Anda di halaman 1dari 13

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sebuah istilah yang sangat kompleks dimana memaknai sebuah kata tersebut melalui kaca mata yang di gunakan. Sebelum istilah ini muncul tentunya ada sebuah disiplin ilmu yang menyebabkan istilah tersebut muncul yaitu psikologi, atau lebih simpleks lagi psikologi kepribadian. Selain itu ada juga yang mempunyai pendapat bahwa munculnya istilah kepribadian itu dari ilmu jiwa agama, dimana istilah itu pengambilanya di sesuaikan dengan ruang metafisik yaitu jiwa. Kepribadian mewakili karakteristik individu yang terdiri dari pola-pola pikiran, perasaan dan perilaku yang konsisten. Dalam teori-teori kepribadian, kepribadian terdiri dari antara lain trait dan tipe (type). Trait sendiri dijelaskan sebagai konstruk teoritis yang menggambarkan unit atau dimensi dasar dari kepribadian. Trait

menggambarkan konsistensi respon individu dalam situasi yang berbeda-beda. Sedangkan tipe adalah pengelompokan bermacam-macam trait. Dibandingkan dengan konsep trait, tipe memiliki tingkat regularity dan generality yang lebih besar daripada trait. Dari pembahasan di atas sangat menarik bila dibahas lebih detail tentang bagaimana ruang lingkup sebuah tema tersebut.

B. Rumusan Masalah
1

1. Bagaimana definisi kepribadian itu? 2. Apa dan bagaimana sistem utama yang ada dalam kepribadian itu? 3. Bagaimana sikap keagamaan itu?

C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui defenisi kepribadian. 2. Untuk mengetahui apa dan bagaimana sistem utama yang ada dalam kepribadian itu. 3. Untuk mengetahui bagaimana sikap keagamaan.

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Kepribadian Kepribadian adalah keseluruhan dari individu yang terorganisir dan terdiri atas disposisi-disposisi psikis serta fisis yang memberikan

kemungkinan-kemungkinan untuk membedakan ciri-cirinya yang umum dengan pribadi yang lainya. Disposisi itu ialah kesediaan kecenderungankecenderungan untuk bertingkah laku tertentu, yang sifatnya lebih kurang, tetap atau konstan, dan terarah pada tujuan tertentu (bahasa latin deposito = ketentuan, ketetapan). Selain itu juga satu kesatuan organisasi jasmani dan rohani yang dinamis, yang selalu akan mengalami perubahan dan perkembangan. Kepribadian merupakan satu struktur totalitas atau struktur unitas multipleks, dimana seluruh aspek-aspeknya berhubungan erat satu sama lainya. Aspek-aspek tersebut merupakan satu harmoni yang bekerja sama dengan yang lainya. Tidak jarang juga aspek-aspek tersebut merupakan pertentangan-pertentangan antara satu dengan yang lainya, sehingga terjadi kepecahan pribadi. Satu totalitas itu bukan hanya merupakan satu penjumlahan dari bagian-bagian, tapi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagikan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainya. Namun demikian semua aspek kepribadian itu harus dilihat dalam hubungan konteksnya, sehingga bisa berwujud satu kesatuan yang terorganisir.

Sehingga dengan demikian setiap orang itu mempunyai kepribadiannya sendiri yang khas, yang tidak identik, diganti atau disubstitusikan dengan orang lain. Jadi ada ciri-ciri atau sifat-sifat individual pada aspek-aspek psikisnya yang bisa membedakan dengan yang lainya.

B. Sistem Utama Dalam Kepribadian Suatu model struktural yang tidak lagi menggambarkan fungsi mental sebagai terdiri dari subsistem-subsistem yang terpisah dan dibatasi secara kaku. Model struktural menggambarkan pikiran manusia sebagai campuran atau gabungan dari kekuatan-kekuatan di mana bagian-bagiandari kepribadian sadar juga dapat mengandung isi tak sadar. Model struktural yang di maksud adalah id, ego, super ego. Dimana memasukkan semua fungsi mental yang sebelumnya diberikan kepada ketidaksadaran dan keprasadaran. Pembagian jiwa menjadi tiga bagian ini tidak menggantikan model topografis, tetapi model ini membantunya untuk menjelaskan gambarangambaran mental menurut fungsi-fungsi atau tujuan-tujuanya. 1. Id Pada inti kepribadian dan sama sekali tidak disadari setiap individu terdapat wilayah psikis yang disebut id. Dilihat dalam perkembanganya id adalah bagian tertua dari kepribadian. Pada mulanya segala-galanya adalah id. Karena id adalah bagian kepribadian yang sangat primitif yang sudah beroprasi sebelum bayi berhubungan dunia luar, maka ia mengandung semua dorongan bawaan yang tidak di pelajari psikoanalisis disebut insting-insting. Ciri id itu sendiri disebut sebagai kawah yang penuh dengan

dorongan yang mendidih, berisi energi proses organik dari insting-insting dan berjuang menuju ke suatu tujuan: kepuasan segera hasrat-hasratnya. Id berada dan beroprasi dalam daerah unconscious, mewakili subjektivitas yang tidak pernah disadari sepanjang usia. Id berhubungan erat dengan proses fisik untuk mendapatkan energi psikis yang digunakan untuk mengoprasikan sistem dari struktur kepribadianya. Id beroprasi berdasarkan prinsip kenikmatan (pleasure principle), yaitu berusaha memperoleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit. Bagi Id, kenikmatan adalah kenikmatan yang relatif inaktif atau tingkat energi yang rendah, dan rasa sakit adalah tegangan atau peningkatan energi yang mendambakan kepuasan. Jadi ketika ada stimuli yang memicu enerji untuk bekerja sehingga timbul tegangan energi Id yang beroprasi dengan prinsip kenikmatan dan berusaha mengurangi atau menghilangkan tegangan itu kemudian mengmbalikan diri ke tingkat energi yang rendah. Pleasure Principle diproses dengan dua cara, tindak refleks (refleks actions) dan proses primer (primary process). Tindak refleks adalah reaksi otomatis yang dibawa sejak lahir seperti mengejapkan mata-dipakai untuk menangani pemuasan rangsang sederhana dan biasanya segera dapat dilakukan. Sedangkan proses primer adalah reaksi membayangkan atau mengkhayal sesuatu yang dapat mengurangi atau menghilangkan tegangan ini dipakai untuk menangani stimulus kompleks, seperti bayi yang lapar membayangkan makanan atau puting ibunya. Proses membentuk gambaran obyek yang dapat mengurangi

tegangan, disebutnya pemenuhan hasrat (wish fulfillment), misalnya mimpi, lamunan, dan halunisasi psikotik. Id hanya mampu membayangkan sesuatu, tanpa mampu

membedakan khayalan itu dengan kenyataan yang benar-benar memuaskan kebutuhan. Id tidak mampu membedakan benar ataupun salah, tidak tau moral. Jadi harus di kembangkan untuk memperoleh jalan yang khayalan itu secara nyata, yang memberi kepuasan tanpa menimbulkan ketegangan baru khususnyamasalah moral. Alasan inilah yang kemudian membuat id memunculkan ego. 2. Ego Ego adalah aku atau diri yang tumbuh dari id pada masa bayi dan menjadi sumber dari individu untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Dengan adanya ego, individu dapat membedakan dirinya dari lingkungan di sekitarnya dan dengan demikian terbentuknya inti yang mengintegrasikan kepribadian. Ego timbul karena kebutuhan-kebutuhan organisme yang memerlukan transaksi-transaksi yang sesuai dengan kenyataan objektif. Ego beroperasi mengikuti prinsip realita (reality principle) dan beroperasi menurut proses sekunder . Usaha memperoleh kepuasan yang dituntut id dengan mencegah terjadinya tegangan baru atau menunda kenikmatan sampai ditemukanya objek yang nyata-nyata dapat memuaskan kebutuhan. Prinsip realita itu dikerjakan melalui proses sekunder (secondary process), yakni berpikir realistik menyusun rencana dan menguji apakah rencana itu menghasilkan objek yang dimaksud. Proses pengujian diatas

disebut uji realita (reality testing), dari cara kerjanya dapat dipahami sebagian besar daerah operasi ego berada di kesadaran, namun ada sebagian kecil ego beroperasi di daerah prasadar dan daerah tak sadar. Sebagai jiwa yang berhubungan dengan dunia luar, ego menjadi bagian dari kepribadian yang mengambil keputusan atau eksekutif kepribadian. Ego dikatakan eksekutif kepribadian karena ego mengontrol pintu-pintu ke arah tindakan, memilih segi-segi lingkungan ke mana ia akan memberikan respon, dan memutuskan insting-insting manakah yang akan dipuaskan dan bagaimana caranya. Dalam melaksanakan fungsi-fungsi eksekutif, ego harus

mempertimbangkan tuntutan-tuntutan dari id dan super ego yang bertentangan dan tidak realistik. Disamping kedua tiran ini, ego harus juga melaksanakan penguasa ketiga dunia luar. Dengan demikian, ego terus menerus mendamaikan tuntutan-tuntutan id dan super ego dengan tuntutantuntutan realistik dari duia luar. Perihal di atas tidak mudah dan sering mengakibatkan tegangan yang berat pada ego. Karena merasa dirinya di kepung oleh ketiga kekuatan yang berbeda dan bermusuhan itu, ego menjadi cemas. Ego kemudian mengadakan represi dan mekanisme-

mekanisme pertahanan lain untuk mempertahankan dirinya tanpa membiarkan elemen-elemen yang mengancam masuk ke dalam kesadaran. 3. Super Ego Komponen struktural ketiga kepribadian adalah super ego. Dimana super ego adalah bagian moral atau etis dari kepribadian. Super ego mulai

berkembang pada waktu ego menginternalisasikan norma-norma sosial dan moral. Super ego adalah perwujudan internal dari nilai-nilai dan cita-cita tradisional masyarakat, sebagaimana diterangkan orang tua kepada anak dan dilaksanakan dengan cara memberikan hadiah atau hukuman. Prinsip realitas primer atau awal direpresentasikan oleh suprioritas ayah (ayah genetis) yang melakukan penaklukan terhadap hasrat bayi atau subjek. Di sini, figur ayah hadir sebagai pengebiri relasi imajiner ibu-bayi. Sementara prinsip realitas sekunder (dalam pengertian tingkatan, bukan kadar) direpresentasikan oleh nilai atau norma dalam masyarakat. Nilai atau norma dalam masyarakat kristalisasi nilai kultural dari the great man yang bekerja secara efektif melalui larangan dan hukuman. Larangan dan hukuman tersebut bekerja dengan dua cara, yaitu dengan hukum tertulis (hukum legal) dan lisan (psike masa). Pada subjek, larangan dan hukuman mengkontaminasi kesadaran dan ketidak sadaran (berupa rasa takut dan bersalah). Incest merupakan contoh larangan kultural yang menghambat perkembangan hasrat seksual pada kesadaran.

D. Sikap Keagamaan Sikap keagamaan dalam agama terdiri dari berbagai pengaruh terhadap keyakinan dan perilaku keagamaan, dari pendidikan yang kita terima pada masa kanak-kanak, berbagai pendapat dan sikap orang-orang di sekitar kita, dan berbagai tradisi yang kita terima dari masa lampau. Mungkin kita cenderung menganggap faktor ini kurang penting dalam perkembangan agama kita dibandingkan dengan penelitian para ahli psikologi. Tidak ada seorang

pun di antara kita dapat mengembangkan sikap-sikap keagamaan kita dalam keadaan terisolasi dari saudara-saudara kita dalam masyarakat. Sejak masa kanak-kanak hingga masa tua kita menerima dari perilaku orang-orang di sekitar kita dan dari apa yang mereka katakan berpengaruh terhadap sikapsikap keagamaan kita. Tidak hanya keyakinan-keyakinan kita yang terpengaruh oleh faktor-faktor sosial, pola-pola eksperesi emosianal kita pun sampai batas terakhir bisa dibentuk oleh lingkungan sosial kita. Faktor-faktor sosial juga tampak jelas dalam pembentukan keyakinan keagamaan, tetapi secara prinsip ia tidak melalui penampilan yang berlandasan penalaran sehingga keyakinan-keyakinan seseorang terpegaruh oleh orang lain. Tidak diragukan sama sekali bahwa penalaran memainkan peranan dalam intraksi timbal-balik di antara berbagai sistem keyakinan banyak orang, tetapi peranan jauh lebih kecil dibandingkan dengan prosesproses psikologik lain yang non-rasional. Tidak ada seseorang pun dapat beranggapan banwa cara untuk mengajarkan tentang Tuhan kepada anak kecil adalah dengan mengemukakan argumen rasioanal mengenai adanya Tuhan itu. Pengajaran harus dilakukan lebih dahulu, sedangkan saat bagi argumenargumen penegasan tentang kebenaran ajaran-ajaran agama yang diberikan oleh orang-orang terhormat (terutama bila penegasannya diulang-ulang dan dengan penuh keyakinan) mungkin berpengaruh yang didasarkan atas penalaran, adalah sugesti. Agar kita dapat memahami faktor sosial dalam agama itu, kita harus menelaah psikologi segesti ini. Ahli psikologi tidak mau membicarakan masalah-masalah filosofis yang berkaitan dengan hakikat

kewajiban-kewajiban filosofis yang berkaitan dengan hakikat kewajibankewajiban yang disebabkan oleh hukum moral itu. Hukum moral bisa dianggap sebagai sistem tatanan sosial yang dikembangkan oleh suatu masyarakat dan diteruskan kepada generasi-genarasi berikutnya melalui proses pengkondisian sosial. Di pihak lain, ia juga dapat dianggap sebagai sistem kewajiban yang mengikat manusia tanpa mempermasalahkan apakah sistem itu bermanfaat atau tidak dilihat dari sisi sosial. Sejumlah masyarakat menyatakan bahwa kewajiban-kewajiban ini dikendalikan secara intuitif; sementara masyarakat-masyarakat lainnya berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban itu bisa didedukasikan dengan berbagai proses penalaran, dan masyarakat-masyarakat lainnya lagi

menganggpa kewajiban-kewajiban itu diwahyukan (oleh Tuhan) secara adikodrati. Apapun jawaban yang bisa diberikan terhadap persoalan-persoalan etik ini, masalah yang penting bagi ahli psikologi adalah bahwa konflik moral itu merupakan fakta psikologik yang benar-benar ada.

10

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kepribadian adalah keseluruhan dari individu yang terorganisir dan terdiri atas disposisi-disposisi psikis serta fisis yang memberikan kemungkinankemungkinan untuk membedakan ciri-cirinya yang umum dengan pribadi yang lainya. 2. Suatu model struktural yang tidak lagi menggambarkan fungsi mental sebagai terdiri dari subsistem-subsistem yang terpisah dan dibatasi secara kaku. Model struktural menggambarkan pikiran manusia sebagai campuran atau gabungan dari kekuatan-kekuatan di mana bagian-bagiandari kepribadian sadar juga dapat mengandung isi tak sadar. Model struktural yang di maksud adalah Id, Ego, Super Ego. Dimana memasukkan semua fungsi mental yang sebelumnya diberikan kepada ketidaksadaran dan keprasadaran. 3. Sikap keagamaan dalam agama terdiri dari berbagai pengaruh terhadap keyakinan dan perilaku keagamaan, dari pendidikan yang kita terima pada masa kanak-kanak, berbagai pendapat dan sikap orang-orang di sekitar kita, dan berbagai tradisi yang kita terima dari masa lampau. Mungkin kita cendrung menganggap faktor ini kurang penting dalam perkembangan agama kita dibandingkan dengan penelitian para ahli psikologi.

11

B. Saran Dari hasil kesimpulan di atas, perlu kiranya penulis dan pembaca memberikan saran konstruktif bagi dunia sikoanalisis, baik bagi pengamat maupun instansi yang menangani psikoanalisis. 1. Demi terciptanya tatanan masyarakat yang kondusif, sehingga

memunculkan ketenangan dan keakraban bagi setian orang yang melakukan interaksi dengan yang lainya. 2. Dalam proses pembentukan insan yang budiman dan berakhlak dimana sesuai dengan keyakinan dan ajaran agamanya masing-masing. Walaupun itu semua bukan kesadaran yang asli dari setiap individu. Tidak bisa di pungkiri lagi bahwasanya masyarakat tidak akan menerima kesadaran yang asli dan akan menerima kesadaran yang telah di tentukan oleh norma ajaran maupun agama. 3. Perlunya sosialisasi terhadap para ahli ataupun masyarakat luas bahwa keberagaman adalah suatu keniscayaan yang sudah ada sejak dahulu, dan yang penting adalah menghargai pandangan, keyakinan dan budaya orang lain.

12

DAFTAR PUSTAKA

Hartono, Agustinus. Skizoanalisis Deleuz & Guattari: Sebuah Pengantar Genealogi Hasrat, yogyakarta & Bandung : Jalasutra, 2007. Kartono, Kartini. Teori Kepribadian, Bandung : CV. Mandar Maju, 2005. Semium, Yustinus. Teori kepribadian & terapi psikoanalitik FREUD, Yogyakarta: Kanisius, 2006.

13

Anda mungkin juga menyukai