Anda di halaman 1dari 12

Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) merupakan salah satu masalah kegawatdaruratan di bidang gastroenterology.

Juga merupakan salah satu indikasi untuk dilakukan rawat inap. Jumlah kejadiannya 150 rawat inap/100.000 populasi per tahun. Meski banyak kemajuan dalam modalitas pengobatan, angka kematian akibat kondisi ini masih relative tinggi. Angka kematian akibat perdarahan saluran cerna bagian atas, berkisar 7-14%, sedangkan mortalitas karena perdarahan ulang mendekati 40%, terutama pada pasien usia lanjut dengan komorbid yang jelas. Penyebab tersering dari perdarahan saluran cerna bagian atas di Negara-negara barat adalah tukak peptic. Sedangkan penyebab tersering dari perdarahan saluran cerna bagian atas di Indonesia adalah pecahnya varises esophagus. Yang dimaksud dengan SCBA adalah kehilangan darah dari lumen saluran cerna, dimana saja, mulai dari esophagus sampai duodenum (ligamentum treiz). Mekanisme kehilangan darah mulai dari perdarahan tersamar intermitten (yang hanya dapat dideteksi dari adanya darah samar pada feses atau adanya anemia defisiensi besi), sampai dengan manifestasi perdarahan massif yang disertai renjatan. Manifestasi klinik yang paling kalsik adalah adanya hematemesis (muntah darah segar dan atau disertai hematin / hitam). Kemudian berlanjut dengan timbulnya melena. Hal ini terutama pada kasus dengan sunber perdarahan di esophagus dan gaster. Sedangkan sumber perdarahan di duodenum, relative lebih sering bermanifes dalam bentuk melena. Hal ini banyak dipengaruhi oleh jumlah darah yang keluar persatuan waktu dan fungsi pylorus. Terkumpulnya darah dalam volume yang banyak dalam waktu singkat, menimbulkan reflex muntah sebelum komponen darah tersebut bercampur asam lamubng. Pada kondisi ini pasien akan memuntahkan darh segar. Berbeda dengan darah yang keluar terpapar lengkap dengan asma lambung, sehingga membentuk hematin asam. Perdarahan yang massif terutama yang berasal dari duodenum, kadang tidak terpapar asam lambung dan keluar per anum dalam bentuk darah segar (hematochezia atau maroon stool). Berat ringannya perdarahan dapat dinilai dari manifestasi klinik yang ada, dan drajat turunnya kadar hemoglobin. Yang penting adalah ada tidaknya manifestasi gangguan hemodinamik. Saluran cerna dapat menampung darah yang keluar dalam volume yang banyak, sebelum adanya manifestasi klinik hematemesis atau melena. Sehingga tidak jarang kasus dating dalam keadaan

akut, meski manifestasi darah yang keluar tidak banyak dan kadar hemoglobin relative masih baik (belum mengalami proses hemodilusi). Etiologi Ada perbedaan SCBA di Indonesia dengan di negara barat. Di Indonesia, sebagian besar kasus perdarahan SCBA ( + 70%) disebabkan pecahnya varises esophagus, atau dampak lain dari adanya hipertensi portal (adanya gastropati hipertensi portal). Sedangkan, di barat sebagian besar akibat perdarahan tukak peptic dan gastritis erosifa. Perdarahan SCBA dibagi menjadi 2 yaitu variseal dan non-variseal. Ini berdampak pada perbedaan dalam tatalaksananya. Mengenai perdarahan non-variseal, terdapat peningkatan perdarahan dari gastropati/erosi gaster, seiring dengan meningkatnya penggunaan NSAID di masyarakat kita. Diikuiti perdarahan gastropati hipertensi portal dan tukak lambung. Pemakaian aspirin dan NSAID dapat menuntun kitadalam memprediksi adanya perdarahan tukak/gastropati NSAID yag dapat teridentifikasi pada proses pemeriksaan penunjang, seperti endoskopi. Diagnosis Dalam penangananperdarahan SCBA, mencari penyebab perdarahan merupakan langkah penting untuk menentukan modalitas terapi definitive. Disini, perlu kejelian klinik untuk memprediksi penyebab, disamping pengetahuan statistic populasi penyebab tersering sesuai sentra pelayanan kesehatan. Prioritas pertama dalam menangani pasien yang dating dengan perdarahan saluran cerna adalah menilai dang mengatasi gangguan hemodinamik yang terjadi (resusitasi cairan dan stabilisasi hemodinamik). Selanjutnya, melakukan pemeriksaan penunjang untuk memperoleh sumber perdarahan, penyebab dan tatalaksana terapi untuk menghentikan perdarahan dan mencegah perdarahan berulang. Secara umum, penatalaksanaan perdarahan SCBA terdiri dari: 1. Penilaian hemodinamik, disertai resusitasi cairan dan stabilisasi hemodinamik

2. Penilaian onset dan drajat perdarahan 3. Menghentikan perdarahan secara umum (stop gap treatment) 4. Mengidentifikasi lokasi sumber perdarahan dengan modalitas sarana penunjang yang tersedia 5. Mengatasi sumber perdarahan secara definitive 6. Minimalisasi komplikasi yang dapat terjadi 7. Upaya pencegahan terjadinya perdarahan berulang, dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Anamnesis yang teliti dan akurat dapat membantu memperkirakan lokasi perdarahan dan penyebabnya. Riwayat pemakaian aspirin, NSAID, riwayat tukak sebelumnya, bahkan pemakaian obat tradisional penghilang nyeri, merupakan petunjuk yang bermanfaat untuk menetukan penyebab perdarahan. Pemeriksaan fisik juga akan membantu melihat adanya stigmata penyakit hati kronik, diathesis hemoragik, sangat membantu mengarahkan diagnosis. Pemasangan Naso gastric tube (NGT) merupakan langkah intervensi, untuk mengetahui benar tidaknya terdapat perdarahan saluran cerna, aktifnya proses perdarahan atau berhentinya perdarahan, perkiraan volume darah yang hilang atau menilai ada tidak kemungkinan gangguan hemostasis. Adanya aspirat darah segar, menunjukkan sedang terjadi perdarahan aktif. Tapi aspirat jernih tidak dapat menyingkirkan perdarahan itu sudah berhenti, terutama bila sumber perdarahan ada di duodenum. Penilaian aspirat NGT juga bias dihunakan sebagai parameter, untuk memulai pemberian nutrisi enteral cair bertahap. Pemeriksaan laboratorium penunjang awal, ditujukan terutama untuk menilai kadar Hb, fungsi hemostasis, fungsi hati dan kimia darah dasar yang berhubungan dengan status hemodinamik. Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas, merupakan modaliitas diagnostic yang paling akurat untuk mengidentifikasi sumber perdarahan. Dengan endoskopi, bias diketahui berapa besar kemungkinan terjadinya perdarahan berulang. Temuan ulkus peptikum dengan dasar bersih, memiliki kemungkinan terjadinya perdarahan berulang sebesar 5% dengan angka

mortalitaas sebesar 2%. Sementara jika ditemukan perdarahan aktif, resiko perdarahan berulang 55%. Diagnosis Dari 1673 kasus perdarahan SCBA di SMF Penyakit Dalam RSU dr. Sutomo Surabaya, penyebabnya 76,9% pecahnya varises esophagus, 19,2% gastritis erosive, 1,0% tukak peptic, 0,6% kanker lambung dan 2,6% karena sebab-sebab lain. Sarana diagnostic yang bias diguunakan pada kasus perdarahan saluran makanan adalah endoskopi gastrointestinal, radiografi dengan barium, radionuklid dan angiografi. Pada semua pasien dengan tanda-tanada perdarahan SCBA atau yang asal perdarahannya masih meragukan, pemeriksaan endoskopi SCBA merupakan prosedur pilihan. Dengan pemeriksaan ini sebagian besar kasus diagnosis penyebab perdarahan bias ditegakkan. Selain itu dengan endoskopi bias pula dilakukan upaya terapeutik. Bila perdarahan masih tetap berlanjut atau asal perdarahan sulit diidentifikasi perlu dpertimbangkan pemeriksaan dengan radionuklid atau angiografi yang sekaligus bias digunakan untuk menghentikan perdarahan. Tujuan pemeriksaan endoskopi selain menemukan penyebab serta asal perdarahan, juga untuk menentukan aktivitas perdarahan. Terapi Non-Endoskopis Salah satu usaha menghentikan perdarahan yang sudah lama dilakukan adalah kumbah lambung lewat pipa nasogastrik dengan air suhu kamar. Prosedur ini diharapkan mengurangi distensi lambung dan memperbaiki proses hemostatik, namun demikian manfaatnya dalam menghentikan perdarahan tidak terbukti. Kumbah lambung ini sagat diperlukan untuk persiapan pemeriksaan endoskopi dan dapat dipakai untuk membuat perkiraan kasar jumlah perdarahan. Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang mengalami perdarahan SCBA diperbolehkan, dengan pertimbangan pemberian tersebut tidak merugikan dan relative murah.

Vasopressin dapat menghentikan perdarahan SCBA lewat efek vasokontriksi pembuluh darah splanknik, menyebabkan aliran darah dan tekanan vena porta menurun. Terdapat dua bentuk sediaan, yakni pitresin yang mengandung vasopressin murni dan preparat pitiutari gland yang mengandung vasopressin dan oxytocin. Pemberian vasopressin dilakukan dengan mengencerkan sedian vasopressin 50 unit dalam 100 ml dekstrose 5% diberikan 0,5-1 mg/menit/iv selama 20-60 menit dan dapat diulang tiap 3-6 jam, atau setelah pemebrian pertama dilanjutkan perinfus 0,10,5 U/menit. Vasopressin dapat menimbulkan efek samping serius berupa insufisiensi koroner mendadak, oleh karena itu pemberiannya disarankan bersamaan preparat nitrat, misalnya nitrogliserin intravena dengan dosis awal 40 mcg/menit kemudian secara titrasi dinaikkan sampai maksimal 400 mcg/menit dengan tetap mempertahankan tekanan sistolik di atas 90 mmHg. Somtostatin dan analognya (octreotide) diketahui dapat menurunkan aliran darah splanknik, khasiatnya lebih selektif disbanding vasopressin. Somatostatin dapat menghentikan perdarahan akut varises esophagus pada 70-80% dan dapat pula digunakan pada perdarahan non-varises. Dosis pemberian somatostatin, diawali dengan bolus 250 mcg/iv, dilanjutkan perinfus 250 mcg/jam selama 12-24 jam atau sampai perdaraha berhenti; oktreotide dosis bolus 100mcg/iv dilanjutkan perinfus 25 mcg/jam selama 8-24 jam atau sampai perdarahan berhenti. Obat-obatan golongan anti sekresi asam yang dilaporkan bermanfaat untuk mencegah perdarahan ulang SCBA karena tuka peptic ialah inhibitor pompa proton dosis tinggi. Diawali bolus omeprazol 80 mg/iv kemudian dilanjutkan perinfus 8 mg/kgBB/jam selama 72 jam. Pada perdarahan SCBA ini antasida, sukralfat dan antagonis reseptor H2 masih boleh diberikan dengan tujuan penyembuhan lesi mukosa penyebab perdarahan. Antagonis reseptor H2 dalam mencegah perdarahan ulang SCBA karena tukak peptic kurang bermanfaat. Penggunaan balon tamponade untuk menghentikan perdarahan varises esophagus dimulai sekitar tahun 1950, palin popular adalah Sengstaken Blakemore tube (SB-tube) yang mempunyai tiga pipa serta dua balon masing-masing untuk esophagus dan lambung. Komplikasi pemasangan SBtube yang berakibat fatal ialah pneumoni aspirasi, laserasi sampai perforasi. Pengembangan balon sebaiknya tidak melebihi 24 jam. Endoskopi

Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang masih aktif atau tukak dengan pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya meliputi: Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe) Noncontact thermal (laser) Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin, polidokanol, alcohol, cyanoacrylat atau pemakaian klip)

Perdarahan Varises Esofagus Pada kondisi normal, sirkulasi portal merupakan aliran tinggi (1.000-1.200 ml/menit) dan bertekanan rendah (5-10 mmHg). Hipertensi portal dapat didefinisikan sebagai tekanan di atas normal (>10 mmHg). Berdasarkan penyebabnya, dapat diklasifikasikan dalam: pre hepatic (misalnya yang disebabkan thrombosis vena splenika atau vena porta), intra hepatic (sirosis hati dan lain-lain) post hepatic (misalnya, obstruksi vena hepatica dan atau vena cavalBudd-Chiari syndrome) Dari ketiga golongan ini, sirosis hati merupakan penyebab tersering terjadinya varises. Biasanya, varises pecah bila gradient tekanan vena hepatica lebih dari 12 mmHg, atau tekanan varises lebih dari 15 mmHg. Tekanan ini meningkat, akibat perubahan pola system vaskuler intra hepatic yang disebabkan proses fibrosis dan regenerasi nodul pada sirosis hati. Juga adanya perubahan hemodinamik, akibat kontraksi myoblast dan otot polos pembuluh dara. Ditambah lagi dengan adanya peningkatan aliran vena porta, akibat vasodilatasi arteriola splangnikus yang terjadi bersamaan dengan terbentuknya system kolateral. Terbentunya varises tergantung pada tekanan portal. Tapi, bila sudah terbentuk maka pecahnya varises dipengaruhi oleh besarnya varises, ada tidaknya red whole sign/ red color sign dan

tingkat drajat penyakit hati. Pada dasarnya, red color sign tersebut mirip suatu aneurisma dinding varises, yang menyebabkan timbulnya titik lemah pembuluh darah tersebut. Perdarahan pada kasus hipertensi porta, dapat juga berasal dari gastropati kongesti akibat hipertensi porta tersebut. Adanya perdarahan dari varises esophagus dan dari gastropati, akan mempengaruhi pertimbangan terapi definitive yang akan dilakukan. Diagnosis pasti adanya varises esophagus, tergantung pada kelengkapan sarana diagnostic yang tersedia, yaitu sarana endoskopi gastrointestinal bagian atas. Meski begitu, tanpa ada sarana penunjang pun, jika pengetahuan klinis dikuasai dengan baik, didukung gambaran adanya sirosis hati dan pola hematemesis, perdarahan varises dapat ditatalaksana dengan baik.

Gastritis Erosiva dan Gastropati NSAID Pemakaian obat NSAID telah lama diketahui menimbulkan lesi mucosal, terutama pada SCBA. Patogenesanya melewati jalur hambatan produksi prostaglandin oleh obat NSAID (terutama nonselective NSAID), sehingga terjaadi penurunan factor defensive mukosa SCBA. Diketahui, prostaglandin (selain mempunyai efek inflamatorik)berfungsi memelihara integritas mukosa SCBA. Lesi mucosal juga dapat disebabkan oleh efek topical langsung dari obat aspirin/NSAID, yang menimbulkan kerusakan mukosa lambung (konsep ion trapping). Lesi mucosal yang terjadi, dapat berupa inflamasi ringan sampai berat,erosi, bahkan dapat terjadi ulkus yang besar. Komplikasi perdarahan yang terjadi, banyak dipengaruhi oleh toksisitas NSAID (paling ringan pada COX-2 inhibitor), jumlah dan jenis yang dipakai, kombinasi dengan pemberian obat antikoagulan atau steroid dan pada usia lanjut.

Ulkus Peptikum Pathogenesis ulkus lambung, bias disebabkan oleh infksi Helicobacter pylori, hipersekresi asam labung, keadaan iskemia mucosal. Akhir-akhir ini, jumlah kejadiaanya meningkat bersamaan

dengan meningkatnya penggunaan aspirin dan NSAID. Endoskopik memiliki peran penting dalam pemeriksaan dan bias memiliki nilai prognostic. Temuan adanya perdarahan arterial (klassifikasi Forrest Ia) dengan pemeriksaan endoskopi, mempunyai prediksi kemungkinan perdarahan berulang 80-90%. Sementara temuan ulkus dengan dasar ulkusnya ditutupi hematin (klassifikasi Forrest IIc), mempunyai perdiksi perdarahan ulang 0-8%. Peerdarahan yang berasal dari ulkus besar di duodenum(terutama di dinding postero-inferior bulbus), membutuhkan tindakan operasi karena berdekatan dengan pembuluh darah yang besar. Ulkus dengan diameter >2 cm mempunyai prediksi tinggi untuk perdarahan ulang, bahkan setelah terapi endoskopi hemostatik.

Mallory Weiss Tears Mallory weiss tears adalah laserasi mukosa gaster atau esophagus dekat esophago-gastric junction. Ini bias akibat poroses muntah atau retching. Biasanya sembuh spontan. Temuan klinis biasanya berupa hematemesis, yang terjadi setelah episode muntah-muntah yang hebat. Endoskopi merupakan sarana baku, untuk menegakkan diagnose.

Penatalaksanaan 1. Penatalaksanaan SCBA Non Varises Tujuan pengobatan perdarahan adalah: Untuk menstabilkan sirkulasi darah Menghentikan perdarahan Mencegah perdarahan berulang

Ketika pasien dating dengan perdarahan saluran cerna, lakukan penggantian cairan dengan trnsfusi darah jika dibutuhkan. Lakukan endoskopi dengan endoskopi hemostasis,

jika dibutuhkan dan lakukan operasi jika perdarahan tidak bias dihentikan dengan tindakan-tindakan lain. Tanda-tanda vital harus dinilai segera, sehingga pasien dapat dirujuk dengan cepat ke ruang perawatan akut jika dibutuhkan. Lakukan pemeriksaan jumlah darah dan kimia darah, enzim liver dan koagulasi. Berikan transfuse darah pada pasien dengan perdarahan aktif, takikardi, hipotensi, perubahan postural tau riwayat penyakit vaskuler atau kardiak. Selang nasogastrik bias dimasukkan untuk mengkonfirmasi bahwa sumber perdarahan adalah saluran cerna bagian atas. a. Pengobatan Spesifik Ketika seorang pasien dating dengan perdarahan, pada sebagian besar kasus bias dilakukan endoskopi. Prosedur ini penting dilakukan untuk semua pasien dengan perdaraha ulkus, baik untuk diagnose, menentukan pengobatan dan pengobatannya sendiri. Dalam consensus Internasional yang dipublikasikan Februari 2010, ada anjuran untuk melakukan endoskopi lebih dini dalan 2-24 jam pertama setelah terjadi perdarahan pertama kali, pada sebagian besar pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian atas. Manfaatnya adalah menurunkan lama rawat dan menurunkan kebutuhan operasi pada pasien usia lanjut. Fungsi Endoskopi: Endoskopi untuk mencegah dan mengobati Endoskopi bias mendeteksi tanda-tanda spesifik pada ulkus (stigmata), untuk melihat risiko perdarahan berulang. Tanda-tanda tersebut mencakup: Risiko rendah (5-15%): titik rata, dasar bersih atau putih Risiko tinggi (30-50%): pembuluh darah membengkak tapi tidak berdarah, klot darah yang melekat pada ulkus.

Berdasarkan penelitian, jika seorang pasien memiliki risiko tinggi tapi tidak mendapat penanganan, risiko perdarahan berulang setelah endoskopi berkisar sekitar 10% di hari pertama setelah endoskopi sampai sekitar 3% di hari ketiga. Ada beberapa factor resiko terjadinya perdarahan berulang yaitu: Usia > 65 tahun Syok Status kesehatan secara keseluruhan yang buruk Penyakit komorbid Kadar hemoglobin awal yang rendah Melena Membutuhksn transfuse darah Darah merah segar pada pemeriksaan rectum, di dalam emesis atau di dalam aspirat nasogastrik Sepsis dan peningkatan urea, kreatinin atau kadar

aminotransferase serum.

Endoskopi untuk pengobatan Terapi endoskopi mencakup metode thermal (terapi laser, elektrokoagulasi dan heater probes), terapi injeksi dan hemoklips. Untuk terapi injeksi yang biasa digunakan adalah epinefrin, etanol, saline atau sklerosant seperti dekstrose 50% atau polidokadol. Dari beberapa penelitian terlihat adanya perbaikan dengan kombinasi terapi injeksi diikuti koagulasi multipolar, disbanding jika dilakukan tersendiri.

Endoskopi biasanya digunakan untuk mengobati perdarahan dari ulkus dengan pembuluh darah yang terlihat ddengan diameter kurang dari 2 mm. pendekatan ini tampak sangat efektif mencegah perdarahan berulang pada pasien dengan uluks yang tidak berdarah tetapi memiliki tanda-tanda beresiko tinggi. Pada kasus beresiko tinggi, pasien bias diinjeksikan epinefrin secara langsung ke dalam ulkus untuk meningkatkan efek proses pernafasan. Epinefrin mengaktivasi proses yang menyebabkan koagulasi darah, menyempitkan arteriol dan menigkatkan pembentukan kolt darah.

Terapi Farmakologis Penatalaksanaan farmakologis meliputi: Penggunaan obat H2 receptor antagonis atau PPI Obat sitoprotektor Antibiotic Obat hemostatik (asam traneksamat, adona dll) Pemberian obat kelainan hemostasis (missal, heparin pada DIC, vitamin K pada defisiensi factor pembekuan yang tergantung vitamin K dll) PPI injeksi intravena diberikan 2-3 kali/hari pada perdarahan aktif, sampai perdarahan berhenti lalu diganti PPI oral.

Operasi

Penatalaksanaan bedah atau operasi, dilakukan bila perdarahan tetap berlangsung atau pendekatan endoskopi gagal menghentikan perdarahan atau kondisi pasien sudah masuk dalam keadaan gawat I s.d II 2. Penatalaksanaan SCBA Varises

Anda mungkin juga menyukai