Anda di halaman 1dari 4

MEMBANGUN BUDAYA POLITIK LOKAL Oleh Wayan Gede Suacana Masyarakat Bali menjelang pilkada pada bulan Mei

nanti masih cenderung memperlihatkan bentuk budaya politik campuran yakni Subjek Partisipan. Walaupun tidak seantusias sebagaimana keikutsertaan mereka dalam pilkada sebelumnya, masyarakat masih patuh dan ikut serta dalam pilkada karena dianggap sebagai kewajiban semata atau akibat adanya kontrol sosial. Pada pilkada sebelumnya sebagian besar rakyat pemilih berduyun-duyun mendatangi bilik suara, walau tidak memahami visi, misi, dan rencana strategis sang kandidat, tidak tertarik dengan materi kampanye yang disodorkan, tidak begitu kenal calonnya dan tidak perduli dengan hasil pilkada nanti. Namun, hal itu dilakukan semata-mata untuk menghindari kontrol sosial dan kecemasan yang muncul karena melanggar norma yang sudah mapan di masyarakat. Hanya sebagian kecil masyarakat yang ikut pilkada karena kesadaran akan hak-hak politiknya. Mereka berpartisipasi dalam pilkada dengan keyakinan bahwa kepesertaannya dalam pilkada adalah metode untuk mengevaluasi, memilih kepala dan wakil kepala daerah dan untuk mempengaruhi arah kebijakan daerah. Secara umum masyarakat yang memiliki bidang prioritas peralihan dari subjek ke partisipan akan cenderung mendukung pelaksanaan pilkada dan memberikan dukungan terhadap sistem yang demokratis. Dalam budaya subjek partisipan tersebut sebagian warga negara telah memiliki orientasiorientasi masukan yang bersifat khusus dari serangkaian orientasi pribadi sebagai seorang partisipan. Sementara itu sebagian warga negara yang lain terus diarahkan dan diorientasikan kearah suatu struktur pemerintahan otoritarian dan secara relatif memiliki rangkaian orientasi pribadi yang pasif. Dengan demikian, terjadi perbedaan orientasi pada masyarakat, sebagian yang cenderung mendorong proses partisipasi aktif warga negara, sebagian lain justru sebaliknya bersifat pasif. Masyarakat dengan pola budaya itu, orientasi budaya partisipan dapat mengubah karakter sebagai bagian dari budaya subjek. Hal itu karena terjadi dalam kondisi yang saling berebut pengaruh antara orientasi demokrasi dan otoritarian. Persoalannya masyarakat harus mampu mengembangkan sebuah bentuk infrastruktur politik mereka sendiri yang berbeda. Meskipun dalam beberapa hal tidak dapat menstransformasikan sub-kultur subjek kearah demokratis, mereka dapat mendorong terciptanya bentuk-bentuk perubahan. Di samping itu dalam budaya politik campuran seperti itu berpotensi berkembang apa yang oleh Gandhi disebut sebagai salah satu dosa sosial yaitu kehidupan politik tanpa dilandasi oleh prinsip dasar ( politics without principles). Kehidupan politik lebih mengedepankan permainan uang, kata dan perebutan kekuasaan sebagai gejala infantilisme yang jauh dari dunia pikir, refleksi dan kontemplasi. Beberapa Prinsip

Ada beberapa prinsip yang mesti dipegang oleh pihak-pihak yang berkompetisi dalam pilkada untuk bisa membangun budaya politik di tingkat lokal. Pertama, menghargai hak-hak individu dengan tetap berpegang pada ajaran Tat Twam Asi (toleransi tanpa menonjolkan perbedaan). Hal ini merupakan prasyarat mendasar yang perlu dijadikan acuan bersama dalam merumuskan politik demokratis yang berbasiskan pada nilai-nilai kearifan lokal. Praktik ini akan menjadikan setiap krama Bali memiliki semangat penghargaan terhadap heterogenitas, dialog kultural, trans-kultural, inklusivisme, pertukaran mutual, toleransi dan keterbukaan yang kritis.

Memandang sesama krama, apapun perbedaannya sebagai saudara bukan sebagai musuh yang harus dihancurkan.Kedua, setiap kandidat bupati/ walikota berkomitmen untuk mewujudkan kebaikan bersama serta rela berkorban untuk kepentingan rakyat. Dalam Kakawin Nitisastra (Sargah XIII:9 Wirama Sardulawikridita) dinyatakan bahwa pangkal kesulitan yang terbesar bagi manusia tersembunyi dalam

dirinya sendiri. Nafsu ingin berkuasa menyebabkan orang tak dapat mencapai kebaikan yang dicitacitakan. Itu pula yang menyebabkan semua pengetahuan yang dikumpulkan sejak lama hilang. Kemudian tidak dapat dicari akhirnya habis tanpa meninggalkan bekas. Oleh karena itu dalam

kitab Arthasastra ditegaskan bahwa pemimpin berkewajiban mewujudkan kebaikan bagi rakyatnya. Menurut Kautilya, penulis buku ini, pemimpin harus berprinsip lebih banyak menyediakan waktu untuk rakyat. Ia harus bisa membagi waktu: 4 jam untuk istirahat, 3 jam untuk makan dan hiburan, serta selebihnya diabdikan kepada rakyat. Seorang pemimpin harus rela mengorbankan sebagian besar waktunya untuk melayani kepentingan rakyat. Ketiga, hak dipilih dan memilih dilandasi dengan kearifan lokal seperti de ngaden awak bisa dan de ngulurin indria bisa dipergunakan sebagai nilai kontrol dan kualitas moral untuk mengendalikan ambisi untuk berkuasa (Zuhro, 2009). Disamping itu dengan paras paros akan bisa saling memberi dan menerima pendapat orang lain, tatas, tetes atau kehati-hatian dalam bertindak, salunglung sabayantaka atau bersatu teguh bercerai runtuh serta merakpak danyuh yang dimaknai perbedaan pendapat tidak harus menghilangkan persahabatan (Suastika, 2005). Nilai-nilai kearifan lokal ini tidak hanya diketahui tetapi juga dimaknai dan dilaksanakan dalam konstelasi politik nanti. Keempat, pelibatan lembaga-lembaga masyarakat sipil yang menjadi wadah bagi masyarakat di luar lembaga adat. Lembaga-lembaga tersebut antara lain Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, Majelis Desa Pakraman (MUDP, MMDP), Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI), Para tokoh terutama di kedua lembaga yang pertama ini menjadi strategis ketika masih berlaku tradisi pemisahan politik dan adat. Kedua lembaga ini semestinya bisa memberikan rambu-rambu pada aktivitas politik di lapisan masyarakat bawah (grass roots). Kelima, tetap menjaga tradisi kebebasan berserikat dan berkumpul yang disalurkan melalui forum musyawarah, seperti paruman yang dilaksanakan secara berkala di balai desa. Dalam paruman krama dilatih berdemokrasi dengan tetap menghormati pendapat krama lainnya serta pengambilan keputusan secara musyawarah mufakat. Tradisi ini bisa tetap dikembangkan dalam hajatan pilkada nanti. Beberapa prinsip itu setidaknya akan membantu untuk melembagakan partisipasi politik secara substansial yang lebih berorientasi pada nilai, kesadaran dan sikap kesukarelaan individu untuk terlibat dan peduli pada problem sosial politik, ekologis dan ketertiban lingkungan. Peluang munculnya distorsi partisipasi akibat pergulatan berbagai kepentingan yang bernuansa ekonomi-politik akan bisa diminimalkan. Contohnya, penghindaran pada politik uang yang merajalela dan mengacaukan proses partisipasi politik sehingga yang terjadi adalah mobilisasi kelompok yang dimotori oleh semangat jalan pintas untuk meraih kekuasaan.. Ketika politik uang merebak guna meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, maka hal ini mengindikasikan de-moralisme politik dan de-institusionalisasi partisipasi warga yang mengingkari tujuan reformasi menuju tata kelola pemerintahan yang baik dan demokratis.

BUDAYA POLITIK LOKAL DI ERA OTONOMI DAERAH


BUDAYA POLITIK LOKAL DI ERA OTONOMI DAERAH Oleh : Igusti Firmansyah, S.Sos Keadaan geografis Indonesia yang berupa kepulauan berpengaruh terhadapmekanisme pemerintahan Negara Indonesia. Dengan keadaan geografis yang berupa kepulauan ini menyebabkan pemmerintah sulit mengkoordinasi pemerintahan yang ada di daerah. Untuk memudahkan pengaturan atau penataan pemerintahan maka diperlukan adanya suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan secara efisien dan mandiri tetapi tetap terawasi dari pusat. Setelah rezim orde baru tumbang akibat krisis ekonomi dan tekanan politik massa yang bertubitubi (yang juga didukung sejumlah elite) mengakibatkan pemerintahannya sulit dijalankan, terjadi pembalikan atau pembelokan tajam arah kebijakan politik dan perundang-undangan. Sistem politik dan ekonomi menjadi lebih bebas dan terbuka. Pada saat yang sama tekanan internasional makin gencar dan pengaruhnya makin sulit dielakkan. Barangkali Indonesia menjadi salah satu pilot project internasional terpenting untuk program bimbingan penyesuaian (diri) terhadap tatanan dan kecenderungan global di bidang ekonomi, politik, bahkan sosial-budaya. Paket global itu, khususnya berupa kapitalisme global dan demokrasi, serta tuntutan-tuntutan ikutannya atau kelengkapannya, termasuk gaya hidup dan identitas global. Pemilu 1999 niscaya merupakan momentum penting dalam proyek demokratisasi global. Tahun 1999 itu pula diundangkan suatu kebijakan yang disebut-sebut sebagai big bang di bidang otonomi daerah, yaitu UU No. 22/1999. Terbukti perubahan yang drastis itu tidak mudah dilakukan. Kontroversi bahkan sudah berlangsung sebelum undang-undang ini diberlakukan secara efektif (tahun 2001), sehingga MPR (pada tahun 2000) mengeluarkan ketetapan yang berisi rekomendasi untuk merevisi UU No. 22/1999 secara mendasar. Kini undang-undang tersebut bahkan sudah diganti dengan UU No. 32/2004. Melalui undang-undang baru ini untuk pertama kalinya di Indonesia diperkenalkan pemilihan kepala daerah secara langsung. Dan, kita sudah mempraktikkannya di beberapa daerah di Jawa Timur dengan hasil yang belum sepenuhnya memuaskan atau masih mengandung sejumlah hal yang mengecewakan. Secara teoritis (Pratchett, 2004) otonomi daerah dapat diinterpretasi dalam tiga dimensi: freedom from, freedom to, dan pereflesian (kebangkitan) identitas lokal. Interpretasi pertama menekankan pentingnya dimensi kewenangan yang dimiliki daerah atau diskresi, yang dimaknai bebas dari campur tangan pemerintah pusat. Kewenangan ini harus dijamin melalui penetapan ketentuan formal. Semakin besar kewenangan yang dimiliki daerah, berarti semakin besar pula otonominya. Tentu interpretasi ini bisa menjadi sensitif, terutama bila dikaitkan dengan konsep kedaulatan negara dan kebutuhan menjaga keutuhan wilayah, karena dengan penekanan pada freedom from seakan-akan setiap daerah ingin berdaulat sendiri-sendiri. Kedaulatan negara dan kebutuhan menjaga keutuhan wilayah negara tentu mengharuskan campur tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat pasti tidak menghendaki ada daerah yang bebas sama sekali dari campur tangannya. Karena itu, dimensi ini tidak dipahami sebagai kewenangan penuh atas suatu wilayah, melainkan kewenangan (penuh) dalam urusan-urusan tertentu di wilayah yang bersangkutan. Ini pun masih memancing perdebatan.

Interpretasi kedua lebih menekankan pada dimensi fungsional atau pencapaian hasil (outcomes) tertentu, yaitu kemampuan daerah untuk memajukan atau mengembangkan daerah dengan mengidentifikasi permasalahan, menetapkan solusi, dan menggalang dukungan serta sumber daya dari berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat. Dalam hal ini otonomi dimaknai bebas untuk memajukan daerah, bebas untuk berkreasi, dan bebas menggalang dukungan, tidak harus dengan memiliki kewenangan sendiri secara penuh, melainkan justru dengan kerjasamakerjasama. Interpretasi ketiga mengartikan otonomi daerah sebagai kesempatan untuk mengekspresikan identitas politik dan budaya daerah. Otonomi daerah memberi kesempatan dan peluang untuk partisipasi dalam pembuatan keputusan dan pengelolaan sumber daya dengan sekaligus mengekspresikan cara-cara lokal, sehingga proses-proses politik lokal makin mengekspresikan dan mengaktualkan identitas politik lokal. Praktik otonomi daerah selama ini bila ditilik dari tiga dimensi tersebut telah memperlihatkan perkembangan menarik. Dari segi kewenangan (formal) praktis daerah telah menerima seluruh urusan pemerintahan, kecuali beberapa urusan vital yang memang harus diselenggarakan secara terpusat. Beberapa daerah bahkan telah menerima status sebagai daerah dengan otonomi khusus, yang berarti kewenagannya lebih luas lagi. Dari segi kemampuan untuk memajukan daerah, undang-undang (baik UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004) sebenarnya telah sangat jelas mengamanatkan bahwa otonomi dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, mempercepat pembangunan, dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Dengan pengalaman yang bervariasi, dimensi ini rupanya belum menghasilkan kemajuan yang memuaskan. Ekspresi budaya lokal, antara lain, tampak dari makin bervariasinya latar belakang politik, sosial, maupun kultural para anggota DPRD. Demikian pula latar belakang para kepala daerah. Artinya, telah terjadi pluralisasi elite politik lokal. Lazimnya perubahan ini akan berakibat langsung pada pembukaan akses dan pola-pola hubungan antara berbagai kelompok sosial dalam masyarakat dan pejabat maupun institusi-institusi resmi dalam pemerintahan. Dalam pandangan politik klasik, misalnya J.S. Mill, perkembangan semacam ini diyakini akan membawa sejumlah kecenderungan positif. Di antaranya akan menjadi instrumen untuk memperkuat inklusi sosial, akan meningkatkanpolitical skill tokoh-tokoh lokal, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada institusi-institusi politik dan pemerintahan. Yang terjadi di beberapa daerah, pengekspresian identitas lokal seiring otonomi daerah ini adalah semacam perumusan kembali dan penguatan garis-garis eksklusivisme dan parokhialisme, seperti yang tampak pada isu-isu putra daerah, politik kesukuan, politisasi agama, serta kebangkitan adat. Secara demikian, seolah perkembangan masyarakat Indonesia sedang ditarik kembali ke belakang, padahal tantangan nyata ada di depan sebagai sesuatu yang abstrak. Tak jarang para penggiat HAM dihadapkan pada persoalan dilematis, karena di satu sisi yang lokallokal itu dapat menjadi mekanisme pertahanan terhadap gempuran eksternal, tetapi pada sisi lain lokalitas itu rentan dieksploitasi dan tak jarang menjadi sarana penindasan baru, antara lain terhadap kebebasan individu, hak perempuan, dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai