Anda di halaman 1dari 3

perubahan hukum kebiasaan internasional ke bentuk tertulis

Kodifikasi adalah dituangkannya hukum kebiasaan kedalam bentuk tertulis. 1 Usaha kodifikasi tidak lepas dari perkembangan positivism dalam hukum internasional, serta konflik yang terjadi di Eropa pada abad ke-19. Hal-hal inilah yang mendorong berbagai usaha kodifikasi pada tahun 1899, 1907 dan 1930. 2 Jadi hal ini didorong oleh adanya desakan untuk kepastian hukum. Pasal 15 statuta ILC memuat beberapa kualifikasi dalam proses kodifikasi. Pasal tersebut berbunyi: In the following articles the expression progressive development of international law is used for convenience as meaning the preparation of draft conventions on subjects which have not yet been regulated by international law or in regard to which the law has not yet been sufficiently developed in the practice of States. Similarly, the expression codification of international law is used for convenience as meaning the more precise formulation and systematization of rules of international law in fields where there already has been extensive State practice, precedent and doctrine. Berarti kodifikasi adalah formulasi dan sistematisasi dari peraturan-oeraturan hukum internasional dimana sudah ada praktek negara, preseden, dan doktrin yang cukup banyak, sedangkan progressive development adalah untuk bidang-bidang

Mark Eugen Villiger, Customary International Law and Treaties: A Study of Their Interactions and Interrelations, with Special Consideration of the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties, hlm. 122 2 Alan Boyle & Christine Chinkin, The Making of International Law 165-66 (2007).

yang belum diatur oleh hukum internasional atau belum ada praktek negara yang cukup banyak. Hal yang cukup penting adalah bahwa kodifikasi sendiri bukan sumber hukum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.3 Pada hakekatnya kodifikasi hanya proses mengubah suatu hukum yang tidak tertulis ke bentuk tertulis. Pada gilirannya, bentuk tertulis ini dapat dijadikan draft perjanjian internasional, dan dari situ ia mungkin mendapat kekuatan mengikatnya setelah ratifikasi atau cara-cara lain. Namun ada saja yang mencampurkan kodifikasi dengan treaty (perjanjian internasional), dan akhirnya melihat keduanya sebagai hal yang sama. Akhirnya muncul anggapan bahwa dituangkannya kaidah-kaidah dari hukum kebiasaan kedalam bentuk tertulis akan memastikan definisi yang lebih seksama. Seperti dikatakan oleh john mcginnis: The first advantage of multilateral agreements over customary international law is that they provide a more precise definition of the agreed upon rule for the simple reason that the provisions to which states have agreed are written down in the text of the agreement. 4 Selanjutnya, akan dibahas kaitan kodifikasi dengan proses pembentukan suatu kaidah dalam hukum internasional. Karena bentuknya, negosiasi dari sebuah sebuah perjanjian tertulis lebih eksplisit dari negosiasi pembentukan hukum kebiasaan internasional.5 Ada yang berpendapat hal ini menyebabkan negaranegara kuat cenderung menegosiasikan bidang-bidang yang penting secara bilateral, daripada dalam sebuah perjanjian multilateral, karena jika pihaknya

3 4

Ibid John O. McGinnis, The Appropriate Hierarchy of Global Multilateralism and Customary International Law: The Example of the WTO, 44 Va. J. Intl L. 229, 239 (2003) 5 Timothy L. Meyer, Codifying Custom, 160 University of Pennsylvania Law Review, hlm. 21, hlm. 30

sedikit,(bahkan hanya 2, misalnya dalam BIT) negara-negara kuat dapat memakai pengaruh politiknya secara langsung.6 Hal yang sama tidak berlaku pada Denial of Justice. Sekarang ini dituangkannya denial of justice kedalam bentuk tertulis masih hanya berbentuk janji semata (misalnya dalam ACFTA, Fair and equitable treatment refers to the obligation of each Party not to deny justice in any legal or administrative proceedings. belum terlihat usaha untuk menentukan apa saja bentuk dari denial of justice. Oleh karena itu dapat diragukan apakah bentuk perjanjian ini dapat memberi kepastian hukum seperti dalam teori diatas. Selain itu juga dapat diragukan apakah klausa-klausa denial of justice seperti dalam ACFTA tersebut adalah kodifikasi seperti pengertian yang wajar.

Ibid

Anda mungkin juga menyukai