PENDAHULUAN
Aromaterapi merupakan salah satu alternatif pengobatan yang popularitasnya semakin meningkat, namun belum mempunyai keberadaan ilmiah di dunia kesehatan. Aromaterapi didefinisikan sebagai perlakuan dengan menggunakan bau-bauan atau wangi-wangian, biasanya minyak tumbuhan (essential oil) sering digunakan untuk membantu pemijatan. Awal tahun 1999, penelitian tentang mekanisme kerja senyawa aroma baik secara farmakologi maupun secara kimia medisinal semakin ramai. Hal ini terjadi seiring dengan meningkatnya popularitas aromaterapi (Balchin, 1999). Berbagai postulat mengenai bagaimana mekanisme kerja senyawa aroma hingga mempengaruhi tingkah laku objek yang menghirupnya telah dipublikasikan. Namun secara umum, bagaimana senyawa itu bekerja pada sistem syaraf telah lama dikemukakan. Buckle (1999) mengemukakan bahwa ada dua mekanisme kerja senyawa aroma pada sistem syaraf pusat, yaitu melalui sistem sirkulasi tubuh dan sistem penciuman (Olfactory system). Mekanisme kerja senyawa aroma pada sistem syaraf pusat terhadap sistem aminobutiric acid (GABA) lebih rinci diterangkan oleh Aoshima et al. (1996, 1997, 1999 dan 2001) dan Hossain et al. (2002). 1. Sirkulasi Tubuh Minyak atsiri akan diserap oleh tubuh bila diminum atau dioleskan pada permukaan kulit. Senyawa-senyawa volatil dalam minyak atsiri akan dibawa ke sirkulasi tubuh yaitu sirkulasi darah dan sirkulasi limfatik (berkaitan dengan getah bening), melalui proses pencernaan dan penyerapan kulit oleh pembuluh-pembuluh kapiler. Pembuluh-pembuluh kapiler tersebut akan mendistribusikan senyawa volatil ke organ-organ sasaran (Buckle, 1999). 2. Sistem Penciuman Senyawa aroma yang relatif mudah menguap masuk ke dalam rongga hidung dengan cara diinhalasi, molekul-molekul aroma yang dinhalasi diterima sistem olfactory. Pada sistem itu, molekul aroma akan diterima oleh sel syaraf olfactory ephitelium. Sel syaraf ini memiliki 50 juta sinaps (ujung sel syaraf), kemudian molekul aroma tersebut dikirim dalam bentuk pesan ke pusat penciuman yang terletak di bagian belakang hidung. Sel-sel syaraf menterjemahkan bau tersebut dan mengirimkanya ke sistem limbik dalam otak yaitu talamus. Talamus terdiri dari hipotalamus dan hipofisis (Aoshima et al., 2001; Buckle,1999; Davis dan Whalen, 2001). 3. Kerja Senyawa Aroma pada Sistem GABA
Aoshima dan Hamamoto (1999) menjelaskan bahwa senyawa-senyawa aroma (citronellol, citronellal, -pinen, cineole, 4-terpineol, dan -terpineol) berikatan pada bagian dan GABA. Penelitian ini membuktikan bahwa senyawa aroma yang masuk baik melalui kulit, hidung, ataupun mulut dapat memodulasi transmisi syaraf dalam otak pada reseptor GABAA hingga mempengaruhi rasa mood dan kecerdasan. Penjelasan ini dikemukakan dengan hipotesis bahwa senyawa-senyawa sedatif seperti benzodiazepine, barbiturate, steroid dan anestetika bekerja dengan cara yang sama. Hasil penelitian ini merupakan perkembangan pesat bagi aromaterapi. Gambaran peningkatan postesiasi GABA dengan ikatan sisi reseptor GABAA senyawa aroma diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh senyawa aroma pada respon kerja GABA* Respon dalam persen (%) Senyawa 10 L 30 L 100 L GABA GABA GABA 100 100 100 Kontrol 188+12 147+11 113+6 Lavender terapi 0,1 L/ml 149+16 157+9 98+2 0,63 mM -pinene 0,65 Eugeunol 356+58 234+21 140+3 0,55 mM Citronellol 301+32 146+12 101+5 0,56 mM Citronellal 224+11 123+6 108+7 0,84 mM Alkohol dari daun segar 218+11 142+1 135+5 0,61 mM Hinocitiol 297+16 132+6 91+0 * Diambil dari Aoshima dan Hamamoto (1999) 1000 L GABA 100 91+4 117+12 102+10 92+2 90+1 94+2 102+2
Citronellol memberikan respon terhadap reseptor GABAA. Kerja senyawa tersebut mirip dengan benzodiazepine yang mempotensiasi neurotransmitter GABAA. Seperti yang terlihat pada Tabel 1, pada konsentrasi 0,55 mM citronellol memberikan kenaikan respon terhadap 10 M GABA sebesar 301 %, sedangkan respon terhadap GABA dengan konsentrasi 30 M hanya sebesar 146 %. Minyak atsiri atau kombinasi seyawa-senyawa atsiri akan memberikan respon lebih baik terhadap GABA dibandingkan dengan senyawa tunggalnya, hal ini dibuktikan jika tiga senyawa terpen dengan gugus yang berbeda dikombinasikan, seperti yang terlihat pada Tabel 2. Pada Tabel 2, kombinasi senyawa-senyawa atsiri golongan terpen alkohol, aldehida, eter, dan keton memberikan respon yang lebih tinggi terhadap GABA dibandingkan dengan senyawa tunggalnya. Berikut kombinasi senyawa-senyawa atsiri berbagai gugus fungsi disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2* Perbandingan potensiasi terhadap GABA dari 4-terpinenol, citral, cineole, dan butanol dan kombinasinya. Senyawa Respon (GABA 1 M) % a. 4-Terpineol (0,61 mM) dan citral 0,58 mM) 1. Kontrol 100 2. 4-Terpineol 575 + 53 3. Citral 218 + 22 4. Kombinasi 400 + 80 b. 4-Terpineol (0,61 mM) dan cineole (0,60 mM) 1. Kontrol 100 2. 4-Terpineol 697 + 62 3. Cineole 370 + 21 4. Kombinasi 457 + 42 c. 4-Terpineol (0,61 mM) dan butanol (11 mM) 1. Kontrol 100 2. 4-Terpineol 606 + 21 3. 1-Butanol 316 + 22
609 + 21
Kimia Analisis Senyawa Aromaterapi dan Analisisnya Senyawa-senyawa kimia yang memiliki efek farmakologi dalam aromaterapi dapat digolongkan ke dalam berbagai golongan senyawa, yaitu : - golongan terpen alkohol : linalool, -terpineol, 4-terpineol, citronellol, neo-isopulegol dan isopulegol - golongan aldehida : benzaldehyde, citronellal, citral, dan geranial - golongan terpen eter : 1,8-cineole, myristicin dan safrole. - golongan ester : linalyl acetate, geranyl acetate, dan ester berantai karbon panjang (methyl myristate, methyl palmitate, methyl oleate dan methyl stearate) - golongan hidrokarbon terpen : -pinene, -pinene, 3-carene, limonene dan -terpinene, (E)caryophillene dan -humulene. 1. Terpen Alkohol Senyawa-senyawa terpen alkohol yang teridentifikasi adalah linalool, -terpineol, 4terpineol, citronellol, neo-isopulegol dan isopulegol.
OH
OH
OH
Linalool
-Terpineol
Citronellol
Isopulegol
4-Terpineol
Neoisopulegol
Gambar 1. Struktur terpen alkohol Dari strukturnya (Gambar 12), semua senyawa golongan terpen alkohol yang ditemukan merupakan golongan monoterpen dengan satu gugus OH. Linalool, nerol, 4-terpineol dan geraniol yang memiliki dua ikatan rangkap, sedangkan selain itu memiliki satu ikatan rangkap. Gugus OH pada terpen alkohol diduga kuat memberikan peran pada mekanisme kerja farmakologi senyawa di atas. Gugus OH meningkatkan frekuensi pembukaan saluran Cl- sel syaraf, sehingga membantu meningkatkan kerja GABA pada reseptornya (Aoshima et al. (2001). Hossain et al. (2002) menegaskan bahwa beberapa senyawa-senyawa alkohol termasuk terpen alkohol berikatan dengan GABA dan mempotensiasi kerja reseptor GABA sehingga saluran Clterkonduksi, dan kerja syaraf diperhambat. (Aoshima et al., 2001; Nakahiro et al., 1991). Linalool Linalool meruapakan salah satu yang sering disebut sebagi senyawa aktif yang bertanggung jawab dalam penghambatan aktivitas lokomotor hewan atau manusia dalam mekanisme kerja aromaterpi, hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian (Buchbauer et al., 1993; Aoshima et al., 2001, Muchtaridi et al., 2003). Menurut Buchbauer et al. (1993), linalool dengan (senyawa tunggal) dosis 2 % memberikan penurunan aktivitas lokomotor 30 % hingga 50 % pada mencit, namun lebih kecil dibandingkan dengan penurunana aktivitas lokomotor setelah inhalasi
minyak lavender yang banyak mengandung linalool. Kombinasi linalool, linalyl acetate dan terpineol memberikan penurunan aktivitas lokomotor yang lebih besar dibandingkan dengan senyawa tunggal linalool (Aoshima et al., 2001).
-Terpineol dan 4- Terpineol Muchtaridi et al. (2003) menjelaskan senyawa 4-terpineol hampir terdeteksi pada semua sampel darah mencit setelah inhalasi minyak atsiri yang mengandung 4-terpineol. Senyawa terpineol dan 4-terpineol pada penelitian tersebut sangat dimungkinkan merupakan senyawa yang bertanggung jawab dalam penghambatan aktivitas lokomotor mencit. Selain itu, dibuktikan pula oleh penelitian sebelumnya (Aoshima et al., 2001). Aoshima et al. (2001) melaporkan bahwa kedua senyawa tersebut memberikan efek yang sama terhadap sistem GABA. Potensiasi reseptor GABAA oleh senyawa-senyawa ini sangat kuat pada konsentrasi kecil, namun 4-terpineol memberikan aktivitas lebih kuat dibandingkan -terpineol.
Citronellol Citronellol memberikan respon terhadap reseptor GABAA. Kerja senyawa tersebut mirip dengan benzodiazepine yang mempotensiasi neurotransmitter GABAA. Pada konsentrasi 0,55 mM citronellol memberikan kenaikan respon terhadap 10 M GABA sebesar 301 %, sedangkan respon terhadap GABA dengan konsentrasi 30 M hanya sebesar 146 % (Aoshima dan Hamamoto, 1999). Senyawa isopulegol terdeteksi dalam plasma darah mencit setelah inhalasi minyak kulit batang ki lemo selama 1 jam dan 2 jam, sedangkan senyawa neo-isopulegol hanya terdeteksi pada inhalasi 1 jam saja. artinya, ketersediaan hayati isopulegol lebih lama dibandingkan dengan neoisopulegol, meskipun kedua senyawa tersebut memiliki struktur yang sama (Gambar 13). Perbedaan ini dapat disebabkan oleh pengaruh kesterikannya.. Artinya, perbedaan aktivitas antara neo-isopulegol dan isopulegol diduga dibedakan oleh adanya pengaruh efek sterik, seperti halnya terjadi pada isoborneol dan borneol. Menurut Buchbauer et al. (1993), isoborneol lebih aktif dalam menurunkan aktivitas lokomotor dibandingkan borneol karena perbedaan kesterikan gugus hidroksil pada senyawa tersebut. 2. Aldehida Benzaldehyde, citronellal, neral, dan geranial merupakan golongan aldehida merupakan senyawa yang berperan dalam menimbulkan mood, karena seperti halnya terpen alkohol, terpen aldehida bekerja dengan mempotensiasi GABA, namun responnya tidak lebih besar dibandingkan dengan terpen alkohol (Aoshima et al., 2001).
Benzaldehyde Benzaldehyde ditemukan hanya dalam plasma darah mencit setelah inhalasi minyak daun kayu putih, meskipun kadar senyawa ini dalam minyak atsiri tersebut sangat kecil. Senyawa ini diperkirakan senyawa aktif pada penelitian ini karena pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Buchbauer et al. (1991) diterangkan bahwa senyawa tunggal benzaldehyde dapat menurunkan altivitas lokomotor hingga 50 %, namun tidak lebih besar penurunannya dibandingkan benzyl alcohol (76 %), tetapi kombinasi keduanya dalam minyak atsiri Tilia cordata MILL memberikan aktivitas penurunan yang lebih besar (98 %). Citronellal Citronellal sangat mendominasi dalam plasma darah mencit setelah inhalasi minyak kulit batang ki lemo terutama setelah inhalasi 1 jam (389,3 g/ml). Pada penelitian ini, citronellal
dimungkinkan merupakan senyawa aktif yang bertanggung jawab dalam menurunkan aktivitas lokomotor, hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aoshima dan Hamamoto (1999). Citronellal 0,56 mM memberikan respon sebasar 224 % dengan 10 M GABA, namun kemampuan citronellal dalam menghambat aktivitas lokomotor tidak lebih besar dibandingkan dengan kemampuan citronellol (Aoshima dan Hamamoto, 999). Hal ini dapat diperbandingkan dengan melihat perbedaan aktivitas antara senyawa hexanol dan hexanal, seperti yang terlihat pada Gambar 14. Respon hexanol lebih besar dibandingkan hexanal jika dilihat dari tinggi puncak responnya.
Gambar 2. Pengaruh 5 mM hexanol; (a) dan hexanal (b) terhadap 10 M GABA. (+Hol = hexanol; +H-al = hexanal) (Aoshima et al., 2001)
2. Terpen Eter Eter hidrokarbon berbobot molekul rendah memberikan aktivitas anestetik kuat. Aktivitas ini, beserta toksisitasnya, akan meningkat bila panjang rantai bertambah. Selain lipofilitasnya tinggi, eter pun mudah menguap, sehingga sifat anestetik eter sangat kuat (Foye, 1981). Pada penelitian ini, 1,8-cineole, safrole dan myristicin merupakan turunan eter yang teridentifikasi dalam plasma darah mencit setelah inhalasi minyak atsiri. Ketiga senyawa ini telah dibuktikan aktivitasnya dalam mempengaruhi sistem syaraf pusat (Lee et al., 1998; Kovar et al., 1987; Stein et al., 2001).
1,8-Cineole 1,8-Cineole merupakan terpen eter bisiklik seperti yang terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur 1,8-cineole Senyawa 1,8-cineole merupakan senyawa aktif yang dapat mempengaruhi aktivitas lokomotor. Kovar et al.(1987) mengemukakan bahwa 1,8-cineole dapat menstimulasi aktivitas lokomotor mencit. Peneliti lain (Aoshima dan Hamamoto, 1999), menyatakan bahwa 1,8-cineole memberikan respon hingga 370 % terhadap GABA, sedangkan menurut Mussler (Mussler dalam Buchbauer et al., (1993)) 1,8-cineole memberikan efek spasmolitik yang kuat dengan cara menginduksi asetil choline. Senyawa tunggal 1,8-cineole meningkatkan aktivitas lokomotor atau stimulan terhadap SSP, namun jika berinteraksi dalam minyak atsiri, senyawa ini akan bersinergi dengan terpen alkohol menurunkan aktivitas lokomotor, dan bersinergi dengan -pinene dengan
menurunkan regangan otot halus (spasmogenik). Namun, mekanisme 1,8-cineole adalah neurotropic sedangkan -pinene bekerja melalui mekanisme musculartropic. Myristicin dan safrole
H3C O H3C O
O H3CO
Mysristicin dan safrole diduga kuat merupakan senyawa aktif yang dapat menurunkan aktivitas lokomotor. Hal ini didukung oleh para peneliti (Lee et al., 1998; Olajide et al., 1999; Sonavanne et al., 2002; Stein et al., 2001). Seperti yang terlihat pada Gambar 16, myristicin merupakan turunan safrole dengan substitusi gugus metoksi pada no. 4. Myristicin dan safrole merupakan senyawa atsiri dengan dasar alilbenzena atau propil benzena yang secara luas terdapat dalam tumbuhan aromatik. Artinya, struktur myristicin dan safrole memiliki aktivitas kerja sama dengan phenilpropanolamine (PP) yang dikenal sebagai sedatif kuat (Foye, 1981). Aktivitas tersebut dapat terlihat bahwa minyak atsiri biji pala memberikan penurunan aktivitas lokomor yang meningkat dengan ditingkatkannya dosis. Pada inhalasi dosis 0,1 ml, 0,3 ml dan 0,5 ml minyak atsiri biji pala terjadi penurunan aktivitas lokomotor mencit masing-masing sebesar 62,81 %, 65,33 % dan 68,62 %. Selain itu, kadar myristicin dalam plasma darah semakin meningkat, dengan meningkatnya waktu pemberian seperti terlihat pada Tabel 29 (Muchtaridi et al., 2004). Selain itu, bukti bahwa myristicin dan safrole tersebut merupakan senyawa aktif yang menghambat aktivitas lokomotor telah diterangkan oleh Stein et al. (2001) dan Lee et al. (1998). Menurut keduanya, aktivitas sedatif myristicin ataupun safrole dapat terlihat dari metabolitnya dalam darah dan urin yang mendukung senyawa tersebut memiliki aktivitas sedatif. 3-Methoxy4,5-methylenedioxyamphetamine (MMDA), 1-hydroxymyristicin dan 5-allyl-1-methoxy-2,3dihydroxybenzene merupakan metabolit dari mysristicin dalam darah dan urin tikus. Metabolitmetabolit tersebut merupakan senyawa yang mempengaruhi SSP (Lee et al., 1998; Stein et al., 2001) 3. Ester Ester seperti linalyl acetate dan geranyl acetate diduga merupakan hasil esterifikasi dari asam karboksilat dengan senyawa-senyawa alkohol, misalnya linalool dalam minyak atsiri kemangi dan acetic acid dalam darah, esterifikasi ini dapat disebabkan adanya interaksi gugus OH dan gugus COOH yang aktif terhadap GABA (Aoshima dan Tenpaku, 1997). Komponenkomponen atsiri dalam minyak biji pala terdapat dalam bentuk asam lemak, seperti myristic acid, palmitic acid, stearic acid, dan oleic acid, namun yang teridentifikasi dalam darah dalam bentuk ester. Artinya, selama proses metabolisme kemungkinan terjadi esterifikasi asam-asam-asam lemak tersebut (Brunutton., 1999). Menurut Aoshima dan Tenpaku (1997), potensiasi GABA oleh gugus OH sama kuatnya dengan potensiasi GABA oleh gugus COOH dalam ester (L=linoleic), namun jika gugus OH disubstitusi pada linoleic acid menjadi 13-L-hydroxylinoleic acid, maka gugus OH berfungsi sebagai penghambat kerja GABA, sehingga senyawa 13-L-hydroxylinoleic acid memberikan respon yang kurang baik dibandingkan dengan linoleic acid dan gugus alkohol.
Linalyl acetate Pada penelitian ini, linalyl acetate (Gambar 17) ditemukan seiring dengan terdeteksinya linalool pada plasma darah tersebut. Pada plasma darah mencit setelah inhalasi minyak daun kemangi selain ditemukan linalool, juga ditemukan linalyl acetate baik pada inhalasi 1 jam (9,6 g/ml) maupun inhalasi 2 jam (0,6 g/ml). Sama halnya dengan plasma darah setelah inhalasi minyak daun kayu putih (seperti telihat pada Tabel 26). Namun, pada komposisi minyak atsiri tersebut tidak ditemukan senyawa linalyl acetate, artinya bahwa linalyl acetate kemungkinan terbentuk pada proses esterifikasi dalam tubuh mencit. Linalyl acetate dan linalool kemungkinan merupakan senyawa aktif dalam menghambat aktivitas lokomotor mencit dalam penelitian ini. Hal tersebut dibuktikan oleh Buchbauer et al. (1993). Penurunan aktivitas lokomotor mencit setelah inhalasi linalyl acetate (tunggal) lebih besar dibandingkan dengan setelah inhalasi linalool, hal ini mungkin disebakan karakter lipofilitas ester lebih baik dibandingkan dengan alkohol, namun tidak lebih besar dibandingkan dengan minyak atsiri lavender (Buchbauer et al., 1993). Ester berantai karbon panjang Tabel 31 menunjukkan bahwa ester-ester teridentifikasi pada inhalasi minyak atsiri biji pala baik pada jam, 1 jam, dan 2 jam. Methyl myristate terdeteksi pada inhalasi jam , 1 jam, dan 2 jam dengan kadar semakin menurun (1,6 g/ml, 1,4 g/ml, dan 1,2 g/ml), sedangkan kadar yang paling besar dibandingkan senyawa lainnya adalah methyl palmitate atau methyl hexadecanoate baik pada jam (67,8 g/ml), 1 jam (72,2 g/ml) dan 2 jam (58,7 g/ml). Selanjutnya, methyl oleate atau methyl octadecanoate baik pada jam (23,3 g/ml), 1 jam (24,7 g/ml) dan 2 jam (18,9 g/ml) memberikan kadar terbesar kedua setelah methyl palmitate. Adaapun data selengkapnya dapat dilihat di Tabel 31. Kandungan asam lemak yang terdapat dalam minyak atsiri biji pala tergolong cukup besar (Tabel 12). Asam lemak ini diduga berperan sebagai prekursor dalam pembentukan ester. Asam-asam lemak inilah yang meberikan respon pada GABA dengan menghambat kerja sistem syaraf pusat (SSP). 4. Terpen Hidrokarbon Golongan hidrokarbon terpen yang teridentifikasi dalam plasma darah umumnya adalah golongan monoterpen seperti -pinene, -pinene, 3-carene, limonene dan -terpinene (Gambar 18), sedangkan golongan seskuiterpen yang ditemukan hanya (E)-caryophillene. Pada penelitian ini, -pinene dan -pinene ditemukan pada plasma darah mencit setelah inhalasi minyak atsiri kayu putih, kedua senyawa ini diduga mempengaruhi aktivitas lokomotor serupa seperti yang diteliti oleh Aoshima dan Hamamoto (1999) dan Buchbauer (1993). Selain itu, senyawa selain -pinene dan -pinene yang terdeteksi pada penelitian ini juga, merupakan senyawa-senyawa yang ditemukan oleh Buchbauer et al. (1991) dari 40 senyawa yang ditemukannya yang mempengaruhi SSP. Penelitian yang dilakukan Aoshima dan Hamamoto (1999), menunjukkan bahwa pinene memberikan respon hingga 149 % terhadap reseptor GABAA (Tabel 2), respon yang terkecil jika dibandingkan dengan senyawa atsiri lain. Derivat monoterpen umumnya bekerja berdasarkan mekanisme penghambatan musculotropic namun beberapa senyawa bekerja pada neurotropic. Musculatropic artinya derivat monoterpen akan menghambat enzim asetilkolinesterase, dengan cara menginaktifkan asetil kolin spasmogenik (Buchbauer, 1993). Oleh sebab itu kadar monoterpen dalam darah tidak terlalu besar sebab monoterpen bekerja langsung pada otot bukan pada SSP. Monoterpen dan seskuiterpen merupakan hidrokarbon yang tidak memiliki gugus fungsi, sehingga aktivitas farmakologi tidak terlalu kuat. Hal ini disebabkan karakter lipofilik
hidrokarbon kurang disukai oleh membran sel pada SSP yang sangat non polar (Aoshima et al., 2001; Nakahiro et al., 1996). Analisis Senyawa Aromaterapi Kovar et al. (1987) menganalisis senyawa aktif aromaterapi pada minyak atsiri Rosemary setelah diberikan secara oral dan inhalasi pada mencit. Kovar et al. mengembangkan analisisnya dengan mengidentifikasi komponen volatil yang ada dalam plasma darah. Setelah diberi minyak atsiri rosemary, plasma darah mencit diambil, dan dipisahkan dari serumnya, kemudian serumnya disuntikan pada GC-FID. Identifikasi dan kuantifikasi menggunakan standar eksternal 1,8cineole, sedangkan senyawa atsiri yang ada di permukaan inhalator diisolasi dengan menggunakan headspace. Penelitian Kovar et al. (1987) dikembangkan oleh Buchbauer (1991) dan Jirovetz et al. (1991 dan 1992). Jirovetz dan Buchbauer memodifikasi metode Kovar et al. dengan melakukan preparasi terlebih dahulu terhadap plasma darah. Plasma darah dipreparasi dengan SPE menggunakan kolom C-18 dengan eluen methanol, supaya komponen-komponen pengganggu dapat direduksi dari sampel, sehingga kadar senyawa atsiri yang didapatkan lebih banyak dibandingkan dengan metode sebelumnya. Pada penelitian Kovar et al. diperoleh konsentrasi senyawa atsiri dalam plasma darah sebesar 1-20 ng/l darah tikus yang diberikan minyak atsiri 0,10,6 ml/inhalalator, sedangkan hasil modifikasi Buchbauer dan Jirovetz pada tikus yang diberikan minyak atsiri 2 % (0,02 ml) per inhalator diperoleh konsentrasi minyak atsiri 1-10 g/ml atau 10100 ng/l darah. Penelitian lain, Recovery pada analisis miristisin dalam plasma darah mencit setelah inhalasi minyak biji pala dengan menggunakan C18 (Sep Pak Waters) mencapai 90 %, dibandingkan dengan tanpa perlakuan SPE, selain itu senyawa-senyawa volatil lain lebih banyak terdeteksi seperti terlihat pada Gambar 3 (Muchtaridi, 2003).
Standar Internal
Gambar a
Metil palmitat
Pada Gambar 5 terlihat bahwa dengan penggunaan SPE, senyawa-senyawa pengotor menjadi berkurang, bahkan kadar standar internal 1,4-diklorobenzen lebih besar (b) dan senyawa miristisin muncul pada menit ke-17 (Muchtaridi, 2003).
KESIMPULAN
Penelitian ilmiah mengenai efek-efek biologis dari senyawa volatile terutama minyak atsiri yang dikumpulkan dalam makalah ini bertujuan untuk memberikan batasan yang jelas antara aromaterapi ilmiah dengan aromaterapi yang banyak digunakan sekarang. Secara sederhana, mekanisme kerja farmakologi dari aromaterapi pada sistem syaraf pusat dapat disimpulkan melalui dua jalur. Jalur yang pertama disebut jalur langsung dimana senyawa yang terinhalasi dengan segera dibawa oleh darah untuk disuplai ke otak, sedangkan jalur kedua adalah jalur tidak langsung dimana senyawa fragrance yang terhisap dibawa melalui jalur olfactory nervus sebelum dibawa ke otak. Senyawa-senyawa atsiri golongan terpen alkohol peling berperan dalam mekanisme kerja aromaterapi, karena senyawa-senyawa tersebut dapat meningkatkan afinitas kerja reseptor GABAA. DAFTAR PUSTAKA Aoshima H, Y Tenpaku. 1997. Modulation of GABA receptors expressed in Xenopus oocytes by 13-L-hydroxylinoleic acid and food additives. Biosci Biotechnol Biochem 61(12):20512057 Aoshima H, K Hamamoto. 1999. Potentiation of GABAA receptors expressed in Xenopus oocytes by Perfumes and Phytoncid. Biosci Biotechnol Biochem 63(4):643-748 Aoshima H, SJ Hossain, K Hamamoto, T Yokoyama, M Yamada, R Shingai. 2001. Kinetic analyses of alcohol-induced potentiation of the response of GABAA receptors composed of 1 and 1 subunits. J Biochem 130:703-709. Aoshima, H. 1996. Effects of alcohols and food additives on glutamate receptors expressed in Xenopus oocytes: specificity in the inhibition of the receptors. Biosci Biotechnol Biochem 60(3):434-438. Balchin LM. 1999. Possible health and safety problems in the use of novel plant essential oils and extracts in aromatherapy. R Soc Health 119(4):240-243 Balchin LM, S Hart. 1999. Studies on the mode of act of the essential oil of lavender (Lavandula angustifolia P. Miller). Phytother Res 13 (6):540-542. Balchin LM, S Deans, S Hart. 1997. Study of the changes in the bioactivity of essential oils used singly and as mixtures in aromatherapy J Altern Compl Med 3 (3):249-256. Bruneton J. 1999. Pharmacognosy, Phytochemistry, Medicinal Plants. Second edition. Paris: Techinicue and Documentation. p. 505-507 Buchbauer G. 2000. The detailed analysis of essential oils leds to the understanding of their properties. Perf flav 25:64-67. Buchbauer G, W Jager, H Dietrich, Ch Plank, E Karamat. 1991. Aromatherapy: evidence for sedative effects of essential oil of lavender after inhalation. J Biosc 46c:1067-1072. Buchbauer G, L Jirovetz, W Jager. 1992. Kurmitteilungen : passiflora and lime blossom: motility effects after inhalation of the essential oils and of some of the main constituent in animal experiment. J Arch Pharm 325:247-248. Buchbauer G, W Jager, L Jirovetz, J Ilmberger, H Dietrich. 1993. Therapeutic properties of essential oil and fragrances. American Chemical Society (ACS) Symposium Series 525:160-165. Buchbauer G. 1993. Biological effects of fragrances and essential oils. Perf. flav18:19-24. Buchbauer G. 1996. Methods in aromatherapy research. J Eurocos 4: 23-27. Buckle G. 1999. Use of aromatherapy as complementary treatment for chronic pain. J Alter Ther 5:42-51.
Cannard G. 1996. The Effect of aromatherapy in promoting relaxation and stress reduction in a general hospital. Compl Nurse Mid 2(2):38-40. Davis M, PJ Whalen. 2001. The amygdala: vigilance and emotion. J Molec Psyc 6:1334. Denda M, T Tsuchiya, K Shoji, M Tanida. 2000. Odorant inhalation effects skin barrier homeostasis in mice and humans. J Dermatol 142(5):1007-1010. Diego MA, NA Jones, T Field, M Hernandez-Reif, S Schanberg, C Kuhn, V Mcdam, R Galamaga, M Galamagal. 1998. Aromatherapy positively affects mood, EEG patterns of alrtness and math computation. Intern J Neuro 96:217-224. Foye W. 1981. Principles of Medicinal Chemistry. 1th Edition. Philadelphia: LEA & FEBRIGER. p. 605 Hardy M, D Michael, S Kirk, ES David, Westcotes. 1995. Replacement of chronic drug treatment for insomnia in psychogeriathric patiens by ambien odors. J HPIIIP Q Lancet 346:701705. Hossain SJ, K Hamamoto, H Aoshima, Y Hara. 2002. Effects of tea components on the response of GABA(A) receptors expressed in Xenopus oocytes. J Agric Food Chem 50(14):39543960 Jager W, G Buchabuer, L Jirovetz. 1992. Percutaneous absorption of lavender from a message. J Soc Cosmetic Chem 43:49-54. Jirovetz L, G Buchbauer, W Jager, A Woidich, A Nikiforov. 1991. Investigation of animal blood samples after drug inhalation by Gas Chromatography/Mass Spectrometry with chemical ionization and selected ion monitoring. J Mas Spectro 20: 801-803. Jirovetz L, G Buchbauer, W Jager, A Woidich, A Nikiforov. 1992. Analysis of fragrance compound in blood samples of mice by Gas Chromatography, Mass Spectrometry, GC/FTIR, and GC/AES after inhalation of sandalwood oil. J Bio Chrom 6:133-134. Ketaren S. 1987. Minyak Atsiri. Jilid I. Jakarta: UI Press. p. 225 Kikuchi A, K Shiji, S Nakamura, T Komori, Baser. 1995. Effect of fragrance on insomniac tendency in healthy human being. Chem tech 3:379-384. Kirson ED, Y Yaari, M. Perouansk. 1998. Presynaptic and postsynaptic actions of halothane at glutamatergic synapses in the mouse hippocampus. British J Pharmacol 124:16071614. Kovar, KA, B Grooper, D Fries, HPT Ammon. 1987. Blood levels of 1,8-cineole and locomotor acivity of mice after inhalation and oral administration of rosemary oil. J Plan Med 53:315-318. Laurence DR, AC Becharach. 1964. Evaluation of Drug Activities, Pharmacometrics. Volume 1. New York:Academic Press. p. 183-205. Lee HS, TC Jeong , JH Kim. 1998. In vitro and in vivo metabolism of myristicin in the rat. J Chrom B 705 : 367372 (Short communication). Martin W. 1995. Essential oils their lack of skin absorption, but effectiveness via inhalation. http://www.aromamedical.demon.co.uk. [Accessed 2000 July 7]. Martin GN. 1998. Human electroencephalographic (EEG) response to olfactory stimulation: two experiments using the aroma of food. Int J Psichop 30(3):287-302. Miyazaki Y, S Takeuci, M Yatagai, S Kobayashi. 1991. The effect of essential oil on mood in humans. J Chem Senses I6:1984-1987. Mijin DZ, DP Slobodan, GA Dusan 1999. Gas Chromatographic retention indices of 2-phenyl-2alkylacetoniriles on packed column. The Sci Fac Univ 2(1):1-8. Muchtaridi, A Apriyantono, A Subarnas, and S Budijanto, J Levita. 2004. Analysis of compounds possessing inhibitory properties on mice locomotor activity from essential oils of nutmeg seeds (Myristica fragrans HOUTT). J. Natura Acta et Math. Paper submitted received November 2004. Muchtaridi, Apriyantono, A., Subarnas, A., & Budijanto, S. 2003. Analysis of volatile active compounds of essential oils of some aromatical plants possessing inhibitory properties on
mice locomotor activity. Proceeding in International Symposium on Biomedicine, Bogor : Biopharmaca Centre IPB, 18-19 September 2003. p. 31 Muchtaridi, 2003. Muchtaridi, Apriyantono, A., Subarnas, A., & Budijanto, S. 2003. Analysis of volatile active compounds of essential oils of some aromatical plants possessing inhibitory properties on mice locomotor activity. J. Farmaka 1(1): 7-17. Nakahiro M, O Arakawa, T Narahashi. 1991. Modulation of gamma-aminobutyric acid receptorchannel complex by alcohols. J Pharmacol Exp Ther 259(1):235-40. [Abstract]. Nakahiro M, O. Arakawa, T. Nishimura, T. Narahashi. 1996. Potentiation of GABA-induced Clcurrent by a series of n-alcohols disappears at a cutoff point of a longer-chain n-alcohol in rat dorsal root ganglion neurons. Neurosci Lett 23 205(2):127-130. Nasel Ch, B Nasel, P Samec, E Schindler, G Buchbauer. 1994. Functional imaging of effects of fragrances on the human brain after prolonged inhalation. J Chem Senses 19:259-264. Nogrady T. 1988. Medicinal Chemistry. 2nd Edition. Oxford: Oxford University Press. p. 276290 Nusser Z, LM Kay, G Laurent, GE Homanics, I Mody. 2001. Disruption of GABAA receptors on GABAergic interneurons leads to increased oscillatory power in the olfactory bulb network. J Neurophysiol 86:2823-2832. Olajide OA, FF Ajayi, AI Ekhelar, SO Awe, JM Makinde, AR Alada. 1999. Biological effects of Myristica fragrans (nutmeg) extract. J Phytother Res 13(4):344-345 Sonavane GS, S Vikram, K Veena, BK Sanjay. 2001. Behavioural action of Myristica Fragrans HOUTT seeds. Indian J Pharmacol 33:417-424. Sonavane GS, VP Sarveiya, VS Kasture, SB Kasture. 2002. Anxiogenic activity of Myristica fragrans HOUTT seeds. J Pharmacol Biochem Behav 71(1-2):239. Stein U, H Greeyer, H Hentschel. 2001. Nutmeg (myristicin) poisoning report on a fatal case and a series of case recorded by a poison information centre. J Forensic Sci Int 118:87-90.