Anda di halaman 1dari 5

M.K.

Komunikasi dan Manajemen Lintas Budaya (KPM 401) Praktikum ke-2

Hari, Tanggal : Selasa, 17 September 2013 Ruangan : RK. X. 3.01

MENCARI HIBURAN RAKYAT KHAS TIMBANGSARI Oleh: Muhammad Indra (I34100075)


PENDAHULUAN Diantara banyak desa yang dijadikan sebagai tempat KKP IPB tahun 2013, Desa Timbangsari merupakan salah satu desa dari sepuluh desa yang terpilih dijadikan sebagai tempat KKP di Kabupaten Pekalongan. Desa yang letaknya kedua terjauh dari Kecamatan Lebakbarang, Kabupaten Pekalongan ini, memiliki luas wilayah yang menurut data monografi desa tahun 2007 sebesar 416.95 ha serta terbagi ke dalam tiga dusun, yaitu Timbangsari (Kresek), Plalar, dan Sijonggrangsari. Jika dalam sisi administratifnya terbagi dalam 3 RW dan 6 RT dimana jarak antara satu dusun dengan dusun yang lain cukup berjauhan. Akan tetapi hal tersebut dapat diatasi dengan akses jalan penghubung antar dusun yang saat ini sudah relatif baik. Timbangsari adalah daerah dataran tinggi dengan ketinggian 908 dpl dan disekelilingi oleh pegunungan serta hutan-hutan pinus1 yang dimiliki oleh pihak PERHUTANI. Berdasarkan letak geografis Desa Timbangsari yang sangat cocok dan mendukung dalam bidang pertanian, maka tidak aneh jika sebagian besar penduduk disini berprofesi sebagai petani, berkebun, dan juga nderes2 air nira dari pohon aren. Penduduk Timbangsari mempunyai dua kondisi bertani yang berbeda sesuai dengan musim yang terjadi di Timbangsari, karena pada saat musim kering mereka menjadi petani jagung, sebaliknya pada saat musim huan berubah menjadi petani padi. Selain bertani, masyarakat Timbangsari juga berkebun kopi dan cengkeh. Dikarenakan posisinya yang sangat jauh dan terpencil, untuk mencapai desa ini diperlukan waktu sekitar kurang lebih dua jam perjalanan menggunakan kendaraan bermotor dari Kajen (daerah pusat Kabupaten Pekalongan). Adapun, dengan kondisi geografis yang dimilikinya menjadikan desa ini jauh dari efek modernitas. Kondisi ini juga berdampak pada kurangnya sarana dan prasarana hiburan bagi masyarakat Timbangsari. Masyarakat pun menjadi seperti haus akan hiburan ditengah sunyinya suasana di pegunungan. Timbangsari yang terkenal sebagai Desa Mandiri Pangan ini juga memiliki pesona keindahan alamnya yang dapat dijadikan tempat agrowisata. Namun, di balik semua pesona keindahan alam dan lingkungan yang dimilikinya, ternyata masyarakat Desa Timbangsari memiliki banyak kebiasaan dan tradisi yang sangat menarik untuk
1 2

Menurut Data Monografi Desa Timbangsari tahun 2007. Kegiatan mengambil air nira dari pohon aren yang merupakan bahan pembuat gula aren.

diamati. Kebiasaan dan tradisi tersebut dijadikan oleh masyarakat Timbangsari sebagai sarana hiburan untuk menghilangkan kepenatan setelah bekerja seharian di sawah. Hal ini dapat juga ditafsirkan sebagai ciri khas atau keunikan tersendiri yang dimiliki oleh Desa Timbangsari. Dikarenakan adanya perkembangan zaman yang semakin lama semakin merasuk ke dalam sendi kehidupan masyarakat Timbangsari dan dengan masuknya televisi sebagai media hiburan baru bagi keluarga Timbangsari, itu berdampak pada hilangnya kegiatan seni tradisional dari wajah masyarakat Timbangsari. Sehingga saat ini kebanyakan masyarakat Timbangsari menyukai musik-musik dangdut koplo dibandingkan dengan pertunjukan wayang kulit yang dari dahulu menjadi hiburan masyarakat Timbangsari. Sehingga timbulah pertanyaan di benak saya, bahwa bagaimana konser musik dapat menggantikan fungsi kesenian tradisional sebagai media hiburan bagi masyarakat Timbangsari? DESKRIPSI Dengan melimpahnya sumberdaya alam yang dimiliki oleh Desa Timbangsari, otomatis ini merupakan suatu modal utama bagi masyarakat Timbangsari untuk menggarap hasil alam yang dapat dijadikan sebagai sumber kehidupan sehari-harinya. Mereka rata-rata berprofesi sebagai petani, baik itu petani lahan milik ataupun penggarap. Akan tetapi, hampir semua masyarakat Timbangsari memiliki lahan atau tanahnya sendiri untuk kegiatan bertani dan jarang sekali yang tidak memiliki tanah. Kegiatan-kegiatan bertani seperti menandur padi atau jagung pada pagi hari, memetik cengkeh pada musim-musim tertentu, dan men-nderes air nira yang dilakukan dari pagi hingga sore menjelang. Usai melakukan nderes pada sore hari maka berakhirlah rutinitas harian mereka untuk hari itu. Penduduk desa biasanya lalu melakukan ibadah shalat maghrib berjamaah yang dilanjutkan dengan karing3 sambil berkumpul bersama keluarga. Saat-saat seperti inilah yang merupakan waktu senggang atau waktu luang bagi para keluarga petani. Usai melakukan pekerjaan berat sepanjang hari saat-saat untuk bersantai ini merupakan waktu yang sangat dinanti-nanti, hal ini dikarenakan pada saat inilah biasanya seluruh keluarga dapat berkumpul untuk saling berbagi cerita atau sekedar melepas kepenatan setelah lelah bekerja keras selama seharian. Di dalam mengisi waktu luang inilah faktor hiburan dan kesenangan muncul. Pada masyarakat Timbangsari kegiatan karing sebenarnya sudah merupakan suatu bentuk dari hiburan untuk mengisi waktu luang karena saat karing bersama keluarga adalah saat untuk berkumpul dan berbincang
3

Kegiatan menghangatkan diri di depan tungku yang panas; rumah-rumah di Desa Timbangsari memang masih banyak yang menggunakan tungku batu sebagai alat untuk memasak walaupun sudah ada pembagian tabung gas dan kompor dari program pemerintah, warga masih mempertahankan tungku sebagai alat masak utama, karena selain murah juga dapat berfungsi sebagai penghangat ruangan ditengah dinginnya suasana pegunungan jika di malam hari.

bersama seluruh keluarga untuk sekedar menghilangkan kepenatan setelah bekerja. Selain kegiatan karing, hal yang paling banyak ditemui sebagai sarana hiburan dan kesenangan di masyarakat Timbangsari adalah kegiatan menonton televisi. Dusun Timbangsari sebenarnya juga memiliki acara atau kegiatan yang diselenggarakan pada waktu-waktu tertentu dalam rangka memperingati atau merayakan hari-hari tertentu. Kegiatan-kegiatan yang sangat menarik dan menjadi ciri khas dari desa ini sendiri, selain berfungsi sebagai hiburan masal bagi para warga juga sarat akan nilai-nilai seni dan budaya, antara lain adalah Kesenian Kunthul, kegiatan Tani-Expo setiap tanggal 17 Agustus, acara Ruwat Desa (Sedekah Bumi), dan juga prosesi pernikahan. Kesenian Kunthul adalah seni tari yang dipadukan dengan silat dan diiringi lagu-lagu daerah yang merupakan kesenian asli Timbangsari, padepokan terakhir kunthul berada di Plalar tetapi saat ini sudah tidak ada lagi dan kesenian inipun sedah punah samasekali dari kehidupan keseharian masyarakat Timbangsari. Acara besar lainnya yang sangat dinantikan oleh seluruh warga adalah acara Ruwat Desa yang diadakan setiap bulan dzulhidjah4. Acara Ruwat Desa atau sering disebut juga acara Sedekah Bumi pada utamanya adalah untuk memanjatkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pemberi rezeki kepada masyarakat Timbangsari. Dalam acara ini pun masyarakat melakukan selametan agar tanaman padi dan jagung yang ditanamnya subur, supaya tempat tinggalnya aman, dan supaya orang-orang yang melakukan selamatan pada sehat semua. Selain melakukan selamatan, pada acara ini pun akan diadakan pertunjukan ronggeng, pementasan wayang kulit, atau dapat dilaksanakan pementasan tayuban. Dana untuk menyelenggarakan acara akbar setiap setahun sekali ini berasal dari sumbangan atau iuran para warga desa. Selain acara-acara yang telah disebutkan diatas terdapat sebuah kegiatan yang tanpa disadari juga merupakan ajang hiburan bagi masyarakat Timbangsari, yaitu yaitu pada saat ada salah seorang warga yang mengadakan acara (prosesi) pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya identik sebagai salah satu unsur dari sistem kekerabatan dapat dijadikan ajang hiburan bagi warga Dusun Timbangsari. Hal ini dikarenakan dalam acara pada saat acara pernikahan mereka dapat bertemu, berkumpul, berbagi cerita dengan para saudara-saudara yang bertempat tinggal jauh dan jarang bertemu. Acara makan bersama juga dapat menjadi bentuk dari menjaga silaturahmi antar keluarga. Bagi para tetangga sendiri yang tidak memiliki ikatan keluarga (masyarakat desa identik dengan kekerabatan mereka yang kuat) tetap bisa merasakan hiburan saat acara pernikahan karena pada saat tuan rumah mengadakan (menanggap) berbagai macam pertunjukan dalam sebuah pernikahan secara tidak langsung akan melibatkan orang-orang satu desa untuk membantu menyelanggarakan pertunjukan. Saat-saat seperti inilah yang dapat menjadikan pernikahan sebagai salah satu hiburan bagi warga karena pada saat
4

Salah satu nama bulan dalam sistem penanggalan Islam.

mempersiapkan pernikahan, masyarakat secara tidak langsung juga meninggalkan sejenak kegiatan rutin mereka, selain memang secara harfiah penyelenggaraan pernikahan akan menampilkan berbagai macam pertunjukan dan hiburan-hiburan seperti penampilan musik dangdut (orgen tunggal), pertunjukan wayang, ataupun ronggeng, dan juga ada layar tancap. Euphoria dalam mempersiapkan ataupun pada saat penyelenggaraan pernikahan inilah yang juga merupakan hiburan bagi masyarakat Timbangsari. REFLEKSI Bagi masyarakat Timbangsari segala bentuk hiburan merupakan suatu sarana yang akan membuat mereka bisa merasa senang sambil dapat berinteraksi satu sama lain agar selalu dapat menjaga tali silaturahmi. Namun, belakangan ini suatu bentuk hiburan yang sering diadakan adalah hiburan-hiburan yang sudah terkena efek modernisasi seperti menggelar konser musik dangdut (orgen tunggal) ketimbang menggelar pertunjukan wayang kulit atau tayuban. Ini merupakan akibat dari masuknya televisi pada tahun 2000-an serta teknologi pemutar CD yang dimana pada saat tersebut lagi heboh dengan musik dangdut, sehingga masyarakat Timbangsari setiap harinya selalu mendengarkan musik-musik dangdut. Hingga terakhir saya berada di Desa Timbangsari, masyarakat Timbangsari baik itu para pemudanya maupun para orang tua sangat menyukai sekali namanya musik dangdut. Sebagai mahasiswa KPM tentu saja saya melihat kondisi tersebut sebagai perubahan sosial di masyarakat Timbangsari. Jika hal tersebut terus menerus dibiarkan berlanjut tanpa adanya suatu tindakan preventif, maka budaya dalam hal ini adalah kesenian tradisional seperti wayang kulit, akan sama nasibnya dengan kesenian Kunthul yang dahulu merupakan kesenian ciri khas bagi masyarakat Timbangsari yang sampai sekarang sudah tidak terdengar lagi bagaimana dahulu kesenian tersebut berjaya di zamannya, karena tidak ada lagi penerus-penerus dari pemuda atau pemudi Desa Timbangsari yang dapat meneruskan kesenian tersebut, sehingga lama kelamaan kesenian Kunthul hilang atau punah dari ingatan masyarakat Timbangsari. Dengan melakukan penyuluhan dan penyadaran kembali akan pentingnya melestarikan budaya setempat melalui aksi kolektif bersama dengan masyarakat Timbangsari menggunakan kembali kesenian tradisional seperti wayang kulit dalam acara-acara besar seperti pernikahan atau Ruwat Bumi, maka lama kelamaan masyarakat akan menyadari pentingnya melestarikan kesenian tradisional tersebut sebagai lambang atau ciri khas masyarakat Jawa terutama masyarakat di Desa Timbangsari ini. KESIMPULAN

Masyarakat Timbangsari memang sangat jauh dari yang namanya hiruk pikuk dan hiburan yang ada di perkotaan, namun bukan berarti segala yang berbau dengan hiburan harus segera di masukan demi terpuaskannya rasa haus akan hiburan. Kebutuhan akan hiburan memang perlu tetapi harus di seimbangkan dengan hiburan yang berasal dari daerah lokal tersendiri agar hiburan yang seperti kesenian wayang kulitpun masih bisa bertahan dari efek modernitas masyarakat perkotaan. Pembahasan dan penelitian mengenai perubahan sosial budaya akibat arus modernitas sangat perlu adanya keberlanjutan agar dapat mengetahui apasaja yang mempengaruhi peristiwa-peristiwa tersebut.

Anda mungkin juga menyukai