Anda di halaman 1dari 3

Definisi umum Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya.

Definisi Redominasi Rupiah Redenominasi adalah penyederhanaan pecahan mata uang dengan mengurangi digit angka nol tapi tidak mengurangi nilai mata uang itu. Apa yang direncanakan oleh pemerintah adalah mengurangi tiga digit angka nol pada mata uang rupiah. Jadi, bila sekarang Anda memegang uang pecahan Rp50.000,00, pada saat penerapan denominasi, uang tersebut menjadi Rp50,00 saja. Namun, dengan uang itu, Anda bisa membeli barang bernilai sama dengan Rp50.000,00. Dengan demikian, sekilas, program redenominasi ini tidak ada masalah sama sekali. Malah memberikan keuntungan-keuntungan lain yang berkaitan dengan nilai-nilai kebangsaan dan harga diri bangsa. Redenominasi biasanya dilakukan atau ditempuh, dengan pertimbangan, bahwa akan membuat timpang persepsi masyarakat. Dan berikutnya adalah kemungkinan adanya penyiasatan yang tidak bijaksana oleh sebagian orang yang mengambil keuntungan dari hal perubahan ini. Dan semua hal tersebut sangat tidak jauh dari kemungkinan yang berhubungan dengan isu ekonomi. Dan juga berkaitan erat dengan isu politik. Bahwa mungkin saja dengan kebijakan ini, akan isu ekonomi yang ada akan berkembang luas menjadi isu politik yang lebih serius tentunya. Dan inilah yang sungguh tidak diinginkan oleh pemerintah Anda.

Dampak positif redominasi Memudahkan perhitungan (sederhana) Mengangkat citra rupiah di mata internasional Untuk mengatasi ketidak efesiensian pembangunan infrastruktur cara transaksi non-tunai (ATM, online banking, dsb).

Dampak negatif redominasi Tidak memberikan dampak positif terhadap perekonomian secara langsung Mungkin akan sedikit memberikan kebingungan di beberapa masyarakat. Masyarakat harus beradaptasi dengan nilai pecahan uang baru tersebut.

Syarat keberhasilan redominasi Ada dukungan yang kuat dari seluruh lapisan masyarakat termasuk pemerintah, parlemen dan pelaku bisnis.

Dilakukan pada saat perekonomian berada dalam kondisi stabil Tersedianya landasan hukum Public campaign dan edukasi yang intensif dan stabil

Kekurangan redominasi Untuk rakyat biasa, redenominasi adalah istilah baru yang membingungkan. Dalam praktiknya, istilah itu nyaris sama dengan upaya pemotongan uang. Menerbitkan uang baru Rp 1 yang nilainya sama dengan Rp 1.000 saat ini, pada praktiknya merupakan paksaan inflasi (force inflation). Karena daya beli golongan menengah ke bawah akan terpotong dengan adanya kenaikan harga-harga setelah mata uang baru diterbitkan. Misalnya, untuk sebungkus kacang goreng seharga Rp 800 saat ini, kelak dengan uang baru harganya akan disesuaikan menjadi Rp 1 baru yang ini sama saja artinya menaikkan harganya sebesar Rp 200 mata uang sekarang. Inflasi yang dipaksakan inilah yang akan terjadi serentak setelah pemberlakuan redenominasi. Untuk golongan menengah atas, rupiah baru memang lebih nyaman. Mereka bisa membawa uang tunai Rp 10 juta saat ini, menjadi hanya Rp 10.000 uang baru atau hanya 10 lembar pecahan Rp 1.000 baru. Pertanyaannya, berapa persen orang Indonesia yang di kantongnya ada uang tunai Rp 10 juta per hari? Persentasenya sangat kecil, kurang dari 0,5% dari penduduk Indonesia. Kok bisa merancang kebijakan baru hanya untuk menyenangkan 0,5% orang paling kaya di Indonesia? Sementara pada saat yang sama, kebijakan itu justru akan menguras daya beli mayoritas rakyat Indonesia. Jangan-jangan, kebijakan ini justru semakin mempermudah penyogokan para pejabat. Jika sebelum redenominasi perlu boks bekas durian untuk menyogok pejabat miliaran rupiah, nanti cukup menggunakan amplop kecil.

Alasan dilakukan redominasi pada suatu negara Biasanya, pemotongan uang atau sanering atau redenominasi dilakukan ketika inflasi di satu negara sangat tinggi (hyper inflation) dan ekonomi sedang dalam krisis. Dalam kasus seperti itu, pemotongan uang terpaksa dilakukan untuk stabilisasi ekonomi. Banyak negara di Amerika Latin melakukan pemotongan uang dengan tujuan seperti itu. Termasuk, Indonesia pada 1966 ketika inflasi mencapai di atas 1.000% sehingga pemerintah terpaksa memotong uang dari Rp 1.000 uang lama menjadi Rp 1.000 uang baru.

Alasan agar pemerintah tidak melakukan redominasi Saat ini ekonomi Indonesia stabil, inflasi terkendali, tapi mengapa Indonesia harus melakukan redominasi. Bank Indonesia (BI) dan pemerintah ngotot mau memotong uang yang kalau tidak hati-hati bisa menjadi sumber ketidakstabilan baru, sementara manfaatnya tidak jelas. Padahal BI punya tugas yang jauh lebih penting, yaitu menurunkan net interest margin (selisih bunga kredit dan simpanan) yang kini paling tinggi di dunia (6-7%) sehingga mengurangi daya saing produk Indonesia.

Bisa jadi rencana kebijakan redenominasi itu dilatarbelakangi keinginan penguasa untuk memberi kesan bahwa mata uang rupiah kuat. Ini dimaksudkan untuk menjadikannya sebagai indikator keberhasilan ekonomi saat ini. Keinginan untuk memiliki mata uang kuat tersebut sebetulnya salah kaprah. Karena yang penting sebenarnya adalah stabilitas mata uang. Justru negara-negara yang berhasil memacu pertumbuhan ekonomi dan industrinya, dengan sengaja memilih kebijakan mata uang lemah (weak exchange rate policy). Contohnya, Jepang pada tahun 1950an-1970 yang berhasil tumbuh di atas 10%, atau China pada akhir tahun 1980an-2010 yang juga berhasil tumbuh double digit. Kebijakan mata uang lemah secara tidak langsung melindungi ekonomi dalam negeri dan meningkatkan daya saing produk ekspor mereka. Negara-negara yang berhasil memacu ekonominya tumbuh tinggi dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, menolak tekanan internasnional untuk memperkuat mata uangnya. Contohnya China yang tetap menolak mentah-mentah menaikkan nilai tukar yuan, kendati tiga Presiden Amerika sejak Clinton, Bush, dan Obama datang ke Beijing untuk menekan negara Tirai Bambu itu. Sebaliknya, Jepang akhirnya menyerah dan setuju menaikkan nilai tukar yen sesuai dengan kesepakatan Plaza Accord di New York tahun 1986, setelah mendapat tekanan kuat dari Amerika dan Eropa yang khawatir produknya kalah bersaing. Sejak itu, ekonomi Jepang berubah dari ekonomi tumbuh tinggi (di atas 10%) menjadi ekonomi tumbuh rendah (kurang dari 2%). Jelas sekali peranan penting kebijakan mata uang lemah (weak exchange rate policy) dengan pertumbuhan ekonomi tinggi. Negara-negara dengan pertumbuhan tinggi tersebut tidak perlu menggunakan kebijakan pemotongan uang atau redenominasi. Mata uang mereka otomatis akan menguat dengan sendirinya, seiring kemajuan ekonomi mereka. Seperti terlihat pada grafik di bawah ini nilai tukar yen terhadap dolar Amerika (sekitar 350 yen/US$) pada 1950 terus menguat menjadi sekitar 70 yen/US$ tahun 2010. Proses penguatan mata uang yen tersebut berlangsung secara alamiah tanpa perlu kebijakan potong-memotong ala BI dan pemerintah Indonesia yang bersifat semu (artificial) dan hanya merugikan golongan menengah bawah.

Anda mungkin juga menyukai