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Sri Soedewi Musjohoen Sofwan12 hak kebendaan adalah hak mutlak atas sesuatu benda dimana hak itu memberikan kepada pemegang hak tersebut kekuasaan langsung atas sesuatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. Jadi hak kebendaan adalah hak mutlak (hak absolut). Lawannya adalah hak nisbi (hak person lijk) atau hak relatif. Kedua-duanya adalah hak kebendaan perdata. Hak kebendaan itu mempunyai zaaksgevolg atau droit de suit (hak yang mengikuti). Artinya hak itu terus mengikuti bendanya dimanapun juga (dalam tangan siapapun juga) barang itu berada. Kepemilikan suatu benda oleh lebih dari satu orang dapat ditemukan pengaturannya dalam Pasal 526 dan 527 KUH Perdata. Ketentuan Pasal 526 KUH Perdata mengatur tentang kepemilikan suatu benda secara bersama yang terikat, sedangkan Pasal 570 KUH Perdata mengatur tentang kepemilikan suatu benda secara bersama yang bebas. Hak milik bersama yang terikat (onvrije / geboneden mede eigendom) yaitu jika beberapa orang menjadi pemilik (eigenaar) bersama-sama atas suatu benda sebagai akibat adanya hubungan yang memang telah ada lebih dahulu diantara para pemilik. Misalnya, harta gono gini/saham di perusahaan. Hak milik bersama yang bebas (vrije mede eigendom) yaitu jika hubungan antara para pemilik satu sama lain hanyalah semata-mata hubungan sesama pemilik (eigenaar) bersama-sama atas suatu benda contohnya, dalam KUH Perdata diatur hak milik bersama atas rumah susun.
12

Sri Soedewi Musjohoen Sofwan, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm. 36.

Universitas Sumatera Utara

B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimanakah status kepemilikan hak atas tanah pada satuan rumah susun ? 2. Apakah kepemilikan hak atas tanah pada satuan rumah susun sesuai dengan asas pemisahan horizontal yang dianut oleh UUPA ? 3. Bagaimana prosedur hukum perjanjian jual beli atas satuan rumah susun ?

C. Tujuan Penelitian Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui status kepemilikan hak atas tanah satuan rumah susun. 2. Untuk mengetahui apakah kepemilikan hak atas tanah pada satuan rumah susun sesuai dengan asas pemisahan horizontal yang dianut oleh UUPA. 3. Untuk mengetahui prosedur hukum perjanjian jual beli satuan rumah susun.

D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Secara teoritis hasil penelitian ini merupakan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum bidang perdata dan menambah khasanah perpustakaan.

Universitas Sumatera Utara

2. Secara praktis bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum perdata tentang hukum benda dalam kaitannya dengan hak kepemilikan atas tanah dan bangunan satuan rumah susun, juga sebagai penambah wawasan bagi peneliti sendiri dan masyarakat luas yang berminat dalam pembelian rumah susun.

E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelitian pada kepustakaan, khususnya di lingkungan

Perpustakaan Hukum Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang menyangkut judul Analisis Yuridis Kepemilikan Hak Atas Tanah pada Satuan Rumah Susun. Dengan demikian maka secara akademis penelitian adalah asli adanya dan dapat dipertanggung jawabkan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu terjadi13. Teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya14. Menetapkan landasan teori pada waktu diadakan penelitian ini tidak salah arah sebelumnya diambil rumusan landasan teori

DJJ. M. Wuisman, Penyunting M. Hisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid 1, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hlm. 203. 14 Ibid, hlm. 216.

13

Universitas Sumatera Utara

seperti yang dikemukakan oleh M. Solly Lubis yang menyebutkan, Landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.15 Teori itu sendiri adalah serangkaian preposisi atau keterangan yang saling berhubungan dengan dan tersusun dalam sistem deduksi yang mengemukakan suatu penjelasan atas suatu gejala.16 Menurut Maria SW Sumardjono teori adalah, Seperangkat preposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefinisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel tersebut.17 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan ramalan serta menjelaskan gejala yang diamati. Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya adalah penelitian ini berusaha untuk memahami Analisis Yuridis Kepemilikan Hak Atas Tanah Satuan Rumah Susun, sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 80. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 125. 17 Maria SW Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia, Yogyakarta, 1989, hlm. 12.
16

15

Universitas Sumatera Utara

Teori yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah perubahan masyarakat harus diikuti oleh perubahan hukum18. Hukum berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Perubahan masyarakat dibidang hukum benda harus berjalan dengan teratur dan diikuti dengan pembentukan norma-norma sehingga dapat berlangsung secara harmonis. Perubahan hukum dalam kerangka hukum benda dalam mengatur masalah Kepemilikan Hak Atas Tanah Satuan Rumah Susun terjadi secara tertib melalui kebiasaan dan akhirnya dikukuhkan dalam Undang-Undang. Rumah Susun / SRS dengan sistem kondominium sebagaimana diuraikan pada sub bab sebelumnya merupakan bagian dari Hukum Perdata, khususnya Hukum Benda sebagaimana yang diatur dalam Buku II KUHPerdata, yaitu dalam hal : 19 1. Persoalan macam serta status benda yang menjadi objek hukum yang bersangkutan, yang dalam hukum kondominium ini tentunya ialah segala macam yang dimiliki lebih dari seorang atau lebih dari satu pemilik dengan suatu pemilikan bersama yang berpola apartgestelde mede-eigendom atau vrije medeeigendom. Hukum kondominium adalah hukum yang mengatur perihal hak milik bersama yang objeknya meskipun terwujud dalam suatu konstruksi namun terbagi-bagi atas bagian-bagian tertentu yang masing-masing dimiliki secara individual oleh masing-masing pemiliknya yang bersangkutan secara terpisah. 2. Persoalan penjaminan hutang yang menggunakan benda-benda tersebut.

Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni Bandung, 2006, hlm. 18. A. Ridwan Halim, Sari Hukum Hak Milik, Kondominium dan Rumah Susun, Puncak Karma, Jakarta, 1990, hlm. 138-139, 146.
19

18

Universitas Sumatera Utara

3. Persoalan pemindahtanganan benda yang bersangkutan dari satu pihak ke pihak lain. Dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dalam pemilikan SRS, diterbitkan tanda bukti hak berupa Sertifikat HMSRS berdasarkan Pasal 9 ayat (2)
UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun juncto Pasal 31 PP

No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. PP No. 24 Tahun 1997 yang merupakan revisi atas PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah sebagai peraturan pelaksanaan dari UUPA (UU No.5 Tahun 1960) tentunya menggambarkan akan menganut asas hukum adat dalam hal ini asas pemisahan horizontal. Dengan ditempatkannya HMSRS sebagai objek pendaftaran tanah, tentunya mengandung kekhawatiran atau ketidakkonsistenan dalam penganutan asas kondominium, yang jelas-jelas mempergunakan asas pelekatan vertikal seperti yang dianut KUHPerdata dulu, yang telah dinyatakan tidak berlaku lagi pada saat UUPA diterbitkan. Menurut Pasal 9 ayat (2) UURS Jo Pasal 31 PP No. 24 Tahun 1997 terlihat jelas bahwa Undang-Undang Rumah Susun No. 6 Tahun 1985 masih menggunakan asas pelekatan vertikal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 571 KUHPerdata, sehingga SRS tidak jelas pemilikan atas tanahnya tetapi tetap diperhitungkan berdasarkan hak atas tanah dimana SRS itu berdiri satu pemegang hak bersama atas penunjukan tertulis para pemegang hak bersama yang lain. Pada tahun 1992 terbit UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman dan UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang berbeda

Universitas Sumatera Utara

dengan asas kondominium yang dianut UURS. UU Perumahan dan Permukiman, seperti tampak dari ketentuan Pasal 6 menganut asas pemisahan horizontal, dengan memungkinkan pembangunan pemilikan rumah di atas tanah milik orang lain. UU tentang bangunan gedung, Pasal 8 ayat (2) menganut asas pemisahan horizontal, dengan menyatakan secara tegas bahwa setiap orang atau badan hukum (misalnya BUMN/BUMD, PT, Instansi/perusahaan milik Negara) dapat memiliki bangunan gedung atau bagian bangunan gedung. Kepemilikan atas bangunan gedung dan bagian gedung. Kepemilikan atas bangunan gedung dan bagian bangunan gedung tersebut dibuktikan dengan surat bukti kepemilikan bangunan gedung yang dikeluarkan Pemda (Pasal 12 PP No. 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung). Dalam Pasal 8 ayat (1) UU tentang bangunan gedung disebutkan bahwa setiap bangunan gedung tersebut harus memenuhi persyaratan administratif yang meliputi status hak tanah dan atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung dan IMB. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung disebutkan dengan tegas bahwa setiap bangunan gedung harus didirikan pada tanah yang status kepemilikannya jelas, baik milik sendiri maupun milik pihak lain. Penganutan asas pemisahan horizontal dari ke-2 (dua) UU tersebut adalah sejalan dengan ketentuan Pasal 5 UUPA di atas, yang menganut asas hukum adat. Pada beberapa negara, termasuk Australia, Selandia Baru, Singapura, Malaysia dan Hongkong, problema penyediaan pemilikan tanah bagi pembangunan

Universitas Sumatera Utara

rumah secara horizontal dipecahkan dengan pembangunan perumahan secara vertikal dengan menggunakan sistem Strata Title yaitu sistem yang mengatur tentang bagian tanah yang terdiri dari lapisan-lapisan (strata), yaitu lapisan bawah dan atas dengan strata. Strata adalah bentuk plural dari stratum diartikan sebagai berikut20 : stratum means any part of land consisting of a space of any shape below on or above the surface of the land, the dimensions of which are delineated. Berdasarkan hal tersebut di Australia dikenal sistem strata title. Menurut hukum di negara bagian New South Wales, Australia yang dimaksud dengan Strata title adalah21 : A Strate scheme is a legal recognized arrangement whereny a building and the land upon which it is erected is subdivided into lots or lots and common property, the lots (units as they area commonly called) having separate title, the transfer of which is not inherently, restricted, the common property being used by the occupiers of the lots but owned by a body corporate as agent for the owners of the lots in specified proportions. Strata title yang dimaksudkan di atas adalah suatu pengaturan hukum dimana suatu gedung dan tanah dibagi ke dalam unit-unit dan kepemilikan properti/benda bersama mempunyai hak milik yang terpisah, pengalihan haknya tidak sama atau dibatasi, kepemilikan properti atau benda bersama digunakan oleh para penghuni
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat Pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Land Strata Act. Singapura, hlm. 342. 21 Arie S. Hutagalung, Membangun Condominium (Rumah Susun) Masalah-masalah Juridis Praktis dalam Penjualan, Pemilikan, Pembebanan serta Pengelolaannya, Hukum dan Pembangunan, FHUI No. 1 Tahun XXIV, Februari 1994, hlm. 15.
20

Universitas Sumatera Utara

unit-unit tersebut tetapi dimiliki oleh suatu badan perusahaan sebagai agen dari para pemilik unit-unit tersebut secara proporsional. Dengan kata lain, kepemilikan bangunan SRS dipisahkan secara tegas dengan tanah dimana bangunan Rumah Susun/SRS tersebut dibangun. Menurut Maria S.W. Sumardjono,22 Strata Title adalah suatu sistem yang memungkinkan pembagian tanah dan bangunan dalam unit-unit yang disebut satuan (parcels), yang masing-masing merupakan hak yang terpisah. Namun, di samping pemilikan secara individual itu dikenal pula adanya tanah, benda serta bagian yang merupakan milik bersama (common property). Di dalam UU Perumahan dan Permukiman, common property ini disebut dengan fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum). Berdasarkan Permendagri No. 1 Tahun 1987 tentang penyerahan prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial perumahan kepada Pemda dengan komposisi 60 (bangunan) banding 40 (fasos dan fasum). Menurut Djuhaendah Hasan23 agar terdapat kesatuan dasar pemikiran pengaturan tentang hukum benda yang berkaitan dengan pembangunan rumah susun di masa depan, maka akan lebih bermanfaat apabila menggunakan sistem Strata Title dari pada menggunakan condominium. Oleh karena itu, perlu direvisi UUR agar dimungkinkan penggunaan sistem Strata Title selain sistem Condominium dan disesuaikan dengan kebutuhan peraturan UUPA terbaru yang telah direformasi (Reformasi UUPA) oleh Pemerintah dan DPR sesuai dengan tuntutan masyarakat
Muhyanto Cs, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Kedudukan Hukum dan Sertifikat Pemilikan Rumah Susun, BPHN, Depkeh, 1993/1994, hlm. 16. 23 Djuhaendah Hasan, Op.cit, hal. 341-342.
22

Universitas Sumatera Utara

perkotaan modern yang berkembang pesat dan dinamis terlebih pada era globalisasi bisnis dan investasi sekarang ini. HMSRS dapat dijadikan sebagai jaminan kredit. Kemungkinan tersebut ditegaskan dalam Pasal 13 UURS yang menyatakan bahwa HMSRS sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) UURS dapat dijadikan jaminan hutang dengan, jaminan fidusia jika tanahnya hak pakai atas tanah negara. Implikasi dari hal-hal konkret yang dibutuhkan masyarakat modern perkotaan sekarang ini, terlebih-lebih para era otonomi daerah, globalisasi perdagangan bebas dan investasi yang terjadi sekarang, menciptakan dinamika dan booming pembangunan gedung-gedung bertingkat ke atas atau vertikal di kota-kota besar di Indonesia. Terlihat dengan semakin banyak Ruko/Rukan, Apartemen,

Kondomonium, Flat atau Town House/Rumah Tumbuh dengan menggunakan sistem strata title (sistem kepemilikan bangunan). Namun dalam praktiknya, Kreditur/Bank belum dapat memberikan pinjaman kredit kepada pemilik SRS. Fidusia sendiri sudah diatur dengan UU Fidusia. Dengan demikian, untuk kepastian hukum jaminan pemberian kredit dari pihak Kreditur/Bank atas kepemilikan hak tanah pada SRS, perlu menerbitkan suatu peraturan perundangundangan yang menjamin kepastian hukum kepemilikan hak tanah pada SRS/gedunggedung bertingkat dalam kerangka hukum benda dengan konsep strata title tersebut. Peraturan perundang-undangan ini akan membantu percepatan pembangunan infrastruktur perumahan dan permukiman serta Rumah Susun sebagaimana yang dimaksud dalam RPJM.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan uraian di atas, perlu dikaji lebih lanjut perihal hak milik atas satuan rumah susun dalam kerangka hukum benda/benda tanah yang dituangkan dalam judul : Analisis Yuridis Kepemilikan Hak atas Tanah pada Satuan Rumah Susun. Landasan hukum pembangunan ekonomi Indonesia dapat ditemukan di dalam Pasal 33 UUD 1945 amandemen ke-4 Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial yang antara lain menegaskan : 1. Perekonomian kekeluargaan. 2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. 4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan asas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dalam rangka melaksanakan Pembangunan Ekonomi Indonesia guna mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia sebagaimana yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945 tersebut di atas, telah diterbitkan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). SPPN ini dilaksanakan secara bertahap, yang terdiri dari Rencana Pembangunan Tahunan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah/RPJM, dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang/RPJP. disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas

Universitas Sumatera Utara

Salah satu asas dan tujuan dari SPPN ini adalah24 berdasarkan demokrasi dengan prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional. Perencanaan pembangunan nasional ditujukan secara sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, atau komprehensif dan tanggap terhadap perubahan-perubahan serta diselenggarakan berdasarkan asas-asas umum penyelenggaraan negara yang baik (good governance). Adapun tujuan SPPN, antara lain : a) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi yang baik antara Pemerintah Pusat dan Daerah sesuai peran dan fungsinya masing-masing serta konsistensi dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan; b) menjamin transparansi penggunaan sumber daya secara efisien, berkeadilan dan berkelanjutan; dan c) mendukung koordinasi antara pelaku pembangunan dan mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Dalam rangka pelaksanan visi dan misi Presiden dalam Pemilu Tahun 2004 sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 25 Tahun 2004, Pemerintah telah mengeluarkan Perpres No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah/RPJM (2004-2009). Salah satu permasalahan dan agendanya adalah percepatan pembangunan infrastruktur. Termasuk didalamnya pembangunan

Perumahan dan Pemukiman serta Rumah Susun guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan papan yang layak dalam lingkungan yang sehat sebagai bentuk

24

Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Universitas Sumatera Utara

tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimuat dalam penjelasan Lampiran Perpres tersebut di atas. Kebijakan percepatan pembangunan Perumahan dan Pemukiman serta Rumah Susun tersebut sangat bijaksana mengingat kebutuhan perumahan yang layak huni tersebut semakin hari semakin meningkat, khususnya di wilayah kota-kota besar di Indonesia, seperti : di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan Ujung Pandang. Rumah susun dapat mengurangi penggunaan lahan kota yang semakin sempit dan kumuh, mengatasi banjir dan kemacetan, penataan ruang kota yang lebih dinamis, serta menghemat biaya transportasi di dalam mewujudkan pembangunan kota yang dinamis. Pembangunan ekonomi suatu negara menurut Rostow,25 yang dimuat dalam Economic Journal dan bukunya : The Stages of Economic Growth, menjelaskan proses tahapan pertumbuhan ekonomi. Dimulai dengan masyarakat tradisional (traditional society), prasyarat untuk lepas landas (the preconditions for take off, lepas landas (take off), gerakan ke arah kedewasaan (the drive to maturity), dan masa konsumsi tinggi (the age of high mass consumption). Konsepsi Mochtar Kusumaatmadja26 tentang hukum sebagai sarana pembangunan dan pembaharuan masyarakat yang diadaptasi dari konsep Roscoe Pound tentang law as a tool of social engenering memberikan suatu arahan dalam pembangunan dibidang hukum, yaitu bahwa hukum harus mampu tampil ke depan
Sadono Sukirno, Ekonomi Pembangunan, Medan, 1981, hlm. 101 dan Arif Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hlm. 25-28. 26 Djuhaendah Hasan, Op.cit, hlm. 36
25

Universitas Sumatera Utara

dalam memberikan arahan pembaharuan. Demikian pula seharusnya dalam hal kepemilikan hak tanah pada SRS. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan atau bahkan dipandang mutlak perlu. Selanjutnya, dikatakan pula bahwa baik perubahan maupun ketertiban (keteraturan) merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang sedang membangun maka hukum menjadi suatu yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan. Menurut Sunaryati Hartono27, makna dari pembangunan hukum meliputi : 1. Menyempurnakan (membuat sesuatu yang lebih baik); 2. Mengubah agar menjadi lebih baik dan modern; 3. Mengadakan sesuatu yang sebelumnya belum ada; atau 4. Meniadakan sesuatu yang terdapat dalam sistem lama karena tidak diperlukan dan tidak cocok dengan sistem baru. Pembinaan hukum harus mampu menampung kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang berkembang ke arah modernisasi/globalisasi. Oleh karena itu, pembaharuan dan pembentukan hukum nasional menggantikan hukum kolonial mutlak diperlukan bagi masyarakat Indonesia yang sedang membangun.28

27 28

Djuhaendah Hasan, Ibid, hlm. 2 Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, PT. Sofmedia, Medan, 2009, hlm. 60.

Universitas Sumatera Utara

Dengan demikian, pembaharuan/reformasi hukum kepemilikan hak tanah pada SRS mutlak dilakukan dalam rangka menjamin kepastian hukum (guna menghindari sengketa atau conflict of interest kepemilikan hak tanah pada SRS dari para penghuni SRS). Agar tercapai ketertiban dan kesebandingan hukum dalam rangka terciptanya keadilan (tidak ada hukum tanpa keadilan), dalam kepemilikan hak tanah pada satuan rumah susun. Kepemilikan hak tanah pada satuan rumah susun merupakan sarana penunjang yang kuat agar tujuan pembangunan nasional, khususnya pembangunan perumahan dan permukiman serta Rumah Susun, dapat lebih mencapai sasaran untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sesuai sila ke 5 Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945 (Amandemen ke 4). Dengan demikian, berbagai studi tentang hubungan hukum dan pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak akan pernah berhasil tanpa pembaharuan hukum/reformasi hukum. Memperkuat institusi-institusi hukum adalah pre condition for economic change, Crucial to the viability of new political system and as agent of social change.29 Demikian pula hendaknya dalam hal kepemilikan hak tanah pada SRS dalam kerangka hukum benda ini.

Erman Rajagukguk, Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional, Membangun Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Makalah Seminar Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII, BPHN dan HAM, Denpasar, 14-18 Juli 2003, hlm. 1.

29

Universitas Sumatera Utara

Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945 meletakkan dasar politik agraria30 yaitu, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Yang dimaksud dengan bumi di sini adalah benda tanah. Jadi, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ini merupakan landasan dibentuknya UUPA. Selanjutnya, di dalam Pasal 3 Tap MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) disebutkan bahwa pengelolaan SDA yang terkandung di daratan/bumi, laut, dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Dalam butir c menyebutkan bahwa pengelolaan SDA harus dilakukan secara terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika aspirasi, dan peran serta masyarakat serta menyelesaikan konflik. Pembaruan agraria dan pengelolaan SDA tersebut antara lain harus dilaksanakan sesuai prinsip mensejahterakan masyarakat, terutama meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat, dan lain-lain. Menurut Djuhaendah Hasan31, salah satu aspek yang penting di dalam hukum tanah adalah tentang hubungan antara tanah dengan benda yanga melekat padanya. Kepastian akan kedudukan hukum dari benda yang melekat pada tanah itu sangat penting karena hal ini menyangkut pengaruh yang sangat luas terhadap segala hubungan hukum yang menyangkut tanah dan benda yang melekat padanya. Dengan

30 31

Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, hlm. 36. Djuhaendah Hasan, Op.cit, Pt. Citra Aditrya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 65.

Universitas Sumatera Utara

demikian, kepastian hukum akan kedudukan HMSRS sangat penting dalam kerangka hukum tanah. Di dalam hukum tanah dikenal ada dua asas. antara asas yang satu dengan asas yang lain ternyata bertentangan, yaitu yang dikenal dengan asas pelekatan vertikal (verticale accessie beginsel) di dalam hukum benda KUH Perdata sebagaimana dapat ditemukan pengaturannya di dalam Pasal 571 KUH Perdata dan asas pemisahan horizontal (horizontal scheiding beginsel) di dalam hukum tanah/hukum agraria yang bersumber kepada hukum adat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 UUPA. Hukum tanah di Indonesia menganut asas pemisahan horizontal karena memakai dasar hukum adat. Pasal 5 UUPA menyatakan dengan tegas bahwa : Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan yang tercantum dalam undangundang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Asas pelekatan vertikal yaitu asas yang mendasarkan pemilikan atas tanah dan segala benda yang melekat padanya sebagai suatu kesatuan yang tertancap menjadi satu (Gambar a). Asas pemisahan horizontal justru memisahkan tanah dari segala benda yang melekat pada tanah tersebut (Gambar b).

Universitas Sumatera Utara

Gambar a SRS

Rumah susun

Benda tidak bergerak

TANAH

Gambar b SRS

Rumah susun

TANAH

Benda tidak bergerak

Asas adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, dasar, tumpuan, pokok pangkal, fundamen, tempat untuk menyandarkan, dan untuk mengembalikan sesuatu hal yang hendak dijelaskan.

Universitas Sumatera Utara

Sudikno Mertokusumo32 mengatakan bahwa asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkret melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya, atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat dalam atau di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut. Jadi, asas pemisahan horizontal merupakan alas atau dasar pemikiran yang melandasi atau merupakan latar belakang hukum pertanahan dalam pengaturan hukum adat dan asas ini dianut oleh UUPA. Asas pelekatan vertikal merupakan alas pemikiran yang melandasi hukum pertanahan dalam pengaturan KUHPerdata. Dewasa ini pengaruh asas pelekatan vertikal yang merupakan dasar hukum pertanahan KUH Perdata masih besar dalam kehidupan masyarakat perkotaan. Misalnya, SRS selalu menyatu dengan tanah (tanah bersama) merupakan pengaruh alam pikiran KUHPerdata dan bukan alam pikiran UUPA ataupun hukum adat. Di masyarakat pedesaan, anggota masyarakatnya masih berpikir berdasarkan hukum adat, dimana pemilikan rumah terpisah dari pemilikan atas tanah. Dengan demikian, Pembangunan Rumah Susun/SRS dalam kerangka hukum pertanahan/benda tanah terkait dengan asas pemisahan horizontal dan asas pelekatan vertikal.

32

Djuhaendah Hasaan, Ibid, hlm. 66.

Universitas Sumatera Utara

2. Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi antara abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut dengan definisi operasional.33 Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.34 Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi yaitu sebagai berikut : Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang melahirkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-

Sumadi Surya Brata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 3. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 7.
34

33

Universitas Sumatera Utara

masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.35 Satuan rumah susun adalah rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.36 Hak kebendaan adalah hak mutlak atas sesuatu benda dimana hak itu memberikan kepada pemegang hak tersebut kekuasaan langsung atas sesuatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.37 Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun.38 Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun, tetapi yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama.39 Tanah bersama adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang diatasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin bangunan.40

35 36

Pasal 1 Ayat (1) UURI Nomor16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun. Pasal 1 Ayat (2), Ibid. 37 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 2000, hlm. 24. 38 Pasal 1 Ayat (4) UURI No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun 39 Pasal 1 Ayat (5), Ibid. 40 Pasal 1 Ayat (6), Ibid.

Universitas Sumatera Utara

G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang dasarnya pada metode sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, kecuali itu maka diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan.41 Penelitian ini bersifat yuridis normatif, disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.42 Di dalam menjawab dan membahas permasalahan dalam penelitian ini, maka sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitis, yang menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisa tentang kepemilikan Hak Atas Tanah Satuan Rumah Susun dengan semua aspek hukumnya yang terkait. Jenis penelitian yang ditetapkan adalah memakai penelitian metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif) yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif yang berasal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif atau kepustakaan

41 42

Soerjono Soekanto, Op.cit, hlm. 13. Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hlm. 13.

Universitas Sumatera Utara

mencakup43 penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum. Dengan kata lain kepemilikan bangunan SRS dipisahkan secara tegas dengan tanah dimana Bangunan Rumah Susun (SRS) tersebut dibangun. Penelitian yang menyangkut sinkronisasi pemisahan horizontal yang dianut oleh Indonesia melalui UUPA nomor 5 Tahun 1960 dimana tanah terpisah dari segala sesuatu yang melekat pada tanah tersebut atau pemilik atas tanah terlepas dari benda yang berada di atas tanah ini, sehingga pemilik hak atas tanah dapat berbeda dengan pemilik benda tersebut. Berdasarkan asas pemisahan horizontal dapat disimpulkan bahwa kepemilikan atas tanah tidak harus selalu sama dengan kepemilikan atas rumah di atas tanah tersebut.44

2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundangundangan dan karya ilmiah lainnya.

43 44

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.cit, hlm. 12. Arie S. Hutagalung, Op.cit, hlm. 67.

Universitas Sumatera Utara

3. Sumber-sumber Data Kepustakaan Sumber-sumber data kepustakaan diperoleh dari : 1. Bahan hukum primer yang terdiri dari norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hukum benda dan satuan rumah susun. 2. Bahan hukum sekunder seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah, jurnal ilmiah, majalah, surat kabar dan internet. 3. Bahan hukum tertier yang merupakan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.

4. Analisis Data Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Penelitian ini akan dimulai dengan mengidentifikasikan hukum positif dibidang hukum benda dan rumah susun serta dikaitkan dengan asas-asas dalam hukum pertanahan di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun

Universitas Sumatera Utara

1960. Dari data sekunder terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang diperoleh, akan dianalisis secara kualitatif dan kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan cara deduktif. Dari data yang dianalisis diharapkan dapat menjawab permasalahan yang ditetapkan.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai