Anda di halaman 1dari 24

BAB IV PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM

BAB IV PELAKSANAAN PEMILIHAN UMUM

A.

Pendahuluan

Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan berdasarkan ketetapan MPR RI Nomor XIV/MPR/1998 yang berdasarkan pada pertimbangan bahwa di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu diselenggarakan Pemilu secara demokratis, transparan, jujur dan adil diselenggarakan dengan pemberian dan pemungutan suara secara Iangsung, umum, bebas, dan rahasia. Dalam kaitan ini peran ABRI (TNI dan Polri) dan PNS harus ditempatkan pada posisi yang bersifat netral dan bersifat adil baik dalam penyelenggaraan Pemilu maupun terhadap kontestan peserta Pemilu. Sebagai tindak lanjut dari upaya implementasi Ketetapan MPR tersebut dibentuk UndangUndang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu yang antara lain memberikan amanat untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang didasarkan pada prinsip bahwa Pemilihan Umum merupakan sarana

IV/l

untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan. pemerintahan negara. Pemilu bukan hanya bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga Permusyawaratan/perwakilan, melainkan juga merupakan suatu sarana untuk mewujudkan penyusunan tata kehidupan negara yang dijiwai semangat Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mewujudkan penyelenggaraan Pemilihan Umum secara demokratis dan transparan, berdasarkan asas jujur, adil, langsung, umum, bebas, rahasia, serta pelaksanaannya sepenuhnya diserahkan kepada rakyat melalui wakil-wakil partai politik, maka dengan Keppres No. 77 Tahun 1999 dibentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pengganti Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Anggota KPU ini terdiri dari 5 wakil pemerintah dan 48 orang wakil dari partai politik. Selain terbentuknya KPU yang independen tersebut, terbentuk pula sejumlah pemantau-pemantau Pemilu, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Pemantau-pemantau Pemilu tersebut antara lain : Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Forum Rektor, University Network for a Free and Fair Election (UNFREL), parpolparpol peserta Pemilu, dan beberapa LSM-LSM dalam negeri lainnya serta pemantau asing seperti European Union Carter Center, Namfrel (Philipina), dan lainnya. Hal lain yang juga memberikan jaminan pelaksanaan Pemilu 1999 dapat berlangsung Luber dan Jurdil adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) bersikap netral dan bebas menentukan pilihannya (Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 jo Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1999), sikap dan posisi TNI/Polri yang bersifat netral dan pelaksanaan pemungutan suara pada hari kerja yang diliburkan. Pelaksanaan Pemilu sesuai yang

IV/2

diharapkan merupakan tonggak sejarah baru dalam sistem dan penyelenggaraan Pemilu. B. Langkah-Langkah yang Dilakukan

Pemilihan Umum 1999 mempunyai nilai yang sangat strategis dalam upaya penyelamatan, rehabilitasi, serta rekonstruksi bangsa dan negara untuk menghadapi masa depan yang lebih baik. Meskipun yang diberi tugas dan tanggung jawab secara hukum adalah Presiden, namun suksesnya Pemilihan Umum tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia. Beberapa upaya untuk mendukung terwujudnya Pemilihan Umum 1999 yang jujur, adil, umum, bebas, dan rahasia telah dikembangkan diantaranya : (a) penyiapan Undang-undang tentang Pemilihan Umum dan Peraturan Pemerintahnya; (b) penyiapan Undang-Undang tentang Kepartaian beserta Peraturan Pemerintahnya; (c) penyiapan Undang-undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD; (d) sosialisasi Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, Kepartaian, serta Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD beserta Peraturan Pemerintahnya; dan (e) sosialisasi kriteria jujur adil dalam seluruh siklus kegiatan Pemilihan Umum. Rangkaian kegiatan untuk menyukseskan Pemilihan Umum antara lain meliputi : (a) penetapan Pemilihan Umum, peserta Pemilihan Umum, panitia penyelenggaraan Pemilihan Umum, dan pelaksanaan Pemilihan Umum; (b) peningkatan peran serta masyarakat secara aktif dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum; (c) menyiapkan format kampanye Pemilihan Umum yang dapat ditaati semua OPP dan anggota masyarakat; dan (d) menyusun

IV/3

kerangka kerja (framework) pengawasan Pemilihan Umum yang akan dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia dan komunitas internasional.

C.

Hasil-Hasil yang Dicapai.

Sejalan dengan reformasi pembangunan bidang politik, pada bulan November 1998 telah diselenggarakan Sidang Istimewa (SI) 1998. Sidang Istimewa merupakan awal mata rantai dari tiga agenda nasional yang telah disepakati bersama antara Presiden dan pimpinan DPR/MPR. Sidang Istimewa diperlukan sebagai pembuka jalan ke arah penyelesaian masalah nasional secara menyeluruh. Salah satu tujuan utama Sidang Istimewa adalah percepatan pelaksanaan Pemilihan Umum dari jadwal yang telah ditetapkan sebelumnya, yaitu pada tahun 2002. Agenda nasional ke dua adalah penyelenggaraan Pemilihan Umum yang telah dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999. Dari hasil Pemilihan Umum, diharapkan dapat menciptakan infrastruktur politik baru yang tercermin dalam susunan keanggotaan DPR/ MPR baru. Setelah itu, akan dilaksanakan agenda nasional ketiga yaitu Sidang Umum MPR, termasuk di dalamnya memilih Presiden dan Wakil Presiden. Berkaitan dengan reformasi pembangunan di bidang politik tersebut, pemerintah telah menyusun dan menyiapkan Rancangan Undang-Undang bidang Politik, yaitu untuk merevisi UndangUndang Nomor 1, 2, 3, 5, dan 8 Tahun 1985. Rancangan UndangUndang bidang Politik yang disusun oleh pemerintah, disampaikan kepada DPR-RI untuk dibahas lebih lanjut. Rancangan UndangUndang bidang Politik yang dibahas, terutama adalah Rancangan Undang-Undang tentang Partai Politik, Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum dan Rancangan Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, dan DPRD. Ketiga

IV/4

Rancangan Undang-Undang telah disahkan oleh presiden menjadi Undang-Undang meliputi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, dan DPRD. Materi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik meliputi : 1) Adanya kemudahan persyaratan untuk mendirikan partai politik yaitu sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang WNRI yang telah berusia 21 tahun dapat membentuk Partai Politik. Partai Politik didirikan dengan Akte Notaris kemudian didaftarkan di Departemen Kehakiman. Partai Politik mempunyai hak ikut serta dalam Pemilihan Umum apabila Partai Politik yang bersangkutan memenuhi persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang Pemilihan Umum dan memperoleh perlakuan yang sama, sederajat dan adil dari negara. Untuk menjamin netralisasi Pegawai Negeri Sipil selaku abdi negara dan abdi masyarakat, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang berisi netralisasi PNS dalam Pemilu, dengan cara tidak boleh menjadi anggota atau pengurus parpol dan tidak boleh dicalonkan (PP No. 5 Tahun 1999 dan PP No. 12 Tahun 1999). Partai Politik dapat membentuk kepengurusan mulai dari tingkat pusat sampai tingkat desa/kelurahan. Partai Politik tidak boleh menerima sumbangan dan bantuan dari pihak asing, namum sumbangan dari masyarakat, perusahaan dan badan-badan hukum serta oleh pemerintah dibenarkan. Partai Politik memelihara daftar penyumbang dan IV/5

2) 3)

4)

5) 6)

7)

sumbangannya serta terbuka untuk diaudit oleh akuntan publik. Mahkamah Agung melakukan pengawasan terhadap Partai Politik dan dengan kewenangan yang ada padanya dapat membekukan atau membubarkan Partai Politik.

Materi yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum meliputi : 1) 2) 3) 4) 5) Asas Pemilu adalah jujur, adil, langsung umum bebas dan rahasia Pemilihan Umum dilaksanakan 5 (lima) tahun sekali Pemilihan Umum dilaksanakan dengan sistem proporsional dan stelsel daftar Daerah Pemilihan adalah Daerah Tingkat I Badan Penyclenggara yang mengadakan Pemilu mulai dari Tingkat Pusat (Komisi Pemilihan Umum/KPU) sampai dengan kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPS) bersifat independen/mandiri yang terdiri dari wakil Partai Politik dan Pemerintah. Penanggung jawab Pemilu adalah Presiden Untuk mengawasi Pemilu dibentuk Panitia Pengawas yang bersifat bebas dan murni. Susunan Panitia Pengawas ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung di tingkat Pusat, Pengadilan Tinggi di Tingkat I dan Ketua Pengadilan Negeri di Tingkat II serta Kecamatan Lembaga-lembaga pemantau Pemilu baik dari dalam maupun dari luar negeri melakukan pemantauan terhadap penyelenggaraan Pemilu dengan medaftarkan diri kepada Komisi Pemilihan Umum. Tahapan penyclenggaraan Pemilu, yaitu a) Pendaftaran dan penelitian Partai Politik peserta Pemilu serta penentuan nomor urutnya.

6)

7)

8)

IV/6

b) Pendaftaran pemilih dilakukan secara aktif oleh pemilih dengan membawa KTP atau bukti diri lainnya yang sah c)Pencalonan Anggota DPR II/DPR I/DPR melalui persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang calon antara lain adalah mengisi formulir daftar kekayaan pribadi disamping harus mengisi formulir lainnya. d) Kampanye Pemilihan Umum. Tema kampanye Pemilu adalah program masing-masing Partai Politik peserta Pemilu. Dalam kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan dan partai politik lain serta tidak menggunakan fasilitas pemerintah dan sarana ibadah. Dana kampanye Pemilu masing-masing Partai Politik peserta Pemilu tidak boleh berasal dari pihak asing dan dana kampanye Pemilu diaudit oleh akuntan publik. e) Pemungutan suara dan penghitungan suara di TPS. Pemungutan suara untuk Pemilu anggota DPR/DPRD I/DPRD II dilaksanakan serentak diseluruh tanah air pada hari yang diliburkan dengan disaksikan dari partai politik. Setelah pemilih memberikan suara, pemilih yang bersangkutan diberi tanda khusus oleh KPPS. f) Pengucapan sumpah/janji anggota D P R D I I / D P R D I/DPR. Materi yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, dan DPRD meliputi : 1) Jumlah anggota MPR sebanyak 700 orang terdiri dari: a) Anggota DPR sebanyak 500 orang b) Utusan Daerah sebanyak 135 orang dipilih oleh DPRD I c) U t u s a n G o l o n g a n s e b a n y a k 6 5 o r a n g d i p i l i h o l e h Golongan

IV/7

2) 3)

Pimpinan MPR terpisah dari pimpinan DPR dan bersifat kolektif Keanggotaan MPR tidak boleh dirangkap oleh : a) Pejabat Negara b) Pejabat Struktural pada pemerintah c) Pejabat pada Peradilan d) Pejabat lain sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku

e) Keanggotaan DPR tidak dirangkap dengan jabatan apapun di lingkungan pemerintahan dan peradilan pada semua tingkatan f) Keanggotaan DPRD tidak dapat dirangkap dengan jabatan SEKWILDA, Kepala Dinas, Sekretaris DPRD, dan pegawai yang bertanggung jawab dengan keuangan pada daerah yang bersangkutan. g)Keanggotaan MPR, utusan Golongan-golongan ditetapkan oleh DPR, baik jenis dan jumlahnya. Untuk Pemilu tahun 1999, anggota MPR utusan Golongangolongan ditetapkan oleh KPU, baik jenis maupun jumlahnya.
Disadari bahwa waktu pembahasan terhadap ketiga konsep Undang-Undang relatif singkat, sehingga harus diakui bahwa masih terdapat adanya celah-celah potensial untuk munculnya hal-hal yang kurang mendukung terhadap upaya reformasi politik khususnya sukses Pemilu 1999. DPR juga telah menunjukkan kerjasama yang baik dengan pemerintah dalam rangka pembatasan Undang-Undang bidang Politik terutama dari segi target waktu. Kesemuanya ini menunjukkan adanya iktikad dan kesungguhan DPR untuk Pemilu dapat terselenggara tepat waktu. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1999 tentang Partai Politik, telah tumbuh berbagai partai politik yang IV/8

tercatat mencapai 141 partai politik yang mendaflarkan diri, termasuk tiga partai politik yang telah ada sebclumnya. Setelah melalui verifikasi, ternyata hanya 48 partai politik memenuhi syarat untuk mengikuti Pemilihan Umum yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri/Ketua Lembaga Pemilihan Umum Nomor 31 Tahun 1999. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, perlu dibentuk lembaga-lembaga permusyawaratan/perwakilan rakyat yang anggota-anggotanya dipilih melalui Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara demokratis dan transparan (keterbukaan). Pemilihan Umum merupakan sarana demokrasi guna mewujudkan sistem pemerintahan negara yang berkedaulatan rakyat. Pemerintahan negara yang dibentuk melalui Pemilihan Umum itu adalah yang berasal dari rakyat, dijalankan sesuai dengan kehendak rakyat dan diabdikan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Hanya kekuasaan pemerintah negara yang memancarkan kedaulatan rakyatlah yang memiliki kewibawaan kuat sebagai pemerintahan yang amanah. Pemerintahan yang dibentuk melalui suatu pemilihan umum akan memiliki legitimasi yang kuat. Dasar pemikiran tersebut diatas, merupakan penegasan pelaksanaan semangat dan jiwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sesuai tuntutan reformasi. Seiring dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, maka dalam rangka penyelenggaraan Pemilihan Umum sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) dibentuk, persiapan pelaksanaan Pemilu dilakukan LPU dan untuk itu Ketua Umum LPU telah membentuk Tim-11 yang bertugas membantu LPU terutama dalam verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu. Susunan Keanggotaan Tim-11 adalah sebagai berikut :

IV/9

1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11)

Prof. DR. Nurcholis Madjid, Sebagai Ketua DR. Adnan Buyung Nasution, SH. Sebagai Wakil Ketua Prof. DR. Adi Andoyo, SH. Sebagai Wakil Ketua DR. Andi A. Malarangeng, Sebagai Sekretaris Rama Pratama, Sebagai Wakil Sekretaris Prof. DR. Miriam Budiardjo, MA, Sebagai Anggota DR. Afan Gafar, Sebagai Anggota Drs. Mulyana W. Kusumah, Sebagai Anggota DR. Kastorius Sinaga, Sebagai Anggota DR. Eep Saefulloh Fattah, Sebagai Anggota Drs. Anas Urbaningrum, Sebagai Anggota.

Keppres Nomor 77 Tahun 1999 dikeluarkan untuk membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pengganti Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Anggota KPU terdiri dari 5 orang wakil pemerintah yaitu DR. Adnan Buyung Nasution, SH; Prof. DR. Adi Andoyo, SH; DR. Afan Gafar; Oka Mahendra, SH; DR. Andi A. Malarangeng; serta 48 orang wakil dari partai politik. Pembenlukan KPU dan penunjukkan anggotanya itu dimaksudkan agar KPU dapat berperan lebih independen dan tidak terpengaruh oleh intervensi pihak pemerintah di dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum. KPU juga didampingi oleh pemantau-pemantau Pemilihan Umum, baik dari dalam maupun dari luar negeri yang berjumlah sekitar 590.000 orang dan juga terbantu oleh adanya 350 orang observer internasional. Pemantau-pemantau Pemilihan Umum tersebut antara lain : Komite Independen Pemantau Pemilihan Umum (KIPP), Forum Reklor, University Network For Free and Fair Election (UNFREL), parpol-parpol peserta Pemilihan Umum, dan beberapa LSM-LSM dalam negeri lainnya serta pemantau asing seperti European Union Carter Center, National Assembly for Monitoring Free and Fair Election (NAMFREL)-Philipina, dan lainlainnya. Dengan adanya pemantau Pemilihan Umum yang cukup banyak dan cukup bervariatif, maka Pemilihan Umum yang bersifat IV/10

langsung, umum, bebas, rahasia, dan jurdil dapat lebih terjamin pelaksanaannya. Dalam pelaksanaan Pemilihan Umum pada tanggal 7 Juni 1999, jumlah peserta Pemilu mencapai 105.846.177 orang atau 89,84 persen dari jumlah penduduk yang memiliki hak pilih dan tercatat sebagai pemilih yaitu 117.817.405 orang (Tabel-1). Angka tersebut didasarkan pada jumlah hasil penghitungan suara yang sah, di mana hasil akhirnya telah ditandatangani pada tanggal 26 Juli 1999 oleh 17 Partai dan 5 wakil dari Pemerintah. Secara proporsional jumlah tanda tangan itu tidak mencapai dua pertiga dari jumlah tanda tangan anggota KPU yang berasal dari partai peserta Pemilihan Umum. Akan tetapi secara kuantitatif jumlah suara Partai yang menolak tanda tangan dan suara Partai yang abstain persentasenya cukup kecil yaitu berturut-turut hanya mencapai 4.593.326 suara atau 4,34 persen dan 630.502 suara atau 0,59 persen; sedangkan suara Partai yang menandatangani hasil Pemilihan Umum jumlahnya mencapai 100.689.033 suara atau 95,07 persen (Tabel-2). Hasil penghitungan suara tersebut dinyatakan sah oleh Presiden melalui Pidato Presiden untuk menanggapi hasil penghitungan suara dan diperkuat lagi dengan Keppres No. 92 tahun 1999 tanggal 4 Agustus 1999 tentang Pengesahan Hasil Pemilihan Umum, di mana pada saat tersebut partai yang tidak menandatangani hasil Pemilihan Umum tinggal 18 Partai. Keadaan yang demikian itu membuktikan bahwa animo masyarakat terhadap keinginan untuk terjadinya perubahan kondisi krisis negara melalui proses Pemilihan Umum cukup tinggi, meskipun di Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Timor Timur menunjukkan gejala yang kurang kondusif.

IV/11

Dari jumlah 462 kursi DPR Pusat yang diperebutkan dalam Pemilihan Umum, urutan pertama perolehan kursi diduduki oleh PDI Perjuangan yaitu 153 kursi disusul oleh Partai Golkar 120 kursi; PPP 58 kursi; PKB 51 kursi PAN 34 kursi; dan PBB 13 kursi. Sementara Partai-Partai yang mendapatkan kursi dalam jumlah kecil adalah PK 7 kursi, PDKB dan PNU 5 kursi, PKP 4 kursi, PDI 2 kursi; PBI, PKD, PDR, IPKI, PP, PSII, PNI Massa Marhaen, PNI Front Marhaen, PPII Masyumi, dan PKU masing-masing 1 kursi (Tabel -3). Guna melaksanakan Pemilihan Umum yang jujur dan adil, Pemerintah Indonesia telah mengganggarkan dana rupiah murni untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang mencapai jumlah lebih dari Rp. 1,62 trilyun yang dibebankan dalam dua tahun anggaran. Di samping itu juga mendapatkan dana bantuan UNDP dari negara-negara donor yang jumlahnya mencapai kurang lebih 30 juta dolar Amerika Serikat atau setara dengan Rp. 245,05 milyar sehingga total jumlahnya mencapai lebih dari Rp. 1,87 trilyun. Dana anggaran rupiah murni tersebut dibagi dalam empat pos besar pembiayaan, yaitu: biaya pegawai, biaya pengadaan barang, biaya operasi, dan biaya lain-lain. Masing-masing pos dibagi lagi ke dalam dua bidang pendanaan yaitu dana untuk pusat dan daerah. Untuk pos biaya operasional menempati urutan terbesar yaitu Rp. 670,699 milyar yaitu untuk badan penyelenggaraan Pemilihan Umum di pusat seperti KPU, PPI, dan Panwaslu sebesar Rp. 117,306 milyar dan daerah seperti PPD I, PPD II, PPK, dan PPS sebesar Rp. 553,392 milyar. Sementara anggaran untuk pos biaya pengadaan barang sebesar Rp. 402,434 milyar digunakan untuk badan penyelenggara di pusat dan Rp. 113,352 milyar digunakan untuk badan penyelenggara di daerah. Disamping itu, disediakan juga anggaran rupiah murni yang mencapai jumlah lebih dari Rp 1,355 Trilyun untuk biaya pendukung peyelenggaraan Pemilihan Umum. Anggaran tersebut digunakan oleh beberapa departemen/ IV/12

instansi yang terlibat memberikan dukungan terhadap kelancaran dan pengamanan penyelenggaraan Pemilihan Umum; seperti Dephankam, Depdagri, KPU, Mahkamah Agung, dan Universitas Indonesia. Resume anggaran untuk penyelenggaraan Pemilu tersebut ditunjukkan pada Tabel -4. Perolehan dana dukungan Pemilu dari negara donor UNDP mencapai lebih dari 60,347 juta dolar Amerika Serikat, di mana dana tersebut disalurkan kepada KPU sebesar kurang lebih 30 juta dolar Amerika Serikat atau setara dengan Rp. 245,05 milyar, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pelaksana pendidikan pemilih Rp 33,90 milyar (4,15 juta dolar Amerika Serikat), dan LSM pelaksana pemantauan Pemilu yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil sebesar Rp. 95,38 milyar (11,68 juta dolar Amerika Serikat). Total dana yang sudah diserahkan kepada lembaga-lembaga tersebut mencapai Rp. 374,34 milyar (45,83 juta dolar Amerika Serika) atau 75,94 persen dari pendapatan dana dukungan dari negara donor. Dana tersebut diperoleh dari negara-negara sahabat yang peduli terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia. Resume mengenai asal negara donor dalam nilai kcsepakatan bantuan teknis luar negeri untuk penyelenggaraan pemilu ditunjukkan pada Tabel-5. Sementara itu, gambaran mengenai lembaga pemerintah dan non pemerintah penerima bantuan teknis luar negeri dalam rangka penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil ditunjukkan pada Tabel -6. Hal lain yang mendukung terjaminnya pelaksanaan Pemilihan Umum 1999 secara langsung, umum, bebas rahasia dan jurdil adalah karena Pegawai Negeri Sipil (PNS) bersikap netral dan bebas menentukan pilihannya (Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 jo Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1999). Sikap dan posisi TNI/Polri yang bersifat netral dan pelaksanaan pemungutan suara IV/13

pada hari kerja yang diliburkan juga lebih memperkuat dukungan terhadap penyelenggaraan Pemilihan Umum yang luber dan jurdil. Pelaksanaan Pemilihan Umum sesuai yang diharapkan tersebut tentu saja merupakan tonggak sejarah baru dalam sistem dan penyelenggaraan Pemilihan Umum dan menjadi awal yang sangat kondusif bagi berkembangnya proses demokratisasi. Pemilihan Umum adalah kegiatan politik yang amat mendasar dalam suatu negara demokrasi. Pemilihan Umum juga merupakan manivestasi pelaksanaan sila "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan" dari Pancasila. Sudah tujuh kali pelaksanaan Pemilihan Umum dibawah naungan UUD 1945, di mana setiap kali selalu menghasilkan perbaikan dan peningkatan mutu penyelenggaraannya, sebagai wujud terselenggaranya pembangunan politik. Penyelenggaraan kampanye pada hakikatnya dikehendaki dalam bentuk dialogis. Meskipun kampanye terbuka dan bersifat massal masih dijalankan, namun diimbangi dengan kampanye bentuk lain yang memungkinkan organisasi-organisasi peserta Pemilihan Umum berdialog secara langsung dengan masyarakat atau dengan memanfaatkan media masa dan elektronika. Berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum pada tanggal 7 Juni 1999, telah menghasilkan susunan Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang mencerminkan semangat reformasi. Dengan lerbentuknya MPR, diharapkan dapat diselenggarakan Sidang Umum MPR yang akan menetapkan GarisGaris Besar Haluan Negara, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta ketetapan-ketetapan lain dalam rangka menuntaskan proses reformasi pada setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

IV/14

D.

Tindak Lanjut yang Diperlukan

Pemilihan Umum yang telah dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999 yang berlandaskan peraturan perundang-undangan bidang Politik yang baru, pada hakikatnya adalah dalam rangka mewujudkan tata kehidupan negara sebagaimana dihendaki Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pemilihan Umum yang demokratis merupakan sarana untuk menegakkan kedaulatan rakyat dan untuk mencapai tujuan negara. Di samping beberapa hal prinsip yang penting dalam pelaksanaan Pemilihan Umum 1999, perlu dikenali berbagai hal yang belum terselesaikan dan tindak lanjut yang diperlukan. Beberapa masalah yang belum terselesaikan dan memerlukan tindak lanjut diantaranya adalah : (a) target untuk mendapatkan anggota perwakilan rakyat yang berkualitas termasuk tingkat keterwakilan yang berkualitas, (b) keterlibatan seluruh masyarakat, kesadaran politik masyarakat, (c) berbagai hal lain yang berkaitan dengan peningkatan kualitas Pemilihan Umum sebagai sarana demoktatisasi, dan (d) Pemilihan Umum yang demokrasi dan transparan, berdasarkan asas jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia, serta netralitas birokrasi sipil, dan independensi militer merupakan tuntutan kebutuhan yang harus lebih dikedepankan di masa mendatang. Meskipun diyakini lebih baik dari penyelenggaraan PemiluPemilu sebelumnya, namun harus disadari pula bahwa penyelenggaraan Pemilihan Umum pada bulan Juni tahun 1999 secara umum belum maksimal. Hal ini terindikasi dari masih banyaknya pelanggaran yang dilakukan yang berakibat kuatnya tuntutan masyarakat serta Partai.Politik untuk kurang mempercayai hasil Pemilihan Umum. Persepsi masyarakat atas kebebasan sejati IV/15

lembaga-lembaga Pemilihan Umum adalah hal yang strategis untuk menjamin keabsahan proses Pemilihan Umum dan terbentuknya pengakuan yang bulat atas keabsahan pemerintahan yang baru. Berkaitan dengan hal tersebut, masih banyak pula ditemukannya permasalahan yang tidak transparan yang muncul bahkan sampai menjadikan sebuah polemik dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, diantaranya baik dalam menetapkan nama-nama calon anggota DPR untuk setiap daerah pemilihan atau perhitungan hasil Pemilihan Umum untuk menentukan anggota DPR. Dengan melihat berbagai kekurangan dalam proses penyelenggaraan Pemilihan Umum, perlu diupayakan langkah langkah untuk menjamin bahwa proses Pemilihan Umum tidak hanya benar secara administratif, tapi juga harus bebas dari kesan berat sebelah. Hal yang penting bagi pemerintah dan lembaga Pemilihan Umum untuk melakukan berbagai upaya yang lebih dari sekedar untuk memenuhi persyaratan hukum agar menciptakan harapan bahwa keadilan harus ditegakkan. Di samping itu juga penyelenggaraan Pemilihan Umum diwajibkan untuk berperan lebih independen tidak terpengaruh oleh intervensi siapapun dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, serta bebas dan mandiri. Di samping tidak memihak, penyelenggaraan Pemilihan Umum harus mampu melakukan tindak independen dan efektif untuk melindungi integritas proses Pemilihan Umum. Jaminan akan proses yang semestinya mencakup prosedur peraturan dan peradilan yang menyediakan pemberitahuan, dengar pendapat dan pertimbangan, dan yang memberi perlindungan terhadap keputusan yang sewenang-wenang. Jaminan itu harus ada di setiap aspek proses Pemilihan Umum, termasuk diantaranya pengesahan calon, pendaftaran pemilih, penyusunan dan pembuatan bahan-bahan Pemilihan Umum, penegakan Undang-Undang Pemilihan Umum, IV/16

keputusan pengadilan atas pelanggaran, pemungutan penghitungan suara, dan pengumuman hasil Pemilihan Umum.

dan

Kualitas kampanye yang berbobot dalam Pemilihan Umum, masih belum menyentuh pada tataran permasalahan kritis yang dihadapi oleh rakyat. Secara substansial seharusnya materi kampanye terwujudkan dalam program Partai bagi pembangunan dan/ atau peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam substansi kampanye juga masih tcrkesan lekatnya kecenderungan primordial dan pengkultusan seseorang. Sejalan dengan hal tersebut perlu diupayakan melalui pendidikan politik rakyat seiring dengan kuatnya partisipasi politik masyarakat. Dalam rangka untuk menempatkan Pemilihan Umum agar didukung oleh partisipasi rakyat, maka obyektivitas, tujuan, dan pelaksanaannya, dipersyaratkan terbuka untuk memenuhi kepentingan rakyat. Untuk itu, partisipasi rakyat diperluas sehingga menghasilkan legitimasi bagi pemenangnya, akan megjadi penguasa dan pemerintah. Dalam hal pengawasan dan pemantauan Pemilihan Umum, pengawasan para saksi dari semua parta peserta Pemilihan Umum dalam kegiatan pemungutan, pengumpulan, dan penghitungan suara hasil Pemilihan Umum masih belum maksimal, diantaranya disebabkan oleh lemahnya sumberdaya partai untuk dapat ditempatkan sebagaisaksi, atau dikarenakan faktor-faktor lainnya. Lemahnya sumberdaya partai tersebut tidak hanya dalam hal itu saja, namun juga masih banyak terdapat pada lintasan lainnya, seperti halnya kader-kader partai yang akan duduk dalam anggota dewan, baik untuk tingkat II, I, maupun Pusat. Untuk itu upaya pendidikan kewarganegaraan akan memberikan peran kepada Pemerintah, Pemilih, Komite Pemilihan Umum, kontestan Pemilihan Umum, media massa, serta LSM. Kegiatan ini dapat menaikkan kesadaran kewarganegaraan atas para peserta dalam

IV/17

masing-masing sektor ini. Pendidikan ini juga dapat berfungsi membangun kemampuan LSM dalam melaksanakan program untuk memperkuat masyarakat madani setelah Pemilihan Umum. Selanjutnya dengan adanya lembaga pemantau Pemilihan Umum dari dalam maupun dari luar negeri seperti halnya KIPP, Forum Rektor, UNFREL, serta beberapa LSM-LSM dalam negeri lainnya serta pemantau asing seperti European Union, Carter Center, Namfrel (Philipina), dan lainnya, maka pelaksanaan Pemilihan Umum dapat diharapkan benar-benar jujur dan adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Di masa mendatang masih dihadapkan pada upaya untuk pengembangan etika, moral, dan budaya politik untuk meningkatkan dan mengembangkan etika, moral, dan budaya politik yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila melalui upaya menumbuhkembangkan semangat kebersamaan, kekeluargaan dan keterbukaan yang bertanggung jawab, sikap kenegarawanan di dalam berperilaku politik, sehingga dapat diwujudkan kehidupan politik yang sehat dan mantap dalam wadah dan tatanan politik yang demokratis. Dengan semangat dan perilaku politik yang demikian, diharapkan segala perbedaan pandangan yang terjadi di dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan akan dapat diselesaikan secara musyawarah untuk mencapai mufakat, yang berkeadilan dan berkeadaban, dalam demokrasi Pancasila yang sesungguhnya. Perlu digaris bawahi bahwa perjalanan sejarah politik bangsa selama ini belum mengimplementasikan demokrasi Pancasila secara nyata, sebagaimana yang seharusnya. Kehidupan konstitusional, demokratis, dan tegaknya hukum masih perlu terus dimantapkan dengan meningkatkan fungsi lembaga konstitusional sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, mengembangkan rasa percaya dan hormat masyarakat kepada

IV/18

tugas dan wewenang lembaga konstitusional dan lembaga politik lainnya, serta meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam kehidupan politik. Kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum juga harus terus ditingkatkan melalui keikutsertaan OPP di dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta penempatan birokrasi sipil dan militer pada posisi yang bersifat netral terhadap penyelenggaraan Pemilihan Umum maupun peserta Pemilihan Umum. Kebutuhan itu sekaligus bermanfaat guna memenuhi maksud Pemilihan Umum untuk merealisasikan keadilan di dalam proses politik. Pelaksanaan fungsi pengawasan dan pemantauan para saksi dari semua partai peserta Pemilihan Umum dalam kegiatan pemungutan, pengumpulan, dan perhitungan suara hasil Pemilihan Umum yang juga mendapat dukungan dari lembaga pemantau Pemilihan Umum dari dalam maupun dari luar negeri, LSM-LSM dalam negeri lainnya serta pemantau asing, agar pelaksanaan Pemilihan Umum dapat berjalan jujur dan adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia, perlu makin ditingkatkan dan dimantapkan kemandirian sehingga dapat benar-benar menjadi wadah yang semakin mampu menampung, mewakili, mencerminkan, dan menyalurkan aspirasi rakyat. Pada sisi lain masih perlu diperlakukan adanya dorongan kepada Partai Politik dan organisasi kemasyarakatan agar berperan aktif dalam mengembangkan demokrasi Pancasila, baik ke dalam maupun keluar, melalui program organisasi yang dilandasi semangat kebersamaan, kekeluargaan, dan keterbukaan yang bertanggungjawab berdasarkan nilai-nilai Pancasila serta menjunjung tinggi kehidupan konstitusional, demokrasi, dan tegaknya hukum.

IV/19

Dengan demikian Pemilihan Umum sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam demokrasi Pancasila, berdasarkan asas jujur dan adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia perlu terus ditingkatkan kualitas penyelenggaraannya. Kesetaraan dalam posisi, kewenangan, dan tanggung jawab antar individu, antar kelompok, dan antar institusi harus terwujudkan baik secara vertikal, horizontal, maupun antar daerah di seluruh nusantara. Kesetaraan itu harus menjamin terciptanya kemerdekaan berpikir, bersikap, dan bertindak yang disertai dengan tingkat tanggung jawab yang tinggi bagi kemajuan, kemandirian, kesejahteraan secara berkeadilan.

IV/20

Anda mungkin juga menyukai