Anda di halaman 1dari 3

BAB IV ANALISA KASUS Pasien Ny T, adalah seorang G1P0A0 usia 22 tahun dengan usia kehamilan 38 minggu.

Pasien merupakan kiriman dari puskesmas dengan keterangan plasenta letak rendah. Plasenta letak rendah dapat didiagnosis dari pemeriksaan penunjang dengan ultrasonografi dimana dari hasil USG tampak plasenta berinsersi di corpus kanan yang meluas sampai dengan posterior dan kesimpulan USG: saat ini janin dalam keadaan baik dengan plasenta letak rendah di belakang. Dari anamnesis terhadap pasien kurang dapat diketahui mengenai adanya perdarahan ante partum karena pasien tidak merasakan ada darah segar yang keluar dari jalan lahirnya, pasien hanya merasakan keluar lender darah dari jalan lahirnya, dan saat pemeriksaan dalam dengan vagunal touche didapat darah (+). Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan Hb pasien sedikit menurun. Oleh karena dari pemeriksaan dalam didapatkan darah dan pada pemeriksaan USG didapatkan plasenta letak rendah, maka pasien didiagnosis dengan Ante Partum Hemoragik et causa plasenta letak rendah di belakang. Penyebab perdarahan antepartum dibagi menjadi obstetrik dan non obstetrik. Yang termasuk penyebab obstetrik adalah plasenta (plasenta previa, solusio plasenta) dan uterus (ruptur uterus). Yang termasuk penyebab non obstetrik adalah perdarahan dari serviks, vagina, atau perdarahan pada traktus urinarius. Pada pasien ini ditemukan adanya plasenta yang letaknya rendah di belakang, hal tersebut sesuai dengan teori dimana salah satu penyebab dari perdarahan ante partum adalah disebabkan oleh plasenta. Pada pemeriksaan abdomen teraba janin tunggal, intra uterin, memanjang, punggung di kiri, presentasi kepala, kepala belum masuk panggul, HIS (+) 3x tiap 10 menit selama 30 detik, DJJ (+) 148x/menit/reguler. Pada pemeriksaan dalam portio livide, orificium uteri eksternum terbuka tampak jaringan plasenta, darah (+), diameter 2cm, KK dan penunjuk belum dapat dinilai, air ketuban (-), STLD (+). Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, pasien kami diketahui kehamilannya dengan janin presentasi kepala dan sudah dalam persalinan. Pasien dikatakan sudah dalam persalinan karena sudah terdapat tanda-tanda persalinan seperti adanya lendir darah, his yang adekuat, keluarnya lendir darah dari jalan lahir meskipun pada pasien ini air kawah belum dirasakan keluar.

Berdasarkan usia kehamilan, hamil aterm adalah kehamilan dengan usia 37 s.d. 40 minggu. Hal ini sesuai dengan pasien Ny. T bila dihitung usia kehamilannya dari HPMT tanggal 27 Januari 2012 (umur kehamilan 38 minggu), sehingga kami diagnosis dengan kehamilan aterm. Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan dengan segera rawat inap, pro section caesaria emergency dengan informed consent pada keluarga pasien, CST untuk menilai kontraksi dari pasien, penyediaan darah untuk mencegah kurangnya darah pasca operasi, an injeksi antibiotik dengan dilakukan skin test terlebih dahulu untuk mengahindari terjadinya reaksi alergi dari pasien. Pasien Ny. T pada saat datang sudah dalam persalinan, sedangkan pasien merupakan G1P0A0 dengan perdarahan ante partum karena plasenta letak rendah di belakang pada kehamilan aterm. Tatalaksana APH bergantung pada banyaknya perdarahan dan umur kehamilan dimana bila perdarahan banyak atau kehamilan sudah aterm pasien harus dilakukan penanganan secara aktif yaitu segera mengakhiri kehamilan, baik secara pervaginam/perabdominal. Pada pasien ini umur kehamilan Ny. T sudah menginjak umur 38 minggu (aterm) dan perdarahan masih ditemukan dari jalan lahir sehingga pada pasien ini pilihan penangannya adalah dengan dlakukan SCTP mergency Syarat untuk dilakukan sectio caesaria terpenuhi untuk kasus ini, yaitu umur kehamilan pasien yang sudah aterm dan perdarahan yang masih berlangsung melalui jalan lahir pasien dimana salah satu indikasi dari persalinan perabdominal dari perdarahan antepartum adalah semua plasenta previa dengan perdarahan yang banyak dan tidak berhenti. Penanganan pasien ini setelah operasi section caesaria adalah dengan pemberian antibiotic (ceftriaxone injeksi sampai dengan DPH 2 dilanjutkan cefadroxil oral saat DPH 3), metronidazole, obat penambah darah yaitu tablet besi atau sulfas ferrous, dan vitamin C. pemberian metronidazole disini dikarenakan pada pasien ini dicurigai adanya infeksi dilihat dari pemeriksaan laboratorium terakhir dimana angka leukosit sebesar 13,6 x 103/uL (leukositosis). Metronidazole adalah antibakteri dan antiprotozoa sintetik derivat nitroimidazoi yang mempunyai aktifitas bakterisid, amebisid dan trikomonosid. Prognosis dari antepartum hemoragik dan komplikasinya dapat membaik apabila penanganan dilakukan dengan cara operatif dini sehingga angka kematian dan kesakitan ibu dan perinatal jauh menurun dibandingkan dengan terapi yang bersifat konserfatif (mortalitas dan morbiditas pada ibu dan bayi tinggi, mortalis ibu mencapai 8-10% dan mortalitas janin 50-80%).

Pasien dapat pulang jika keadaan secara umum membaik, perdarahan post partum tidak ditemukan dan vital sign dari pasien stabil dimana tidak ditemukan tanda-tanda syok atau hipotensi akibat perdarahan tersebut karena komplikasi ibu yang sering terjadi adalah perdarahan post partum dan syok karena kurang kuatnya kontraksi segmen bawah rahim, infeksi dan trauma uterus/serviks sehingga keadaan umum ibu dan tanda vital ibu harus dipantau meskipun pasien telah melahirkan. Pada pasien ini, perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium post operasi, terutama untuk mengetahui kadar Hb dan AL. Apabila Hb kurang dari 10, maka perlu dilakukan transfusi hingga Hb lebih dari 10, dan pemberian antibiotik tambahan berupa metroniazole bila terjadi leukositosis. Pada pasien ini kami lakukan edukasi untuk pemasangan IUD. Hal ini dilakukan untuk menjarangkan kehamilan. Tidak terpengaruh faktor lupa, tidak mengganggu hubungan suami istri, dapat dipakai segala umur pada masa reproduktif, tidak mengganggu laktasi baik dari sisi kualitas maupun kuantitas, tidak berinteraksi dengan obat-obatan, dapat dipakai segera setelah melahirkan.

Anda mungkin juga menyukai