Anda di halaman 1dari 12

SITUASI KESEHATAN DAN GIZI DAN ISSUE KEBIJAKAN MEMASUKI MILENIUM KETIGA

PENDAHULUAN
Hasil sementara Sensus Penduduk tahun 2000 memperkirakan jumlah penduduk 203.456.005, dengan laju pertumbuhan penduduk 1990-2000 adalah 1,35 (BPS, 2001). Dari total penduduk tersebut, diperkirakan proporsi balita adalah 8.88%, usia reproduktif 15-49 tahun: 55,28% (perempuan), dan 54,86% (laki-laki). (lihat table 1). Uraian berikut ini dikaitkan dengan analisis situasi, issue serta kebijakan tentang kesehatan dan gizi. Informasi dari Sensus Penduduk ini menjadi penting dalam upaya pemerintah, khususnya kesehatan dan gizi, dalam mentargetkan kelompok rawan pada penduduk yang memerlukan intervensi. Memasuki milenium baru, Indonesia dihadapi dengan perubahan ekonomi dan politik yang tidak menentu. Walaupun tidak merata, secara umum Bank Dunia melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif sebelum tahun 1997 (lihat figure 1: GNP per capita 1986-2000). Pertumbuhan ekonomi ini berdampak pada penurunan angka kemiskinan dari 40% tahun 1976 menjadi 11% tahun 1996 (Figure 2); penurunan kematian bayi; penurunan kematian anak 0-4 tahun; dan 25% penurunan kematian ibu. Secara statistik hal ini ditunjang pula dengan pencapaian keamanan pangan, dan pencapaian pelayanan kesehatan terutama pada ibu dan anak. Krisis ekonomi memperlambat proses penurunan yang telah terjadi selama tiga dekade terkakhir. Krisis ekonomi menurunkan nilai rupiah yang berakibat pada merosotnya pendapatan perkapita (lihat figure 1) dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 11% tahun 1996 atau 34.5 juta orang menjadi 16.64% tahun 1999 atau 47,9 juta orang (lihat figure 2). Dampak krisis ekonomi terhadap kesehatan masyarakat dapat dilihat secara tidak langsung. Disadari secara luas bahwa dampak krisis ekonomi berdampak negatif pada status kesehatan masyarakat, akan tetapi bukti nyata secara statistik masih perlu dikaji agar tidak terjadi kontradiksi. Kenyataannya kajian perubahan morbiditas dan mortalitas pada penduduk masih dilakukan terus menerus. Diperlukan informasi data kesehatan dengan kualitas yang baik dari sistem pelayanan kesehatan dan juga survei lainnya. Berikut ini adalah kajian kecenderungan beberapa indikator kesehatan dan gizi tahun 1990-2000, serta issue dan kebijakan untuk program kesehatan dan gizi pada masa mendatang.

ANALISA SITUASI KESEHATAN DAN GIZI


Wanita, terutama wanita usia subur/WUS, bayi dan anak balita adalah kelompok rawan pada penduduk yang selalu harus menjadi perhatian.

Indonesia tidak mempunyai vital statistic yang dapat dilakukan untuk menghitung angka kematian ibu. Biasanya dilakukan estimasi berdasarkan survei yang ada seperti Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Dari analisis SDKI 1991, 1994 diperkirakan Angka Kematian Ibu (AKI) adalah 390 per 100,000 kelahiran hidup untuk periode 1989-1994, dan 334 pada periode tahun 1992-1997. Sebelum tahun 1997, Pemerintah Indonesia mentargetkan penurunan AKI ini dari 450 (1995) menjadi 225 (1999). Melihat variasi AKI di lima provinsi dari analisis SKRT 1995 yang menunjukkan AKI antara 1025 (Irian), 796 (Maluku), 686 (Jawa Barat), 554 (NTT) dan 248 (Jawa Tengah), diasumsikan AKI masih sangat bermasalah memasuki milenium ketiga ini (Sumantri, et.al, 1999). Untuk kelompok bayi dan anak yang dipantau perkembangannya, ada peningkatan yang cukup baik, akan tetapi angkanya masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Filipina dan Thailand. Walaupun terjadi penurunan angka kematian bayi dan balita, masih diperkirakan dari 4 juta anak yang lahir di Indonesia, 300.000 diantaranya meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun (Sumantri, 2000). Lihat figure 3. Angka kematian bayi dan anak ini bervariasi cukup lebar antar provinsi. Dijumpai 23 kematian bayi per 1000 lahir hidup di Jogjakarta dan 111 kematian bayi per 1000 lahir hidup di NTB, hal yang sama terjadi juga untuk kematian balita (Sumantri, 2000). Masalah gizi kurang, terutama pada anak balita dikaji kecenderungannya menurut Susenas. Pada tahun 1989, prevalensi gizi kurang pada balita adalah 37.5% menurun menjadi 24,7% tahun 2000. Walaupun terjadi penurunan prevalensi gizi kurang, yang menjadi pusat perhatian adalah penderita gizi buruk pada anak balita, yang terlihat tidak ada penurunan semenjak tahun 1989. Pada tahun 1989, prevalensi gizi buruk anak balita adalah 6.3%. Prevalensi ini meningkat menjadi 11,56% pada tahun 1995 dan menurun menjadi 7,53% pada tahun 2000 (Direktorat Gizi, 2001). Berdasarkan hasil sementara SP 2000, maka diperkirakan jumlah penderita gizi buruk pada balita adalah 1.520.000 anak, atau 4.940.000 anak menderita gizi kurang. (lihat figure 4). Masih tingginya prevalensi gizi kurang pada anak balita berhubungan dengan masih tingginya bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR). Prevalensi BBLR ini masih berkisar antara 7 sampai 14% pada periode 19902000. (Lihat figure 5). Akibat dari BBLR dan gizi kurang pada balita berkelanjutan pada masalah pertumbuhan anak usia masuk sekolah. Berdasarkan hasil pemantauan tinggi badan anak baru masuk sekolah (TBABS), diketahui bahwa prevalensi anak pendek tahun 1994 adalah 39,8%. Prevalensi ini turun menjadi 36,1% pada tahun 1999. Anak yang terpantau dari TBABS adalah anak usia 5-9 tahun. Jika jumlah anak 5-9 tahun menurut SP 2000 diperkirakan 21.777.000, maka 7.800.000 anak usia baru masuk sekolah mengalami hambatan dalam pertumbuhan. Masalah gizi kurang pada anak berkelanjutan pada wanita usia subur, yang akan melahirkan anak dengan risiko BBLR disertai dengan masalah anemia dan gizi mikro lainnya. Dari kajian Susenas, proporsi wanita usia 15-49 tahun dengan Lingkar Lengan Atas (LILA <23.5 cm) adalah 24,9% tahun 1999 dan 21,5% pada tahun 2000
2

(Lihat Figure 6 dan 7). Proporsi ini sama dengan 13.316.561 wanita usia subur diperkirakan mempunyai risiko kurang energi kronis. Terlihat juga bahwa wanita usia subur, khususnya pada kelompok yang paling produktif: usia 15-19, 20-24 dan 25-29 tahun, mempunyai proprosi LILA <23.5% yang tertinggi. Masalah gizi lainnya yang cukup penting adalah masalah gizi mikro, terutama untuk kurang yodium dan zat besi. Pada tahun 1980, prevalensi gangguan akibat kurang yodium (GAKY) pada anak usia sekolah adalah 30%, prevalensi ini menurun menjadi 9,8% pada tahun 1998. Walaupun terjadi penurunan yang cukup berarti, masih dianggap masalah kesehatan masyarakat, karena prevalensi di atas 5%. Prevalensi tersebut bervariasi antar kecamatan, masih dijumpai kecamatan dengan prevalensi GAKY di atas 30% (daerah endemik berat). Berdasarkan prevalensi tersebut, diperkirakan 10 juta penduduk menderita GAKY, dan kemungkinan 9000 bayi lahir dengan kretin. Masalah berikutnya adalah anemia gizi akibat kurang zat besi. Kajian Survei Kesehatan Rumah Tangga (1995) menunjukkan bahwa prevalensi anemi pada ibu hamil adalah 50,9%, pada wanita usia subur 39,5%, pada remaja putri 57,1%, dan pada balita 40,5%. Faktor penyebab dari tingginya kematian ibu, bayi dan anak ini tidak lain disebabkan karena belum memadainya pelayanan kesehatan masyarakat dan keadaan gizi, diluar faktor pencetus lainnya yang memperkuat masalah ini seperti kemiskinan dan tingkat pendidikan. Akibat yang terlihat dari kemiskinan adalah masih dijumpai hampir 50% rumah tangga mengkonsumsi makanan kurang dari 70% terhadap angka kecukupan gizi yang dianjurkan (2200 Kkal/kapita/hari; 48 gram protein/kapita/hari). Kita ketahui Human Development Index pada tahun 2000 yang dilaporkan oleh UNDP adalah 109 untuk Indonesia, tertinggal jauh dari Malaysia, Filipina dan Thailand. Masih tingginya masalah gizi, akan berpengaruh nyata terhadap tingkat pendidikan dan pendapatan per kapita. Rendahnya kondisi gizi akan berakibat pada rawannya penyakit infeksi dan semakin tinggi pengeluaran terhadap kesehatan. Krisis ekonomi yang berkepanjangan akan berdampak lebih nyata pada masalah kesehatan dan gizi penduduk.

ISSUE STRATEGIS, STRATEGI DAN KEBIJAKAN


Memasuki milenium ketiga, pelayanan kesehatan masih difokuskan pada pelayanan pada orang sakit dan kurang gizi. Rendahnya alokasi yang diberikan untuk pelayanan kesehatan masyarakat memperburuk situasi yang ada. Indonesia masih dihadapi pada rendahnya rasio dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk memberikan pelayanan kesehatan, ditambah fasilitas kesehatan (rumah sakit dan puskesmas) yang juga masih jauh dari optimal. Semenjak terjadi krisis ekonomi 1997, banyak upaya yang dilakukan untuk mempertahankan situasi kesehatan dan gizi masyarakat, terutama pada kelompok rawan. Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) yang mulai dioperasionalkan tahun 1998 melakukan upaya pelayanan
3

kesehatan dasar, kesehatan ibu/safemotherhood dan gizi, terutama untuk penduduk miskin. Upaya yang telah dilakukan antara lain: 1. Mentargetkan dan memberikan pelayanan kesehatan khusus pada keluarga miskin yang membutuhkan. Pemilihan keluarga miskin ini dilakukan menurut indikator yang telah disepakati bersama. 2. Memberikan pelayanan khusus seperti pemberian makanan tambahan pada balita dan ibu hamil kurang gizi. 3. Memberikan pelayanan kebidanan memberdayakan bidan di desa pada ibu hamil dengan

4. Melakukan revitalisasi Posyandu agar pemantauan pertumbuhan pada bayi dan balita tetap dilaksanakan. 5. Melakukan advokasi pada pemerintah daerah setempat untuk selalu mentargetkan dengan alokasi yang memadai untuk lokasi yang berisiko tinggi masalah gizi dan kesehatan. 6. Melakukan promosi untuk peningkatan pendidikan dan peningkatan pelayanan kesehatan dasar. 7. Mengembangkan program jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat. 8. Mengembangkan dan memperkuat sistem monitoring dan evaluasi (surveilans) untuk kepentingan daerah, terutama untuk memperbaiki kebijakan daerah terhadap pelayanan kesehatan dan gizi. Mempelajari permasalahan yang ada dan upaya yang telah dilakukan, Indonesia mencanangkan Indonesia Sehat 2010, dengan menetapkan issue strategis yang menjadi titik tolak kebijakan intervensi atau program yang diperlukan pada saat ini dan masa yang akan datang. Issue strategisnya adalah sebagai berikut1: 1. Kerjasama lintas sektor Perubahan perilaku masyarakat untuk hidup sehat dan peningkatan mutu lingkungan sangat berpengaruh terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Selain itu, masalah kesehatan dan gizi merupakan masalah nasional yang tidak dapat terlepas dari berbagai kebijakan dari sektor lain. Peningkatan upaya dana manajemen pelayanan kesehatan tidak dapat terlepas dari peran sektor yang membidangi pembiayaan, pemerintahan dan pembangunan daerah, ketenagaan, pendidikan, perdagangan dan social budaya. Dengan demikian kerja sama lintas sektor yang masih belum berhasil pada masa lalu perlu lebih ditingkatkan. 2. Sumber daya manusia kesehatan Mutu sumber daya manusia kesehatan sangat menentukan keberhasilan upaya dan manajemen kesehatan. Sumber daya manusia kesehatan yang bermutu harus selalu mengikuti perkembangan ilmu
1

Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010, Depkes 1999. 4

pengetahuan dan teknologi, dan berusaha untuk mengusai IPTEK yang mutakhir. Disadari bahwa jumlah sumber daya manusia kesehatan yang mengikuti perkembangan IPTEK dan menerapkan nilai-nilai moral dan etika profesi masih terbatas. Adanya kompetisi dala era pasar bebas sebagai akibat dari globalisasi harus diantisipasi dengan peningkatan mutu dan profesionalisme sumber daya manusia kesehatan. Hal ini diperlukan tidak saja untuk meningkatkan daya saing sektor kesehatan, tetapi juga untuk membantu peningkatan daya saing sektor lain, antara lain pengamanan komoditi bahan makanan dan makanan jadi. 3. Mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan Dipandang dari segi fisik persebaran sarana pelayanan kesehatan baik Puskesmas, Rumah sakit, maupun sarana kesehatan lainnya termasuk sarana penunjang upaya kesehatan telah dapat dikatakan merata keseluruh wilayah Indonesia. Akan tetapi persebaran fisik tersebut masih belum diikuti sepenuhnya dengan peningkatan mutu pelayanan dan keterjangkauan oleh seluruh lapisan masyarakat. Mutu pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh kualitas sarana fisik, jenis tenaga yang tersedia, obat, alat kesehatan dan sarana penunjang lainnya, proses pemberian pelayanan, dan kompensasi yang diterima serta harapan masyarakat pengguna. Faktor-faktor tersebut di atas merupakan prakondisi yang harus dipenuhi untuk peningkatan mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan. Peningkatan pelayanan dilakukan melalui peningkatan mutu dan profesionalisme sumber daya kesehatan. Sedangkan harapan masyarakat pengguna dilakukan melalui peningkatan pendidikan umum, penyuluhan kesehatan, serta komunikasi yang baik antara pemberi pelayanan kesehatan dan masyarakat. 4. Prioritas, sumber daya pembiayaan, dan pemberdayaan masyarakat Selama ini upaya kesehatan masih kurang mengutamakan atau memprioritaskan masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat. Selain itu permasalahan kesehatan yang diderita oleh masyarakat banyak masih belum diikuti dengan pembiayaan kesehatan yang memadai. Disadari bahwa keterbatasan dana pemerintah dan masyarakat merupakan ancaman yang besar bagi kelangsungan program pemerintah serta ancaman pencapaian derajat kesehatan yang optimal. Diperlukan upaya yang intensif untuk meningkatkan sumber daya pembiayaan dari sektor publik yang diutamakan untuk kegiatan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan serta pencegahan penyakit. Ketersediaan sumber daya yang terbatas, mengharuskan adanya upaya untuk meningkatkan peran serta sektor swasta khususnya dalam upaya yang bersifat penyembuhan dan pemulihan. Upaya tersebut dilakukan melalui pemberdayaan sektor swasta agar mandiri, peningkatan kemitraan yang setara dan saling menguntungkan antara sektor publik dan swasta sehingga sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal. Sementara itu, issue strategis bidang gizi, karena berhubungan dengan pangan, keluarga dan anak, maka hal yang berkaitan dengan: 1. Ketahanan pangan tingkat rumah tangga 2. Pengembangan agribisnis
5

3. Pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan yang berkaitan erat dengan upaya peningkatan daya beli dan akses terhadap pangan. 4. Pola pengasuhan yang tepat dan bermutu untuk anak Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka strategi pembangunan kesehatan untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2010 adalah: 1. 2. 3. 4. Pembangunan Nasional Berwawasan Kesehatan Profesionalisme Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat Desentralisasi

Strategi program gizi mengikuti strategi pembangunan kesehatan dan juga memfokuskan pada: 1. 2. 3. 4. 5. Pemberdayaan keluarga dan masyarakat Pemantapan kelembagaan pangan dan gizi Pemantapan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi Advokasi dan mobilisasi social Peningkatan mutu dan cakupan pelayanan gizi melalui penerapan paradigma sehat

Berdasarakan strategi tersebut, maka tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan mayarakat yang optimal. Dan kebijaksanan pembangunan kesehatan untuk mewujudkan tujuan tesebut adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Pemantapan kerja sama lintas sektoral Peningkatan kemandirian masyarakat dan kemitraan swasta Peningkatan perilaku hidup sehat Peningkatan lingkungan sehat Peningkatan upaya kesehatan Peningkatan sumber daya kesehatan Peningkatan kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan Peningkatan IPTEK Peningkatan derajat kesehatan

Sejalan dengan kebijakan pembangunan kesehatan, telah dibuat pula rencana program aksi pangan dan gizi yang juga merupakan penjabaran Propenas, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Pengembangan kelembagaan pangan dan gizi Pengembangan tenaga pangan dan gizi Peningkatan ketahanan pangan Kewaspadaan pangan dan gizi Pencegahan dan penanggulangan gizi kurang dan gizi lebih Pencegahan dan penanggulangan kurang zat gizi mikro Peningkatan perilaku sadar pangan dan gizi Pelayanan gizi di Institusi
6

9. Pengembangan mutu dan keamanan pangan 10.Penelitian dan pengembangan

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Indonesia Sehat 2010 merupakan goal yang akan dicapai. Hal ini tidak mungkin dicapai jika peningkatan kualitas dan akses masyarakat terhadap kesehatan dan gizi tidak menjadi perhatian utama. Alokasi kesehatan yang masih sekitar 3% tentunya tidak berarti untuk mencapai tujuan ini. Goal ini juga mengarahkan kita semua untuk mendukung upaya berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan dan kualitas hidup. Diperlukan penjabaran Propenas dan Propeda kedalam bentuk program aksi yang lebih konkrit. Fokus perhatian diutamakan pada keluarga miskin di wilayah kumuh perkotaan dan pedesaan. Selain itu peningkatan kesehatan dan gizi masyarakat tidak akan terlepas juga dari kontribusi komprehensif dan pelayanan profesional yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat secara keseluruhan. Rekomendasi yang diperlukan tentunya berkaitan dengan: 1) paradigma sehat yang berlandaskan pada visi dan misi pembangunan kesehatan nasional; 2) revitalisasi pada infrastruktur yang berkaitan dengan upaya desentralisasi; 3) alokasi kesehatan dan gizi yang optimal; 4) memperkuat aspek teknologi bidang kesehatan dan gizi; 5) memperkuat aspek pelayanan kesehatan dan gizi secara profesional; 6) mengembangkan JPKM; 7) memperkuat sistem pemantauan dan evaluasi program. Pada akhirnya kajian terus menerus berkaitan dengan kependudukan sangat diperlukan, terutama pada kelompok sasaran yang menjadi prioritas dalam pembangunan kesehatan dan gizi. Peningkatan derajat kesehatan dan gizi penduduk merupakan investasi yang besar bagi negara.

Tabel 1 Proporsi penduduk menurut kelompok umur (Hasil sementara SP 2000)


Umur (tahun) 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74 75+ 0-49 15-49 Laki-laki 9.16 10.56 10.93 10.89 8.71 8.27 7.59 7.39 6.49 5.52 3.97 3.25 2.80 1.92 1.44 1.12 85.51 54.86 Perempua n 8.59 10.18 10.22 10.17 8.93 9.05 7.96 7.83 6.35 4.99 4.37 3.30 3.09 2.16 1.45 1.35 84.27 55.28 Total 8.88 10.37 10.58 10.53 8.82 8.66 7.77 7.61 6.42 5.26 4.17 3.28 2.94 2.04 1.45 1.24 84.90 55.07

Sumber: Hasil Sementara SP 2000, BPS

Figure 1 Kecenderungan GNP per capita ($US dollars) 1988-2000


1200

1000

800

$US

600

400

200

GNP/Cap($US)

0 1986

1988

1990

1992

1994 Tahun

1996

1998

2000

2002

Sumber: World Bank Report, 2000

Figure 2 Persen Penduduk Miskin 1976-1999


45 40 Kota 35 Persen Penduduk Miskin 30 25 20 15 10 5 0 1970 1975 1980 1985 Tahun 1990 1995 2000 2005 Desa Kota+Desa

Sumber: BPS, 2000

Figure 3 Angka Kematian Bayi (IMR) dan Balita (U5MR) SDKI 1991, 1994 dan 1997
100.0 80.0 Kematian/1000 LH 60.0 97.4 40.0 20.0 0.0 IMR U5MR 81.3 67.8 57.0 45.7 58.2 SDKI-91 SDKI-94 SDKI-97

Sumber: Sumantri, et.al 2000 Figure 4


9

Keadaan gizi kurang dan gizi buruk pada Balita, Susenas 1989-2000

40.00 35.00 30.00 persen menurut BB/U 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 1989 1992 1995 1998 1999 2000 Tahun Survei Gizi Buruk Gizi Kurang 11.56 6.30 7.23 10.51 8.11 7.53

31.17

28.34

20.02

19.00 18.25 17.13

Sumber: Direktorat Gizi Masyarakat, 2001

10

Figure 5 Proporsi BBLR dari beberapa sumber: 1990-2000


18 16.1 15.0 14 12.6 11.4 10.4 9.2 8 7.3 7.3 7.1 6 6.8 8.4 7.7 6.6 7.9 9.9 10 9.4

16

WSC Goal Repelita Goal Studi di Jakarta Studi di Sulsel Studi di U. Pandang Studi di Jabar SKRT Studi Long. Ciawi Studi Long, Indramayu SDKI SDKI,Kota SDKI,Desa

12 Proporsi BBLR (%)

10

4 2

0 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000

Sumber: End Decade Goal Report, 2000

11

Figure 6 Proporsi Wanita Usia Subur (15-49 tahun) dengan LILA <23.5 cm: Susenas 1999-2000
60%

50% 1999 2000 % LILA <23.5 cm 40%

30%

20%

10%

0% 10 15 20 25 30 Um ur (tahun) 35 40 45 50

Figure 7 Proporsi Wanita Usia Subur (15-49 tahun) dengan LILA <23.5 cm: Susenas 1999-2000
50% 45% 40% % LILA <23.5 cm 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0% 15-19 20-24 25-29 30-34 Kelom pok Um ur 35-39 40-44 45-49 1999 2000

Sumber: Analisis Susenas 1999 dan 2000 untuk LILA pada Wanita Usia Subur, Direktorat Gizi Masyarakat, 2001.

12

Anda mungkin juga menyukai